Anda di halaman 1dari 7

Warta Wirausaha

DISPERINDAG KAB.BANDUNG NGAYAKEUN PASAR MURAH

(sumberna tina google)

Assalamu’alaikum Wr.Wb Pamirsa, wilujeung patepang deui sareng Faris Isham Wiryansya, dina acara
warta sunda. Warta anu baris anu kapindangkeun nya eta:

BANDUNG,GWKDISPERINDAG (dinas perindustriaan & perdagangan) kab. Bandung ngayakeun pasar


murah di kompleks perkantoran Pemkab Bandung, Senen(23/8). Dina eta pasar murah, dijual saniskara
produk UKM(usaha kecil menengah) nurutkeun kadisperindag kab.Bandung Bambang Budiraharjo, pasar
murah ieu ngarupakeun agenda taunan anu bakal dilaksanakeun Disperindag kab.Bandung. dina pasar
murahb ieu, sakabeh produk anu dijual hargana leuwih murah dibandingkeun di pasar swalayan. Pasar
murah dipikaresep warga di kab.Bandung. sapewrti taun samemehna, muterna duit ngahontal Rp68 juta
“peminat pasar murah ieu lolobana masarakat umum. Persentase ngadongdonna 70% masarakat umum
jeung 30% PNS”. Pamirsa, mung sakitu nu kapihatur, wilujeung patepang deui dina warta nu Bangkal
dongkap, Amit mundur amit mungkur . wassalamu’alaikum.

http://yra21.blogspot.co.id/2017/07/contoh-warta-pedaran-bahasa-sunda.html?m=1
Lukisan Wulan

Aku adalah sosok wanita dalam salah satu lukisannya yang belum selesai. Ia memberiku nama
Wulan karena mataku berwarna kelabu dan menyala dalam kegelapan seperti layaknya bulan.
Entah mengapa dia membuat warna mataku abu-abu. Mungkin saja karena malam menjadi
waktu yang dia pilih saat aku pertama kali membuka mata dan ia menyambutku. Ia meniru
bulan putih bertubuh tambun yang melayang di atas kepalanya.

“Kau tahu? Kau sangat cantik tapi kenapa tampak begitu menyedihkan?” ucapnya pada kanvas
setelah kami bertatap sapa.

Ia menjadikan aku seorang wanita dengan wajah sendu seakan membawa kesedihan sejuta
umat di dunia. Mata kelabuku tampak terluka. Di setiap sentuhan kuasnya, dia menitipkan luka.
Ia benar-benar tidak adil padaku. Aku baru saja terlahir di dunia. Baru beberapa menit aku
menghirup udara malam yang bercampur dengan wangi tanah sehabis hujan—dengan hidung
yang dia ciptakan di atas bibirku, tentunya. Namun, ia sudah membuatku tidak sempat lagi
menghirup udara karena rasa teriris-iris yang menyayat setiap senti kulit wajahku.

Ia sengaja membuatku menarik untuk dipandang tapi tidak membiarkan orang lain memandang
terlalu lama. Kecantikan yang pelan-pelan memberi luka. Aku yakin siapa saja yang melihatku—
nanti jika ia sudah selesai melukisku—pasti menitikkan air mata.

Ia tampak ragu melanjutkan gerakan tangannya. Kegamangan itu jelas terlihat di raut wajahnya.
Keningnya berkerut, menatapku dalam. Cukup lama kami saling memandang hingga akhirnya ia
yang kalah. Ia yang pertama kali melepas pandangan matanya dariku.

Tangannya berhenti melukis. Keduanya kemudian luruh di sisi tubuhnya. Pundaknya naik turun
perlahan namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Aku tahu ia menangis. Padahal ia
baru membuat wajahku—tanpa rambut dan tubuh di bawahnya. Hanya wajah saja!
Aku tahu siapa ia. Teramat mengenalnya dari luar hingga dalam. Semua cerita perihal
kehidupannya telah tersalur melalui kuas miliknya. Ia tampak begitu tegar dari luar. Bertindak
seolah tidak butuh orang lain. Ia wanita paling mandiri yang pernah aku kenal. Namun
kenyataannya, dibalik tembok yang dibangun itu, ada sesosok tubuh yang meringkuk kesakitan.
Wanita yang tengah menundukkan kepala di depanku ini hanyalah seorang wanita yang
kesepian. Di umurnya yang sudah melewati kepala tiga, ia hidup sendiri. Bukan berarti ia tidak
laku. Paras ayunya tidak mungkin dilewatkan oleh lelaki-lelaki di luar sana.

