Anda di halaman 1dari 337

KAJIAN KUALITAS HADIS-HADIS

KITAB BIDÂYAT AL-HIDÂYAH KARYA AL-GHAZÂLÎ

Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam

Oleh :

A L I S A T I
NIM. 97.3.00.1.09.01.0037

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M./1429 H.
KAJIAN KUALITAS HADIS-HADIS
KITAB BIDÂYAT AL-HIDÂYAH KARYA AL-GHAZÂLÎ

Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam

Oleh :

A L I S A T I
NIM. 97.3.00.1.09.01.0037

PROMOTOR:

Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A.

Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A.

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
2007
JAKARTA
M./1428 H.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

SURAT PERNYATAAN
N a m a : Drs. Ali Sati, M.Ag

N I M : 97.3.00.1.09.01.0037

Tempat/ Tgl. Lahir : Janjimanaon, 26 September 1962

Pekerjaan : Dosen Hadis pada Fakultas Ushuluddin


IAIN Imam Bonjol

Padang Sumatera Barat

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi


yang berjudul: “KAJIAN

KUALITAS HADIS-HADIS KITAB BIDÂYAT AL-


HIDÂYAH KARYA AL-
Jakarta, 28 Januari 2008
GHAZÂLΔ adalah benar merupakan karya asli saya
sendiri, kecuali kutipan yang
Drs. Ali Sati, M.Ag
dikemukakan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan
dan kekeliruan di dalamnya,
PERSETUJUAN I

Setelah membaca dan memberi saran-saran terhadap disertasi saudara Ali Sati,
NIM 97.3.00.1.09.01.0037 dengan judul: “KAJIAN KUALITAS HADIS-HADIS
maka kami menyetujui disertasi tersebut diajukan ke
KITAB BIDÂYAT AL-HIDÂYAH KARYA AL-GHAZÂLΔ,

sidang tertutup untuk memenuhi


salah satu syarat memperoleh gelar doktor dalam
ilmu agama Islam pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

PROMOTOR

PROF. DR. RIF’AT SYAUQI NAWAWI, MA DR. AHMAD


LUTFI F., MA
Tanggal : Tanggal :
PERSETUJUAN III

BIDÂYAT AL-HIDÂYAH KARYA AL-GHAZÂLΔ


Disertasi yang berjudul: “KAJIAN KUALITAS HADIS-HADIS KITAB
yang ditulis oleh Sdra. Ali Sati,
NIM 97.3.00.1.09.01.0037 telah disidangkan pada
ujian disertasi promosi Doktor
pada hari Jum‘at, 7 Maret 2008, pukul 10.00 WIB,
dan telah diperbaiki sesuai dengan
permintaan tim penguji.

PROMOTOR

PROF. DR. RIF‘AT SYAUQI NAWAWI, MA DR. AHMAD


LUTFI F., MA
Tanggal: Tanggal:
TRANSLITERASI

A. Pedoman Penulisan Arab Latin

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin


a ‘
b gh
t f
ts q
j k
h l
kh m
d n
dz w
r h
z `
s y
sy
sh
dh
th
zh

B. Vokal dan Madd

Arab Latin Contoh

â = qâla ...... ....


î = qîla
û = yaqûlu vi
C. Catatan:
Vokal diftong ( ) = au (misalnya = qaul)
Vokal diftong ( ) = ai (misalnya = nail)
Huruf bertasydîd (
) ditulis dengan huruf ganda (misalnya = al-haqq)
Huruf , baik qamarîyah maupun syamsîyah ditulis sesuai dengan huruf yang
tertulis, yaitu al, misalnya = al-faqîr dan = al-Syâfi’î. Kata Allâh ( )
bila terletak sesudah kata ‘Abd ( ) ditulis secara langsung, yaitu ‘Abdullâh.

Tâ` marbûtah ( ) bila terletak di akhir kalimat ditulis h, misalnya ( )


ditulis bâb al-shalâh dan bila terletak di tengah kalimat ditulis: t, misalnya (
) ditulis: zakât al-tijârah.

D. Singkatan-singkatan:
cet. : cetakan cf. : confer (bandingkan dengan)
h. : halaman H. : Hijrîyah
M. : Masehi/ Milâdîyah r.a. : radhiyallahu ‘anhu
Swt. : Subhânahu wa ta’âlâ Saw. : Shallâlahu ‘alaihi wa sallam
t.t. : tanpa tahun t.p. : tanpa penerbit
Terj. : terjemahan T.tp : tanpa tempat penerbit

vii
ABSTRAK

Sesungguhnya kajian tentang sunnah nabi tidak terlepas dari penelitian atas
sanad dan para perawinya. Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui ke-‘adalah- an
dan ke-dhabith-an mereka, sehingga hadis yang mereka riwayatkan dapat
diterima (sebagai hujjah).
Sebagaimana diketahui bahwa kodivikasi sunnah berbeda sekali dengan
penulisan al-Qur’ân al-Karîm. Hal itu ditandai dengan bahwa penulisan al-Qur’ân
al-Karîm telah dimulai dalam bentuk mushhaf semenjak masa risâlah. Sementara
hadis belum dikodivikasi sama sekali hingga pada abad ke-2 H. Hal itu terjadi
karena Nabi sendiri melarang penulisannya, karena dikhawatirkan akan terjadi
percampuran antara al-Qurân dengan al-Hadîts. Setelah itu, baru kemudian ada
izin Nabi untuk itu. Masing-masing larangan dan izin, keduanya bedasarkan hadis
yang layak untuk dijadikan sebagai hujjah (shahih).
Munculnya pemalsuan hadis dalam dunia Islam
Ketika ‘Utsmân ibn ‘Affân r.a. berkuasa terjadilah fitnah pada masanya.
Pembohongan terhadap Rasulullah Saw. pun semakin berkembang dan api fitnah
makin menyala yang ditiup oleh pengikut Abdullah ibn Sabâ’ al-Yahûdî. Orang-
orang pun menghujat ‘Utsmân ibn ‘Affân yang berujung pada pembunuhannya
secara dzâlim. Kemudian tampuk ke-khalifah-an berada pada kekuasaan ‘Alî ibn
Abî Thâlib karrama Allâh wajhah. Pertentangan terjadi pula antaranya dengan
Mu‘âwiyah yang berujung pada peperangan (di) Shiffîn. Sebagai akibatnya
muncullah sekte-sekte, seperti Khawârîj, Syi‘ah dan Mayoritas. Di samping itu,
muncul pula pemalsuan terhadap Rasulullah Saw., sehingga para ulama
menetapkannya sebagai awal munculnya pemalsuan hadis, yaitu 41 H.
Pembatasan ini hanyalah awal muncul dan penyebarannya. Namun, jauh
sebelumnya, yaitu pada masa risâlah pemalsuan tersebut sudah ada. Hal ini
ditandai dengan sabda Nabi Saw. "Siapa yang sengaja berdusta atas namaku,
seyogianya dia bersiap-siap menempati neraka". Kelihatannya Nabi Saw.
mengatakannya adalah karena peristiwa yang sudah ada sebelumnya. Sebagaian
ulama juga berpendapat seperti itu. Allah Swt. sendiri tidak membiarkan hadis
Nabi-Nya dilumuri oleh pemalsuan sebagaimana keinginan para pendusta.
Bahkan Dia ciptakan orang-orang yang memelihara dan membelanya. Sungguh
para tokoh hadis telah meredam gerakan-gerakan pemalsu hadis melalui
ketentuan-ketentuan yang mereka ikuti. Mereka lalu menekuni sanad hadis dan
perawinya. Selain itu, mereka mengkritisi pribadi, kehidupan dan biografi serta
hal lainnya yang terkait dengan para perawi. Untuk itu, mereka menetapkan
dan nama-nama
beberapa pemalsu
ketentuan dalamhadis. Sebagian
rangka membedakanmerekakelayakan
juga menyusun kitab yang
hadis sebagai hujjah.
memuat orang-orang
Bahkan mereka tsiqah,beberapa
menyusun seperti al-‘Ijlî dan Ibn
kitab yang Hibbân. Sebagian
menjelaskan lagi khusus
kriteria hadis maqbûl
memuat orang-orang yang dipandang dha‘îf, misalnya al- ‘Uqailî, al-Nasâ’î dan
Ibn Hibbân. Selain itu, ada juga yang menyusun kitab yang membahas tentang al-
Jarh wa al-Ta ‘dîl, seperti Ibn Abî Hâtim al-Râzî dan sebagainya.
viii
Berdasarkan hal di atas tulisan ini dibuat dengan kajian hadis-hadis Bidâyat
al-Hidâyah dengan bantuan kitab-kitab tersebut di atas. Karena sebagian hadis
yang termuat dalam kitab Bidâyah tersebut belum di-takhrîj dan dijelaskan
kelayakannya. Tentunya dengan mengharap, kiranya Allah Swt. berkenan
memberi taufiq-Nya dalam penulisan karya ini, âmîn !!!

ix
,
. ,
,
,

,
,
, ,
,
. , ,

,
"
"

,
.

, ,
, , ,
– – ,
xii
xi .
,
.
!!! , .

xii
xii
xiii
xii
KATA PENGANTAR

Sebagai ungkapan rasa syukur, al-hamdulillah penulis panjatkan ke


hadhrat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis,
khususnya berupa kekuatan dan kesempatan untuk menyelesaikan disertasi ini.
Salawat dan salam penulis tujukan kepada Baginda Rasulullah Muhammad Saw.,
yang telah meninggalkan al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman dalam
menghadapi berbagai persoalan dalam hidup dan kehidupan di dunia ini, demikian
pula kaum keluarga dan para sahabat setianya yang telah banyak berjasa dalam
menjelaskan kedua sumber pedoman hidup tersebut.

Penelitian dan penulisan disertasi ini sudah berlangsung sejak penghujung


tahun 2000, akan tetapi disebabkan oleh berbagai kendala, baik aspek finansial
maupun komunal, baru sekarang penulis bisa rampungkan. Selama perjalanan
penulisan disertasi ini penulis mengalami pergantian promotor. Pertama kali
promotor yang ditunjuk sebagai pembimbing penulis adalah Bapak Prof. DR. H.
Said Agil Husein al-Munawwar, MA bersama Prof. DR. Rif’at Syauqi Nawawi,
MA. Karena promotor yang disebut pertama sulit ditemui, maka untuk
pembimbing selanjutnya digantikan oleh Bapak DR. Ahmad Luthfi Fathullah,
MA. Pergantian obyek kajian disertasi ini juga terjadi dari Substansi Hadis-Hadis
Pembebasan Budak dalam kitab Muwaththa’ Imam Malik dan Implikasinya
terhadap Tenaga Kerja Indonesia menjadi Kajian Kualitas Sanad Hadis-Hadis

Bidâyat al-Hidâyah karya al-Ghazâlî.


Penulis menyadari betul, bahwa proses penyelesaian disertasi ini penulis
telah melibatkan banyak pihak, sekaligus mendapatkan sumbangan dari mereka,
baik bersifat materi maupun fikiran, fasilitas, motivasi dan lain sebagainya yang
rasanya sulit diungkapkan satu persatu. Tanpa mengurangi arti penghargaan dan
terima kasih kepada semua pihak, berikut ini secara khusus penulis
menyampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. DR. Rif’at Syauqi Nawawi, MA, yang telah banyak memberikan
kritikan dan arahan berharga kepada penulis. Salah satu pesan beliau kepada
penulis adalah agar draft disertasi yang akan diserahkan kepada promotor itu
yang maksimal, sebagaimana beliau kutip dari pesan Sutrisno Hadi. Demikian
pula keluarga yang ikut memperlancar konsultasi penulis dengan beliau.

2. Bapak DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA, yang selalu memperlihatkan wajah
senang dan ceria setiap kali memberi bimbingan dengan kemampuan
intelektualitasnya, khususnya di bidang hadis telah ikut berpartisipasi dalam
penyelesaian disertasi ini. Tak ketinggalan kepada keluarga beliau yang telah
ikut memberi kemudahan untuk kelancaran urusan berkonsultasi.

3. Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana dan Rektor Universitas Islam Negeri


Syarif Hidayatullah yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana (S.3) dengan berbagai
fasilitasnya.

4. Bapak Rektor dan Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri
Imam Bonjol Padang yang telah memberi izin kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana (S.3) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta berbagai fasilitas dan dorongan untuk
penyelesaian studi ini.

5. Ayah dan Bunda H. Martua Rangkuty (alm.) dan Hj. Fathimah Sam Siregar
(almh.) yang telah memberikan perhatian dan dukungan yang besar kepada
penulis untuk melanjutkan studi ini.

6. Isteri tercinta Ernida Siregar yang selalu siap dan tabah serta tegar dalam
menjalankan bahtera rumah tangga di kala penulis tidak mendampinginya.
Demikian juga anak-anak tersayang, Fikri Ali Tua Rangkuty (15 tahun), Rifka
Fadma Rangkuty (14 tahun), Amirul Alawi Martua Rangkuty (12 tahun),
Nu’aim Marsudin Rangkuty (11 tahun), Ahmad Alfen Rangkuty (7 tahun) dan
Yusran Nazra (3,5 tahun) yang masih membutuhkan kasih sayang dan
perhatian, namun penulis harus tinggal-tingalkan dalam rangka penyelesaian
studi ini.
Penulis juga menyadari, bahwa meskipun disertasi ini merupakan hasil
kerja keras dan upaya maksimal, namun sebagai out put insani sudah barang tentu
di sana sini masih bisa ditemukan sisi-sisi kelemahan dan keterbatasan yang
sekaligus membuka peluang untuk dikritik dan direkonstruksi oleh para pembaca
yang budiman, terutama mereka yang menekuni bidang hadis dan ilmunya.
Terlepas dari semua itu, minimal lewat disertasi ini penulis dapat mengungkapkan
dan menyumbangkan sejumlah informasi buat para pembaca, berhubung masalah
yang sama belum pernah diteliti secara khusus sebelumnya.

Akhirnya kepada Allah jua penulis berserah diri dan menggantungkan


harapan, kiranya usaha penulis dan peran serta semua pihak, yang penulis tidak
ungkapkan lagi satu persatu dalam merampungkan disertasi ini bernilai ibadah di
sisi-Nya dengan mendapat pahala dan ganjaran yang berlipat ganda dari-Nya,
âmîn!

Wa ’ ilallâh turja‘ al-’umûr

Ciputat, April 2008


Rabî‘ Awwâl 1429
Penulis,

Drs. Ali Sati, M.Ag


DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ........................................................................ i


PERSETUJUAN PROMOTOR ............................................................. ii
TRANSLITERASI .................................................................................. vi
A B S T R A K ......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. xiii
DAFTAR ISI ........................................................................................... xv

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah .............................. 5
C. Definisi Operasional ....................................................... 5
RIJÂL- D. Tinjauan Kepustakaan .................................................... 11
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................... 12
NYA ......................................................................
F. Metodologi Penelitian...................................................... 14
G. Sistematika Pembahasan ................................................. 18
.. 49
A. Hadis-hadis Bidâyat al-Hidâyah, Rijâl
Sanad,
BAB II : TAKHRÎJ DAN METODE KE-SHAHIH-AN SERTA KRITERIA
PENILAIAN HADIS-HADIS BIDAYÂT AL-HIDÂYAH 20 dan
A. Pengenalan Takhrîj .......................................................... 20
Penilaiannya
B. Kriteria Ke-shahih-an .......................................................
Hadis............................................ 23
...... 49
C. Pemikiran dan Karya al-Ghazâlî...................................... 35
D. Al-Ghazâlî dan Bidâyat al-Hidâyah ................................ 43
B. Hadis-Hadis Tentang al-
Thâ‘âh .....................................
BAB III : HADIS-HADIS BIDÂYAT AL-HIDÂYAH DAN PENILAIAN84
C. Hadis-Hadis Tentang Ijtinâb al-Ma
‘âshî ..............................199
BAB IV : AL-QAUL FI AL- MA‘ÂSH AL-QALB SERTA EVALUASI...244
A. Hadis-Hadis Tentang al-Qaul Fî Ma ‘ âsh al-Qalb................ 244
B. Hadis-Hadis Tentang al-Qaul Fî Âdâb al-Shahâbah....... 259
C. Evaluasi Sanad Hadis Bidâyat al-Hidâyah...................... 268

BAB V : P E N U T U P ..................................................................... 272


A. Kesimpulan ...................................................................... 272
B. Saran-saran ...................................................................... 273

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN A INDEKS HADIS BERDASARKAN ABJAD
LAMPIRAN B INDEKS HADIS BERDASARKAN KUALITAS
DAFTAR ISTILAH
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Ghazâlî tidak diragukan lagi bahwa dia merupakan sosok


intelektual yang mencemaskan perkembangan filsafat. Alasannya, bahwa
walaupun filosof muslim beranggapan bahwa wahyu tetap lebih tinggi dan
kedatangannya merupakan keniscayaan bagi pengabdian manusia terhadap
Allah sebagai sang Khâliq, namun mayoritas umat Islam beranggapan bahwa
posisi akal seperti itu tetap tidak proporsional. Dengan dmikian wahyu tetap
menduduki posisi jauh di atas akal. Betapa tidak, banyak di antara petunjuk
hidup itu sendiri yang belum dapat dicerna oleh akal, seperti halnya dengan al-
Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 185; bahwa al-Qur’an itu berfungsi sekaligus
sebagai penjelas terhadap petunjuk tersebut (ayat sebelumnya dijelaskan oleh
ayat yang datang kemudian).1

Apabila dilihat dari aspek pemahaman filsafat, sebagaimana


kesungguhan akal, tashawwuf juga merupakan individualistik. Sebab, di
dalam tashawwuf, kesungguhan spiritual cukup berperan aktif dalam mencari
kebenaran. Para shûfî biasa mengistilahkan latihan spiritual dengan al-
riyâdhah dan mujâhadah umpamanya. Maqâm selanjutnya adalah mukâsyafah

dan musyâhadah.2
Sebagai sosok hasil tempaan ulama yang terlahir di Thûs, Khurâsân
tahun 405 H/ 1058 M., al-Ghazâlî telah melalui beberapa tahapan pemikiran
semenjak dari filsafat, Ilmu Kalam, dan akhirnya dia memberi pengakuan
tentang keraguannya, bahwa tashawwuf- lah satu-satunya pengembaraan
intelektualnya yang terakhir. Artinya, bahwa pengetahuan yang lebih tinggi
kebenarannya adalah yang bersumber dari intuisi (al-zawq)3

1 Hal ini sesuai dengan urutan sumber Hukum Islam yang selalu dan merujuk kepada al-
Qur’an surat al-Nisâ’ (4): 59. Lihat juga al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 185.
Nasution,
3 SumberManusia Menurut
pengetahun al-Ghazâlî,
2 tertinggi
Al-Ghazâlî,
dia sebut(Jakarta:
al-Imlâ’
juga Rajawali
fî dengan
Ishâlat al-Ihyâ Press,
al-nubuwwât. 20
’ , (Dâr 1988),
al-Fikr,h.1980),
Lihat M. 34-35.
Yasirh. 9.
Adalah salah satu karya tulis Al-Ghazâlî di bidang pendidikan
tashawwuf yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh syekh
‘Abd al-Shamad Falembânî, yaitu Hidâyat al-Sâlikîn fî Sulûk Maslak al-
Muttaqîn,terbitan Syirkah Maktabah al-Madanîyah, Indonesia dengan tanpa
tahun. Sementara judul aslinya adalah Bidâyat al-Hidâyah. Kitab ini terdiri
dari Pendahuluan (Muqaddimah) yang berisikan tentang keutamaan (fadhîlah)
ilmu yang manfa’at dan keutamaan mencari ilmu yang manfa’at tersebut.
Setelah pendahuluan, dia melanjutkan pembahasan dengan tujuh bab
pembahasan yang disudahi dengan penutup (khathîmah). Umumnya setiap
penjelasan bab demi bab yang berisikan pasal-pasal sebagai isi dari penjelasan
tersebut diiringi dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadîs sebagai penguat.

Khusus mengenai hadis-hadis yang termuat di dalam kitab Bidâyat al-


Hidâyah tersebut ada sebanyak enam puluh tiga hadis, dikemukakan tanpa
dilengkapi dengan sanad dan sumber yang jelas. Di sisi lain, ada anggapan
bahwa hadis yang ditulis belakangan tanpa sanad yang jelas, diragukan
kelayakannya. Sebab, hadis sangat berbeda dengan al-Qur'an. Hadis yang
muncul tidak semua shahih. Selain shahih, ada hasan, dha‘îf, bahkan

maudhû‘. Seandainyalah Rasulullah Muhammad Saw. masih hidup saat ini,


klarifikasi kualitas suatu hadis dapat diselesaikan dengan mudah. Sementara
untuk mengetahui kualitas suatu hadis membutuhkan kajian yang cukup
cermat dan selektif. Disamping juga mengharuskan ketelitian untuk itu. Dalam
pada itu, sunnah masa hidup Nabi Muhammad Saw. yang dikenal dengan
masa kerasulan (risâlah), sampai dengan pengumpulan dan penulisan hadis
dalam suatu kitab menghabiskan rentangan waktu yang cukup panjang.4
Seiring dengan perubahan situasi, berbagai istilah hadis juga bermunculan.
Sehingga untuk mengetahui istilah-istilah tersebut akan dapat diketahui
setelah mempelajari râwî, sanad dan matan. Selain mengetahui hal-hal
tersebut, untuk kajian hadis perlu juga mengetahui ilmu yang khusus

‘Azîz (w.101 H). Lihat Shubhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthalâhuh, (Dâr al-‘Ilm Li al-
Malâyin,4Beirut, 1959),
Kodifikasi h. dimulai
hadis 44. 21 ‘Umar bin ‘Abd al-
secara resmi pada masa awal pemerintahan
mempelajari riwayat hidup atau biografi para penyampai (agent) yang layak
diterima sebagai sandaran penuturan dalam hadis. 5

Adanya penelitian suatu hadis, baik dari aspek sanad maupun aspek
matan-nya merupakan langkah penting untuk mengetahui ke-orosinil-an hadis
itu sendiri. Penelitian yang dihasilkan pada aspek sanad akan melahirkan
berbagai klasifikasi ekstrim, seperti hadis shahîh, hasan dan dla’îf.6 Berbeda
dengan penelitian pada aspek matan, yang melahirkan klasifikasi muqallab,7

muththaraf dan sebagainya.


Ilmu hadis yang berkembang sedemikian cepat, baik dalam bentuk
mushthalâh al-hadîts maupun ilmu hadis lainnya yang terkait dengan sejarah
para periwayat hadis, ilmu sejarah (târîkh) itu sendiri misalnya, tidak hanya
sebatas riwayat hidup yang terkait langsung dengan para sahabat, namun juga
orang-orang yang mengiringinya dari orang yang terkait dengan periwayatan.
Secara khusus dapat dikemukakan berbagai kitab yang membicarakan sejarah
hidup para sahabat, seperti halnya Ibn ‘Abd al-Barr (w. 403 H), kitab al-
Isti‘âb. Selain kitab tersebut juga kitab karya Ibn al-Atsîr (w. 606 H), Ushûd
al-Ghâbah. Kemudian kitab karya tulis Ibn Hajar al-Asqalânî (w. 852 H), al-
Ishâbah fî Tamyîz al- Shahâbah.

Untuk menguji orisinalitas eksistensi hadis-hadis yang bekembang


belakangan, maka karya tulis ahli hadis di atas dirasakan benar sebagai suatu
khazanah ilmu pengetahuan yang efektif dan signifikan. Betapa tidak, ilmu-
ilmu tersebut telah pernah digunakan dalam menilai dan menguji hadis yang
termuat dalam berbagai kitab yang ditulis kemudian. Dari penelitian yang
dilakukan oleh para ahli hadis modern telah cukup membuktikan bahwa dari
aspek kualitas hadis, dua kitab Shahîh al-Bukhârî dan Muslim (shahîhayn)

5 Ah mad Husnan, Kajian Hadis Metode Takhrîj, (Jakarta: al-Kautsar, 1993), h. 15.
6 Pada mulanya klasifikasi ini hanyalah shahîh dan dha’îf. Kemudian Al-Turmudzî
seharusnya kemudian (taqdîm al-mu’akhkhar)
menambahnya atau mengakhirkan
dengan klasifikasi hasan. yang seharusnya didahulukan
(ta’khîr al-muqaddam). Artinya, bahwa ada pemutarbalikan pada teks (matan) hadis. Maqlûb bisa
7 Muqallab atau maqlûb, yaitu hadis yang terjadi padanya mendahulukan yang
juga terjadi pada pada sanad. Lihat Mahmûd al-Thahhân, Taysîr Musthalah al-Hadîts, (Beirût:
Dâr al-Qur`ân al-Karîm, 1981), h. 345. Selanjutnya disebut al-Thahhân.22
menduduki peringkat teratas dari kitab lainnya yang memuat hadis. Hal ini
didasari atas pemikiran mengenai syarat-syarat hadis shahîh menurut Imam
Bukhârî. 8

Melihat kepada kitab Bidâyat al-Hidâyah karya tulis al-Ghazâlî


sebagai sentra fokus kajian tulisan ini wajar kalau muncul pertanyaan
bagaimana kesahihan hadis-hadis yang termuat di dalamnya. Sebab
sistematika yang dipakai dalam pemuatan hadis pada setiap pembahasan bab
maupun pasal demi pasal tidak satu pun hadis yang dilengkapi dengan
sanadnya. Sementara ada anggapan bahwa hadis yang ditulis belakangan dan
tanpa dilengkapi dengan sanad adalah palsu. Hadis yang tidak dilengkapi
dengan sanad yang jelas, perlu dikaji untuk mengetahui sumber asli dan
kualitas sanadnya. Sebab itu, untuk mengkaji sanad-sanad hadis Bidâyat al-
Hidâyah sangat perlu untuk menentukan pedoman dan praktek masyarakat
sebagai landasannya.

Dengan memperhatikan uraian di atas, kelihatannya perlu pengkajian


khusus terhadap kualitas hadis-hadis yang termuat dalam kitab Bidâyat al-
Hidâyah karya tulis al-Ghazâlî tersebut, untuk mengetahui seberapa jauh
tingkat kesahihannya. Penelitian terasa semakin penting mengingat bahwa
kitab tersebut dimaksudkan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang ingin
mendekatkan diri kepada Allah, dan kehebatan al-Ghazâlî yang tidak
diragukan lagi oleh para tokoh, baik yang terdahulu (mutaqaddimîn) maupun
yang datang kemudian (muta`akhkhirîn). Hal ini dibuktikan dengan komentar
yang pernah diberikan oleh Tâj al-Dîn al-Subkî, misalnya. Dalam buku karya

dipergunakan untuk menetapkan kesahihan hadis secara rinci dan tegas, namun berdasarkan
penelitian dan pengkajian terhadap kitabnya, para ulama berkesimpulan bahwa Imam Bukhârî
selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat
8 Walaupun Imam Bukhârî tidak mengemukakan syarat-syarat tertentu yang
tersebut kecuali dalam beberapa hadis yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab,
seperti hadis mutâbi’ (dimana perawinya sepakat atau sesuai dengan perawi lain dalam
meriwayatkan lafaz hadis dan syâhid (hadis yang sesuai dengan makna hadis yang lain). Khusus
tentang hadis mu’ an’an (suatu periwayatan hadis dengan memakai kata “’an fulân” (dari si fulan),
Imam Bukhârî memandang muttashil periwayatan seperti ini apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Perawi harus hidup semasa (al-mu’âsharah) dengan perawi yang diriwayatkan hadisnya, 2.
Kedua orang tersebut harus dapat dibuktikan pernah saling berjumpa (al-laqy). Berbeda tipis
dengan Muslim dalam mu’ an’an ini yang hanya mensyaratkan hidup semasa, tidak mensayaratkan
kedua orang itu pernah berjumpa satu dengan yang lain. Lihat Muhammad Muhammad Abu
Syuhbah, Kitab Hadis Sahih yang Enam, Terj. Drs. Maulana Hasanudin, Litera Antar Nusa,
Jakarta, h. 52-54. 23
tulisnya, Thabaqât al-Syâfi ‘iyah, al-Subkî memberi julukan kehormatan
kepada al-Ghazâlî sebagai pemberi hujjah tentang agama (hujjat al-Islâm)
yang mencapai posisi tempat tinggal yang damai sejahtera (dâr al-salâm).9

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Berdasarkan judul dari karya tulis ini dan pemikiran di atas, maka yang
akan dikaji dalam tulisan ini terfokus pada kualitas hadis-hadis yang termuat
dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah karya al-Ghazâlî. Untuk mengkajinya akan
diteliti melalui sanad yang akan ditelusuri ke berbagai kitab sumber hadis.
Pembatasan ini dilandasi oleh kerangka berpikir, bahwa kitab Bidâyat al-
Hidâyah merupakan kitab yang membicarakan persoalan pendidikan

tashawwuf yang telah banyak dipakai di berbagai lembaga pendidikan, seperti


pesanteren-pesanteren walaupun hanya bersifat pelajaran tambahan (ekstra).

Kemudian kitab Bidâyat al-Hidâyah juga dimaksudkan sebagai sarana


dalam mendekatkan diri dengan sesungguhnya kepada Tuhan dalam mencari
kebenaran hakiki dengan menjadikan intuisi (al-zawq) sebagai sumbernya. Hal
ini ditandai oleh, bahwa kitab Bidâyat al-Hidâyah (Permulaan Pertunjuk)
merupakan karya tulis al-Ghazâlî sebagai sarana dalam membentuk
kepribadian seseorang agar lebih dekat dengan Tuhan sebagai Khâliq- nya.

Memperhatikan kenyataan tersebut, maka menurut penulis yang akan


menjadi obyek kajian dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana kualitas hadis-hadis yang termuat dalam kitab Bidâyat Hidâyah

karya al-Ghazâlî dan kelayakannya sebagai dalil hukum, khususnya


menyangkut hadis-hadis sesuai dengan topik kajiannya.

2. Kalau ternyata ada hadis dha‘îf, lalu apakah ada hadis lain yang dapat
mendukung kelemahannya (mutâbi‘ dan syâhid) dalam kitab lain.
3. Tidak kalah pentingnya adalah untuk mengetahui sejauh mana anggapan
yang mengatakan bahwa hadis-hadis yang tidak dilengkapi dengan sanad
patut diduga palsu.

C. Definisi
9 Tâj al-Dîn al-Subkî, Operasional
Thabaqât al-Syâfî‘iyah 24
al-Kubrâ, (Mesir: Mushthafâ al-Bâbi al-
Untuk menghindari kesalah-pahaman terhadap judul disertasi ini, maka
dirasa perlu memberi pengetian kata atau istilah-istilah yang digunakan.Di
antara istilah tersebut adalah: Kajian Kualitas Hadis. Maksudnya adalah
penelitian terhadap para perawi yang mengemukakan hadis sebagai sanad
dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah atau yang dikenal dengan istilah takhrîj, yaitu
mencari di mana tempat-tempat sebagai sumber aslinya dan mengeluarkan
hadis lengkap dengan sanad-nya serta menjelaskan martabat kualitasnya.10

Kemudian hadis. Al-Zawî misalnya, seorang ahli hadis pernah


mengemukakan bahwa hadis memiliki arti “sesuatu yang baru” atau “berita” .
Seseorang yang baru masuk Islam (mu'allaf), umpamanya dapat juga
dikatakan sebagai hadîts ahl al-Islâm. Atau orang yang masih berusia muda,
dapat juga dikatakan rajul hadîts al-sinn.11

Hadis dalam arti berita dapat dilihat pemakaiannya dalam al-Qur ’an.
Misalnya surat al-Kahfi (Gua) 18 :

...

Hadis juga merupakan makna sinonim dari kata khabar atau berita
dalam arti umum (‘âmm). Pada masa-masa awal pertumbuhannya hadis tidak
hanya berarti berita atau keterangan yang berasal dari Rasulullah saja, tetapi ia
juga berarti berita lain termasuk al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dalam
perkataan ‘Abdullâh bin Mas‘ûd:

“Hadis (berita atau keterangan) terbaik adalah Kitab Allah. Sedangkan


petunjuk terbaik adalah petunjuk (Nabi) Muhammad”.

1 0 Mahmûd al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd, (Riyâdh: Maktabah al-


Ma‘rifah, 1991), h. 8.
1121M.
Al-Zawî, Selanjutnya
‘Ajjaj al-Khathîb,
Tartîb al-Qâmusdisebut
al-Sunnah al-Khathîb.
al-Muhîth,
Qablavol.
al-Tadwîn,
I, (Beirût:(Beirût: Dâr25
Dâr al-Fikr,al-Fikr,
t.th.), h.1971),
600. h. 21.
Pada masa perkembangannya, hadis mengalami pengerucutan makna
dari yang bersifat umum, sehinga kalau dikatakan hadis, maka tujuan yang
dimaksud adalah apa yang di-nisbah-kan kepada tindak-tanduk Rasulullah,
termasuk diamnya sama sekali (taqrîr, tanpa reaksi apa-apa). Pengerucutan
makna ini terlihat jelas dari batasan-batasan yang diberikan oleh para ahli
hadis itu sendiri maupun ahli hukum (fikih).

Dalam membatasi pengertian hadis misalnya, para ahli memiliki


pandangan yang berbeda dari yang lain. Perbedaan ini erat kaitannya dengan
kecendrungan mereka dalam pendekatan hadis tersebut. Para ahli hadis
umpamanya, memandang hadis sebagai halnya hadis dalam pengertian yang
masih umum. Artinya, mereka melihatnya sebagai apa saja yang terkait
dengan Rasulullah, mereka namakan sebagai hadis. Bahkan di antara mereka
ada yang lebih memperluasnya lagi dengan tindak-tanduk Muhammad priode
sebelum masa ke-Rasulan ( qabla ‘ashr al-risâlah).

Umumnya ahli hadis memandang tidak sama antara hadis dengan


sunnah. Namun seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa hadis memiliki
persamaan arti dengan khabar. Kendati demikian, sesuai dengan pemakaian
kebanyakan, ada juga yang membedakan keduanya. Mereka membuat
perbedaan sumbernya. Dimana hadis bersumber dari Rasulullah Saw,
sementara khabar muncul dari selain Nabi. Itulah barangkali yang
menyebabkan, sehingga orang-orang yang berkutat dengan sunnah digelari
dengan muhadditsûn, sementara mereka yang berkutat dengan khabar disebut
dengan akhbâriyyûn, sejarahwan.13

Selain ketiga istilah hadis, sunnah dan khabar, masih ditemukan juga
istilah lain yang dianggap identik dengan ketiga istilah tersebut, yaitu atsar.
Apabila suatu berita, baik yang bersumber langsung dari Nabi (marfû‘),
maupun berita yang bersumber dari sahabat (mauqûf), para ahli
menamakannya sebagai atsar. Namun para ahli fikih yang berasal dari daerah

Kutub
1 3 Jalâluddin ‘Abd al-Islâmîyah,
al-Rahmân ibn Abî1979), h. 6. Selanjutnya
Bakr al-Suyûthî, 26 , al-Suyûthî.
disebut
Tadrîb al-Râwî (Beirût: Dâr al-
Khurasân, mereka hanya menamakan berita yang berasal dari Nabi (marfû‘),
mereka menamakannya dengan khabar atau hadis dan sunnah.14

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada masa-masa


perkembangannya, hadis mengalami penyempitan ruang lingkup
pengertiannya. Para ahli fikih, misalnya memandang hadis hanya terbatas pada
ucapan, perbuatan dan diamnya (taqrîr, tanpa rekasi apa-apa) Rasulullah Saw.
yang hanya terkait dengan persoalan hukum. Sebab itu, melihat kepada materi
dan hakikat perbuatan, mereka membagi sunnah kepada tiga macam. Pertama,

sunnah yang bersifat ucapan (qauliyah) yang merupakan sunnah terbanyak.


Misalnya ketika Nabi Saw. menjelaskan tentang awal dan akhir pelaksanaan
puasa Ramadhân:

.... ...
Selain contoh tersebut, masih banyak lagi contoh hadis qaulîyah lain,
seperti orang yang lupa melaksanakan salat karena lupa atau ketiduran.16

Kedua, sunnah yang dicontohkan melalui tindakan atau perilakunya (fi‘lîyah,


perbuatan). Misalnya pelaksanaan salat yang dilakukan Nabi Saw. lewat
perkataannya:

.... ...

Ketiga, yaitu sunnah taqrîrîyyah. Artinya Rasulullah Saw. diam tanpa


bereaksi apa-apa ketika melihat atau mendengar perbuatan sahabat yang
belum ada ketentuan hukumnya. Misalnya ketika ada di antara para sahabat
yang melaksanakan tayammum, sebagai pengganti wudlu’ karena ketiadaan

1 4 Ahmad ‘Umar Hasyîm, Qawâ ’id Ushûl al-Hadîts, (t.p.: Dâr al-Fikr, t.th.), 24. Lihat
juga al-Suyûthî, Tadrîb …, h. 6.
1 5 H.R. Muslim dari ‘Abd al-Rahmân bin Salam al-Jumahî, dari al-Rabî’ (Ibn Muslim),
dari Muhammad (Ibn Ziyâd, dari Abî Hurairah r.a. Lihat Muslim, Shahîh, vol. II, h. 625.. Cf. al-
Bukhârî, Shahîh, vol. II, h. 229.
Abd al A’la, dari Sa’id,
1 6 Lafal dari
hadisnya Qatâdah,
diriwayatkan dari
1 7 H.R.
olehAnas bindari
al-Bukhârî,
Muslim Mâlik.
Shahîh, Lihat
Muhvol.
ammad
I, h. 155.27
Muslim,
bin Abî Shahîh, vol. dari
al-Mutsanna, I, h. 399.
air. Lalu kemudian mereka menemukan air setelah mereka selesai
melaksanakan shalat.18

Kelihatannya pendekatan tujuan masing-masing kelompok, baik dari


kalangan ahli ushûl maupun ahli hadîts menyebabkan mereka berbeda dalam
menggunakan istilah. Kelompok ahli ushûl misalnya, mereka lebih banyak
menggunakan istilah sunnah karena mereka cenderung membatasi hadis itu
sendiri sebagai sumber hukum. Hal ini terlihat jelas ketika berbicara tentang
pengertian hadis dan pembagiannya. Masing-masing contoh tidak terlepas dari
hadis sebagai sumber hukum. Sementara kelompok ahli hadis yang sering
menggunakan istilah hadis sendiri lebih cenderung mengkaitkan semua yang
berhubungan dengan Rasulullah Saw. termasuk perjalanan hidup (sirah) dan
prilaku Nabi sebagai uswah hasanah.19

Berbicara dalam persoalan hadis tidak bisa terlepas dari dua aspek
yang merupakan dari bahagian hadis itu sendiri, yaitu persoalan sanad dan
redaksi (matan, teks). Redaksi atau matan dimaksudkan sebagai teks hadis itu
sendiri. Sementara sanad hadis dimaksudkan sebagai rentetan orang-orang
yang menyampaikan redaksi (matan) hadis dari sumber awal, yaitu Rasulullah
Saw. (jika hadisnya marfû‘), dan sahabat (kalau hanya hadis mauqûf, hingga
perawi terakhir secara berjenjang. 20

Berkenaan dengan sanad hadis, selain marfû‘21 dan mauqûf22 masih


dikenal istilah lain, seperti istilah-istilah muttashil,23 mursal,24 munqathi’25

1 8 Di antara para sahabat ada yang mengulangi salat dan ada yang hanya mencukupkan
dengan tayammum saja. Mendengar kejadian seperti ini lalu Nabi tidak bereaksi apa-apa. Lihat
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, h. 105.
1 9 Al-Khathîb, Ushûl ..., h. 18.
2 0 Umumnya para perawi terakhir ini menyusun karya tulis mereka di bidang hadis,
seperti al-Shahîhain karya al-Bukhârî dan Muslim. Lihat al-Shâlih, Lamhat ..., h. 11-12.
2 1 Marfû’, artinya hadis yang sumber pertamanya Rasulullah Saw., sama ada sanad
muttashil maupun tidak. Lihat al-Qâsimiy, Qawâ ’ id ..., h. 104.. Cf. al-Nawâwî, al-Taqrîb,h. 7..
2 2 Dimaksudkan dengan mauqûf, yaitu hadis yang sumber pertamanya sahabat.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa para ulama Khurasân menamakan hadis mauqûf
dengan atsar, sementara hadis Marfû, mereka namakan khabar. Para ahli hadis, demikian
atsar.
menurutSebab itu, menurut
al-Nawâwî, mereka
seluruhnya hadis
tidak yang bersumber
membuat perbedaan dari
yangNabi
tajamsendiri
antara dapat
khabarsaja disebut
dengan
sebagai atsar.
semenjak2 dari Al-Nawâwî,
penyampai
3 Muttashil jugaterakhir
al-Taqrîb,
disebut hingga
h. 7.
dengan yang pertama,
mawshûl. apakah
Artinya 28
Nabitidak
hadis yang langsung (Marfû)
terputus sanad ataupun
mu’allaq,26 mudallas,27 mubham,28 dan majhûl, maqlûb, serta mudhâ‘ af dan
muththarrab.29 Suatu hadis akan dikatakan sanad bersambung apabila
periwayatan suatu berita dari sumber disebutkan dengan jelas (ma ‘lûm).
Ketentuan ini telah merupakan suatu persyaratan pokok atas kesahihan suatu
hadis. Apabila persyaratan ini tidak bisa terpenuhi, maka berita atau hadis

sahabat (mauqûf). Al-Nawâwî, al-Taqrîb, h. 7. Lihat juga al-Qâsimî, Qawâ ’id …, h. 104. Ahmad
Muhammad Syâkir, al-Bâ ’its al-Hatsîs, Muhammad ‘Alî Shubaih, Mesir, 1951, h. 45.
2 4 Suatu hadis dikâkan mursal apabila diriwayatkan oleh seorang tâbi‘in secara langsung
dari Nabi Saw. dengan tanpa menyebutkan sahabat sebagai tempat mereka mengambil hadis
tersebut. Para ahli telah sepakat buat mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan secara langsung
oleh tâbi‘in besar, seperti Ibn al-Musayyab dan ‘Ubaydullah ibn ‘Adî, dipandang mursal. Berbeda
halnya apabila hal yang sama dilakukan oleh tâbi‘in kecil. Artinya, ada di antara para ulama yang
mengatakan tetap mursal dan yang lain mengatakan munqati‘. Namun yang lebih populer di
kalangan ahli hadis adalah pendapat yang mengatakan bahwa sama ada yang meriwayatkan hadis
secara langsung mengatasnamakan Nabi Saw. Tâbi‘in besar maupun tâbi’in kecil tetap dipandang
mursal. Lihat al-Nawawî, Al-Taqrîb, h. 9. Juga Al-‘Allî, Jâmi‘ al-Tahshîl fî Ahkam al-Marâsil,
Waratsat al-Auqâf, Irâq, 1978, h. 14-28.
2 5 Dikatakan suatu hadis munqathi’, apabila sanad tidak bersambung dalam bentuk
apapun, sama ada di awal, di tengah maupun di akhir sanad. Sebab itu, maka berdasarkan batasan
ini baik mu’dhal maupun mu’allaq juga termasuk kategori mursal. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat Manla Hanâfi, Syarh al-Dibâj al-Muzahhab, Muh ammad ‘Alî Syubaih, Mesir, tt., h. 42.
Bahkan al-Syâfi’î di dalam kitab Al-Risâlah menyebutkan bahwa munqathi’ ada bermacam-
macam. Antara lain, hadis yang diriwayatkan oleh para tâbi’in yang pernah menyaksikan sahabat,
dari Nabi Saw. secara munqathi’. Munqathi’ di sini adalah sama dengan mursal. Sebab tâbi’in
yang meriwayatkan tersebut dari Nabi Saw. tanpa menyebutkan sahabat sebagai sumber berita.
Lihat al-Syâfi’î, al-Risâlah, h. 461.
2 6 Mu ‘allaq dimaksudkan sebagai hadis yang mana dalam sanad tidak disebutkan satu
orang atau lebih secara berturut di awal sanad.
2 7 Ada dua macam mudallas, isnâd dan syuyûkh. Mudallas isnâd bisa terjadi dengan dua
kemungkinan: 1. Hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dari orang yang semasa dengannya,
tetapi sebenarnya periwayat tersebut tidak mendengar hadis dari orang tersebut. 2. Hadis yang
diriwayatkan oleh seseorang dari orang lain yang semasa dengannya, namun keduanya tidak
pernah jumpa. Sedangkan mudallas syuyûkh, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat dengan cara menyifatkan gurunya dengan sifat yang baik-baik yang berbeda dengan
fakta sebenarnya dengan tujuan menutup sesuatu sifat tercela dari gurunya tersebut. Lihat Shibh
al-Shâlih , Mabâhits …, h. 170-178.
2 8 Pada prinsifnya, mubham tidak berbeda dengan majhûl. Sebab di dalam sanad hadis
ada orang-orang yang tidak jelas identitasnya. Hanya saja dalam hadis mubham tidak ada unsur
kesengajân pengaburan identitas. Berbeda halnya dengan mudallas, dimana ada unsur kesengajân
untuk mengaburkan identitas seseorang di dalamnya oleh periwayat. Adanya identitas yang kabur
dalam sanad akan dianggap sama dengan tidak ada. Sebab itu, maka hadis mubham dianggap sama
dengan hadis munqathi’. Bahkan lebih jauh dari itu, ada di antara ulama yang menggolongkan
hadis mubham merupakan bahagian dari munqathi’. Lihat al-Thahhân, Taysiir …, Dâr al-Turâts al-
‘Arabiy, Mesir, 1981, h. 89-90. Cf. Rif’at Fawziy, Madkhal Ila Tawtsîq al-Sunnah, Mu’assasat al-
Apabila
Khanijî, kaedah al-Tadl’îf
Mesir, 1978, muqaddam
h. 112. ‘aladisebut
Selanjutnya al-tashhîh diberlakukan
Fawziy. terhadapUshûl
Cf. Al-Khathîb, hadis…,
Mudhâ’af,
h. 339 ;maka
akan dipandang lemah. Artinya dilemahkan.
Shubh al-Shâlih , Mabâhits …, h. 167. Adapun muththarab, dimaksudkan sebagai hadis yang
sama kuat,
2 9namun jalurdidan
Mudhâ’af sinimakna keduanya
dimaksudkan berbeda,
dengan hadis disehingga tidak 29
dapattidak
mana kelemahannya di-tarjîh-kan.
disepakati.
akan dipandang lemah (dha‘ îf). Hadis-hadis yang terputus sanad tadi akan
menimbulkan beberapa kemungkinan, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.

Dengan demikian, Kajian Kualitas Hadis yang penulis mekasudkan


dalam karya tulis ini adalah meneliti sejauh mana kelayakan para perawi yang
terlibat dalam mata rantai sanad hadis-hadis sebagai sumber hukum Islam
kedua setelah al-Qur'an al-Karîm yang dikemukakan dalam kitab Bidâyat al-
Hidâyah karya al-Ghazâlî.

D. Tinjauan Kepustakaan
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka
penelitian ini dipusatkan pada hadis-hadis yang dikemukakan dalam kitab
Bidâyat al-Hidâyah karya al-Ghazâlî menyangkut kualitasnya. Untuk
menemukan jawaban dari masalah yang dikemukakan tersebut dan melihat
sosok kepribadian al-Ghazâlî secara lebih utuh, maka selain sumber-sumber
primer, penelitian ini akan menggunakan hasil-hasil penelitian yang pernah
dilakukan sebagai bahan bandingan (komparasi) dan pelengkap.
Dilihat dari aspek ketokohan al-Ghazâlî baik di Indonesia pada khsususnya
maupun di dunia Islam pada umumnya, ternyata tulisan atau hasil penelitian
tentang ulama yang terkenal dengan pengembaraan intelektualnya dari filsafat
ke theologi yang bermuara pada tashawwuf ini cukup banyak. Namun yang
menyorot sisi tertentu, seperti kualitas hadis yang dia kemukakan dalam
berbagai karya tulisnya masih sangat minim. Sejauh yang penulis ketahui
selama ini penelitian atau tulisan yang menyoroti secara khusus kualitas hadis
yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî baru “ Takhrîj Ah âdîts al-Ihyâ`”, yang
ditulis oleh Abû ‘ Abdillâh Mahmûd ibn Muhammad al-Haddâd. Sesuai
dengan namanya, buku ini berisi penilaian terhadap kualitas hadis-hadis yang
dikemukakan dalam kitab “ Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn” karya al-Ghazâlî. Informasi
tentang kehidupan al-Ghazâlî secara umum juga dapat dijumpai dalam
karyanya tersebut. Kemudian kitab “al-Munqidz min al-Dhalâl” yang juga
merupakan karya al-Ghazâlî. Kemudian tulisan orang lain tentang kualitas
hadis sepanjang yang penulis ketahui yang bisa dijadikan sebagai sumber
pelengkap dalam penelitian ini adalah:

30
1. Suatu Telaah Terhadap Hadis-Hadis Kitab al-Risâlah Imâm al-Syâfi‘î
(150-204 H), karya tulis Daniel Djuned yang membahas tentang hadis-
hadis dalam kitab al-Risâlah dan selesai ditulis tahun 1983 M.

2. Telaah Kritis Hadis-Hadis Nikah Mut’ah dalam al-Kutub al-Sittah karya


tulis Abustami Ilyas yang membahas tentang sejumlah hadis nikah mut’ah
yang terdapat di dalam kutub al-sittah, baik sanad maupun matan-nya dan
selesai ditulis tahun 2000 M.

3. Takhrîj Hadis Kitab al-Jawhar al-Mawhûb wa Munabbihât al-Qulûb


Karangan al-Syaikh ‘Alî ibn ‘Abd al-Rahmânal-Kelantânî karya tulis
Hilaluddin. Karya ini mengkaji hadis dari awal kitab hingga akhir bâb
nikah yang berjumlah sebanyak 601 hadis dan selesai ditulis tahun 2004M.

4. Kajian Hadis Kitab Durrat al-Nâshihîn karya tulis Ahmad Lutfi, yang
tertumpu pada kajian hadis-hadis yang marfû dan yang mempunyai hukum
marfû seperti asbâb al-nuzûl. Hadis-hadis marfû tersebut terdiri dari 800
hadis yang selesai ditulis pada tahun 2000 M.

5. Pemahaman terhadap kualitas dan makna hadis-hadis Laylat al-Qadr :


Analisis dengan pendekatan penelitian hadis karya tulis Muhammadiyah
Amin yang membahas tentang pemahaman terhadap kualitas dan makna
hadis-hadis Laylat al-Qadr bila dikaitkan dengan hasil penelitian hadis
yang selesai ditulis tahun 2002 M.

Memperhatikan judul dan kajian yang dibahas dalam karya-karya


tersebut di atas berbeda dengan topik kajian yang dihadapi. Kajian ini khusus
mengenai kualitas hadis-hadis yang dikemukakan dalam Bidâyat al-Hidâyah

karya tulis al-Ghazâlî. Atas dasar itu, kajian terhadap kualitas hadis-hadis
Bidâyat al-Hidâyah, dalam hal ini sanad yang merupakan mata rantai dari
periwayat melalui takhrîj, perlu dilakukan.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain:


1. Ingin mengetahui bagaimana kualitas hadis-hadis yang tidak disebut
sumbernya di dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah karya 31
tulis al-Ghazâlî.
2. Ingin mengungkap dimana posisi al-Ghazâlî sebagai tokoh theologi atau
ilmu kalam, filosof, ahli hukum dan sufi yang populer sebagai hujjat al-
Islâm dalam kajian ilmu hadis.

3. Dipandang dari sudut ketokohannya, apakah Abû Hâmid al-Ghazâlî


termasuk sosok hujjat al-Islâm yang selektif (mutasyaddid, ketat), longgar
(mutasâhil) atau moderat (mutawashshith, pertengahan).

4. Kiranya kitab Bidâyat al-Hidâyah terus diterima oleh masyarakat


sebagaimana halnya kitab-kitab yang telah di-takhrîj, seperti Ihyâ` ‘Ulûm
al-Dîn yang juga karya al-Ghazâlî.
5. Sebagian dari sekian usaha yang dilakukan untuk mengantisipasi dan
memelihara hadis-hadis Nabi Saw. dari penyelewengan dan
penyalahgunaan.

6. Ingin membuktikan sejauh mana kebenaran anggapan yang mengatakan


bahwa hadis-hadis yang tidak dilengkapi dengan sanad dan sumber yang
jelas adalah patut diduga palsu.

Seandainya tujuan-tujuan di atas sudah tercapai, maka laporan


penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam berbagai aspek dan lapisan,
yaitu aspek akademik atau ilmiah, sosial atau masyarakat dan personal atau
individual.

Sebagai penelitian awal terhadap hadis-hadis kitab Bidâyat al-


Hidâyah, secara akademik diharapkan untuk menambah khazanah keilmuan
dalam memahami hadis. Dari aspek sosial, tulisan ini diharapkan kiranya
berguna sebagai acuan, khususnya dalam memahami hadis-hadis Nabi
Muhammad Saw. dan disiplin ilmu-ilmunya. Sedangkan dari aspek personal
atau individual, kajian ini diharapakan sebagai ajang penerapan ilmu hadis
yang diperoleh selama perkuliahan, dan sekaligus untuk memenuhi salah satu
syarat dalam mencapai gelar Doktor di bidang ilmu agama Islam. Selain itu,
kajian ini juga diharapkan dapat berguna untuk mengungkap pemikiran-
pemikiran al-Ghazâlî dalam Bidâyat al-Hidâyah bagi para pembaca tentang
pendidikan tashâwwuf lewat hadis-hadis yang dimuat di dalamnya baik
kalangan intelektual maupun para sufi.

32
F. Metodologi Penelitian
Sesuai dengan judul yang menjadi topik serta permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu kajian atas kualitas hadis-hadis yang
dikemukakan oleh seorang tokoh klasik kenamaan al-Ghazâlî lewat karya
ilmiahnya Bidâyat al-Hidâyah, dan karena ia merupakan suatu kajian
perpustakaan, maka metode yang digunakan adalah metode disksriptif dan
analitis dengan pendekatan korelatif melalui cara-cara dan disiplin yang telah
ditetapkan oleh muhadditsîn dalam men-takhrîj sesuatu hadis, sebagai berikut:
a. Pengumpulan data:

1) Menginventarisasi seluruh hadis yang ada dalam kitab Bidâyat al-


Hidâyah.
2) Menginventarisasi semua periwayat yang terlibat dalam semua hadis.
3) Meletakkan dasar-dasar sebagai tolok ukur yang digunakan dalam

penilaian periwayat- periwayat tadi.


4) Mencari sanad hadis ke dalam rujukan sebagai kitab sumber induk,
yaitu Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâud, al-
Turmudzî, al-Nasâ`î, al-Dârimî, Ibn Mâjah, Musnad Ah mad dan

Muwaththa’ Imâm Mâlik (al-Kutub al-Tis‘ah) ditambah dengan kitab


lain yang ada kaitannya dengan data dimaksud, seperti Kanz al-

‘Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af‘ âl karya ‘Alî ibn Hisâm al-Dîn


al-Muttaqî al-Hindî dan Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ` karya Abû Abdillâh
Mahmûd ibn Muhammad al-Haddâd dan sebagainya.

b. Teknik Pembahasan
1) Penulis akan berusaha semaksimal mungkin mengumpul dan
mengungkap penjelasan suatu hadis yang diteliti dengan mencatat
nama buku, pengarang, bâb, nomor hadis, perawi, jilid, halaman dan
kualitas sanad hadis.

2) Dalam mencari hadis, penulis menggunakan buku-buku panduan


melacak hadis, seperti kitab Mausû’at Athrâf al-Hadîts al-Nabawî al-
Syarîf karya Muhammad al-Sa’îd Zaghlûl, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfâzh al-Hadîts dan Miftâh Kunûz al-Sunnah karya A.J. Weinsick
serta Taisîr al-Manfa ‘ah bi Kitâbai Miftâh Kunûz
33 al-Sunnah wa al-
Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawî karya Muhammad
Fu`ad ‘Abd al-Bâqî. Di samping itu, penulis juga menggunakan CD
hadis, seperti al-Maktabah al-Syâmilah. Paling tidak CD hadis ini
penulis gunakan untuk mengkonfirmasi eksistensi sesuatu hadis. Hal
ini dikarenakan referensi yang lebih valid adalah kitab, bukan CD atau
komputer yang tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangan.

3) Berkenaan dengan hadis-hadis yang disepakati oleh al-Bukhârî dan


Muslim dengan sanad yang bersambung lagi marfû‘ , penulis akan
memandang shahîh sanad-nya tanpa menjelaskan sebabnya.

Sementara hadis-hadis yang tidak ditemukan dalam kedua kitab


tersebut dan ditemukan dalam kitab lain, maka penulis berusaha
mengetahui kualitas hadis melalui sanad rijal atau perawinya,
walaupun sudah ada para ahli hadis yang menilainya. Dalam meneliti
hadis-hadis terkait, penulis akan merujuk kepada kitab-kitab ‘ Ulûm al-
Hadîts dan al-Jarh wa al-Ta ’dîl. Penulis akan memberi nilai shahîh

bagi sesuatu hadis, bilamana memenuhi kriteria atau syarat, yaitu:


perawinya dipandang ‘adil, sempurna ingatan (dhâbith), sanad-nya
tidak terputus (muttashil, bersambung-sambung), terhindar dari ‘illah

dan syâdz baik sanad maupun matan-nya. Adapun jika syarat shahîh
terpenuhi, namun ingatannya kurang handal, maka penulis menilainya
hasan li dzâtih. Seandainya thuruq hadisnya cukup banyak dan dapat
diterima maqbûl, maka akan dipandang shahîh li ghairih.30 Kualitas

sanad akan dipandang dha‘îf, apabila salah satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadis shahîh dan hasan di atas tidak terpenuhi. 31 Penulis

Hadîts, Dâr al-Salâm, al-Qâhirah, 2002, h. 26. Selanjutnya disebut al-Suyûthî. Cf. Muhammad ibn
3 0 Al-Asqalânî, Syarh Nukhbat ..., h. 30.
al-Syaikh al-Athyûbî, Syarh Alfîyât al-Suyûthî fî ‘ilm al-Hadîts, Maktabah Ibn Taimîyah, al-
Qâhirah,31995,
1 Jalâluddîn 34
h. 91. ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakar al-Suyûthî, Alfîyât al-Suyûthî fî ‘ilm al-
akan memandang kualitas sanad hasan li ghairih, apabila thuruq-nya
banyak selama ia tidak dha‘îf jiddan.32

4) Penilaian kualitas sanad akan didasari sepenuhnya kepada mazhhab


Ibn Hajar melalui karya-karyanya, seperti Tahdzîb al-Tahdzîb, Taqrîb
al-Tahdzîb dan karya lainnya kecuali kalau tidak ditemukan atau untuk
sekedar membanding, maka penulis memakai madzhab lain. Tanpa
ingin merendahkan tokoh lain, hal ini disebabkan oleh keluasan
ilmunya mengenai hadis dan rijâl al-hadîts.

Karena tulisan ini erat kaitannya dengan perawi, penulis merasa


perlu mengemukakan sekilas tentang tingkatan perawi tersebut. Ada
dua belas tingkatan perawi yang selalu terlibat dalam sanad hadis,
pertama: shahâbat, kedua: athwaq al-Nâs, tsiqah tsiqah, tsiqah hâfizh

dan sebagainya, keempat: shadûq, shadûq rubamâ akhtha`a, lâ ba`s


bih dan laisa bih ba`s, ke lima: shadûq sî` al-hifzh, shadûq yahimm,
shadûq lah auhâm, shadûq yukhthi` dan shadûq taghayyar bi âkhirah,
man rumiiya bi nau’ min al-bid’ah ka tasyayyu’ wa al-qadr wa al-
nashb wa al-irjâ` wa al-tahajjum, ke enam: maqbûl dan layyin al-
hadîts, ke tujuh: mastûr dan majhûl al-hâl, ke delapan: dha’îf, ke
sembilan: majhûl, ke sepuluh: matrûk al- hadîts, wâhî al- hadîts dan

saqîth, ke sebelas: man uttuhima bi al-kadzib dan ke dua belas: man


‘uthliqa ‘alaih ism al-kadzib wa al-wadh’. Demikian menurut Ibn
Hajar al-Asqalânî.33 Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh tingkatan
pertama, kedua dan ketiga, penulis akan menilainya shahîh. Sementara
jika ada di antaranya perawi dari tingkatan ke empat, maka
penilaiannya adalah hasan.34 Begitupun jka perawinya terdiri dari
tingkatan ke lima dan ke enam, maka penulis memandangnya dha‘îf,

kecuali maqbûl yang dinilai hasan oleh penulis. 35 Adapun jika ada di

3 2 Al-Suyûthî, Tadrîb ..., h. 103.


3 3 Al-Asqalânî, Taqrîb …, h. 74-75.
3 4 Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Dâud al-Maushilî, Irsyâd al-Adhîb ila Thuruq al-Takhrîj
Ibn
al-Hadîts,
Hazm,
3 5Beirut,
Mu`assasat
2000, al-Rayyân,
h. 108.
‘Abd al-Rahmân Selanjutnya
Beirut,
ibn ibrâhîm 1995,
disebut
h. 28.
al-Khumaisî, al-Khumaisî.
Mu Selanjutnya
’jam ‘UlûmCf. 35
disebut
Hâsyim,
al-Hadîts al-Maushilî.
Qawâ ‘ id
al-Nabawî, Dâr..., h. 196.
antara perawinya yang terdiri dari tingkatan ketujuh, maka penulis
tawaqquf dimana penulis menyebut perawi terkait dengan mastûr atau
majhûl al-hâl36 atau dipandang dha‘îf bilamana ada yang menilainya
demikian. Seandainya ada perawi dari tingkatan ke delapan misalnya,
maka penulis juga menilainya dha‘îf. Terakhir bilamana perawinya
terdiri dari tingkatan ke sembilan sampai ke dua belas, maka penulis
menilainya berdasarkan tingkatan-tingkatan dha‘ îf, dimana berakhir
dengan maudhû‘.37

5) Hadis-hadis yang tidak ditemukan sumber asal dan sanad-nya, penulis


memandang hadis tersebut dengan penilaian yang telah diberikan oleh
ahli hadis lain dari Ibn Hajar, jika hal itu ada. Sebaliknya, jika tidak
atau belum dinilai oleh para ahli hadis, maka penulis akan melacak
atau mencari lebih jauh lagi dengan hadis semakna (bi al-ma ‘nâ, sama
arti). Hadis-hadis seperti ini, jika sudah ada penilaian yang diberikan,
penulis tidak lagi akan memberi penilaian, kecuali kalau penilaiannya
belum ada. Berdasarkan arti hadis yang dibicarakan dan keterangan-
keterangan lain sebagaimana disebutkan di atas, maka penulis akan
memberi penilaian dengan ungkapan “maknanya sama dengan sanad
dha‘îf” dan sebagainya.

6) Sekalipun kualitas sanad yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini,
namun jika sanad-nya dipandang dha‘îf, maka penulis akan meneliti
maknanya apakah sejalan dengan makna yang terkandung dalam ayat-
ayat al-Qur’an, sehingga penulis akan menybebut “ maknanya boleh
diterima”.

7) Seandainya dari aspek makna tidak jelas, maka penulis akan menyebut
“belum diketahui”. Artinya hukum dan ulasan selanjutnya belum dapat
diberikan.

8) Khusus mengenai hadis-hadis yang tidak jelas sumbernya sama sekali,


penulis akan berusaha mengutip pandangan para ahli hadis yang

Manhajîyatuh,
3 6 MuhammadDâr
Abûal-Syâkir,
al-Laits Selanjur,
3 7 al-Khair
Lihat 1999,
al-Maushilî,
Abâdî, h. 218.
Takhrîj
Irsyâd
al-Hadîts
…, h. 29. 36 disebut
Selanjutnya
Nasy’atuh wa Abâdî.
kompeten dalam ilmu hadis serta menggunakan pandangan mereka
dengan menyebut “la ashla lah”.
Sedangkan hadis-hadis yang bukan muttashil karena sudah dianggap

lemah, maka dibicarakan kembali ketika membahas hadis pendukung (syâhid


dan mutâbi‘) pada bab selanjutnya.
Setelah membahas hadis-hadis kitab Bidâyat al-Hidâyah karya al-
Ghazâlî seadanya lalu dibuat berupa penilaian atau kesimpulan sementara.
Artinya, hadis-hadis yang sanadnya terjadi pro dan kontra, akan dicari syâhid

dan mutâbi‘-nya sebagai hadis pendukung. Minimal diharapkan dapat


mengangkat kualitas hadis yang lemah menjadi shahîh li ghayrih umpamanya.
Berdasarkan itulah, kesimpulan akhir kajian ini diambil setelah semuanya
dilakukan.

