Anda di halaman 1dari 6

LAYLA-MAJNUN Kisah Cinta Abadi

Layla. Boleh jadi nama yang paling banyak disebut orang sekali dijadikan nama bagi anak perempuan.
Ia dipakai sebagai lambang sosok perempuan cantik jelita, sebuah keelokan paripurna. Nama ini
dikenal luas dalam kisah cinta abadi antara Qais dan Layla, atau Layla-Majnun.
Nama lengkapnya Layla binti Mahdi bin Sad bin Kab bin Rabiah. Sementara nama lengkap
kekasihnya adalah Qais bin Mulawwih (Mulawwah) bin Muzahim bin Adas bin Rabiah bin Jadah bin
Kab bin Rabiah. Sebagian orang menyebut Qais bin Muadz dari Kabilah Amir.

Kisah cinta Layla-Qais, dipandang sebagai cinta abadi dan legendaris. Sebuah cinta paling indah,
menggetarkan sekaligus menguras air mata. Sebuah kisah cinta yang berakhir tragis. Ia telah
menginspirasi banyak sastrawan besar dunia untuk menulis kisah cinta abadi yang senafas, seperti
Romeo and Juliet, karya William Shakespeare, Romi dan Juli, Magdalena-Stevan, karya Alphose Karr
berjudul Sous les Tilleus (Dalam bahasa Perancis berarti, Di Bawah Pohon Tilia) yang kemudian
diterjemahkan atau disadur dengan sangat apik oleh Musthafa al-Manfaluthi, menjadi Majdulin, dan
Hayati dan Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Vanderwijck, karya Buya Hamka yang
mengebohkan itu dan lain-lain.

Kisah Cinta Layla-Qais, ditulis oleh sejumlah sastrawan dunia dan sufi besar dari berbagai negara
Arab, Persia, Turki, India dan lain-lain dengan versi yang berbeda-beda. Mereka antara lain: Al-
AshmuI (w. 215 H), Arab, Nizami Ganjavi, Nizam al-Din, (w. 599 H), Persia, Sad al-Syirazi (w. 1291
M) Persia, Abd al-Rahman al-Jami (w. 1492 M), Persia , Amir Khasru al-Dihlawi (w. 1325 M), asal
Turki kemudian pindah ke Delhi, Ahmad Syauqi (1932 M), Mesir, dan lain-lain.

Aku telah menjual ruhku dalam ruang sirkuit rindu-dendam yang menderu-deru. Isyq (rindu
dendam) adalah makananku, tanpa itu aku akan mati. Jangan takdirkan aku tanpa rindu-dendam
kepada Layla. Duhai Tuhan, tuangkan air bening rindu. Cemerlangkan mataku dengan celak
hitam selamanya. Duhai Tuhan, tambahkan aku rindu kepadanya. Bila umurku pendek,
tambahkan rindu itu kepadanya. Duhai Tuhan, tambahkan rinduku kepada Layla, dan jangan
biarkan aku melupakan dia selama-lamanya.
Sebagaimana kisah Rabiah al-Adawiyah, Kisah Layla-Majnun juga kontroversial dari aspek apakah ia
riil, menyejarah, ada, atau hanya legenda, dongeng simbol belaka. Apakah ia adalah karya
khayali (imajinatif) para sastrawan yang dituturkan dari mulut ke mulut, berdasarkan tradisi lisan. Di
samping itu para sastrawan yang menulis kisah ini juga berbeda-beda menuturkan jalan ceritanya.
Saya kira dalam hal ini tidaklah penting untuk diperdebatkan keras-keras, sebagaimana juga terhadap
kisah Rabiah al-Adawiyah. Hal yang utama adalah kisah itu sendiri.