Ia sudah pernah menikah saat umurnya masih belia. Dua bulan setelah ia merayakan ulang
tahunnya ketujuh belas, ia terpaksa harus menghadap penghulu dengan seorang pria yang tidak
ia cintai. Ia harus merubah statusnya menjadi istri seseorang. Pria yang berada di sampingnya
itu merupakan teman sekolahnya. Ketika teman-teman sekolahnya sibuk dengan persiapan
menghadap ujian nasional, ia dan pria itu malah sibuk dengan sebuah pernikahan yang
mendadak.

Ia sudah melakukan kesalahan. Tidak hanya sekali sehingga kesalahan-kesalahan itu akhirnya
berbuah, tinggal menunggu matang di dalam rahimnya. Ia dan pria itu harus putus sekolah.
Meninggalkan jauh-jauh mimpi, dan cita-cita. Bahkan keduanya dianggap mencoreng muka
keluarga masing-masing sehingga setelah menikah mereka harus disingkirkan ke sudut kota.
Tidak ada kebahagiaan seperti pernikahan-pernikahan orang lain. Hanya ada tangis, caci maki
dan berujung sebuah pengusiran.

Beberapa bulan mereka hidup berdua dengan saling benci satu sama lain. Miris memang,
mereka yang mulanya tertawa bersama, melakukan kesalahan dengan senyum sumringah di
bibir, berubah jadi tidak pernah saling bertegur sapa. Tidak ada kehangatan. Hubungan mereka
dingin. Sangat dingin sampai tulang-tulang mereka sakit. Seolah tidak cukup penderitaan yang
menimpa, petaka lain muncul. Kematian ikut campur dalam hidupnya. Nyawa yang dia bawa di
dalam perutnya pergi.

“Kenapa aku harus menikahimu jika akhirnya ia mati!”


Pria itu menuding perutnya yang berselimut jarik. Saat itu ia masih tergolek lemas di sebuah
kamar rumah sakit. Tidak ada keluarga yang menengok. Hanya mereka berdua. Tidak ada yang
bisa dilakukannya selain menangis.

“Padahal aku masih ingin kuliah. Aku mau jadi dokter. Demi kau, aku harus mengorbankan
sekolahku tapi apa yang kau perbuat? Kau membunuhnya! Kau benar-benar membawa
kematian di sekitarmu!”

Kalau ia punya kekuatan, ingin rasanya ia berteriak bahwa ia pun harus mengorbankan masa
mudanya. Ia ingin jadi pelukis tapi semenjak menikah, ia tidak pernah memegang kuas lagi. Ia
terlalu sibuk dengan kesedihannya sehingga lupa dengan cita-citanya.

Tak lama setelah hilangnya calon bayi itu, ayah si bayi menyusul. Sebuah bus menghantam
tubuhnya saat pria itu dalam perjalanan pulang dari pekerjaannya menjadi kuli panggul di pasar.
Jarak yang tidak terlalu jauh dari kematian sebelumnya, membuat orang-orang di sekitarnya
berkasak-kusuk mengenai perempuan itu.

Ia benar-benar membawa kematian di sekitarnya.

Berita itu sampai di telinga orang tua si pria. Mertuanya tidak mau lagi menyanggapnya sebagai
menantu. Mereka bertingkah layaknya orang yang tidak saling kenal. Sementara orang tuanya
sendiri tidak pernah menghubunginya lagi. Mungkin saja berita itu sudah sampai ke telinga
mereka juga.

Kabar yang berhembus beberapa waktu setelah itu, membuat ia benar-benar kehilangan
dunianya. Ia tidak tahu lagi bagaimana untuk berpijak. Kedua orang tuanya meninggal oleh
kawanan perampok yang menyatroni kediaman mereka. Orang tuanya ditemukan tewas di
tempat.
Kematian demi kematian datang silih berganti. Seperti angkot yang selalu datang mengangkut
para penumpang yang sudah menunggu.

Di sudut kota, ia hidup sendiri. Julukan sebagai perempuan dengan kematian di sekitarnya,
membuat ia dikucilkan oleh tetangganya. Bahkan ia terpaksa harus pindah ke tempat yang jauh
dari rumah-rumah penduduk karena desakan mereka. Mereka tidak membiarkan anggota
keluarga mereka dekat dengan perempuan itu. Rumah dengan kebun yang mengelilinginya,
menjadi pilihan untuk melanjutkan sisa hidup yang terasa sia-sia.