G. Sistematika Pembahasan

Sesuai dengan metodologi di atas, karya tulis ini akan dibagi dalam
empat (IV) bab dengan sub-subnya masing-masing, sebagai berikut:
Bab pertama sebagai bab Pendahuluan akan dijadikan sebagai landasan
berpijak dan langkah-langkah yang ditempuh pada pembahasan selanjutnya.
Bab ini akan mengemukakan latar belakang masalah, perumusan dan
pembatasan masalah, definisi operasional, tujuan dan kegunaan penelitian,
kajian kepustakaan, metodologi dan sistematika pembahasan.

Bab kedua akan menggambarkan pengenalan takhrîj, Kriteria ke-


shahih-an hadis, Pemikiran dan Karya al-Ghazâlî serta al-Ghazâlî dan kitab
Bidâyat al-Hidâyah yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini.

Bab ketiga dan keempat akan menjelaskan hadis-hadis yang termuat


dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah karya Abû Hamîd al-Ghazâlî, keadaan sanad
dan matan hadis yang akan diteliti serta kualitas hadisnya. Dalam bab ketiga
ini juga merupakan penelusuran semua periwayat yang dianggap bermasalah
dan dilanjutkan dengan pencarian terhadap hadis yang semakna dengan jalur
yang berbeda sebagai hadis pendukung. Dengan demikian diharapkan akan
menambah pengetahuan sejauh mana tingkat kesahihan hadis-hadis yang

37
mereka riwayatkan dapat dijadikan sebagai dalil hukum. Kemudian pada sub
C dari bab keempat baru dievaluasi.

Bab kelima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran seperlunya. Penutup ini akan dilengkapi dengan daftar
kepustakaan, lampiran dan daftar riwayat hidup dari penulis.

38
BAB II

TAKHRÎJ DAN METODE KE-SHAH IH-AN SERTA KRITERIA


PENILAIAN SANAD HADIS-HADIS BIDAYÂT AL-HIDÂYAH

A. Pengenalan Takhrîj

Takhrîj barasal dari bahasa Arab dengan akar kata , menjadi

yang secara etimologi berarti membawa keluar sebagai lawan masuk.1 Sama ada
kata maupun memiliki arti yang sama. Kata al-Takhrîj bentuk

mashdar dari kharraja yang berarti menyatakan.2 Hal ini didasarkan kepada surat
al-Fath . (48)
Demikian
: 29: juga perkataan para ahli hadis,
seperti:
. Artinya al-Bukhârî telah menyebutkan sumbernya.3
Sementara secara istilah atau yang biasa dipakaikan oleh para ahli hadis,
Takhrîj al-Hadîts dimaksudkan sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sakhawî,
yaitu:
¸
,
Artinya seorang ahli hadis
.... mengeluarkan berbagai hadis dari kitab-kitab juzu`,
masyîkhah dan sebagainya, kemudian dia bawa beserta periwayatannya sendiri
atau sebagian guru, kolega atau lainnya. Selanjutnya hadis tersebut dia bicarakan
dan hubungkan kepada orang yang meriwayatkannya, yaitu pemilik berbagai kitab
dan catatan ....

Selain al-Sakhawî di atas, Ibn Salah juga memberi pengertian tentang al-
Takhrîj tersebut ketika berbicara tentang penyusunan hadis, dimana para ahli
hadis menempuh dua cara, antara lain: ,

1 Abû al-Fadhl Jamâuddîn Muhammad Makram ibn al-Manzhûr, Lisân al-‘Arab, vol. II,
Dâr al-Shadîr, Beirut, t.th., h. 249. Selanjutnya disebut ibn al-Manzhûr. Cf. Muhammad ibn
Ya‘qûb al-Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, h. 185. Selanjutnya disebut Âbâdî. Cf. .Muhammad
ibn Abû Bakr al-Râzî, Mukhtar al-Shihâh, Maktabah Lubnân, 1988, h. 72. Selanjutnya disebut al-
Râzî. Cf. Majma‘ al-Lughat al-‘Arabîyah, al-Mujma‘ al-Wasîth, vol. I, h. 223.
432 Al-Sakhawî,
Al-Thahhân,
Ibn al-Manzhûr,
Fath
Ushûl
Lisân
…,…,vol.
al-‘Arab,
h. 8. vol. II,20
II, h. 338. h. 249.
Artinya menyusun hadis
.... berdasarkan bab, yaitu men-takhrîj
berdasarkan hukum fikih .... Mahmûd al-Thahhân sendiri mendefinisikan Takhrîj
al-Hadîts dengan: ,
Artinya menunjukkan. berbagai sumber asli7 tempat pengambilan
hadis lengkap dengan sanad-nya. Kemudian menjelaskan tingkatan hukumnya
kalau dibuthkan. Dengan demikian kitab-kitab hadis yang tidak diambil secara

talaqqî dari guru, tidak termasuk sebagai takhrîj. Misalnya Bulûgh al-Marâm min
adillat al-Ahkâm karya al-Hafîzh ibn Hajar dan berbagai kitab yang ditulis secara

alphabetis, seperti al-Jâmi‘ al-Shaghîr karya al-Imâm al-Suyûthî. Kemudian kitab


al-Arba‘în al-Nawawîyah dan Riyâdh al-Shâlihîn. Kitab-kitab tersebut tidak
termasuk kitab sumber asli hadis.

Ada enam cara untuk men-takhrîj suatu hadis, yaitu: melalui lafal awal
dari matan hadis, melalui lafal yang terdapat dalam hadis, melalui sahabat yang
terlibat dalam periwayatan hadis, melalui topik hadis, merujuk keadaan matan
dan sanad hadis dan melalui nama-nama guru.8

Urgensi dari Takhrîj al-Hadîts ada beberapa hal, sebagai berikut:


1) Mengetahu berbagai sumber asli dari berbagai hadis secara pasti. Melalui
kajian takhrîj, seseorang akan mengetahui siapa yang mengeluarkan hadis dari
para kalangan ahli hadis. Demikian pula pengkaji akan dapat mengetahui
sumber aslinya.

2) Mengenai berbagai sanad dari satu atau berbagai hadis. Lewat Takhrîj al-
Hadîts, pengkaji akan mengetahui sumber asli dari berbagai hadis. Misalnya

5 Ibn Shalah, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 228.


6 Al-Thahhân, Ushûl al-Takhrîj …, h. 10.
7 Sumber-sumber asli tersebut adalah: 1). Kitab-kitab yang dituls para pengarang secara
talaqqî dengan guru mereka lengkap dengan sanad hingga kepada Nabi Saw. Misalnya al-Kutb al-
Sittah, Muwaththa` Imâm Mâlik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hâkim, Mushannaf ‘ Abd al-
Rahmân dan sebagainya. 2). Kitab-kitab yang mengiringi kitab sebelumnya, seperti Tuhfat al-
Ashrâf bi Ma ‘rifat al-Athrâf karya al-Mizzî maupun kitab-kitab ringkasan dari berbagai kitab
hadis, seperti Tahdzîb Sunan Abî Dâud karya al-Mundzirî. 3). Kitab-kitab yang dikarang dalam
berbagai bidang lain, seperti tafsir, fikih dan sejarah yang bisa diharapkan memperkuat fakta
berdasarkan
I‘tishâm, tt.,t.tp.,
hadis. h. Misalnya,
23-24. Selanjutnnya
Tafsir al-Thabarî,
disebut Ibn
Târîkh
‘Abdal-Thabarî
al-Qâdir. Cf.
danal-Thahhân,
al-Umm karya Ushûl
al-Syâfi‘î.
al-
Lihat Al-Thahhân,
Takhrîj …, h. 37-38.
8 ‘Abd Ushûl al-Takhrîj
al-Muhdî …, h. 10.Thuruq Takhrîj Hadîts Rasûl21
ibn ‘Abd al-Qâdir, Allâh Saw., Dâr al-
pengkaji akan memperolehnya di dalam shahîh al-Bukhârî pada berbagai
tempat di dalamnya dengan tanpa tertutup kemungkinan akan terdapat di
dalam kitab lainnya. Setiap tempat yang ditemukan pengkaji akan melihat
berbagai sanad dari hadis yang terkait.

3) Setelah memperhatikan berbagai thuruq dari hadis yang dikaji, akan dapat
diketahui keadaan sanad-nya. Lebih-lebih apabila pengkaji telah sampai pada
berbagai thuruq dari satu hadis yang sedang diteliti dengan membanding-
bandingkannya. Pada gilirannya akan dapat diketahui mana yang munqathi‘,
muttashil dan sebagainya.

4) Dengan mengkaji hadis yang dilengkapi oleh berbagai thuruq- nya, bisa saja
sesuatu hadis thuruq-nya dha‘îf, namun setelah diadakan pen-takhrîj-an
menemukan thuruq lain yang dipandang shahih. Misalnya ketika mengadakan
penelitian awal didapati sanad munqathi‘. Setelah mengadakan penelitian
susulan, ditemukan sanad lain sebagai syawâhid atau tawâbi‘ yang bisa
menghilangkan inqithâ‘-nya, sehingga posisinya pun naik dari posisi pertama.

5) Melalui takhrîj akan bisa membedakan antara perawi yang satu dengan yang
lain, karena tidak jarang ada thuruq yang memberi informasi itu.
6) Memperjelas perawi yang masih samar, seperti kata-kata: , ,
. Melalui berbagai thuruq, ada di antaranya yang
akan memperjelas kesamaran tersebut.
7) Menghilangkan mu‘an‘anat al-tadlîs. Misalnya ada sanad dimana padanya
terdapat mudallis yang meriwayatkan dari gurunya secara ‘an‘anah yang
menyebabkan sanad- nya munqathi‘. Melalui takhrîj al-hadîts terkait
ditemukan thuruq lain dimana mudallis meriwayatkan dari gurunya yang
mengarah kepada adanya istidlâl, seperti kata:
dan , . Kata-
kata ini dapat menghilangkan tanda-tanda inqithâ‘ dalam sanad tersebut.
8) Menghilangkan kekhawatiran tentang riwayat hadis perawi yang mengandung
mukhtalith. Dengan takhrîj al-hadîts akan diketahui kapan seorang perawi
mengalami ikhtilath.

9) Mengetahui nama lengkap dari


kuniyah seorang
atau nama perawi yang hanya
panggilannya. 22 disebutkan nama
10) Mengetahui riwayat atau redaksi tambahan, dan mempermudah kata-kata yang
sulit dipahami.
11) Mengetahui hadis, mana yang diriwayatkan secara makna dengan hadis yang
diriwayatkan secara lafzhî.
12) Mengetahui masa berlakunya periwtiwa yang terdapat dalam
berbagai riwayat.
13) Mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh penulis hadis
kemudian.9 B. Kriteria Ke-shahih-an Hadis
Ada dua obyek penting dalam penelitian ke-shahihan-an suatu hadis,
yaitu sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad al-hadîts)
dan materi hadis (matn al-hadîts) itu sendiri.

Kriteria di sini dimaksudkan sebagai suatu patokan yang digunakan


untuk menilai suatu rijal sanad hadis yang bermuara kepada otentisitas
(shahih) atau tidaknya suatu hadis. Selain kriteria tersebut juga akan
dikemukakan tentang kehandalan (‘adalah) para sahabat.

Para ahli hadis memberikan definisi hadis yang otentik (shahîh)


sebagai hadis hadis yang sanadnya bersambung (ittishâl al-sanad), turun-
temurun yang ditelusuri berjenjang naik sejak dari penutur terakhir hingga
sumber pertama, yaitu Rasulullah atau sahabat. Para penuturnya terdiri dari
orang-orang jujur (‘adil) dan tegar (dlhâbith) serta teks hadisnya (matan) tidak
eksentrik (syâdz) dan terhindar dari cacad yang serius (‘illat).10

Masih cukup banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli hadis
dengan redaksi yang berbeda, namun maksudnya sama, sehingga dapat
diketahui bahwa ada lima persyaratan yang aharus terpenuhi untuk
menjadikan sebuah hadis itu sahih. Dari kelima syarat dimaksud adalah:
a. Sanadnya muttashil (bersambung).
b. Para perawinya ‘adil
c. Para perawinya dlhâbith (tegar, kuat daya ingat).

Hadis Kitab al-Jawhar al-Mawhûb wa Munabbihât al-Qulûb Karangan al-Shaykh ‘Alî ibn ‘Abd
al-Rahmân al-Kelantânî
9 Ibn (Tesis
‘Abd al-Qâdir, yangTakhrîj
Thuruq Dikemukakan untuk
…, h. 11-14. Cf.Memperoleh
Hilaluddin binIjazah Doktor
Abdullah, Falsafah,
Takhrîj
Fakultas Pengkajian Islam Universiti Kebangsaan
1 0 Al-Khathîb, UshûlMalaysia, 23 h. 35.
Bangi, 2004),
..., , h. 302.
d. Redaksi hadisnya (matan) tidak eksentrik (syâdz), artinya tidak
kontroversial antara riwayat satu orang dengan orang banyak, yang lebih
kuat dari dia.

e. Redaksi hadisnya (matan) terhindar dari cacat yang serius (‘llat) yang
dapat merusak makna hadis. Kedua syarat terakhir ini juga bisa terjadi
pada sanad hadis.

Dari kelima persyaratan hadis shahih tersebut di atas, Imam Abû


Hanîfah menambahkan syarat lain, yaitu perbuatan perawi harus sesuai
dengan substansi hadis yang disampaikan. Tanpa persesuaian ini, yang
disampaikannya tidak bisa dijadikan hujjah.11 Jadi, Abû Hanîfah kelihatannya
sangat memperhatikan konsekwensi perkataan dengan perbuatan. Sedangkan
Imam Mâlik, di samping lima persyaratan yang telah disepekati oleh Jumhur
di atas, menambahkannya dengan persesuaian antara isi hadis dengan praktek
yang telah memasyarakat di negeri Madinah.12

Maksud muttashil al-sanad di atas adalah bahwa si perawi mendengar


langsung (bertemu) dengan orang yang menyampaikan hadis kepadanya.
Sebab itu, hadis yang tidak bersambung sanadnya digolongkan kepada
kategori hadis-hadis dla’îf. Sanad yang tidak bersambung atau terputus,
artinya ada di antara perawi yang13 tidak disebut dalam mata rantai sanad.
Jumlah orangnya bisa satu atau lebih. Letaknya bisa saja di awal, tengah atau
akhir sanad. Berubahnya letak atau posisi perawi yang tidak disebutkan
membawa perubahan kepada istilah yang dipakai. Apabila satu orang atau
lebih tidak disebutkan dan letaknya di awal sanad, maka hadisnya disebut

mu’allaq. Bila lebih dari satu orang dan berturut, tetapi bukan di awal, maka
hadisnya disebut mu’dhal.Bila yang tidak disebut itu letaknya di akhir, maka
hadisnya dinamakan mursal. Apabila yang tidak disebutkan itu di luar
kemungkinan di atas, artinya ada perawinya yang tidak jelas diketahui, maka
hadis tersebut digolongkan ke dalam munqathi’ .

1 1 Abû Zahrah,Erlangga,
Ushûl al-Fiqh,
Abûh.Zahrah,
1 32Jakarta,109. Cf.
1933,
Al-Shan’anî, h.Muslim Ibrahim,
38. ...,
Taudhîh
Ushûl…, h. 109.I, h.Pengantar
Juz 8. 24 Fiqih Muqâran,
Syarat kedua dari persyaratan hadis shaih yang disepakati oleh Jumhur
ulama hadis adalah ‘adil. Sifat ‘adil yang dimaksudkan adalah orang yang
mempunyai sifat ‘adalat. ‘Adalat merupakan suatu sifat yang terpatri dalam
jiwa dan dorongan seseorang untuk berbuat taqwa dan menjaga harga diri
(murû’ah).’Adalat perawi dapat diketahui melalui dua hal. Pertama , lewat
popularitasnya (al-masyhûrah) di kalangan ahli hadis, seperti Mâlik bin
Hanbal. Kedua, melalui testimony (tadzkiyah). Artinya, kehandalan (‘adalat)

perawi dari orang yang tidak diragukan ke’adalahannya. Pemberian tadzkiyah


ini bisa saja hanya dari seorang yang ‘adil. Oleh karena itu, jumlah atau
bilangan tidak menjadi syarat pengakuan ke’adalahan perawi.14

Secara khusus mengenai ke’adalahan sahabat, ditemukan pandangan


pro dan kontra. Hal ini dikarenakan oleh eratnya kaitan antara ke’adilan
sahabat dengan definisi atau batasan sahabat itu sendiri. Lebih-laebih lagi
apabila dikaitkan dengan peristiwa politik masa lalu yang diperani langsung
oleh para sahabat di akhir masa kepemimpinan al-khulafâ ’ al-râsyidûn. Ketika
itu tahun 36 H/656 M terjadi kontak senjata antara Thalhah cs. di barisan
opposan berhadapan langsung dengan Khalîfah ‘Alî sebagai pemerintah yang
sah. Khalîfah ‘Alî sendiri telah menawarkan kompromi untuk menghindari
pertikaian. Namun perang tidak dapat dihindarkan, karena pintu damai telah
tertutup oleh Thalhah dan kawan-kawan. Maka terjadilah pertumpahan darah
dan Thalhah sendiri dan Zubeir mati terbunuh saat hendak melarikan diri.
Aisyah, janda Nabi Saw. yang saat itu juga bergabung dengan kelompok
oposisi dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan sebutan

“Perang Unta (Jamal)”, karena Aisyah mengendarai unta dalam peperangan


ini. Pertempuran tersebut menelan korban tidak kurang dari 20.000 orang
kaum muslimin.15 Pada tahun berikutnya, 37 H terjadi lagi pertempuran
sesama muslim di kota Shiffîn dekat sungai Euphrat. Perang kali ini terjadi
antara angkatan perang ‘Alî dengan pasukan Mu’awiyah. Tentara ‘Alî yang
dikerahkan sebanyak 50.000 pasukan dapat mendesak pasukan Mu’awiyah,
sehingga yang tersebut terakhir ini bersiap-siap untuk lari. Namun tangan

1 5 Ali Mufrodi, Islam


1 4Di
Al-Thahhân,
Kawasan Kebudayân
Taysîr..., h.Arab,
144-146. 25 hlm. 65.
Logos, 1977,
kanan ‘Amr bin ‘Ash yang terkenal licik mengangkat al-Qur’ an sebagai
pertanda minta perdamaian. Pasukan Mu’âwiyah sendiri yang konon juga
umat Islam mati terbunuh sebanyak 7.000 orang.16 Peristiwa politik ini
menjadi cukup menarik apabila dengan ke-‘ adalah-an sahabat sebagai
penyampai hadis dari Rasulullah Saw.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa batasan tentang sahabat


tersebut. Berkenân dengan pengertian sahabat, ada dua sudut tinjauan yang
umum dipakai oleh para ahli. Pertama, tinjauan sudut ushûl al-fiqh. Kedua,
sudut tinjauan hadis. Ibn Hajar mengkategorikan sahabat dengan orang yang
pernah bertemu dengan Nabi Saw. dan mengimani kenabiannya itu serta
meninggal dalam keadaan Islam. Termasuk dalam kategori ini orang yang
lama satu majlis dengan Nabi maupun hanya sesaat, pernah meriwayatkan
hadis dari padanya maupun tidak sama sekali, pernah memanggul senjata
bersama Nabi atau tidak dan langsung melihat Nabi dengan mata kepala walau
sesât atau tidak, karena buta umpamanya. Dengan adanya kata mengimani di
atas, maka orang kafir yang pernah bertemu dengan Nabi, namun belakangan
dia masuk Islam, tidak termasuk sahabat.17

Al-Bukhârî dan Ahmad bin Hanbal memberikan definisi yang semakna


dengan di atas, namun keduanya menambahkan persyaratan dengan dengan
kata mumayyiz. Al-Bukhârî menambahkan di dalam kitab Shahîh-nya, bahwa
orang Islam yang pernah semajlis atau pernah melihat Nabi Saw18 adalah
sahabat. Al-Shan’anî mengatakan bahwa para ahli hadis menggunakan istilah
sahabat kepada orang-orang yang meriwayatkan satu hadis atau (minimal) satu
kata saja dari Rasulullah. Kemudian mereka memperluasnya, sehingga
termasuk dalam cakupan sahabat orang-orang yang hanya melihat Rasulullah
walau hanya satu kali. 19

1 6 Muhammad ibn Jarîr al-Thabârî Abû Ja‘far, Târîkh al-Thabâri, Kairo Dâr al-Ma’arif,
1963, jilid V,hlm. 7.
1 7 Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Fadlâ’il al-Shahâbah, juz I, Mu’assasah al-
1 8 Abû Zahw, Risâlah,
hlm. 1291Makkah
al-Hadîts Wa
9 Abû al-Mukarramah,
al-Muhadditsûn,
Zahw, Syirkah1403
al-Hadîts…, hlm. H, hlm.
Musamahah
130. 269.
Misrîah, Mesir, tt.,
Definisi di atas didasarkan pada tinjauan sudut ‘ulûm al-hadîts. Dari
yang dikemukakan dapat diketahui bahwa seseorang dikategorikan sebagai
sahabat apabila terpenuhi syarat minimal, yaitu pernah melihat Nabi walau
hanya satu kali dengan mengenyampingkan kasus orang buta. Orang buta
dapat dikatakan sahabat apabila dia pernah mendengar suara Nabi.

Sedangkan dari sudut tinjauan ushûl al-fiqh, dimana para ahlinya


mensyaratkan harus sering bertemu dan lama bersama Nabi Saw sebagaimana
layaknya orang bersahabat menurut ‘urf setempat.20 Umumnya ahli ushûl
mengartikan sahabat sebagai orang yang bersahabat lama dengan Nabi. Dalam
hal ini faktor kelayakan buat mengatakan seseorang sebagai teman atau
sahabat sangat penting, tentunya dengan Nabi. 21 Seseorang yang hanya baru
sebatas melihat Nabi belum cukup untuk dikatakan sebagai sahabat. Lebih-
lebih lagi apabila hal ini dikaitkan dengan keharusan meriwayatkan hadis.
Mengapa pembahasan agak khusus tentang sahabat ini, adalah karena
keterkaitannya dengan penyampaian hadis. Lalu, apakah semua yang namanya
sahabat Nabi teruji kehandalannya, ada beberapa pendapat. Pertama,
umumnya ulama baik ulama hadis maupun ulama ushûl mengatakan bahwa
semua sahabat ‘adalat, dalam arti memenuhi salah satu kriteria persyaratan
hadis shahih. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pendapat seperti itu sudah
merupakan konsensus (ijma ’ ),22 sekalipun kenyataannya lain. Pendapat
mayoritas ini nampaknya dilandasi oleh terminology ahli hadis tentang ‘adalat

itu sendiri dan didukung oleh nash-nash al-Kitab, seperti yang difirman oleh
Allah Swt bahwa para manusia yang senantiasa beserta Muhammad (sahabat
Rasul) adalah orang-orang yang tegas menghadapi orang-orang kafir, namun
cukup lembut di antara sesama mereka. Mereka termasuk orang-orang yang
banyak melakukan tunduk kepada Allah dalam rangka mencari karunia-
Nya….(Q.S. al-Fath : 29). Dalam hadis yang merupakan indikasi ke ’adalahan

2 0 Zakî al-Dîn Sya’ bân, Ushûl al-Fiqh al-Islamî, Dâr al-Ta’lîf, Kairo, 1964, hlm. 193.
,Maktabah
2 2 Ahmad Muhammad 2 1 al-Islâmîah,
Syâkir,
Al-Khudarî,
MuqaddimahBeirut,
Ushûl…, tt., hlm.
al-Risâlah,
hlm. 181.
222-
dalam 27
23. al-Syâfi’î, al-Risâlah
sahabat, misalnya Rasulullah menggambarkan figur sahabatnya di tengah-
tengah umat laksana bintang di malam hari23

Lebih jauh dari itu, ‘Umar ibn Abdullah mengemukakan, bahwa ahl
al-Sunnah wa al-Jama ’ ah telah sepakat buat mengakui kehandalan sahabat.24
Pendapat pertama ini tampaknya mengklaim bahwa semua yang namanya
sahabat teruji kahandalannya tanpa terkecuali (kullu hum ‘adûl).

Kedua, bahwa semua handal (‘adâlah), kecuali bilamana ada indikasi


yang menunjukkan lain. Pendapat kedua ini kelihatannya telah terintervensi
oleh aliran politik yang bermuara kepada aliran sekte. Bagi aliran Mu’tazilah

telah menjadi suatu keyakinan untuk men-ta’dîl sahabat kecuali gerombolan


pembunuh ‘Alî ibn Abî Thâlib. Namun pengecualian ini dibantah Ibn Katsîr.25

Tanpa menutup kemungkinan adanya di antara sahabat yang


dipandang fasiq,26 kedua pendapat di atas tampaknya dapat dikompromikan.
Semua sahabat dipandang handal (‘adil), bilamana sahabat yang dimaksudkan
dalam hal ini ssesuai menurut batasan yang dikemukakan oleh para ilmuwan

ushûl. Seseorang itu dikatakan sahabat apabila cukup lama bersama (semajlis)
dengan Rasulullah. Lama dalam artian menurut kebiasân (‘urf) yang berlaku
di tempat mereka tinggal. Di samping itu, ia juga harus sudah pernah
meriwayatkan hadis dari Rasulullah walaupun hanya satu kalimat saja. Akan
lebih terpercaya lagi bila ditambahkan bahwa ia pernah terlibat langsung
bersama Rasulullah mengikuti perang melawan orang-orang kafir (ghazwah).

Dari uraian di atas, Rasulullah sebagai pemimpin umat sekaligus


sumber hadis yang utama, para sahabat sebagai penyampai hadis dan umat
sebagai sasaran, agaknya memenuhi persyaratan proses komunikasi.
Sebagaimana diketahui, bahwa komponen dari proses komunikasi terdiri dari
sumber (sender), tujuan, ide, penyaluran atau penyampaian, penerima,

2 3 Muslim, Shahîh, Jilid Î, Dahlan, Bandung, tt., hlm. 410.


2264Lihat
‘UmarDr.Abdullah,
Imam
Daniel Ahkâm
Djuned, al-Mawîrits,
al-Syâfi’î,
2 5 ‘Umar IAIN
Disertasi; Kairo,
Ciputat,
Abdullah,
Suatu Dâr
1983,
Tela’ah
Ahkâm al-Ma’arif,
hlm. 1968,
28 hlm.al-Risâlah
hlm.98-100.
Terhadap
…, 16.
Hadis-hadis 10.
pengalaman yang sama, dan umpan balik (feed-back) yang merupakan
evaluasi apakah pesan dapat dimengerti.27

Nabi menyampaikan pesan-pesan dakwah (message) dalam berbagai


bentuk (signal, lambang). Ada yang dalam bentuk pembicarân (qaul,
perkataan), tindakan (fi’l, perbuatan) dan legalisasi (taqrîr, tanpa reaksi).
Disamping itu, ada sahabat sebagai agen (rawi ) yang mengamati segala
tingkah laku Nabi yang patut dîkuti dan dicontohkan pula ke generasi
sesudahnya (tabi’in). Maka sahabat sebagai agen yang mereka prilaku Nabi,
dan tabi’ in merekam dari sahabat.

Apa yang terjadi dalam komunikasi yang bersahaja ini adalah Nabi
sebagai sumber (sender) informasi atau pemula dari proses komunikasi
(tahammul al-hadîts, proses belajar mengajar hadis) . Proses yang terjadi ialah,
Nabi berbuat dan atau berbicara, atau diam tanpa reaksi (taqrîr, legalaisasi)

yang diupayakan untuk memahminya, yang disebut dengan encoding. Artinya,


Nabi sebagai sumber pesan-pesan (messages) memilih tanda (isyârat) yang
dapat mengantarkan pesan-pesan Nabi kepada sahabat dan tabi’in sebagai
agen. Kemudian oleh agen pesan itu disampaikan kepada seluruh umat
(Islam). Melalui proses internalisasi para sahabat sebagai agen dengan Nabi
sebagai sumber, âbesar kemungkinan bahwa tanda-tanda (isyârat) yang
ditemui dan dilihat dapat dimengerti sesuai dengan kehendak sumber.

Dalam bentuk yang bersahaja, proses komunikasi (tahammaul al-


hadîts) dapat dilihat gambar berikut:

Sumber Sasaran
(sender) Encoding Feed back

Bagaimana versi ahli ushul dan ahli hadis tentangtentang sahabat

dapat diperhatikan pada lambang berikut ini:

Turman
2 7 James G. Rabbins Sirait, Pedoman
& Barbara Ilmu Jaya, Yang
S. Jones, Komunikasi Jakarta, 29 alih
1986,
Efektif, hlm. 10-11.
bahasa Drs. R.
A B A B

versi ahli ushûl versi ahli hadîts

Dari versi gambaran di atas dapat dipahami bahwa sahabat menurut

ahli ushûl harus sudah lama berintegrasi, pernah meriwayatkan hadis, dan
pernah satu majlis dengan Nabi. Bahkan harus sudah membedakan mana yang
baik dengan yang buruk (mumayyiz, remaja). Di samping itu beriman dengan
kerasulan Nabi. Sementara menurut versi ahli hadîts, cukup hanya dengan
beriman dan pernah berjumpa dengan Nabi.

Dari kedua versi di atas, dapat diketahui betapa longgarnya batasan


yang dibuat oleh ahli hadis bila dibanding dengan batasan sahabat menuirut
versi ahli ushûl. Dari versi ushûl menggambarkan, bahwa seseeorang yang
hanya berjumpa dan mengimani kerasulan Nabi belum bisa dikatakan sebagai
sahabat, karena belum (tidak) pernah meriwayatkan hadis barang satu
kalimatpun. Dengan demikian dapat diketahui, bahwa statemen yang
menyatakan semua sahabat adalah ‘adil, lebih dapat dipertanggung-jawabkan
apabila dihubungkan dengan batasan pengertian sahabat yang dirumuskan
oleh para ahli ushûl.

Merujuk kepada pengertian sahabat, persoalan yang menyusul adalah


sahabat dalam arti yang mana yang dipandang layak semua adil itu, apakah
sahabat dalam versi ahli hadis atau dalam versi ahli ushul fikih. Apabila versi
sahabat seperti yang dimaksudkan oleh ahli ushul, kemungkinan besar
persoalan bisa dianggap selesai. Tetapi bila sebaliknya, sahabat yang
dimasudkan sesuai dengan pandangan ahli hadis, maka persoalan belum bisa
dianggap selesai. Sebab, sebagaimana dapat dilihat dari batasan yang
diberikan oleh ahli hadis tentang sahabat, kelihatannya cukup longgar. Di
antara contoh persoalan yang muncul adalah al-Hakam bin Abî al’Ash yang
diusir oleh Nabi Saw. Dari kota Madinah ke negeri Tha’if dan bahkan lebih
tajam lagi berkenân dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah yang dicap langsung
oleh Allah Swt. sebagai fasiq. Apakah orang-orang seperti ini masih layak
30
dipandang sebagai sahabat yang nota bene dianggap sebagai layaknya bintang
berkedipan di malam hari. Sementara batasan sahabat yang diajukan dalam
versi ushûl al-fiqh cukup ketat, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya
orang yang hidup pada masa Nabi namun tidak termasuk dalam kategori
sahabat.

Kelihatannya dalam hal ini ada kasus pelanggaran berat terhadap


asusila yang dilakukan oleh al-Hakam. Sebab sebagai panutan umat, Nabi
Muhammad Saw. tidak akan akan segampang itu mengusir al-Hakam kalau
bukan karena ada kasus berat (dosa besar).

Al-Hakam diusir Nabi Saw. dari Madinah ke Tha’if berkenaan dengan


tingkah lakunya yang menyimpang dari ajaran Islam. Ia pernah diberitakan
sebagai seorang yang suka mengintip dan menguping rahasia rumah tangga
Rasulullah lewat pintu rumahnya. Bahkan Rasulullah hampir menusuk mata
al-Hakam karena ulahnya itu dengan sejenis benda tajam yang dibuat dari besi
(midra) ketika kepergok nguping di pintu Nabi Saw.28 Sementara al-Walîd bin

‘Uqbah yang lebih dikenal dengan Abân, tidak terdapat perbedaan di kalangan
ulama tafsir. Berkenaan dengan firman Allah Swt. dalam surat al-Hujurât

(49): in jâ’akum fâsiqun bi naba’…, tentang informasi yang disampaikan oleh


orang fasiq mengandung suatu peringatan agar hati-hati menerimanya.
Informan sendiri yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah al-Walîd yang
langsung dicap oleh Allah Swt. agar diwaspadai, sehingga bahaya yang tidak
dînginkan tidak akan menimpa orang lain. Berdasarkan cerita yang harus
dipercayai, peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah mengutus al-Walîd untuk
menginvestigasi situasi Banî al-Musthalîq. Setelah selesai misinya, ia
melaporkan bahwa telah banyak di antara Banî al-Musthalîq yang
meninggalkan Islam (murtad) dan enggan membayar zakat sebagai kewajiban
agama. Selain itu, al-Walîd juga melaporkan bahwa mereka mengejarnya
beramai-ramai, sehingga dia lari menyelamatkan diri.

Mendengar dan memperhatikan cerita al-Walîd, awalnya Nabi hampir


mempercayai laporan yang disampaikan oleh al-Walîd. Namun Allah Swt.
yang salah satu sifat-Nya
2 8 “maha mengetahui”
Lihat Daniel memberi
Djuned, Disertasi…, peringatan
hlm.3198. dengan
menuturkan surat al-Hujurat tersebut agar selektif dalam menerima informasi
yang dibawa oleh orang fasiq (al-Walîd).

Dalam rangka menguji kebenaran laporan al-Walîd terbut, maka Nabi


pun menugaskan Khâlid bin Walîd untuk mengeceknya. Ternyata dari hasil
pengecekan yang dilakukan oleh Khâlid bin Walîd memperlihatkan
kebohongan yang dibuat oleh al-Walîd. Keluarga Banî al-Musthalîq masih
kuat dalam melaksanakan ajaran agama Islam yang mereka anut. Begitu juga
halnya dengan zakat, mereka tetap mengeluarkannya.

Berkaca kepada kenyataan sejarah di atas, maka penyelesaian kasus


‘adâlah sahabat kelihatannya definisi sahabat itu sendiri harus dibatasi lagi
dengan mengecualikan orang fasiq. Dengan demikian, maka anggapan bahwa
semua sahabat adalah ‘adil (kulluhum ‘adûl) betul-betul dapat dipertahankan.
Sementara dengan memperketat definisi sahabat, seperti yang dikemukakan
oleh ahli ushul, kelihatannya telah memungkinkan untuk mengatakan semua
sahabat adalah ‘adil. Kemudian bahwa keadilan semua sahabat bukan
merupakan harga mati. Artinya, bahwa memandang semua sahabat serta merta
telah terhindar dari tingkah laku yang dapat merusak ke’adilannya.
Tampaknya hal ini sejalan dengan apa yang pernah diucapkan oleh Hujjatul
Islam Imam al-Ghazâlî “berdasarkan keyakinan kami cukup kuat untuk
mengatakan bahwa mereka (sahabat) adil, selama tidak ada bukti kuat yang
mengindikasikan bahwa ada seseorang yang berbuat fasiq secara sadar”. Dari
ucapan al-Ghazâlî dapat diketahui, bahwa disamping dia mengakui keadilan
para sahabat juga tidak tertutup kemungkinan ada yang tidak adil. Juga dengan
adanya pengecualian di atas menggambarkan tidak ekstrimnya (opened mind)

sikap dalam menghadapi debat argumentasi.


Dengan demikian, maka dengan alternatif ketiga sahabat dapat
dipandang semua adil sekaligus tidak menutup kemungkinan adanya (paling
tidak non-sahabat, tapi Islam yang hidup masa Nabi) yang tidak memenuhi
sebagai status tidak adil.

Ke-dlhâbith-an
kuat daya ingat. Hadis perawi yang merupakan
yang diriwayatkan syarat
perawi yangketiga,
lemah yaitu
daya tegar
ingat dan
dapat
mengakibatkan berbagai kemungkinan. Misalnya, pemutar-balikan
32 matan teks
hadis atau sanad-nya, terjadinya kontroversi yang tidak dapat ditarjih dan
pertentangan antara riwayat yang lemah dengan yang lebih kuat. Bagaimana
halnya dengan sifat ‘adalat, dlabith ini juga dapat diketahui dengan
membandingkan riwayat perawi dimaksud dengan perawi yang sudah terkenal
ke-dlabithan-nya. Tentang hal ini, A. Qadir Hassan mengatakan “Kalau
riwayat si rawi setuju dengan riwayat dengan orang kepercayân itu,
menunjukkan bahwa si rawi itu dlabith. Sebaliknya, kalau tidak cocok, ini
menunjukkan si rawi kurang atau tidak dhâbith”.29

Mengingat sifat Rasulullah Saw. yang penyabar dan lemah lembut


dalam menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, sulit
dibayangkan akan mengusir seseorang kalau bukan karena telah melampaui
batas. Artinya, kalau bukan karena perbuatan al-Hakam melampaui batas,
Nabi tidak akan mengisolasinya sampai beliau wafat. Bahkan semasa Abu
Bakar pun, al-Hakam tetap di tempat pengasingannya hingga berakhir masa
pemerintahan ‘Umar bin Khaththâb. Baru setelah kekhalifahan dijabat oleh
Utsmân bin ‘Affân, al-Hakam kembali ke Madinah hingga akhir hayatnya.

Adalah merupakan hukum alam bahwa daya ingat seseorang tidak


sama (tafawut) dengan yang lainnya. Ada orang yang tidak cukup tegar
(dlhâbith), namun tidak sampai lemah ingatannya. Apabila orang seperti ini
meriwayatkan hadis, hadisnya dikategorikan sebagai hadis hasan. Hadis hasan

(bernilai bagus, dekat ke shahîh) diperselisihkan batasannya, karena ia berada


di antara yang shahîh dan dla’îf dalam pandangan seorang ahli. Daya ingat
penuturnya kurang tegar.30 Jadi, beda hadis shahîh dan hasan adalah bila
perawinya sempurna (kuat) ingatannya, maka disebut hadis shahîh. Sedangkan

hasan (cukup baik), yaitu bilamana ingatan penutur (râwi) hadisnya kurang
kuat (khaffa dlabthuhu).

Ahli hadis pertama yang membagi hadis kepada shahîh, hasan dan
dla’îf (hadis yang padanya tidak terdapat kualitas sebagai hadis shahih
maupun hasan) adalah Imam Abû ‘Isa al-Turmudzî.31

2 9 A. Qadir Hassan, Ilmu3Musthalah


10 Al-Khathîb,
Hadîts,
Ushûl
Ushûl…,
Diponegoro,
…,hlm.
hlm.332-
331. 37. 33
Bandung, 1991, hlm. 467.
Dengan sifat tegar (dlhâbith) ini diharapkan hadis dapat terhindar dari
kelalaian (mughaffal), banyak kesalahan dalam meriwayatkan hadis dengan
tuduhan dusta. Keterhindaran hadis dengan hafalan dan catatan ini oleh ulama
hadis disebut juga dengan dlhâbith. Oleh karena itu, dlabith ada dua; dlhâbith
al-shadar (memperhatikan hafalan dan memelihara apa yang dihapalnya) dan

dhâbith al-kitab (memelihara kitabnya dengan baik).32 Daya ingat yang kuat
(dlhâbith) belum sepenuhnya menjamin terhindar dari perbedaan bahkan
pertentangan antara satu hadis dengan yang lain. Untuk mengurangi kenyataan
ini seminimal mungkin, para ahli hadis telah membuat dua persyaratan
tâmbahan untuk shahih (otentiknya) suatu hadis; tidak eksentrik (syâdz) dan
tidak cacat yang serius (‘illat). Kedua syarat ini merupakan ketentuan yang
berfungsi untuk mengontrol ketiga syarat yang telah disebutkan.

Al-Syâfi’ î mendefinisikan syâdz sebagai hadis yang diriwayatkan oleh


seorang perawi yang handal, namun menyalahi penuturan umum. 33 Sementara
Adîb Shâlih memberi batasan sebagai hadis yang ditunjukkan oleh seorang
periwayat yang handal, tetapi bertentangan dengan yang dituturkan oleh
sejumlah penutur handal lainnya. 34 Sedangkan menurut para ahli hadis
mendefinisikan syâdz itu dengan hadis yang hanya mempunyai sanad satu
orang saja. Penuturnya handal atau tidak, namun eksentrik, di luar kebiasaan.35
Dengan demikian, apabila orang yang menuturkannya itu handal (‘adil), maka
penerimânya ditangguhkan dan tidak digunakan untuk hujjah. Sedangkan
yang dituturkan secara aneh oleh orang yang tidak handal, maka langsung
ditolak. Demikian menurut al-Sibâ’î.

Sedangkan ‘illat adalah hadis yang terungkap mengandung cacad yang


menodai keshahihannya, meskipun sepintas tampak bebas dari cacad.36
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk otentiknya suatu
hadis paling tidak secara mutlak harus terpenuhi lima syarat tersebut. Salah

3 2 Al-Thahhân, Taysîr…., hlm. 28.


3 3 Musthafa al-Sibâ’î, al-Sunnah…, hlm. 63..
33 465 Shâlih,
Musthafa
Subhî Lamhat
al-Shâlih,...,
al-Sibâ’î, h.al-Sunnah…,
Membahas225. …, hlm. 34
hlm.162.
63.
satu di antara syarat tersebut khusus tentang rangkaian penutur (rijâl), yaitu
harus merupakan mata rantai yang tidak terputus (muttashil, turun-temurun)
sejak dari penutur terakhir hingga sumber pertama (Rasul atau sahabat). Dua
sayarat khusus yang lain menyangkut penutur (rijâl, perawi) yang terlibat
langsung, yaitu bahwa ia harus handal (‘adil) dan tegar (dlhâbith). Kedua
syarat yang menyangkut rijal inilah yang akan penulis jadikan sebagai
sebagai kriteria mengevaluasi para penutur (rijâl) sebagaimana syarat yang
dipakai Imam al-Ghazâlî di dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah-nya.

Dengan demikian dapat dipahami seberapa jauh mereka dapat


dipercaya atau sebaliknya seberapa jauh mereka itu dusta atau pelupa. Syarat
yang khusus lainnya adalah teks hadis (matan), yaitu syâdz (terhindar dari teks
eksentrik, controversial) dan ‘illat (cacad yang serius).

C. Pemikiran dan Karya al-Ghazâlî


Pada umumnya seseorang tidak bisa terlepas dari hubungan budaya-
masyarakat dimana dia hidup. Budaya masyarakat yang mengelilingi
seseorang akan membentuk pola pikirnya, sehingga pemikiran yang lahir
selalu terkait dengan sejarah pemikiran yang berkembang, baik sebelumnya
maupun yang sedang ada pada sât itu. Tampaknya seperti itu juga yang
berlaku dengan al-Ghazâlî37 yang digelari dengan panggilan Al-Ghazâlî.38
Secara eksplisit hal ini dia kemukakan dalam kitab karyanya al-Munqidz min
al-Dhalâl. Sebagaiman juga telah dikemukakan sebelumnya, bahwa yang
menjadi inspirator keilmuwan tasawufnya termasuk buku-buku Abû Thâlib
al-Makkî dan al-Muhâsibî ditambah dengan pengalaman para sûfi lainnya,
seperti al-Junaid al-Baghdâdî, al-Syiblî dan Abû Yazîd al-Busthâmî.

Al-Ghazâlî hidup ketika kekuasaan kekhalifahan hanya sebatas pada


aspek spritual semata. Sementara bidang politik secara de facto berada pada

3 7 Nama lengkapnya adalah Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad adalah
putra asli Thûs, Khurasân. Ia lahir pada tahun 450 H/ 1058 M. Ada yang meriwayatkan bahwa dia
seorang sarjana
lahir pada tahunhukum
451 H. ternama yang
Lihat Abû berprofesi
al-Wafa’ sebagaial-Taftazanî,
al-Ghânimi dosen dan penulis. Lihat
Sûfî dari Margareth
Zaman ke Zaman,
Smith, Pemikiran
3 8 Namaterj.
dan
AbûPustaka,
Doktrin
Hâmid Bandung,
Mistis
juga Al-Ghazâlî,
1997,
dikenal dalamhlm.terj.
148.Amrouni,
keluarga Selanjutnya
Rirora
al-Ghazâlî, 35pamannya
disebut
yaitu Cipta,
al-Bandung,
Taftazanî,
sendiri, tt, hlm. 1.
penguasa-penguasa lokal yang tersebar di wilayah dunia Islam, yang terdiri
dari berbagai gelar seperti Sultan, Amir dan Raja. Dalam waktu yang
bersamaan muncul berbagai aliran atau mazhab, baik di bidang akidah
maupun hukum. Hal ini dibenarkan oleh pemikir yang sezaman dengan al-
Ghazâlî, al-Syahrastanî (w. 548 H). menggambarkan betapa banyaknya aliran
pemikiran di dunia Islam ketika itu.39 Masing-masing aliran, menurut al-
Ghazâlî mengklaim bahwa alirannyalah yang benar.40

Kendati hubungannya dengan persoalan politik semakin longgar dalam


perkembangan selanjutnya, persoalan-persoalan teologi bermunculan dan
menciptakan kelompok-kelompok teologis umat Islam. Misalnya
Mu’tazîlah41, Asy’ariyah42 dan Matûridiyah.43 Demikian pula halnya dengan
kemajuan pemahaman hukum (fikih), seperti Hanafî, Malîkî, Syâfi’î , Hanbâlî
dan lain sebagainya.

3 9 M. Yasir, Manusia …, hlm. 18.


4 0 Al-Ghazâlî, al-Munqidz …, hlm. 6.
4 1 Dibanding dengan aliran lain, Mu’tazilah merupakan aliran yang muncul kemudian.
Namun jasanya masuk dalam deretan paling penting dalam menyusun sistem ilmu kalam. Hal ini
dikemukakan oleh penentang Mu’tazîlah sendiri, seperti al-Malthi dan Isfarainî. Bahkan menurut
Jamal al-Dîn al-Qâsimî, bahwa Mu’tazilah merupakan aliran teologi peletak dasar-dasar akidah
pertama yang memperkenalkan dan mengkompromikan antara al-manqûl dan al-ma ’qûl.Walaupun
asal-usul aliran ini tidak disepakati oleh para penulis, namun pendapat yang populer selalu
menyebut, bahwa peristiwa antara Wâshil ibn ‘Atha’ dengan Hasan al-Bashri-lah yang
mengangkat perbedân pendapat mereka tentang pelaku dosa besar. Mu’tazîlah dikenal dengan ahl
al-‘Adl wa al-Tawhîd. Lima dasar aqidah Mu’tazîlah, yaitu : al-tawhîd, al-‘adl, al-wa ’d wa al-
wa ’id, al-manzilah bayn al-manzilatayn dan al-amr bi al-ma ’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar.Selain
aliran ini berjasa meletakkan dasar-dasar akidah dalam ilmu kalam, juga karena kejayaannya
bersamân dengan masa kejayân dunia Islam. M. Yasir, Manusia …, hlm. 20. Juga: Ahmad
Mah mûd Shubhî, al-Mu’ tazîlat, Mu’assasat al-Saqafat al-Islâmîyat Iskandarîah, 1982, hlm. 99-
101. Selanjutnya disebut Shubhî.
4 2 Aliran Asy’arîah berbeda dengan Mu’tazîlah yang lebih dulu muncul. Asy’arîah yang
muncul dengan nama pendirinya, yaitu Abû al-Hasan al-Asy’arî (260 H-324 H) lahir sekitar awal
abad ke-empat Hijrîah. Pendirinya besar di lingkungan Mu’tazîlah hingga usia empat puluh tahun.
Aliran ini disebut sebagai aliran moderat antara ahl al-hadîts yang sangat tekstual dan Mu’tazîlah
yang cukup rasional. Ibrâhîm Madkûr, Falsafat al-Islâmîyah, vol. I, Dâr al-Ma’ârif, Kairo, 1976,
hlm. 113-114. Salah satu perbedaan yang cukup mendasar antara Mu’tazîlah dengan Asy’arîyah
adalah persoalan perbuatan (kasb) manusia dan kemampuan akal. Menurut Mu’tazîlah, bahwa akal
memiliki kemampuan yang dominan dan manusia memiliki efektifitas dalam merealisasikan
perbuatannya. Berbeda dengan Asy’arî, bahwa akal kurang mampu dan manusia tidak memiliki
Abû Manshûr
efektifitas. al-Matûridî.
Lihat: Dilihat Teologi
Harun Nasution, dari aspek pandangannya
Islam, mengenai
Yayasan Penerbit kemampuan
Universitas akal dan
Indonesia, Jakarta,
perbuatan manusia,
1972, hlm. 86-87,107.dibanding dengan Asy’arîyah, aliran Matûridîyah lebih maju walaupun tidak
semaju Mu’tazîlah. LihatAsy’arîyah,
4 3 Sebagaimana Harun Nasution, Teologi …,juga
aliran Matûridîyah hlm. 36 pendirinya, yaitu
92, 112-113.
mengambil nama
Selain aliran-aliran tersebut di atas, juga masih ada aliran lain
seperti Murji’ah. aliran ini merupakan aliran yang berpendapat bahwa
orang muslim yang berbuat dosa besar tetap muslim dan tidak menjadi
kafir. Berkaitan dengan perbuatan dosa besarnya, ia akan mendapatkan
hukuman dari Allah Swt. sesuai dengan perbuatan dosanya secara adil.
Setelah hukumannya dianggap selesai sesuai dengan kesalahan yang dia
lakukan, maka terlepas dari adzab kemudian dimasukkan ke dalam sorga.
Dengan demikian kehidupannya di neraka hanya sementara. Bahkan
mungkin saja dia tidak menjalani hukuman atau adzab sama sekali, apabila
Allah Swt. berkenan mengampuni kesalahan-kesalahannya, tetapi dia
langsung masuk ke dalam sorga.44

Sementara aliran al-Qadarîyah berpendapat lain, dimana setiap diri


manusia dapat dan mampu meniptakan perbuatannya sendiri. aliran ini
terkenal dengan pengembangan ajaran free will dan free act. Setiap
kebaikan maupun keburukan yang dilakukan oleh manusia, demikian
menurut mereka, bukanlah takdir semata dari Allah Swt. Sebab itu, iman
yang dimiliki oleh seseorang maupun kekafiran yang ada padanya
merupakan pilihan manusia dan perbuatannya sendiri, bukan ketetapan
dari Allah Swt.45

Sebagai lawan dari aliran al-Qadariyah adalah al-Jabbâriyah. aliran


yang disebutkan terakhir ini berpendapat bahwa setiap perbuatan manusia,
seperti kegiatan sehari-hari, berjalan, bekerja, memanah, melempar dan
sebagainya adalah ketetapan (taqdîr) dari Allah Swt. Perbuatan manusia
itu merupakan perbuatan Allah, manusia tidak bisa berbuat apa-apa.

4 4 Dilihat
berarti memberi dari asal kataGolongan
pengharapan. Murji’ah, yaitu arja’a dapat
Murji’ah yang berarti menunda. Arja’a
dikelompokkan jugadua
menjadi dapat
golongan
besar, yaitu golongan moderat dan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak membuat dia kafir, namun tetap mukmin , sehingga tidak akan kekal
di dalam neraka. Bahkan dengan rahmat dan ampunan Allah Swt. bisa tidak masuk neraka sama
sekali. Sedangkan golongan Murji’ah ekstrim, yaitu golongan yang berpendapat bahwa amalan
merupakan sesuatu yang tidak penting. Menurut mereka yang terpenting adalah keimanan. Dengan
demikian, orang yang menyatakan kekufuran secara lisan tidak menyebabkan dia menjadi kafir.
Sebab, demikian menurut golongan ini, iman dan kafir ada dalam hati. Bukan di bagian lain di luar
tubuh manusia. Lihat: Syarif Yahya al-Amin, Mu’jam al-Firâq al-Islâmîyah, Dâr al-Adhwa’,
Beirut, 1986, hlm.al-Qadarîah
4 5 Aliran 37 adanya taqdir
219. Allah.ini merupakan orang-orang yang tidak menyetujui
Semua tindakannya adalah terpaksa oleh ketentuan Allah Swt., sehingga
manusia tak obahnya bagaikan wayang yang dimainkan oleh dalang di
balik layar. Bahkan menurut mereka manusia tak berbeda dengan benda-
benda mati yang tidak mempunyai kebebasan dan tak mampu berbuat.46

Sedikit ada perbedaan dengan aliran Asy’ariyah, dimana semua


perbuatan manusia baik yang terpuji (al-mahmûdah) maupun yang tercela
(al-mazmûmah) merupakan ciptân Allah Swt. Namun dalam perbuatannya
manusia masih memiliki kehendak dan mempunyai hak memilih (ikhtiyâr)
dalam mere’Alîsasikan tindakannya tersebut. Logikanya, bahwa manusia
mempunyai kehendak (masyî ’ah) dan memiliki usaha (ikhtiyâr) adalah
adanya kerja keras, berpikir dan unsur kesengajân manusia dalam
mewujudkan perbuatannya. Kelihatannya dalam paham ini, al-Asy’ariyah
berusaha menempuh jalan tengah antara aliran al-Jabbâriyah dengan al-
Qadariyah, yaitu dengan mengemukakan konsep usaha (kasb). Menurut
pendapat mereka, ketika manusia akan melakukan perbuatan yang
dînginkankannya, bahwa Allah-lah yang menciptakan kemampuan
(istithâ’ah) untuk melakukan perbuatan tersebut. Artinya, bahwa konsep

kasb yang diajarkan oleh al-Asy’ariyah adalah manusia berusaha mencari


kekuatan (qudrah) dalam mewujudkan perbuatan yang dikehendakinya.
Namun, pada akhirnya Allah Swr. jualah yang berperan dalam
menciptakan kekuatan ketika manusia melakukan perbuatannya.47 Dengan
demikian, apabila dilihat dari sisi kemaha-kuasân Allah, maka perbuatan
manusia adalah ciptân (makhlûq) dan juga sesuatu yang baru dari sisi
manusia, yaitu berbentuk usaha (kasb).

Kemudian ada lagi aliran al-Mu ’tazîlah yang dipelopori oleh


Khudzaifah Wâshil ibn ‘Atha’. Pada mulanya, Wâshil ibn ‘Atha’ adalah
murid pentolan dari al-Hasan al-Bashrî. Kemudian dia berbeda pandangan

4 6 Golongan al-Jabbârîah ini terbagi kepada dua macam: Pertama, al-Jabbârîah moderat
yang menetapkan adanya usaha (kasb) dalam perbuatan manusia, seperti halnya golongan
Asy’arîah. Kedua, al-Jabbârîah ekstrim, yaitu golongan yang tidak menerapkan adanya usaha
(kasb) dalam perbuatan manusia, seperti aliran al-Jahamîah, al-Najjârîah dan al-Dharûrîah. Dengan
konsep seperti ini mereka
hlm.
menegasikan
81. 4 7 Al-Amin,
adanya taklîf’ …,
Majma yang 35-37. 38
diwajibkan.
hlm. Lihat al-Amin, Majma ’ …,
dengan gurunya dalam menentukan muslim yang berbuat dosa besar dan
tidak bertaubat sampai meninggal. Menurut pendapat gurunya, Hasan al-
Bashrî, bahwa orang tersebut tetap sebagai muslim. Berkenaan dengan
dosa besar yang dilakukannya, ia akan mendapat ganjaran sesuai dengan
perbuatan dosa tersebut. Kemudian dia dibebaskan dan selanjutnya
ditempatkan dalam sorga layaknya muslim yang tidak berdosa lagi.
Sementara Khudzaifah Wâshil ibn ‘Atha’ berpendapat lain; orang tersebut
tidak lagi mukmin, juga tidak kafir. Sebagai konsekwensinya, maka
tempatnya pun tidak dalam sorga dan bukan di neraka. Namun ia akan
ditempatkan pada suatu tempat di antara dua tempat sorga dan neraka (al-
manzilah bayn al-manzilatayn). Semenjak peristiwa itu, maka disebutlah
aliran yang dia bawa sebagai al-Mu’tazîlah, artinya orang yang
memisahkan diri dan berbeda pendapat dari gurunya.48

Pada saat itu juga berkembang golongan Syi’ah yang pada awalnya
merupakan pengikut setia ‘Alî ibn Abî Thâlib ketika terjadi perang Shippin
antara ‘Alî dengan Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân. Pengikut ‘Alî ibn Abî
Thâlib ini kemudian berkembang menjadi suatu yang membawa faham

Imâmah. Artinya, menurut mereka bahwa yang berhak menjadi pemimpin


(Imâm) sebagai pemegang tampuk khilâfah adalah ‘Alî ibn Abî Thâlib dan
keturunannya dengan Fâthimah al-Zahra dari keluarga Nabi (ahl al-bayt).

terbaik (ashlah). Sebab itu, semua perintah dan larangan Allah selalu terkait dengan kebaikan dan
keburukan sebagai konsekwensinya terhadap manusia. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa
perbuatan manusia bukanlah ciptaan (makhlûq). Allah tidak dapat dilihat pada hari kiamat dan
4 8 boleh
Allah tidak Orang-orang Mu’tazilah
berbuat berpendapat
zhalim. Mereka bahwakonsep
memiliki Allah berkewajiban untukyang
baik dan buruk berbuat yang
logis dan rasional.
Berkenaan dengan al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa itu adalah makhluk dan menegasikan
sifat-sifat Allah yang qadîm. Sebab itu, mereka menyatakan bahwa Allah mengetahui dan hidup
dengan Dzat-Nya bukan dengan sifat ilmu dan hayat sebagaimana dipahami oleh aliran lain.
Kemudian mereka sepakat buat mengatakan bahwa orang mukmin yang meninggal dalam keadân
ta’at dan taubat berhak mendapatkan pahala. Sedangkan tinggi rendahnya darajat orang dalam
sorga merupakan persoalan lain. Sebaliknya, orang mukmin yang meninggal dengan membawa
dosa besar, maka ia berhak kekal di dalam neraka. Namun siksânnya jauh lebih ringan
dibandingkan dengan siksaan yang harus diterima oleh orang-orang kafir. Konsep seperti ini
dikenal dengan janji dan ancaman (al-wa ’d dan al-wa ’id). Mu’tazilah ada dua bagian, yaitu
Mu’tazîlah yang berasal dari Baghdâd dan yang berasal dari Bashrah. Dari kedua aliran Mu’tazîlah
ini terpecah lagi menjadi berbagai golongan, hingga mencapai dua puluh golngan lebih. Lihat al-
Amin, Majma ’, …, 226-227. 39
Menurut mereka pendapat ini adalah berdasarkan nash al-Qur’an dan al-
Hadîts sebagat wasiat dari Nabi Saw. 49

Selain aliran-aliran teologi sebagaimana dikemukakan di atas, ada


juga peerkembangan berbagai aliran di bidang fikih yang dikenal dengan
madzhab. Misalnya aliran Hanafiyah atau disebut juga aliran Ahnaf, yaitu
para pengikut imam Abû Hanîfah ibn Tsâbit. Ia merupakan seorang ulama
yang ahli dalam ilmu-ilmu agama berkebangsân Irâq. Dalam melakukan
hal isbath atau penetapan hukum ia berpedoman kepada al-Qur ’an, al-
Sunnah, rasio (al-ra’y, logika) dan analogi (al-qiyâs, perbandingan).
Selain itu ia juga menggunakan ijma ’ para ahli Madinah, isstishlah dan

maslahah mursalah.50

4 9 Mereka meyakini betul bahwa para Nabi adalah utusan Allah yang mendapatkan
perintah untuk menyampaikan hukum-hukum-Nya kepada para hamba-Nya. Para Nabi
mendapatkan wahyu dari Allah melalui malaikat Jibrîl a.s. dan mereka adalah orang-orang yang
terjaga (ma ’shûm, steril) dari dosa besar maupun dosa kecil, sepanjang umurnya, sebelum dan
setelah diutus jadi Nabi yang terkait dengan urusan syari’at maupun di luar syari’at. Di kalangan
mereka, Nabi Muhammad Saw. adalah sebagai Nabi terakhir (khatam al-anbîâ’). Syari’at yang dia
bawa menghapus semua syari’at yang telah ada dan syari’at ini berlaku terus hingga hari kiamat.
Sementara Imâmah menurut mereka adalah suatu keniscayân yang mengurus persoalan
dunia dan agama. Sebab, demikian menurut mereka, Imâmah berfungsi sebagai pengganti Nabi
Muhammad Saw. yang wajib dipilih oleh Allah Swt. bukan didasarkan kepada pilihan umat,
sebagaimana layaknya seorang Imâm yang wajib bersifat ma ’ shûm. Satu-satunya Imâm yang
berhak menggantikan kedudukan Nabi Saw. adalah ‘Ali ibn Abî Thâlib. Kemudian dilanjutkan
oleh anaknya, al-Hasan dan dilanjutkan oleh saudaranya al-Husein. Kemudian dilanjutkan lagi
oleh anaknya ‘Ali Zain al-‘Âbidîn dan demikian seterusnya secara turun-temurun dari garis
keturunan ayah ke anak. Imâmah tersebut didasarkan kepada wasiat dari para Imâm sebelumnya.
Bahkan menurut mereka Imâm Mahdi masih hidup sampai sekarang. Hanya saja tidak dapat dilihat
dengan pandangan mata, karena adanya hikmah Allah yang menuntut hal seperti itu.
Berkenaan dengan persoalan fikih, menurut mereka adalah pengetahuan tentang hukum-
hukum syari’at yang bersifat furu’ dari dalil-dalilnya yang terperinci (tafshîlî, terurai). Mereka
juga menyebut ahli fikih sebagai mujtahid. Khusus bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan
mujtahid di setiap zaman wajib baginya menggunakan akalnya . Ia tidak boleh mengikuti pendapat
orâng lain. Sementara orang awam, boleh mengikuti pendapat orang lain. Lihat al-Amin,
Majma ’…, hlm. 151-153.
5 0 Aliran ini banyak dianut di berbagai dunia Islam. Sebagai pembawa aliran ini, Abû
Hanîfah ibn Tsâbit lahir pada tahun 80 H. dan wafat pada tahun 150 H. Ia mendapat julukan
sebagai Imam Besar (al-Imâm al-A’zham). Salah seorang dari muridnya yang berjasa dalam
menyebarkan aliran Hanâfîah adalah Abû Yûsuf, Ya’qûb ibn Ibrâhîm al-Anshârî. Abû Yûsuf juga
termasuk salah
bertambah sseorang
dan tidak yang pertama
berkurang, sepertikali mendapat
halnya bulatanjulukan Hakim
matahari. Agungmengajukan
Ia pernah (Qadhi al-Qudhâh)
untuk wilayahbahwa
pendapatnya kota Baghdâd yang wafat
boleh menerima pada
pajak daritahun
para 182 H.
penyembah berhala, kecuali dari orang yang
berkebangsân
Abû Arab.
HanîfahLihat
mengatakan,
al-Amin, Majma
bahwa ’…,
imanhlm.
adalah membenarkan40
104-105. dengan hati, tidak
Kemudian aliran yang dikenal dengan al-Syâfi’îyah, yaitu para
pengikut pemahaman al-Syâfi’î. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn
Idrîs ibn al-‘Abbâs ibn ‘Utsmân ibn Syâfi’î. Secara etnis, al-Syâfi’î
berkebangsaan Arab Quraisy yang dilahirkan di Ghâza pada tahun 150 H.
dan wafat dalam usia sekitar 54 tahun, yaitu pada tahun 204 H. Landasan
yang dia terapkan dalam penetapan hukum selain al-Qur ’an dan al-Hadîts
adalah al-Ijmâ ’ dan al-Qiyâs serta al-Istidhlâl.51

Selain aliran tersebut di atas yang tidak kalah populer adalah al-
Hanbalîyah atau Hanâbilah yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal.
Ahmad ibn Hanbal adalah seorang Arab Syaibân yang dilahirkan di Irâq
pada tahun 164 H. dan wafat pada tahun 241 H. di kota Irâq. Dalam
menetapkan hukum, ia menggunakan fatwa sahabat Nabi, Hadis Mursal
dan Hadis Dla’îf serta al-Qiyâs selain al-Qur ’an dan al-Sunnah.52

Demikian sekilas perkembangan pemikiran Islam yang ada pada


priode kehidupan al-Ghazâlî yang kemudian juga terjadi di Eropa pada
abad XV dan XVI di mana para penguasa politik saling berebut
kekuasaan dan daerah teritorial serta mencari dukungan dari kelompok-
kelompok agama dan aliran tertentu. Sebaliknya, para aliran agama juga
mencari dukungan dan pengaruh dalam mempertahankan eksistensinya
serta wilayahnya masing-masing.