Kita mengambil salah satunya saja. Seperti film Gita Cinta di Sekolah, kisah cinta Layla dan Qais juga
bermula di sekolah. Qais dan Layla adalah pelajar di sebuah sekolah dengan kelas yang berbeda.
Qais kakak kelas. Qais pelajar yang cerdas dan ganteng. Layla, murid paling cantik dan pintar. Mereka
bertemu di sana secara kebetulan, tak disengaja. Mata Qais bertemu mata Layla. Cahaya mata Qais
menembus jantung Layla dan cahaya mata Layla menusuk relung jiwa Qais. Lalu mereka terpenjara
oleh sebuah rasa yang asing tetapi indah yang tiba-tiba hadir. Layla dan Qais tak bisa makan, minum
dan tak bisa tidur. Mereka disergap oleh rasa selalu ingin bertemu dan bicara manis. Hari-hari
dirasakan keduanya seperti berjalan lama atau lambat. Keduanya tiba-tiba menjadi penyair. Mereka
mendadak pandai menggubah puisi. Salah satu puisinya yang cukup terkenal adalah ini:

Siangku adalah siang manusia yang lain


Bila malam tiba, tidurku sering terganggu wajahmu, aku gelisah
Sepanjang siang aku habiskan dengan perbincangan manis dan harapan-harapan indah
Dan sepanjang malam, aku dicekam murung dan rindu dendam
Cintaku padamu telah tertanam di relung kalbuku
Jari-jari dua tangan kami merekat
Cerita cinta mereka menyebar, dan ayah Layla berang, tak sudi. Ia melarang anak gadisnya menjalin
cinta dengan Qais. Laki-laki ingusan itu dipandang tak pantas untuk Layla. Tak level. Tetapi tidak
dengan ibu Layla. Ia mengerti perasaan anak gadisnya yang terus gelisah, acap mengigau dan
tubuhnya, menyusut, bertambah kurus. Tanpa diketahui suaminya, Layla dibiarkan saja mengunjungi
rumah Qais, malam-malam. Dan mereka berdua kemudian saling menumpahkan rindu, dan menangis
panjang sampai fajar merekah cerah. Mata Layla sembab, tetapi menyimpan bahagia. Sebelum
perpisahan yang menitipkan duka dan sakit di relung hati, mereka berjanji untuk saling berkirim surat
dan bertemu jika memungkinkan di suatu tempat. Tetapi ayah Layla kemudian mendengar kabar
pertemuan itu, dan marah bukan kepalang. Layla dilarang keluar rumah sejak saat itu dan untuk
selamanya. Dan Layla luka, bingung, murung dan menangis sepanjang hari sepanjang malam. Ia
bersenandung pilu, memelas :

Duhai cintaku!
Betapa aku merindukan kebersamaan denganmu.
Tetapi, O, Aku tak punya daya.
Takdir telah memutuskan kita harus terpisah.
Kasihku,
apakah kita akan terpisah selamanya.
O, kekasih, belahan jiwaku.
Salahkah aku, duhai kekasih?
Hatiku menangis sepanjang hari sepanjang malam manakala aku memikirkan itu.

Qais juga tak bisa bertemu Layla. Tembok rumah Layla begitu kokoh dan menjulang. Pikirannya
menjadi kacau. Dadanya terus bergemuruh dan bergetar, menahan kecewa dan rindu. Bibirnya selalu
menyebut nama Layla. Ia acap melamun sendiri di taman di belakang rumahnya. Ayah Qais mengerti
keadaan anaknya. Ia juga berduka, tetapi tak berdaya. Ia kemudian mengajak Qais pergi ke Makkah
untuk mengobati hatinya. Kepada Qais, ia bilang akan mengunjungi kakek moyangnya. Tetapi Qais
dibawanya menuju ke Masjid al-Haram. Tiba di latarnya sambil menunjuk ke arah Kakbah, Bait Allah
(Rumah Tuhan) ia berpesan kepada anaknya:

Lihatlah, semoga engkau menemukan obat bagi sakitmu. Peganglah kiswah (kain penutup) Kakbah
dan berdoalah agar Allah menghilangkan rasa cintamu itu.