Ia hanya sedang menunggu kendaraan yang membawanya menuju kematian. Namun, kematian
yang dia tunggu-tunggu masih enggan menghampirinya lagi.

Umurnya belum genap delapan belas tahun, tapi ia sudah menjadi janda, pernah keguguran,
dan hidup sebatang kara. Ia telah mengalami segala hal menyakitkan terlahir menjadi seorang
wanita. Hanya malam dan bulan yang menjadi temannya. Hanya mereka berdua yang
membuatnya tenang.

Ia pun mulai melukis lagi. Tidak ada yang tahu bahwa perempuan yang mereka sebut sebagai
pembawa kematian itu adalah seorang pelukis. Ia melukis sembari menunggu.

Ia mengangkat kepalanya ketika mendengar bunyi dari ponsel yang tergeletak di meja. Bola
matanya yang berwarna hitam sempat menatapku sedetik lalu mengalihkan pandangan pada
ponselnya. Ketika menatap layar ponsel, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya.

Sepuluh tahun berlalu dalam penantian, ada yang berubah pada hidupnya. Akhir-akhir ini ia
sedang menjalin hubungan dengan kurir pengirim lukisannya. Pria itu mengetuk pintu hatinya
yang sudah lama ditutup dan perlahan berhasil membukanya. Pria itu tidak peduli dengan
rumor yang berhembus mengenai si pelukis dan kematian di sekitarnya. Mereka dengan santai
memadu kasih, menghantarkan kehangatan satu sama lain. Dengan pria itu, pelukis kesepian
tidak lagi sendirian. Dengan pria itu, segala yang salah pun berubah menjadi benar. Perlahan ia
mulai berharap supaya kematian yang ada di sekitarnya pergi menjauh.
Jangan jemput aku dalam waktu dekat. Begitulah doa yang selalu dia panjatkan setiap malam.

Ia menghapus butir-butir air mata yang membasahi pipinya kemudian membuka pesan yang
datang dari pria itu. Sesaat setelah pesan terbuka, senyuman di bibirnya perlahan menghilang.
Pesan yang tertulis di layar membuat isi kepalanya tiba-tiba kosong. Ia meletakkan kembali
ponselnya ke atas meja lalu menatapku dengan mata berkabut.

Ia meraih kuas lukisnya kembali lalu mulai menggoreskan kuas di atas bidang kanvas,
melanjutkan untuk melukisku. Aku penasaran apa yang akan dia lakukan padaku. Aku
merasakan tangannya yang memegang kuas bergetar.

“Wulan,” panggilnya. Kini suaranya yang bergetar. “Ia ingin aku menjadi pembunuh,” lanjutnya
sambil mengelus perut dengan satu tangannya yang bebas.

“Kenapa aku selalu terhubung dengan kematian?”

Dia bertanya padaku tapi aku tidak sanggup menjawab. Yang bisa kulakukan hanya balas
menatap matanya dengan mataku yang berwarna abu-abu.

Dapat kurasakan bahwa suaranya terdengar pilu. Sejenak tangannya yang melukis berhenti
kemudian ia bergerak lagi. Aku bisa merasakan kesakitan di setiap goresannya. Selama jari-jari
tangannya menari di atas kanvas dengan penuh emosi, saat itulah aku merasakan sakit yang luar
biasa.

Dia memilih cat berwarna merah lalu mencoret-coretnya di sekujur tubuhku. Ingin rasanya aku
menghentikannya. Aku tidak suka warna merah itu. Merah itu seperti bercak darah. Kini
tubuhku penuh warna merah. Tidak puas dengan tubuhku, dia mewarnai lantai dengan warna
merah. Aku merasa sakit tapi aku tidak akan mati karena aku memang benda mati.
Setelah puas dengan lukisan yang dia hasilkan, ia terkekeh pelan lalu terbahak-bahak sendiri. Ia
menunjuk-nunjuk aku seperti mengejek. Ia pasti sudah gila! Perlahan aku melihat tubuhnya
luruh di lantai. Ah, aku lupa memberi tahu namanya. Namanya Wulan, sama seperti nama yang
dia berikan untukku. Lalu ia juga berakhir dengan kondisi yang sama sepertiku.

***

Surakarta, 27 Februari 2017

Niken Hergaristi

Lahir di Surakarta,

29 September 1992. Cerpennya pernah dimuat di Solopos, Padang Ekspres, dan Gogirl! Magz)

http://www.mediaindonesia.com/news/read/131624/lukisan-wulan/2017-11-12

Anda mungkin juga menyukai