Dengan adanya saling membutuhkan antara penguasa politik


dengan pemimpin aliran dan pemikiran, maka muncullah aliansi dan
persekutuan di antara kedua pemimpin teresebut sekalipun eskalasinya
tidak setajam yang terjadi di Eropa lima abad kemudian. Tampaknya
situasi yang seperti itulah yang menyebabkan al-Ghazâlî merasa prihatin.
Selain pembunuhan terhadap Nizhâm al-Mulk, tidak lama sebelum al-
Ghazâlî meninggalkan Baghdâd, Sultan Barkiyaruk memenggal leher
pamannya sendiri, Tutusi yang didukung oleh Khalîfah.

Tampaknya bukanlah sesuatu yang serba kebetulan terjadi, bahwa


pasca meninggalnya Sultan Barkiyaruk pada tahun 498 H/ 1105 M. al-
5 21 Al-Amin, Majma ’ …, hlm. 104.
142. 41
Ghazâlî kembali dapat dibujuk oleh wazîr Fakhr al-Mulk, anak Nizhâm
al-Mulk agar kembali mengajar di Khurasân, setelah sebelumnya dia
berada dalam pengasingan (‘uzlah) dan bermeditasi (khalwat).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pada akhir tahun 499 H.
atau pertengahan 1106 M. al-Ghazâlî mulai memberikan perkuliahan di
perguruan Nizhâmiyah Naishafûr.

Dengan dilandasi oleh keyakinan, bahwa setiap awal abad baru


muncul seorang pembaharu yang dibangkitkan oleh Allah Swt. dari salah
seorang hamba-Nya, al-Ghazâlî tampaknya telah berusaha sekuat tenaga
dan segenap pikiran untuk memulihkan dan memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Ia kelihatannya
meyakini betul, bahwa dirinyalah yang ditakdirkan untuk merenovasi
keadân tersebut.

Hanya saja kelihatannya persoalan yang muncul tidak akan bisa


diperbaiki oleh hanya seorang diri al-Ghazâlî, sehingga hal ini
membuatnya merasa agak gundah. Namun, perkembangan keagamân yang
terjadi di belahan Timur dunia Islam bisa mengobati sedikit dari rasa
kegundahan al-Ghazâlî terhadap situasi keagamaan dan politik. Di Afrika
utara bagian barat muncul dua kerajaan; Murâbithûn dan Muwahhidûn.
Kerajaan Murâbithûn dibangun oleh Abdullah ibn Yâsîn dan Yûsuf ibn
Tasyfîn. Wilayahnya meliputi al-Jazair, Marakesy, Afrika Barat dan
Andalusia. Sedangkan kerajan Muwahhidûn dibangun oleh Muhammad
ibn Tumart. Sedangkan wilayahnya meliputi seluruh daerah Maghrib. Al-
Ghazâlî bersahabat dengan pendiri kedua kerajaan tersebut.

Yûsuf ibn Tasyfîn misalnya, sebagai pendiri kerajaan Murâbithûn


beersahabat dengan al-Ghazâlî melalui korespondensi. Dimana Yûsuf
pernah meminta nasihat tentang persoalan damai dan perang serta
persoalan kebijaksanaan politik negara. Wajar, kalau al-Ghazâlî ikut
merasa bangga atas keberhasilan Yûsuf ibn Tasyfîn, baik dalam
membangun maupun ketika mengelola negara dengan keadilan sosial serta
kearifannya, sehingga dia digelari sebagai Khalîfah Amîr al-Muslimîn.
42
Dalam suatu riwayat diberitakan bahwa al-Ghazâlî pernah
berencana akan berkunjung ke Maghrib. Tujuannya, sebagai orang yang
merasa memiliki saham dalam mengarahkan kebijaksanaan politiknya, dia
ingin melihat dari dekat dengan mata kepalanya kehidupan yang
berlangsung di sana. Ketika perjalanannya ke arah Barat telah sampai di
Aleksanderia, Mesir dia mengurungkan rencananya setelah mendengan
berita kematian Yûsuf ibnTasyfîn.53
Demikian sekilas hubungan antara al-Ghazâlî dengan pendiri
kerajaan Murâbithûn, Yûsuf ibn Tasyfîn. Namun hubungan yang akrab
tersebut kemudian berubah menjadi sebaliknya setelah tampuk
kepemimpinan diwarisi oleh anaknya ‘Alî ibn Yûsuf ibnTasyfîn.
Kemungkinan besar keretakan hubungan tersebut dikarenakan oleh
hasutan para ulama yang punya kepentingan di sekitar kerajân, sehingga
sikap permusuhan ‘Alî terhadap al-Ghazâlî demikian memuncak. Sikap
perseteruan mencapai puncaknya, dimana pada suatu ketika
diselenggarakan acara api unggun di halaman masjid-masjid Andalusia
dan Maghrib. Bahan bakarnya tidak lain dari buku-buku hasil karya tulis
al-Ghazâlî, Ihyâ ’ Ulûm ad-Dîn.

Hubungan baik al-Ghazâlî dengan lainnya yang juga melahirkan


kerajaan yang didasarkan atas pengarahan dan petunjuk darinya adalah
dengan Muhammad ibn Tumart. Kerajaan Muwahhidûn merupakan
hasilnya setelah dia memberontak dan merebut sejumlah wilayah kerajaan

Murâbithûn. Hubungan antara al-Ghazâlî dengan Ibn Tumart selama tiga


tahun merupakan hubungan antara guru di bidang keagamaan maupun
politik dengan seorang murid.

D. Al-Ghazâlî dan Bidâyat al-Hidâyah


Tidak sedikit di antara ulama yang mengakui tentamg kehebatan al-
Ghazâlî, sama ada mutaqaddimîn maupun muta’akhkhirîn. Salah satu contoh
adalah Tâj al-Dîn al-Subkî di dalam salah satu karya tulisnya Thabaqât al-
Syâfi ’îyah pernah mengatakan, bahwa al-Ghazâlî merupakan pemberi hujjah
5 3 Al-Zabîdî, Ittihâf …, hlm. 10. 43
tentang agama (hujjat al-Islâm) yang telah mencapai tempat tinggal yang
damai (dâr al-salâm), penghimpun ilmu yang berserakan yang memiliki
kemampuan (high ability) di dalam menjelaskan berbagai persoalan, sama ada
yang bersifat nash (naql) maupun yang bersifat gagasan (‘aqlî). 54
Di dalam kitab karya tulisnya Bidâyat al-Nihâyah, Ibn Katsîr memberi
komentar terhadap kejeniusan al-Ghazâlî dalam berbagai disiplin ilmu dan
memiliki karya tulis yang tidak terhitung. Al-Ghazâlî masuk dalam deretan
orang-orang yang paling cerdas di kalangan para cendekiawan dalam
membahas setiap masalah. Ia telah menjadi seorang tuan di kala mudanya,
sehingga dia diangkat menjadi seorang dosen di Universitas al-Nizhâmîyah
Baghdâd.55
Kemudian di dalam kitab karya tulis Ibn al-‘Imad al-Hanbalî Syâdzarat al-
Dzahan fî Akhbar man Dzahab, dia mengatakan bahwa al-Ghazâlî yang
digelarinya sebagai al-Imâm Zayn al-Dîn adalah pemberi hujjah tentang
agama (hujjat al-Islâm). Abû Hâmid al-Ghazâlî adalah salah seorang tokoh
ilmu pengetahuan yang menulis karyanya dengan penuh hati-hati, diilhami
dengan kecerdasan yang luar biasa bagaikan lautan ilmu.56
Bahkan Abû al-Hasan al-Nadawî dalam bukunya Rijâl al-Fikr wa al-
Da’wah fî al-Islâm, memberi komentar : “Sungguh dunia Islam telah
mendapat anugerah ketika tokoh yang sangat dibutuhkan sât itu hadir dan
benar-benar mewarnai pada pertengahan abad ke-lima Hijriyah. Tokoh
dimaksud tidak lain adalah al-Ghazâlî.57 Tidak ketinggalan Annemarie
Schimmel memberi komentar bahwa “tidak ada pemikir zaman pertengahan
Islam yang menarik para cendekiawan Barat melebihi al-Ghazâlî”.58
Penilaian-penilaian di atas kiranya bukan tidak memiliki dasar. Penilaian
tersebut dappat dibuktikan dari jumlah karya-karya intelektual yang dihasilkan

5 4 Tâj al-Dîn al-Subkî, Thabaqât …, vol. Î, hlm. 192-216.


5 5 Ibn Katsîr, Bidâyat …, vol. XÎ, hlm. 173-174.
5 6 Ibn al-Imâd, Syadzarât …, vol. IV, hlm. 10.
5 7 Abû al-Hasan al-Nadawî, Rijâl al-Fikr wa ad-Da’wah fî al-Islâm, Dâr al-Qalam,
Beirut, tth,
Pustaka
5 8 Annemarie Schimmel, Firdaus,
hlm. 180.
Jakarta,
Mystical 2000,
Dimension hlm. 122.
of Islam, 44 Djoko Darmono,
terj. Sapardi
oleh al-Ghazâlî semasa hidupnya, yang mendekati ke seluruh lini disiplin ilmu
keislaman, seperti ilmu fikih, ushûl fikih, tasawwuf, kalam, logika, filsafat dan
lain sebagainya. Sebab itu, layak kalau dia dikenal sebagai multi intelektual
sebagai faqîh, ushûlî, shûfi, dan failasuf.
Sesuai dengan bidang ilmu pengetahuan yang dikaji dan ditekuni oleh al-
Ghazâlî tersebut, maka karya-karya intelektual al-Ghazâlî dapat
diklasifikasikan berdasarkan bidang disiplin ilmu tersebut,59 yaitu : Pertama,

disiplin ilmu ushûl al-fiqh ; al-Mankhûl fî al-ushûl, Syifa ’ al-Ghâlil fî Ushûl


al-fiqh dan al-Musthashfa fî ‘Ilm al-Ushûl.
Kitab al-Mankhûl merupakan hasil karya yang ditulis al-Ghazâlî pada
masa mudanya dengan meresum pendapat-pendapat gurunya, Imâm al-
Haramayn. Sementara kitab al-Mushtashfa, sebagaimana dikemukakan dalam
pengantar kitab tersebut merupakan ringkasan dari kitab Tahdzîb al-Ushûl

yang hampir hilang dari khazanah pemikiran Islam. Menurut Yûsuf al-
Qaradhawî, kitab al-Mushtashfa tersebut ditulis oleh al-Ghazâlî dua tahun
sebelum dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.60

Kedua, disiplin ilmu fikih yang terdiri hanya beberapa kitab. Kitab-kitab
tersebut adalah al-Basîth fî al-Furu’, al-Wasîth al-Muhîth bi Aqthâr al-Basîth,
al-Wajîz fî al-Fiqh, Khulâshah al-Mukhtashar wa Naqawat al-Mu’tashar dan

Asrâr al-Hajj wa al-Fiqh al-Islâmî.


Ketiga, disiplin ilmu kalam atau aqidah. Kitab karya al-Ghazâlî dalam
ilmu ini adalah al-Iqtshâd fî al-I’tiqâd, Faishal al-Tafrîqah bayn al-Islâm wa
al-Zandaqah, Kimya ’ al-Sa ’âdah , al-Qisthâs al-Musstaqîm, Qawâ ’ id al-
Aqâ’id, al-Maqshad al-Atsna fî Syarh Asmâ ’ Allah, Iljâm al-‘Awwâm ‘an ‘Ilm
al-Kalâm, Fadhâil al-Qur ’an, al-Risâlat al-Qudsiyyah, Fadhâ’il al-
Bâthiniyyah dan ‘Aqidat Ahl al-Sunnah.
Keempat, bidang filsafat dan manthiq yang terdiri dari: Maqâshid al-
Falâsifah, Tahâfut al-Falâsifah, Mihak al-Nazhar fî al-Manthiq, Ma ’ârij al-

Qaradhawî, al-Imâm …,
5 9 Pengklasifikasian hlm.
bidang 44-45.al-Qaradhawî,
6 0 disiplin
Yûsuf Juga JamiliniShaliba,
ilmu-ilmu al-Imâm Târîkh
dapat dilihat
…, 45
hlm.
dalam…, hlm.tulis
51.karya 339-340.
Yûsuf al-
Quds fî Madârij Ma ’rifat al-Nafs, Haqâ’ iq al-‘Ulûm li ahl al-Fuhûm, Misykat
al-Anwâr, Risâlat al-Thayr dan al-Ma ’ârif.
Kelima, bidang perbandingan agama yang terdiri dari al-Qawl al-Jamîl fî
al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil, Fadhâ`ih al-Bâthinîyah, Hujjat al-Haqq

(yang disebut juga dengan Hujjat al-Bayân), Mufashshal al-Khilâf dan al-
Radd al-Jamîl li Ilâhiyat ‘Isa bi Syarh al-Injil.

Keenam, yang meliputi disiplin ilmu tasawuf, akhlak dan pendidikan.


Buku-bukunya adalah Adâb al-Shufiyyah, al-Adâb fî al-Dîn, Minhâj al-
‘Âbidîn, al-Mûshil ila dzî al-‘Izzah wa al-Jalâl, al-Munqisdz min al-Dhalâl,
Mizân al-A’mâl, Mi’râj al-Sâlikîn, Ayyuha al-Walad, Mukâsyafat al-Qulub,
Fâtihat al-‘Ulûm, al-Risâlat al-Ladunîyah, al-Hikmat fî al-Makhlûqat Allah,
Jawâhir al-Qur ’an, al-Durrat al-Farîkhah fî Kasyf al-‘Ulûm al-Akhîrah, al-
Kasyf wa al-tabyîn fî Ghurûr al-Khalq Ajma’in dan Bidâyat al-Hidâyah.

Khusus karya tulis al-Ghazâlî yang disebutkan terakhir, yang merupakan


sentra fokus pembahasan disertasi ini telah diterjemahkan oleh ‘Abdus-Samad
al-Palimbanî61 ke dalam bahasa Melayu dengan judul Hidâyat al-Sâlikîn Fî
Sulûk Maslak al-Muttaqîn.62

Dilihat dari masa penulisan, Abd al-Rahmân Badawi membaginya


dalam buku Mu’allafât al-Ghazâlî kepada lima priode63, yaitu:
Pertama, antara tahun 465 H.- 478 H. Termasuk ke dalam buku-buku yang
ditulis pada priode ini, seperti al-Ta ’lîqat fî Furû’ al-Madzâhib,dan al-
Mankhûl fî ‘Ilm al-Ushûl.

6 1 Menurut Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad dalam bukunya al- Târîkh
Salasilah Negeri Kedah (1968), bahwa ‘Abdus-Samad adalah putera Syaikh ‘Abdul-Jalil bin
Syaikh ‘Abdul-Wahab bin Syaikh Ahmad al-Mahdani. Mengenai riwayat hidupnya sangat sedikit
yang dapat diketahui, sehingga mengenai kelahiran dan meninggalnya tidak diketahui secara pasti.
Lihat Mohammad Hassan ibn Tok Kerani Muhammad Arsyad, al- Târîkh Salasilah Negeri Kedah,
Kuala Lumpur, 1968, hlm. 124. Juga M. Chathib Quzwain, Mengenal Allah; Suatu Studi
Mengenai Ajaran Tasawwuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani Ulama Palembang Abad ke-18
Masehi, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 9.
Muharrram 1192 H. di Makkah. Kemudian dicetak pada tahun 1870 M./ 1287 H. di Makkah.
6 2 Kitab ini merupakan kitab Melayu yang selesai ditulis pada tahun 1778 M. tepatnya 5
Sampai sekarang buku ini masih banyak ditemukan di toko-toko buku di Indonesia, Singapura dan
Malaysia. Buku ini juga banyak dipakai di berbagai pesantren. Lihat Quzwain, Mengenal …, hlm.
25. 6 3 Abd al-Rahmân Badawî, Mu’allafât …, 46hlm. 8-30.
Kedua, Karya-karya tulis yang dibuat antara tahun 478 H. – 488 H.
ketika al-Ghazâlî mengajar di perguruan al-Nizhâmîyah priode pertama.
Karya-karya tersebut adalah: al-Basîth fî al-Furû’, al-Wasîth, al-Wajîz fî al-
Fiqh, Khulâshah al-Mukhtashar wa Naqawat al-Mu’tashar, al-Muntahal fî

‘Ilm al-Jadal, Lubâb al-Nadzar, Tahsîb al-Ma ’khad, al-Mabâdi wa al-


Ghâyah, Syifâ ’ al-Ghâfil fî al-Qiyâs wa al-Ta ’lîl, Fatwa li Yûsuf ibn Tasyfîn,
Fatwa Shâhibih bi La ’n Yazîd ibn Mu’âwiyyah, Ghâyat al-Ghur fî Dirâyat al-
Durr, Tahâfut al-Falâsifah, Maqâshid al-Falâsifah, Mi’yâr al-‘Ilm, Mi’yâr
al-‘Uqûl, Mihâk al-Nadzar fî al-Manthiq, Mizân al-A’mâl, al-Muzhharî,
Hujjat al-Haqq, al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, al-Risâlat al-Qudsiyyah, fî al-
Qawâ ’ id, al-Ma ’ârif al-‘Aqliyyah wa al-Asrâr al-Ilâhiyyah, dan Qawâ ’id al-
Qawâ ’ id, al-Ma ’ârif al-‘Aqliyyah wa al-Asrâr al-Thâhiriyyah dan Qawâ ’id
al-Qawâ ’ id.

Ketiga, karya-karya yang ditulis ketika al-Ghazâlî dalam


pengembaraan ilmiyah dan bermeditasi (khalwat) serta pengasingan diri dari
orang banyak (‘uzlah). Karya-karya terssebut adalah: Ihyâ ’ ‘Ulûm al-Dîn,
Kitâb fî Mas’alat kull Mujtahid Mushîb, Jawâb al-Ghazâlî ‘an Da’wat
Mu’yid al-Mâlik lahu li Mu’awwadat al-Tadrîs bi al-Nizhâmiyyah,
Mufashshal al-Khalâf, Jawâb al-Masâ’il al-Arba’ allati Sa ’alaha al-
Bâthiniyyah bi al-Hamadân, al-Maqshad al-Atsna fî Syarh Asmâ ’ Allah al-
Husna, Risâlah fî Rujû’ Asmâ ’ Allah ila Dzât al-Wahdat ‘ala Ra ’y al-
Mu’tazîlah wa al-Falâsifah, Bidâyat al-Hidâyah, al-Wajîz, Jawâhir al-
Qur’ an, al-Arba’in fî Ushûl al-Dîn, al-Madhnûn bih ‘ala Ghayr Ahlih, al-
Madhnûn bih ‘ala Ahlih, al-Darj al-Marqûm bi al-Jadâwil, al-Qashahsh al-
Mustaqîm, Faishal al-Tafrîqah, al-Qanûn al-Kull fî at-Ta ’wîl, Kuniya ’ al-
Sa ’âdah, Ayyuha al-Walad, Nashîhat al-Mulk, Zâd al-Âkhirah, Risâlat ila Abî
al-Fath Ahmad ibn Salamah al-Damîmi, Risâlah ila Ba ’dhi Ahl ‘Ashrih,
Misykat al-Anwâr, Tafsîr Yaqût at-Ta ’wîl, al-Kasyf wa at-Tabyîn fî Ghurûr al-
Khalq Ajma ’in dan Talbîs Iblîs.

Keempat,
Nizhâmiyah karya-karya
sebagai yang ditulis
tenaga pengajar setelah
di sana. al-Ghazâlî
Karya-karya kembali
tersebut ke al-
adalah : al-
Munqidz min al-Dhalâl, ‘Ajâ’ib al-Khawashsh, Ghâyat al-Ghurr
47 fî al-Dirâyat
al-Durr, al-Musthashfa fî ‘Ilm al-Ushûl, Sirr al-‘Alamîn wa Kasyf ma fî ad-
Darayn dan al-Imâ ’ ‘ala Musykil al-Ihyâ ’.

Kelima, karya-karya yang ditulis dua tahun terakhir sebelum al-


Ghazâlî meninggal dunia. Karya-karya tersebut adalah: al-Durrat al-Fâkhirat
fî Kasyf al-‘Ulûm al-Âkhirah, iljâm al-Awwâm ‘an ‘ilm al-Kalâm dan Minhâj
al-‘Âbidîn. Melihat karya-karyanya yang terakhir ini, dapat diketahui bahwa
al-Ghazâlî menjelang akhir hayatnya masih cukup kereatif dalam menulis
karya ilmiah.

48
49
BAB III
HADIS-HADIS BIDÂYAT AL-HIDÂYAH
DAN PENILAIAN RIJÂL-NYA

Dalam bab III ini penulis mencoba menguraikan tentang hadis-hadis yang

termuat dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah karya al-Ghazâlî. Hal-hal dimaksud


adalah Jumlah hadis dan rijâl sanad serta penilaiannya.

A. Hadis-Hadis Bidâyat al-Hidâyah, Rijâl Sanad, dan Penilaiannya


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa kitab Bidâyat al-Hidâyah
bukanlah merupakan kumpulan hadis. Sebab itu, penulis akan terlebih dahulu
mengemukakan beberapa hal yang dirasa perlu sebelum mengungkap hadis-
hadis yang termuat di dalamnya. Di antaranya, bahwa kitab Bidâyat al-
Hidâyah merupakan pembahasan tentang tashawwuf yang bercorak
pendidikan. Artinya, isi kitab tersebut mengajarkan bagaimana tata cara
mendekatkan diri (taqarrub) sedekat mungkin dengan Allâh Swt., antara

makhlûq dengan Sang Khâliq. Dengan demikian pemuatan hadis di dalamnya


dimaksudkan sebagai penopang bagi konsep pendekatan tersebut.
Kelihatannya itulah yang menyebabkan hadis-hadis tersebut diletakkan sesuai
dengan topik bahasannya. Kemudian hadis-hadis yang dimuat dalam kitab

Bidâyat al-Hidâyah tidak dilengkapi dengan sanad dan penuturnya (râwi ).


Hadis-hadisnya hanya merupakan teks (matan).

Rijâl al-sanad hadis Bidâyat al-Hidâyah yang akan disebutkan berikut


ini terdiri atas dua golongan, sahabat dan bukan sahabat. Baik golongan
sahabat maupun bukan sahabat, penulis akan coba menguraikannya sesuai
dengan hadis yang dikemukakan dan ditemukan dalam kitab sumber induk.

PenilaianGolongan
bukan sahabat. terhadap pertama,
mereka dititikberatkan padadijelaskan
sebagaimana telah golongan kedua yang
sebelumnya,
semua mereka dipandang adil, selama tidak ada orang yang mencacatkannya
secara langsung. Kalau dalam pengungkapan data diri golongan
49 sahabat ini
tidak disebutkan data yang mencacatkan mereka, maka itu indikasi bahwa
mereka tetap dipandang memiliki ‘adâlah dan tidak dipermasalahkan.

Kemudian apa dampak langsung dari keberadaan mereka tersebut


dalam sanad-sanad hadis Bidâyat al-Hidâyah akan dijelaskan ketika menilai
kualitas sanad. Penjelasan akan dilakukan dengan mengurai sanad hadis yang
terimbas dampak tersebut satu persatu. Apabila ditemukan kualitas sanad

yang tidak memenuhi kriteria sanad shahîh, maka akan dicari mutâbi‘ dan
syâhid-nya. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis akan menguraikan
pengertian mutâbi‘ dan syâhid tersebut.

Jalur-jalur sanad suatu hadis yang saling mendukung sanad-sanad


yang dapat dipandang sebagai pendukung ini, dalam kajian ilmu hadis disebut
mutâbi‘ atau syâhid.
Kedua istilah ini (mutâbi‘ dan syâhid), dimaksudkan sebagai
pendukung terhadap sanad yang dipandang lemah. Kedua istilah tersebut
memiliki pengetian yang dapat dikatakan tidak berbeda, bahkan di kalangan
para ahli hadis ditemukan yang menyamakannya.

Ada sebagian di antara ahli yang mengatakan, bahwa perbedaan antara


mutâbi‘ dan syâhid antara khusus dan umum. Hal mana mereka mengatakan
bahwa syâhid sebagai hadis pendukung memiliki persamaan dengan yang
didukung (masyhûd) tidak terbatas hanya pada kesamaan lafal dan makna.
Namun lebih jauh dari itu, juga yang hanya memiliki kesamaan makna an
sich. Berbeda dengan mutâbi‘ dimana kesamaan dimaksud terbatas pada
kesamaan lafal saja. Hadis-hadis pendukung yang memiliki makna yang sama
dengan yang didukung tidak bisa dikatakan mutâbi‘ , melainkan syâhid.

Karena itu, setiap mutâbi‘ dapat saja dikatakan syâhid, tetapi tidak sebaliknya.
Berkenaan dengan mutâbi‘ dan syâhid ini, al-Qâsimî mendefinisikan di
dalam kitab karyanya, Qawâ ’id al-Tahdîts, sebagai hadis yang diriwayatkan
oleh seorang atau beberapa periwayat, bersesuaian dengan hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat lain.1 Mutâbi‘ itu sendiri ada yang dinamakan

mutâbi al-tâmm
1 Al-Sayyid dan adaMesir,
Halabî,
Muhammad pula1961,
mutâbi‘
Jamaluddin al-qashîr.
h. 109. Qawâ ‘idDikatakan
Selanjutnya
Al-Qâsimî, disebut
al-Tahdîts, ia al-Babi
‘Isa lengkap
50al-Qâsimî. al-
(mutâbi‘ al-tâmm), apabila hadis-hadis yang besesuaian atau hampir sama
lafalnya yang diriwayatkan oleh kedua pihak tadi bersumber dari guru (syaikh)
yang sama. Bilamana keadaannya tidak seperti itu, maka hadis yang
dipandang sebagai pendukung disebut tidak lengkap (mutâbi‘ al-qashîr).2

Penguraian sanad-sanad dimaksud diawali dengan gambaran skema


sanad tersebut. Untuk mempermudah pemahaman, penulis mencoba
mengemukakan hadis sebagai contoh yang didukung oleh mutâbi‘ah

sempurna (tâmmah), yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Syâfi‘î dalam kitab
al-Umm:

:
.

Al-Baihaqî mengisyaratkan bahwa hanya al-Syâfi‘î yang


meriwayatkan hadis tersebut melalui jalur gurunya, Mâlik. Ternyata setelah
kami selidiki, al-Bukhârî pernah meriwayatkan hadis tersebut sebagai hadis
pendukung yang sempurna (mutâbi‘ah tâmmah) dalam kitab shahîh-nya,4
karena baik al-Syâfi‘î maupun al-Qa‘nabî, sama-sama menerima hadis dari
Mâlik dengan lafal yang sama pula, dimana dia mengatakan bahwa ‘Abdullâh
ibn Maslamah al-Qa‘nabî pernah menceritakan yang diceritakan oleh Mâlik
yang berasal Nâfi‘ dari ‘Abdillâh ibn Dînâr dari Ibn ‘Umar, lalu dia ceritakan
hadis tersebut di atas. Demikian menurut Ibn Hajar. 5

Sementara hadis pendukung yang tidak sempurna (mutâbi‘ah ghair


tâmmah), misalnya riwayat Ibn Khuzaimah dan Muslim. Riwayat Ibn
2 Muhammad al-Shabbâh, al-Hadîts al-Nabawî, (Riyâdh: al-Maktab al-Islâmî, 1972), h.
188. Lihat juga al-Tahânawî, Qawâ ’id Fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: al-Mathbû’at al-Islamîyah,
1972), h. 45.
3 Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillah al-Ashbahî, Muwaththa` al-Imâm Mâlik, vol. I, Bâb Mâ
Jâ`a fî Ru`yat al-Hilâl li al-Shaum wa al-Fithr fî Ramadhân, (Mesir: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî,
t.th.), h. 286. Cf. Muhammad ibn Idrîs Al-Syâfi’î, al-Umm, vol. II, Kitâb al-Shiyâm al-Shaghîr,
Kitâb al-Sya’ b, Mesir, tt., h. 124.
45 Al-Bukhârî,
Tanqîh al-Anzhâr,
Muhammad Shâhîh,
vol. II,
fashûmû
ibn vol.wa
Ismâ‘îl II,idzâ
(al-Madînat hadis
al-Amîr nomor 1807,
al-Munawwarah:
ra`aitumûh
al-Husnî faBâb Qaul
afthirû,
al-Maktabat
al-Shan‘ânî, Dâr 51
al-Nabî idzâ ra`aitum
al-Fikr,
Taudhîh al-Salafiyah,
1981,
al-Afkâr ‘al-hilâl
li Mah.t.th.),
673.
ânî h. 15.
Khuzaimah dan Muslim ini ada sedikit perbedaan, namun satu makna dengan
riwayat al-Syâfi‘î, dimana riwayat Ibn Khuzaimah, di akhir matan berbunyi:

. ...
sementara dalam riwayat Muslim berbunyi:

. ...
Ibn Khuzaimah meriwayatkan hadis yang sama dari ‘Âshim ibn
Muhammad, dari ayahnya Muhammad ibn Zaid, dari kakeknya ‘Abdillâh ibn
‘Umar, dari Nâfi‘, dari Ibn ‘Umar, dari Rasulullah.8
Skema sanad-sanad hadis yang saling mendukung di atas, jika
diuraikan akan tampak sebagai berikut:

Rasulullah Ibn ‘Umar


____________________________________

‘Abdullâh ibn Dînâr Muhammad ibn Zîyâd Nâfi‘

Mâlik ‘Âshim ibn Muhammad ‘Ubaidullâh

Ibn Khuzaimah Muslim


al-Qa‘nabî al-Syâfi‘î II IV

al-Bukhârî al-Rabî‘
I I

6 Muhammad ibn Ishâq ibn Khuzaimah Abû Bakar al-Salamî al-Naisâbûrî, Shâhîh, vol.
III, hadis nomor 1909, Bâb Zikr al-Dalîl ‘ala anna al-Amr bi al-Taqdîr li al-Syahr adzâ ghamma an
yu’adda Sya ‘bân Tsalâtsîna yauman tsumma yushâmu, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1970), h. 202.
7 Muslim ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shâhîh, vol. II, hadis
nomor 5, Bâb Wujûb Shaum Ramadhân li Ru`yat al-Hilâl wa annahu idzâ ghamma fî awwalih au
âkhirih ukmilat ‘iddat al-syahr tsalâtsîna yauman, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.th.), h.
759. Kairo,
8 Ahmad ibn ‘Alî Ibntt., h.5. al-Asqalânî,
Hajar SelanjutnyaSyarh
disebut al-Fikr,52Maktabat al-Qâhirah,
Ibn Hajar.
Nukhbat
Keterangan Skema:
Al-Qa‘nabî sebagai jalur pertama (I) dan al-Syâfi‘î sebagai jalur kedua
(II) sama-sama menerima periwayatan hadis dari Mâlik (syaikh, guru). Sebab
itu, jalur pertama (I) dipandang sebagai mutâbi‘ al-tâmm bagi jalur kedua (II).
Sedangkan jalur ketiga (III) Ibn Khuzaimah dan jalur keempat (IV) Muslim,
tidak menerima periwayatan hadis dari guru yang sama. Namun, kesamaan
sumber berita ada pada tingkat sahabat, yaitu Ibn ‘Umar. Sebab itu, kedua
jalur ketiga (III) dan keempat (IV) merupakan mutâbi‘ al-qashîr bagi jalur-
jalur yang lain. Sedangkan keempat jalur tersebut, sekaligus dapat dijadikan
sebagai mutâbi‘ terhadap jalur lain.

Sedangkan yang berhubungan dengan syâhid, umumnya ahli hadis


menyamakannya dengan mutâbi‘. Namun, ada di antara mereka yang
membedakan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Bagi para ahli hadis
yang membedakan kedua istilah syâhid dan mutâbi‘, mereka mengatakan

syâhid sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat (râwi) dari
sahabat tertentu yang memiliki kesamaan lafal dan makna, atau makna saja
dengan yang diriwayatkan oleh periwayat lain dari sahabat yang berbeda. 9

Dengan memperhatikan batasan di atas, dapat dilihat bahwa ada


perbedaan yang jelas antara mutâbi‘ dengan syâhid. Kalau pada mutâbi‘,
sanad-sanad yang saling mendukung bersumber dari hanya satu sahabat atau
sahabat yang sama. Sebagaimana contoh di atas, yaitu Ibn ‘Umar. Sementara
pada syâhid, sanad-sanad yang saling mendukung dimaksud berasal dari
beberapa sahabat atau sahabat yang berbeda.

Terlepas dari perbedaan yang muncul dari kedua istilah mutâbi‘ dan
syâhid, yang dipegangi dalam tulisan ini adalah bahwa kedua istilah dimaksud
dianggap sama. Artinya, sanad-sanad yang akan dikemukakan sebagai
pendukung sanad-sanad hadis dalam Bidâyat al-Hidâyah yang dipandang
lemah tidak dibedakan apakah itu mutâbi‘ atau syâhid. Kecendrungan ini
dilandasi oleh pertimbangan bahwa yang dibutuhkan dalam kajian ini adalah

sanad-sanad yang dapat memperkuat sanad-sanad yang lemah. Apabila


ditemukan pendukung atau
9 Ibnbukti-bukti yang dapat
Hajar, Syarh Nukbath…, h. 5.mempekluat
53 sanad yang
lemah, maka semua itu dapat disebut mutâbi‘ atau syâhid, tanpa membedakan
antara kedua istilah tersebut. Sebab itu, untuk selanjutnya dalam uraian tidak
lagi menyebut mutâbi‘ dan syâhid, tetapi cukup dengan menyebut mutâbi‘.

Bilamana dalam uraian di bawah ini kemudian terlihat bahwa dalam


kitab Bidâyat al-Hidâyah terdapat hadis-hadis yang tidak memenuhi keriteria
hadis shahîh, maka hadis tersebut akan dipandang hasan atau bahkan dha‘îf.

Selain itu, apabila dilihat kepada matan hadis, ada beberapa hadis yang tidak
ditemukan sama sekali, di samping ada yang merupakan penambahan dari

matan dengan yang ditemukan dalam sumber aslinya. Kemudian berdasarkan


kesepakatan para ulama, hadis dha‘îf tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Kenyataan ini mengundang pertanyaan, apakah hadis-hadis yang termuat di
dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah yang dipandang hasan atau dha‘îf dalam
kajian ini nantinya akan tidak dapat dijadikan dalil?

Untuk menjawab pertanyaan ini tidak dapat hanya dengan


menggunakan hasil penelitian yang akan disimpulkan nanti. Hal ini
dikarenakan suatu hadis yang sudah dipandang hasan atau dha‘îf dengan satu

sanad dapat saja dipandang shahîh dengan bantuan sanad yang lain. Secara
umum, hadis sampai ke tangan pembukunya tidak hanya dengan satu sanad

atau jalur, tetapi dengan beberapa jalur. Apabila satu jalur dipandang dha‘îf
atau lemah, masih ada peluang terdapat jalur yang lain yang shahîh. Bilamana
peluang ini terjadi, maka sanad yang lemah ketika itu menjadi kuat atau

shahîh li ghairih.
Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Bilamana ada di antara sanad hadis-hadis yang dipermasalahkan yang
kedudukannya sebagai sanad pendukung bagi sanad yang lain, maka tidak
akan dicari lagi mutâbi‘-nya, karena sudah dengan sendirinya merupakan

mutâbi‘ terhadap hadis yang lain.


2. Hadis-hadis yang akan dijadikan sebagai mutâbi‘, khusus yang
diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, tidak lagi diteliti secara
menyeluruh seperti halnya yang dilakukan terhadap hadis-hadis Bidâyat
al-Hidâyah. Dalam pengungkapan mutâbi‘ tersebut dicukupkan dengan
penunjukan tempat rujukan hadis. Sementara mutâbi‘ 54yang bukan berasal
dari kedua riwayat tokoh tersebut, maka telah diuraikan satu atau dua
sanad-nya yang dianggap perlu.
3. Dalam mencari mutâbi‘ diusahakan mencari hadis-hadis yang sama
lafalnya. Namun, bilamana tidak ditemukan hadis-hadis yang seperti itu,
maka yang dijadikan mutâbi‘ adalah hadis-hadis yang mempunyai makna
yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesulitan mencari
hadis yang lafalnya identik antara yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat dengan yang diriwayatkan oleh periwayat lain.

Sebelum menjelaskan mutâbi‘ hadis-hadis Bidâyat al-Hidâyah yang


dipermasalahkan, ada beberapa hal yang dirasa perlu untuk
dikemukakan,
bahwa kitab Bidâyat al-Hidâyah terdiri dari:
Pendahuluan (Muqaddimah)
Dalam pendahuluan ini al-Ghazâlî tidak lupa memanjatkan puja
syukurnya kepada Allâh Swt. Kemudian salawat dan salam kepada Rasulullah
Muhammad sebagai manusia pilihan, serta kepada keluarga, sahabat dan
orang-orang sesudahnya. Setelah mengantar kata pendahuluan, al-Ghazâlî
selanjutnya menjelaskan bahwa di dalam mencari ilmu terapan (al-‘ilm al-
munâfisah), apabila dimaksudkan sebagai kemegahan dan berkompetisi
dengan sesama teman serta mencari pengaruh orang lain, hal ini sama saja
dengan menghancurkan agama, membinasakan diri sendiri, jual beli dunia
akhirat yang hanya memperoleh kerugian. Ilmu yang dicari hanya membantu
berbuat ma‘shîyat yang sama saja dengan menjual pedang kepada perampok
atau penodong yang hidup di jalanan.

Berkenaan dengan pendahuluan ini, al-Ghazâlî mengemukakan


beberapa hadis, sebagai berikut:
(Hadis Nomor 1):

.
Warrâq,
1 0 Muhammad bin t.tp., t.th.),
Muhammad Abû Hâmid 55
h. 1. al-Ghazâlî, Bidâyat al-Hidâyah, Mauqi’ al-
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan tentang
meluruskan niat dalam menuntut ilmu agar tidak melenceng dari tujuan
karena Allâh Swt. semata dan (kepentingan) dâr al-âkhirah. Sebab, Imam
al-Ghazâlî memberi komentar tentang niat yang lari tujuan semula, sama
halnya menjual sebilah pedang kepada perampok (qâthi‘ al-tharîq).

Penulis tidak menemukan redaksi yang persis sama dengan yang


dikemukakan oleh al-Ghazâlî di atas dalam berbagai kitab sumber. Namun
lafal yang sama artinya dapat ditemukan dalam riwayat Abû Dâud
sebagaimana sanad di bawah ini:

." ":
Artinya: Rasulullah bersabda: “Dan siapa saja yang membantu
permusuhan dengan sewenang-wenang, maka sesungguhnya dia telah
mendapatkan kemarahan dari Allâh ‘Azza wa Jalla”.

Telaah sanad:
(1). ‘Alî ibn al-Husain ibn Ibrâhîm ibn al-Harr al-‘Âmirî

Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Abd al-Shamad ibn


‘Abd al-Wârits, Abî Badr Syujâ’ ibn al-Walîd dan ‘Umar ibn Yûnus
al-Yamâmî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Alî ibn
al-Husain ibn Ibrâhîm adalah Abû Dâud, Ibn Mâjah, dan Abû Hâtim.
Ibn Hibbân memasukkannya dalam deretan orang-orang tsiqah.

Sementara Ibn Abî Hâtim menceritakan tentang orang yang


menanyakan ayahnya mengenai ‘ Alî ibn al-Husain, katanya;

Man yu’ inu ‘ala khushumatin bi ghair an ya’ lam amraha, Dâr al-Fkr, Beirut, tt., h. 329.
Selanjutnya disebut Abû
1 1 Sulaimân 56 nomor 3598, Bâb fî
Dâud. al-Sijistânî Abû Dâud, Sunan, vol. II, hadis
ibn al-Asy’as
shadûq.12 Ibn Hajar sendiri menilainya shadûq min al-‘âsyirah yang
al-Husain wafat bulan Syawwâl tahun 261 H.13

(2). ‘Umar ibn Yûnus ibn al-Qâsim al-Hanafî Abû Hafsh al-Yamâmî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Jahdham ibn
’Abdillâh ibn Abî al-Thufail al-Qaisî, ‘Abdullâh ibn ‘Umar al- ‘Âmirî
dan ‘Âshim ibn Muhammad ibn Zaid al-‘Umarî. Sementara orang
yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah cucunya
Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Umar ibn Yûnus al-Yamâmî, al-Hasan
ibn Muhammad ibn al-Shabbâh al-Za‘ farânî, ‘Alî ibn al-Husain ibn
Isykâf al-‘Âmirî, dan lain sebagainya. Ia dipandang tsiqah dan tsâbit.
Abû Bakar al-Bazzâr memandangnya tsiqahi.14 Ibn Hajar sendiri
menilainya tsiqah min al-tâsi‘ah. ‘Umar ibn Yûnus al-Yamâmî wafat
pada tahun 206 H.15

(3). ‘Âshim ibn Muhammad ibn Zaid al-‘Umarî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn Sa‘îd ibn
Abî Sa‘îd al-Maqburî, al-Qâsim ibn ‘Ubaidillâh ibn ‘Abdillâh ibn
‘Umar dan al-Mutsanna ibn Yazîd. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari ‘Âshim ibn Muhammad adalah Abû Ishâq
Ibrâhîm ibn Muhammad al-Fazzârî, Abû al-Walîd Hisyâm ibn ‘Abd
al-Mâlik al-Thayâlisî, ‘Umar ibn Yûnus al-Yamâmî, dan sebagainya.
Para ahli hadis seperti Ahmad, Ibn Ma‘în, dan Abû Dâud
memandangnya tsiqah.16 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah min al-
sâbi‘ah.17 Kapan dia wafat tidak ditemukan keterangan lebih lanjut.

(4). Al-Mutsanna ibn Yazîd al-Bashrî

1 2 Ah mad ibn ‘Alî ibn Hajar Abû al-Fadhl al-Asqalânî al-Syâfi‘î, Tahdzîb al-Tahdzîb,
vol. VII, (Surya: Dâr al-Rasyîd, 1986), h. 266. Selanjutnya disebut Ibn Hajar
1 3 Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar Abû al-Fadhl al-Asqalânî al-Syâfi‘î, Taqrîb al-Tahdzîb, vol.
I, (Surya: Dâr al-Rasyîd, 1986), h. 266. Selanjutnya juga disebut Ibn Hajar.
1 4 Ibn Hajar, Tahdzîb…, vol. VII, h. 445.
11 576 Ibn
Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb...,
Tahdzîb…,
Taqrîb…, vol.
vol. I,I,V,
vol. h.
h.418.
h.
286.
50. 57
Ia meriwayatkan hadis, hanya dari Mathar ibn Thuhmân al-
Warrâq. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
‘Âshim ibn Muhammad ibn Zaid al-‘Umarî. Al-Dzahabî18
mengatakan . Ibn Hajar sendiri menilainya
misterius (majhûl min al-tsâminah).19 Tidak ditemukan keterangan
lebih lanjut mengenai kapan wafatnya.

(5). Mathar ibn Thuhmân al-Warrâq


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Anas ibn Mâlik, Bakr
ibn ‘Abdillâh al-Muzanî dan Nâfi‘ maula Ibn ‘Umar. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah ‘Abd al-‘Azîz
ibn ‘Abd al-Shamad al- ‘Ammî, Abû Rajâ` Muhammad ibn Saif al-
Azadî, al-Mutsanna ibn Yazîd, dan lain sebagainya. Para ahli hadis
berbeda pendapat dalam menilainya. Misalnya al-Nasâ`î yang
mengatakan bahwa hadisnya tidak cukup kuat (laisa bi al-qawiyy).
Sementara Ibn Hibbân memasukkannya dalam deretan orang-orang

tsiqah. Abû Zur‘ah menilainya shâlih, namun riwayat yang berasal


dari Anas tidak pernah dia dengar langsung (mursal). Menurut al-

Âjirî, hadisnya tidak layak dijadikan hujjah. Bahkan Yahyâ ibn Sa‘îd
menyamakan hadis Mathar ibn Thuhmân al-Warrâq dengan hadis
Ibn Abî Lailâ dalam hal kejelekan hafalannya (sî`i al-hifdz).
Khususnya hadis yang berasal dari ‘Athâ` ibn Abî Ribâh, mereka
menganggapnya dha‘îf.20 Ibn Hajar sendiri menilainya sebagai

shadûq katsîr al-khatha‘ wa hadîtsuhu ‘ an ‘Athâ` dha‘îf min al-


sâdisah. Ia wafat mendekati tahun 125 dan ada yang mengatakan
tahun 129 H.21

(6). Nâfi‘
Nama lengkapnya adalah Abû Suhail ibn Mâlik ibn ‘Amir al-
Ashbahî al-Taimî al-Madanî. Ia yang lebih populer dengan maula

1 8 Ibn Hajar, Tahdzîb…, vol. X, h. 35.


12 910 Ibn
Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb…,
Tahdzîb…,vol.
Taqrîb…, vol.I,
vol. h.
I,X, 519.
h. h.
534.
152. 58
Ibn ‘Umar menerima hadis antara lain dari ayahnya, Mâlik ibn ‘Amr
Sahl ibn Sa‘d, Sa‘îd ibn al-Musayyab, dan ‘Abdillâh ibn ‘Umar ibn
al-Khaththâb. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah Ismâ‘îl ibn Ja‘ far ibn Abî Katsîr, ‘Abdillâh ibn
Ja‘far al-Madînî, koleganya Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-
Zuhrî, dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis memandangnya

tsiqah.22 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah min al-râbi‘ah. Ia wafat


pada masa pemerintahan Abû al-‘Abbâs al-Shaffâh (122-136 H).23

(7). ‘Abdullâh ibn ‘Umar


Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar ibn al-
Khaththâb al-Qurasyî al-‘Adawî. Ia seorang sahabat yang masuk
Islam ketika masih kecil bersama ayahnya ‘Umar ibn al-Khaththâb
dan meriwayatkan hadis antara lain dari Nabi Saw., tukang adzan
Rasulullah Bilâl, dan ayahnya ‘Umar ibn al-Khaththâb. Sementara
orang yang menerima hadis daripadanya adalah Ismâ‘îl ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn Abî Dzu`aib al-Qurasyî, `Umayyah ibn ‘Abdillâh ibn
Khâlid ibn Asîd al-`Umawî, maulanya sendiri Nâfi‘ ibn Suhail. Ibn

‘Umar wafat tahun 73 atau 74 H.24


Skema sanad tentang meluruskan niat dalam menuntut ilmu agar
tidak melenceng dari dari tujuan karena Allâh Swt. semata dan
(kepentingan) dâr al-âkhirah adalah sebagai berikut:

Rasulullah Saw. ‘Abdullâh ibn ‘Umar

Nâfi‘ maula ibn ‘Umar

Mathar ibn Thuhmân al-Warrâq

al-Mutsanna ibn Yazîd al-Bashrî

‘Âshim ibn Muhammad ibn Zaid al- ‘Umarî


2 2 Ibn Hajar, Tahdzîb…, vol. X, h. 409-410.
Taqrîb…,
2 3 Keterangan lain 2 vol.
4 IbnI,bahwa
mengatakan h. 558.
Atsîr, Ushûd…,
dia wafat vol.
setelah
III, tahun 14059
h. 236-240.
H. Lihat Ibn Hajar,
‘Umar ibn Yûnus ibn al-Qâsim al-Yamâmî

‘Alî ibn al-Husain ibn Ibrâhîm al- ‘Âmirî

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad-nya ada Mathar ibn Thuhmân
al-Warrâq dan al-Mutsanna ibn Yazîd al-Tsaqafî. Mathar ibn Thuhmân al-
Warrâq dinilai shadûq namun katsîr al-khatha‘ wa hadîtsuhu ‘an ‘Athâ`
dha‘îf. Sementara al-Mutsannâ ibn Yazîd al-Tsaqafî dipandang misterius
(majhûl) di kalangan ahli hadis menyebabkan kualits sanad hadisnya

dha‘îf.
Selain riwayat Abû Dâud di atas, lafal hadis yang semakna juga
ditemukan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mâjah:

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Siapa yang membantu
seseorang membunuh orang mukmin dengan sepotong kalimat, ia akan
menemui Allâh Azza wa Jalla dengan tulisan di antara dua matanya
keputus-asaan dan rahmat Allâh".

Di dalam sanad hadis di atas terdapat Yazîd ibn Ziyâd (al-Qurasyî)


yang dipandang matrûk,26 sehingga menyebabkan sanad-nya dipandang
sangat dha‘îf.

2 5 Ibn Mâjah, Sunan, vol. II, hadis nomor 2620, Bâb al-Taghlîzh fî Qatl Muslim zhulm, h.
Selain Abû Hâtim, al-Nasâ`î
874. juga memandangnya matrûk al-hadîts. Lihat Ibn Hajar, Tahdzîb…,
dzhibXI,
vol. al-hadîts.
h.2 287.
6 AbûBahkan dia pernah juga
Hâtim memandangnya mengatakan
munkar al-hadîts.dha‘îf 60 lainseolah-oleh
Dalamalkesempatan
hadîts yang dia katakan maudhû’.
Dengan memperhatikan beberapa perawi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa sanad hadis tersebut adalah dha‘îf. Kemudian sanad
hadis kedua juga dipandang dha‘ îf, sehingga tidak dapat mendukung
kualitas sanad pertama. Namun secara makna (ma ‘nawî) hadis tersebut
dapat diterima. Sebab Allâh Swt. di dalam al-Qur’an surat al-Mâ ’idah
(Hidangan)/5: 3; hanya menyuruh agar saling tolong dalam kebaikan,
bukan dalam (berbuat) dosa. Kemudian al-Ghazâlî mengemukakannya
ketika seseorang salah niat dalam mencari ilmu terapan (‘ilm al-
munâfisah). Sementara kalau niatnya sesuai dengan tujuan atau niat
dengan anjuran Allâh Swt. dalam mencari ilmu untuk al-hidâyah semata,
maka orang tersebut berhak untuk bergembira. Sebab para malaikat akan
memayungi perjalanannya, dan ikan di laut akan senantiasa memintakan
ampun untuknya ke manapun dia berjalan, karena ridha dengan
tindakannya. Hal ini sesuai dengan hadis ma ‘nawî berikut ini:

(Hadis Nomor 2):

.
Malaikat akan melebarkan sayapnya dan ikan dilaut akan memintakan
ampun bagi penuntut ilmu yang motivasinya semata-mata untuk mencari
pertunjuk (al-hidâyah).

Hadis yang semakna denga ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî pada


kitab Bidâyat al-Hidâyah, bab Pendahuluan. Dalam kitab tersebut ia
menjelaskan secara ringkas tentang kelebihan orang yang menuntut ilmu
yang memberi manfa’at. Secara lengkap, sanad-nya adalah sebagaimana
riwayat Abû Dâud:

:
Syirkah Maktabah al-Madanîyah, Indonesia, tt. h. 11. Cf. al-Ghazâlî, Bidâyat…, h. 1. Selanjutnya
2 7 Syekh ‘Abdus-Samad Falembânî, Hidâyat al-Sâlikîn Fî Sulûk61
disebut ‘Abdus-Samad. Maslak al-Muttakîn,
:

: .
":

."
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang menempuh suatu jalan
dengan tujuan mencari ilmu, Allâh akan memberi kemudahan baginya
jalan ke sorga. Para malaikat akan menaunginya dengan sayapnya karena
senang dengan ilmuwan, dan seluruh malaikat di langit dan manusia di
bumi serta ikan di dasar sungai akan ikut memintkana ampun untuknya.
Keutamaan seorang ilmuwan dibanding seorang ‘âbid laksana bulan
purnama dengan seluruh bintang di langit. Para ilmuwan adalah pewaris
Nabi. Sementara para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka
hanya mewariskan ilmu. Sebab itu, siapa yang ingin mengambilnya,
Selain
ambillah riwayatparipurna.
secara Abû Dâud di atas, Ibn Mâjah29 dan al-Turmudzî30

serta al-Dârimî juga meriwayatkan hadis semakna di dalam Sunan mereka


masing-masing.31 Dari berbagai riwayat di atas, penulis akan mempelajari
riwayat Abû Dâud tersebut.

2 8 Abû Dâud, Sunan, vol. II, hadis nomor 3641, Bâb al-Hatstsi ‘ala Thalab al-‘Ilm, h. 341.
2 9 Ibn Mâjah, Sunan, vol. I, hadis nomor 223, Bâb fadhl al-‘ulamâ`wa al-hats ‘ala thalab
al-‘ilm, h. 81.
3 10 Al-Dârimî,
Al-Turmudzî,hadis
Sunan , nomor
Sunan,vol.
vol. 2683,
I, V,
BâbKitâbh.al-‘ilm,
47.al-‘ilm
fi fadhl bâb wa
mâal-‘âlim,
jâ` fi Fadhl 62nomor‘ala
hadis
al-fiqh 342,
al-‘ibâdah,
h. 110.
Sebelumnya, al-Ghazâlî mengingatkan bahwa al-hidâyah
merupakan buah (tsamarah) dari ilmu itu sendiri yang memiliki permulaan
dan kesudahan (al-bidâyah wa al-nihâyah), dimana permulaannya taqwa
zhâhiriyah dan muara taqwa bâthiniyah.

Telaah sanad:
(1). Musaddad ibn Musarhad ibn Musarbil ibn Mustaurid al-Asadî

Ia yang populer dengan Abû al-Hasan al-Bashrî


meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Abdillâh ibn Yahyâ ibn Katsîr,
Abî al-Ahwash Salâm ibn Salîm dan ‘Abdillâh ibn Dâud al-Kharîbî.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah al-
Bukhârî, Abû Dâud, dan Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn Shâlih al-‘Ajlî,
dan sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Hibbân,
memandangnya tsiqah. Ia wafat tahun 228 H. Demikian menurut al-
Bukhârî.32 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah hâfizh min al-

‘âsyirah.33
(2). ‘Abdullâh ibn Dâud ibn ‘Âmir ibn al-Rabî‘ al-Hamdânî al-
Sya‘abî
Ia yang populer dengan Abû ‘Abd al-Rahmân al-Kharîbî
meriwayatkan hadis, antara lain dari Ismâ‘îl ibn Abî Khâlid, Ismâ‘ îl
ibn ‘Abd al-Mâlik ibn Abî al-Shafirâ’, dan ‘Âshim ibn Rajâ’ ibn
Haywat al-Kindî al-Falisthînî. Sementara orang yang meriwayatkan
hadis daripadanya adalah Ibrâhîm ibn Muhammad al-Taimî al-
Qâdhî, gurunya al-Hasan ibn Shâlih ibn Hayy Musaddad ibn
Musarhad, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Hibbân
memandangnya tsiqah. Bahkan menurut al-Dâruquthnî ia selain

tsiqah juga zuhd.34 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah ‘âbid. Ia


wafat pada bulan Syawwâl tahun 213 H.35

(3). ‘Âshim ibn Rajâ’ ibn Haywat al-Kindî al-Falisthînî

3 2 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VII, h. 130-131.


33 354 Ibn
IbnHajar,
Ibn Hajar,Taqrîb
Hajar, Taqrîb…,
Tahdzîb …,vol.
…, vol.II,IV,
vol. ,h. 528.
h.h.301. 63
283-284.
Ada juga yang mengatakan namanya al-Ardanî. Ia
meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Rajâ` ibn Haywat, al-
Qâsim Abî ‘Abd al-Rahmân, dan Dâud ibn Jumail. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah Ismâ‘îl ibn ‘Ayyâsy,

‘Utsmân ibn Fâ`id al-Qurasyî, ‘Abdullâh ibn Dâud al-Kharîbî, dan


sebagainya. Ibn Hibbân memasukkannya dalam deretan orang-orang

tsiqah.36 Namun dalam kitab Taqrîb al-Tahdzîb dikatakan bahwa al-


Kindî yang juga bernama al-Ardanî ini shadûq yahimu.37 Kapan dia
wafat, tidak dijelaskan dalam kitab sumber.

(4). Dâud ibn Jumail


Ada juga yang mengatakan bahwa namanya al-Walîd. Ia
meriwayatkan hadis dari Katsîr ibn Qais. Orang yang meriwayatkan
hadis dari padanya hanyalah ‘Âshim ibn Rajâ` ibn Haywat. Terjadi
pro kontra di antara ahli hadis dalam menilainya. Menurut Ibn
Hibbân, ia termasuk dalam deretan orang-orang tsiqah. Sedangkan
al-Dâruquthnî mengatakan ia termasuk orang yang misterius
(majhûl). Bahkan sampai ke deretan paling atas, yaitu Abû al-
Dardâ’, semua dipandang dha‘îf. Lebih lanjut, ia mengatakan dalam
kitab al-‘Ilal tidak shahîh. Al-Azadî mengatakan bahwa Dâud ibn
Jumail bukan saja misterius (majhûl) namun juga dha‘îf.38 Dalam
kitab Taqrîb al-Tahdzîb dikatakan bahwa Dâud ibn Jumail dha‘îf min
al-sâbi‘ah.39 Tidak diketahui secara pasti kapan dia wafat.

(5). Katsîr ibn Qais


Ada juga yang mengatakan namanya Qais ibn Katsîr al-
Syâmî. Ia meriwayatkan hadis dari Abî al-Dardâ’ tentang keutamaan
ilmu (fadhl al-‘ilm). Sedangkan orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah Dâud ibn Jumail yang dalam banyak riwayat
menyebutkan namanya Katsîr ibn Qais. Hanya Muhammad ibn

3 6 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 134.


33 798 Ibn
IbnHajar,
Hajar,Taqrîb
Tahdzîb
Taqrîb …,
…,
…,vol.
vol.
vol.I,I,h.
h.285.
III,198.
h. 4. 64
Yazîd al-Wâshitî yang menyebutkan namanya Qais ibn Katsîr dalam
salah satu riwayat. Banyak di antara ahli hadis yang menilainya

dha‘îf. Misalnya Ibn Samî‘ dan al-Dâruquthnî. Ibn Hibbân tetap


memasukkanya dalam deretan orang-orang tsiqah.40 Dalam kitab

Taqrîb al-Tahdzîb dikatakan bahwa Katsîr ibn Qais dha‘îf min al-
tsâlitsah.41 Tidak juga diketahui kapan wafatnya.

(6). Abû al-Dardâ’


Nama lengkapnya adalah ‘Uwaimir ibn Mâlik. Ada yang
mengatakan Ibn ‘Âmir, kemudian Ibn Tsa’labah, Ibn ‘Abdillâh, dan
Ibn Zaid. Al-Kudaimî mengatakan, yang dia peroleh dari al-Ashma’î,
bahwa namanya yang sebenarnya adalah ‘Âmir. Hanya saja mereka
mengatakannya ‘Uwaimir. Ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw.,

‘Â`isyah, dan Zaid ibn Tsâbit. Orang yang meriwayatkan hadis


daripadanya adalah anaknya Bilâl, isterinya Umm al-Dardâ’,
Fadhâlah ibn ‘Ubaid, dan sebagainya. Menurut Abû Mushar, ia
termasuk sahabat yang menyaksikan perang Uhud dan masuk Islam
ketika perang Badar. Ia wafat tahun 32 H. Demikian al-Wâqidî cs.42

Skema sanad hadis tentang “keutamaan ilmu” di atas adalah


sebagai berikut:
Rasulullah Saw. Abû al-Dardâ’

Katsîr ibn Qais

Dâud ibn Jumail

‘Ashim ibn4 0Rajâ’


Ibn Hajar, ibn
TahdzîbHaywah
…, vol. VIII, h. 381.
Lihat juga al-Suyûthî, Is’âf al-Mabtha’ Bi Rijâl al-Muwaththa’, Syirkah al-I’lâmât al-Syarqîyah,
4 1 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 460.
1389,, h.424. Selanjutnya
2 Ibn disebut
Hajar, Tahdzîb vol. VI, h. 289-290. Lihat juga Ibn Atsîr,65
…, al-Suyûthî. Usûd …, vol. V, h. 97.
‘Abdullâh ibn Dâud
Musaddad ibn Musarhad
Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Dâud ibn Jumail yang
dinilai dha‘îf. Kemudian ada ‘Utsmân ibn ‘Atha` ibn Abî Muslim al-
Khurâsânî. Ibn Hajar al- ‘Atsqalânî memandangnya dha‘îf.43 Selain itu,
ada juga Katsîr ibn Qais yang dipandang dha‘îf. Namun peringkatnya naik
ke tingkat hasan li ghayrih dengan adanya syâhid dari berbagai thuruq
lain, misalnya Sunan Abî Dâud, hadis nomor 3643,44 kemudian Ibn Mâjah,
hadis nomor 223,45 kemudian riwayat al-Turmudzî46 melalui jalur
Mahmûd ibn Khaddâsy al-Baghdâdî, Muhammad ibn Yazîd al-Wâsithî,

‘Âshim ibn Rajâ` ibn Haywah, Qais ibn Katsîr yang menceritakan bahwa
seorang pria mendatangi Abî al-Dardâ` di Damsyiq. Lalu dia menceritakan
bahwa yang menyebabkan dia datang adalah berkenaan dengan hadis yang
lafalnya:

4 3 Ibn Hajar, Taqrîb..., vol. I, h. 385.


4 4 Melalui jalur Ahmad ibn Yûnus yang diceritakan oleh Zâ`idah dari al-A’masy dari Abî
Shâlih dari Abî Huraairah. Lihat Abî Dâud, Sunan, vol. II, h. 342.
4 5 Melalui jalur Nashar ibn ‘Alî al-Jahdhamî, yang diceritakan ‘Abdullah ibn Dâud, dari
‘Âshim ibn Rajâ` ibn Haywat dari Dâud ibn Jumail dari Katsîr ibn Qais. Lihat Ibn Mâjah, Sunan,
vol. I, h. 81.
sumber hadis tersebut (bukan
Abûal-‘Ibâdah,
4 76 Al-Turmudzî,
Menurut ‘Isa; dari
Sunan, vol.Mahmûd
h.
‘ÂshimV,48.
ibn
hadis ibnibn
Rajâ`
nomorKhaddâsy
2682,
HaywatBâb
adalah
19 Mâ jâ’a 66
al-Baghdâdî) Fî dari
satu-satunya
Fadhlal-Walîd
perawi
al-Fiqh ibn Jumail
sebagai
‘alâ
dan sebagainya.
(Hadis Nomor 3):
.
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan agar
selalu menambah serta mencari ilmu pengetahuan. Namun jauh lebih
penting dari itu, mengamalkannya. Sebab ilmu yang tidak dipraktekkan
sama saja dengan menjauhkan diri dari sisi Allâh Swt. yang tidak
mendapatkan buahnya (al-hidâyah).