Mendengar nasihat ayahnya itu, Qais menangis dan tertawa sendiri. Sambil tangannya memegang
kelambu Kakbah itu ia berdoa, Aku telah menjual ruhku dalam ruang sirkuit rindu-dendam yang
menderu-deru. Isyq (rindu dendam) adalah makananku, tanpa itu aku akan mati. Jangan takdirkan
aku tanpa rindu-dendam kepada Layla. Duhai Tuhan, tuangkan air bening rindu. Cemerlangkan
mataku dengan celak hitam selamanya. Duhai Tuhan, tambahkan aku rindu kepadanya. Bila umurku
pendek, tambahkan rindu itu kepadanya. Duhai Tuhan, tambahkan rinduku kepada Layla, dan jangan
biarkan aku melupakan dia selama-lamanya.

Dipaksa menikah, tanpa cinta


Singkat cerita, Layla akhirnya dinikahkan ayahnya dengan laki-laki lain, tanpa dia sendiri menyukai
apalagi mencintanya. Ia menerima laki-laki pilihan ayahnya itu tanpa bisa menolaknya, karena tradisi
yang mengakar akan menghukumnya, bila ia menolak. Tradisi di banyak tempat di dunia sejak zaman
klasik, dan selama berabad-abad, tak membenarkan perempuan menolak kepentingan ayah.
Pandangan keagamaan juga menegaskan hak Ijbar (hak memaksa) ayah atas anak perempuannya.
Perempuan seperti tak punya hak atas tubuhnya sendiri. Tubuh dan kehendak perempuan diatur dan
didefinisikan oleh kehendak laki-laki, meski ia (perempuan), seperti juga siapa pun, kelak akan
bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Qais mendengar hari perkawinan kekasih hatinya itu, dan ia langsung jatuh pingsan, hatinya terbakar.
Ia menangis menderu-deru, meraung-raung, sepanjang hari sepanjang malam. Ia menyesali diri telah
mencintai Layla. Ia sempat mengatakan bahwa Layla tidak setia, dan ia akan menyingkir dari
kehidupannya. Katanya:

Duhai hatiku, hiduplah menyepi, tinggalkan mencintai orang yang tak setia.

Qais mengekspresikan kekecewaannya itu dalam puisinya:



Aku menyesali apa yang telah terjadi, bagai penyesalan orang yang tertipu saat menjual.

Tetapi ia tak bisa menolak kehadiran cinta itu yang telah merasuk diam-diam dan kemudian menyatu
ke dalam jantung jiwanya. Ia menjadi gila (majnun). Qais kemudian mengembara tanpa arah dan
membiarkan tubuhnya tak terurus. Rambutnya penuh debu dan semrawut. Ia mengarungi padang
pasir yang luas dalam terik matahari yang membakar tubuhnya, seperti panas hatinya yang terbakar
oleh cinta kepada Layla. Ia mendaki gunung gemunung dan memasuki hutan-hutan belukar, tanpa
manusia. Ia menyendiri, merindu dan menangis. Ia kemudian bersahabat dengan para binatang.
Mereka menyayangi Qais,yang manusia itu, dan ia juga menyayangi mereka. Mereka saling
menyayangi.

Layla Menikah tapi Tetap Perawan.


Layla mendengar kabar kekasihnya di tempat itu. Ia kemudian menulis surat untuknya:

Surat ini dari aku, seorang perempuan yang terpenjara di rumahnya, seorang perempuan yang
sepanjang hari hanya duduk-duduk sambil termenung di rumah Untukmu duhai kekasihku. Apa
kabarmu, sayang? Bagaimana hari-harimu, dengan siapakah engkau menjalani jam demi jam dalam
hidupmu di lembah-lembah dan di gunung-gunung itu. Aku kira engkau lebih bahagia daripada aku.
Engkau bisa bebas pergi ke mana saja, dengan siapa saja dan bisa makan apa saja, sedangkan aku?
Ketahuilah kekasihku, aku tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menunggu hari demi hari tanpa
jiwa, sambil terus mengingatmu dan merinduimu. Hatiku hampa.