Secara lengkap sanad hadis tersebut adalah sebagai yang


diriwayatkan oleh al-Dârimî:

.
Artinya: Sufyan mengatakan: “Tidaklah ilmu akan menambah petunjuk
terhadap seseorang selama orang tersebut tetap cinta dengan kehidupan
dunia, kecuali dia hanya akan semakin jauh dari Allâh.” 49

Telaah sanad:
(1). Bisyr ibn al-Hakam ibn Hubaib ibn Mihran al-‘Abdî

Ia yang populer dengan Abû ‘Abd al-Rahmân al-Naisabûrî,


meriwayatkan hadis antara lain dari Mâlik ibn Anas, Syuraik ibn
‘Abdillâh al-Nakha’î, dan Sufyân ibn ‘Uyainah. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis dari Bisyr ibn al-Hakam adalah al-Bukhârî,

‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân al-Dârimî, dan sebagainya. Para ahli


hadis, antara lain Ibn Hibbân, memasukkan Bisyr ibn al-Hakam
dalam jajaran orang-orang tsiqah.50 Di dalam kitab Taqrîb dikatakan

dari Katsîr ibn Qais dari Abî al-Dardâ` dari Nabi Saw.). Lihat al-Turmudzî, Sunan, vol. V, hadis
nomor 2682, Bâb 19 Mâ jâ`a fî fadhl al-fiqh ‘ala al-‘ibâdah, h. 48.
4 8 Al-Ghazâlî, Bidayah54…, h. 1.Hajar,
LihatTahdzîb
09 Al-Dârimî,
Ibn juga ‘Abdus-Samad,
Musnad,…,
vol.
vol.
I, hadis
I, h. 468. 67388,
Hidâyat
nomot ..., , h.h.119.
18.
bahwa Bisyr ibn al-Hakam dipandang tsiqah zhâhid faqîh min al-
‘âsyirah. Ia wafat tahun 237 atau 238 H.51
(2). Sufyân ibn ‘Uyainah ibn Abî ‘Imrân Maimun al-Hilâlî Abû
Muhammad al-Kûfî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abd al-Mâlik ibn
‘Umair, Ishâq ibn Sa‘îd ibn ‘Amr ibn Sa‘îd ibn al-‘Âsh, dan Zîyâd
ibn ‘Alaqah. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
Sufyân ibn ‘Uyainah adalah para gurunya Sa‘îd ibn Manshûr, Sa‘îd
ibn Yahyâ ibn al-Azhar al-Wâshithî, dan Sufyân al-Tsaurî. Para ahli
hadis memandangnya tsiqah dan hujjah. Ibn Hajar sendiri
menilainya tsiqah hâfizh faqîh imâm hujjah illâ annahu taghayyara
hifzhuhu bi âkhirah wa kâna rubamâ yudallisu wa lâkin ‘an al-tsiqâh
min ru`ûs al-thabaqât al-tsâminah.52 Sufyân ibn ‘Uyainah wafat
pada tahun 198 H.53

Ternyata apa yang dikatakan oleh al-Ghazâlî tentang hadis di


atas, hanyalah merupakan atsar yang hanya diucapkan oleh seorang
tâbi’in.

Sebagaimana dinilai oleh Ibn Hajar bahwa perawi yang


terlibat dalam sanad-nya adalah tsiqah.
Kualitas atsar tersebut adalah: shahîh, karena ke-tsiqah-an perawi
dan sanad-nya juga bersambung.

Kemudian, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa


buah dari ilmu itu sendiri adalah hidayâh. Sedangkan bidâyah-nya
adalah taqwa zhâhirîyah dan nihâyah-nya taqwa bâthinîyah. Ilmu
yang tidak dipraktekkan sama saja dengan menjauhkan diri dari
(ridha) Allâh Swt. Hanya saja, apakah dia termasuk hadis,
tergantung dari definisi yang dipakai dalam membatasi hadis.

55 132 Ibn
Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Taqrîb …,
Tahdzîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
I ,II, 133.
h.h.
345. 68
403-406.
(Hadis Nomor 4):

Seperti halnya hadis kedua sebelumnya, hadis ini dikemukakan

oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan agar selalu mengamalkan ilmu yang


sudah dituntut. Secara lengkap sanad- nya adalah sebagaimana riwayat al-
Thabrânî.

:
. :
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Orang yang paling keras
siksaanya pada hari kiamat adalah ilmuwan yang tidak bermanfaat
ilmunya".

Telaah sanad:
(1). Thâhir ibn ‘Abdillâh ibn Thâhir Abû al-Thîb al-Thabarî al-

Faqîh al-Syâfi‘î
Di Jurjân, dia mendengar hadis dari Abî Ahmad al-Ghathrîfî.
Di Naishâfûr dia mendengar mempelajari fikih dari Abî al-Hasan al-
Mâsirjasî dan dari berbagai guru di Naishâfûr. Ia adalah seorang
yang tsiqah shâdiq dîn warâ‘ ‘ârif bi `ushûl al-fiqh wa furû‘ih
muhaqqiq fî ‘ilmih salîm al-shadr husn al-khulq shahîh al-madzhab
jayyid al-lisân. Ia wafat pada hari Sabtu hari ke-10 akhir Rabî‘ al-
Awwâl tahun 540 H.56

5 4 Al-Ghazâlî, Bidâyah …, h. 1.
I, Al-Maktab al-IslâmîibnDâr
5 5 Sulaimân Ah ‘Ammâr, Beirut,
mad ibn Ayyûb Abû‘Ammân,
al-Qâsim1985, h. 305.al-Mu‘
al-Thabrânî, Cf. Nûr
jamal-Dîn ‘Alîvol.
al-Shaghîr, ibn Abî
Bakr al-Haitsamî,
5 6 AhmadMajma Kutub
ibn ‘Alî‘Abû
al-Zawâ`id,
al-‘Ilmîyah,
vol.Beirût,
I ,al-Bahgdâdî,
Bakr al-Khathîb Dârt.t.,
al-Fikr,
h. 358.
Beirût,
Târîkh 69 H.,vol.
1412
Baghdâdî, h. 440.
IX, Dâr al-
(2). ‘Alî ibn Mûsâ ibn Marwân al-Râzî
Setelah penulis melakukan pencarian pada berbagai kitab
Tarjamat al-Ruwât, biografi dari ‘Alî ibn Mûsâ ibn Marwân al-Râzî
tetap tidak (belum) ditemukan. Namun sebagai murid dari gurunya

‘Abdullâh ibn ‘Âshim al-Himmânî Abû Sa‘îd al-Bashrî memang ada


ditemukan sebagaimana dijelaskan di bawah ini (ketika menjelaskan
biografi gurunya tersebut.

(3). ‘Abdullâh ibn ‘Âshim al-Himmânî Abû Sa‘îd al-Bashrî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Hammâd ibn Zaid dan
‘Utsmân ibn Miqsam al-Burrî. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis daripadanya adalah Ahmad ibn Nashr al-
Naisâfûrî, ‘Alî ibn Mûsâ ibn Marwân al-Râzî, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis, seperti Abû Zur ‘ah dan Abû Hâtim
memandangnya shadûq.57 Ibn Hajar menilainya shadûq min al-
tâsi‘ah.58 Tidak jelas kapan tahun wafatnya.

(4). ‘Utsmân ibn Miqsam al-Burrî


Tidak begitu banyak informasi yang ditemukan berkenaan
dengan ‘Utsmân ibn Miqsam al-Burrî. Ia hanya dikatakan matrûk al-
hadîts.59

(5). Sa‘îd al-Maqburî Kaisân Abû Sa‘îd al-Maqburî al-Madanî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Sa‘îd al-Khudrî
dan Abî Hurairah. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah anaknya Sa‘îd ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti al-Qâqidî menilainya

5 7 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. V, h. 237.


5 8 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I. h. 308.
al-Wa‘y,
5 9 Ah mad ibn Syu‘ Halab,
aib Abû ‘Abd1369 H., h. al-Nasâ`î,
al-Rahmân 75. 70wa al-Matrûkîn, Dâr
al-Dhu‘afâ`
tsiqah.60 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah tsabat min al-tsâniyah.
Ia wafat tahun 100 H.61
(6). Abî Hurairah
Ibn Atsir mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial Abû Hurairah. Menurut al-Nawawî, silang pendapat
tentang nama Abû Hurairah kurang dari tiga puluh versi. Namun
yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-Rahmân ibn Shakhar.62 Ia
digelari demikian karena sering menggendong kucing,63 sehingga
Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar, awal


tahun ke tujuh Hijrîyah.64 Ia wafat pada tahun 57 H.65
Skema sanad- nya adalah sebagai berikut:
Rasulullah Saw. Abî Hurairah

Sa‘îd al-Maqburî

‘Utsmân ibn Miqsam al-Burrî

‘Abdullâh ibn ‘Âshim al-Himmânî

‘Alî ibn Mûsâ ibn Marwân al-Râzî

Thâhir ibn ‘Abdillâh

Kualitas hadis: sangat dha‘îf, karena pada sanad-nya ada ‘Utsmân ibn
Miqsam al-Burrî. Ibn Ma‘în memandangnya termasuk dari kalangan orang

6 0 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 406.


6 1 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I. h. 463.
6 2 Jalaluddin ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.

6 4 Ibn6 Katsîr,
5 Al-Suyûthi,
al-Bidâyah6 3wa
Is’âf Ibn
…, h.Atsîr, Ushûd
al-Nihâyah,
33. Lihat …,
vol.
juga vol.
IV,
IbnDârV,al-Fikri,
Atsîr,h.Ushûd 71vol.t.t.,V,h.h.181.
320. Bairut,
…, 321.
yang terkenal dengan kadzîb dan wadh’ al-hadîts. Bahkan al-Dâruquthnî
dan al-Nasâ`î mengatakan matrûk, dan menurut Ahmad hadisnya munkar.
Al-Fallâs dengan agak moderat menilainya shadûq lakinnah katsîr al-
ghalath dan Ibn ‘ Adî menilainya dha’f yuktab hadîtsuh.66 Di dalam Mîzân

dikatakan bahwa Ahmad menilai hadisnya munkar. Al-Juzjânî menilainya


kadzdzâb.67
Selain lewat jalur (thuruq) Ibn Wahhâb dari Yahyâ ibn Salâm dari
‘Utsmân ibn Miqsam al-Burrî, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqî
dan Ibn ‘Asâkir lewat Abî Hurairah r.a.68 Kemudian oleh al-Thabrânî
dalam Mu‘jam al-Shaghîr, juga dengan sanad yang dha‘îf. Dikatakan
bahwa hadis tersebut diriwayatkan melalui ‘Utsmân al-Burrî, bukan al-
Maqburî. 69

Dengan memperhatikan berbagai penilaian para ahli hadis di atas


dapat disimpulkan bahwa sanad-nya sangat dha‘îf, karena ‘Utsmân ibn
Miqsam al-Burrî tersebut. Namun dari aspek makna cukup bagus, sebab
ilmu yang tidak dipraktekkan sama saja dengan pohon tanpa buah.

(Hadis Nomor 5):

Hadis ini juga dikemukakan oleh al-Ghazâlî berkenaan dengan


ilmu yang bermanfa’at. Secara lengkap sanad-nya adalah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh al-Nasâ’ î.

6 6 Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Dzahabî, Mizân al-I’tidâl fi Naqd al-Rijâl,vol.
II, Dâr al-Ma’rifah, h. 56-58. Selanjutnya disebut al- Dzahabî. Cf. Syaikh al-Albânî; dha‘îf
jiddan. Kemudian oleh al-Thabrânî dalam al-Mu’jam al-Shaghîr, juga dengan sanad dha‘îf.
6 7 Ibn Hajar, Lisân ..., vol. IV, h. 155.
6 8 ‘Alâ al-Dîn ‘Alî al-Muttaqî ibn Hisâm al-Dîn, Kanz al-‘Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa
al-Af’ âl, vol X, Mu’assasat al-Risâlah, Beirut, 1989, hadis nomor 29099, h. 208. Selanjutnya
disebut al-Dîn.
vol. I, hadis nomor 507, al-Maktab al-Islâmî, Dâr ‘Ammâr, Beirut 1985, h. 305. Selanjutnya
6 9 Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb Abû al-Qâsim al-Thabrânî, al-Mu’jam al-Shaghîr,
disebut al-Thabrânî. Cf. Abû ‘Abdillah Mahmûd ibn Muhammad al-Haddâd, Takhrîj Ahâdits al-
Ihyâ`, vol. I, hadis nomor 1, Ahâdits al-Khuthbah,
7 0 Al-Ghazâlî, Dâr …,
Bidâyah al-Fikr, 72 h. 2.
h. 1. t.tp., 1987,
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah berdo’a: “Ya Allâh ! Aku berlindung
denganmu dari imu yang tidak bermanfa’at, dari hati yang tidak khusyu’,
dari nafsu yang tidak pernah kenyang dan dari permintaan yang tidak
didengar”.

Telaah sanad:
(1). ‘Ubaidullâh ibn Fadhâlah ibn Ibrâhim al-Lakhamî
Ia meriwayatkan hadis hanya dari Khâlid ibn Yazîd al-
Maqburî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhâb al-Dimasyqî.72 ‘Ubaidullâh ibn
Fadhâlah ini termasuk sosok yang misterius (majhûl). Demikian
dikemukakan oleh Ibn Hajar. 73

(2). Yahyâ ibn ‘Abdillâh ibn Bukair


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Mâlik, al-Laits, dan
Bakr ibn Mudhar. Sementara orang yang menerima hadis dari Yahyâ
ibn ‘Abdillâh ibn Bukair adalah al-Bukhârî dan Muslim melalui
Muhammad ibn ‘Abdillâh (al-Dzuhalî) dan sejumlah orang lainnya.
Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Hibbân, mememasukkannya dalam
deretan orang-orang tsiqah. Namun Abû Hâtim mengatakan
hadisnya boleh dituliskan namun bukan untuk dijadikan hujjah.

Bahkan al-Nasâ`î menilainya dha‘îf. Dalam kesempatan lain dia


mengatakan laisa bi tsiqah.74 Di dalam Taqrîb dikatakan bahwa dia

7 1 Al-Nasâ’î, Sunan, vol.VIII, hadis nomor 5537, al-Isti’âdzah min dhaiq al-Maqâm
yaum al-Qiyâmah, h. 284.
77 243 Ibn
Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,
Taqrîb …,
Tahdzîb vol.
vol.I,V,
…,vol. h. h.
XI, 208.73
h.404.
373.
dipandang tsiqah fî al-Laits wa takallamû simâ ‘ah min Mâlik. Yahyâ
ibn ‘Abdillâh ibn Bukair wafat pertengahan Shafar tahun 231 H.75

(3). Al-Laits (Ibn Sa‘d ibn ‘Abd al-Rahmân al-Fahmî) al-Mishrî


Ia meriwayatkan hadis dari Mâlik, Ibn Abî Mulaikah, Yazîd
ibn Abî Habîb, Abû al-Zubair al-Makkî, dan lain-lain. Orang yang
menerima hadis darinya adalah Syu‘aib, Muhammad ibn ‘Ajlân,
Hisyâm ibn Sa‘d, Yûnus ibn Muhammad al-Mu ’addib, Yahyâ ibn
Ishâq, dan lain sebagainya. Para ahli hadis memandangnya tsiqah.76

Di dalam Taqrîb dikatakan bahwa dia tsiqah tsabat faqîh imâm


masyhûr min al-sâbi‘ah. Al-Laits lahir tahun 94 H., dan wafat tahun
175 H.77

(4). Sa‘îd (Ibn Abî Sa‘îd, Kaisân al-Maqburî)


Nama kecilnya adalah Kaisân al-Maqburî yang juga dikenal
dengan kunniyah Abû Sa‘îd al-Madanî. Ia meriwayatkan hadis dari
ayahnya Abî Sa‘îd dan dari Abî Hurairah lewat perantaraan
saudaranya ‘Abbâd ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî dan dari Abî Sa‘îd
serta orang lain. Sementara orang yang menerima hadis darinya
adalah Mâlik, al-Laits, Ibn Abî Dzi’b, dan lain sebagainya. Para ahli
hadis memandangnya maqbûl. Kebanyakan mereka mengatakan, ia

tsiqah. Menurut al-Wâqidî, ia sempat mengalami ketuaan dan


mukhtalith selama empat tahun sebelum wafat tahun 123 H.78
Namun, di dalam kitab Is’âf, kapan dia mengalami mukhtalith,

apakah sebelum atau setelah meriwayatkan hadis tidak ada


dikemukakan. Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-tsâlitsah
taghayyara qabla mautihi bi arba‘ sinîn.79

7 5 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 592.


7 6 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 459. Lihat juga al-Dzahabî, Tazkirât …, vol. I, h.
224.
7 7 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol I, h. 464.
7 8 Al-Suyûthî, 1389, h. 712.
Is’âf al-Mabthâ`Selanjutnya
9 Ibn Bî
Hajar, disebut
RijâlTaqrîb al-Suyûthî.
al-Muwaththa’,
..., vol I, h.Syirkah 74
236. al-I’lâmat al-Syarqîah,
(5). ‘Abbâd ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî
Ia meriwayatkan hadis hanya dari Abî Hurairah. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Abbâd adalah saudaranya Sa‘îd
ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî. Ibn Khalafûn memasukkannya dalam
deretan orang-orang tsiqah.80 Namun sebagaimana dikemukakan di
dalam Taqrîb, bahwa dia itu maqbûl min al-tsâlisah.81 Hanya saja
kapan dia wafat tidak ada disebutkan.

(6). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan, bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawawî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari tiga
puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-Rahmân
ibn Shakhar.82 Ia digelari Abû Hurairah karena sering menggendong
kucing,83 sehingga Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah

(ayah kucing).
Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar, awal
tahun ke t ujuh Hijrîyah.84 Ia wafat pada tahun 57 H.85
Kualitas hadis: hasan, karena di dalam sanad-nya ada ‘Abbâd ibn Abî
Sa‘îd al-Maqburî yang dinilai maqbûl.

Memperhatikan kalimat yang ada dalam hadis yang dikemukakan


oleh al-Ghazâlî di atas dengan yang dirujuk ke dalam kitab sumber induk
terdapat perbedaan. Kalimat ‘amal la yurfa ’ yang dikemukakan oleh al-
Ghazâlî tidak ditemukan dalam kitab rujukan. Bahkan kalimat yang ada
dalam kitab rujukan nafs lâ tasyba‘ justru tidak ditemukan dalam hadis
yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî. Dengan demikian ada kelihatan

8 0 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. V, h. 82.


8 1 Ibn Hajar, Taqrîb..., vol. I, h. 290
8 2 Jalaluddin ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.

8 4 Ibn8 Katsîr,
5 Al-Suyûthi,
al-Bidâyah8 3wa
Is’âf Ibn
…, h.Atsîr, Ushûd
al-Nihâyah,
33. Lihat …,
vol.
juga vol.
IV,
IbnDârV,al-Fikri,
Atsîr,h.Ushûd 75vol.t.t.,V,h.h.181.
320. Bairut,
…, 321.
penambahan dan pengurangan teks (matan) di antara yang dikemukakan
dalam Bidâyat al-Hidâyah dengan yang ada dalam kitab rujukan.

(Hadis Nomor 6):

:
:
Sebagaimana hadis sebelumnya, hadis kelima ini juga digunakan
oleh al-Ghazâlî agar ilmu yang diperoleh supaya dipraktekkan, sehingga
tidak hanya bisa menyuruh, tetapi juga berbuat. Hal ini sejalan dengan
Qur`an surah al-Baqarah (Lembu Betina)/2: 44;

.
Artinya: "Apakah kamu menyuruh orang lain berbuat kebaikan, sementara
kamu melupakan dirimu sendiri".

Bahkan lebih spesifik lagi Tuhan melalui seruan-Nya dalam surat


al-Shaff (Barisan) 61: 2 kepada orang-orang beriman mengatakan:

. ...
Artinya: “… mengapa kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak
kerjakan”.

8 6 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 1.
8 7 Dalam suatu riwayat diberitakan bahwa ayat tersebut (al-Baqarah 2 : 44) turun
sehubungan dengan kaum Yahudi Madinah yang pada ketika itu berkata kepada mantunya, kaum
kerabatnya dan saudara susunya yang telah masuk agama Islam : “Tetaplah kamu pada Agama
yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muh ammad, karena perintahnya
benar”. Ia menyuruh berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Lihat KH.
Qamaruddin Saleh dkk., Asbâbun Nuzûl (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an),
“Sekiranya
Cet. Ke-14, kami mengetahui Bandung,
CV. Diponegoro, ‘amal yang lebihh.dicintai
1992, 24. oleh Allah, pasti kami akan
mengerjakannya”
8 8 Ketika .para
Lalusahabat
ayat tersebut (al-Shâf
duduk-duduk : 2 ) turun di
bermudzakarah, berkenaan dengan
antara merka peristiwa
ada yang tersebut,
berkata:
yang kemudian dibacakan Asbâbun
oleh Rasulullah 76
…, h. 520.sampai akhir surat. Lihat Qamaruddin Saleh dkk.,
Sehubungan dengan hal ini, al-Ghazâlî mengingatkan bahwa
celakanya orang bodoh (jâhil) hanya satu, karena tidak belajar. Sedangkan
orang yang tahu (‘âlim) celakanya bisa seribu kali, karena tidak
mempraktekkan ilmu yang dia ketahui. Secara lengkap sanad hadisnya
sebagaimana riwayat Ahmad:

.
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: ‘Saya melewati suatu kaum ketika
malam saya diperjalankan, dimana bibir mereka dipotong dengan alat
pemotong dari api neraka. Lalu saya bertanya; siapa mereka? Mereka
menjawab; para orator dunia yang selalu menyuruh orang berbuat baik,
namun melupakan diri merka sendiri. Padahal mereka membaca al-
Qura’an tapi mereka tidak memikirkannya.
Telaah sanad:

(1). Wakî‘’ ibn al-Jarrâh ibn Mulih al-Ru`âsî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abân ibn Shani’ah,
Abân ibn ‘Abdillâh ibn Abî Hâzim, dan Abân ibn Yazîd. Sedangkan
orang yang menerima hadis dari Wakî‘ adalah Ibrâhîm ibn Ishâq ibn

‘Îsâ, Ibrâhîm ibn Sa‘îd, Ibrâhîm ibn Mûsa ibn Yazîd ibn Zaddân, dan
lain sebagainya. Para ahli hadis memandangnya tsiqah.90 Di dalam

Taqrîb dikatakan bahwa Wakî‘ tsiqah hâfizh ‘âbid min kubbâr al-
tâsi‘ah. Ia wafat tahun 197 H.91

(2). Hammâd ibn Salamah ibn Dinâr al-Bashrî


Ia yang populer dengan Abû Salamah ibn Abî Shakhrah
meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Athâ` ibn Abî Maimunah dan

89 910 Ahmad, Musnad,


Ibn Hajar, vol
Tahdzîb…,
Taqrîb III,
…,vol. hadis
vol.I, XI,
h. 581.
h. 109.77
nomor 12232, h. 120.
‘Alî ibn Zaid ibn Jud‘ân. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Hammâd adalah al-Nu‘mân ibn ‘Abd al-Salâm, Wakî‘ ibn al-
Jarrâh dan sebagainya. Menurut para ahli hadis, seperti Ishâq ibn
Manshûr dari Ibn Ma‘în, Hammâd ibn Salamah adalah tsiqah.

Bahkan menurut al-Dûrî yang juga berasal dari Ibn Ma‘în,


seandainya ada yang beda pendapat dengan Hammâd ibn Salamah,
maka pendapat Hammâd-lah yang didahulukan. 92 Ibn Hajar sendiri
menilainya tsiqah ‘âbid atsbat al-Nâs fî tsâbit wa taghayyara
hifzhuhu bi akhirah min kubbâr al-tsâminah. Ia wafat tahun 167 H.93

(3). ‘Alî ibn Zaid ibn ‘Abdullâh ibn Mulaikah


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Anas ibn Mâlik dan
Abî ‘Utsmân al-Nahdî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari ‘ Alî ibn Zaid adalah Qatâdah yang wafat duluan. Kemudian dan
Zâ’idah. Menurut ibn Sa‘d, ia lahir dalam keadaan buta. Hadisnya
cukup banyak, namun ada di dalamnya hadis dha‘îf yang tidak layak
dijadikan hujjah. Bahkan menurut Shâlih ibn Ahmad yang berasal
dari ayahnya, laisa bi al-qawîy yang sudah diriwayatkan orang
banyak. Ibn Khuzaimah mengatakan; Saya tidak menjadikan
hadisnya sebagai hujjah karena hafalannya yang jelek. Al-Turmudzî
mengatakan dia itu shadûq, hanya saja terkadang dia membuat hadis

marfû‘ yang oleh orang lain mauqûf.94 Ibn Hajar sendiri menilainya
dha‘îf min al-râbi‘ah. Ia wafat tahun 131 H.95
(4). Anas ibn Mâlik
Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar ibn
Dhamdham al-Anshârî. Ia masih kecil ketika Nabi melakukan hijrah
ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia kepada Rasulullah
selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabi. Anas yang wafat pada

9 2 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. III, h. 11.


99 354 Ibn
Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
I,V, 178.
h. h.
401. 78
685-688.
tahun 93 H., merupakan sahabat Nabi Saw. yang paling akhir di
Bashrah.96

Skema sanad hadis tentang “siksa akan orator yang hanya pandai
berbicara tanpa amal” adalah sebagai berikut:

Rasulullah Saw. Anas ibn Mâlik

‘Alî ibn Zaid

Hammâd ibn Salamah

Wakî‘ ibn al-Jarrâh ibn Mulih

Ahmad ibn Hanbal


Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada ‘ Alî ibn Zaid yang
dinilainya dha‘îf. Pada dasarnya dia memiliki koleksi hadis yang banyak,
namun banyak di antaranya dha‘îf. Kemudian dia sering me-marfu‘ -kan
yang mauquf, sehingga orang lain enggan menjadikan hadisnya sebagai

hujjah. Sebab itu, hadis di atas dipandang dha‘îf.


Hadis yang menjelaskan “supaya mengamalkan ilmu, sehingga
tidak hanya bisa menyuruh tanpa berbuat” tersebut di atas, kelihatannya
tidak memiliki mutâbi‘.

Dengan demikian, kualitas hadisnya tetap dha‘îf.

Klasifikasi Manusia dalam Menuntut Ilmu

Dalam kitab karya al-Ghazâlî Bidâyat al-Hidâyah, dia membahas


tentang pembagian manusia dalam menuntut ilmu ke dalam tiga bagian,
yaitu orang yang menjadikan ilmu tersebut sebagai bekal untuk akhirat (al-
ma ’âd), orang yang menuntut ilmu sebagai penopang kehidupannya yang
79Is’âf …, h. 6.
9 6 Ibn Hajar, al-Ishâbah …, vol. I, h. 312. Juga As-Suyuthî,
mendesak, dan orang yang menuntut ilmu karena bisikan syaithân. Dari
ketiga klasifikasi ini yang dipandang beruntung adalah yang pertama.
Sebab, di dalam menuntut ilmu tersebut, tujuannya hanya semata-mata
mencari ridha Allâh dan untuk kepentingan akhirat. Sementara kalsifikasi
kedua masih sangat dikhawatirkan karena berpeluang akan sû` al-
khâtimah apabila duluan ajal menjemput sedangkan persiapan akhirat dan
bertaubat belum sempat. Adapun yang ketiga, karena landasannya adalah
bisikan syaitân, maka peluang besarnya adalah kecelakaan.97 Untuk
menguatkan pembahasan ini al-Ghazâlî hanya mengemukakan satu hadis,
yaitu:

(Hadis Nomor 7):

Selain untuk menguatkan penjelasan di atas hadis ini juga


dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan untuk mewanti-wanti para
ahli (ulama ) yang selalu menyelewengkan opini publik atau orang banyak.
Secara lengkap sanad hadis tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan
oleh Ahmad ibn Hanbal:

:
. :
. : :
Artinya: Abû Zarr menceritakan: "Aku berkunjung ke tempat Rasulullah
Saw. pada suatu hari di mana dia mengatakan selain Dajjâl yang paling

9 8 Al-Ghazâlî, Bidâyat…,
9 7. Al-Ghazâlî,
h. 1. Lihat
Bidâyat…,
juga ‘Abdus-Samad,
h. 1. 80 …, h. 17.
Hidâyat
aku khawatirkan muncul di antara umatku adalah para tokoh yang selalu
menyesatkan". 99

Dengan memperhatikan hadis yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî


dengan hadis yang ditemukan dalam kitab sumber, ada periwayatan bi al-
ma ‘na yang dikemukakannya tersebut, yaitu al-A’immat al-Mudhillîn

dengan ‘ulama ’ al-Sû’.


Telaah sanad:
(1). Mûsa ibn Dâud al-Dhabbî Abû ‘Abdillâh al-Tursûsî al-
Khalqânî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Jarîr ibn Hâzim,
Mubârak ibn Fadhâlah, dan Nâfi‘ ibn ‘Umar al-Jumahî. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari Mûsâ ibn Dâud adalah
Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Khalaf, ‘Alî ibn al-Madînî, Ahmad
ibn Hanbal, dan lain sebagainya. Para ulama hadis, seperti Ibn
Numair, Ibn Sa‘d, al-Dâruquthnî serta Ibn Hibbân, menilainya

tsiqah. Namun Abû Hâtim mengatakan bahwa pada masa tuanya, ada
hadisnya yang idhthirâb.100 Ibn Hajar sendiri menilainya shadûq

faqîh zhâhid lahu auhâm min al-sâbi‘ah. Mûsa ibn Dâud meninggal
pada tahun 217 H.101

(2). Ibn Lahî’ah

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn Lahî’ah ibn ‘Uqbah


ibn Fur’an ibn Rabî‘ah ibn Tsaubân al-Hadhramî. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari al-A‘raj, Abî al-Zubair dan Yazîd ibn Hubaib.
Orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah cucunya, Ahmad ibn

‘Îsâ, anak saudaranya, Lahî’ah ibn ‘Isa ibn Lahî’ ah. Kemudian dari
temannya sendiri, al-Laits ibn Sa‘d, Ibn al-Mubârak dan Ibn
Wahhâb. Kelihatannya terjadi pro dan kontra di antara para ahli

91 901
00Ahmad, Musnad,
Ibn Hajar, vol.V,
Tahdzîb
Taqrîb …, hadis
…,vol.
vol. h.nomor
I,X, h.
550. 81 h. 145.
21335,
305.
hadis tentang ‘Abdullâh ibn Lahî’ah. Seperti halnya diceritakan oleh
al-Sâjî dari Ahmad ibn Shâlih, bahwa pada dasarnya Ibn Lahî’ah
adalah tsiqah. Hanya saja apabila dia mengajarkan sesuatu, sering
melebar (haddatsa bih). Menurut ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-
Rahmân al-Nasâ’î dari ayahnya, Ibn Lahî’ah bukanlah tsiqah. Ibn
Ma‘în mengatakan dia itu tidak tsiqah, dan tidak layak hadisnya
dijadikan hujjah. Menurut al-Khâthib, kelonggarannya (tasâhul)
menyebabkan banyak kemunkaran (al-manakir) dalam
periwayatannya. Ahmad ibn Shâlih mengatakan, Ibn Lahî’ah adalah

tsiqah. Adapun hadisnya yang bercampur (mukhtalith) dengan


kesalahan-kesalahan, itu hanyalah berdasarkan hafalan setelah
bukunya terbakar pada tahun 69 H. Dia tidak pernah bertujuan dusta.
Demikian Ibn Syâhin dan Mas‘ud dari al-Hâkim. Ibn Abî Hâtim
mengatakan, kedua al-Afriqî dan Ibn Lahî‘ah adalah sama-sama

dla‘îf. Menurut Ja‘far al-Thabârî di dalam kitab Tahzîb al-Atsar, akal


Ibn Lahî‘ah memang ada kegoncangan (mukhtalîth) di akhir
usianya.102 Ibn Hajar menilainya shadûq,

. Ia wafat pada tahun


174 H.103
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ibn Lahî‘ah

adalah kurang kuat daya ingatnya.


(3). Ibn Hubairah (‘Abdullâh ibn Hubairah ibn As‘ad al-Saba`î al-
Hadhramî)
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Muslimah ibn
Makhlad, ‘Abd al-Rahmân ibn Ghanam, dan Abî Tamîm al-Jaisyanî.
Sementara orang yang menerima hadis dari Ibn Hubairah adalah
Bakar ibn ‘Amr, Haiwat ibn Syuraih, Jâbir ibn Nu ‘aim, Ibn Lahî‘ah,
dan sejumlah orang lainnya. Umumnya ahli hadis menilainya

1 03
02 Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,IV,
h. 319. 82
h. 449-454.
tsiqah.104 Ibn Hajar memandangnya tsiqah min al-tsâlisah. Ibn
Hubairah wafat tahun 126 H.105

(4). Abû Tamîm al-Jaisyanî


Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn Mâlik ibn Abî al-
Asham. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Umar, ‘Alî, Mu’âdz ibn Jabal,
Abî Bashrah, Abî Zarr al-Ghifârî, Qais ibn Sa‘d ibn ‘Ubâdah, dan

‘Uqbah ibn ‘Amir al-Juhanî. Orang yang meriwayatkan hadis


darinya adalah ‘Abdullâh ibn Hubairah, Bakar ibn Suwadah, Ja‘far
ibn Rabî‘ah, Abû al-Khair Murtsid ibn ‘Abdillâh, Ka‘ab ibn

‘Alqamah al-Tanawwukhî, dan lainnya. Menurut para ahli hadis,


Abû Tamîm termasuk tsiqah.106 Ibn Hajar memandangnya tsiqah
mukhdharam min al-tsâniyah. Abû Tamîm wafat tahun 77 H.107

(5). Abû Zârr al-Ghifârî


Terjadi perbedaan pendapat yang cukup banyak tentang siapa
nama Abû Zârr yang sebenarnya. Ada yang mengatakan, dan
pendapat ini merupakan yang terkuat, yaitu Jundaib ibn Junâdah.
Ada yang mengatakan Barîr ibn ‘Abdullâh, Burair ibn Junâdah, dan
Barîrah ibn ‘Isyriqah. Bahkan ada yang mengatakan Jundub ibn al-
Sakan. Sementara yang populer adalah Jundab ibn Junâdah ibn Qais
ibn ‘Amr ibn Mulail ibn Su’air ibn Haram ibn Ghifâr. Selain situ,
masih ada lagi yang mengatakan bahwa nama Abû Zarr al-Ghifârî
adalah Jundab ibn Junâdah ibn Sufyân ibn ‘Ubaid ibn Haram ibn
Ghifâr ibn Mulail ibn Dhamrah ibn Bakar ibn ‘Abd Manah ibn
Kinânah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah al-Ghifârî. Ibunya bernama
Ramlah bint al-Waqî‘ah, juga dari suku Ghifâr. Abû Zârr termasuk
tokoh dan pemuka sahabat yang mula-mula, bahkan ada yang
mengatakan orang kelima masuk Islam. Kemudian dia pindah dan
bermuqim di perkampungan kaumnya, hingga Rasulullah Saw.
memasuki kota Madinah. Ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw.

1 04 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 520.


1 07
05 Ibn Hajar, Taqrîb
06 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,IV,
h. 319.
327. 83
h. 454.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis daripadanya antara lain
Anas ibn Mâlik, Ibn ‘Abbâs, dan Ibn Wahbân. Abû Zârr meninggal
pada 32 H.108

Kualitas hadis: shahih, karena walaupun di antara perawi ada


‘Abdullâh ibn Lahî’ah yang dianggap mukhtalith, namun karena
yang meriwayatkan hadisnya adalah ‘Abdullâh ibn al-Mubârak atau

‘Abdullâh ibn Wahhâb, maka kualitasnya dipandang shahih.109


Sehubungan dengan adanya di antara ilmuwan yang selalu

menyelewengkan opini orang banyak, maka al-Ghazâlî menekankan


sekali agar menekuni golongan pertama, yaitu mencari ilmu karena
mengharap ridha Allâh, dan mewaspadai golongan kedua serta
menjauhi golongan ketiga.

Sehubungan dengaan permulaan dari petunjuk (bidâyat al-


hidâyah) adalah ketaqwaan lahirîyah, sedangkan muaranya (nihâyah
al-hidâyah) adalah ketaqwaan bathinîyah. Sebab itu, al-Ghazâlî
membagi pembahasan selanjutnya kepada dua bahagian, yaitu
tentang kepatuhan (thâ‘âh, loyalitas) dan menjauhi ma‘shîyat (ijtinâb
al-ma ‘ âshî).

B. Hadis-Hadis Tentang al-Thâ‘âh


Dalam bahagian pertama ini, al-Ghazâlî mengemukakan satu hadis,
yaitu:
(Hadis Nomor 8):

1 08 Ibn Atsîr, Usûd


09…,
1 10 Ibnvol. V, h.Taqrîb
Al-Ghazâlî,
Hajar, Cf. Ibn
…,Hajar,
Bidâyat …,
h. h.
319.
2. 84vol. XII, h. 98.
Tahdzîb …,
Hadis tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan
supaya loyal (thâ‘at, patuh) kepada Allâh Swt. lewat amalan sunat. Secara
lengkap sanad hadis tersebut dapat dibaca sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Bukhârî:

:
:

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Allâh
berfirman: Siapa saja di antara intelektual agana yang kembali kepada-
Ku, Aku akan memberitahu kepadanya kecelakaan dan kebinasaan.
Hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku melalui
kewajiban yang Aku telah tetapkan dan melalui amalan sunat (al-Nawâfil),
sehingga Aku senang kepadanya. Apabila Aku telah menyenanginya, aku
akan menjadi alat pendengarnya …".

Telaah sanad:
(1). Muhammad ibn ‘Utsmân ibn Karâmah al- ‘Ajlî al-Kûfî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Usâmah,
‘Abdullâh ibn Numair, dan Khâlid ibn Makhlad. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah, antara lain al-Bukhârî
sebanyak satu hadis di dalam kitab Shahîh, Abû Dâud, dan al-
Turmudzî. Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah.112 Ibn Hajar

1 11 Al-Bukhârî, Shahîh,
1 12
vol.
IbnV,Hajar,
hadis nomor
Tahdzîb6137,
…, vol.
BâbIX, h.301.85 h. 2384.
al-Tawâdhu’,
memandangnya tsiqah min al-hâdiyata ‘asyarah. Muhammad ibn
‘Utsmân wafat di Kûfah tahun 254 H.113

(2). Khâlid ibn Makhlad al-Qatawânî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ishâq ibn Hâzim al-
Madnî, Abî al-Ghashn Tsâbit ibn Qais al-Madanî, dan Sulaimân ibn
Bilâl. Sementara orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah
al-Bukhârî, Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Mahdî, dan Ahmad ibn
al-Khalîl al-Bazzâr. Dalam beberapa hadis, Khâlid ibn Makhlad
dituduh munkar al-hadîts. Namun hadisnya layak ditulis. Di dalam

Mîzân al-I‘tidâl karya al-Dzahabî, Abû Ahmad mengatakan bahwa


hadisnya layak ditulis, tetapi bukan untuk dijadikan hujjah. Menurut
al-Azadî, dalam sebagian hadisnya adalah munkar. Ibn Syâhîn
memasukkannya dalam deretan orang-orang tsiqah. Demikian juga
menurut Ibn Hibbân dan ‘Utsmân ibn Abî Syaibah. Berbeda dengan
al-Sâjî dan al-‘Uqailî, yang memasukkannya dalam deretan orang-
orang dha‘îf.114 Sementara Ibn Hajar menilainya shadûq bi
tasyayyu‘. Ia wafat tahun 213 H.115

(3). Sulaimân ibn Bilâl al-Qurasyî al-Taimî


Selain Abû Muhammad, Sulaimân ibn Bilâl juga biasa
dpanggil Abû Ayyûb. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî
Bakar ‘Abd al-Hamîd ibn Abî Uwais dan Syuraik ibn ‘Abdillâh ibn
Abî Namr. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya antara
lain al-Bukhârî, Ibrâhîm ibn Abî Dâud, dan Ahmad ibn Muhammad
ibn Syibwaih al-Marwadzî. Umumnya ahli hadis, seperti al-Dûrî
yang berasal dari Ibn Ma‘în memandangnya tsiqah.116 Ibn Hajar

1 13 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, 496.


1 16
14 Ibn Hajar, Tahdzîb
15 Taqrîb …,
…,vol.
vol.I,IV,
III,
h. 190. 86
h. 154.
103.
memandangnya tsiqah min al-tsâminah. Sulaimân ibn Bilâl wafat
tahun 177 H.117

(4). Syuraik ibn ‘Abdillâh ibn Abî Namr al-Qurasyî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Anas, Sa‘îd ibn al-
Musayyab, dan ‘Athâ ibn Yâsar. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis daripadanya adalah seniornya, Sa‘îd al-Maqburî,
al-Tsaurî, dan Mâlik. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Hibbân,
memasukkannya dalam deretan orang-orang yang tsiqah, namun
terkadang salah, sehingga menurut al-Nasâ`î dan Ibn al-Jârûd hadis
yang diriwayatkannya tidak kuat.118 Ibn Hajar memandangnya

shadûq yukhthi‘ min al-khâmisah. Syuraik ibn ‘Abdillâh wafat


sekitar tahun 140 H.119

(5). ‘Athâ` ibn Yasâr al-Hilâlî


Nama panggilan akrabnya adalah Abû Muhammad al-Madanî
al-Qâdhi. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ibn Mas‘ûd, Zaid
ibn Sâbit, dan Abî Hurairah. Sementara orang yang menerima hadis
darinya adalah Abû Hanîfah, Zaid ibn Aslam, dan Syuraik ibn

‘Abdillâh ibn Abî Namr al-Qurasyî. Ibn Ma‘in, Abû Zur‘ah, al-
Nasâ‘î, dan sebagainya memandangnya tsiqah.120 Ibn Hajar
menilainya tsiqah fâdhil shâhib mawâ ‘ izh wa ‘ubâdah min shighâr
al-tsâniyah. ‘Athâ` ibn Yasâr al-Hilâlî wafat tahun 194 H. 121

(6). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawawî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari tiga
puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-Rahmân

1 17 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 250.


1 18 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 297.
1 21
19 Al-Suyûthi,
20 Ibn Hajar, Taqrîb
Is’âf …,
…, h.
vol. 266. 87
21.I, h. 392.
ibn Shakhar.122 Ia digelari Abû Hurairah karena sering menggendong
kucing,123 sehingga Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah

(ayah kucing).
Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar, awal
tahun ke tujuh Hijrîyah.124 Ia wafat pada tahun 57 H.125

Kualitas hadis: hasan, karea dalam sanad tersebut ada Khâlid ibn
Makhlad yang dipandang shadûq bi tasyayyu‘ dan Syuraik ibn

‘Abdillâh yang dipandang shadûq yukhthi‘. Sebagaimana disebutkan,


bahwa hadis tersebut berasal dari riwayat Abî Hurairah. Namun
menurut pengarang al-Hilyah, berasal dari riwayat Anas dan sanad-
nya dha‘îf. 126 Karena penilaian para perawi dalam tulisan ini
berpatokan kepada Ibn Hajar, maka kualitas sanad-nya dipandang

hasan.

Âdâb al-istaiqâzh min al-naum


Ketika al-Ghazâlî membahas pasal tentang bangun dari tidur
(adâb al-istaiqâzh min al-naum), dia menekankan agar selalu bangun
sebelum terbit fajar. Selain masalah waktu, al-Ghazâlî juga
menganjurkan agar dzikrullâh yang pertama sekali terbersit dalam
hati dan lidah adalah dengan mengucap:

(Hadis Nomor 9):

1 22 Jalaluddin ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.


1 23 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.
1 24 Abû al-Fidâ’ Ismaâ’îl Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol. IV, Dâr al-Fikri,
Bairut,Is’âf
1 25 Al-Suyûthi, t.t.,
1 26 h.Al-Haddâd,
…, 181.
h. 33.Selanjutnya
LihatTakhrîj disebut
juga Ibn
…,Atsîr, Ibn
vol. I,
Ushûd
h. 45.
…,88vol. V, h. 321.
Katsîr.
.

Secara lengkap sanad hadis dzikr tesebut dapat dibaca


sebagaimana riwayat al-Bukharî di bawah ini:

:
. :

. :
Artinya: Hudzaifah r.a., menceritakan: Biasanya Nabi Saw. apabila
ingin tidur malam, ia letakkan tangannya di bawah pipinya.
Kemudian dia membaca: dan apabila dia telah
bangun, dia membaca:

Telaah sanad:
(1). Mûsa ibn Ismâ‘îl al-Minqarî Abû Salamah al-Tabûdzakî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abân ibn Yazîd


al-‘Aththâr, ayahnya Ismâ‘ îl al-Minqarî, dan Abî ‘Awânah al-
Wadhdhâh ibn ‘ Abdillâh. Sementara orang yang pernah

1 28 Al-Bukhârî,khadd
Shahîh,al-yumna,
vol.
1 27V, h. 2327.
Al-Ghazâlî,
hadis nomor
Bidâyat
5955,…,
Bâbh.wadh‘
2. 89al-yumna tahta al-
al-yad
meriwayatkan hadis daripadanya adalah Ahmad ibn al-Hasan
al-Turmudzî, Abû Dâud, al-Bukhârî, dan sebagainya. Ibn Hajar
menilainya tsiqah tsabat min shighâr al-tâsi‘ah. Ia wafat tahun
223 H.129

(2). Abû ‘Awânah al-Wadhdhâh ibn ‘Abdillâh al-Yasykurî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abd al-Mâlik
ibn Sulaimân, ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Umair, dan ‘Abd al-Rahmân
ibn al-Asham. Sementara orang yang pernah meriwayatkan
hadis dari padanya adalah Abû Salamah Mûsa ibn Ismâ‘îl,
Hisyâm ibn ‘Ubaidillâh al-Râzî, Muslim ibn Ibrâhîm, dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah tsabat.130
Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat min al-sâbi‘ah. Ia wafat
tahun 175 atau 176 H.131

(3). ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Umair ibn Suwaid ibn al-Farasî al-
Lakhamî al-Kûfî al-Qibthî
Ia yang populer dengan Abû ‘Âmr atau Abû ‘Umar
meriwayatkan hadis, antara lain dari Khâlid ibn Rib’î al-Asadî,
Rifâ’ah ibn Syaddâd, dan Rib’î ibn Harrâsy. Sementara orang
yang pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah anaknya
Mûsa ibn ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Umair, Abû ‘Awânah al-
Wadhdhâh ibn ‘Abdillâh, al-Walîd ibn Abî Tsûr, dan
sebagainya. 132 Ibn Hajar menilainya tsiqah fashîh ‘âlim
taghayyara hifzhuhu wa rubamâ dallasa min al-râbi‘ah. ‘Abd
al-Mâlik ibn ‘Umair wafat tahun 136 H. 133

(4). Rib’î ibn Harrâsy ibn Jahsy ibn ‘Amr ibn ‘Abdillâh ibn
Bajjâd al-Ghathafânî Abû Maryam al-Kûfî

1 29 Ibn Hajar, Taqrîb…, vol. I, h. 549.


1 30 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. XI, h. 103. Cf. Hamzah ibn Yûsuf Abû al-Qâsim al-Jurjanî,
Tarîkh Jurjân, vol. I, ‘Âlim al-Kutub, Beirut, 1981, h. 481.
11 31
32 Ibn
33 IbnHajar,
Hajar,Taqrîb…, vol.
Tahdzîb …,
Taqrîb…, vol. I,I,h.h.
vol. VI, 580.
364. 90
h. 364.
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari al-Barrâ` ibn
Najîyah, Hudzaifah ibn al-Yamân, dan Thâriq ibn ‘Abdillâh ibn
al-Mahâribî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari
padanya adalah ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Umair, Abû Saidân ‘Ubaid
ibn al-Thufail al-Ghathafânî, ‘Âmir al-Sya’abî, dan sebagainya.
Para ahli hadis menilainya tsiqah ‘âbid.134 Ibn Hajar
menilainya tsiqah ‘âbid mukhdharam min al-tsâniyah. Rib’î
ibn Harrâsy wafat tahun 100 H.1 35

(5). Hudzaifah ibn al-Yamân Abû ‘Abdillâh al-‘Absî


Namanya adalah Husail dan ada yang mengatakan Hisl.
Ia seorang sahabat (shahâbî) yang pernah meriwayatkan hadis
dari Nabi Saw. dan ‘Umar ibn al-Khaththâb. Sementara orang
yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah Rib’î ibn
Harrâsy al- ‘Absî, Khâlid ibn al-Rabî‘ al- ‘Absî, Zâdzân Abû

‘Umar al-Kindî, dan sebagainya. Ia wafat tahun 36 H.136


Kualitas hadis: shahih, karena para perawinya tsiqah dan muttashil.
Memperhatikan teks hadis yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî
dengan teks hadis yang di-takhrîj ke dalam buku sumber, tidak
ditemukan kecuali teks yang bergaris bawah di atas, yaitu:

,
, ,

1 36 Ibn Hajar, al-Ishâbah11 …,


34 Ibn
Ibn Hajar,
35 vol. Hajar, Tahdzîb
II, h. 44. Cf. Ibn…,
Taqrîb…, vol.
vol.
Hajar, III,
I, h.
Tahdzîb
205. 91
h. 305.
…, vol. III, h. 293.
.

Âdâb dukhûl al-khalâ’


Dalam membicarakan tata cara masuk wc tersebut, al-Ghazâlî
mengemukakan satu hadis, yaitu:
(Hadis Nomor 10):

.
Hadis di atas dikemukakan al-Ghazâlî untuk menjelaskan

bahwa kencing di tempat mandi (mustahimm) merupakan sumber


was-was. Secara lengkap sanad-nya adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Nasâ`î:

.
Artinya: dari Nabi Saw., katanya: “Janganlah salah seorang kamu
kencing pada tempat mandi. Sesungguhnya rasa waswas muncul dari
situ". 137

Telaah sanad:

(1). ‘Alî ibn Hujr


Nama lengkapnya adalah ‘Alî ibn Hujr ibn ‘Îyâs ibn
Muqâtil ibn Mukhâdisy ibn Musyamrakh ibn Khâlid al-Sa‘dî.
Sebelum pindah dan menetap di Merw, ‘Alî ibn Hujr tinggal di
Baghdad. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya,
Khalaf ibn Khalîfah, ‘Isa ibn Yûnus, dan Ibn al-Mubârak.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Alî ibn Hujr,

24. vol. I, hadis nomor 36, Bâb Karâhiyat al-bawl92fî al-mustahamm, h.


1 37 Al-Nasâ’î, Sunan
antara lain al-Bukhârî, Muslim, dan al-Nasâ`î. Para ahli hadis,
seperti Muhammad ibn ‘Alî ibn Hamzah al-Marwazî,
memandangnya fâdhil hâfizh. Al-Nasâ`î menilainya tsiqah
ma`mûn hâfizh.138 Ibn Hajar menilainya tsiqah hâfizh min
shighâr al-tâsi‘ah. ‘Alî ibn Hujr wafat pada tahun 244 H.139

(2). Ibn al-Mubârak al-Hanzhalî al-Tamimî


Namanya adalah ‘Abdullâh ibn al-Mubârak ibn al-
Wadhîh. Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abân ibn
Taghlab, Abân ibn Zaid dan Ma’mar ibn Râsyid. Sementara
orang yang menerima hadis dari Ibn al-Mubârak adalah
Ibrâhîm ibn Abî al-‘Abbâs, Ibrâhîm ibn Ishâq ibn ‘Isa, Ibrâhîm
ibn Mûsa ibn Yazîd ibn Zâdzân, Ahmad ibn al-Hajjâj, Ahmad
ibn Hâmid, Ahmad ibn Muhammad ibn Mûsa, Ahmad ibn
Mani’ ibn Abd al-Rahman, Ishâq ibn Ibrâhîm ibn Makhlad, dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah,

hadisnya layak dijadikan hujjah.140 Ibn Hajar menilainya tsiqah


tsabat faqîh ‘âlim jawwâd mujâhid jama ‘at khishâl al-khair
min al-tsâminah. Ibn al-Mubârak wafat 181 H.141

(3). Ma‘mar (ibn Râsyid) al-Azdî


Ma’mar dikenal juga dengan nama panggilan Abû
‘Urwah al-Mishrî al-Yamanî. Ia termasuk salah seorang yang
ikut menyaksikan janazah al-Hasan al-Bashrî yang berdiam di
al-Yaman. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Tsâbit al-
Bannânî, Qatâdah, dan Asy’ats ibn ‘Abd al-Mâlik al-Humrânî.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya antara lain
selain guru-gurunya Yahyâ ibn Abî Katsîr, Abû Ishâq al-Sabî’î
dan Ayyûb, adalah ‘ Abdullâh Ibn al-Mubârak. Umumnya ahli

1 38 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. V, h. 659-660.


11 39
40 Ibn
41 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 399.
I,IV, 320. 93
h. 157-160.
hadis, seperti Abû Hâtim memandangnya shâlih al-hâdîts.142
Ibn Hajar menilainya tsiqat tsabat fâdhil kecuali tsâbit, Hisyâm
ibn ‘Urwah dan al-A‘masy serta hadis yang dia riwayatkan
ketika berada di Bashrah min kubbâr al-sâbi‘ah. Ma’mar wafat
pada tahun 154 H.143

(4). Asy‘ ats ibn ‘Abd al-Mâlik al-Humrânî (Abû Hânî`)


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari al-Hasan al-
Bashrî, Muhammad ibn Sîrîn, dan Khâlid al-‘Âsharî.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Syu‘bah, Hasyîm, dan Ma’mar (ibn Râsyid). Umumnya ahli
hadis tidak ada yang mencacatkannya. Al-Nasâ`î misalnya
mengatakan tsiqah. Ibn Hibbân juga memasukkannya dalam
deretan orang-orang tsiqah. Namun berbeda dengan al-‘Uqailî
yang memandangnya wahm.144 Ibn Hajar memandangnya

tsiqah faqîh min al-sâdisah. Asy’ats ibn ‘Abd al-Mâlik wafat


pada tahun 142 H.145

(5). Al-Hasan (Ibn Abî al-Hasan Yassar al-Bashrî)


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ubay ibn Ka‘ab,
Sa‘d ibn ‘Ubâdah, ‘Umar ibn al-Khaththâb (ia tidak bertemu
langsung dengan orang-orang ini), Tsaubân, dan ‘Abdullâh ibn
Mughaffal al-Muzanî. Sementara orang yang meriwayatkan
hadis darinya adalah Humaid al-Thâwil, Yazîd ibn Abî
Maryam, dan Asy’ats ibn ‘Abd al-Mâlik al-Humrânî. Para ahli
hadis memandang al-Hasan tsiqah. Namun, karena ia banyak
meriwayatkan hadis secara mursal, ada juga yang men-dha‘îf-
kannya.146 Ibn Hajar menilainya tsiqah faqîh fâdhil masyhûr
wa kâna yursilu katsîran wa yudallis. Ia merupakan ra`s ahl al-

1 42 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. X, h. 218.


1 43 Ibn Hajar, Taqrîb…, vol. I, h. 541. Cf. Ibn Hajar, Lisân Mizân, vol. VII, Mu`assasah
al-A’lamî li al-Mathbû’ât, Beirut, Cet. Ke-3, 1986, h. 394.
11 44
45 Ibn
46 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Taqrîb…,…,
Tahdzîb …, vol.
vol.
vol. I,
II,h.
I, h. 231.94
h.312.
113.
thabaqah al-tsâlitsah yang wafat 110 H., dalam usia kurang
lebih 88 tahun.147

(6). ‘Abdullâh ibn Mughaffal al-Muzanî


Sebelum pindah ke Bashrah ‘Abdullâh ibn Mughaffal
pernah tinggal di Madinah. Ia termasuk salah seorang yang
aktif meriwayatkan hadis dari Nabi Saw., Abî Bakar, ‘Utsmân,
dan ‘Abdullâh ibn Sâlim. Sedangkan orang yang meriwayatkan
hadis darinya, antara lain Humaid ibn Hilâl, Tsâbit al-Bannânî,
dan al-Hasan al-Bashrî. Menurut al-Bukhârî dari Musaddad,

‘Abdullâh ibn Mughaffal wafat di Bashrah tahun 57 H.148

(7). ‘Â`isyah
‘Â`isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah Saw. yang
sangat ia cintai setelah Khadîjah bint Khuwailid wafat. Tidak
ada kesepakatan tentang kapan Rasulullah kawin dengan

‘Â`isyah. Ada yang mengatakan Rasulullah kawin dengannya


dua tahun sebelum hijrah. Ada yang mengatakan tiga tahun
sebelum Hijrah. Demikian juga tidak ada kata sepakat tentang
berapa umur ‘Â`isyah ketika itu. Ada yang mengatakan ketika
dinikahkan dengan Nabi, ‘Â`isyah dalam usia enam tahun, dan
ada yang mengatakan usia tujuh tahun dan serumah dengannya
pada usia sembilan tahun. ‘Â`isyah wafat tahun 57 H. Ada juga
yang mengatakan 58 H. malam Selasa, 17 Ramadhan dan
dikebumikan di Baqi’.149

Kualitas hadis: shahîh, karena sanad-nya muttashil dan


perawinya tsiqah.

Kemudian al-Ghazâlî mengemukakan tata cara dan


beberapa bacaan (dzikr ) dalam pelaksanaan qadhâ hajat, yaitu
mendahulukan kaki kiri ketika akan masuk wc dengan
membaca:

11 47 IbnHajar,
48 Ibn
49 Hajar,Tahdzîb,
Taqrîb…,…,
al-Ishâbah vol. I, h.
…,vol.
vol. 160.
IV,IV, 95
h.h.500-501.
399.
(Hadis Nomor 11):

Bacaan di atas dilandasi dengan hadis sebagaimana


diriwayatkan dengan ma‘na yang sama oleh al-Bukhârî:

." "
Artinya: Mâlik r.a. menceritakan; Apabila Nabi Saw. Masuk w.c.,
dia membaca:
.
Telaah sanad:
(1). Muhammad ibn ‘ Ar‘arah ibn al-Birind al-Qurasyî al-Sâmî

Ia yang populer dengan Abû ‘Abdillâh dan ada yang


mengatakan Abû Ibrâhîm atau Abû ‘Amr meriwayatkan hadis
antara lain dari Ismâ‘îl ibn Muslim al-‘Abdî, Jarîr ibn Hâzim,
dan Syu‘bah ibn al-Hajjâj. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis daripadanya adalah al-Bukhârî, Ahmad ibn
al-Hasan al-Turmudzî, Ahmad ibn Sinân al-Qaththân, dan
sebagainya. Ibn Hajar memandangnya tsiqah min shighâr al-
tâsi‘ah. Ia wafat tahun 213 H.151

(2). Syu‘bah ibn al-Hajjâj ibn al-Warad Abû Busthâm al-


Wâsithî al-Bashrî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Abd al-Rahmân
ibn al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abî Bakar al-Shiddîq, ‘Abd
al-‘Azîz ibn Rafî’, dan ‘Abd al- ‘Azîz ibn Shahîb. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah
Muhammad ibn ‘ Abdillâh al-Anshârî, Muhammad ibn ‘Adî,

1 50 Al-Bukhârî, Shâhîh, vol.


1 51V,
Ibn
hadis
Hajar,
nomor
Taqrîb
5963,
…, Bâb
vol. al-du’â` 96 al-Khalâ`, h. 2330.
I, h. 496.‘inda
Muhammad ibn ‘Ar’arah, dan sebagainya.152 Ibn Hajar
memandangnya tsiqah hâfizh mutqin. Bahkan menurut al-
Tsaurî dia merupakan Amîr al-Mu`minîn bidang hadis. Ia wafat
di Bashrah tahun 160 H.153

(3). ‘Abd al-‘Azîz ibn Shahîb al-Bannânî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Anas ibn Mâlik,
‘Abd al-Wâhid al-Bannânî, dan Kinânah ibn Nu‘aim al-‘Adwî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
daripadanya adalah ‘Abdullâh ibn al-Mukhtâr, Sa‘îd ibn ‘Abd
al-‘Azîz, Syu‘bah ibn al-Hajjâj, dan sebagainya. Umumnya ahli
hadis, seperti Ibn Sa‘d al-Nasâ`î dan al- ‘Ajlî menilainya

tsiqah.154 Ibn Hajar memandangnya tsiqah min al-râbi‘ah.

‘Abd al- ‘Azîz wafat tahun 130 H.155

(4). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar
ibn Dhamdham al-Anshârî. Ia masih kecil ketika Nabi
melakukan hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia
kepada Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabi.
Anas yang wafat pada tahun 93 H. meriwayatkan hadis antara
lain dari Nabi Saw. Kemudian dari Tsâbit ibn Qais ibn
Syammâs dan Abî Thalhah Zaid ibn Sahl al-Anshârî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari Anas
ibn Mâlik adalah anak saudaranya Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn Abî
Thalhah, Ismâ‘il ibn Muhammad ibn Sa‘d ibn Abî Waqqâsh,
Sulaimân ibn Mahrân al-A‘masy dan sebagainya. Anas ibn

1 52 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 297.


11 53
54 Ibn
55 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
I,VI, 266.
357. 97
h. 305.
Mâlik merupakan sahabat Nabi Saw. yang paling akhir di
Bashrah. 156

Kualitas hadis: shahîh, karena diriwayatkan oleh al-Bukhârî.


Ada 49 jalur (thuruq) yang berbicara tentang bacaan
masuk wc (al-khalâ`) tersebut, antara lain sebagaimana yang
diriwayatkan oleh al-Thabrânî di bawah ini dengan lafal:

Kemudian oleh al-Hâkim158 dengan lafal yang sama dengan


yang diriwayatkan oleh al-Thabrânî di atas. Kedua lafal
tersebut merupakan teks (matan) yang sama (bi al-lafzh)
dengan yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî. Namun kalimat

dan tidak ditemukan dalam teks (matan) dari ke-


49 jalur (thuruq) tersebut.
Kemudian dengan mendahulukan kaki kanan ketika akan
keluar dengan membaca:

(Hadis Nomor 12):

Bacaan tersebut dapat dilihat sanad-nya secara lengkap


dalam hadis, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mâjah di
bawah ini.

1 56 Ibn Hajar, al-Ishâbah …, vol. I, h. 312. Cf. Ibn Hajar, Is’âf …, h. 6.Juga Ibn Hajar,
Tahdzîb …, vol. I, h. 329.
1 57 Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb Abû al-Qâsim al-Thabrânî, al-Mu’jam al-Kabir, vol.
V, Hadis nomor 5099, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, al-Mushil, 1983, h. 204. Selanjutnya
disebut
I, hadis al-Thabrânî.
nomor 668, Dâr al-Kutub
1 58 Muhammad al-‘Ilmîyah,
ibn ‘Abdillah Beirut,
Abû ‘Abdillah 98,al-Mustadrak,
1990, al-Naisâbûrî
al-Hâkim h. 297. Selanjutnya disebut al-Hâkim.
vol.
:
." "
Artinya: ‘Â`isyah, ia mengatakan: “Apabila Rasulullah Saw. selesai
qadhâ hâjat, ia membaca: "

Telaah sanad:
(1). Abû Bakar ibn Ishâq ibn Abî Syaibah al-Kûfî

Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn


Ibrâhîm ibn ‘Utsmân ibn Khawâsitî al-‘Absî. Ia yang populer
Abû Bakar ibn Ishâq ibn Abî Syaibah al-Kûfî meriwayatkan
hadis antara lain dari Ahmad ibn Ishâq al-Hadhramî, Ahmad ibn

‘Abdillâh ibn Yûnus, dan Yahyâ ibn Abî Bakîr al-Karâmanî.


Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya
adalah Ibrâhîm ibn Ishâq al-Harabî, Abû Syaibah, Ibn Mâjah, dan
sebagainya. 160 Ibn Hajar memandangnya tsiqah hâfizh shâhib
tashânîf min al-‘âsyirah. ‘Abdullâh ibn Muhammad wafat tahun
235 H. 161

(2). Yahyâ ibn Abî Bakîr Abû Zakarîyâ Nasr al-Karamânî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn
Thuhmân, Ibrâhîm ibn Nâfi‘ al-Makkî, dan Isrâ`îl ibn Yûnus.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya
adalah ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn ‘Âmir ibn Barrâd al-

1 59 Ibn Mâjah, Sunan, vol. I, hadis nomor 300, Bâb mâ yaqulu idzâ kharaja min al-khalâ`,
h. 110. Cf. al-Hâkim, Al-Mustadrak, vol. I, h. 261. Cf. Muhammad ibn Hibbân ibn Ah mad Abû
Hâtim al-Tamîmî al-Bastî, Shâhîh ibn Hibbân, vol. IV, hadis nomor 1444, Zikr Mâ Yustahabb li
al-mar`i an yas`al Allah Jalla wa ‘alâ al-Maghfirah ‘inda Khurûjih min al-Khalâ`, Mu`assasah al-
Risâlah, Beirut, 1993, h. 291. 1 6160 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VI, h. 3. 99
I, 320.
Asy‘arî, ‘Abbâs ibn Muhammad al-Daurî, Abû Bakar ‘Abdullâh
ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, dan sebagainya. Umumnya ahli
hadis seperti al-‘Ajlî dan Ibn Hibbân menilainya tsiqah,
walaupun Abû Hâtim menilainya shadûq.162 Ibn Hajar
menilainya tsiqah min al-tâsi‘ ah. Yahyâ ibn Abî Bakîr wafat
tahun 208 atau 209 H.163

(3). Isrâ`îl ibn Yûnus ibn Abî Ishâq al-Sabî’î al-Hamdanî Abû
Yûsuf al-Kûfî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Hisyâm ibn
‘Urwah, anak pamannya Yûsuf ibn Ishâq ibn Abî Ishâq al-Sabî’î,
dan Yûsuf ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsa al-Asy‘arî. Sementara
orang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah
Yahyâ ibn Âdam, Yazîd ibn Zarî’, Yahyâ ibn Abî Bakîr, dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Harb yang berasal dari
Ahmad ibn Hanbal menilainya tsiqah.164 Ibn Hajar menilainya

tsiqah tukullima fîh bi lâ hujjah min al-sâbi‘ah. Isrâ`îl ibn Yûnus


wafat tahun 160 H.165

(4). Yûsuf ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsa al-Asy‘arî al-Kûfî
Ia meriwayatkan hadis hanya dari ayahnya Abî Burdah
ibn Abî Mûsa. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
daripadanya adalah Isrâ`îl ibn Yûnus dan Sa‘îd ibn Masrûq al-
Tsaurî. Ibn Hibbân dan al-‘Ajlî menilainya tsiqah.166 Ibn Hajar
menilainya maqbûl min al-sâdisah.167 Tidak ditemukan
keterangan lebih lanjut tentang tahun wafatnya.

(5). Abû Burdah ibn Abî Mûsa al-Asy‘ arî al-Kûfî


Ada yang mengatakan namanya adalah ‘Âmir ibn
‘Abdillâh ibn Qais atau al-Hârits. Ia meriwayatkan hadis antara
1 62 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol XI, h. 167.
1 63 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 588.
1 64 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 229.
11 65
66 Ibn
67 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, volI,
vol. h.
h. 104.
I,XI,610. 100
h. 359.
lain dari al-Aswad ibn Yazîd al-Nakha’î, Asmâ` bint ‘Umais, dan
Umm al-Mu`minîn ‘Â`isyah. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis daripadanya adalah Abû Ishâq al-Sabî’î,
Abû Ishâq al-Syaibânî, anaknya Yûsuf ibn Abî Burdah ibn Abî
Mûsa al-Asy‘arî, dan sebagainya. Para ahli hadis menilainya

tsiqah.168 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-tsâlisah. Ia wafat


tahun 104 H.169

(6). ‘Â’isyah
‘Â`isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah Saw. yang
sangat ia cintai setelah Khadijah bint Khuwailid wafat. Tidak ada
kesepakatan tentang kapan Rasulullah kawin dengan ‘Â`isyah.
Ada yang mengatakan Rasulullah kawin dengannya dua tahun
sebelum hijrah. Ada yang mengatakan tiga tahun sebelum hijrah.
Demikian juga tidak ada kata sepakat tentang berapa umur

‘Â`isyah ketika itu. Ada yang mengatakan ketika dinikahkan


dengan Nabî, ‘Â`isyah dalam usia enam tahun, dan ada yang
mengatakan usia tujuh tahun dan serumah dengannya pada usia
sembilan tahun. ‘‘isyah wafat tahun 57 H. Ada juga yang
mengatakan 58 H. malam Selasa, 17 Ramadhan dan dikebumikan
di Baqi’.170

Kualitas hadis: hasan, karena sanad ada Yûsuf ibn Abî Burdah
yang dinilai maqbûl.

Ada sebanyak 6 thuruq yang berbicara tentang bacaan


(dzikr) ketika keluar setelah selesai qadhâ al-hâjat. Kelihatannya
tak satu pun dari keenam thuruq tersebut yang menceritakan
bahwa ada bacaan:

11 68 IbnHajar,
69 Ibn
70 Hajar,Taqrîb
Tahdzîb
…,…,
al-Ishâbah …,vol.
vol. XIIV,
vol.
I, h. 621.h. 101
I, h. 420.
399.
Selain itu, al-Ghazâlî juga menekankan agar tidak qadhâ al-
hâjat dalam posisi menghadap matahari dan bulan, tidak menghadap
atau membelakangi kiblat. Kemudian tidak di tempat orang biasa
bercakap-cakap, serta jangan kencing di air yang tidak mengalir dan di
bawah pohon yang sedang berbuah. Setelah selesai qadhâ al-hâjat dan

istinja` dengan air atau dengan benda kesat, maka sebaiknya dibaca:
(Hadis Nomor 13):

Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Khathîb dalam kitab al-


Târîkh dengan lafal:

Lafal hadis tersebut berasal dari Abi Sa‘id. Demikian


dikemukakan dalam nuskhah al-Ihyâ . Namun yang sebetulnya hadis
tersebut berasal dari Umm Ma‘bad dengan tanpa kalimat
namun dia tambah dengan kalimat . Kualitas

sanad-nya adalah dha‘îf. Demikian hasil takhrîj yang diadakan oleh al-
Haddâd.
Âdâb al-wudhû`

Setelah selesai dari istinja`, jangan lupa bersugi (siwâk).


Demikian dikemukakan oleh al-Ghazâlî.
Berkenaan dengan tata cara wudhu` ini, al-Ghazâlî
mengemukakan empat hadis. Tiga hadis pertama terkait langsung
dengan masalah bersugi (siwâk) dan terakhir terkait dengan dzikrullâh

ketika berwudhu`, yaitu:


(Hadis Nomor 14):

.
1 72
71 ‘Abdus-Samad,
Al-Haddâd, Takhrîj
Hidâyat
…, Vol.
…, h.III,36. 102
hadis nomor 3, h. 100.
Secara lengkap sanad hadis ini sebagaimana riwayat al-
Nasâ`î.:

. :
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Bersiwak adalah
membersihkan mulut dan ridla Tuhan”. 173

Telaah sanad :
(1). Humaid ibn Mas‘adah ibn al-Mubârak al-Sâmî al-Bâhilî

Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Ismâ‘îl ibn


‘Alîyah, al-Hârits ibn Wajîh, dan Yazîd ibn Zurai‘. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari Humaid ibn Mas‘adah
adalah Ibrahîm ibn Ja‘far ibn Muhammad al-Asy‘arî, Ibn Mâjah,
al-Nasâ`î, dan sebagainya.174 Ibn Hajar menilainya shadûq min
al-‘âsyirah. Humaid ibn Mas‘adah wafat tahun 244 H.175

(2). Muhammad ibn ‘Abd al-A‘la al-Shan‘ânî al-Qaisî Abû


‘Abdillâh al-Bashrî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Muhammad ibn
Tsaur al-Shan‘ânî, Mu ‘tamir ibn Sulaimân, dan Mu‘tamir ibn
Sulaimân dan Yazîd ibn Zurai‘. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn ‘ Abd al-A‘lâ adalah
Abû Bakar Ahmad ibn ‘Amr ibn Abî ‘Âshim, Buqî ibn Makhlad
al-Andalusî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis seperti Abû
Zur‘ah, Ibn Hibbân, dan Abû Hâtim menilainya tiqah.176 Ibn

1 73 Al-Nasâ`î, Sunan, vol. I, hadis nomor 5, Bâb al-Targhîb fî al-Siwâk, h. 10.


11 74
75 Al-Mazzî,
76 Tahdzîb…,
Ibn Hajar, Tahdzîb
Taqrîb ...,Vol.
..., vol.I,VII,
vol. IX, h.396.
h. 182. 103
257.
Hajar sendiri menilainya tsiqah min al-‘ âsyirah. Muhammad ibn
‘Abd al-A‘lâ wafat tahun 245 H.177

(3). Yazîd ibn Zurai‘ al-‘Aisyî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Isrâ`îl ibn Yûnus,
Ayyûb al-Sikhtiyânî, dan ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abdillâh ibn Abî
‘Athîq. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Yazîd ibn
Zurai‘ adalah Humaid ibn Mas‘adah, Muhammad ibn ‘Abd al-
A‘la al-Shan‘ânî, dan sebagainya. 178 Ibn Hajar menilainya tsiqah
tsabat min al-tsâminah. Yazid ibn Zurai‘ meninggal pada tahun
182 H.179

(4). ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abdillâh ibn Abî ‘Athîq


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya ‘Abdillâh
ibn Abî ‘Âtîq, dan ‘Athâ` ibn Abî Ribâh. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah Sulaimân ibn
Bilâl, Muhammad ibn Ishâq ibn Yasâr, Yazîd ibn Zurai‘, dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Hibbân
memasukkannya dalam deretan orang-orang tsiqah.180 Ibn Hajar
memandangnya maqbûl min al-sâbi‘ah. Ia wafat tahun 256 H.181

(5). ‘Â`isyah
‘Â`isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah Saw. yang
sangat ia cintai setelah Khadijah bint Khuwailid wafat. Tidak ada
kesepakatan tentang kapan Rasulullah kawin dengan ‘Â`isyah.
Ada yang mengatakan Rasulullah kawin dengannya dua tahun
sebelum hijrah. Ada yang mengatakan tiga tahun sebelum hijrah.
Demikian juga tidak ada kata sepakat tentang berapa umur

‘Â`isyah ketika itu. Ada yang mengatakan ketika dinikahkan


dengan Nabî, ‘Â`isyah dalam usia enam tahun, dan ada yang

1 77 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 491.


1 78 Ibn Hajar, Tahdzîb ..., vol. XI, h. 284.
11 79
80 Ibn
81 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,Vol.
…, vol.I,
Vol. h.
h. 601.
I,VI, 344. 104
h.192.
mengatakan usia tujuh tahun dan serumah dengannya pada usia
sembilan tahun. ‘Â`isyah wafat tahun 57 H. Ada juga yang
mengatakan 58 H. malam Selasa, 17 Ramadhan dan dikebumikan
di Baqi’.182

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada ‘Abd al-Rahmân


ibn ‘Abdillâh ibn Abî ‘Athîq yang dipandang maqbûl. Namun
karena banyak jalur lain, yaitu sebanyak 38 dalam berbagai kitab
yang bisa sebagai mutâbi‘ , maka kualitasnya naik menjadi

shahîh li ghairih. Misalnya riwayat al-Nasâ`î dengan matan


yang sama lewat jalur Humaid ibn Mas’adah dan Muhammad ibn
‘Abd al-A’lâ:183

(Hadis Nomor 15):

.
Senada dengan hadis di atas, hadis ini dikemukakan oleh
al-Ghazâlî sebagai alasan agar selalu menjaga kebersihan mulut,
terlebih-lebih ketika akan melaksanakan salat. Secara lengkap

sanad hadis tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh


Ahmad.

:
.

1 82 Ibn Hajar, al-Ishâbah …, vol. IV, h. 399.


1 83 Al-Nasâ’î, Sunan, vol.I, hadis nomor 5, h.10.
1 84 ‘Abdus-Samad, Hidâyat …, h. 34. 105
Artinya: Nabi Saw. pernah bersabda: "Keutamaan salat dengan siwâk
atas salat tanpa siwâk tujuh puluh lipat".
Telaah sanad:
(1). Ya‘qûb (ibn Ibrâhîm) Abû Yûsuf al-Madanî

Nama lengkapanya adalah Ya‘qûb ibn Ibrâhîm ibn Sa‘d


ibn Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf al-Zuhrî. Ia
meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Ibrâhîm ibn Sa‘d
ibn Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘ Auf al-Zuhrî, Syu‘bah ibn
al-Hajjâj, dan Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn Muslim (anak
saudara al-Zuhrî). Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Ya‘qûb ibn Ibrâhîm, antara lain anak saudaranya

‘Ubaidullâh ibn Sa‘d ibn Ibrâhîm ibn Sa‘d al- Zuhrî, Ahmad ibn
Hanbal, dan ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Musnidî. Umumnya
ahli hadis, seperti Ibn Hibbân, memasukkannya dalam deretan
orang-orang tsiqah. Demikian juga Ibn Sa‘d dan sebagainya.
Namun Abû Hâtim menilainya shadûq.186 Ibn Hajar sendiri
menilainya tsiqah fâdhil shighâr min al-tâsi‘ah. Ya‘qûb ibn
Ibrâhîm wafat tahun 208 H.187

(2). Abî (Ibrâhîm ibn Sa‘d) ibn Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn
‘Auf al-Zuhrî Abû Ishâq al-Madanî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Sa‘d ibn
Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf al-Zuhrî dan Muhammad
ibn Ishâq. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
Ibrâhîm ibn Sa‘d adalah kedua seniornya al-Laits ibn Sa‘d dan
Qais ibn al-Rabî‘serta anaknya Sa‘d ibn Ibrâhîm. Umumnya ahli
hadis, Ahmad misalnya, memandangnya tsiqah.188 Ibn Hajar

1 85 Ah mad, Musnad, vol. VI, hadis nomor 26383, h. 272. Lihat juga al-Haddâd, Takhrîj
Ahâdîts al-Ihyâ ’ , vol. I, hadis nomor 4, h. 78.
11 86
87 Ibn
88 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,
Taqrîb …,
Tahdzîb Vol.
Vol.I,XI,
…,Vol. 106
h.105.
I,h.h.607.333.
menilainya tsiqah hujjah takallama fîh bi lâ qâdih min al-
tsâminah. Ibrâhîm ibn Sa‘d wafat tahun 185 H.189

(3). Muhammad ibn Ishâq ibn Yasâr al-Mathlibî al-Madanî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Ishâq ibn
Yasâr al-Mathlibî dan Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-
Zuhrî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari
Muhammad ibn Ishâq adalah Yahyâ ibn Sa‘îd al-Anshârî,
Ibrâhîm ibn Sa‘d, dan sebagainya. Umumnya ulama hadis
memandang Muhammad ibn Ishâq tsiqah. Namun Ibn Abî
Khaitsumah mengatakan yang dia dengar dari Ibn Ma’în
mengatakan Muhammad Ibn Ishâq laisa bih ba’s. Pada kali yang
lain dikatakan laisa bidzâlika dha‘îf. Pada saat yang lain lagi
dikatakan laisa bi al-qawîy. Al-Maimunî yang juga berasal dari
Ibn Ma’în mengatakan dha‘ îf. Al-Nasâ’î mengatakan dha‘îf.190
Ibn Hajar menilainya shadûq yudallisu wa rumiya bi al-tasyayyu‘
wa al-qadr min shighâr al-khâmisah. Muhammad ibn Ishâq
meninggal pada tahun 150 H.191

(4). Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillâh ibn ‘Abdillâh ibn


Syihâb al-Zuhrî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Muslim
ibn Ubaidillâh ibn ‘Abdillâh ibn Syihâb al-Zuhrî, dan ‘Urwah ibn
al-Zubair. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
Ibn Syihâb al-Zuhrî adalah Ibrâhîm ibn Sa‘d al-Zuhrî, Ishâq ibn
Râsyid al-Jazarî, Muhammad Ishâq, dan sebagainya. Umumnya
ahli hadis menilainya tsiqah.192 Ibn Hajar menilainya al-faqîh al-
hâfizh muttafaq ‘ ala jalâlatih wa ‘itqânih. Ibn Syihâb al-Zuhrî
wafat di Mesir tahun 125 H.193

1 89 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 89.


1 90 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IX, h. 34.
11 91
92 Ibn
93 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,Vol.
…, vol.I,
Vol. h.
h. 467.
I,IX, 506. 107
h. 395.
(5). ‘Urwah ibn al-Zubair
Nama lengkapnya adalah ‘Urwah ibn al-Zubair ibn al-
‘Awwâm ibn Khuwailid ibn Asad ibn ‘Abd al-‘Uzza ibn Qushay
al-Asadî. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya al-
Zubair ibn al-‘Awwâm dan bibinya ‘Â`isyah. Sementara orang
yang pernah meriwayatkan hadis dari ‘Urwah adalah anak-
anaknya ‘Abdullâh, ‘Utsmân, Hisyâm, Muhammad, dan Yahyâ.
Kemudian Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî dan
sebagainya. Para ahli hadis umumnya memandang ‘Urwah ibn
al-Zubair tsiqah, katsîr al-hadîts, faqîh, ‘alîm, tsabat, dan

ma`mûn.194 Ibn Hajar menilainya tsiqah faqîh masyhûr min al-


tsâlisah. Pendapat yang terkuat mengatakan Zubair wafat tahun
94 H.195

(6). ‘Â`isyah
‘Â`isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah Saw. yang
sangat ia cintai setelah Khadijah bint Khuwailid wafat. Tidak ada
kesepakatan tentang kapan Rasulullah kawin dengan ‘Â`isyah.
Ada yang mengatakanRasulullah kawin dengannya dua tahun
sebelum hijrah. Ada yang mengatakan tiga tahun sebelum hijrah.
Demikian juga tidak ada kata sepakat tentang berapa umur

‘Â`isyah ketika itu. Ada yang mengatakan ketika dinikahkan


dengan Nabi ‘Â`isyah dalam usia enam tahun, dan ada yang
mengatakan usia tujuh tahun dan serumah dengannya pada usia
sembilan tahun. ‘Â`isyah wafat tahun 57 H. Ada juga yang
mengatakan 58 H. malam Selasa, 17 Ramadhan dan dikebumikan
di Baqi’.196

Skema sanad hadis tentang keutamaan membersihkan mulut


adalah sebagai berikut:

11 94
95 Ibn
96 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Taqrîb …,Vol.
al-Ishâbah
…, vol.
…, I,VII,
vol.
h.IV,
389. 108
h.h.163.
399.
Rasulullah Saw. ’A`isyah

‘Urwah ibn Zubair

Muhammad ibn Muslim


Muhammad ibn Ishâq

Ibrâhîm ibn Sa‘d

Ya‘qûb ibn Ibrâhîm

Ahmad ibn Hanbal

Kualitas hadis: dha‘îf, karena sanad-nya munqathi‘ pada uhammad


ibn Ishâq. Dia tidak mendengar langsung hadis tersebut dari
Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî.197 Namun secara makna
dapat diterima, karena menyangkut kebersihan mulut.

(Hadis Nomor16):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai alasan agar


selalu menjaga kebersihan mulut. Secara lengkap sanad hadis tersebut
adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhârî.

:
.
1 98 Al-Ghazâlî, Bidâyat
1 97…,
Ahmad
h. 3. Lihat
ibn Hanbal,
juga ‘Abdus-Samad, 109
Musnad …, vol.
Hidâyat
VI, h. …,
272.h. 34.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Seandainya bukan karena
rasa khawatir akan merepotkan, niscaya aku akan mengharuskan
umatku bersiwak setiap akan melakukan salat”.

Telaah sanad:
(1). ‘Abdullâh ibn Yûsuf al-Tunîsî Abû Muhammad al-Kalâ‘î

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn ‘Abd


al-Rahmân ibn Yazîd ibn Jâbir dan Mâlik ibn Anas. Sementara
orang yang pernah meriwayatkan hadis lewat ‘Abdullâh ibn
Yûsuf adalah al-Bukhârî, Abû Hâtim Muhammad ibn Idrîs al-
Râzî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis seperti Ibn Hibbân
menilainya tsiqah. ‘Abdullâh ibn Yûsuf al-Tunîsî merupakan
perawi terpercaya dalam kitab al-Muwaththa` setelah al-Qa‘nabî.
Demikian menurut Ibn Ma’în. Bahkan lebih terpercaya di antara
para perawi melebihi Marwân al-Thâthirî. Demikian menurut Ibn
Yûnus.200 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah mutqin min atsbat

al-nâs fi al-Muwaththa` min kubbâr al-‘âsyirah. ‘Abdullah ibn


Yûsuf wafat tahun di Mesir 218 H.201

(2). Mâlik ibn Anas ibn Mâlik ibn Abî ‘Âmir


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Âmir ibn
‘Abdullâh ibn al-Zubair, Nu‘aim ibn ‘Abdillâh al-Mujmir, dan
Abî al-Zinâd ‘Abdillâh ibn Dzikwân. Sementara orang yang
menerima hadis darinya adalah gurunya Muhammad ibn Muslim
ibn Syihâb al-Zuhrî, Yahyâ ibn Sa‘îd al-Anshârî, dan ‘Abdullâh
ibn Yûsuf al-Tunîsî. Para ahli hadis sepakat bahwa Mâlik ibn
Anas termasuk orang yang tsiqah. Ia tidak saja Imâm dalam
bidang fikih, tetapi juga dalam hadis.202 Ibn Hajar menilainya al-
faqîh Imâm dâr al-hijrah ra`s al-mutqinîn wa kabîr al-

1 99 Al-Bukhârî, Shahîh, vol, I, hadis nomor 6813, Bâb al-Siwâk yaum al-Jum’ah, h. 303.
Cf. Muslim, Shahîh, vol. I, hadis nomor 252, Bâb al-Siwâk, h. 220.
22 00
01 Ibn
02 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Hajar,Tahdzîb …,Vol.
Taqrîb …,
…, vol.I,X,
vol. VI, 79.110
h.5-9.
h.h.330.
mutasyabbitain hingga al-Bukhârî mengatakan sanad yang paling
shahîh adalah sanad Mâlik yang berasal dari Nâfi‘ dari Ibn

‘Umar, min al-sâbi‘ah. Mâlik wafat tahun 179 H.203

(3). Abû al-Zinâd

Namanya adalah ‘ Abdullâh ibn Dzikwân al-Bâhilî Abû


‘Abdillâh al-Turmudzî al-Qurasyî. Namun ia lebih populer
dengan panggilan Abû al-Zinâd. Ia meriwayatkan hadis antara
lain dari Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân, Abî Umâmah As’ad ibn
Sahl ibn Hanîf, dan al-A’raj. Sementara orang yang
meriwayatkan lewat Abû al-Zinâd antara lain anaknya ‘ Abd al-
Rahmân, ‘Ubaidullâh ibn ‘Umar al-‘Umarî, dan Mâlik ibn Anas.
Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah.204 Ibn Hajar menilainya

tsiqah faqîh min al-khâmisah. Abu al-Zinâd wafat tahun 230


H.205

(4). Al-A‘raj
Namanya adalah ‘Abd al-Rahmân ibn Hurmuz Abû Dâud
al-Madanî. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Asy’ats ibn
Ishâq ibn Sa‘d ibn Abî Waqqâsh, ‘Abd al-Rahmân ibn Abî

‘Amrah al-Anshârî, dan Abî Hurairah. Sementara orang yang


pernah meriwayatkan hadis lewat al-A’raj adalah al-Hârits ibn

‘Abd al-Rahmân ibn Abî Dzubâb, ‘Abdillâh ibn Hasan ibn Hasan
ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib dan Abî al-Zinâd ‘Abdillâh ibn Dzikwân,
dan sebagainya. Para ahli hadis menilainya tsiqah.206 Ibn Hajar
menilainya tsiqah tsabat ‘âlim min al-tsâlisah. Ia wafat di
Iskandariyah tahun 117 H.207

2 03 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol. I, h. 516.


2 04 Ada beberapa pendapat yang mengatakan mawla siapa Abû al-Zinâd ini, yaitu mawla
Ramlah, ‘Aisyah bint Syuaibah, ‘Aisyah bint ‘Utsmân dan mawla keluarga ‘Utsmân. Kemudian
ada informasi yang mengatakan bahwa ayahnya adalah saudara pembunuh ‘Umar (ibn al-
Khaththâb) Abî Lu`lu`ah. Lihat Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. V, h. 178.
22 05
06 Ibn
07 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,Vol.
…, vol.I,
Vol. h.
h. 302.
I,VI, 352. 111
h. 260.
(5). Abî Hurairah
Ibn Atsîr mengatakan, bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawawî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.208 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,209 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,


awal tahun ketujuh Hijrîyah. 210 Ia wafat pada tahun 57 H.211

Kualitas hadis: shahîh, karena diriwayatkan oleh al-Bukhârî


dan Muslim.

Hadis yang sama juga diriwayatkan dari berbagai sanad


lain, seperti al-Turmudzî, yang diriwayatkan lewat Qutaibah ibn
Sa‘îd dari Sufyân, dari Abî al-Zinâd dari al-A’raj, dari Abî
Hurairah dengan lafaz marfû‘ sebagai berikut:

212 .
Kemudian al-Nasâ’î, yang diriwayatkan melalui jalur
yang sama dengan lafaz:

.
Abû Dâud juga meriwayatkan melalui jalur Ibrâhîm ibn
Mûsa, yang diceritakan oleh ‘Î sa ibn Yûnus, kemudian
Muhammad ibn Ishâq dari Muhammad ibn Ibrâhîm al-Taimî,

2 08 Jalaluddin ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Is’âf al-Mabtha’ Bi Rijâl al-Muwaththa’,


Syirkah al-I’lamat al-Syarqîah, 1389, h. 16. Selanjutnya disebut al-Suyûthî.
2 09 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.
2 10 Ibn Katsîr, al-Bidâyah..., h. 181.
2 11 Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 33. Lihat juga Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 321.
2212 Al-Nasâ`î, al-Shâ`im,
35.
13Al-Turmudzî,
Sunan,vol. I,h.hadis
Sunan, vol. I,12.
hadis nomor
nomor 22 dan
7, Bâb 23, Bâb Mâ
al-Rukhshah 112fî al-Siwâk
fî Jâ`a
al-Siwâk h. 34 dan
bi al-‘Asyiyy li
dari Abî Salâmah ibn ‘Abd al-Rahmân dari Zaid ibn Khâlid al-
Juhanî, yang katanya mendengar Rasulullah Saw. mengatakan;

Kemudian Ibn Mâjah,215 Mâlik,216 dan al-Dârimî, 217 juga dengan


matn yang sama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas sanad
hadis mengenai bersiwak cukup kuat (shahih). Hanya saja
persoalan yang muncul adalah apakah alat bersuginya itu yang
harus dipraktekkan, atau tujuan dari bersugi itu sendiri
membersihkan mulut dengan menyikat gigi, hal ini terpulang
kepada pemahaman masing-masing.

(Hadis Nomor 17):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk selalu mengingat


(dzikr ) Allâh ketika berwudlu’. Sebab Allâh Swt. akan mensucikan
seluruh jasad, apabila Allâh ada dalam ingatan ketika itu. Sementara
kalau sebaliknya, Allâh tidak diingat, maka hanya yang dikenai air saja
yang akan disucikan oleh Allâh. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-
Dâruquthnî melalui jalur Abî Hurairah dengan lafal sebagai berikut:

2 14 Abû Dâud, Sunan, vol. I, hadis nomor 47, Bâb al-Siwâk, h. 59.
2 15 Ibn Mâjah, Sunan, vol. I, hadis nomor 287, Bâb al-Siwâk, h. 105.
2 16 Imam Mâlik,
2 17 Al-Dârimî,
Muwaththa`,
2 18Sunan,
‘Abdus-Samad,
vol. I,vol.I,
nomor hadis
145,
Hidâyat
nomor
Bâb …,

683, 40.fîfî113
h.Jâ`a
Bâb al-Siwâk,
al-Siwâk,h.h.66.
184.
:
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Siapa yang bersuci,
sedang dia mengingat Allâh akan suci seluruh jasadnya. Dan siapa
yang bersuci, namun tidak mengingat Allâh, maka hanya anggota
wudhu ’nya saja yang suci".

Telaah sanad:
(1). Muhammad ibn Makhlad ibn Hafsh Abû ‘Abdillâh al-Dûrî

Ia mendengar hadis antara lain dari Ya‘qûb ibn Ibrâhîm


al-Dûraqî, Muhammad ibn al-Walîd al-Busrî dan al-Hasan ibn
‘Arafah. Sementara orang yang mendengar hadis dari padanya
adalah Ibn al-Ji’âbî, al-Dâruquthnî, Ibn Syâhîn dan sebagainya.
Al-Dâruquthnî menilainya tsiqah, ma`mûn. Ia wafat bulan
Jumâdî al- Âkhirah tahun 331 H.220

(2). Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Adî ibn Zaid
al-Jurjânî
Seorang faqîh syurûthî, meriwayatkan hadis dari ayahnya
Ibn Abî Dâud, al-Baghawî, dan Ibn Shâ‘id. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis darinya adalah al-Qâdhî Abû Bakar al-
Syâlinjî dan sebagainya. Ia wafat di Jurjân tahun 364 H.221

(3). Mirdâs ibn Muhammad ibn al-Hârits ibn ‘Abdillâh ibn Abî
Burdah
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Mûsa al-
Asy‘arî, Muhammad ibn Âbân dan Ayyûb ibn ‘Â`idz yang
berbicara tentang wudhu’ yang berasal dari al-Dâruquthnî.

2 19 Al-Dâruquthnî, Sunan, vol. I, hadis nomor 12, Bâb al-Tasmiyah ‘ala al-Wudhû’, h. 74.
Cf. ‘Ali Hisam al-Din al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al,vol. IX,
Mu`assasah al-Risalah, Beirut, 1989, h. 497.
Nubalâ`,22 vol.
20 Syams
21 Hamzah al-Din Muhammad
XV, Mu`assasah
ibn1981,
Yûsufh.Abû ibn Ahmad
al-Risâlah,
415.
al-Qâsimt.t., h. ibn ‘Utsmân
256-257.
al-Jurjânî, TârîkhSelanjutnya
Jurjânî, 114
al-Dzahabi, Siyar
disebut
‘Âlim A’lâm al-
al- Dzahabi.
al-Kutub, Beirût,
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Mirdâs ibn
Muhammad adalah Muhammad ibn ‘Abdillâh al-Zuhrî yang
lebih populer dengan panggilan (kuniyah) Abû Bilâl dari Kûfah.
Ibn Hibbân memasukkannya dalam deretan orang-orang

tsiqah.222 Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang tahun


kewafatannya.

(4). Muhammad ibn Abân ibn Wazîr Abû Bakar al-Balkhî al-
Mustamilî
Ia yang dikenal juga dengan Hamdawiyah meriwayatkan
hadis antara lain dari Ismâ‘îl ibn ‘Ulaiyah, Ibn Wahhâb, dan
Ghundar. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
padanya adalah Abû Hâtim, Ismâ‘îl al-Qâdhî, Ibrâhîm al-Harbî,
dan sebagainya. Abû Hâtim sendiri menilainya shadûq.

Sementara al-Nasâ`î menilainya tsiqah. Ia wafat tahun 44 H. dan


ada yang mengatakan sesudahnya. 223

(5). Ayyûb ibn ‘Â`idz ibn Madlaj al-Thâ`î al-Buhturî al-Kûfî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Bakîr ibn al-
Akhnas, ‘Âmir al-Sya’abî, dan Qais ibn Muslim. Sementara
orang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah al-
Jarrâh ibn Mulih al-Ru`asi, Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Sufyan al-
Tsaurî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya

tsiqah.224 Tidak ditemukan keterangan lebih lanjut kapan dia


meninggal.

(6). Mujâhid ibn Jabr, ada yang mengatakan Ibn Jubair al-
Makkî Abû al-Hajjâj al-Qurasyi al-Makhzûmî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî ‘Ubaidah ibn
‘Abdillâh ibn Mas‘ûd, isteri Nabi Saw. ‘Â`isyah, dan Abî
Hurairah. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis

2 23 Ibn Hajar, Tahdzîb …,


2 24
22
vol.Al-Mazzî,
Ibn
I, h.
Hajar,
465. Tahdzîb
Lisân
Cf. al-Dzahabî,
al-Mîzân,
…, vol. vol.
Siyar…,
III, h. 115
VI,378.
h.
vol.
14.XI, h. 115-116.
daripadanya adalah Abân ibn Shâlih, Ibrâhîm ibn Muhâjir dan
Ayyûb al-Sikhtiyânî. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah,
Imâm fî al-Tafsîr. Cukup bervariasi tentang tahun kewafatannya,
ada yang mengatakan 101, 102, 103, bahkan tahun 104 H.225

(7). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan, bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawawî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.226 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,227 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,


awal tahun k etujuh Hijrîyah. Ia wafat pada tahun 57 H.228
Skema sanad hadis di atas adalah:

Rasulullah Saw. Abî Hurairah

Muhammad ibn Jabr

Ayyûb ibn ‘Â`idz

Muhammad ibn Abân

Mirdâs ibn Muhammad

Abû Bakar Muhammad ibn ‘Abd al-Mâlik

Muhammad ibn Makhlad

2 25 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 520.


2 26 Jalâluddin ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, Is’âf al-Mabtha’ Bi Rijâl al-Muwaththa’,
2Syirkah al-I’lamat
28 Al-Suyûthî, 2al-Syarqîah,
Is’âf 27
…,Ibn
h. 33.
Atsîr, 1389,
Lihat jugah.
Ushûd …, 16.
Ibn Selanjutnya
vol.
Atsîr,
V, h.
Ushûd 116
disebut
320. …, al-Suyûthî.
vol. V, h. 321.
Kualitas hadisnya adalah dha‘îf,229 karena memperhatikan biografi
para perawi di atas memperlihatkan bahwa tidak ada kebersambungan

sanad.
Âdâb al-ghasl
Setelah menjelaskan tentang tata cara bersuci, al-Ghazâlî
melanjutkan dengan menjelaskan pasal tentang tata cara mandi (adâb
al-ghasl). Dalam penjelasan ini al-Ghazâlî sama sekali tidak
mengemukakan hadis sebagai penopang.

Adâb al-tayammum
Seperti halnya ketika menjelaskan tentang tata cara mandi, al-
Ghazâlî juga tidak mengemukakan hadis sama sekali dalam adâb al-
tayammum (bersuci dengan tanah/debu) ini.

Adâb al-khurûj ilâ al-masjid


Setelah selesai menjelaskan tentang tata cara bersuci, al-
Ghazâlî selanjutnya menjelaskan tentang tata cara bagaimana keluar
dari rumah menuju masjid. Ketika menjelaskan persoalan di masjid, al-
Ghazâlî hanya menganjurkan agar salat berjama’ah, karena pahalanya
lebih utama setingkat dua puluh tujuh darjat sesuai dengan hadis Nabi
Saw.

(Hadis Nomor 18):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk memotivasi


manusia agar selalu melaksanakan salat secara berjama’ah. Secara
lengkap sanad hadis tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Bukhârî dan Muslim (muttafaq ‘alaih). 231

2 29 Al-Ghazâlî, Ih yâ ’ ‘Ulûm al-Dîn, vol. I, h. 135. Lihat juga al-Haddâd, Takhrîj, vol. I,
hadis
dalam suatu sanad terdiri darinomor 4, h. sahabat
dua orang 83. masyhûr, tsiqah atau lebih dari Nabi Saw.
Demikian2 31
pulaMuttafaq
halnya ‘alaih
di tingkat 2 30
merupakan‘Abdus-Samad,
tabi’intingkatan
yang terdiriHidâyat
kitabdari …,orang
hadisdua h. 45.
pertama 117
masyhûr,
dari tsiqah
nilai shahîh, atau lebih.
dimana
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: ”Salat berjama’ah lebih
utama dari salat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat”.

Telaah sanad:
(1). ‘Abdullâh ibn Yûsuf al-Tunîsî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Sa‘îd ibn ‘Abd al-


‘Azîz, Mâlik ibn Anas, dan Yahyâ ibn Hamzah al-Hadhramî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari ‘Abdullâh
ibn Yûsuf antara lain al-Bukhârî, Abû Dâud, dan al-Nasâ’î
melalui Muhammad ibn Ishâq al-Shaghânî. Umumnya ahli hadis
memandangnya tsiqah. Ibn Ma‘în misalnya menyebutnya perawi
yang paling terpercaya dalam kitab al-Muwaththa’ setelah al-
Qa‘nabî adalah ‘Abdullâh ibn Yûsuf.233 Ibn Hajar menilainya

tsiqah mutqin atsbat al-nâs fî al-Muwaththa` min al-‘âsyirah. Ia


wafat di Mesir pada tahun 218 H.234

(2). Mâlik ibn Anas ibn ‘Âmir


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Amir ibn
‘Abdullâh ibn al-Zubair, Nu ‘aim ibn ‘Abdillâh, dan Nâfi‘ yang
lebih populer dengan nama Abû Suhail ibn Mâlik ibn ‘Amir al-
Ashbahî al-Tamimî al-Madanî. Sementara orang yang menerima
hadis darinya adalah gurunya Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb
al-Zuhrî, Yahyâ ibn Sa‘îd al-Anshârî, dan ‘Abdullâh ibn Yûsuf
al-Tunîsî. Para ahli hadis sepakat bahwa Mâlik ibn Anas
termasuk orang yang tsiqah. Ia tidak saja Imâm dalam bidang

Demikian seterusnya. Tingkatan pertama ini adalah hasil usaha al-Bukhârî dan Muslim. Lihat Abû
Zakarîyâ Yahya ibn Syaraf ibn Murî al-Nawawî, al-Manhâj Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj,
vol. I. Dâr hya` al-turats al-‘Arabî, Beirut, 1392 H, h. 27.
2 32 Al-Bukhârî, Shahîh,vol.
2 34
33I,Ibn
hadis
Hajar,
nomor
Tahdzîb
Ttaqrîb
619,...,
…,
Bâb vol.
vol.
wujûb
I,IV,
h. 330. 118
shalât
h. 544-545.
al-jamâ’ah, h. 231.
fikih, tetapi juga dalam hadis. 235 Ibn Hajar menilainya al-faqîh
Imâm dâr al-hijrah ra`s al-mutqinîn wa kabîr al-mutasyabbitain
hingga al-Bukhârî mengatakan sanad yang paling shahîh adalah
sanad Mâlik yang berasal dari Nâfi‘ dari Ibn ‘Umar, min al-
sâbi‘ah. Mâlik wafat tahun 179 H.236

(3). Nâfi‘ mawla Ibn ‘Umar


Nama lengkapnya adalah Abû Suhail ibn Mâlik ibn ‘Amir
al-Ashbahî al-Tamîmî al-Madanî. Ia menerima hadis dari Anas
ibn Mâlik, ayahnya Mâlik ibn Abî Âmir al-Ashbahî, dan

‘Abdullâh ibn ‘Umar ibn al-Khaththâb. Sementara orang yang


meriwayatkan hadis darinya antara lain koleganya Muhammad
ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî dan anak saudaranya Mâlik ibn
Anas ibn Mâlik. ‘Abdullâh ibn Ahmad, Abû Hâtim, al-Nasâ’î,
Ibn Hibbân, dan Kharâsy memandangnya tsiqah.237 Ibn Hajar
menilainya tsiqah min al-rabi‘ah. Nafi‘ wafatsesudah tahun 140
H.238

(4). ‘Abdullâh ibn ‘Umar


Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar ibn al-
Khaththâb ibn Nufail ibn ‘Abd al-‘Uzza ibn Rîyah ibn ‘Abdullâh
ibn Qurth ibn Razah ibn ‘Adî ibn Ka‘ab ibn Lu’ai al-Qurasyi al-

‘Adawî. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari tukang azân


Rasulullah Saw. Bilâl, Zaid ibn Tsâbit, dan Nabi Saw. Sementara
orang yang pernah meriwayatkan hadis dari ‘Abdillâh ibn ‘Umar
adalah Âdam ibn ‘ Alî al-Bakrî al-‘Ajlî, Umayyah ibn ‘Abdillâh
ibn Khâlid ibn Asî al-Umawî, dan Nâfi‘ mawla Ibn ‘Umar (Abû
Suhail ibn Mâlik ibn ‘Amir al-Ashbahî al-Tamîmî al-Madanî). Ia

2 35 Ibn Hajar,Tahdzîb …, vol. X, h. 5-9.


2 38
36 Ibn Hajar, Taqrîb
37 Tahdzîb...,…,
vol.
vol.
I, h.
X,558.
516. 119
h. 409-410.
masuk Islam ketika masih kecil bersama ayahnya ‘Umar. Ibn
‘Umar wafat tahun 73 H.239

Kualitas hadis: shahîh, karena muttafaq ‘alaih. Hadis yang sama juga
diriwayatkan oleh Muslim lewat Abî Sa‘îd al-Khudhrî. 240

Adâb dukhûl al-masjid


Kelihatannya di dalam penjelasan ini, al-Ghazâlî memulai dari
memasuki masjid pada waktu salat Subuh. Hal ini diketahui ketika dia
menganjurkan agar memanjatkan do’a yang biasa dibacakan oleh
Rasulullah setelah salat sunat fajr, yaitu:

(Hadis Nomor 19):

tasydîd
2 40 Muslim, Shahîh …, fî
2 al-takhalluf
vol.
39I,Ibn
hadis
Atsîr, ‘anha,
nomor
Ushûd
249,h.Bâb
…, 450..
vol.fadhl
III, h.
shalât 120
236-240.
al-jamâ’ah wa bayân al-
.

Do’a tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî agar dipanjatkan


setelah selesai salat fajr. Secara lengkap sanad hadis tersebut
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmudzî:

2 41 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 4. 121


:

( )

122
.
Artinya: Ibn ‘Abbâs pernah mencerritakan: "Aku pernah mendengar
Nabi Saw. memanjatkan do’a ketika dia telah selesai melaksanakan
salat malam:
....
Telaah sanad:
(1). ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân ibn al-Fadhl ibn Bahrâm al-

Dârimî al-Tamîmî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn al-
Mundzir al-Hazâmî, al-Hasan ibn Ahmad ibn Syu‘aib al-Harrânî,
dan Muhammad ibn ‘Imrân ibn Abî Lailâ. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis lewat ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân antara
lain Ibrâhîm ibn Abî Thâlib al-Naisâbûrî, Ahmad ibn Muhammad
ibn al-Fadhl al-Sijistânî, dan al-Turmudzî. Umumnya ahli hadis
menilainya tsiqah shadûq.243 Ibn Hajar menilainya tsiqah fâdhil
mutqin min al-hâdiyata ‘asyarah. ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân
wafat tahun 255 H.244

(2). Muhammad ibn ‘Imrân ibn Muhammad ibn ‘Abd al-


Rahmân ibn Abî Lailâ al-Anshârî

2 42 Al-Turmudzî, Sunan, vol. V, hadis nomor 3419, Bâb 29 Mâ yaqûlu idzâ qâma min al-
lail ila al-shalah,
2 44 h. 482.
43 Ibn Hajar, Tahdzîb…,
Taqrîb …,Vol.
vol.I,V,
h.h. 258.123
311.
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Sa‘îd ibn ‘Amr ibn
Abî Nashr al-Sukûnî al-Kûfî, Sa‘îd ibn ‘Ubaidillâh ibn al-Walîd
al-Washâfî, dan ayahnya ‘Imrân ibn Muhammad ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn Abî Lailâ. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn ‘Imrân adalah Ahmad
ibn Muhammad ibn Yahyâ ibn Sa‘îd al-Qaththân, al-Husain ibn

‘Umar ibn Abî al-Ahwash al-Tsaqafî, ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-


Rahmân al-Dârimî, dan lain sebagainya. Abû Hâtim Kûfî
memandangnya shadûq. 245 Ibn Hajar juga menilanya shadûq min
al-‘âsyirah.246

(3). Abî (‘Imrân ibn Abî Lailâ)


Namanya adalah ‘Imrân ibn Muhammad ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn Abî Lailâ al-Anshârî al-Kûfî. Ia hanya
meriwayatkan hadis dari ayahnya, Muhammad ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn Abî Lailâ. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari dia adalah anaknya Muhammad, anak
saudaranya al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad, Sahl
ibn ‘Utsmân al-‘Askarî, dan lain sebagainya. Ibn Hibbân
memasukkannya dalam deretan orang-orang tsiqah.247 Ibn Hajar
menilainya maqbûl min al-tsâminah.248 Tidak ditemukan
keterangan lebih lanjut tentang tahun kewafatannya.

(4). Abî Lailâ al-Anshârî


Namanya adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân. Ia
meriwayatkan hadis antara lain anak saudaranya ‘Abdillâh ibn
‘Îsâ ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Lailâ, saudaranya ‘Î sa ibn
‘Abd al-Rahmân ibn Abî Lailâ, dan Dâud ibn ‘Alî ibn ‘Abbâs.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari Abî Lailâ
adalah anaknya ‘Imrân ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân al-

2 45 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IX, h. 338.


22 46
47 Ibn
48 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,Vol.
…, vol.I,
Vol. h.
h. 500.
I,VIII,
430. 124
h. 121.
Anshârî al-Kûfî, ‘Î sa ibn al-Mukhtâr ibn ‘Abdillâh ibn ‘Îsa ibn
‘Abd al-Rahmân ibn Abî Lailâ, Yahyâ ibn Zakaria ibn Abî
Zâ`dah, dan lain sebagainya. Ibn Hajar menilainya shadûq sî` al-
hifzh jiddan min al-sâbi‘ah. Ia wafat tahun 148 H.249

(5). Dâud ibn ‘Alî ibn ‘Abdillâh ibn ‘Abbâs ibn ‘Abd al-
Muththalib al-Qurasyî al-Hâsyimî
Ia meriwayatkan hadis hanya dari ayahnya ‘Alî ibn
‘Abdillâh dan kakeknya ‘Abdillâh ibn ‘Abbâs. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis dari Dâud ibn ‘Alî adalah ‘Abd al-
Mâlik ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Juraij, Muhammad ibn Sulaimân ibn
Abî Dhamrah al-Hamshî, Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân ibn
Abî Lailâ, dan lain sebagainya. Ibn Hibbân memasukkannya
dalam deretan orang-orang tsiqah, namun yukhthi‘ (sering
tersalah).250 Ibn Hajar menilainya maqbûl min al-sâdisah. Dâud
ibn ‘Alî wafat tahun 133 H.251

(6). Abîh (‘Alî ibn ‘Abdillâh) ibn ‘Abbâs ibn ‘Abd al-Muththalib
ibn Hâsyim ibn ‘Abd Manâf
Ada yang mengatakan namanya Abû Muhammad, Abû
‘Abdillâh, dan Abû al-Fadhl. Ia meriwayatkan hadis dari ayahnya
‘Abdillâh ibn ‘Abbâs, selain mendengar dari Abî Sa‘îd al-Khudrî
dan membuat hikayat dari ‘Abd al-Mâlik ibn Marwân. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Alî ibn ‘Abdillâh adalah
anak-anaknya, seperti Dâud, kemudian Ismâ‘il ibn ‘Ubaidillâh
ibn Abî al-Muhâjir, Manshûr ibn al-Mu’tamar al-Kûfî dan lain
sebagainya. Ahli hadis menilainya seorang tabi‘in tsiqah. 252 Ibn
Hajar menilainya tsiqah ‘âbid min al-tsâlisah. ‘Alî ibn ‘Abdillâh
wafat tahun 118 H.253

2 49 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 493.


2 50 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. III, h. 168.
2 51 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 199.
Maktabat2 al-Dâr,
52 Ahmadal-Madînat al-Munawwarah,
ibn ‘Abdillah
2 ibn
53 Ibn
Shâlih
Hajar, 1985,vol.
AbûTaqrîb
al-Hasan II, h.
…, Vol.
al-‘Ajlî
I, h. 403. 125
157.Selanjutnya
al-Kûfî, disebut
Ma ’ rifat al-‘Ajlî.
al-Tsiqâh,
(7). Jaddih (‘Abdillâh ibn ‘Abbâs) ibn ‘Abd al-Muththalib ibn
Hâsyim ibn ‘Abd Manâf al-Qurasyî al-Hâsyimî, Abû al-
‘Abbâs
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Nabi Saw., Haml
ibn Mâlik ibn al-Nâbighah al-Hazalî, dan ayahnya ‘Abbâs ibn
‘Abd al-Muththalib ibn Hâsyim ibn‘ Abd Manâf. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Abdillâh ibn ‘Abbâs adalah
Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh ibn Ma’bad ibn ‘Abbâs, Abû Umâmah
As’ad ibn Sahl ibn Hanîf, anaknya ‘Alî ibn ‘Abdillâh ibn ‘Abbâs,
dan lain sebagainya. ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs termasuk sahabat
yang dido’akan oleh Rasulullah Saw. dalam memahami al-
Qur’an. Ia wafat tahun 68 H.254

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Muhammad ibn


‘Imrân yang dinilai shadûq. Kemudian ‘Imrân ibn ‘Alî yang
dinilai maqbûl. Selain itu, Abî Lailâ dan Dâud ibn ‘Alî yang
dinilai shadûq sî` al-hifzh jiddan min al-sâbi‘ah dan maqbûl. Abî
Lailâ sebagaimana dikemukakan di atas, hafalannya sangat jelek.

Sedangkan Dâud ibn ‘Alî, dikabarkan sering keliru. 255

(Hadis Nomor 20), masih terkait dengan do’a yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw. untuk dipanjatkan setelah menunaikan salat fardhu,
yaitu:

2 54 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 309.


Takhrîj…, vol.
diriwayatkan
2 55 I, hadis
dengan
Menurut nomor
melibatkan
Abû 1,Ibn
‘Îsa; hadish.tersebut
268.Layla.
Abî Cf. Al-Albanî,
Syu’
adalah al-Jâmi’
bah yang
gharîb dan Abû al-shaghîr
tidakSufyân
pernah wajuga
al-Tsaurî
diketahui Ziyâdatuh,
pernah vol. I,
hadis nomor 3119,
meriwayatkan hadis h. 312. dari Salamah ibn Kahîl dari Kuraib dari 126
tersebut Ibn ‘Abbâs. Lihat al-Haddâd,
Do’a tersebut diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada istrinya
‘Â`isyah r.a. Secara lengkap sanadnya dapat dibaca sebagaimana
riwayat Ahmad:

.
Artinya: Rasulullah Saw. mengajari ‘Â`isyah do‘a:
....
Telaah sanad:
(1). Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-

Kûfî
Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn
Ibrâhîm ibn ‘Utsmân ibn Khawâsitî al-‘Absî. Ia yang populer
vol. I, hadis nomor 2, Kitâb al-Adzkâr wa al-Da’wât, h. 269. Cf. Ibn Mâjah, Sunan, vol. II, hadis
nomor 3846, Bâb al-Jawâmi’
2 56 Ahmad, min
Musnad …, al-du’â`,
vol. h.nomor
VI, hadis 127
1264.25063, h. 133. Cf. al-Haddâd, Takhrîj …,
Abû Bakar ibn Ishâq ibn Abî Syaibah al-Kûfî meriwayatkan
hadis antara lain dari ‘Abd al- ‘Azîz ibn Muhammad al-
Darâwardî, ‘Abd al-Wahhâb ibn ‘Abd al-Majîd al-Tsaqafî, dan

‘Affân ibn Muslim. Sementara orang yang pernah meriwayatkan


hadis dari ibn Abî Syaibah adalah Abû ‘Amr Yûsuf ibn Ya‘qûb
al-Naisâbûrî, Mûsa ibn Ishâq ibn Mûsa al-Anshârî, Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis
memandangnya tsiqah.257 Ibn Hajar menilainya tsiqah hâfizh
shâhib tashânif min al-‘âsyirah. Ia wafat tahun 235 H.258

(2). ‘Affân ibn Muslim


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Sulaimân ibn
Katsîr, Abân ibn Yazîd al-‘Aththâr, dan Hammâd ibn Salamah.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari ‘Affân
ibn Muslim adalah ‘ Abdillâh ibn Ahmad ibn Ibrâhîm al-Dauruqî,

‘Abdillâh ibn ‘Abd al-Rahmân al-Dârimî, Abî Bakar ’Abdullâh


ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, dan lain sebagainya. Menurut
Ibn Ma’in, apabila dia ragu mengenai suatu huruf dari hadis,
maka dia meninggalkannya. Namun dia terkadang wahm..259 Ibn
Hajar menilainya tsiqah tsabat wa rubamâ wahima. ‘Affân ibn
Muslim wafat tahun 219 H.260

(3). Hammâd ibn Salamah ibn Dînâr al-Bashrî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Sa‘d ibn Ibrâhîm
ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, Thalhah ibn ‘Ubaidillâh ibn Karîz
al-Khazâ’î, dan Jabr ibn Habîb. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis darinya adalah gurunya sendiri ‘Abd al-
Mâlik ibn ‘Abd al- ‘Azîz ibn Juraij, ‘Ubaidullâh ibn Muhammad
al-‘Aisyî, ‘Affân ibn Muslim, dan lain sebagainya. Umumnya

2 57 Ibn Hajar, Tahdzîb …, Vol. VI, h. 3.


22 58
59 Ibn
60 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Taqrîb ...,
…,vol.
Vol.I,I,h.h.320.
393. 128
ahli hadis menilainya tsiqah.261 Ibn Hajar menilainya tsiqah âbid
atsbat al-nâs fi tsâbit wa taghayyara hifzhuh bi âkhirah min
kubbâr al-tsâminah. Ia wafat tahun 167 H.262

(4). Jabr ibn Habîb


Ia meriwayatkan hadis dari Umm Kultsûm bint Abî Bakar
al-Shiddîq. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
dari Jabr ibn Habîb adalah Syu‘bah, Hammâd ibn Salamah, Sa‘îd
ibn Iyâs al-Jarîrî, dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis,
seperti Ibn Hibbân misalnya menilainya tsiqah. Bahkan dia
termasuk Imâm dalam ilmu bahasa (‘arif bi al-lughah). Demikian
menurut Ibn Khalafûn.263 Kapan tahun wafatnya tidak ada
keterangan lebih lanjut.

(5). Umm Kultsûm bint Abî Bakar al-Shiddîq al-Qurasyîyah al-


Taimîyah
Ia meriwayatkan hadis dari saudarinya yang juga isteri
Nabi Saw. ‘Â`isyah. Sedangkan orang yang pernah
meriwayatkan hadis darinya adalah anaknya Ibrâhîm ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn ‘Abdillâh ibn Abî Rabî‘ah, seniornya Jâbir ibn

‘Abdillâh al-Anshârî, Jabr ibn Habîb, dan sebagainya. Umm


Kultsûm bint Abî Bakar al-Shiddîq al-Qurasyîyah al-Taimîyah
lahir setelah Abî Bakar al-Shiddîq wafat. Sebab itu keliru
anggapan orang yang mengatakan bahwa Umm Kultsûm
termasuk sahabat, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Mundah cs.
Namun dia dipandang tsiqah min al-tsâniyah. Demikian menurut
Ibn Hajar.264

(6). ‘Â`isyah
‘Â`isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah Saw. yang
sangat ia cintai setelah Khadijah bint Khuwailid wafat. Tidak ada

2 61 Ibn Hajar, Tahdzrîb …, Vol. III, h. 11.


22 62
63 Ibn
64 IbnHajar,
Hajar,Taqrîb …,…,
Tahdzrîb Vol.Vol.
I, h.XII,
II,178. 129
h.h.51.
503.
kesepakatan tentang kapan Rasulullah kawin dengan ‘Â`isyah.
Ada yang mengatakan Rasulullah kawin dengannya dua tahun
sebelum hijrah. Ada yang mengatakan tiga tahun sebelum hijrah.
Demikian juga tidak ada kata sepakat tentang berapa umur

‘Â`isyah ketika itu. Ada yang mengatakan ketika dinikahkan


dengan Nabi, ‘Â`isyah dalam usia enam tahun, dan ada yang
mengatakan usia tujuh tahun dan serumah dengannya pada usia
sembilan tahun. ‘Â`isyah wafat tahun 57 H. Ada juga yang
mengatakan 58 H. malam Selasa, 17 Ramadhan dan dikebumikan
di Baqi’.265

Kualitas hadis: shahîh, karena selain sanad-nya adalah


muttashil perawinya juga tsiqah.
(Hadis Nomor 21):

Kedua hadis tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai


do’a yang diwiridkan pada setiap setelah selesai salat fardhu. Hadis
kedua diajarkan oleh Nabi Saw. kepada ‘Â`isyah r.a. sedangkan yang
ketiga diwasiatkan kepada putrinya Fâthimah r.a. Secara lengkap

sanadnya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqî.

: :
:
2 66
65 Al-Ghazâlî,
Ibn Hajar, al-Ishâbah
Bidâyat …, 6. IV, h. 130
…,h.vol. 399.
:
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “ Wahai Fathimah,
dengarlah wasiyatku, agar engkau mengucapkan:
" ....

Telaah Sanad:
(1). Abû Sa‘d al-Mâlînî

Namanya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn


‘Abdillâh ibn Hafsh al-Anshârî al-Harawî al-Mâlînî yang juga
populer dengan nama Thâwus al-Fuqarâ`. Ia meriwayatkan hadis
antara lain dari Abî Ahmad ‘Abdillâh ibn ‘Adî, Abî Bakar al-
Qâthî’î, dan Muhammad ibn ‘Abdillâh al-Salîthî. Di samping
sebagai seorang shûfî , ia juga telah mengarang dan menghasilkan
beberapa kitab musnad. Umumnya ahli hadis memandangnya

tsiqah. Ia wafat pada hari Selasa 17 Syawwâl 412 H.268


(2). Abû Ahmad ‘Abdillâh ibn ‘Adî ibn ‘Abdillâh ibn
Muhammad
Ia seorang al-hafîzh yang cukup populer dengan nama
panggilan Ibn al-Qaththân. Abû Ahmad wafat malam Sabtu
bulan Jumâdî al-Âkhirah tahun 365 H.269

(3). Ibn Shâ‘id


Namanya adalah Yahyâ ibn Muhammad ibn Shâ‘id ibn
Kâtib. Ia yang mulai menulis hadis pada usia 39 tahun
merupakan salah seorang penghafal yang sangat peduli dengan
hadis dan telah mengadakan perjalanan (rihlah) dalam mencari
hadis. Ia telah mendengar hadis dari berbagai perawi, seperti al-
Hasan ibn ‘Îsa ibn Mâsarjas, Muhammad ibn Sulaimân Lawînan,

2 67 Al-Baihaqî, Syu’ab …, vol. I, hadis nomor 760, h. 476.


2 69 Hamzah ibn1981,
Yûsufh.Abû
2266. Selanjutnya
68al-Qâsim
Al-Dzahabî, disebut
al-Jurjânî,
Tadzkîrat al-Jurjânî.
Tarîkh
…, Jurjân, 131
vol. III. Âlim
H. 1070-1071.
al-Kutub, Beirut,
dan Yahyâ ibn Sulaimân ibn Nadhlah al-Khazzâ’î. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari Ibn Shâ‘id adalah ‘Abdullâh
ibn Muhammad al-Baghawî, Muhammad ibn ‘Umar al-Ju ‘âbî,
Muhammad ibn al-Madzfar, dan sebagainya. Ia wafat tahun 318
H.270

(4). Abû Hisyâm al-Rifâ‘î


Namanya adalah Muhammad ibn Yazîd ibn Muhammad
ibn Katsîr ibn Rifâ’ah ibn Simâ’ah al-‘Ajlî. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Hafsh ibn’Umar ibn ‘Âmir ibn Yazîd ibn
Rifâ’ah, Huzail ibn ‘Umair ibn Abî al-Gharîb al-Hamdânî, dan
Yahyâ ibn ‘Abd al-Mâlik ibn Abî al-Ghanîyah. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah al-Qâsim ibn Mûsa
ibn al-Hasan ibn Mûsa al-Asyîb, Abû al-Hasan Muhammad ibn
Ahmad ibn ‘Imârah al-‘Aththâr, Yahyâ ibn Muhammad ibn
Shâ‘id, dan lain sebagainya. Ibn Hibbân memasukkannya dalam
deretan orang-orang tsiqah, namun sering keliru.271 Ibn Hajar
menilainya laisa bi al-qawiyy min shighâr al-‘âsyirah. Ia wafat
pada tahun 248 H.272

(5). Zaid ibn al-Hubâb ibn al-Rayyân Abû al-Husain al-‘Uklî al-
Kûfi
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn Nâfî‘
al-Makkî, Ibrâhîm ibn Yazîd al-Khauzî, dan ‘Utsman ibn Mûhib
al-Hasyimi. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
dari Zaid ibn al-Hubâb adalah Mûsa ibn Ishâq al-Kannânî al-
Kûfî, Abû Hisyâm Muhammad ibn Yazîd al-Rifâ’î, dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti ‘Alî ibn al-Madînî dan
al-‘Ajlî menilainya tsiqah. Abû Hâtim menilainya shadûq

2 70 Ahmad ibn ‘Alî Abû Bakar al-Khathîb al-Baghdâdî, Tarîkh Baghdâd, vol. XIV, Dâr
al-Kutub al-‘Ilmîyah, Beirut, h. 231. Selanjutnya disebut al-Baghdâdî. Cf. Al-Dzahabî, Tadzkirah
..., vol. II, h. 777. 2 72
71 Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb...,…,
vol.
Vol.
I, h.
IX,514. 132
h. 464.
shâlih.273 Ibn Hajar menilainya shadûq yukhthi` fî hadîts al-
Tsaurî min al-Tâsi‘ah. Zaid ibn al-Hubâb wafat tahun 230 H.274

(6). Ibn Mûhib


Namanya adalah ‘Ubaidullâh ibn ‘Abd al-Rahmân ibn
‘Abdillâh ibn Mûhib al-Qurasyî al-Taimî. Ia meriwayatkan hadis,
antara lain dari Ismâ‘îl ibn ‘Aun ibn ‘Ubaidillâh ibn Abî Râfi’,
Sa‘îd ibn Muhammad ibn Jubair ibn Math‘am dan pamannya

‘Ubaidillâh ibn ‘ Abdillâh ibn Mûhib. Sedangkan orang yang


pernah meriwayatkan hadis darinya adalah ‘Abdullâh ibn al-
Mubârak, ‘Alî ibn Tsâbit al-Jazarî, Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn
Abî Fudaik, dan sebagainya. Ibn Hibbân dan al-‘ Ajlî
memandangnya tsiqah. Al-Nasâ`î menilainya laisa bi dzâka al-
qawiy.275 Ibn Hajar memandangnya laisa bi al-qawiy min al-
sâbi‘ah. Ia wafat tahun 158 H.276

(7). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar ibn
Dhamdham al-Ansharî. Ia masih kecil ketika Nabi melakukan
hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia kepada
Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabi. Anas
yang wafat pada tahun 93 H., merupakan sahabat Nabi Saw. yang
paling akhir di Bashrah. 277

Kualitas hadis: hasan, karena di dalam sanad ada Zaid ibn al-
Hubâb dan Ibn Mûhib yang dinilai shadûq dan laisa bi al-qawiy.

Hadis tersebut merupakan wasiat Nabi Saw. kepada


putrinya Fâthimah al-Zahra yang diriwayatkan lewat jalur Anas
oleh al-Nasâ’î.

2 73 Ibn Hajar, Tahdzîb …, Vol. III, h. 347-348.


2 74 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol. I, h. 222.
2 75 Ibn Hajar, Tahdzîb …, Vol. VII, h. 27.
2 76 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol. I, h. 372.
dikatakan2 bahwa
78 Hadissanadnya
tersebut shahîh
2 77 Ibnditashîh .oleh
Lihat
Hajar, al-Ishâbahal-Haddâd,
al-Hâkim
…, vol.
sesuai Takhrîj
I, h.syarat …,
312. Juga 133
vol.Hajar,
I, hadis
al-Shahîhayn,
Ibn nomor
Is’âf
sehingga 3,
6. h. 269.
…, h.dapat
Wirid dan dzikr harian berupa sepuluh kalimat tahlîl, tasbîh dan
tahmîd, yaitu:
(Hadis Nomor 22):

Dengan mengulang-ulang tasbîh dan dzikr di atas, minimal


sepuluh kali hingga menjadi seratus kali, maka itu lebih utama dari
memerdekakan hamba sahaya sebanyak delapan orang keturunan
Ismâ ‘il a.s.:

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan tasbîh


dan dzikr di atas. Secara lengkap sanad-nya adalah sebagaimana
riwayat al-Bukhârî:

:
.