Duhai kekasih jiwaku yang hatimu bening bagai mata air Khidir, mata air keabadian. Aku masih seperti
dulu. Meski aku telah menikah, namun aku bersumpah hatimu selalu ada di hatiku, Meski aku tidur
satu rumah dengan suamiku, tetapi ranjangku tak pernah mempertemukan kepalaku dan kepalanya
(La Yajmau Rasi wa Rasahu Firasy). Permata di tubuhku masih tersimpan utuh, bersih dan tak
pernah disentuh oleh jamahan tangan siapa pun. Hartaku yang paling berharga masih terkunci rapat
dan tak pernah dibuka oleh tangan siapa pun. Bungaku di taman masih tetap kuncup dan belum
merekah, sebagaimana dulu. Duhai kekasih hatiku. Kemarilah, tuangkan air keabadian Khidhir itu.
Jarak jauhku darimu tak akan lama lagi. Kita akan menyatu dalam keabadian.

Penulis lain menyampaikan kata-kata Layla dalam sumpahnya, Aku bersumpah kepadamu, duhai
kekasih hatiku, Aku mengikat kuat hatiku untuk mencintai Qais seperti cintaku kepada diriku sendiri.
Aku kerahkan diriku menjaga seluruh ruhku dari sentuhan orang lain. Dan akhirnya ia mengatakan :


.
Dengan sumpah/janji yang aku ucapkan, maka telah putuslah janjiku dengan orang yang
menyakitimu. Sumpah-janjiku menjadi simpanan kenangan sampai hari kematianku.
Qais membaca surat itu berkali-kali. Kadang ia tak percaya surat itu dari kekasihnya, Layla. Tetapi
kata-katanya dan bahasanya sangat ia kenal. Surat itu benar dari Layla. Hatinya terus berdebar-debar
dan berdegup-degup. Dan ia bingung bagaimana akan membalasnya, bagaimana kata-kata yang
akan ditulisnya. Dan kemudian dengan seluruh keberanian hati ia mulai menulisnya satu baris demi
satu baris dan mengulang-ulang membacanya, agar tidak salah.


.


. . .

. .

.
Ini surat dariku, aku yang gelisah dan gila, untukmu, duhai engkau yang ada di lubuk jiwaku. Engkau
adalah mahkota di kepala selain aku dan kekayaan di tangan orang lain. Aku hanyalah debu di
lembahmu. Bila engkau menuangkan untukku air pertemuan, engkau membawakan kembang dan
menerbitkan musim semi. Bila aku memperolehmu selain berpisah jauh darimu, bumi ini tak akan
menumbuhkan apa pun selain debu. Lihatlah, aku adalah tawanan yang terbelenggu.

Itu adalah bunyi surat yang ditulis sebagian penulis. Nizami menulis isi surat Layla dan Majnun lebih
panjang dari ini. Seluruhnya mengungkapkan dua jiwa yang terjerat oleh rasa rindu, cinta dengan
segenap duka lara dan keriangan-keriangannya .

Tampak jelas bahwa Layla adalah perempuan tokoh yang meskipun secara legal-formal menikah
dengan seorang laki-laki, tetapi ia masih tetap perawan, tetap perempuan gadis. Nizami mengatakan,
Lakinnaha Tazhillu Adzra (tetapi Layla tetap perawan). Demikian juga Qais, si Majnun itu, tetap
lajang. Ia tokoh yang tidak menikah sampai kematiannya.

Dr. Muhammad Ghanimi Hilal dalam bukunya yang terkenal Al-Hayah al-Athifiyyah Baina al-
Udzriyyah wa al-Shufiyyah menginfomasikan kepada kita bahwa para penulis kisah Layla-Majnun
sepakat bahwa:



Sesungguhnya Layla tetap perawan sampai akhir hayatnya.