Artinya: Bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Siapa yang


mengatakan sebanyak
seratus kali dalam sehari,
2 79 baginya
Al-Ghazâlî, balasan
Bidayat …, h. 5.setimpal
134pahala
membebaskan budak sebanyak sepuluh orang. Kemudian dia
mendapatkan seratus kebaikan dan dihapus seratus kejahatannya".280

Telaah sanad:
(1). ‘Abdullâh ibn Yûsuf al-Tunîsî Abû Muhammad al-Kalâ’î

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn


Wahhâb, ‘Abd al-Rahmân ibn Abî al-Rijâl, dan Mâlik ibn Anas.
Sementara oang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya
adalah al-Bukhârî, Ibrâhîm ibn Hânî` al-Naisâbûrî, Bakar ibn
Sahl al-Dimyathî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti
Ibn Hibbân menilainya tsiqah. ‘ Abdullâh ibn Yûsuf al-Tunîsî
merupakan perawi terpercaya dalam kitab al-Muwaththa` setelah
al-Qa‘nabî. Demikian menurut Ibn Ma‘în. Bahkan lebih
terpercaya di antara para perawi melebihi Marwân al-Thâthirî.
Demikian menurut Ibn Yûnus.281 Ibn Hajar sendiri menilainya

tsiqah mutqin min atsbat al-nâs fi al-Muwaththa` min kubbâr al-


‘âsyirah. ‘Abdullah ibn Yûsuf wafat tahun di Mesir 218 H.282
(2). Mâlik ibn Anas ibn ‘Âmir
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Âmir ibn
‘Abdillâh ibn al-Zubair, Nu‘aim ibn ‘Abdillâh, dan Sumai maula
Abî Bakar ibn ‘Abd al-Rahmân ibn al-Hârits ibn Hisyâm.
Sementara orang yang menerima hadis darinya adalah gurunya
Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, Yahyâ ibn Sa‘îd al-
Anshârî, dan ‘Abdullâh ibn Yûsuf al-Tunîsî. Para ahli hadis
sepakat bahwa Mâlik ibn Anas termasuk orang yang tsiqah. Ia
tidak saja Imâm dalam bidang fikih, tetapi juga dalam hadis.283

Ibn Hajar menilainya al-faqîh Imâm dâr al-hijrah ra`s al-


mutqinîn wa kabîr al-mutasyabbitain hingga al-Bukhârî
mengatakan sanad yang paling shahîh adalah sanad Mâlik yang

2 80 Al-Bukhari, Shahih, vol. III, hadis nomor 3119, h. 1198.


22 81
82 Ibn
83 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Hajar,Tahdzîb …,Vol.
Taqrîb …,
…, vol.I,X,
vol. VI, 79.135
h.5-9.
h.h.330.
berasal dari Nâfi‘ dari Ibn ‘Umar, min al-sâbi‘ah. Mâlik wafat
tahun 179 H.284

(3). Sumai al-Qurasyî al-Makhzumî (maula Abû Bakar ibn


‘Abdillâh ibn al-Hârits ibn Hisyâm)
Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘ Abdillâh al-
Madanî meriwayatkan hadis antara lain dari ayah angkatnya Abî
Bakar ibn ‘Abd al-Rahmân, Ibn al-Musayyab, dan Abî Shâlih
Dzakwân. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadis dari Sumai
adalah anaknya ‘Abd al-Mâlik, Yahyâ ibn Sa‘îd, Suhail ibn Abî
Shâlih. Keduanya adalah koleganya. Kemudian Mâlik ibn Anas
dan lain sebagainya. Para ahli hadis menilainya tsiqah.285 Ibn
Hajar menilainya tsiqah. Pendapat yng terkuat mengatakan ia
wafat terbunuh di Qadîd tahun 130 H.286

(4). Abî Shâlih (Dzakwân) al-Sammân al-Ziyât al-Madanî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn
Dhamrah al-Salûlî, Abî Sa‘îd al-Khudrî, dan Abî Hurairah. Ia
pernah me-mursal-kan hadis dari Abî Bakar. Orang yang
meriwayatkan hadis darinya adalah anak-anaknya; Suhail,
Shâlih, Sumay anak angkat (mawla) Abû Bakar ibn ‘Abd al-
Rahmân, dan lain sebagainya. Menurut para ahli hadis, Dzakwân
adalah tsiqah dan layak dijadikan hujjah hadis yang dia
riwayatkan. 287 Menurut Ibn Hajar Dzakwân tsiqah tsabat min al-
tsâlisah meninggal pada tahun 101 H.288

(5). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari

2 84 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol. I, h. 516.


2 85 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 209.
22 86
87 Ibn
88 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 256.
I,III,203. 136
h. 189.
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.289 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,290 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,


awal tahun ketujuh Hijrîyah. 291 Ia wafat pada tahun 57 H.292
Kualitas hadis: shahîh, karena perawinya tsiqah dan sanad-nya
muttashil.
(Hadis Nomor 23):
.
Sanad-nya adalah sebagai berikut:
: :
: :

Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Siapa yang

mengucapkan sebanyak seratus kali dalam

sehari, dia tidak akan miskin mendapatkan keringanan dalam


siksa kubur ... dst.293

Telaah sanad:
Hadis tersebut diriwayatkan dari ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a. Namun
di dalam sanad-nya ada al-Fadhal ibn Ghânam yang menerima
dari Mâlik. Ibn Ma‘în dan Yahya menilainya laisa bi syai'.

2 89Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 16. .


2 90 Ibn Atsir, Ushûd …, vol. V, h. 320.
2 91 Ibn
2 92Katsîr,
Al-Suyûthî,
al-Bidâyah
Is’âf
2 93
wa
…,Al-Hindî,
al-Nihâyah,
h. 33. Lihat
Kanz
vol.
juga
...,IV,
Ibn
vol.
Dâr
Atsir,
II,al-Fikri,
hadis
Ushûd 137vol.
nomor
Bairut,
…, 5058,
t.t.,
V,h.
h.
h.181.
785.
321.
Kemudian al-Dâruquthnî memandangnya laisa bi al-qawîy.294

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas hadisnya


adalah hasan.

(Hadis Nomor 24):


.

Hadis tentang zikir yang diucapkan ketika bangun dari tidur


tersebut di-takhrîj oleh Ibn al-Sunî dan Abû Nu‘aim dalam kitab
mereka berdua ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah yang berasal dari

‘Â'isyah. 295 Namun sanad-nya tidak dikemukakan secara lengkap,


sehingga tidak diketahui kualitas hadisnya. Wallâhu a‘lam.

(Hadis Nomor 25):


.

.
Secara lengkap sanad hadis tentang zikir tersebut adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Nasâ'î.

2 95
94 Al-Haddâd,
Ibn Hajar, Lisân
Takhrîj
…,…,
vol.vol.
IV, I,h.h.445.
316.138
Artinya: Nabi Saw. pernah bersabda: "Katakan

296
Telaah sanad:
(1). Yûsuf ibn ‘Isâ ibn Dînâr al-Zuhrî

Ia meriwayatkan hadis, antara lain lain dari ‘Alî ibn ‘Âshim


al-Wâsithî dan al-Fadhal ibn Mûsâ al-Sînânî. Sementara
orang yang pernah meriwayatkan hadis dari padanya selain
al-Nasâ'î adalah Ahmad ibn ‘Alî al-Abâr dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Hibbân memasukkannya
dalam deretan orang-orang tsiqah.297 Ibn Hajar
memandangnya tsiqah fadhal min al-‘âsyirah yang wafat
tahun 249 H.298

(2). Mahmûd ibn Ghailân al-‘Adwî


Ia yang populer dengan panggilan Abû Ahmad al-Marwazî
meriwayatkan hadis, antara lain dari Qabîshah ibn ‘Uqbah
dan al-Fadhal ibn Mûsâ al-Sînânî. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah Abû Hâtim,
Abû Zur‘ah dan sebagainya. Umumnya ahli hadis
memandangnya tsiqah.299 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah
min al-'asyirah yang wafat tahun 239 H. 300

(3). Al-Fadhl ibn Mûsâ al-Sînânî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Hisyâm ibn ‘Urwah
dan al-Walîd ibn Dînâr. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari padanya adalah Mahmûd ibn
Ghailân al- ‘Adwî, Yûsuf ibn Isâ ibn Dînâr al-Zuhrî dan

sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Ma‘în dan Ibn

2 96 Al-Nasa'î, Sunan, vol. II, h.


2 97 Ibn Hajar, Tahdzib …, vol. XI, h. 369.
32 00
98 Ibn Hajar, Taqrib
99 Tahdzib…,
…,vol.
vol.I,X,
611.
h. h. 58.139
522.
Sa‘d memandangnya tsiqah. 301 Ibn Hajar sendiri menilainya
tsiqah wa rubamâ aghraba min kubbâr al-tâsi'ah yang wafat
tahun 192 H.302

(4). Mis‘ar ibn Kidâm ibn Dzahîr ibn ‘Ubaidah al-‘Âmirî al-
Kûfî
Ia meriwayatkan, antara lain dari Ishâq ibn Rasyîd dan
Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân al-Saksakî. Sementara orang
yang pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah Abû
Nu‘aim al-Fadhal ibn Dakîn, 'Isâ ibn Yûnus dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah. Bahkan seperti
dikatakan al-Harbî; bahwa Mis'ar merupakan tempat bertanya
apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.303
Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat fâdhil min al-sâbi‘ ah

yang wafat tahun 153 atau 155 H.304

(5). Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Ismâ‘îl al-Saksakî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Abdillâh ibn Abî
Aufâ al-Aslamî dan Abî Wâ'il Syaqîq ibn Salamah.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
padanya adalah Hajjâj ibn Arthâh, Mis‘ar ibn Kidâm dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ahmad ibn Hanbal
memandangnya dha‘îf. 305 Ibn Hajar memandangnya shadûq
dha'îf al-hifdzi min al-khâmisah. 306 Tidak ditemukan
keterangan tentang kapan dia wafat.

(6). ‘Abdullâh ibn Abî Aufâ

3 01 Ibn Hajar, Tahdzib …, vol. VIII, h. 257.


3 02 Ibn Hajar, Taqrib …, vol. I, h. 447.
3 03 Ibn Hajar, Tahdzib …, vol. X, h. 103.
3 06
04 Ibn Hajar, Taqrib
05 Tahdzib…,
…,vol. 120.140
vol.I,I,h.h.91.
528.
Ia adalah seorang sahabat yang nama kecilnya ‘Alqamah ibn
al-Khâlid ibn al-Hârits. Ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari padanya adalah
al-Hakam ibn ‘Utaibah, Ibrâhîm ‘Abd al-Rahmân al-Saksakî
dan sebagainya. Ia wafat tahun 87 H.307

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Ibrâhîm


‘Abd
al-Rahmân al-Saksakî yang dinilai shadûq.
(Hadis Nomor 26):
.
Secara lengkap sanad hadis tentang tasbîh di atas adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.

.
Artinya: 'Aisyah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
membaca: ketika ruku‘ dan sujudnya. 308
Telaah sanad:
(1). Abû Bakar ibn Abî Syaibah

Namanya adalah ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Ibrâhîm ibn


‘Utsmân ibn Khawâsitî al-‘Absî. Ia meriwayatkan hadis, antara
lain dari Muhammad ibn Basyâr al- ‘Abdî dan Muhammad ibn
Ja‘far Ghundâr. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari padanya adalah Muslim, Ahmad ibn Hanbal dan
sebagainya.Umumnya ahli hadis, seperti al-‘ Ajlî

3 08
07 Muslim,
Ibn Hajar,Shahih,
al-Ishabah
vol. I,
…,hadis IV, h. 141
vol. nomor, 18.
487, h. 353.
memandangnya tsiqah.309 Ibn Hajar sendiri memandangnya
tsiqah hâfidz shâhib tashânif min al-'âsyirah yang wafat tahun
235 H.310

(2). Muhammad ibn Basyâr ibn al-Farâfishah ibn al-Mukhtâr


al-‘Abdî
Ia yang populer dengan Abû ‘Abdillâh al-Kûfî meriwayatkan
hadis, antara lain dari Sa‘îd ibn Abî ‘ Arûbah dan Sufyân al-
Tsaurî. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
padanya adalah Abdu ibn Humaid, Abû Bakar ‘Abdullâh ibn
Abî Syaibah dan sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti

‘Utsmân al-Dârimî yang berasal dari Ibn Ma‘în


memandangnya tsiqah.311 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah
hâfidz min al-tâsi'ah yang wafat tahun 203 H.312

(3). Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah Mihrân al-‘Adawî Abû al-Nadhr al-
Yasykurî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn Fairûz al-


Dânaj dan Qatâdah ibn Di’âmah. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah adalah gurunya
al-A‘masy, Khâlid ibn al-Hârits dan sebagainya. Menurut Abû
Hâtim, Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah tidak pernah memiliki buku. Ia
hanya mengandalkan daya hafal semata. Umumnya ahli hadis
memandangnya tsiqah. Namun menurut Abû Hâtim, ia
dipandang tsiqah sebelum pikun (mukhtalith). Bahkan menurut
al-Azadî, ia mengalami pikun yang sangat buruk (ikhtilâthan
qabîhan) lima tahun terakhir. Demikian juga menurut Ibn
Sa‘d.313 Ibn Hajar menilainya:

, ,

3 09 Ibn Hajar, Tahdzib …, vol. VI, h. 3.


3 10 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 320.
33 11
12 Ibn
13 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzib …,
Taqrib …,
Tahdzîb vol.
vol.I,IX,
…,vol. IV, 64.142
h. 56.
h. 469.
h.
. . Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah
wafat tahun 156 H.314

(4). Qatâdah ibn Di’âmah ibn Qatâdah al-Sadûsî Abu al-Khithâb


al-Bashrî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Burdah ibn
Abî Mûsa al-Asy‘arî dan Mathraf ibn ‘Abdillâh ibn al-Syikhkhîr
al-‘Âmirî. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
Qatâdah ibn Di’âmah adalah Abân ibn Yazîd al-‘Aththâr, Ismâ‘ îl
ibn Muslim al-Makkî, dan Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah. Umumnya ahli
hadis memandangnya tsiqah, tsabt.315 Ibn Hajar menilainya

tsiqah tsabat min ra`s al-thabaqat al-râbi‘ ah yang wafat tahun


100 H.316

(5). Mathraf ibn ‘Abdillâh ibn al-Syikhkhîr al-‘Âmirî al-Harsyî


Ia yang populer Abû ‘Abdillâh al-Bashrî meriwayatkan
hadis, antara lain dari ‘Â'isyah dan Abî Zarr al-Ghifârî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari padanya
adalah Muhammad ibn Wasi', Qatadah dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis, seperti al-‘Ajlî memandangnya tsiqah. 317

Ibn Hajar memandangnya tsiqah ‘âbid fâdhil min al-tsâniah


yang wafat tahun 95 H.318

(6). ‘Â 'isyah
‘Â'isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah yang sangat dia
cintai setelah Khadîjah bint Khuwailid wafat. Tidak ditemukan
kata sepakat kapan Rasulullah kawin dengan ‘Â'isyah. Ada yang
mengatakan tiga tahun setelah hijrah. Demikian juga tidak
ditemukan kata sepakat tentang berapa usia ‘Â`isyah saat itu.
Ada yang mengatakan ketika dinikahkan dengan Nabi, ‘Â`isyah

3 14 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I. h. 239..


3 15 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 315..
3 18
16 Ibn Hajar, Taqrîb
17 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I.X,
h. h.
453.
534. 143
157.
ketika dia berusia enam tahun, dan ada yang mengatakan usia
tujuh tahun dan serumah dengannya pada usia sembilan tahun.

‘Â`isyah wafat tahun 57 H. Ada juga yang mengatakan tahun 58


H., malam Selasa, 17 Ramadhân, dan dimakamkan di Baqi’.319

Kualitas hadis: shahîh, karena riwayat Muslim.

(Hadis Nomor 27):


. .
Secara lengkap sanad hadis tentang tasbîh tersebut adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal.

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Ada dua kalimat yang
ringan diucapkan namun berat timbangannya dan sangat disenangi

oleh Allâh, yaitu: ".

Telaah sanad:
(1). Muhammad ibn Fadhîl ibn Ghazwân ibn Jarîr al-Dhabbî

al-Kûfî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Ammârah ibn al-

Qa‘qâ‘ dan ayahnya Fadhîl ibn Ghazwân. Sementara orang


yang pernah meriwayatkan hadis dari padanya, selain Ahmad
ibn Hanbal adalah Ahmad ibn Sinân al-Qaththân. Umumnya
ahli hadis, seperti 'Utsmân al-Dârimi yang berasal dari Ibn

3 20
19 Ahmad
Ibn Hajar,
ibnal-Ishâbah
Hanbal, Musnad,
…, vol. vol. II,144
IV, h. 359.
h. 232.
Ma‘în memandangnya tsiqah.321 Namun Ibn Hajar
memandangnya shadûq ‘ ârif rumiya bi al-tasyayyu‘ min al-

tâsi‘ah yang wafat tahun 295 H.322


(2). ‘Ammârah ibn al-Qa‘qâ‘ ibn Syubrumah al-Dhabbî al-
Kûfî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Zur‘ah ibn ‘Amr
ibn Jarîr dan Abî Shâlih al-Samân. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah Muhammad
ibn Fadhîl. ‘Utsmân ibn Zâ'idah dan sebagainya. Umumnya
ahli hadis, seperti Ibn Hibban dan al-Nasâ'î memandangnya

tsiqah.323 Ibn Hajar sendiri menilainya tsiqah ursila 'an ibn


Mas‘ûd wa hua min al-sâdisah. 324 Tidak diketahui kapan dia
wafat.

(3). Abî Zur‘ah ibn ‘Amr ibn Jarîr ibn ‘Abdillâh al-Bajlî al-
Kûfî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Zarr al-Ghifârî
dan Abî Hurairah. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari padanya, selain cucunya Jarîr ibn
Ayyûb al-Bajlî, adalah ‘Ammârah ibn al-Qa‘qâ‘ dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti ‘Utsmân al-Dârimî
yang berasal dari Ibn Ma‘în memandangnya tsiqah.325 Ibn
Hajar sendiri menilainya tsiqah min al-tsâlisah.326 Tidak
ditemukan keterangan kapan dia meninggal.

(4). Abî Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî,

3 21 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IX, h. 359.


3 22 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I. h. 502.
3 23 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VII, h. 371.
3 26
24 Ibn Hajar, Taqrîb
25 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,XII,
h. 641.
409. 145
h. 109.
bahwa silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak
kurang dari tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai
adalah ‘Abd al-Rahmân ibn Shakhar.327 Ia digelari Abû
Hurairah karena sering menggendong kucing,328 sehingga
Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang


Khaibar, awal tahun ketujuh Hijrîyah.329 Ia wafat pada tahun
57 H.330

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Muhammad


ibn Fadhîl yang dipandang shadûq.

(Hadis Nomor 28):


.

.
Secara lengkap sanad-nya sebagaimana diriwayatkan oleh al-
Turmudzî.

. ?

3 27Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 16. .

3 29 Ibn
3 30Katsîr,
Al-Suyûthî, 3 28
al-Bidâyah
Is’âf …,Ibn
wa Atsir, Ushûd
al-Nihâyah,
h. 33. Lihat juga…,
vol. Ibnvol.
IV, Dâr V,
Atsir, h.
al-Fikri,
Ushûd 146vol.t.t.,V,h.h.181.
320.Bairut,
…, 321.
Artinya: Nabi Saw. pernah bersabda: "Siapa yang membaca

sebanyak tiga kali ketika mau tidur,

Allâh mengampuni dosanya walaupun sebanyak buih di lautan,


atau daun pepohonan atau pasir di pantai atau hari-hari dunia.331

Telaah sanad:
(1). Shâlih ibn ‘Abdillâh ibn Dzakwân al-Bâhilî

Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Mu‘âwiyah


Muhammad ibn Khâzim al-Dharîr dan Muhammad ibn
Fadhîl ibn Ghazwân. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari padanya, selain al-Turmudzî adalah
Ahmad ibn Ziyâd al-Samsâr dan sebagainya. Ahli hadis,
seperti Abû Hâtim memandangnya shadûq. Namun Ibn
Hibban memandangnya tsiqah.332 Ibn Hajar sendiri
memandangnya tsiqah min al-‘âsyirah yang wafat tahun 231
H.333

(2). Abû Mu‘âwiyah Muhammad ibn Khâzim al-Tamîmî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Ubaidillâh ibn al-
Walîd al-Washshâfî dan ‘Utbah ibn Humaid al-Dhabbî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari
padanya, selain Shâlih ibn ‘Abdillâh adalah Sahal ibn

‘Utsmân al-‘Askarî dan sebagainya. Ahli hadis, seperti al-


Daurî yang berasal dari Ibn Ma‘în menilainya atsbat fî al-

A‘masy min Jarîr. 334 Ibn Hajar menilainya

yang wafat tahun 295 H.335

3 31 Al-Turmudzi, Sunan, vol. V, h. 470.


3 32 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 346.
3 35
33 Ibn Hajar, Taqrîb
34 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,IX,
h. 475.
272. 147
h. 120.
(3). ‘Ubaidullâh ibn al-Walîd Al-Washshâfî Abû Ismâ‘îl al-
Kûfî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Athiyah ibn Sa‘d al-
‘Aufî dan ‘Athâ' ibn Abî Ribâh. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya, selain Abû
Mu‘âwiyah adalah Sufyân al-Tsaurî dan sebagainya. Para
ahli hadis, seperti Abû Zur‘ah dan Abû Hâtim menilainya

dha‘îf al-hadîts.336 Ibn Hajar juga menilainya dha‘îf min al-


sâdisah.337 Tidak dijelaskan kapan dia wafat.

(4). ‘ Athiyah ibn Sa‘d ibn Junâdah al-‘Aufî al-Jadalî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Sa‘îd al-Khudrî
dan Abî Hurairah. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari padanya, selain ‘Ubaidullâh ibn al-Walîd adalah

‘Utsmân ibn al-Aswad dan sebagainya. Menurut al-Daurî


yang dia terima dari Ibn Ma‘în; shalîh. Abû Zur‘ah
memandangnya layyin. Sementara menurut Abû Hâtim dan
al-Nasâ'î; dha‘îf. 338 Ibn Hajar sendiri menilainya shadûq
yukhthi' katsiran wa kâna syî ‘î mudallis min al-tsâlisah yang
wafat tahun 111 H.339

(5). Abî Sa‘îd al-Khudrî


Nama lengkapnya adalah Sa‘ad ibn Mâlik ibn Sinân ibn
Tsa’labah ibn ‘Ubaid ibn al-Ajbar ibn ‘Auf ibn al-Hârits ibn
al-Khazraj al-Anshârî al-Khudrî. Ia merupakan salah seorang
sahabat yang turut serta berperang bersama Nabi Saw.
sebanyak dua belas kali. Ia meriwayatkan hadis antara lain
dari Nabi Saw., dan ‘Alî ibn Abî Thâlib. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis darinya, selain ‘Athiyah al-‘Aufî

3 36 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VII, h. 50.


3 39
37 Ibn Hajar, Taqrîb
38 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,VII,
h. 393.
375. 148
h. 201.
adalah Ismâ‘îl ibn Abî Idrîs dan sebagainya. Abû Sa‘îd wafat
pada tahun 74 H.340

Kualitas hadis: hasan, karena di dalam sanad


ada ‘Athiyah
ibn Sa‘d yang dipandang shadûq.
(Hadis Nomor 29):
.

Tidak ditemukan dalam hadis yang membicarakan mengulang-


ulang zikir tersebut. Ia hanya merupakan wirid setelah salat dan
ketika bangkit dari ruku‘. Demikian dikemukakan dalam kitab

Takhrîj Ah âdîts ....341 Tanpa mengemukakan penilaian


sama sekali.
(Hadis Nomor 30):
.
Secara lengkap sanad- nya adalah sebagaimana diriwayatkan al-
Bukhârî.

al-Ishâbah
3 40 Ibn Atsir, Ushûd 3 41…,
…, vol. V, vol. III,Cf.
Al-Haddâd,
h. 142. h.Takhrîj
78. …, vol.
Al-Suyûthî, Is’âf
I, h. h.149
…,303.31-32. Cf. Ibn Hajar,
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Seorang laki-laki yang
salat berjama‘ah akan dilipat-gandakan pahalanya sebanyak dua
puluh lima kali lipat dibanding dia salat sendirian di rumah.Hal itu
adalah bahwa bersuci dengan sempurna, kemudian dia keluar
menuju masjid, sehingga setiap langkahnya akan menambah
darjah dan kesalahan dihapus. Apabila dia membaca shalâwat,
maka selama dia di tempat salatnya, Malaikat akan
mendo‘akannya dan meminta-ampunkannya". 342

Telaah sanad:
(1). Mûsâ ibn Ismâ‘îl al-Minqarî Abû Salamah al-Tabûdzakî

al-Bashrî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘ Abd al-Wâhid ibn
Ziyâd dan ‘Abd al-Wârits ibn Sa‘îd. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya, al-Bukhârî adalah
Ahmad ibn Dâud al-Makkî dan sebagainya. Umumnya ahli
hadis, seperti Ibn Hibbân dan Ibn Sa‘d memandangnya tsiqah

bahkan katsîr al-hadîts. 343 Ibn Hajar memandangnya tsiqah


tsabat min shighâr al-tâsi‘ah yang wafat tahun 223 H.344
(2). ‘ Abd al-Wâhid ibn Ziyâd al-‘Abdî Abû Basyar al-Bashrî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Ismâ‘îl ibn Sâlim al-
Asadî dan Sulaimân al-A‘masy. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya, selain Mûsâ ibn
Ismâ ‘îl adalah Muslim ibn Ibrâhîm dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis, seperti al-Dâruquthnî dan Ibn Hibbân
memandangnya tsiqah. 345 Ibn Hajar sendiri menilainya

tsiqah. Namun kalau hanya dari al-A‘masy saja, maka ada


perbincangan (maqâl) min al-tsinah yang wafat tahun 176
H.346

(3). Al-A‘masy (Sulaimân ibn Mahrân) al-Asadî al-Kâhilî

3 42 Al-Bukhârî, Shahîh, vol. I, h. 232.


3 43 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. X, h. 297.
3 46
44 Ibn Hajar, Taqrîb
45 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,VI,
h. 367.
549. 150
h. 385
Ia yang populer dengan panggilan Abû Muhammad al-Kûfî
meriwayatkan hadis antara lain dari Ismâ‘ îl ibn Rajâ` al-
Zabîdî, Ismâ‘îl ibn Muslim al-Makkî, dan Anas ibn Mâlik ibn
al-Nadhr ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari al-A‘masy adalah Abû
Ishâq Ibrâhîm ibn Muhammad al-Fazzârî, Hamîd ibn ‘Abd al-
Rahmân al-Ru`âsî, Hafsh ibn Ghiyâts, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis, misalnya Ibn Hibbân, memasukkan al-
A‘masy dalam deretan orang-orang tsiqah. Namun menurut
Hâfizh, yudallis. Abû Hâtim mengatakan yuhtajj bi hadîtsih,
tsiqah.347 Ibn Hajar menilainya tsiqah hâfizh ‘ârif bi al-
qirâ`ah wara‘ lakinnahu yudallis min al-khâmisah. Ia wafat
147 H.348

(6). Abî Shâlih (Dzakwân) al-Sammân al-Ziyât al-Madanî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn
Dhamrah al-Salûlî dan Abî Hurairah. Ia pernah me-mursal-
kan hadis dari Abî Bakar. Orang yang pernah meriwayatkan
hadis darinya, selain Sulaimân al-A‘masy adalah Zaid ibn
Aslam dan sebagainya. Menurut para ahli hadis, Dzakwân
adalah tsiqah dan layak dijadikan hujjah hadis yang dia
riwayatkan. 349 Menurut Ibn Hajar Dzakwân tsiqah tsabat
min al-tsâlisah meninggal pada tahun 101 H.350

(5). Abî Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî,
bahwa silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak
kurang dari tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai

3 47 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. II, h. 506-509. Cf. Ibn Hajar, Thabaqât al-Mudallisîn,
vol.I, Maktabah al-Madâr, ‘Ammân, 1983, h. 33.
33 48
49 Ibn
50 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 254.
I,III,203. 151
h. 189.
adalah ‘Abd al-Rahmân ibn Shakhar.351 Ia digelari Abû
Hurairah karena sering menggendong kucing,352 sehingga
Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang


Khaibar, awal tahun ketujuh Hijrîyah.353 Ia wafat pada tahun
57 H.354

Kualitas hadis: shahîh, karena diriwayatkan oleh al-


Bukhârî.

(Hadis Nomor 31):


.

.
Secara lengkap sanad hadis zikir tersebut adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Turmudzî.

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Tak seorang

hambapun yang membacakan

3 51Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 16. .

3 53 Ibn
3 54Katsîr,
Al-Suyûthî, 3 52
al-Bidâyah
Is’âf …,Ibn
wa Atsir, Ushûd
al-Nihâyah,
h. 33. Lihat juga…,
vol. Ibnvol.
IV, Dâr V,
Atsir, h.
al-Fikri,
Ushûd 152vol.t.t.,V,h.h.181.
320.Bairut,
…, 321.
sebanyak tiga kali setiap pagi dan petang, kecuali

tak suatu apapun yang akan membinasakannya.355

Telaah Sanad:
(1). Muhammad ibn Basyâr ibn ‘Utsmân al-‘Abdî

Nama kecilnya adalah Bundâr yang populer dipanggil Abû Bakar


al-Bashrî. Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Dâud al-
Thayâlisî dan Abî ‘Âmir al-‘Aqdî. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari padanya, selain al-Turmudzî adalah
Ibrâhîm ibn Ishâq al-Harbî dan sebagainya. Menurut Abû Hâtim;
Muhammad ibn Basyâr adalah shadûq dan menurut al-Nasâ'î

shâlih lâ ba's bih.356 Ibn Hajar sendiri memandangnya tsiqah min


al-‘âsyirah yang wafat pada tahun 252 H.357

(2). Abû Dâud al-Thayâlisî


Nama lengkapnya adalah Sulaimân ibn Dâud al-Jârûdî. Ia
meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Abdillâh ibn al-Mubârak
dan ‘Abd al-Rahmân ibn Abî al-Zinâd. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari padanya, selain Muhammad ibn Basyâr
adalah Muhammad ibn Hafsh al-Qaththân dan sebagainya. Ahli
hadis, seperti al-Nasâ'î memandangnya tsiqah.358 Ibn Hajar
sendiri memandangnya tsiqah hâfizh ghalath fî ahâdîts min al-
tâsi‘ah yang wafat tahun 204 H.359

(3). ‘Abd al-Rahmân ibn Abî al-Zinâd


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ayahnya ‘Abdillâh ibn
Dzikwân yang populer dengan Abî al-Zinâd dan dari ‘Alqamah
ibn ‘Alqamah. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
dari padanya, selain Abû Dâud al-Thayâlîsî adalah Sa‘îd ibn
Manshûr dan sebagainya. Menurut al-Daurî yang berasal dari Ibn

3 55 Al-Turmudzi, Sunan, vol. V, h. 465.


3 56 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IX, h. 62.
3 59
57 Ibn Hajar, Taqrîb
58 Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,IV,
h. 250.
469. 153
h. 161.
Ma‘în memandang ‘Abd al-Rahmân sebagai perawi hadis yang
tidak layak hujjah. 360 Ibn Hajar memandangnya shadûq, namun
hafalannya berubah setelah dia pergi Baghdad. Di samping itu
dia seorang faqîh min al-sâbi‘ah yang wafat tahun 174 H.361

(4). Abî al-Zinâd


Namanya adalah ‘Abdullâh ibn Dzikwân, Abû ‘Abd al-
Rahmân al-Madanî. Ia adalah maula Banî Umayyah yang lebih
dikenal dengan nama panggilan Abû al-Zinâd. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân dan ‘Abd al-
Rahmân ibn Hurmuz al-A‘raj. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari padanya, selain anaknya, ‘Abd al-
Rahmân adalah ‘ Abd al-Rahmân ibn Ishâq al-Madanî dan
sebagainya. Menurut al-Bukhârî bahwa sanad yang paling sahih
lewat jalur Abû Hurairah adalah yang diriwayatkan oleh al-A’raj
karena bersumber dari Abû al-Zinad.362 Ibn Hajar menilainya

tsiqah faqîh min al-khâmisah. Abu al-Zinad meninggal secara


mendadak pada bulan Ramadhân tahun 130 H.dalam usia 66
tahun.363

(5). Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân al-Qurasyî al-Umawî


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari ayahnya ‘Utsmân ibn
‘Affân dan Zaid ibn Tsâbit. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari padanya, selain Abû al-Zinâd adalah
Sa‘d ibn ‘Ammâr dan sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti
dikemukakan oleh Ibn Hibbân, bahwa Abân termasuk dalam
deretan orang-orang tsiqah. 364 Ibn Hajar menilainya tsiqah min
al-tsâlisah yang wafat tahun 105 H.365

3 60 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VI, h. 156.


3 61 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 340.
3 62 Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 15-16. Lihat juga, Al-Zahabî, Tazkirât …, vol. I, h. 134.
3 65
63 Ibn Hajar, Taqrîb
64 Tahdzîb…,…,Vol.
vol.
vol.I,VIII,
h. 87.
302. 154
h. 3.
(6). ‘Utsmân ibn ‘Affân ibn Abî al-‘Âsh ibn Umaiyah al-Qurasyî
al-Umawî
Ia adalah seorang sahabat yang meriwayatkan hadis, antara lain
dari Nabi Saw. dan Abî Bakar. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari padanya adalah kedua anaknya Abân
dan Sa‘îd dan sebagainya. Ia mati terbunuh di adinah pada tahun
35 H.366

Kualitas hadis: hasan, Hadis di atas dipandang hasan karena di


dalam sanad ada ‘Abd al-Rahmân yang oleh Ibn Hajar
dipandang shadûq.

Adâb mâ ba‘da thulu‘ al-syams ila al-zawâl


Setelah matahari terbit sekedar setinggi penggalah, maka al-
Ghazâlî menyarankan agar melaksanakan salat al-dhuhâ sebanyak
empat, enam, atau delapan raka’at yang dikerjakan dengan dua-dua
raka’at. Hal ini dilandasi dengan hadis semakna. Secara lengkap

sanad-nya sebagaimana riwayat Muslim.

(Hadis Nomor 32):

.
Artinya: “Rasulullah Saw. pernah salat al-dhuhâ sebanyak empat
raka’at, dan dia akan menambah sesuai kehendak Allâh. Kemudian
Ishâq ibn Ibrâhim serta ibn Basyâr, sekaligus menceritakan kepada
kami, yang berasal3 66dari Mu’âdz
Ibn Hajar, ibn Hisyâm,
al-Ishabah …, vol. IV,katanya:
h. 155
458. ‘Ayahku
menceritakan kepadaku yang dia terima dari Qatâdah dengan sanad
yang sama”.

Telaah sanad:
(1). Yahyâ ibn Habîb ibn ‘Arabî al-Hâritsî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abd al-Wahhâb


al-Tsaqafî, Marhûm ibn ‘ Abd al-‘Azîz al-‘Aththâr, dan Khâlid
ibn al-Hârits. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
dari Yahyâ ibn Habîb antara lain Ahmad ibn Mûsa ibn Nashr ibn

‘Abdillâh ibn Muhammad ibn Sîrîn al-Sîrînî, Abî Bakar Ahmad


ibn ‘Amr ibn ‘Abd al-Khâliq al-Bazzâr, dan Muslim. Ibn Abî
Hâtim memdandangnya shadûq. Ibn Hibbân memasukkannya
dalam deretan orang-orang tsiqah. Namun terkadang dia khatha`

dan gharîb.368 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-‘âsyirah.


Yahyâ ibn Habib wafat tahun 248 H.369

(2). Khâlid ibn al-Hârits ‘Ubaid ibn Sulaimân ibn ‘Ubaid ibn
Sufyân ibn Mas‘ûd al-Hujaimî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain Asy’ats ibn ‘Abdillâh
ibn Jâbir al-Haddânî, Sa‘îd ibn ‘Ubaidillâh ibn Jubair ibn Hayyah
al-Tsaqafî, dan Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah Mihrân al-‘Adawî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari Khâlid
ibn al-Hârits antara lain Abû al-Asy’ats Ahmad ibn al-Miqdâm
al-‘Ajlî, Suwâr ibn ibn ‘Abdillâh al-‘Anbarî al-Qâdhî, dan Yahyâ
ibn Habîb ibn ‘ Arabî. Umumnya ahli hadis memandangnya

tsiqah.370 Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat min al-tsâminah.


Khâlid ibn al-Hârits wafat tahun 186 H.371

3 67 Muslim, Shahih, vol. I, hadis nomor 419, Bâb Istihbâb Shalât al-Dhuha wa anna
aqallaha rak’atân wa akmalaha tsamân raka’ât wa awsatahâ arba’a raka’ât au sitt wa ak-hatsts ‘ala
al-muhâfazhah ‘alaiha, Dâr ibn Hazm, Beirut, 1995, h. 497.
3 68 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. XI, h. 172.
33 69
70 Ibn
71 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h. h. 72.156
h. 589.
I,III,187.
(3). Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah Mihrân al- ‘Adawî Abû al-Nadhr al-
Yasykurî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn


Fairûz al-Dânaj, Abî Ma’syar Zîâd ibn Kulaib, dan Qatâdah ibn
Di’âmah. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Sa‘îd
ibn Abî ‘Arûbah adalah gurunya al-A‘masy, ‘Abd al-A‘lâ ibn

‘Abd al-A‘lâ, dan Khâlid ibn al-Hârits. Menurut Abû Hâtim,


Sa‘îd ibn Abî ‘ Arûbah tidak pernah memiliki buku. Ia hanya
mengandalkan daya hafal semata. Umumnya ahli hadis
memandangnya tsiqah. Namun menurut Abû Hâtim, ia
dipandang tsiqah sebelum pikun (mukhtalith). Bahkan menurut
al-Azadî, ia mengalami pikun yang sangat buruk (ikhtilâthan
qabîhan) lima tahun terakhir. Demikian juga menurut Ibn
Sa‘d.372 Ibn Hajar menilainya:

, ,
. . Sa‘îd ibn Abî ‘ Arûbah wafat tahun
156 H.373

(4). Qatâdah ibn Di’âmah ibn Qatâdah al-Sadûsî Abu al-Khithâb


al-Bashrî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Burdah ibn
Abî Mûsa al-Asy‘arî, Abî al-Suwâr al-‘Adawî, dan Mu’âdzah al-
‘Adawîah. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
dari Qatâdah ibn Di’âmah adalah Abân ibn Yazîd al-‘Aththâr,
Ismâ ‘îl ibn Muslim al-Makkî, dan Sa‘îd ibn Abî ‘Arûbah.
Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah, tsabt.374 Ibn Hajar
menilainya tsiqah tsabat min ra`s al-thabaqat al-râbi‘ah yang
wafat tahun 100 H.375

(5). Mu‘âdzah al-‘Adwîah

3 72 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 56.


33 73
74 Ibn
75 IbnHajar,
Ibn Hajar,Taqrîb
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…, vol.
…,…,
vol. I.
I. h.
vol. h.
VIII, h. 157
239..
453. 315..
Nama lengkapnya adalah Mu ‘âdzah bint ‘Abdillâh al-
‘Adawîah, yang juga dikenal dengan Umm al-Shahbâ` al-
Bashrîyah. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Hisyâm ibn

‘Âmir Umm ‘ Amr bint ‘Abdillâh ibn al-Zubair, ‘Alî, dan Umm
al-Mu`minîn ‘Â`isyah. Sementara orang yang meriwayatkan
hadis dari Mu‘âdzah antara lain Abû Qilâbah ‘Abdullâh ibn Zaid
al-Jurmî, Abû Fâthimah Sulaimân ibn ‘Abdillâh al-Bashrî, dan
Qatâdah ibn Di’âmah. Ibn Hibbân memasukkannya dalam
deretan orang-orang tsiqah.376 Ibn Hajar menilainya tsiqah min
al-tsâlisat yang wafat tahun 83 H.377

(6). ’ Âisyah
’ Â'isyah bint Abî Bakar, isteri Rasulullah yang sangat dia
cintai setelah Khadîjah bint Khuwailid wafat. Tidak ditemukan
kata sepakat kapan Rasulullah kawin dengan ‘Â`isyah. Ada yang
mengatakan tiga tahun setelah hijrah. Demikian juga tidak
ditemukan kata sepakat tentang berapa usia ‘Â`isyah sât itu. Ada
yang mengatakan ketika dinikahkan dengan Nabi, ‘Â`isyah
ketika dia berusia enam tahun, dan ada yang mengatakan usia
tujuh tahun dan serumah dengannya pada usia sembilan tahun.

‘Â`isyah wafat tahun 57 H. Ada juga yang mengatakan tahun 58


H., malam Selasa, 17 Ramadhân, dan dimakamkan di Baqi’.378

Kualitas hadis: shahîh, karena memenuhi kriteria shahih;


muttashil al-sanad dan perawi tsiqah.

Adâb al-isti’dâd li sâ`ir ash-shalawât


Kemudian ketika al-Ghazâlî melanjutkan pembahasan tentang
Persiapan pelaksanaan salat secara keseluruhan (adâb al-isti‘dâd li
sâ`ir al-shalawât), dia mengemukakan empat hadis, yaitu:

(Hadis Nomor 33):

33 76
77 Ibn
78 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Taqrîb …,vol.
al-Ishâbah
…, vol.
…, I.XII,
vol.
h.IV,
753. 158
h.h.479.
359.
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai alasan untuk
melaksanakan salat sunat empat raka’at sebelum dzuhur. Karena orang
yang melaksanakannya akan dido’akan oleh sebanyak 70.000
Malaikat. Sanad hadis yang menceritakan adanya 70.000 ribu malaikat
salat dan memintakan ampun seseorang yang melaksanakannya secara
lengkap adalah sebagai berikut:

"

."
Hadis yang berbicara masalah salat empat raka’at sebelum
dzuhur, selain hadis Abî Hurairah tersebut juga hadis ‘Â`isyah secara
mursal dengan lafal sebagai berikut:

Di dalam sanadnya ada salah seorang rijâl yang masih


diperbincangkan yaitu Qâbûs. Ibn Hibbân dan al-Nasâ’î
memandangnya dha‘ îf. Sedangkan Ibn Ma‘în dan Ahmad menilainya

tsiqah.381

3 79 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 7.
Lihat Ibn
3 81 Ibn Hajar, Tahdzîb 3 Mâjah,
…, 80 Sunan,
vol.Al-Haddâd,
VIII, vol.
h. 274. I, …,
Takhrîj hadis
Demikian nomor
vol.
juga 159
1156,
I,menurut
hadis nomorh. 3,
365.
al-Syaikhh. 148.
al-Albânî.
Dari pro dan kontra para ahli hadis tersebut dapat disimpulkan
bahwa kualitas sanad hadis tersebut mursal dha‘îf.

(Hadis Nomor 34):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai anjuran agar


gemar melaksanakan salat sunat empat raka’at sebelum (qablîah)
‘Ashar. Sanad lengkapnya adalah sebagaimana riwayat al-Turmudzî:

.
Artinya: Bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Allâh akan mengasihi
seseorang yang salat empat raka’at sebelum ‘ashar". 383

Telaah Sanad:
(1). Yahyâ ibn Mûsa ibn ‘Abd Rabbih ibn Sâlim al-Huddânî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari anaknya ‘Uyainah,


Abî Dhamrah Anas ibn ‘Iyâd al-Laitsî, dan Abî Dâud al-
Thayâlisî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya
adalah Ishâq ibn Ibrâhîm al-Qâdhî al-Bastî, ‘Abd Allâh ibn ‘Abd
al-Rahmân al-Dârimî, dan al-Turmudzî. Para ahli hadis
menilainya tsiqah.384 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-

‘âsyirah. Yahyâ ibn Mûsa wafat pada tahun 240 H.385

3 82 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 7. Lihat juga ‘Abdus-Shamad, Hidâyat …, h. 76.


3 83 Menurut Abû ‘Isa; hadis tersebut adalah hasan, gharib. Lihat al-Turmudzî, Sunan ,
vol. II, hadis
3 85 nomor
84 Ibn 430,
Hajar, Bâb…,
Tahdzîb
Taqrîb mâ jâ
…,vol.
vol.fîI,IX,
al-arba’
h. 597. 160
qabla al-‘ashr, h.295.
h. 304-305.
(2). Mahmûd ibn Ghailân al-‘Adwî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ishâq ibn Ibrâhîm
ibn al-Nâbitî, al-Hasan ibn ‘Alî ibn Syubaib al-Ma’marî, dan Abî
Dâud al-Thayâlisî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Mahmûd ibn Ghailân adalah al-jamâ ‘ah selain Abû Dâud.
Kemudian Abû Hâtim dan Abû al-Ahwash al-‘Akbarî. Umumnya
ahli hadis menilainya tsiqah.386 Ibn Hajar menilainya tsiqah min
al-‘âsyirah. Mahmud ibn Ghailân wafat pada bulan Ramadhân
tahun 239 H.387

(3). Ahmad ibn Ibrâhîm ibn Katsîr al-Dauruqî al-Nukrî al-


Baghdâdî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ahmad ibn
‘Abdillâh ibn Yûnus al-Yarbu’î, Ahmad ibn Nashr ibn Mâlik al-
Khazâ’î, dan Abî Dâud al-Thayâlisî. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari Ahmad ibn Ibrâhîm ibn Katsîr adalah
Abû al-‘Abbâs Ahmad ibn Muhammad ibn Masrûq al-Thûsî,
Abû ‘Abd al-Rahmân Buqî ibn Makhlad al-Andalusî, dan al-
Turmudzî. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah, misalnya Abû
Hâtim menilainya shadûq.388 Ibn Hajar menilainya tsiqah hâfizh
min al-‘âsyirah. Ia wafat tahun 246 H.389

(4). Abû Dâud al-Thayâlîsî


Nama lengkapnya adalah Sulaiman ibn Dâud ibn al-
Jarûd. Ia seorang al-hafidz yang biasa dipanggil Abû Dâud al-
Thayâlîsî al-Bashrî. Ibn Ma‘în mengatakan bahwa Abû Dâud
anak angkat (mawla) keluarga al-Zubair. Ia meriwayatkan hadis
antara lain dari Abân ibn Yazîd al- ‘Aththâr, Asy’ats ibn Sa‘îd
Abî al-Rabî‘ al-Sammân, dan Muhammad ibn Muslim ibn

3 86 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 78.


33 87
88 Ibn
89 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. I,I,h. 42. 161
h.h.522.
77.
Mahrân. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya
adalah ‘Abdullâh ibn ‘Imrân al-Ashfihanî, Abî Bakar ‘Abdillâh
ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, dan Ahmad ibn Ibrâhîm al-
Daurûqî. Menurut para ahli hadis Abû Dâud adalah tsiqah.390 Ibn
Hajar menilainya tsiqah hâfizh ghalatha fi ahâdîtsa min al-
tâsi‘ah. Ia wafat di Bashrah pada tahun 204 H.391

(5). Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Muslim ibn Mihrân ibn al-
Mutsanna
Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah
Muhammad ibn Muslim ibn Mihrân ibn al-Mutsanna. Ia
meriwayatkan hadis, antara lain dari Ahmad ibn Ishâq al-
Khadhrâmî, Ishâq ibn Manshûr al-Salûlî, dan kakeknya Abî al-
Mutsanna Muslim ibn Mihrân. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn Ibrâhîm adalah anaknya
Ibrâhîm, cucunya Muhammad ibn Ibrâhîm, dan Abû Dâud al-
Thayâlîsî dengan (redaksi) mengatakan ‘Muhammad ibn Muslim
ibn Mihrân menceritakan kepada kami’. Kemudian Abû
Qutaibah dengan mengatakan ‘Muhammad ibn al-Mutsanna’ dan
Yahyâ al-Qaththân dengan mengatakan ‘Muhammad ibn
Mihrân’. Artinya, bahwa terkadang dia di-nisbah-kan kepada
kakeknya, kakek ayahnya, dan kakek dari kakeknya. Ibn Hibbân
memasukkannya dalam deretan orang-orang tsiqah. Namun al-
Hâkim menilainya shadûq katsîr al-wahm atau shadûq yukhti`.392
Ibn Hajar menilainya shadûq yukhti`min al-sâbi‘ah.393 Tidak
ditemukan keterangan tentang kapan wafatnya.

(6). Jaddih (Kakek dari Muhammad ibn Ibrâhîm Muslim ibn al-
Mutsanna) al-Qurasyî

3 90 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 160.


33 91
92 Ibn
93 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 250.
I,VII,466. 162
h. 15-16.
Muslim ibn al-Mutsnanna juga biasa dipanggil dengan
ibn Mihrân ibn al-Mutsanna al-Qurasyî. Ia meriwayatkan hadis
dari ‘ Abdillâh ibn ‘Umar ibn al-Khaththâb ibn Bufail. Sementara
orang yang menerima hadis dari Muslim ibn al-Mutsanna adalah
cucunya Abû Ja‘far Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Muslim ibn al-
Mutsanna al-Kûfî. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah.394 Ibn
Hajar menilainya tsiqah min al-râbi‘ah.395 Tidak ada keterangan
lebih lanjut kapan dia meninggal.

(7). ‘Abdullâh ibn ‘Umar


Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Umar ibn al-
Khaththâb ibn Nufail ibn ‘Abd al-‘Uzza ibn Rîyâh ibn ‘Abdullâh
ibn Qurth ibn Razah ibn ‘ Adî ibn Ka‘ab ibn Luai al-Qurasyi al-

‘Adawî. ‘Abdullâh masuk Islam ketika masih kecil dan hijrah


bersama ayahnya ‘Umar. Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari
Nabi Saw., ayahnya ‘Umar ibn al-Khaththâb dan pamannya Zaid.
Sementara orang yang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
anaknya ‘Ubaidullâh ibn ‘Abdillâh ibn ‘Umar, Muhammad ibn
Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî dan Abû al-Mutsanna Muslim ibn
al-Mutsanna al-Mu`adzdzin. Ibn ‘Umar wafat tahun 73.396

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Muhammad ibn


Ibrâhîm yang dinilai shadûq.

(Hadis Nomor 35):

.
Hadis tersebut berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan

kepada Rasulullah Saw. tentang ayat Hâ Mîm al-Sajadah ; 32 ayat 16 :

3 94 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. X, h. 123.


33 95
3 96 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. Ibnh.Hajar,
97III,
Al-Ghazâlî, Lisân
236-240. …,bnvol.
Bidâyat
Cf. …, h.VII,
Hajar, h.530.163
7. Tahdzîb …, vol.V, h. 287.
.

Lalu Rasulullah Saw. mengemukakan hadis:

" "

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abû Manshûr al-Dailamî


dalam Musnad al-Firdaus dari riwayat Ismâ ‘il ibn Abî al-Zîyâd al-
Syâmî, dari al-A‘masy. Menurut al-Dâruquthnî, Ismâ‘il dalam sanad
tersebut adalah matrûk. Dia memalsukan hadis tersebut.

(Hadis Nomor 36):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai anjuran agar


melaksanakan salat sunat empat raka’at sebelum salat fardhu. Sebab
antara iqâmat dengan azân merupakan kesempatan berdo’a yang tidak

akan ditolak. Secara lengkap sanad-nya adalah sebagaimana riwayat


Ahmad:

:
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya tidak akan
ditolak do’a yang dipanjatkan antara iqâmat dengan azân, maka
berdo’alah.

33 98
4 00 Ahmad Al-Haddâd,
99ibn
Al-Ghazâlî, Takhrîj,
Hanbal, Musnad, vol.
Bidâyat vol.
…, h.I, 7.
II, hadis 1641,13693,
hadisnomor
nomor h.308.h. 245.
Telaah sanad:
(1). Al-Aswad ibn ‘Âmir Syâdzân

Ia yang lebih populer dengan panggilan (kuniyah) Abû


‘Abd al-Rahmân al-Syâmî, meriwayatkan hadis antara lain dari
Isrâ`îl ibn Yûnus, Ayyûb ibn ‘Utbah al-Yamâmî, dan al-Hasan
ibn Shâlih ibn Hayy. Sementara orang yang menerima hadis dari
al-Aswad adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Abû Bakar
Muhammad ibn Ishâq al-Shâghânî, Abû Kuraib Muhammad ibn
al-‘Alâ` al-Hamdânî, dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis,
seperti Ibn Hibbân, Ibn al-Madînî menilainya tsiqah, walaupun
Abû Hâtim mengatakan shadûq, shâlih. Sementara Ibn Ma‘în

mengatakan la ba’s bih.401 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-


tâsi‘ah. Al-Aswad wafat tahun 208 H.402

(2). Al-Husain ibn Muhammad ibn Bahram al-Tamimî


Ia yang juga populer dengan pangilan Abû Ahmad
meriwayatkan hadis antara lain dari Isrâ`îl ibn Yûnus, Jarîr ibn
Hâzim, dan Abî Ghassân Muhammad ibn Mathraf. Sementara
orang yang menerima hadis dari al-Husain ibn Muhammad
adalah Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah,
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Muhammad ibn ‘Abd al-
Mâlik ibn Zanjawîyah, dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis
menilainya tsiqah.403 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-tâsi‘ah.

Ia wafat tahun 213 H.404


(3). Isrâ`îl ibn Yûnus ibn Abî Ishâq al-Sabî’î al-Hamdânî al-Kûfî
Ia yang lebih populer dengan panggilan Abû Yûsuf
meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Husain ‘Utsmân ibn
‘Âshim al-Asadî, Majza‘ah ibn Zâhir al-Aslamî, dan kakeknya

4 01 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 350-351.


44 02
03 Ibn
04 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
I,II, 111.
h. h.
168. 165
315.
Abî Ishâq ‘Amr ibn ‘Abdillâh al-Sabî‘î. Sementara orang yang
menerima hadis dari Isrâ’il ibn Yûnus adalah Al-Aswad ibn

‘Amir Syâdzân, al-Husain ibn Muhammad ibn Bahram al-


Tamîmî Khâlid ibn ‘Abd al-Rahmân al-Kharâsânî, dan sejumlah
orang lainnya. Terdapat pro-kontra penilaian para ahli hadis
terhadap Isrâ’îl, takallama fîhi bi lâ hujjah. Bahkan Ibn al-Barrâ`
dari ‘Alî ibn al-Madinî mengatakan Isrâ’îl dha‘îf. Al-Nasâ’î
mengatakan laisa bih ba’s.405 Ibn Hajar menilainya tsiqah
takallama fîh bi lâ hujjah min al-sâbi‘ah. Ia wafa tahun160 H.
Walapun ada yang mengatakan sesudahnya.406

(4). Abû Ishâq (‘Amr ibn ‘Abdullâh ibn ‘Ubaid) al- Sabî’î al-Kûfî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Usamah ibn Zaid
ibn Hâritsah yang dia tidak mendengar langsung, namun dia
pernah melihatnya. Kemudian dari Hâritsah ibn Wahhâb al-
Khazzâ’î dan Buraid ibn Abî Maryam al-Salûlî. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis darinya adalah ‘Abd al-Rahmân ibn
Humaid ibn ‘Abd al-Rahmân al-Ru`âsî, anaknya Yunus ibn Abî
Ishâq, cucunya Isra’il ibn Yûnus ibn Abî Ishâq, dan lain
sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn Ma’in dan al-
Nasa’î menilainya tsiqah.407 Ibn Hajar menilainya tsiqah muktsir

‘âbid min al-tsâlitsah ikhtalatha bi akhirah.408 Di dalam


Thabaqât al-Mudallsîn dikatakan masyhûr bi al-tadlîs. Walaupun
terjadi perbedaan pendapat kapan dia meninggal, namun yang
terkuat mengatakan tahun 126 H.409

(5). Buraid ibn Abî Maryam Mâlik ibn Rabî‘ah al-Salûlî al-
Bashrî

4 05 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 277-279.


4 06 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 104.
44 07
08 Ibn
09 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,
Taqrîb …,
Thabaqât …,vol.
vol. I,VIII,
vol. h. h. 166
42.56.
h.I, 423.
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Abî
Maryam Mâlik ibn Rabî‘ah, Abî Mûsa ‘Abdillâh ibn Qais al-
Asy‘arî, dan Anas ibn Mâlik. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari Buraid adalah anaknya Yahyâ ibn
Buraid ibn Abî Maryam, anak saudaranya Aus ibn ‘Ubaidillâh al-
Salûlî, Abû Ishâq ‘Amr ibn ‘Abdillâh ibn ‘Ubaid al-Sabî’î, dan
sebagainya. Umumnya para ahli hadis memendangnya tsiqah.410
Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-râbi‘ah. Ia wafat tahun 144
H.411 Demikian menurut Ibn al-Atsîr.

(6). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar ibn
Dhamdham al-Ansharî. Ia masih kecil ketika Nabi melakukan
hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia kepada
Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabi. Anas
yang wafat pada tahun 93 H., merupakan sahabat Nabi Saw. yang
paling akhir di Bashrah. 412

Kualitas hadis: shahîh, karena sanad hadis di atas muttashil dan


perawinya tsiqah.

Hadis yang menjelaskan tentang anjuran supaya


melaksanakan salat sunat sebelum (qablîah) fardhu, antara azân
dengan iqâmat, karena pada saat itu do’a tidak akan ditolak
tersebut di atas, kelihatannya masih ada jalur sanad lain yang
oleh al-Nasâ`î dengan lafal yang sama. Kemudian oleh Ahmad
ibn ‘Alî ibn al-Mutsanna dengan lafal:

.
Artinya: “Ingatlah bahwa do’a (yang dipanjatkan) antara azân
dan iqâmah tidak akan ditolak. Sebab itu, berdo’alah !”

4 10 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 378.


4 11 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 121.
12924,
4 13 Ahmad4ibn ‘Alî h. 353.
Ibn Hajar,
ibn al-Mutsanna,
al-Ishâbah …,
Musnad
vol. I,Abî
h. 312.
Ya ’ la
Juga 167vol.
al-Maushilî,
Ibn Hajar, Is’âfVI,
…,hadis
h. 6.nomor
Kemudian oleh Abû Dâud lewat jalur Muhammad ibn Katsîr,
dengan lafal yang sama dengan riwayat Ahmad ibn Hanbal di atas.414

Adâb al-Naum
Setelah al-Ghazâlî menjelaskan tentang persiapan salat secara
keseluruhan, kemudian dia menjelaskan tentang tata cara tidur (Adâb
al-Naum). Dalam pembahasan ini dia mengemukakan bahwa dalam
sehari semalam ada dua puluh empat jam. Ini dibagi tiga menjadi
delapan jam. Lebih jauh al-Ghazâlî menekankan agar dalam dua puluh
empat jam tersebut tidak lebih dari delapan jam untuk tidur siang dan
malam. Secara implisit dia sama sekali tidak mengemukakan hadis.

Adâb al-Shalâh

Selanjutnya al-Ghazâlî membahas tentang tata cara salat. Dia


mengemukakan satu hadis pada pembahasan ini, yaitu:

(Hadis Nomor 37):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai alasan untuk

menjelaskan betapa pentingnya konsentrasi (khusyu‘) dalam


melaksanakan salat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-
Hasan al-Bashrî bahwa salat yang tidak khusyu’ sama saja dengan
mempercepat siksa (‘uqûbah).
Hadis tersebut telah diriwayatkan

oleh Abû Dâud, al-Nasâ’î dan Ibn Hibbân.416


Secara lengkap sanad-nya adalah sebagaimana diriwayatkan
oleh Abû Dâud:

4 15 Al-Ghazâlî, Bidâyat44…,
14 Abû
16h. 9. Dâud,
Al-Haddâd, Sunan,
Lihat juga vol.al-Samad,
Takhrîj…,
‘Abd I, hadis
Vol. nomor
I, hadis 168
521,
Hidâyat …,1,h.h.h.199.
nomor 125.
116.
" :

."
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya seseorang ... al-
hadîts.

Telâh sanad:
(1). Qutaibah ibn Sa‘îd ibn Jamîl ibn Tharîf al-Tsaqafî

Ia yang populer dengan panggilan Abû Rajâ`


meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Dhamrah Anas ibn
‘Iyâdh, Ayyûb ibn al-Najjâr al-Yamâmî, dan Bakar ibn Mudhar
al-Mishrî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya antara lain al-jamâ ’ah selain Ibn Mâjah. Ibn Mâjah
meriwayatkan hadis daripadanya adalah dengan perantaraan
Ahmad. Pada umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah,
shadûq.418 Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat min al-‘âsyirah.

Qutaibah ibn Sa‘îd meninggal pada tahun 244 H.419

(2). Bakar ibn Mudhar ibn Muhammad ibn Hakîm ibn Salmân
al-Mishrî
Ia yang populer dengan panggilan Abû Muhammad dan
ada yang mengatakan Abû ‘Abd al-Mâlik al-Mishrî
meriwayatkan hadis antara lain dari Ja‘far ibn Rabî‘ah ibn
Syurahbîl ibn Hasanah, Abî Thiwâlah ‘Abdillâh ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn Ma’mar al-Anshârî, dan Muhammad ibn ‘Ajlân.

4 17 Abû Dâud, Sunan,vol.4 1,


18hadis
19 nomorTaqrîb
Ibn Hajar, 796, Bâb
Tahdzîb
…, mâ
vol.jâ`a
…,vol. h. fî454.
I,VIII, 169 al-shalâh, h. 271.
nuqshân
h. 321.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah
anaknya Ishâq ibn Bakar ibn Mudhar, Abû Shâlih ‘Abdullâh ibn
Shâlih, Qutaibah ibn Sa‘îd al-Tsaqafî, dan lain sebagainya.
Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah tsabat.420 Ibn Hajar

menilainya tsiqah tsabat min al-tsâminah.421 Ia wafat tahun 173


H. Demikian menurut Yahyâ ibn ‘Utsmân ibn Shâlih.

(3). Muhammad ibn ‘Ijlân al-Qurasyî


Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘ Abdillâh al-
Madanî meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn
‘Abdillâh ibn Hunain, Bakîr ibn ‘Abdillâh ibn al-Asyjâ, dan
Sa‘îd ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis daripadanya adalah koleganya Ibrâhîm ibn
Abî ‘Ablah al-Muqaddasî, Asbâth ibn Muhammad al-Qurasyî,
Bakar ibn Mudhar, dan lain sebagainya. Pada dasarnya
Muhammad ibn ‘Ijlân adalah shadûq.422 Ibn Hajar menilainya

shadûq illa idzâ ikhtalathat ‘alaih ahâîits Abî Hurairah min al-
khâmisah. Ia wafat tahun 184 H.423

(4). Sa‘îd ibn Abî Sa‘îd Kaisân al-Maqburî


Ia yang populer dengan panggilan Abû Sa‘îd al-Madanî
menerima hadis antara lain dari Abî Hurairah, juniornya Syuraik
ibn ‘ Abdillâh ibn Namr, dan ‘Umar ibn al-Hakam Tsaubân.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
anaknya, ‘Abdullâh ibn Sa‘îd al-Maqburî, Muhammad ibn ‘Ijlân,
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn al-Fadhl al-Makhzûmî, dan lain
sebagainya. Para ahli hadis memandang tsiqah.424 Ibn Hajar
menilainya tsiqah min al-tsâlitsah taghayyara qabla mautihi bi

4 20 Ibn Hajar, Tahdzîb …,vol. I, h. 427.


4 21 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 127.
44 22
23 Ibn
24 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,vol.
Taqrîb …,
Tahdzîb vol.I,IX,
…,vol. h. h.
IV, h. 34.170
303.
496.
arba‘ sinîn. Ia wafat tahun 120 H. Walaupun ada yang
mengatakan sebelum atau sesudahnya. 425

(5). ‘Umar ibn al-Hakam


Nama lengkapnya adalah ‘Umar ibn al-Hakam ibn
Tsaubân al-Hijâzî. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari
‘Abdillâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh, Abî Salamah ibn ‘Abd al-
Rahmân, dan ‘ Abdillâh ibn Ghanamah. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis daripadanya adalah Usâmah ibn Zaid al-
Laitsî, Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn Abî Farût, Sa‘îd ibn Abî Sa‘îd
Kaisân al-Maqburî, dan sebagainya. Ibn Hibban memandangnya

tsiqah.426 Ibn Hajar menilainya shadûq min al-tsâlitsah. Ia wafat


tahun 117 H.427

(6). ‘Abdullâh ibn Ghanamah al-Muzanî


Ia yang populer dengan panggilan Abû Lâs al-Khazâ’î
seorang sahabat meriwayatkan hadis dari Nabi Saw. dan dari
‘Ammâr ibn Yâsir. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah ‘Umar ibn al-Hakam ibn Tsaubân. Menurut
Ya‘qûb ibn Syaibah al-Sadûsî, ia meriwayatkan dua hadis dari
Nabi Saw. tentang zakat.428

(7). ‘Ammâr ibn Yâsir


Ia adalah salah seorang sahabat yang wafat pada perang
Shiffîn pada tahun 37 H. Orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâud, al-Nasâ’î, at-
Turmudzî, dan Ibn Mâjah. Ia termasuk orang yang disiksa karena
mempertahankan keislamannya, sehingga Nabi Saw.
mengatakan:

4 25 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 236.


4 26 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VII, h. 382.
XXXIV, Mu`assasah
4 28 al-Risâlah,
Yûsuf ibn al-Zakî 4 27Beirut,
‘Abd 1980,
al-Rahmân
Ibn Hajar, Abûh.al-Hajjâj
Taqrîb 397. Selanjutnya
…, vol.al-Mazzî, 171
disebutal-Kamâl,
I, h. 411. Tahdzîb al-Mazzî.vol.
.

Ada perbedaan pendapat tentang kepindahannya ke


Habsyah. Namun yang jelas, ia pindah ke Madinah.429
Kualitas hadis: hasan, karena Muhammad ibn ‘Ijlân dalam sanad
hadis tersebut dipandang shadûq. Kemudian ‘Umar ibn al-Hakam yang
dinilai shadûq min al-tsâlitsah sedikit lebih rendah dari kriteria
kualitas shahîh menjadi hasan.430

Adâab al-imâm wa al-qudwah

Kemudian ketika menjelaskan tentang tata cara imam dan


ma’mum (adab al-Imâmah wa al-qudwah), al-Ghazâlî juga tidak
mengemukakan hadis.

Adâb al-Jumu‘ah

Al-Ghazâlî mengemukakan empat hadis ketika berbicara


masalah tata cara Jum’at, yaitu:

(Hadis Nomor 38):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan untuk


menganjurkan agar setiap orang yang sudah dewasa, mandi sebelum

4 29 Ibn Hajar, al-Ishâbah …, vol. IV, h. 575.


4 30 Di dalam sunan Abî Dâud dikemukakan, bahwa Syaikh al-Albânî mengemukakan
kualitas sanad
Shahîh, vol. hadisnomor
V, hadis tersebut hasan.
1889, ZikrDemikian juga Syu’aib
al-Bayân bi`anna al-Arnû’uth.
al-mar`a Lihatba’dhu
yuktabu lahu Ibn Hibbân,
shalâtih
idzâ qashura fî ba’dhi al-akhar, h. 210. Lihat juga al-Albânî, Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, vol.
I, h. 129.4 31 Wajib dalan‘Abdus-Samad, Hidâyat
hadis ini dimaksudkan 132. dianjurkan 172
…, h.sangat
sebagai (sunat mu’akkad). Lihat
pergi salat Jum’at. Secara lengkap sanad-nya dapat dibaca
sebagaimana diriwayatkan oleh Abû Dâud:

:
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Mandi pada hari Jum’at
adalah wajib atas setiap orang dewasa”. 432

Telaah sanad :
(1). ‘Abdullâh ibn Maslamah ibn Qa’nab al-Qa‘nabî

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Îsa ibn Hafsh ibn


‘Âshim ibn ‘Umar ibn al-Khaththâb, Katsîr ibn ‘Abdillâh ibn
‘Amr ibn ‘Auf al-Muzanî, dan Mâlik ibn Anas. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis darinya adalah Abû Dâud, Muhammad
ibn ‘Abdillâh ibn al-Hakam, Muhammad ibn ‘Alî ibn Maimûn,
dan lain sebagainya. Menurut para ahli hadis, ‘Abdullâh ibn
Maslamah adalah tsiqah. Ibn Ma’in mensejajarkan al-Qa‘nabî
dengan Wakî‘.433 Ibn Hajar menilainya

. . Al-Qa‘nabî wafat pada


tahun 221 H.434

(2). Mâlik (Ibn Anas ibn Abî ‘Âmir)


Ia menerima hadis, antara lain dari ‘Amir ibn ‘Abdillâh
ibn al-Zubair, Sa‘îd ibn ‘Amr ibn Syurahbîl ibn Sa‘îd ibn Sa‘d
ibn ‘Ubâdah, dan Shafwân ibn Salîm. Sementara orang yang
menerima hadis darinya adalah Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh ibn Qarîm
al-Anshârî, Abû Mash‘ab Ahmad ibn Abî Bakar al-Zuhrî,

‘Abdullâh ibn Maslamah al-Qa‘nabî, dan lain sebagainya. Para

4 32 Abû Dâud, Sunan, vol. I, Ibn


4 34
33 hadis nomor
Hajar, 341, …,
Tahdzîb
Taqrîb Bâb fî
…,vol.al-ghasl
vol.I,VI, 28.173al-Jum’ah, h.147.
h. yaum
h. 323.
ahli hadis sepakat bahwa Mâlik ibn Anas termasuk orang yang
tsiqah. Ia tidak saja Imâm dalam bidang fikih, tetapi juga dalam
hadis. 435 Ibn Hajar menilainya al-faqîh Imâm dâr al-hijrah ra`s
al-mutqinîn wa kabîr al-mutasyabbitain hingga al-Bukhârî
mengatakan sanad yang paling shahîh adalah sanad Mâlik yang
berasal dari Nâfi‘ dari Ibn ‘Umar, min al-sâbi‘ah. Mâlik wafat
tahun 179 H.436

(3). Shafwân ibn Salîm al-Madanî

Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘Abdillâh


walaupun ada yang mengatakan Abû al-Hârits al-Qurasyî
menerima hadis antara lain dari ‘Athâ` ibn Yasâr, ‘Ubaidullâh
ibn Thalhah ibn ‘Ubaidullâh ibn Karîz, dan Abî Bashrah al-
Ghifârî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya
adalah Ishâq ibn Ibrâhîm ibn Sa‘îd al-Madanî, Abû Ayyûb

‘Abdullâh ibn Alî al-Ifrîqî, Mâlik ibn Anas, dan lain sebagainya.
Para ahli hadis memandangnya tsiqah.437 Ibn Hajar menilainya

. . Ia wafat tahun 132 H.438

(4). ‘Atha` ibn Yasâr al-Hilâlî


Nama panggilan akrabnya adalah Abû Muhammad al-
Madanî al-Qâdhi. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî
‘Abdillâh al-Shanâbihî, Abî Ayyûb al-Anshârî, dan Abî Sa‘îd al-
Khudrî. Sementara orang yang menerima hadis darinya adalah
Abû Salamah ibn ‘Abd al-Rahmân, ‘Imârah ibn ‘Abdillâh ibn
Shiyâd al-Anshârî, Shafwân ibn Salîm, dan lain sebagainya. Ibn
Ma‘în, Abû Zur‘ah, al-Nasâ’i dan sebagainya memandangnya

tsiqah fâdhil.439 Ibn Hajar menilainya tsiqah fâdhil shahib

4 35 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. X, h. 5-9.


4 36 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol. I, h. 516.
44 37
38 Ibn
39 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,
Taqrîb …,
Tahdzîb vol.
…,vol. IV,
vol.I,VII, 174
h.h.373.
h. 276. 194.
mawa ‘ izha wa ‘ibâdah min shighar al-tsaniyah. Ia wafat tahun
94 H.440

(5). Abî Sa‘îd al-Khudrî


Nama lengkapnya adalah Sa‘ad ibn Mâlik ibn Sinân ibn
Tsa’labah ibn ‘Ubaid ibn al-Ajbar ibn ‘Auf ibn al-Hârits ibn al-
Khazraj al-Anshârî al-Khudrî. Ia merupakan salah seorang
sahabat yang turut serta berperang bersama Nabi Saw. sebanyak
dua belas kali. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Nabi Saw.,

‘Abdillâh ibn ‘Abbâs, dan ‘Alî ibn Abî Thâlib. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ismâ‘îl ibn Abî Idrîs,
Abû ‘Amr ibn Basyr ibn Harb al-Nadabî, ‘Athâ` ibn Yasâr, dan
sebagainya. Abû Sa‘îd wafat pada tahun 74 H.441

Kualitas hadis: shahîh, karena semua perawi tsiqah dan sanad-nya


muttashil.
Permasalahannya terletak pada kewajiban mandi tersebut;
apakah wajib dalam arti berdosa (al-mu‘âqab) kalau tidak
dilaksanakan? Hal ini kembali kepada penjelasan di atas. Namun perlu
dijelaskan bahwa selain memperhatikan latar belakang tersebut, juga
bahwa wâjib yang tersebut dalam teks hadis dimaksudkan sangat
danjurkan (muta`akkad fî haqqih), bukan perbuatan yang mendapat
siksa kalau ditinggalkan (al-wâjib al-muhtamm al-mu‘âqab ‘alaih).442

Secara eksplisit (zhâhiriyah) hadis tersebut memperlihatkan


bahwa mandi sebelum Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun untuk
lebih jelasnya perlu dikaji terlebih dahulu apa makna yang tersembunyi
(hikmah, filsafat) dalam hadis tersebut. Dalam riwayat Abû Dâud
tersebut disebutkan kisah seorang sahabat yang menegur sahabat-
sahabat lain karena mereka tidak mandi untuk salat Jum’at. Para

4 40 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 392. Cf. Al-Suyûthi, Is’âf …, h. 21.


4 41 Ibn Atsir, Ushûd …, vol. V, h. 142. Cf. Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 31-32. Cf. Ibn Hajar,
al-Ishâbah
bâligh…,
4 42 Muslim, Shahîh, vol.h.II,
…,
580.
vol. nomor
hadis 78. Bâb wujûb ghasl 175
III, h. 846, al-jum’ah ‘ala kull
sahabat yang tidak mandi tersebut adalah sahabat-sahabat pekerja atau
pedagang yang banyak mengeluarkan keringat, sehingga menimbulkan
aroma yang kurang kondusif. Dalam keadaan seperti itu, mereka hadir
di dalam masjid. Tentu saja kehadiran mereka dalam keadaan seperti
itu mengganggu kenyamanan orang banyak karena aroma yang tidak
nyaman tersebut. Saat itu juga muncul teguran yang berupa sindiran
dari seseorang yang tentu saja ikut merasa terganggu, yaitu:

“Sekiranya kamu mandi (law ightasaltum)”. Ungkapan ini


mengandung arti bahwa orang yang datang ke masjid untuk salat
Jum’at, terutama orang yang banyak mengeluarkan keringat karena
bekerja atau sebab lainnya, sebaiknya terlebih dahulu mandi sebelum
datang ke sana.

Dalam versi lain dikemukakan bahwa latar belakang


munculnya anjuran mandi atas orang yang datang untuk salat Jum’at
adalah berkenaan dengan beberapa orang Irak yang datang kepada Ibn

‘Abbâs dan menanyakan tentang mandi hari Jum’at, apakah wajib atau
tidak. Ibn ‘Abbâs menjawab bahwa mandi tersebut tidak wajib, namun
dimaksudkan agar lebih bersih. Kemudian Ibn ‘Abbâs menerangkan
bagaimana awal kisah anjuran mandi hari Jum’at tersebut. Pada masa
itu kebanyakan orang dalam keadaan miskin dan untuk bekerja,
mereka menggunakan baju tebal yang terbuat dari bulu (shauf, kain
wool) atau katun. Sementara masjid mereka kecil dan rendah. Pada
suatu hari Jum’at di musim panas, Rasulullah Saw. keluar ke masjid.
Dia melihat keringat yang bercucuran hingga membasahi baju yang
tebal. Keringat yang berlebihan itu telah menimbulkan aroma yang
dapat mengganggu kenyamanan orang-orang sekeliling mereka.
Melihat kenyataan ini, Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai sekalian
manusia! Jika keadaan cuaca seperti ini, maka mandilah kamu, dan
pakailah wewangian!”.443

176 Beirut, tt., 97.


4 43 Abû Dâud, Sunan Abî Dâud, Dâr al-Fikr,
Dari riwayat Ibn ‘Abbâs ini dapat diketahui dengan jelas bahwa
kewajiban mandi pada hari Jum’at bukanlah berlaku umum untuk
semua orang dan seluruh situasi. Riwayat ini juga memperjelas
maksud riwayat yang dikemukakan di atas. Dilihat dari aspek makna,
hadis tersebut mempunyai dasar yang cukup kuat. Keberadaan riwayat
yang semakna dengannya, tidak kurang dari 36 jalur (thuruq) dari
berbagai kitab sumber memberi isyarat bahwa hadis tersebut dapat
dipandang shahîh. Misalnya al-Bukhârî,444 al-Turmudzî,445 dan al-
Dârimî.446

(Hadis Nomor 39):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai anjuran agar


jama’ah Jum’at sesegera mungkin menuju masjid dalam melaksanakan
salat Jum’at. Secara lengkap sanad hadis tersebut adalah sebagaimana
riwayat oleh al-Turmudzî:

4 44 Al-Bukhârî, Shahîh, vol. I, hadis nomor 830, Bâb fadhl al-ghasl yaum al-jum’ah …, h.
300.
4 45 Abû al-‘Ula Muh ammad ‘Abdurrahmân al-Mubârakfûrî, Muqaddimah Tuhfah al-
Ahwazî, vol. III, Dâr al-Fikr, Beirut, 1979, h. 6.
Maktabah Dahlan,
4 46 Bandung, ‘Abdullah
Abû Muhammad tt., h. 362.ibn
Cf.‘Abd
al- Dârimî, Sunan,
al-Rahmân vol. I, Sunan
al-Dârimî, hadis al-Dârimî,
nomor 1537,vol. Bâb
I, al-
Ghasl yaum 4al-Jum’ah, 177 …, h. 10.
h. 434. Hidâyat …, h. 133-134. Cf. al-Ghazâlî, Bidâyat
47 ‘Abdus-Samad,
:

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah besabda: "Siapa yang mandi jinâbah
pada hari Jum‘ah, kemudian pergi ke masjid dengan tujuan salat
Jum’at pada saat yang pertama, maka seolah-olah dia menyembelih
qurban seekor unta. Dan siapa yang pergi pada saat yang ke dua, maka
seoleh-olah dia menyembelih seekor lembu. Dan siapa yang pergi pada
saat yang ke tiga, maka dia seolah-olah menyembelih seekor kambing
biri-biri. Dan siapa yang pergi pada saat yang ke empat, maka dia
seolah-olah menyembelih seekor ayam. Dan siapa yang pergi pada saat
ke lima, maka seolah-olah memberi hadiah seekor burung. Dan siapa
yang pergi pada saat yang ke enam, maka seolah-olah memberi hadiah
sebutir telur. Apabila imam keluar, maka dilipat suratan dan diangkat
pena serta Malaikat berhimpun pada sisi mimbar mendengar dzikir".

Telaah sanad:
(1). Ishâq ibn Mûsa ibn ‘Abdillâh ibn Yazîd al-Anshârî

Ia yang populer dengan panggilan Abû Mûsa al-Madanî


tsumma al-Kûfî meriwayatkan hadis antara lain dari Qadhi al-
Madînah Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh ibn Qarîm al-Anshârî, Abî
Dhamrah Anas ibn ‘Iyâdh al-Laitsî, dan Ma‘an ibn ‘Îsa.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh ibn al-Junaid, Ahmad ibn al-Husain ibn
Ishâq al-Shûfî al-Shaghîr, al-Turmudzî, dan lain sebagainya. Para
ahli hadis menilainya tsiqah mutqin. Bahkan dia merupakan
ketua pengadilan di Naisafur. Menurut al-Hakîm, Ishâq ibn Mûsâ

372..
4 48 Al-Turmudzî, 178 ila al-jum’ah, h.
Sunan,vol. I,, hadis nomor 499, Bâb mâ jâ fî al-Tabkîr
pertama kali ke Naisafur pada masa Yahyâ ibn Yahyâ dan kedua
kalinya pada tahun 40 H.449 Ibn Hajar menilainya tsiqah mutqin
min al-‘âsyirah. Ia wafat pada tahun 244 H.450

(2). Ma‘an (Ibn ‘Isa ibn Yahyâ ibn Dinâr al-Asyja’î)

Ia yang populer dengan panggilan Abû Yahyâ al-Madanî


meriwayatkan hadis antara lain dari Ubai ibn al-‘Abbâs ibn Sahl
ibn Sa‘d al-Sâ‘idî, Ishâq ibn Yahyâ ibn Thalhah ibn ‘Ubaidillâh,
dan Mâlik ibn Anas. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Ma’an adalah Ibrâhîm ibn al-Mundzir al-Hazamî, Yahyâ ibn
Ma’in, Ishâq ibn Mûsa al-Anshârî, dan sejumlah orang lainnya.
Para ahli hadis menilai Ma’an tsiqah.451 Ibn Hajar menilainya

. . Ia meninggal di
Madînah pada bulan Syawwâl tahun 198 H.452

(3). Mâlik ibn Anas ibn ‘Âmir


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Âmir ibn
‘Abdullâh ibn al-Zubair, Nâfi‘ yang lebih populer dengan nama
Abû Suhail ibn Mâlik ibn ‘Âmir al-Ashbahî al-Tamimî al-
Madanî, Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî
Sha’sha’ah, dan Sumaî (maula Abû Bakar ibn ‘ Abdillâh ibn al-
Hârits ibn Hisyâm). Sementara orang yang menerima hadis
darinya adalah gurunya Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-
Zuhrî, Yahyâ ibn Sa‘îd al-Anshârî, Ma’an ibn ‘Îsa al-Qazzâz, dan
lain sebagainya. Para ahli hadis sepakat bahwa Mâlik ibn Anas
termasuk orang yang tsiqah. Ia tidak saja Imâm dalam bidang
fikih, tetapi juga dalam hadis. 453 Ibn Hajar menilainya al-faqîh
Imâm dâr al-hijrah ra`s al-mutqinîn wa kabîr al-mutasyabbitain,
hingga al-Bukhârî mengatakan sanad yang paling shahîh adalah

4 49 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 220.


4 50 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 103.
44 51
52 Ibn
53 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Hajar,Tahdzîb …,vol.
Taqrîb …,
…, vol.I,X,
vol. Xh.,h. 179
h.5-9.
542.226.
sanad Mâlik yang berasal dari Nâfi‘ dari Ibn ‘Umar, min al-
sâbi‘ah. Mâlik wafat tahun 179 H.454

(4). Sumai al-Qurasyî al-Makhzumî (maula Abû Bakar ibn


‘Abdillâh ibn al-Hârits ibn Hisyâm)
Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘ Abdillâh al-
Madanî meriwayatkan hadis antara lain dari ayah angkatnya Abî
Bakar ibn ‘Abd al-Rahmân, Ibn al-Musayyab, dan Abî Shâlih
Dzakwân. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadis dari Sumai
adalah anaknya ‘Abd al-Mâlik, Yahyâ ibn Sa‘îd, da Suhail ibn
Abî Shâlih. Keduanya adalah koleganya. Kemudian Mâlik ibn
Anas dan lain sebagainya. Para ahli hadis menilainya tsiqah.455
Ibn Hajar menilainya tsiqah. Pendapat yng terkuat mengatakan ia
wafat terbunuh di Qadîd tahun 130 H.456

(5). Abû Shâlih (Dzakwân) al-Sammân al-Ziyât al-Madanî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn
Dhamrah al-Salûlî, Abî Sa‘îd al-Khudrî, dan Abî Hurairah. Ia
pernah me-mursal-kan hadis dari Abî Bakar. Orang yang
meriwayatkan hadis darinya adalah anak-anaknya; Suhail,
Shâlih, Sumay anak angkat (maulâ) Abû Bakar ibn ‘Abd al-
Rahmân, dan lain sebagainya. Menurut para ahli hadis, Zakwân
adalah tsiqah dan layak dijadikan hujjah hadis yang dia
riwayatkan. 457 Menurut Ibn Hajar Dzakwân tsiqah tsabat min al-
tsâlisah meninggal pada tahun 101 H.458

(6). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari

4 54 Ibn Hajar, Taqrîb ..., vol. I, h. 516.


4 55 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 209.
44 56
57 Ibn
58 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 256.
I,III,203. 180
h. 189.
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.459 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,460 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,


awal tahun ketujuh Hijrîyah. 461 Ia wafat pada tahun 57 H.462
Kualitas hadis: shahîh, karena perawinya tsiqah dan sanad- nya
muttashil.
Hadis tersebut diriwayatkan dari tujuh jalur (thuruq) yang
berbeda, namun melalui jalur sahabat yang sama, yaitu Abî Hurairah.
Misalnya oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan sedikit perbedaan lafal.
Dalam lafal Muslim tanpa kata:

.
Memperhatikan kedua hadis yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî
dengan hadis yang ditemukan dalam kitab sumber induk ada
perbedaan lafadz hadis. Di mana dalam hadis yang dikemukakan oleh
al-Ghazâlî ditemukan lafadz:

Lafal ini hanya ditemukan di dalam hadis riwayat al-Baihaqî


yang berasal dari riwayat ‘Amr ibn Syu‘aib dari ayahnya, dari
kakeknya.464

(Hadis Nomor 40):

4 59Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 16. .


4 60 Ibn Atsir, Ushûd …, vol. V, h. 320.
4 61 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol. IV, Dâr al-Fikri, Bairut, t.t., h. 181.
4 62 Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 33. Lihat juga Ibn Atsir, Ushûd …, vol. V, h. 321.
Muslim, 4Shahîh, kitâb al-Jum’ah
63 Al-Bukhârî, bâbAl-Haddâd,
Shahîh,4 kitâb
64 al-khathîb wa fadhâ`il
al-siwâk
al-Jum’ah Takhrîj
bâb …, vol.yawm
al-Jum’ah, 181
al-Jum’ah,
1, h. 135. hadis
hadis nomor 881;nomor 850.
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan
bahwa orang yang selalu melaksanakan salat tahîyat empat raka’at
dengan membaca surat al-Ikhlâsh sebanyak lima puluh kali setiap
sesudah al-Fâtihah dalam satu raka’at, sekalipun khathib sudah naik
mimbar, tidak akan meninggal selama tempatnya di sorga belum
diperlihatkan kepadanya. Al-Khathîb meriwayatkan hadis tersebut
lewat jalur Mâlik dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar. Kualitas hadisnya sangat

gharîb.Tidak ikemukakan alasan mengapa sangat, kecuali bahwa pada


sanad ada ‘Abdullâh ibn Washîf yang misterius (majhûl).466

(Hadis Nomor 41):

!
.
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan agar
menghentikan segala kegiatan, seperti salat dan bercakap-cakap
sehingga dapat konsentrasi unutk mendengar khuthbah. Sebab
percakapan yang dilakukan ketika khathib sedang berkhuthbah dapat
menghilangkan ‘amal Jum’at itu sendiri. Secara lengkap sanad-nya
adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmudzî:

:
.
Artinya: Rasulullahn Saw. pernah bersabda: “Siapa yang berkata pada
hari Jum’at; diam ! Sementara khathib sedang berkhuthbah, maka sia-
sialah Jum’atnya".

44 65
66 Al-Ghazâlî,
67 Bidâyat
Bidâyat …,
Al-Haddâd, Takhrîj…,
Al-Ghazâlî, h.
h. 10.
…,vol.10. 182 5, h. 144.
I, hadis nomor
Telaah sanad:
(1). Qutaibah

Nama lengkapnya adalah Qutaibah Ibn Sa‘îd ibn Jamîl


ibn Tharîf ibn ‘Abdillâh al-Tsaqafî. Ibn ‘Adî mengatakan bahwa
nama aslinya adalah Yahyâ, sementara Qutaibah adalah laqab-
nya. Sementara menurut Ibn Mundah namanya adalah ‘Alî. Ia
meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abd al-Rahmân ibn Abî al-
Miwâl, Yazîd ibn al-Miqdâm ibn Syuraih ibn Hâni`, dan al-Laits
ibn Sa‘d al-Mishrî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Qutaibah ibn Sa‘îd adalah al-Jama ’ah selain Ibn Mâjah, di
samping dia juga meriwayatkan hadis dari al-Turmudzî,
kemudian Ibn Mâjah melalui Ahmad ibn Hanbal, dan lain
sebagainya. Ibn Ma’in, Abû Hâtim, dan al-Nasâ’ î mengatakan
Qutaibah adalah tsiqah. Al-Nasâ’î menambahkan shadûq. Al-
Hâkim juga mengatakan Qutaibah adalah tsiqah, ma ’mûn.
Sedangkan hadis yang dia riwayatkan dari al-Laits, dari Yazîd
ibn Abî Hubaib, dari Abî al-Thufail, dari Mu‘az ibn Jabal tentang
menghimpun antara dua salat (al-jam‘ bayn al-shalatayn) adalah

maudhu‘. Kemudian dia riwayatkan lewat sanad al-Bukhârî.


Lebih lanjut dia tanyakan dengan siapa Qutaibah meriwayatkan
yang berasal dari al-Laits ibn Sa‘d, hadis Yazîd ibn Abî Hubaib
dari Abî al-Thufail, jawabnya beserta Khâlid al-Mada`inî. Karena
itulah Muhammad ibn Ismâ‘‘l mengatakan Khâlid al-Mada`inî-
lah yang memasukkan beberapa riwayat kepada para guru (al-
Syuyûkh). Namun Abû Sa‘îd ibn Yûnus membantah dengan
mengatakan bahwa yang meriwayatkannya adalah Qutaibah.
Bahkan menurut al-Khâthib, Qutaibah itu munkar jiddan.469 Ibn
Hajar menilainya tsiqah tsabat min al-‘âsyirah. Qutaibah ibn
Sa‘îd meninggal pada tahun 244 H.470

44 68
69 Al-Turmudzî,
70 Sunan,vol.
Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,I,VI,
hadis
h. 454. 183512, h. 387.
nomor
h 488-489.
(2). Al-Laits ibn Sa‘d al-Mishrî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari koleganya ’Abd al-
‘Azîz ibn ‘Abdillâh ibn Abî Salamah al-Mâjisyûn, ‘Abd al-
Rahmân ibn al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abî Bakar al-Shiddîq,
dan ‘Uqail ibn Khâlid ibn ‘Aqîl al-Ailî. Sementara orang yang
menerima hadis darinya adalah Muhammad ibn Ramh ibn al-
Muhâjir al-Mishrî, Yûnus ibn Muhammad al-Mu’addib,
Qutaibah ibn Sa‘îd al-Balkhî, dan lain sebagainya. Para ahli hadis
memandangnya tsiqah.471 Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat
faqih Imam masyhur min al-sabi‘ah. Ia yang lahir tahun 94 H.,
wafat tahun 175 H.472

(3). ‘Uqail ibn Khâlid ibn ‘Aqîl al-`Ailî Abû Khâlid al-Umawî
Ia meriwayatkan hadis, antaara lain dari ayahnya Khâlid
ibn ‘Aqîl, Sa‘îd ibn Sulaimân ibn Zaid ibn Tsâbit, dan
Muhammad ibn Muslim al-Zuhrî. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari ‘Uqail adalah anaknya Ibrâhîm ibn

‘Uqail ibn Khâlid, anak saudaranya Salamah ibn Rauh, al-Laits


ibn Sa‘d, dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya

tsiqah.473 Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat min al-sâdisah. Ia


wafat di Mesir tahun 144 H. Demikian pendapat terkuat.474

(4). Al-Zuhrî (Muhammad ibn Muslim al-Zuhrî)


Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muslim ibn
‘Ubaidullâh ibn ‘Abdillâh ibn Syihâb ibn ‘Abdillâh ibn al-Hârits
ibn Zuhrah ibn Kilâb ibn Murrah al-Qurâsyî. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn ‘Umar ibn al-Khaththâb,
Sa‘îd ibn Khâlid ibn ‘Amr ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân, dan Sa‘îd ibn
al-Musayyib. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari
Muhammad ibn Muslim adalah saudarnya ‘Abdullâh ibn Muslim

4 71 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 459. Cf. al-Zahabî, Tazkirât …, vol. I, h. 224.
44 72
4 73 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol.Ibn
74 IbnV, Hajar,
Hajar, Taqrîb
h. 622-623. …,
TaqrîbCf. vol.
…,Ibn I,
I, h.
vol.Hajar, Lisân,184
h. 464.
397. vol. VII, h. 307.
al-Zuhrî, Muhammad ibn ‘Alî ibn al-Husain, ‘Uqail ibn Khâlid
ibn ‘Aqîl al-`Ailî, dan lain sebagainya. Para ahli hadis sepakat
bahwa Muhammad ibn Muslim al-Zuhrî tsiqat. Ia yang lahir
tahun 51 H. wafat dalam usia 72 tahun pada tahun 123 H. Namun
ada yang mengatakan tahun 125 H. Demikian pendapat yang
terkuat.475 Ibn Hajar menilainya al-faqîh al-hâfizh muttafaq ‘ala
jalâlatih wa ‘itqânih. Ibn Syihâb al-Zuhrî wafat di Mesir tahun
125 H.476

(5). Sâ‘îd ibn al-Musayyab ibn Hazn Abî Wahhâb al-Makhzûmî

Ia menerima hadis antara lain dari ‘Âmir ibn Sa‘d ibn Abî
Waqqâsh, Bashrah ibn Aksam al-Anshârî, dan Abî Hurairah.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah ‘Amr
ibn Muslim ibn ‘Imârah ibn Akîmah al-Laitsî, anaknya
Muhammad ibn Sa‘îd ibn al-Musayyab, Muhammad ibn Muslim
ibn Syihâb al-Zuhrî, dan lain sebagainya. Para ahli hadis
memandang Ibn al-Musayyab tsiqah. Namun, ia banyak
meriwayatkan hadis dari para sahabat yang tidak dia temui,
seperti Abû Bakar, ‘Umar, dan sahabat lain secara mursal.477 Ibn
Hajar menilainya

. . Ia wafat tahun
94 H. dalam usia 75 tahun.

(6). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.479 Ia digelari Abû Hurairah karena sering

4 75 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VII, h. 420-424. Cf. al-Zahabî, Tazkirât …, vol. I, h. 113.
4 76 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 506.
77 Al-Suyûthî,
4 79
78 Tahdzîb
Ibn Hajar, Taqrîb …,vol.
Is’âf …,
…, h.vol.
I,IV,
16. h. 241. 185
h. 11-14.
menggendong kucing,480 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,


awal tahun ketujuh Hijrîyah.481 Selain meriwayatkan hadis dari
Nabi Saw., Abû Hurairah meriwayatkan hadis dari Bashrah ibn
Bashrah al-Ghifârî, Usâmah ibn Zaid ibn Hâritsah dan
sebagainya. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
dari padanya, antara lain Abû al-Walîd ‘Abdullâh ibn al-Hârits
al-Bashrî, Abû Salamah ‘Abdullâh ibn Râfi’ al-Hadhramî al-
Mishrî. Ia wafat pada tahun 57 H.482

Memperhatikan hadis yang dikutip dari kitab Bidâyat …


dengan kitab sumber ditemukan perbedaan. Dimana dalam hadis
yang dikutip dari kitab sumber tidak ditemukan kalimat:

Kalimat tersebut diriwayatkan oleh Abû Dâud dari jalur


‘Alî, dengan lafal:

." "

Kelihatannya walaupun dalam sanad tersebut di atas ada


Qutaibah yang dituduh munkar al-hadîts, kualitas hadisnya
adalah shahîh. Hal ini dikarenakan yang menilainya seperti itu
hanyalah al-Khâthib saja, di samping hadis tersebut dianggap
memenuhi persyaratan shahîhain.483

Kualitas hadis: shahîh, semua perawi yang terlibat dalam sanad


memenuhi kriteri shahih.

4 80 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.


4 81 Ibn
4 82Katsîr, al-Bidâyah
Al-Suyûthî, Is’âf wa
4 83 an-Nihâyah,
…,Al-Haddâd, vol. IV,
IbnDâr
h. 33. LihatTakhrîj…,
juga al-Fikri,
Atsîr,
vol. I,
Ushûd 186
hadisBairut,
…, vol.t.t.,
nomor 1, h.
h. 181.
V, h.139.
321.
Hadis yang menjelaskan “Agar menghentikan segala
percakapan setelah khathib naik mimbar” tersebut di atas, kelihatannya
hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan oleh al-Turmudzî dengan

kualitas shahîh. Abû Dâud yang juga meriwayatkan dengan lafal: "

" dengan kualitas shahîh.484

Adâb al-Shîyâm
Setelah menjelaskan tentang tata cara (adâb) Jum’at, al-Ghazâlî
selanjutnya menjelaskan tentang tata cara puasa. Al-Ghazâlî
mengemukakan sebanyak lima hadis terkait dengan masalah tata cara
puasa (Adâb al-Shîyâm) ini, yaitu:

(Hadis Nomor 42):

.
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan
bahwa puasa tidak hanya sekedar menahan makan dan minum serta
hubungan suami isteri. Secara lengkap sanad-nya dapat dibaca
sebagaimana riwayat Ahmad:

:
:
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda :”Banyak di antara orang
yang berpuasa dia tidak mendapat apa-apa dari puasanya selain rasa
lapar, dan banyak di antara orang yang melaksanakan salat (malam)
yang tidak memperoleh apa-apa dari salatnya itu selain jaga
malam".

44 84 Demikian menurut
85 Al-Ghazâlî, Abû
Bidâyat …, Isa.
4 86 Ahmad Lihat
h. ibn
11. al-Turmudzî,
Hanbal,
Lihat juga
Musnad, Sunan,vol.
‘Abdus-Samad,
vol. II , hadis 187
I, hadis
Hidâyat
nomor nomor
…,9683, 512,
h. 156. h. 387.
h. 441.
Telaah sanad:
(1). Abû Khâlid al-Ahmar

Nama lengkapnya adalah Sulaimân ibn Hayyân al-Azdî,


lebih dikenal dengan Abû Khâlid al-Ahmar al-Kûfî al-Ja‘farî. Ia
meriwayatkan hadis antara lain dari al-Hârits ibn ‘Abd al-
Rahmân ibn Abî Dzubâb, al-Ajlah ibn ‘Abdillâh al-Kindî, dan
Usâmah ibn Zaid al-Laitsî. Sementara orang yang meriwayatkan
hadis dari Abî Khâlid Sulaimân ibn Hayyân al-Azadî adalah
Ahmad ibn Hâtim al-Thawîl, Yûsuf ibn Mûsa al-Qaththân,
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, dan sebagainya. Termasuk
gurunya Muhammad ibn Ishâq meriwayatkan hadis darinya.
Sementara Humaid ibn al-Rabî‘ adalah orang yang paling
terakhir meriwayatkan hadis darinya. Di antara ahli hadis ada
yang menilainya tsiqah. Namun kelihatannya lebih banyak yang
men-dha‘îf-kannya, seperti al-Dârimî dan al-Nasâ’î yang berasal
dari Ibn Ma’in, mengatakan laisa bihi ba’ s. Bahkan al-Daurî
mengatakan yang juga berasal dari Ibn Ma’in shadûq yukhthi`,
sehingga laisa bi hujjah.487 Ibn Hajar menilainya shadûq yukhthi`
min al-tsâminah. Ia wafat pada tahun 190 H.488

(2). Usâmah ibn Zaid al-Laitsî

Ia yang lebih populer dengan panggilan Abû Zaid al-


Madanî meriwayatkan hadis antara lain dari Hafsh ibn
‘Ubaidillâh ibn Anas ibn Mâlik, Sa‘îd ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî,
dan Sa‘îd ibn al-Musayyib. Sementara orang yang meriwayatkan
hadis darinya adalah Abû al-Aswad Humaid ibn al-Aswad, Abû
Usâmah Hammâd ibn Usâmah, Abû Khâlid Sulaimân ibn
Hayyân al-Ahmar, dan lain sebagainya.489 Ibn Hajar menilainya

. Usâmah ib Zaid wafat tahun 153 H.490

4 87 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. III, h. 467-468.


44 88
89 Ibn
90 Ibn Hajar,
Hajar, Tahqrîb
Tahdzîb …,
Tahqrîb …, vol.
…, vol. I.
vol. I.I, h. 183.188
h. 250.
h. 98.
(3). Sa‘îd ibn al-Musayyab

Ia menerima hadis dari Abî Hurairah, Abî Salmah, Ibn


‘Abbâs,’Amr ibn al- ‘Ash, Abî al-Dardâ’, Hâkim ibn Hizam, dan
lai-lain. Orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah anaknya,
Muhammad, Salim ibn ‘Abdillâh, al-Zuhrî, Qatâdah, Syarîk ibn
Abî Namr, Abû al-Zanâd, dan lain sebagainya. Para ahli hadis
memandang Ibn al-Musayyab tsiqah. Namun, ia banyak
meriwayatkan hadis dari para sahabat yang tidak dia temui,
seperti Abû Bakar, ‘Umar, dan sahabat lain secara mursal.491 Ibn
Hajar menilainya

. . Ia wafat tahun 94 H.
dalam usia 75 tahun.

(4). Abî Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.493 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,494 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing). Pada masa

Jahilîyah, ia bernama ‘Abd Syams dengan panggilan Abû al-


Aswad.495 Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang

Khaibar, awal tahun ke tujuh Hijrîyah.496 Ia wafat pada tahun 57


H.497

4 91 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 11-14.


4 92 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 241.
4 93 Al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.
4 94 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.

4 96 Ibn
4 97Katsîr,
Al-Suyûthî, 4 95
al-Bidâyah
Is’âf …,Al-Dzahabî,
wa h. 33. Lihat Tadzkirah…,
al-Nihâyah, vol.
jugaIV,
IbnDâr vol.
Atsîr,
al-Fikri,
Ushûd 189vol.t.t.,V,h.h.181.
I, h.Bairut,
32.
…, 321.
Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Abû Khâlid al-Ahmar
dan Usâmah ibn Zaid yang dipandang sama-sama shadûq.

Hadis yang menjelaskan bahwa puasa tidak hanya sekedar


menahan rasa lapar dan haus serta hubungan suami isteri, juga
diriwayatkan oleh al-Dârimî dengan lafal:

.
498

(Hadis Nomor 43):

Hadis tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan


bahwa ada lima hal yang membatalkan puasa yaitu berdusta,
bergunjing, adu domba, sumpah palsu, dan nafsu syahwat. Selain itu,
hadis ini juga digunakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan agar selalu
menjaga diri dari berdusta, mengupat, dan mengadu domba sesama
dan seluruh perkataan yang keji, termasuk juga berbantah-bantah.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Jâbir, kemudian al-Dailamî lewat
jalur Anas, yaitu:

Al-Azdî meriwayatkannya dalam deretan hadis-hadis dha‘îf


yang berasal dari riwayat Jâbân. Sekalipun Abû Hâtim menilainya

4 98 Al-Dârimî, Sunan, vol. II, hadis nomor 2720, Bâb fî al-Muhâfazhah ‘ala al-Shaum, h.
4599 390.
00Al-Ghazâlî,
Al-MuttaqîBidâyat
al-Hindî,…,Kanz
h. 11.
…,Cf.
vol.
‘Abdus-Samad, 19023820,
VIII, hadis nomor
Hidâyat …, h. 795.
157.
laisa bi hujjah, namun Ibn Hibbân tetap memasukkannya dalam
deretan orang-orang tsiqah.501 Sementara Ibn Hajar menilainya
setingkat maqbûl min al-râbi‘ah.502 Menurut Abû Hâtim bahwa
perkataannya jâbir tashhîf adalah bohong besar.503 Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kualitas sanad-nya adalah hasan.

(Hadis Nomor 44):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk mendorong agar


lebih banyak melaksanakan puasa setelah mengetahui bahwa puasa itu
sendiri merupakan pondasi seluruh ibadat dan pintu masuk untuk
mendekatkan diri kepada Allâh Swt.

Hadis ini juga merupakan penguat terhadap hadis sebelumnya,


bahwa puasa merupakan benteng (junnah); Secara lengkap sanadnya
dapat dibaca sebagaimana riwayat Ahmad.

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Puasa merupakan
benteng, karena itu apabila salah seorang kamu melaksanakan puasa,
maka janganlah dia menggauli isterinya dan jangan bodoh ! Jika
seseorang ingin membunuh atau mengajak berkelahi atau memakinya,

5 01 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. II, h. 33.

5 04 Al-Ghazâlî,55 Bidâyat
02 Ibn Hajar,
…, h. Taqrîb
03 Al-Haddâd, 11. Cf.…,
Takhrîj vol. I, h.
‘Abdus-Samad,
…, vol, I, hadis 191
136.Hidâyat
nomor …,
4, h.h.190.
158.
maka sebaiknya dia mengatakan: aku sedang puasa, aku sedang
puasa".

Telaah sanad:
(1). Yazîd ibn Hârûn ibn Wadî

Ada yang mengatakan Zâdzân ibn Tsâbit al-Sulamî, anak


angkat (mawla) Abû Khâlid al-Wâsithî. Ia meriwayatkan hadis
antara lain dari Abân ibn Yazîd al-‘Aththâr, Ishâq ibn Yahyâ ibn
Thalhah ibn ‘Ubaidillâh, dan Muhammad ibn Ishâq ibn Yasâr.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Ibrâhîm ibn Ya‘qûb al-Jûzjânî, Ahmad ibn Ibrâhîm al-Daurûqî,
Ahmad ibn Hanbal, dan sebagainya. Pada umumnya para ahli
hadis menilainya tsiqah mutqin ‘âbid.506 Ibn Hajar menilainya

tsiqah mutqin ‘âbid min al-‘âsi‘ah. Ia wafat pada tahun 204 H. 507

(2). Muhammad (ibn Ishâq ibn Yasâr) Abû Bakar al-Madanî


Ia yang juga dikatakan Abû ‘Abdillâh meriwayatkan
hadis antara lain dari Abî Umayyah ‘ Abd al-Karîm ibn Abî al-
Mukhâriq al-Bashrî, ‘Ubaidillâh ibn ‘Abdillâh ibn ‘Umar ibn al-
Khaththâb, dan pamannya Mûsa ibn Yasâr. Sementara orang
yang menerima hadis dari Muhammad ibn Yasâr adalah Ibrâhîm
ibn Sa‘d ibn Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, Jarîr ibn

‘Abd al-Hamîd, Ziyâd ibn ‘Abdillâh al-Bukâ`î, dan sebagainya.


Para ahli hadis memenadangnya shadûq yudallis.508 Ibn Hajar
menilainya shadûq yudallis wa rumiya bi al-tasyayyu‘ wa al-
qadr min shighâr al-khâmisah. Muhammad ibn Ishâq meninggal
pada tahun 150 H.509

5 05 Ahmad ibn Hanbal, Musnad, vol. I, hadis nomor 8045 dan 8113, h. 306 dan 313.
5 06 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. XI, h. 321.
55 07
08 Ibn
09 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …, vol.
vol.I,
…,Vol. h. h. 34.192
h. 606.
I,IX, 467.
(3). Mûsa ibn Yasâr al-Mathlibî
Ia hanya meriwayatkan hadis dari Abî Hurairah.
Sementara orang yang menerima hadis darinya adalah anak
saudaranya Muhammad ibn Ishâq ibn Yasâr, ‘Abd al-Rahmân
ibn al-Ghâsil, ‘Ubaidullâh ibn ‘Umar al- ‘Umrî, Abû Ma‘syar
Najîh ibn ‘Abd al-Rahmân al-Madanî, Dâud ibn Qais al-Farra’,
dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah.510
Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-râbi‘ah.511 Belum ditemukan
keterangan lebih lanjut kapan dia meninggal.

(4). Abî Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan, bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.512 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,513 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,


awal tahun ke tujuh Hijrîyah. 514 Ia wafat pada tahun 57 H.515
(5). Abû al-Zinâd
Namanya adalah ‘Abdullâh ibn Dzikwân, Abû ‘Abd al-
Rahmân al-Madanî. Ia adalah maula Banî Umayyah yang lebih
dikenal dengan nama panggilan Abû al-Zinâd. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân, Abî
Umâmah As‘ad ibn Sahl ibn Hanîf, dan ‘Abd al-Rahmân ibn
Hurmuz al-A‘raj. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
darinya adalah kedua anaknya Abû al-Qâsim, dan ‘Abd al-

5 10 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 432.


5 11 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 554.
5 12 Al-Suyûthî, Is’âf, h. 16.
55 13
5 15 Al-Suyûthî, Is’âf …,Ibn
14 Ibn Atsîr,
h. 33.
Katsîr,Ushûd
Lihat juga…,
Ibnvol.
al-Bidâyah …,V,h.h.
Atsir, Ushûd
181. 193vol. V, h. 321.
320. …,
Rahmân, ‘Abd al-Rahmân ibn Ishâq al-Madanî serta yang
lainnya. Menurut al-Bukhârî bahwa sanad yang paling sahih
lewat jalur Abû Hurairah adalah yang diriwayatkan oleh al-A’raj
karena bersumber dari Abû al-Zinad.516 Ibn Hajar menilainya

tsiqah faqîh min al-khâmisah. Abu al-Zinad meninggal secara


mendadak pada bulan Ramadhân tahun 130 H.dalam usia 66
tahun.517

(6). Al-A‘raj Abû Dâud al-Madanî


Nama lengkapnya adalah ‘ Abd al-Rahmân ibn Hurmuz.
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Abî Hurairah, Asîd ibn
Râfi’ ibn Khudaij, dan Asy’ats ibn Sa‘d ibn Abî Waqqâsh.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Asîd
ibn Yazîd al-Madînî, Abû al-Zubair Muhammad ibn Muslim al-
Makkî, Abû al-Zinâd ‘Abdullâh ibn Dzikwân, dan sebagainya.
Yahyâ dan al- ‘Ajlî memandangnya tsiqah.518 Ibn Hajar
menilainya tsiqah tsabat ‘âlim. Ia wafat di Iskandarîah pada
tahun 117 H.519

(7). Abû Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.520 Ia digelari Abû Hurairah karena sering
menggendong kucing,521 sehingga Rasulullah Saw.
memanggilnya Abû Hurairah (ayah kucing).

5 16 Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 15-16. Lihat juga, Al-Zahabî, Tazkirât …, vol. I, h. 134.


5 17 Ibn Hajar, Taqrîb …, Vol. I, h. 302.
5 18 Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 19. Lihat juga Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VI, h. 290.
55 19
20 Ibn
21 Hajar,Ushûd
Jalâluddin
Ibn Atsîr, Taqrîb …,vol.
Vol.V,I, h.
‘Abd al-Rahmân
…, h. 352. 194Is’âf …, h. 16.
al-Suyûthî,
320.
Abû Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar,
awal tahun ketujuh Hijrîyah. 522 Ia wafat pada tahun 57 H.523
Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Muhammad ibn Ishâq
yang dinilai shadûq.

Ketika berbicara tentang puasa, al-Ghazâî mengemukakan satu Hadis


qudsî, yaitu:

:
.
524

Hadis ini masih berbicara masalah pahala puasa. Di dalam


kitab al-Ittihâf diriwayatkan dengan lafal:

.
. .

(Hadis Nomor 45):

5 22 Ibn Katsîr, al-Bidâyah …, h. 181.


5 23 Al-Suyûthî, Is’âf …, h. 33. Lihat juga Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 321.
5 24 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 11.
5 25 ‘Abd al-Ra’ûf ibn Taj al-‘Ârifîn ibn Zain al-‘Âbidîn al-Haddâd, al-Ittihâf al-Sunnîyah
bi
vol.al-Ahâdîts
II, h. 673;al-Qudsîyah,
Muslim, vol.vol. I,5 h.
Shahîh,vol.
VIII, h. 4;
26II, al-Haddâd,
210. Takhrîj
h. 87; al-Nasâî,
‘Abdus-Samad, …,
Sunan,
Hidâyat vol. IV,
…, vol.
glm. I, 195
160.h.h.186;
162;al-Bukhârî,
Ibn Hibbân,Shahîh,
Shahîh,
Sebagaimana hadis sebelumnya, hadis ini juga dikemukakan
oleh al-Ghazâlî sebagai landasan agar gemar melaksanakan puasa, baik
sunat maupun wajib. Sebab di dalam sorga ada satu pintu yang
bernama al-Rayyân, dikhususkan bagi tempat lewat orang-orang yang
melaksanakan puasa. Secara lengkap sanad hadis tersebut adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mâjah:

.
Artinya: Bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya di dalam
sorga ada satu pintu, namanya al-Rayyân. Pada hari kiamat akan diseru
orang-orang yang selalu berpuasa. Siapa di antara mereka yang
memasukinya tidak akan lapar dan haus selamanya".

Telaah sanad:
(1). ‘Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm al-Dimasyqî Abû Sa‘îd Duhaim

Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Dhamrah


Anas ibn ‘Iyâdh, Abî Usâmah Hammâd ibn Usâmah, dan
Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Abî Fudaik. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis darinya adalah Ahmad ibn Anas ibn Mâlik
al-Muqri` Ibrâhîm ibn Ishâq al-Harabî, Ibn Mâjah, dan
sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah mutqin
hâfizh dan layak dijadikan hujjah.528 Ibn Hajar menilainya tsiqah
hâfizh mutqin min al-‘âsyirah. Ia wafat dalam usia 75 tahun pada
bulan Ramadhân tahun 245 H.529

(2). Ibn Abî Fudaik (Muhammad ibn Ismâ‘il ibn Muslim)

5 27 Ibn Mâjah, Sunan, vol.


5 29I, hadis
28 nomor
Ibn Hajar, 1640,…,
Tahdzîb
Taqrîb Bâb MâI,V,
…,vol.
vol. jâ`a
h. h.
335. 196al-Shiyâm, h. 525.
fî44-46.
fadhl
Nama Abû Fudaik adalah Dînâr al-Dailî. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn Ismâ‘ îl ibn Abî Habîbah,
ayahnya Ismâ‘îl ibn Muslim ibn Abî Fudaik, dan Hisyâm ibn
Sa‘d. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Abû al-Azhar Ahmad ibn al-Azhar ibn Manî’ al-Naisâfûrî, Abû
Bakar Ahmad ibn Muhammad ibn Abî Bakar ibn Sâlim ibn

‘Abdillâh ibn ‘Umar al-Sâlimî, ‘Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm


Dahîm, dan lain sebagainya. Ibn Hibbân mengelompokkannya
dalam kategori tsiqah. Al-Nasâ’î memandangnya laisa bihi ba’s.
Sementara Ibn Sa‘d mengatakan bahwa ia orang yang banyak
meriwayatkan hadis, namun hadisnya tidak dapat dijadikan
hujjah (laisa bi hujjah). Ibn Ma’in memandangnya tsiqah.
Menurut al-Bukhârî dan yang terkuat, ia wafat tahun 200 H.530 Di
dalam Taqrîb ia dipandang shadûq min shighâr al-tsâminah.531

(3). Hisyâm ibn Sa‘d al-Madanî


Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘Ibâd, bahkan ada
yang mengatakan Abû Sa‘îd meriwayatkan hadis antara lain dari
Sa‘îd ibn Abî Sa‘îd al-Maqburî dan Abî Hâzim Salamah ibn
Dînâr. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah
Asbâth ibn Muhammad al-Qurasyî, Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn
Abî Fudaik, dan sebagainya. Abû Hâtim mengatakan yang dia
terima dari Ahmad, bahwa Hisyâm bukanlah orang yang kuat
hafalannya. Walaupun hadisnya tetap dikoleksi, namun tidak
untuk dijadikan sebagai hujjah. ‘Abdullâh ibn Ahmad
mengatakan, yang dia terima dari ayahnya, Hisyâm ibn Sa‘d
adalah begini dan begitu, sehingga Yahyâ ibn Sa‘îd tidak mau
meriwayatkan hadis darinya. Abû Thâlib mengatakan, yang dia
terima dari Ahmad, mengatakan bahwa Hisyâm ibn Sa‘d bukan
orang yang mampu menilai hadis. Al-Daurî mengatakan, yang
dia terima dari Ibn Ma’ in, bahwa Hisyâm ibn Sa‘d dha‘îf.

5 31
30 Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,IX, h. 61.197
h. 468.
Demikian juga Ya‘qûb ibn Sufyân mengelompokkannya dalam
deretan orang-orang dha‘îf. Namun seperti yang dikemukakan
oleh Ibn Abî Syaibah dari ‘Alî ibn al-Madinî, layak (shâlih),
namun tidak kuat.532 Ibn Hajar menilainya shadûq lahu auhâm
wa rumiya bi al-tasyayyu‘ min kubbâr al-sâbi‘ah. Ia wafat tahun
160 H.533

(4). Abû Hâzim (Salamah ibn Dînâr)


Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Ibrâhîm ibn ‘Abd
al-Rahmân ibn ‘Abdillâh ibn Abî Rabî‘ah al-Makhzûmî, Sa‘îd
ibn al-Musayyib ibn Hazm ibn Abî Wâhân ibn ‘ Amr, dan Sahl
ibn Sa‘d ibn Mâlik. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Abî Hâzim adalah Abû Sulaimân Bakar ibn Salîm al-
Shawwâb al-Madanî, Hisyâm ibn Sa‘d, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis menilai Abî Hâzim tsiqah.534 Ibn Hajar
menilainya tsiqah ‘âbid min al-khâmisah. Ia wafat pada masa
Khalîfah al-Manshûr (tahun 135 H.)535

(5). Sahl ibn Sa‘d ibn Mâlik ibn Khâlid al-Anshârî al-Khazrajî
al-Sâ’idî
Ia yang populer dengan panggilan Abû al-‘Abbâs dan ada
yang mengatakan Abû Yahyâ adalah salah seorang sahabat yang
meriwayatkan hadis antara lain dari Nabi Saw., ‘Âshim ibn ‘Adî
al-Anshârî, dan dari koleganya Marwân ibn al-Hakam.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya
adalah Ziyâdah ibn ‘Abdillâh ibn Zaid ibn Marba’ al-Anshârî al-
Hâritsî, Abû Hâzim Salamah ibn Dînâr al-Madanî, anaknya

‘Abbâs ibn Sahl ibn Sa‘d al-Sâ’idî, dan sebagainya. Sahl ibn Sa‘d
juga merupakan seorang sahabat yang terakhir wafat di Madinah,
yaitu pada tahun 88 H. Namun ada yang mengatakan bahwa Sahl

5 32 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. XI, h. 37.


55 33
34 Ibn
35 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 572.
I,III,247. 198
429-431.
ibn Sa‘d wafat dalam usia 100 tahun pada tahun 91 H.. Ia juga
termasuk salah seorang sahabat yang lama hidup (panjang
umur).536

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Ibn Abî Fudaik yang
dinilai shadûq dan Hisyâm ibn Sa‘d, bahkan shadûq lahu ahâm.

Hadis yang menjelaskan anjuran puasa, karena di dalam sorga


ada satu pintu yang bernama al-Rayyân, hanya bisa dilalui oleh orang-
orang yang selalu melakukan puasa, baik sunat apalagi wajib tersebut
di atas, selain riwayat Ibn Mâjah, ada sebanyak 23 jalur (thuruq) sanad
hadis, antara lain diriwayatkan oleh al-Bukhârî,537 Muslim,538 Ahmad
ibn Hanbal,539 al-Turmudzî,540 dan al-Nasâ`î.541 Dengan adanya
beberapa mutâbi‘ tersebut dapat menambah kuatnya kualitas hadis

tersebut di atas dari dha‘îf menjadi hasan li ghairih.

C. Hadis-Hadis Tentang Ijtinâb al -Ma’ âshî


Kalau sebelumnya al-Ghazâlî berbicara tentang amal ibadah
loyalitas (al-thâ‘ah), selanjutnya dia membicarakan mengenai antisipasi
ma’shîat (ijtinâb al-ma ‘âshî). Ketika berbicara masalah meninggalkan
larangan (tark al-ma ‘âshî) yang jauh lebih berat, al-Ghazâlî
mengemukakan satu hadis, yaitu:

(Hadis Nomor 46):

542

Hadis tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan


bahwa meninggalkan ma ‘shîyah sebagaimana dikemukakan sebelumnya,

5 36 Ibn Hajar, Is’âf …, h. 13. Lihat juga Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. II, h. 320-321.
5 37 Al-Rayyân merupakan lafal (shighat) mubâlaghah. Artinya, lawan dari dahaga (al-
‘athasy). Lihat al-Bukhârî, Shahîh, vol. I, hadis nomor 3084, Bâb al-Rayyân li al-shâ`imîn, h. 671.
5 38 Muslim, Shahîh,vol. I, hadis nomor 166, Bâb fadhl al-shiyâm, h. 808..
5 39 Ahmad ibn Hanbal, Musnad, vol.V, hadis nomor 22869, h. 333.
5 40 Al-Turmudzî, Sunan,5vol. III, hadis nomor
41 Al-Ghazâlî,
42 Al-Nasâ’î, 765,
Sunan,
Bidâyat
vol.
…,Bâb
IV, Mâ
11. jâ`a
h. hadis fî199
nomor fadhl al-shiyâm,
2237, h. 168. h. 137.
meninggalkan keinginan hawa nafsu (tark al-syahwah) misalnya, tidak
semua orang dapat melaksanakannya kecuali orang-orang yang jujur dan
komit dengan agamanya (al-shiddîqûn). Mereka itulah muslim sejati.
Secara lengkap sanad hadisnya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh
Ahmad:

:
: . : . :
: . :
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Tahukah kalian tentangg
muslim ? Mereka menjawab: Allâh dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah
mengatakan, yaitu orang yang selamat muslim lain dari lidah dan
tangannya. Sabda Nabi: Tahukah kalian tentang mukmin ? Mereka
menjawab: Allâh dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah Saw. mengatakan:
Orang yang memberi rasa aman terhadap jiwa dan harta mukmin lain.
Sedangkan orang yang berhijrah, yaitu orang yang meninggalkan
kejahatan dan dia hindari.

Telaah sanad:
(1). Zaid ibn al-Hubâb ibn al-Rayyân

Ada yang mengatakan Ibn Rûmân Abû al-Husain al-Tamîmî.


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Katsîr ibn ‘Abdillâh ibn ‘Amr
ibn ‘Auf al-Muzanî, Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî
Dzi`b, dan Mûsa ibn ‘Ulai ibn Ribâh al-Lakhamî. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis darinya adalah Abû ‘Ubaidah Ahmad ibn

‘Abdillâh ibn Abî al-Safar al-Kûfî, Ibrâhîm ibn Ya‘qûb al-Juzjânî,


Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, dan sebaganya. Para ahli hadis
juga bervariasi dalam menilai Zaid ibn al-Hubâb. ‘Alî ibn al-Madînî
dan al-‘Ajlî menilainya tsiqah. Abû Hâtim menilainya shadûq shâlih.
2006925, h.206..
5 43 Ahmad, Musnad, vol., II, hadis nomor
Namun Ahmad ibn Hanbal menilainya katsîr al-khatha’ . Ia wafat
230 H. Demikian dikemukakan Abû Hisyâm al-Rifa’î dan lainnya.544
Ibn Hajar menilainya shadûq yukhthi` fî hadîts al-Tsaurî min al-
Tâsi‘ah. Zaid ibn al-Hubâb wafat tahun 230 H.545

(2). Mûsa ibn ‘Ulai ibn Ribâh al-Lakhamî Abû ‘Abd al-Rahmân al-
Mishrî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Yahyâ ‘Ulai ibn Ribâh
al-Lakhamî, Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, dan
Hibbân ibn Abî Jablah. Sementara orang yang menerima hadis dari
Mûsa ibn ‘Ulai adalah Usâmah ibn Zaid al-Laitsî yang merupakan
seniornya, kemudian Abû al-Hârits Rûh ibn Shalâh Siyâbah ibn

‘Amr al-Muwashshalî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis


menilainya tsiqah.546 Namun di dalam Taqrîb dikatakan bahwa dia

shadûq rubama akhtha`a min al-sâbi‘ah. Ia wafat di Iskandarîyah


tahun 163 H.547

(3). Abî (‘Ulai ibn Ribâh al-Lakhamî Abû ‘Abdillâh al-Mishrî)


Ia biasa dipanggil Abû ‘Abdillâh dan ada yang mengatakan
Abû Mûsa. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Amr ibn al- ‘Ash,
Surâqah ibn Mâlik ibn Ja‘syam, ‘Abd al-‘Azîz ibn Marwân ibn al-
Hakam, dan ‘Abdillâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis darinya adalah anaknya Mûsa ibn ‘Ulai
ibn Ribâh, Abû Hâni` Hamîd ibn Hâni` al-Khaulânî, Yazîd ibn Abî
Habîb, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah. Ada
yang mengatakan ia wafat tahun 114 H. Namun al-‘Addâs
mengatakan tahun 117 H.548 Ibn Hajar menilainya tsiqah min kubbâr
al-tsâlitsah.549

5 44 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. III, h. 219-220.


5 45 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 347.
5 46 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 417-418.
55 47
48 Ibn
49 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
I,V, 553.
h. h.
401. 201
682-684.
(4). ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh
Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh ibn
Wâ`il ibn Hâsyim ibn Sa‘îd ibn Sahm ibn ‘Amr ibn Hushaish ibn
Ka‘b ibn Lu’ai al-Qurasyî al-Sahmî. Ia seorang sahabat yang lebih
dulu masuk Islam dari ayahnya meriwayatkan hadis antara lain dari
Nabi Saw., Surâqah ibn Mâlik ibn Ja’syam, dan ayahnya ‘Amr ibn
al-‘Âsh. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis darinya
adalah Ibrâhîm ibn Muhammad ibn Thalhah ibn ‘Ubaidillâh, Abû
Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanîf, Ya‘qûb ibn ‘Âshim ibn ‘Urwah
ibn Mas‘ûd al-Tsaqafî, dan sebagainya. Ibunya adalah Rabthah bint
Munabbih ibn al-Hajjâj al-Sahmî. ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh
meninggal tahun 63 H. Namun ada yang mengatakan tahun 67 H. di
Thâ’if.550

Kualitas hadis :dha‘îf, karena dalam sanad ada Zaid ibn al-Hubâb ibn al-
Rayyân yang dipandang shadûq yukhthi` dan Mûsa ibn ‘Ulai yang
dipandang shadûq rubamâ akhta'â.

Ada perbedaan antara yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî dengan


yang di-takhrij dari kitab sumber, dimana kalimat:

tidak ditemukan dalam matan hadis yang di-takhrîj dari kitab sumber.
Hadis yang menjelaskan tentang meninggalkan ma ’shîat, seperti
keinginan hawa nafsu dan sebagainya. Kelihatannya cukup banyak juga
sanad lain yang meriwayatkan hadis tersebut secara makna (bi al-ma ‘na)
dengan lafal informatif (khabarîah). Mereka adalah al-Bukhârî,551
Muslim, 552 al-Turmudzî, 553 al-Nasâ’î, 554 Abû Dâud,555 al-Dârimî,556 dan

5 50 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. III, h. 231. Cf. al-Suyûthî, Is’âf …, h. 16. Cf. Ibn Hajar,
Tahdzîb …, vol. V, h. 294. Cf. Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 315.
5 51 Al-Bukhârî, Shahîh, vol. I , hadis nomor 10 dan 11, Bâb al-Muslimûna Man Salima
al-Muslimûna min Lisânih wa Yadih, dan hadis nomor 61199, Bâb al-Intihâ ‘an al-Ma’âshî, h. 13.
5 52 Muslim, Shahîh, vol. I, hadis nomor 64, 65 dan 66, Bâb Bayân Tafâdhul al-Islâm wa
Ayyvol.
Man
5 53 Al-Turmudzî, Umûr
Salima Afdhal,
V, hadis h. 2627
nomor 41. dan
al-Muslimûna min2628,
Lisânih
Bâbwa 202fî anna
MâYadih,
Jâ`a h 17..
al-Muslima
lainnya. Dengan demikian kualitas sanad hadis di atas dapat meningkat
jadi hasan li ghairih.