Kematian Layla
Ada kontroversi dari para penulis Kisah Cinta Abadi Layla-Qais ini. Siapakah yang lebih dulu mati,
Layla atau Qais? Tetapi cerita yang populer menyatakan bahwa Layla lebih dulu meninggal dunia
sebelum kemudian dalam bilangan hari, Qais, kekasihnya, menyusulnya.

Dikisahkan: Musim panas kembali tiba, ranting-ranting pepohonan meneteskan merah darah. Daun-
daun berguguran diterjang angin kencang yang membawa panas. Taman-taman bunga tak lagi
menebarkan aroma wangi bunga melati, tak lagi merekahkan senyum kegembiraan dari bibir-bibir
merahnya. Taman itu telah sepi. Rembulan di langit biru beringsut kembali ke titik bulan hilal. Layla
diserang demam. Ia hanya bisa beristirahat di tempat tidurnya tanpa bisa ke mana-mana. Ia seperti
merasa malaikat Izrail akan segera datang menjemput dirinya. Ia ingin hanya bersama ibunya dan
meminta tak ada orang lain masuk ke kamarnya. Ia ingin mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada
ibu yang mencintai dan yang dicintainya itu. Katanya, Ibuku, lihatlah, cahaya wajahku telah memudar,
dan menjadi pucat-pasi, tak lagi bercahaya. Lilin-lilin di mataku tampak muram dan akan segera
padam. Duhai Ibuku, aku mohon engkau mendengarkan wasiatku, sebelum aku pulang esok atau
lusa; bilamana aku mati, kenakan aku baju pengantin yang paling bagus. Jangan bungkus aku dengan
kain kafan. Carilah kain berwarna merah muda, bagai darah segar seorang syahid (martir). Lalu
riaslah wajah dan tubuhku secantik mungkin, bagaikan pengantin yang paling cantik di seluruh bumi.
Alis dan bulu mataku ambillah dari debu yang melekat di kaki kekasihku, Qais. Dan jangan usapkan ke
tubuhku minyak wangi kesturi atau minyak wangi apa pun. Usapkanlah dengan air mata Qais,
kekasihku.
Sang ibu mendengarkannya dengan sepenuh jiwa, sambil matanya mengembang basah dan menetes
air deras. Layla masih meneruskan pesannya: Sesudah aku mengenakan baju pengantin itu dan
menjadi sangat cantik dan anggun, aku akan menunggu Qais, sang pengembara yang luka itu
datang.

Usai mengucapkan semua itu, akhirnya Layla memejamkan matanya dan menghembuskan nafas
terakhirnya. Wajahnya berbinar-binar, memancarkan cahaya dan bibirnya mengembangkan senyuman
yang paling manis. Ia sangat yakin dirinya akan bertemu Qais dan menjadi pengantin di sampingnya,
lalu menyatu dalam cinta tak terbatas. Inna Lillah wa Inna ilaih Rajiun. Kita berasal dari-Nya, milik-Nya,
dan kepada-Nya kita kembali. Kita pulang ke Asal.

Kematian Majnun
Manakala Qais al-Majnun mendengar berita kematian kekasihnya itu, ia menjerit keras sekali,
suaranya terdengar oleh para Malaikat di langit. Ia meraung-raung untuk waktu yang panjang. Kawan-
kawan setianya, para binatang, juga ikut menangis. Qais pingsan, tak sadarkan diri. Teman-teman
setianya itu menungguinya dengan hati yang pilu. Tidak lama kemudian siuman. Ia menyebut nama
Layla dengan suara keras sambil bergegas menuju ke pemakaman Layla diiringi kawan-kawan
setianya; para binatang itu. Di atas pusara Layla, ia merebahkan tubuhnya, mendekap tanah merah
basah yang menggunduk itu, sambil menangis tak henti-hentinya. Manakala sadar, ia mengatakan
dan berbicara kepada Layla:


. .
Duhai belahan jiwaku, duhai jiwaku, duhai cintaku, bagaimana keadaanmu di bawah tumpukan debu
ini. Bagaimana engkau di dalam kegelapan kubur ini. Meski aku tak lagi bisa memandang wajahmu,
tetapi seluruh jiwamu memenuhi ruhku. Meski engkau jauh dari pandangan mataku, namun aku
melihatmu dengan mata jiwaku, mata hatiku. Dan meski engkau telah pergi, namun lukamu ada dalam
jiwaku.
Sesudah mengatakan itu, Qais diam untuk selama-lamanya. Ia pulang menyusul Layla, belahan
jiwanya dengan membawa cintanya yang abadi kepada Layla. Ia dikuburkan di samping Layla.
Beberapa waktu kemudian, di atas pusara itu lalu tumbuh dua pohon yang pada akhirnya menyatu,
bagaikan berpelukan. Di atas nisan kuburan itu tertulis Di sinilah berbaring dua jiwa yang sunyi, yang
saling mencinta dalam kesetiaan dan dalam penantian. Dua jiwa menyatu dalam cinta abadi. Mereka
bertemu di surga keabadian.

Cinta Platonis
Kisah cinta romantik (al-Hubb al-Udzry) Qais dan Layla di atas kemudian menginspirasi para sufi
falsafi. Layla dijadikan simbol Sang Kekasih dan Sang Maha Indah (Tuhan), sedangkan Majnun
sebagai simbol para pencari, para pengembara (al-Salik) dan para pencinta (al-Muhibb), si perindu (al-
Asyiq) atau Darwish. Perjalanan menuju penyatuan antara Salik dan Kekasih (Tuhan), dilalui seperti
perjalanan cinta Qais dan Layla. Cara pandang demikian inilah yang kemudian disebut sebagai Cinta
Platonis. Kata Platonis diambil dari nama filsuf Yunani terbesar sepanjang sejarah manusia, sesudah
Socrates, gurunya, bernama Platon atau Plato.

Banyak orang mendefinisikan Cinta Platonis sebagai cinta dalam tataran ide, cinta yang murni dan
sepenuhnya. Cinta yang sepenuhnya ingin menyatukan dua ruh yang berbeda.

Para sufi besar, seperti Abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, Imam al-Ghazali, Ibn Arabi, Jalal al-Din Rumi,
Samnun al-Muhibb, Zhunnun al-Mashri, Al-Sirr al-Saqathi, Farid al-Din al-Atthar, Ibn al-Faridh dan
lain-lain menempuh dan mengarungi jalan itu.

Husein Manshur al-Hallaj, sufi martir yg legendaris,(w. 922 M), menyenandungkan tema cinta ini
dalam puisinya yg terkenal :
Aku adalah Dia yang kucinta dan
Dia yang kucinta adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.

Jika kau lihat aku, kau lihat Dia,


dan jika kau lihat Dia, kau lihat aku

Ibnu Arabi mengatakan:







Sesungguhnya cinta tulus antarmanusia adalah awal perjalanan menuju pengenalan kepada Tuhan,
memasuki pengalaman mencintai-Nya dan limpahan anugerah dan kemurahan-Nya. Wallahu Alam.

Para sufi Islam memperkenalkan cara pandang ini dalam karya-karya sastra filsafat mereka. Cinta
Ketuhanan ini telah muncul sejak zaman Platon kemudian dikukuhkan kembali oleh mazhab Plotinus
yang disebut Neoplatonisme. Itulah sebabnya mengapa kisah cinta Layla-Majnun yang pada awalnya
dikenal sebagai cinta romantik, di tangan para sufi falsafi kemudian dikenal dengan sebutan Cinta
Platonis.

Wallahu Alam.
( HUSEIN MUHAMMAD)
(Diambil dari buku Memilih Jomblo)

Anda mungkin juga menyukai