Ketika al-Ghazâlî berbicara tentang loyalitas anggota tubuh, ada


tujuh anggota yang mesti diantisipasi supaya tidak melakukan
pelanggaran, yaitu: mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan dan
kaki.557

Ad.1. Mata
Dalam hal ini, al-Ghazâlî hanya mengemukakan fungsi mata, yaitu
sebagai petunjuk dalam kegelapan, sarana dalam memenuhi kebutuhan,
dan menyaksikan planet langit dan bumi yang mengagumkan. Sebab itu,
jangan digunakan untuk memandang hal-hal yang diharamkan,
umpamanya membongkar ‘aib sesama muslim. Secara eksplisit
pembahasan ini tidak ditopang dengan ayat maupun hadis.

Berkenaan dengan tangan sebagai anggota tubuh, sesuai dengan


fungsinya sebagai petunjuk dalam kegelapan dan membantu kebutuhan
serta menyaksikan kerajaan langit dan bumi, al-Ghazâlî menekankan
sekali agar dipelihara dari empat hal, yaitu melihat hal-hal yang
diharamkan, memandang gambar yang dapat mengundang nafsu syahwat,
memandang sesama muslim dengan pandangan yang melecehkan, dan
memperlihatkan ‘aib sesama muslim.

Ad.2. Telinga
Berkenaan dengan pembahasan telinga (al-`udzun) ini, al-Ghazâlî
mengemukakan satu hadis, yaitu:
(Hadis Nomor 47):

5 54 Al-Nasâ’î, vol. VII, hadis nomor 4995 dan 4996, Sifat al-Mu`min, h. 105..
5 55 Abû Dâud, Sunan, vol. I, hadis nomor 2481, Bâb fî al-Hijrah hal Inqatha’at, h. 6.
5 56 Al-Dârimî, Sunan, vol. I, hadis nomor 2712 dan 2716. h. 287 dan 288.
Dâr al-Fikr,
557Al-Ghazâlî, Bidâyat …, tt.,Cf.
h. 11.
5 58 h. Al-Ghazâlî,
388. Hidâyat
‘Abdus-Samad, Majmû’at 158. 203
…, h.Rasâ’il al-Imâm al-Ghazâlî,
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan untuk
menyamakan bahwa orang yang mendengar sama dengan orang
mengumpat. Sebab itu, telinga tidak dibenarkan untuk mendengar
pergunjingan sesama. Sanad-nya adalah sebagai berikut:

" "

Kelihatannya hadis yang dikemukakan oleh al-Ghazâlî dalam


Bidâyat al-Hidâyah adalah semakna (bi al-ma ‘na) dengan hadis di atas,
bahwa orang yang mendengar pergunjingan bahagian dari orang yang
bergunjing. Sementara Rasululullah Saw. melarang pergunjingan tersebut
dengan lafazh hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrânî lewat jalur Ibn

‘Umar sebagai berikut:

Namun kualitas hadis tersebut adalah dha‘îf. Demikian


dikemukakan al-Haddâd.559
Ad.3. Lidah
Berkenaan dengan lidah (al-lisân), al-Ghazâlî mengemukakan dua
hadis, yaitu:
(Hadis Nomor 48):

560

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai landasan agar lidah


lebih banyak digunakan sebagai alat untuk mengingat (dzikr ) Allâh dan
membaca al-Qur’an, bukan untuk berbicara yang sia-sia. Secara lengkap

sanad hadis tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmidzî.

5 60
59 Al-Ghazâlî,
Al-Haddâd, Takhrîj…,
Bidâyat …,vol. III, hadis204
h. 12. nomor 1, h. 114.
:
:
.
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya seorang laki-laki yang
berbicara dengan satu kalimat saja sampai membuat orang tertawa akan
membawa dia ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun". 561

Telaah sanad :
(1). Muhammad ibn Basysyâr ibn ‘Utsmân ibn Dâud ibn Kaisân al-

‘Abdî
Ia yang populer dengan panggilan Abû Bakar Bundâr
meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn ‘Umar ibn Abî al-
Wazîr, ‘Abd al-Wahhâb ibn ‘ Abd al-Majîd al-Tsaqafî, dan
Muhammad ibn Abî ‘Adî. Sementara orang yang menerima hadis
dari Muhammad ibn Basysyâr adalah al-Jamâ ‘ah, Abû Ahmad ibn

‘Alî ibn Sa‘îd al-Qâdhî al-Marwazî, Muhammad ibn al-Musayyib al-


Arghîyânî, dan sebagainya. Terjadi pro-kontra di antara ahli hadis
dalam menilai Muhammad ibn Basysyâr. Selain menilainya tsiqah,
seperti al- ‘Ajlî, juga shadûq, shâlih, la ba’s bih. Penilaian ini
diberikan oleh Abû Hâtim dan al-Nasâ’î.562 Ibn Hajar menilainya

tsiqah min al-‘asyirah. Ia wafat tahun 252 H.563

(2). Ibn Abî ‘Adî Abû ‘Amr al-Bashrî


Namanya adalah Muhammad ibn Ibrâhîm. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Abî Yûnus al-Qusyairî Hâtim ibn Abî
Shaghîrah, Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Alqâmah ibn Waqqâsh, dan
Muhammad ibn Ishâq ibn Yassâr. Sementara orang yang

5 61 Al-Turmudzî, Sunan, vol. IV, hadis nomor 2314. Bâb 10 fî Man Takallama bi Kalimah
Yadhhak5bihâ al-Nâs,
62 Ibn
63 h. 557.…,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb …,vol.
vol.I,VII,
h. 469. 205
h. 63-65.
meriwayatkan hadis dari Ibn Abî ‘Adî adalah Muhammad ibn Abân
al-Balkhî, Abû Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn Nâfi‘ al-‘Abdî,
Muhammad ibn Basysyâr Bundâr, dan sebagainya. Umumnya ahli
hadis menilainya tsiqah.564 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-
tâsi‘ah. Ia wafat tahun 194 H. Demikian menurut yang terkuat.565

(3). Muhammad ibn Ishâq


Namanya adalah Muhammad ibn Ishâq ibn Yasâr al-Madanî.
Ia yang populer dengan nama panggilan Abû Bakar dan ada yang
mengatakan Abû ‘Abdillâh al-Qurasyî al-Mathlibî meriwayatkan
hadis antara lain dari ayahnya Ishâq ibn Yasâr al-Madanî, ‘Abd al-
Rahmân ibn al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abî Bakar al-Shiddîq, dan
Muhammad Ibrâhîm ibn al-Hârits al-Taimî. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn Ishâq adalah Ibrâhîm ibn
Sa‘d ibn Ibrâhîm ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, Abû Khâlid
Sulaimân ibn Hayyân al-Ahmar, Muhammad ibn Abî ‘Adî, danlain
sebagainya. Umumnya ulama memandang Muhammad ibn Ishâq

shadûq namun yudallis. Ibn Abî Khaitsumah mengatakan yang dia


dengar dari Ibn Ma’in mengatakan; Muhammad Ibn Ishâq laisa bihi
ba’s. Pada kali yang lain dikatakan laisa bidzalika dha‘îf. Pada saat
yang lain lagi dikatakan laisa bi al-qawîy. Al-Maimûnî yang juga
berasal dari Ibn Ma’in mengatakan dha‘ îf. Al-Nasâ’î mengatakan

dha‘îf.
Dari pro dan kontra pendapat para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa Muhammad ibn Ishaq tidak terlalu kuat,
walaupun daya ingatanya cukup tinggi, sebagaimana pernah
diriwayatkan Ibn ‘Uyainah yang mendengar dari Syu‘bah,
mengatakan Muhammad ibn Ishaq merupakan Amîr al-Mukminîn.566
Di dalam Taqrîb dikatakan bahwa Muhammad ibn Ishâq shadûq

55 64
65 Ibn
66 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,
Taqrîb …,
Tahdzîb vol.
…,vol. IX,
vol.I,VII, 206
h.h.12-13.
h. 465. 35-39.
yudallis wa rumiya bi al-tsyayyu‘ wa al-qadr min shighâr al-
khâmisah. Ia meninggal pada tahun 51 H.567

(4). Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al-Hârits ibn Khâlid ibn Sakhr ibn
‘Amîr ibn Ka‘b al-Qurasyî al-Taimî Abû ‘Abdillâh al-Madanî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Âmir ibn Sa‘d ibn
Abî Waqqâsh, ‘Alqamah ibn Waqqâsh al-Laitsî, dan ‘Îsa ibn
Thalhah ibn ‘Ubaidillâh. Sementara orang yang meriwayatkan
hadis darinya adalah anaknya Mûsa ibn Muhammad ibn Ibrâhîm
ibn al-Taimî, Muhammad ibn ‘ Amr ibn ‘ Alqâmah ibn Waqqâsh al-
Laitsî, Muhammad ibn Ishâq ibn Yasâr, dan lain sebagainya.
Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah.568 Ibn Hajar
menilainya tsiqah lahu afrâd min al-râbi‘ah. Ia wafat tahun 120
H.569

(5). ‘Isa ibn Thalhah ibn ‘Ubaidillâh al-Qurasyî al-Taimî


Ia yang populer dengan panggilan Abû Muhammad al-
Madanî menriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Thalhah ibn
‘Ubaidillâh, ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh, dan Abî Hurairah.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Isa ibn Thalhah
adalah kedua anak saudaranya Thalhah ibn Yahyâ ibn Thalhah ibn

‘Ubaidillâh, dan Ishâq Yahyâ ibn Thalhah ibn ‘Ubaidillâh,


Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al-Hârits al-Taimî, serta yang lainnya.
Umumnya ahli hadis menilai ‘Isa ibn Thalhah tsiqah.570 Ibn Hajar
menilainya tsiqah fâdhil min kubbâr al-tsâlitsah. Ia wafat tahun
100 H.571

(6). Abî Hurairah

Ibn Atsîr mengatakan, bahwa tidak ada nama orang yang


sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî bahwa

5 67 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 467.


5 68 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IX, 5-6.
55 69
70 Ibn
71 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 465.
I,IV, 439. 207
h. 334.
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari
tiga puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.572 Ia digelari begitu karena sering
menggendong kucing,573 sehingga Rasulullah Saw. memanggilnya

Abû Hurairah (ayah kucing). Pada masa Jahilîyah, ia bernama


‘Abd Syams dengan panggilan Abû al-Aswad.574 Abû Hurairah
masuk Islam pada masa perang Khaibar, awal tahun ke tujuh
Hijrîyah.575 Ia wafat pada tahun 57 H.576

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Muhammad ibn


Ishâq yang dinilai shadûq.

Hadis yang menjelaskan supaya memelihara lidah dari


perkataan yang sia-sia tersebut di atas, ada sebanyak 32 thuruq,
seperti halnya riwayat Ahmad ibn Hanbal. Namun dalam sanadnya
juga melibatkan Muhammad ibn Ishaq yang dinilai mudallis.577

(Hadis Nomor 49):

Sebagaimana hadis sebelumnya hadis ini juga dikemukakan


oleh al-Ghazâlî untuk menjelaskan agar selalu menjaga lidah dari
perkataan yang tidak berguna. Sanadnya secara lengkap adalah
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmudzî.

5 72 Al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.


5 73 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.
5 74 Al-Dzahabî, Tadzkirah…, vol. I, h. 32.
5 75 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol. IV, Dâr al-Fikri, Bairut, t.t., h. 181.
5 76 Al-Suyûthî,
5 77 Ahmad, Is’âf
Sunan, vol. …,
5II,78 h. 33.
hadis Lihat
Al-Ghazâlî,
nomor jugaBâb
3970,
BidâyatIbn…,
Atsîr,
Kaff
h. 12.
al-Lisân 208
Ushûd …, vol. V, h. 321.
fî al-Fitnah, h. 1313.
.
Artinya: Seorang laki-laki dari sahabat wafat, lalu dia (Anas)
berkata, tentang laki-laki tersebut: Gembirakanlah dia dengan
sorga ! Lalu Rasulullah Saw. menanggapi: “Apakah anda tidak
tahu, jangan-jangan dia pernah berbicara tentang sesuatu yang dia
tidak kehendaki atau pernah pelit dengan sesuatu yang membuat
dia tidak berkurang sama sekali.579

Telaah sanad:
(1). Sulaimân ibn ‘Abd al-Jabbâr ibn Zuraiq al-Khayyâth al-

Baghdadî
Ia yang populer dengan panggilan Abû Ayyûb
meriwayatkan hadis dari Abî al-Rabî‘ Sulaimân ibn Dâud al-
Zahrânî, ‘Alî ibn Qâdim, dan ‘Umar ibn Hafsh ibn Ghîyâts.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Sulaimân ibn

‘Abd al-Jabbâr adalah Abû al-Hasan Ahmad ibn al-Husain


ibn Muhammad al-Jarasyî al-Dimasyqî, Abû al-Hasan
Ahmad ibn al-Husain ibn Ishâq al-Shûfî al-Shaghîr, al-
Turmudzî, dan sebagainya. Para ahli hadis, Ibn Hibbân
misalnya, memandangnya tsiqah. Namun Ibn Abî Hâtim
menilainya shadûq.580 Ibn Hajar menilainya shadûq min al-
hâdiyah ‘asyarah.581 Kapan meninggalnya tidak diperoleh
keterangan lebih lanjut.

(2). ‘Umar ibn Hafsh ibn Ghîyâts ibn Thalq ibn Mu’awîah al-
Nakha’î
Ia yang populer dengan panggilan Abû Hafsh al-Kûfî
meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Hafsh ibn
Ghîyâts ibn Thalq ibn Mu’awîah al-Nakha’ î, ‘Abdillâh Ibn
Idrîs, dan Abî Bakar ibn ‘Îyâsy. Sementara orang-orang yang

5 79 Al-Turmudzî,
5 81 Sunan,vol.
80 Ibn IV , hadis
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…, nomor
…,vol. h.21316,
vol.I,III,252. 209
Bâb 11, h. 558.
h. 490.
meriwayatkan hadis dari ‘Umar ibn Ghîyâts adalah al-
Turmudzî, al-Nasâ’î melalui Muhammad ibn Abî al-Husain
al-Samnânî, Abû Syaibah Ibrâhîm ibn Abî Bakar ibn Abî
Syaibah, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis menilainya

tsiqah. Ibn Hibbân memasukkannya dalam deretan orang


tsiqah walaupun dia terkadang salah dan wahm.582 Ibn Hajar
menilainya tsiqah rubamâ wahama min al-‘âsyirah. Ia wafat
tahun 222 H.583

(3). Abî (Hafsh ibn Ghîyâts ibn Thalq ibn Mu‘âwiyah ibn
Mâlik ibn al-Hârits ibn Tsa’labah al-Nakha’î)
Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘Umar
al-Kûfî meriwayatkan hadis dari kakeknya Thalq ibn
Mu’âwiyah ibn Mâlik, Sulaimân ibn Mahrân al-A‘masy, dan
Abî Burdah Barîd ibn ‘Abdillâh ibn Abî Burdah ibn Abî
Mûsa al-Asy‘arî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Hafsh ibn Ghîyats adalah Ahmad ibn Ibrâhîm al-
Dauruqî, Ishâq ibn Ibrâhîm ibn Habîb ibn al-Syahîd, anaknya

‘Umar ibn Hafsh ibn Ghîyâts, dan sebagainya. Umumnya ahli


hadis menilainya tsiqah walaupun di akhir hayatnya terjadi
sedikit penurunan terhadap daya ingatnya.584 Ibn Hajar
menilainya
. . Pendapat
terkuat mengatakan, ia wafat tahun 194 H.585

(4). Al-A‘masy (Sulaimân ibn Mahrân) al-Asadî al-Kâhilî


Ia yang populer dengan panggilan Abû Muhammad
al-Kûfî meriwayatkan hadis antara lain dari Ismâ‘îl ibn Rajâ`
al-Zabîdî, Ismâ‘îl ibn Muslim al-Makkî, dan Anas ibn Mâlik
ibn al-Nadhr ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari al-A‘masy adalah Abû

5 82 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VI, h. 41.


55 83
84 Ibn
85 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. I,I,h.
h.h411.
173. 210
378-380.
Ishâq Ibrâhîm ibn Muhammad al-Fazzârî, Hamîd ibn ‘Abd al-
Rahmân al-Ru`âsî, Hafsh ibn Ghiyâts, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis, misalnya Ibn Hibbân, memasukkan al-
A‘masy dalam deretan orang-orang tsiqah. Namun menurut
Hâfizh, yudallis. Abû Hâtim mengatakan yuhtajj bi hadîtsih,
tsiqah.586 Ibn Hajar menilainya tsiqah hâfizh ‘ârif bi al-
qirâ`ah wara‘ lakinnahu yudallis min al-khâmisah. Ia wafat
147 H.587

(5). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar
ibn Dhamdham al-Anshârî. Ia masih kecil ketika Nabi
melakukan hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia
kepada Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga
Nabi. Anas yang wafat pada tahun 93 H. meriwayatkan hadis
antara lain dari Nabi Saw., kemudian dari Tsâbit ibn Qais ibn
Syammâs, dan Abî Thalhah Zaid ibn Sahl al-Anshârî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari Anas
ibn Mâlik adalah anak saudaranya Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn
Abî Thalhah, Ismâ ‘il ibn Muhammad ibn Sa‘d ibn Abî
Waqqâsh, Sulaimân ibn Mahrân al-A‘masy, dan sebagainya.
Anas ibn Mâlik merupakan sahabat Nabi Saw. yang paling
akhir di Bashrah. 588

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada Sulaimân


ibn ‘Abd al-Jabbâr al-Baghdadî, yang oleh Ibn Hajar dinilai
shadûq min al-hadiyah ‘asyarah.

Hadis yang menjelaskan tentang penggunaan lidah


untuk lebih banyak mengingat (dzikr) Allâh dan membaca al-

5 86 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. II, h. 506-509. Cf. Ibn Hajar, Thabaqât al-Mudallisîn,
vol.I, Maktabah al-Madâr, ‘Ammân, 1983, h. 33.
Tahdzîb …,
5 88 Ibn Hajar, al-Ishâbah 87vol.
5…, Ibn I,Hajar,
vol. I, h. 329.
312.
Taqrîb
Cf. Ibn
…, Hajar, 254.…,211
vol. I, h.Is’âf h. 6.Juga Ibn Hajar,
Qur`an ketimbang berbicara yang sia-sia masih ada jalur lain,
yaitu hadis riwayat Ahmad589 lewat jalur sanad ‘Isa ibn
Thalhah. Jalur tersebut bisa dijadikan sebagai mutâbi‘ bagi
hadis tersebut di atas. Dengan demikian kualitas sanad hadis
tersebut terangkat menjadi shahih li ghairih.

Khusus mengenai lidah (al-lisân), ada delapan hal


yang mesti dijauhi. Demikian menurut al-Ghazâlî590, yaitu:
3.1. Dusta (al-Kadzb)
Dalam membicarakan al-kadzb ini, al-Ghazâlî hanya
mengemukakan akibat dari dusta itu sendiri, yaitu mengikis
dan menghilangkan kepercayaan orang lain.

3.2. Inkar janji (al-Khalaf fî al-wa’d)


Ketika al-Ghazâlî berbicara tentang inkar janji (al-
khalaf fi al-wa’d), dia mengemukakan hadis sebagai berikut:
Hadis Nomor 50):

, :
591

Hadis ini dijadikan oleh al-Ghazâlî sebagai perhatian agar


tidak melanggar janji. Sebab itu merupakan salah satu dari tanda
kemunafikan. Secara lengkap sanad-nya adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Nasâ`î.

55 89
91 Ahmad,
5 90 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. Musnad,
Al-Ghazâlî, vol.
12.Bidâyat …,II,h.hadis
Cf. Al-Ghazâlî, 212
nomor
12.Majmû’at 7214, h. 236.
.., h. 388-390.
.
Artinya: ‘Abdullah (ibn Mas’ûd) berkata: Ada tiga hal,
apabila orang terlibat di dalamnya akan dipandang
sebagai munafiq., yaitu: Apabila dia berbicara dusta,
apabila berjanji disalagi dan apabila diperccaya khianat.
Apabila hanya salah satu yang dia lakukan, maka dia
tetap merupakan bahagian dari kemunafikan tersebut
selama belum dia tinggalkan.

Telaah sanad :
(1). ‘Amr ibn Yahyâ ibn al-Hârits al-Himshî al-Zanjârî
Ia meriwayatkan hadis, antara lain dari Mahbûb
ibn Mûsa al-Farrâ`, Ahmad ibn Muhammad ibn
Syibawaih al-Marwazî, dan al-Mu’âfa ibn Sulaimân al-
Ras’anî. Sementara orang yang menerima hadis dari

‘Amr ibn Yahyâ adalah al-Nasâ’î, Abû al-Hasan Ahmad


ibn Muhammad al-Râsyidî, dan dia mengatakan “Aku
mendengarnya pada tahun 279, kemudian Abû al-Ward

‘Isa ibn al-‘Abbâs al-Hamawî. Satu-satunya yang


memberi penilaian adalah al-Nasâ’î yang mengatakan

tsiqah. Namun pada kesempatan lain dia mengatakan la


ba’s bih.593 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-tsâniyah

‘asyarah. Ia wafat pada tahun 279 H.594


(2). Al-Mu’âfa Ibn Sulaimân al-Jazarî
Ia yang populer dengan panggilan Abû
Muhammad al-Ras’anî meriwayatkan hadis antara lain
dari Mûsa ibn A’yun al-Jazarî, al-Qâsim ibn Ma’an al-

5 92 Al-Nasâ’î, Sunan,
93 vol.
5 94 VII, hadis
Ibn Hajar, nomor
Tahdzîb
Taqrîb …, 5023,
…,vol. h.Tha’m
vol.I,VI,428. 213
al-Îman, h. 117.
h 225-226.
Mas‘ûdî, dan Zuhair ibn Mu‘âwiyah. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis dari al-Mu’âfa adalah kedua
anaknya ‘Abd al-Kabîr ibn al-Mu’âfa ibn Sulaimân al-
Qâdhî dan Sulaimân ibn al-Mu’âfa ibn Sulaimân al-
Qâdhî. Kemudian ‘Amr ibn Yahyâ ibn al-Hârits al-
Himshî, dan sebagainya. Abû Bakar ibn al-Muqri’
menilainya tsiqah. Namun yang lebih populer
mengatakan bahwa dia shadûq.595 Ibn Hajar juga
menilainya shadûq min al-‘âsyirah. Ia wafat tahun 234
H.596

(3). Zuhair ibn Mu’âwiyah ibn Hudaij ibn al-Rahîl ibn


Zuhair ibn Khaitsamah

Ia yang populer dengan panggilan Abû Khaitsamah


al-Ja’fî al-Kûfî meriwayatkan hadis antara lain dari Ishâq
ibn Yahyâ ibn Thalhah ibn ‘Ubaidillâh, Asy’ats ibn Abî
al-Sya’tsâ` al-Muhâribî, dan Manshûr ibn al-Mu‘tamir.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Zuhair
ibn al-Mu’âwiyah adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Mâlik ibn
Wâqid al-Harrânî, Ahmad ibn ‘Abdillâh ibn Yûnus, al-
Mu’âfa ibn Sulaimân al-Ras’anî, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah tsabt kecuali yang
dia dengar dari Abî Ishâq.597 Ibn Hajar menilainya

. Zuhair ibn
Mu‘âwiyah wafat pada akhir tahun 172 H.598 Demikian
menurut Ibn Sa‘d.

(4). Manshûr ibn al-Mu’tamir ibn ‘Abdillâh ibn Rabî‘ah


Abû ‘Itâb al-Kûfî

5 95 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol VIII, h. 233.


55 96
97 Ibn
98 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
I,III,537.
h.218. 214
h. 303.
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Salmân Abî
Hâzim al-Ayja’î, ‘Abd al-Rahmân ibn Yazîd al-Nakha’î,
dan Abî Wa’il Syaqîq ibn Salamah. Sementara orang yang
menerima hadis dari Munshûr ibn al-Mu’tamir adalah
Husain ibn ‘Abd al-Rahmân al-Salamî, Abû al-Ahwash
Salâm ibn Salîm, Zuhair ibn Mu’âwiyah, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah..599 Ibn Hajar
menilainya tsiqah tsabat wa kâna lâ yudallis min thabaqat
al-A‘masy. Ia wafat tahun 132 H.600

(5). Abî Wâ`il al-Kûfî


Namanya adalah Syaqîq ibn Salamah al-Asadî. Ia
meriwayatkan hadis, antara lain dari ‘Abdillâh ibn ‘Amr
ibn al-Hârits ibn Abî Dhirâr, ‘Amr ibn al-Hârits ibn Abî
Dhirâr, dan ‘Abdillâh ibn Mas‘ûd. Sementara orang yang
menerima hadis dari Abî Wâ’il adalah Husahain ibn ‘Abd
al-Rahmân, Hammâd ibn Abî Sulaimân, Manshûr ibn al-
Mu’tamir, dan lain sebagainya. Umumnya ahli hadis
menilai Abî Wâ’il tsiqah mukhdharam. Bahkan dia
merupakan orang yang rendah hati (low profile), terbukti
ketika Yazîd ibn Abî Ziyâd menanyakan siapa yang lebih
tua antara Abî Wâ’il dengan Masrûq? Jawabnya: saya.
Lebih lanjut diceritakan al-Tsaurî yang berasal dari
ayahnya; ketika Abî Wâ’il ditanya dengan persoalan yang
sama; apakah anda yang lebih senior dibanding al-Râbi’ ibn
Khaitsam? Jawabnya: Secara usia (sinn) memang saya,
namun cara pikir (‘aqlan) dia lebih senior.601 Ibn Hajar
menilainya tsiqah mukhdharam. Ia meninggal tahun 82
H.602

5 99 Ibn Hajar, Tahdzîb, …, vol. VIII, h. 358-360.


66 00
01 Ibn
02 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 547.
I,III,268. 215
h. 649-650.
(6). ‘Abdillâh (ibn Mas‘ûd ibn Ghâfil bin Hubaib)
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allâh ibn
Mas‘ûd ibn Ghâfil ibn Habîb ibn Syamakh ibn Fâr ibn
Makhzum ibn Shahîlah ibn Kâhil ibn al-Hârits ibn Tamîm
ibn Sa‘d ibn Huzail ibn Mudrikah ibn Ilyâs ibn Mudhar. Ia
termasuk salah seorang sâbiq al-awwalûn (orang yang
mula-mula masuk Islam). Ia masuk Islam lebih awal dari

‘Umar ibn al-Khaththâb. Islamnya semasa dengan Sa‘îd ibn


Zaid dan isterinya Fâthimah bint al-Khaththâb, saudara
perempuan ‘Umar. ‘Abdullâh jugalah orang yang pertama
membaca al-Qur’an dengan cara suara keras (jahar) di kota
Makkah al-Mukarramah. Ia ikut semua peristiwa yang
terjadi pada masa Rasulullah dan termasuk salah seorang
yang dijanjikan sorga, meriwayatkan hadis dari Nabi Saw.,
Sa‘d ibn Mu’âdz al-Anshârî, dan Shafwân ibn ‘Assâl al-
Murâdî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah Jâbir ibn ‘Abdillâh al-Anshârî, al-Hârits
ibn Suwaid al-Taimî, Abû Wâ`il Syaqîq ibn Salamah, dan
sebagainya. Ia wafat pada tahun 32 H. di Madinah dakam
usia 60 tahun dan dimakamkan di Baqi’.603

Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada al-Mu ‘âfa


ibn Sulaimân yang dinilai shadûq. Kemudian teksnya
sendiri berasal dari sahabat, mauqûf.

3.3. Gunjing (al-Ghîbah)


Setelah menjelaskan pengertian al-ghîbah, yaitu
menyebutkan sesuatu yang tidak disenangi oleh orang
lain apabila dia dengar. sekalipun itu benar. Kemudian al-
Ghazâlî menyamakan ghîbah tersebut dengan memakan
daging mentah saudara sendiri. Hal ini dikuatkan dengan
al-Qur`an surat al-Hujurât (Kamar-kamar)/49: 12;

6 03 Ibn Hajar, al-Ishâbah 216


280-286. …, vol. I, h. 367-370. Lihat juga Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. ÎI, h.
...
.
Artinya: “… dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya”.604

3.4. Debat (al-Mirâ`)


Ketika berbicara masalah debat (al-mira’a), al-
Ghazâlî mengemukakan satu hadis, yaitu:
(Hadis Nomor 51):

605 .

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai


landasan untuk meninggalkan debat (al-mira’a), sama ada
untuk tujuan membatalkan atau mematahkan argumentasi
maupun untuk mempertahankan kebenaran. Secara
lengkap sanad hadisnya adalah sebagaimana riwayat al-
Turmudzî.

Fârisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada yang
6 04 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salmân al-
mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini. Lihat K.H. Qamaruddin cs., Asbâbun
…, h. 474. 6 05 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 12. 217
:

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda : “Siapa yang
menghindari perdebatan yang memang bathil, maka
dibuatkan bangunan untuk dia di sekitar sorga. Siapa
yang menghindari perdebatan yang dibenarkan, dibuatkan
bangunan untuk dia di tengah-tengah sorga, dan siapa
saja yang berakhlak baik, dibuatkan bangunan untuk dia
di atasnya".

Telaah sanad:
(1). ‘Uqbah ibn Mukramm Abû ‘Abd al-Mâlik al-

Bashrî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari
Syuraik ibn ‘Abd al-Majîd al-Hanafî, Abî Zakîr
Yahyâ ibn Muhammad ibn Qais al-Madanî, dan
Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Abî Fudaik. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Uqbah ibn
Mukramm adalah al-Turmudzî, Ibrâhîm
ibn’Abdillâh ibn al-Junaid al-Khatlî, Abû Bakar
Ahmad ibn ‘Amr ibn ‘Abd al-Khâliq al-Bazzâr, dan
lain sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti al-
Nasâ`î dan Ibn Hibbân memasukkan ‘Uqbah ibn
Mukramm al-Bashrî dalam deretan orang-orang

tsiqah.607 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-


hâdiyah ‘asyarah. Ia meninggal di Bashrah pada
tahun 250 H.608

(2). Ibn Abî Fudaik Abû Ismâ`îl al-Madanî

6 06 Hadis ini hasan. Satu-satunya sanad melalui jalur Salmah ibn Wardân dari Anas ibn
Mâlik. Lihat al-Turmudzî, Sunan, vol.
6 08
07 IbnIV, hadis
Hajar, nomor
Tahdzîb
Taqrîb …,1993,
…, vol. Bâb
vol.I,VII,
h. h.58
395. 218
Mâ jâ`a fî al-Mirâ`, h. 358.
222.
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn
Ismâ`îl ibn Muslim ibn Abî Fudaik Dînâr al-Dailî.
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn
Ismâ ‘îl ibn Abî Habîbah, ayahnya Ismâ‘îl ibn
Muslim ibn Abî Fudaik, dan Salamah ibn Wardân.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya
adalah Ibrâhîm ibn al-Mundzir al-Hazâmî, Abû al-
Azhar ibn al-Azhar ibn Muni’ al-Naisâbûrî, ‘Uqbah
ibn Mukramm al-‘ Amî, dan lain sebagainya. Ibn
Hibbân mengelompokkannya dalam kategori tsiqah.
Al-Nasâ’i memandangnya laisa bihi ba’s.

Sementara Ibn Sa‘d mengatakan bahwa ia orang


yang banyak meriwayatkan hadis, namun hadisnya
tidak dapat dijadikan hujjah (laisa bi hujjah). Ibn
Ma’in memandangnya tsiqah.609 Di dalam Taqrîb
…, Ibn Hajar menilainya shadûq min shighâr al-
tsâminah. Ia wafat tahun 200 H. Demikian menurut
pendapat yang terkuat.610

(3). Salamah ibn Wardân al-Laitsî al-Junda’î Abû


Ya’la al-Madanî
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Anas
ibn Mâlik, Mâlik ibn Aus al-Hadtsân, dan Abî Sa‘îd
ibn Abî al-Ma’la. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari Salamah ibn Wardân
adalah Abû Dhamrah Anas ibn ‘Iyâdh al-Laitsî,

‘Abd al-‘Azîz ibn Muhammad al-Darâwardî, dan


Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Abî Fudaik, dan lain
sebagainya. Menurut Abû Mûsa, Yahyâ, dan ‘Abd
al-Rahmân, keduanya tidak pernah meriwayatkan
hadis dari Salamah ibn Wardân. Sementara

6 10
09 Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I,IX, h. 61.219
h. 468.
‘Abdullâh ibn Ahmad yang berasal dari ayahnya,
mengatakan munkar al-hadîts, dha‘îf al-hadits. Al-
Daurî mengatakan yang berasal dari Ibn Ma’in,

laisa bi syay’. Abû Dâud dan al-Nasâ’î mengatakan


dha‘îf. Pada kesempatan lain al-Nasâ’î mengatakan
laisa bi tsiqah. Kelihatannya tidak ada ahli hadis
yang menilainya tsiqah. Bahkan Ibn Ma’in
mengatakan la yuhtajj bi hadîtsih. Sementara yang
lain menganggap hadisnya lemah. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibn Hibbân bahwa yang membuat
hadis Salamah ibn Wardân tidak layak untuk
dijadikan hujjah adalah karena banyak wahm. Al-
Hakim sendiri mengatakan, bahwa kebanyakan
hadis yang diriwayatkan oleh Salamah ibn Wardân
dari Anas adalah manakir..611 Ibn Hajar menilainya

dha‘if min al-khamisah. Ia meninggal pada masa


pemerintahan Abî Ja‘far, sekitar tahun 105 H.612

(4). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik
ibn Nadhar ibn Dhamdham al-Ansharî. Ia masih
kecil ketika Nabi melakukan hijrah ke Madinah. Ibu
Mâlik menyerahkan dia kepada Rasulullah
selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabi. Anas
yang wafat pada tahun 93 H. meriwayatkan hadis
antara lain dari Nabi Saw. Kemudian dari Tsâbit ibn
Qais ibn Syammâs dan Abî Thalhah Zaid ibn Sahl
al-Anshârî. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari Anas ibn Mâlik adalah
anak saudaranya Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn Abî
Thalhah, Ismâ‘il ibn Muhammad ibn Sa‘d ibn Abî

6 12
11 Ibn Hajar, Tahdzîb
Taqrîb …,
…,vol.
vol.I,III,
h. 248. 220
h. 445-446.
Waqqâsh, Sulaimân ibn Mahrân al-A‘masy, dan
sebagainya. Ia merupakan sahabat Nabi Saw. yang
paling akhir di Bashrah.613

Skema sanad hadis tentang “Meninggalkan debat


(al-mirâ’), sama ada untuk tujuan mematahkan
argumentasi lawan debat maupun mempertahankan
kebenaran” adalah sebagai berikut:

Rasulullah Anas ibn Mâlik

Salamah ibn Wardân al-Laitsî

Ibn Abî Fudaik

‘Uqbah ibn Mukramm

al-Turmudzî

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada


Muhammad ibn Ismâ`îl ibn Muslim ibn Abî Fudaik
Dînâr al-Dailî dan Salamah ibn Wardân yang dinilai

shadûq dan dha‘if.


3.5. Mengaku diri suci (Tazkîyat al-nafs)
Al-Ghazâlî memulai pembahasan tazkîyat al-nafs
ini dengan firman Allâh Swt. surat al-Najm (Bintang)/53:
32;

. ...
Artinya: “… maka janganlah kamu mengatakan dirimu
suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang
bertaqwa".
221 Is’âf …, h. 6.
6 13 Ibn Hajar, al-Ishâbah …, vol. I, h. 312. Juga Ibn Hajar,
Lewat ayat ini al-Ghazâlî mewanti-wanti supaya
tidak memandang suci diri sendiri. Sebab hal itu sama
saja dengan ketika orang lain memandang suci dirinya
sendiri yang tidak akan menambah harga diri di depan
orang banyak, lebih-lebih lagi di depan Allâh Swt. Akan
tetapi justru akan merendahkan harga diri dan menuai
kehinaan.

3.6. Laknat/ Mencerca (al-La‘n)


Dalam masalah laknat (al-la‘n) ini al-Ghazâlî
mengemukakan hadis fi‘lî yang berkenaan dengan
larangan mencaci makanan, yaitu:

(Hadis Nomor 52):

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî supaya


jangan mengucapkan kata-kata cercaan terhadap ciptaan
(makhlûq) Allâh, baik berupa hewan, makanan, maupun
manusia sendiri. Di samping itu, juga supaya tidak
memutuskan syahâdat dengan ahl al-qiblat lewat syirk,

kufr , maupun kemunafikan (al-nifâq). Sebab perlu


diketahui bahwa pada hari kiamat tidak akan ada
pertanyaan; “Mengapa anda tidak mencerca si Polan,
umpamanya?”

bayi mereka mati di waktu kecil bayi itu termasuk orang shiddiq (manusia sempurna). Anggapan
6 14 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum yahudi beranggapan apabila seorang
ini sampai kepada Nabi saw. Beliau bersabda : “Bohong Yahudi itu, tak seorang pun yang
dijadikan Allah di dalam rahim ibunya kecuali ditetapkan apakah ia celaka (di neraka) atau
selamat (di surga)”. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu yang menegaskan bahwa Allah
Maha Mengetahui akan nasib makhluq-Nya. Lihat
6 15 Al-Ghazâlî, K.H.…,h.
Bidâyat Qamaruddin
13. 222
cs., Asbâbun …, h. 483.
Hadis di atas secara makna diriwayatkan dalam
kitab shahîhayn sebagaimana diriwayatkan oleh al-
Bukhârî.

.
Artinya: Abû Hurairah r.a. menceritakan: "Rasulullah
Saw. tidak pernah mencerca makanan sama sekali.
Apabila dia suka, dia makan dan apabila tidak suka, dia
tinggalkan".

Telaah sanad:
(1). ‘Alî ibn al-Ju’ d ibn ‘Ubaid al-Jauharî al-Baghdadî
Ia yang populer dengan panggilan Abû al-Hasan
meriwayatkan hadis antara lain dari al-Hasan ibn Shâlih
ibn Hayy, ‘Âshim ibn Muhammad ibn Zaid al-‘Umarî,
dan Syu‘bah ibn al-Hajjâj. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah Ahmad
ibn al-Hasan ibn Mukramm ibn Hassân al-Baghdâdî al-
Bazzâz, Ahmad ibn al-Husain ibn Ishâq al-Shûfî al-
Shaghîr, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis
menilainya tsiqah.617 Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat
rumiya bi al-tsyayyu‘ min shighâr al-tâsi‘ah. Ia wafat
tahun 230 H.618

(2). Syu‘bah ibn al-Hajjâj ibn al-Warad al-‘Itkî al-Azdî


al-Bashrî

6 16 Al-Bukhârî, Shahîh, vol. V, hadis nomor 5093, Mâ ‘âba al-Nabî Saw. tha’âman, h.
06. Juga Muslim, Shahîh, vol. III, hadis nomor 187, Bâb Lâ yu’îb al-tha’âm, h. 1632. Juga al-
Haddâd, Takhrîj …, vol. II, hadis6 nomor 7, h. 296.
17 Ibn Hajar,
18 Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
vol.I,VII,
h. 398. 223
h. 256.
Ia yang populer dengan panggilan Abû Busthâm
al-Wâshitî meriwayatkan hadis dari Ibrâhîm ibn
Muhammad ibn al-Muntasyar, Sa‘îd ibn Abî Burdah ibn
Abî Mûsa al-Asy‘arî, dan Sulaimân ibn Mahrân al-
A‘masy. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah Abû Zhafar ‘Abd al-Salâm ibn
Mathhar, ‘Abd al-Shamad ibn ‘ Abd al-Wârits, ‘Alî ibn
al-Ju’d al-Jauharî, dan sebagainya. Sebagai Amîr al-
Mu`minîn, para ahli hadis menilainya sebagai tsiqah,

hâfizh, mutqin.619 Ibn Hajar menilainya dengan sebutan


: , . Ia
wafat di Bashrah pada tahun 160 H.620

(3). Al-A‘masy (Sulaimân ibn Mahrân) al-Asadî al-


Kâhilî
Ia yang populer dengan panggilan Abû
Muhammad al-Kûfî meriwayatkan hadis antara lain dari
Abî Wâ`il Syaqîq ibn Salamah al-Asadî, Abî Sufyân
Thalhah ibn Nâfi‘ dan Abî Hâzim Salmân al-Asyja‘î.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari al-
A‘masy adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Muhammad al-
Fazzârî, Abû al-Ahwash Salâm ibn Salîm, Syu‘bah ibn
al-Hajjâj, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis,
misalnya Ibn Hibbân memasukkan al-A‘masy dalam
deretan orang-orang tsiqah. Namun menurut Hâfizh,

yudallis. Abû Hâtim mengatakan: yuhtajj bi hadîtsih,


tsiqah.621 Ibn Hajar menilainya tsiqah hâfizh ‘ârif bi al-
qirâ`ah wara‘ lakinnahu yudallis min al-khâmisah. Ia
wafat 147 H.622

6 19 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 297.


6 20 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 266.
vol.I, Maktabah
6 21 Ibn Hajar, Tahdzîb …,
6 22vol. al-Madâr,
IbnII,
Hajar, ‘Ammân,
h. 506-509.
Taqrîb …,
Cf. vol. I,1983,
Ibn Hajar, h. 224
h. 254. 33. al-Mudallisîn,
Thabaqât
(4). Abî Hâzim Salmân al-Asyja’î al-Kûf î
Ia meriwayatkan hadis antara lain dari al-Husain ibn
‘Alî ibn Abî Thâlib, ‘Abdilllah ibn ‘Umar ibn al-
Khaththâb, dan Abî Hurairah. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah Abû
Mâlik Sa‘d ibn Thâriq al-Ashja’î, Sa‘îd ibn Masrûq al-
Tsaurî, Sulaimân al-A‘masy dan sebagainya. Umumnya
ahli hadis menilainya tsiqah.623 Ibn Hajar menilainya

tsiqah min al-tsâlitsah. Ia wafat pada masa


pemerintahan ‘Umar ibn ‘Abd al- ‘Azîz tahun 100 H.624

(5). Abî Hurairah


Ibn Atsîr mengatakan, bahwa tidak ada nama
orang yang sekontroversial nama Abû Hurairah.
Menurut al-Nawâwî bahwa silang pendapat tentang
nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari tiga puluh
versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-
Rahmân ibn Shakhar.625 Ia digelari Abû Hurairah
karena sering menggendong kucing,626 sehingga
Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah (ayah
kucing). Pada masa Jahilîyah, ia bernama ‘Abd Syams
dengan panggilan Abû al-Aswad.627 Abû Hurairah
masuk Islam pada masa perang Khaibar, awal tahun
ketujuh hijrîyah.628 Ia wafat pada tahun 57 H.629

Kualitas hadis: shahîh. karena perawi dan sanad memenuhi


kriteria.

6 23 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 123.


6 24 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 246.
6 25 Al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.
6 26 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.

6 28 Ibn
6 29Katsîr,
Al-Suyûthî, 6 27
al-Bidâyah
Is’âf …,Al-Dzahabî,
wa h. 33. Lihat Tadzkirah…,
al-Nihâyah, vol.
jugaIV,
IbnDâr vol.
Atsîr,
al-Fikri,
Ushûd 225vol.t.t.,V,h.h.181.
I, h.Bairut,
32.
…, 321.
Di dalam kitab syarh hadis kitab Fath al-Bârî
dikatakan bahwa hadis tersebut yang diriwayatkan lewat jalur
dari Abî Hurairah adalah maqbûl atau shahîh.630

3.7. Meno‘akan orang lain (al-Du‘a’ ‘ala al-Khalq)


Setelah menjelaskan tentang laknat (al-la’n) di atas,
al-Ghazâlî membeicarakan masalah mendo’akan orang (al-
du‘a’ ‘ala al-khalq) yang sewenang-wenang. Untuk itu dia
mengemukakan hadis, yaitu:

(Hadis Nomor 53):

631 .

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai


landasan agar menjaga lidah dari mendo’akan orang yang
berbuat sewenang-wenang. Secara lengkap sanad hadisnya
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mâjah:

:
:

6 31
30 Al-Ghazâlî,
Ibn Hajar, Fath
Bidâyat
al-Bârî,
…, vol.
h. 13. 226
IX, h. 548.
:
:

.
Artinya: ”Rasulullah Saw. mendo’akan keampunan bagi
umatnya ketika di ‘Arafah, lalu mereka diampuni;
sesungguhnya aku mengampuni mereka, kecuali orang yang
sewenang-wenang (dzâlim)…".

Telaah sanad:
(1). Ayyûb ibn Muhammad al-Hâsyimî al-Bashrî

Ayyûb ibn Muhammad dikenal juga dengan al-


Qulb. Ia meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abd al-
Qâhir ibn al-Sarî al-Salamî dan ‘Abd al-Wâhib ibn
Zîyâd. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari
Ayyûb ibn Muhammad adalah Ibn Mâjah, al-Hasan ibn
Abî Sufyân al-Syaibânî, dan lain sebagainya. Di antara
kriterianya bahwa dia hanya meriwayatkan hadis dari
orang-orang terpercaya.633 Ibn Hajar menilainya tsiqah
min al-‘âsyirah.634 Kapan dia meninggal tidak
ditemukan keterangan lebih lanjut.

(2). ‘Abd al-Qâhir ibn al-Sarî al-Salamî al-Bashrî


Ia yang populer dengan panggilan Abû
Rifâ‘ah dan ada yang mengatakan Abû Basyr
meriwayatkan hadis antara lain dari ‘Abdillâh ibn
Yazîd al-Salamî, dan ‘Abdillâh ibn Kinânah

6 32 Ibn Mâjah, Sunan, vol.


33II,Ibn
6 34 Hadis nomor
Hajar, 3013,…,
Tahdzîb Bâb
vol.al-Du’â bi227
I, h. 118.
426. ‘Arafah, h. 1002.
ibn’Abbâs ibn Mardâs. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis dari padanya adalah
Ayyûb ibn Muhammad al-Shâlihî, ‘Abd al-‘Azîz
ibn Abân al-Qurasyî, dan lainnya. Menurut Ibn
Ma’in shâlih maqbûl. Namun Ya‘qûb ibn Sufyân
memasukkannya dalam kelompok orang yang tidak
disenangi periwayatannya, walaupun Ibn Syâhin
menganggapnya tsiqah.635 Ibn Hajar menilainya

maqbûl min al-sâbi‘ah.636 Tidak diketahui kapan


tahun meninggalnya.

(3). ‘Abdullâh ibn Kinânah ibn ‘Abbâs ibn Mardâs


al-Salamî
Ia meriwayatkan hadis dari ayahnya
Kinânah ibn ‘ Abbâs dan dari (‘Abdillâh) Ibn ‘ Abbâs
tentang minta hujan (al-istisqâ’). Demikian menurut
Ibn Mahdî. Kemudian dari al-Tsaurî, Hisyâm ibn

‘Abdillâh ibn Kinânah dari ayahnya. Menurut


Wakî‘; dari al-Tsaurî, Hisyâm ibn Ishâq ibn

‘Abdillâh ibn Kinânah, dari ayahnya, dari Ibn


‘Abbâs. Demikian juga menurut Hâtim ibn Ismâ‘ il
dari Hisyâm ibn Ishâq.’Abdullâh ibn Kinânah
temasuk perawi yang misterius (majhûl).637 Ibn
Hajar menilainya majhûl min al-sâbi‘ah.638 Tidak
ditemukan keterangan lebih lanjut kapan ‘Abdullâh
ibn Kinânah meninggal.

(4). Abâh (Kinânah ibn ‘Abbâs ibn Mardâs al-


Salamî)

6 35 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. V, h. 270.


66 36
37 Ibn
38 Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb
Tahdzîb …, vol.
..., vol.
…, I,
I, h.
vol.IV, 228
h.h.360.
319.
446.
Ia menerima hadis hanya dari ayahnya
‘Abbâs ibn Mirdâs ibn Abî ‘Âmir. Sedangkan orang
yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya
adalah anaknya ‘Abdullâh ibn Kinânah ibn al-

‘Abbâs ibn Mardâs. Sebagaimana ahli hadis menilai


anaknya ‘Abdullâh, Kinânah juga termasuk perawi
yang misterius (majhûl) walaupun Ibn Hibbân
menganggapnya tsiqah. Namun pada kesempatan
lain dia mengatakan munkar jiddan. Bahkan Al-
Bukhârî menganggap hadisnya tidak shahîh.639 Ibn
Hajar menilainya majhûl min al-tsâlitsah.640 Kapan
dia meninggal tidak ada keterangan lebih jauh.
Dengan demikian Kinânah ibn ‘Abbas ini dianggap
kurang dhabîth.

(5). Abîh (‘Abbâs ibn Mardâs ibn Abî ‘Âmir al-


Salamî)
Ia biasa dipanggil Abû al-Haitsam dan ada
yang mengatakan Abû al-Fadhl. Sebagai seorang
sahabat, ‘Abbâs ibn Mardâs masuk Islam sebelum
penaklukan kota Makkah (fath Makkah). ‘Abbâs ibn
Mardâs seorang al-mu’allafah yang pernah
mengharamkan khamar pada masa Jahilîah. Ia
meriwayatkan hadis dari Nabi Saw. Sedangkan
orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Abbâs ibn
Mardâs adalah anaknya Kinânah dan ‘Abd al-
Rahmân ibn Anas al-Salamî. Ia diperkirakan
(ka`annahu) meninggal pada masa pemerintahan

‘Utsmân. 641

66 39
6 41 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol.Ibn
40 IbnIV,Hajar,
Hajar, Tahdzîb
h. 219. Cf. Ibn…,
Tahdzîb …, vol.
Hajar, VI,
vol. al-Ishâbah229
I, h.h.462.
591.…, vol. III, 633.
Kualitas hadis: hasan, karena dalam sanad ada ‘Abd al-
Qâhir ibn al-Sarî al-Salamî al-Bashrî yang dinilai maqbûl.
Kemudian ada lagi ‘Abdullâh ibn Kinânah dan Kinânah
ibn ‘Abbâs serta ‘Abd al-Qâhir yang keduanya dinilai

majhûl.

Berkenaan dengan penilaian kedua majhûl di atas,


kelihatannya lebih baik di-pending karena ketidak-
jelasannya. Menangguhkan penilaian yang tidak jelas
(majhûl, misterius) masih lebih baik dari pada terjebak
dalam kekeliruan. Sebab itu, kualitas sanad hadis di atas
dapat digolongkan ke dalam kualitas hasan bukan dha‘îf.
Hadis tentang “Menjaga lidah supaya tidak mendo’akan
kecelakaan atas orang yang sewenang-wenang (dzâlim)”
di atas, selain oleh Ibn Mâjah, hadis ini juga diriwayatkan
oleh Ahmad ibn Hanbal.642 Namun riwayat Ahmad ibn
Hanbal tersebut tidak dapat mengangkat kualitasnya.
Sebab di dalam sanad tersebut juga ada ‘Abdullâh ibn
Kinânah yang dipandang majhûl min al-sâbi‘ ah, sehingga
hadis tentang menjaga lidah agar tidak mendo’akan
kecelakaan atas orang berbuat sewenang-wenang tetap
dipandang hasan.

3.8. Meremehkan orang lain (al-Mizâh wa al-sikhrîyah wa


al-istihzâ` bi al-nâs)
Kelihatannya al-Ghazâlî dalam hal ini sangat
menekankan agar selalu menjaga lidah jangan sampai
main-main dan mengolok-olok yang dapat menyinggung
orang lain. Untuk menopang pernyataannya ini, dia hanya
mengemukakan pengalaman Abû Bakar al-Shiddîq,

230 nmor 16252.


6 42 Ahmad ibn Hanbal, Sunan, vol. IV, hadis
dimana dia pernah meletakkan batu di mulutnya agar
tidak berbicara sembarangan.643

Ad.4. Perut
Berkenaan dengan urusan perut, al-Ghazâlî
menganjurkan agar tidak diisi dengan makanan yang
haram dan bahkan syubhat sekalipun. Perut sebaiknya
diisi dengan makanan yang halal dan tidak sampai
kenyang. Sebab rasa kenyang hanya akan membuat hati
jadi keras dan merusak pikiran. Selain itu, perut yang
kekenyangan akan membuat anggota tubuh jadi malas
beribadah dan menuntut ilmu pengetahuan serta
memperkuat nafsu syahwat dan menolong pasukan
syaithan. Kenyang dengan makanan halal saja merupakan
awal dari segala kejahatan, apalagi dengan yang haram.

Ad.5. Kemaluan
Mengawali pembicaraannya tentang kemaluan (farj),
al-Ghazâlî memulainya dengan surat al-Mu`minûn
(orang-orang yang beriman)/23: 5-6; bersamaan dengan
surat al-Ma ‘ârij (tempat-tempat naik)/70: 29-30 ;

.
.
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela” .

Qur`an dan Terjemahnya), Yayasan 6 43 Penyelenggara dan…,


Al-Ghazâlî, Bidâyat Penterjemah/
h. 13. Penafsir Al-Qur`an, Jakarta,
1971, h. 6526
44 dan 231 Ma ’anîh (Al-
975.al-Harâmain asy-Syarîfain., Al-Qur`an al-Karîm wa Tarjamat
Khadîm
Memelihara kemaluan berarti harus menjaga
pandangan mata, hati dan perut dari rasa kenyang terus
menerus.

Ad. 6. Dua tangan


Ada beberapa hal yang dianggap penting berkenaan
dengan dua tangan yang merupakan bahagian dari anggota
tubuh, antara lain: menghindari pemukulan sesama muslim,
mengambil harta yang haram, mengkhianati kepercayaan dan
titipan dan memelihara pena dari sesuatu yang harus dijaga
oleh lidah. Demikian menurut al-Ghazâlî.645

Ad. 7. Dua kaki (âb al-Rijlain)


Ketika membicarakan masalah dua kaki, al-Ghazâlî
memperingatkan agar jangan sampai melangkah kepada hal-
hal yang haram dengan mengemukakan dua hadis sebagai
berikut:

(Hadis Nomor 54):

646 .
Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk

mendukung ayat yang melarang seseorang supaya tidak


cendrung bergaul dengan orang-orang yang dzâlim, yaitu
surat Hud/11: 113;

.
Artinya: “Dan janganlah kamu cendrung kepada orang-orang
yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka,
dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun
sekain daripada Allâh, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan”.

66 45
6 47 Khadim 46 Al-Ghazâlî,
al-Haramain Bidâyat
Bidâyat …,
Al-Ghazâlî,al-Syarifain, h.
h. 13.
…,al-Qur`an
14. 232 …, h. 344.
al-Karîm
Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bayhaqî secara

marfû‘ dalam al-Syu‘ab oleh ‘Abdillâh ibn Mas‘ûd r.a. dari


al-A‘masy, katanya:

Kualitas hadis: sangat dha‘îf, karena di dalam sanad-nya


Muhammad ibn al-Qâsim al-Thâlikânî, yang terkenal sebagai
pemalsu hadis (tadlîs al-hadîts). Demikian Ibn al-Jawzî, al-
Dzahabî. Sementara al-Syawkânî menghukum hadis tersebut
palsu (mawdhû‘), Namun al-Suyûthî, al-Sakhawî, dan al-
Ajlânî menolaknya dengan alasan hadis tersebut memiliki
beberapa thûruq yang meskipun beberapa sanad di antaranya
sangat dha‘îf bahkan mawdhû‘, namun dia tetap mempunyai
sumber atau ashl yang dikenal dengan istilah lahu ashl.649

Wallâhu a‘lam bi al-shawâb.


(Hadis Nomor 55):

650 .

Hadis tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai


landasan agar jangan sekali-kali menganggap sepele dengan
ke-Maha Muliaan dan sifat Maha Pengasih-Nya terhadap
pelaku ma ‘shîyat, dan jangan mengumbar nafsu serta

6 48 Ahmad Lutfi, Tesis …, h. 317-318. Cf. al-Bayhaqî, Syu’ ab …, vol. VI, hadis nomor
8232, h. 298.
Tartîb 6al-Mawdhû’ât, hadisibn
49 ‘Abd al-Rahmân nomor
6 ‘Âlî 948, Dâral-Mawdhû’ât,
50 Al-Ghazâlî,
al-Jawzî, al-Kutub
Bidâyat …, 14. III, h.233
al-‘Ilmîyah,
h. vol. Beirut,
133. Cf.t.t., h. 266.
Al-Dzahabî,
berangan-angan tanpa dibarengi usaha keras. Hal ini
diperkuat lagi dengan beberapa surat di bawah ini, yaitu:
1). Surat an-Najm (Bintang)/53 : 39;

.
Artinya: “ dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.

2). Surat al-Thûr (Bukit)/52: 16 dan al-Tahrîm


(Mengharamkan)/66: 7;

. ...
Artinya: “… sesungguhnya kamu diberi balasan terhadap apa
yang kamu kerjakan”.652

3). Surat al-Infithâr (Terbelah)/82: 13 dan al-Muthaffifîn


(Orang-orang yang curang)/83: 22;

.
Artinya: “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar
berada dalam keni’matan yang besar (surga)”.653

Melalui ayat-ayat di atas, al-Ghazâlî ingin


menekankan agar kerja keras perlu diwujudkan dengan
menjaga keseimbangan antara mencari ilmu dan harta dengan
pembekalan untuk kepentingan akhirat.

Secara lengkap sanad hadis kedua di atas adalah


sebagaimana diriwayatkan oleh al-Turmudzî.

6653
52Khadim 6 51 Khadim
Khadimal-Haramain
al-Haramainwa al-Haramain
waal-Syarifain,
al-Syarifain, al-Syarifain,
al-Qur`an
al-Qur`an …,
…,h.h.234
al-Qur`an
1033 dan…,
866 dan h. h. 874.
1036.
951.
:

.
Artinya: Nabi Saw. pernah bersabda: “Orang pintar (mampu
melihat baik dan buruk sesuatu) adalah orang yang bisa
mengendalikan nafsunya dan beramal untuk keperluan
sesudah mati. Sementara orang lemah, yaitu orang yang
memperturutkan hawa nafsunya dan selalu berangan-angan
kepada Allâh".

Telaah sanad:
(1). Sufyân ibn Wakî’ ibn al-Jarrâh al-Ru`asî

Ia yang populer dengan panggilan Abû


Muhammad al-Kûfî meriwayatkan hadis antara lain dari
ayahnya Wakî’ ibn al-Jarrâh al-Ru`asî, Abî Sufyân
Muhammad ibn Hamîd al-Ma’marî, dan ‘Isa ibn Yûnus.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Sufyân
ibn Wakî‘ adalah al-Turmudzi, anaknya ‘Abd al-
Rahmân ibn Sufyân, Abû Bakar Ahmad ibn ‘Alî ibn
Sa‘îd al-Marwazî al-Qâdhî, dan lain sebagainya. Para
ahli hadis menilainya shadûq. Menurut al-Bukhârî, ia

hari kiamat. Diriwayatkan juga melalui ‘Umar ibn al-Khaththâb, katanya: “Audit diri kamu
(hâsibû) sebelum kamu diaudit, Penghitungan (al-hisâb, audit) akan lebih ringan pada hari kiamat
terhadap 6orang yang
54 Arti telah lebih diri
mengendalikan duludimengaudit dirinya di diri
sini, selalu introspeksi dunia. Berhiaslah
di dunia sebelumuntuk sesuatu
diaudit pada yang
luas dan besar. Diriwayatkan juga dari Maimûn ibn Mahrân, katanya: “Seorang hamba tidak akan
menjadi taqwa selama belum introspeksi diri, sebagaimana dia mengaudit 235 2459, Bâb 25, h. 638.
wafat pada Rabî‘ al-Âkhir 247 H.655 Ibn Hajar
menilainya

(2). ‘Isa ibn Yûnus ibn Abî Ishâq al-Sabi’î al-Kûfî


Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘Amr
dan ada yang mengatakan Abû Muhammad
meriwayatkan hadis, antara lain dari ayahnya Yûnus ibn
Abî Ishâq, anak pamannya Yûsuf ibn Ishâq ibn Abî
Ishâq dan Abî Bakar ibn ‘Abdillâh ibn Abî Maryam.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari ‘Isa ibn
Yunus adalah Muhammad ibn ‘Ubaid ibn Maimûn al-
Tabân al-Madînî, Yazîd ibn Khâlid ibn Mûhib al-Ramlî,
Sufyân ibn Wakî’ al-Jarrâh dan lain sebagainya.
Umumnya ahli hadis menilainya tsiqah ma`mûn. Ia
wafat awal tahun 187 dan ada yang mengatakan 191
H.657 Ibn Hajar juga menilainya tsiqah ma`mûn.658

(3). Abû Bakar ibn ‘Abdillâh ibn Abî Maryam al-


Ghassânî al-Syâmî
Namanya adalah Bukair, dan ada yang
mengatakan ‘Abd al-Salâm. Ia meriwayatkan hadis,
antara lain dari ayahnya ‘Abdillâh ibn Abî Maryam al-
Ghassânî al-Syâmî dan anak pamannya al-Walîd ibn
Sufyân ibn Abî Maryam, serta Dhamrah ibn Habîb.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Abî
Bakar ibn ’Abdillâh ibn Abî Maryam adalah ‘Abdullâh
ibn al-Mubârak, ‘Isa ibn Yûnus, Abû al-Mughîrah ‘Abd

6 55 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. III, h. 407-408.


66 56
57 Ibn
58 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I.
vol. h.
h. 345.
I.IV, 441. 236
h. 355-358.
al-Quddûs ibn al-Hajjâj al-Khaulânî dan lain
sebagainya. Menurut Harb ibn Ismâ‘il yang berasal dari
Ahmad, mengatakan dha‘îf. Menurut al-Ajarî yang
berasal dari Abî Dâud, katanya laisa bi syai`. Bahkan
Abû Hâtim mengatakan ketika dia menanyakan Ibn
Ma’in perihal Abû Bakar, lalu dia men-dha‘ îf-kannya.
Abû Zur’ah juga mengatakan dha‘îf, bahkan munkar al-
hadîts. Demikian pula al-Juzjanî, mengatakan laisa bi
al-qawîy. Al-Nasâ’î dan al-Dâruquthnî dha‘îf.659 Ibn
Hajar menilainya

. Ia
meninggal pada tahun 156 H.660

(4). ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân


Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘ Abd al-
Rahmân ibn al-Fadhl ibn Bahram ibn ‘Abd al-Shamad
al-Dârimî al-Tamîmî. Ia seorang al-hafîdz yang biasa
dipanggil dengan Abû Muhammad al-Samarqandî. Ia
meriwayatkan hadis antara lain dari Abî ‘Alî

‘Ubaidillâh ibn ‘Abd al-Majîd al-Hanafî, Abî al-


Mughîrah ‘Abd al-Quddûs ibn al-Hajjâj al-Khaulânî al-
Himshî, dan ‘Amr ibn ‘ Aun al-Wâsithî. Sementara
orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah al-
Turmudzî, Ibrâhîm ibn Abî Thâlib al-Naisâbûrî, Ahmad
ibn Muhammad al-Fadhl al-Sijistânî, dan lain
sebagainya. Al-Imâm Ahmad ibn Hanbal mengatakan

‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân adalah seorang Imâm,


bahkan ia katakan kepada orang lain dengan berkali-kali
tentang ke-imâm-annya. Bahkan menurut Muhammad
ibn ‘Abdullâh ibn Numair ke- wara‘-an dan daya
hafalnya mengalahkan kita. Abû Sa‘îd al-Asyaju
mengatakan, bahwa dia itu ikutan kita (imâmuna).

6 60
59 Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I.X,
h. h.
623. 237
32-33.
Pernah dikabarkan di dalam kitab al-Zuhrah, bahwa
Muslim meriwayatkan hadis darinya sebanyak 73
hadis.661 Ibn Hajar menilainya

. Abû Muhammad wafat pada tahun 255 H. 662

(5). ‘Amr ibn ‘Aun ibn al-Ja’d, Abû ‘Utsmân al-Wâsithî


Ia meriwayatkan hadis dari kedua al-Hammad
(al-Hammadain), Hâsyim, Syuraik, Abî ‘Awânah,
Khâlid ibn ‘Abd Allâh, ‘Abd al-Salâm ibn Harb, Abî
Mu’awîah, Syu‘aib ibn Ishâq, Abî Ya‘qûb al-Tawwâm,
Wakî‘’, Ibn Abî Za’idah, ‘Ammârah ibn Zâdzân, Hafsh
ibn Ghîyâts, dan lain sebagainya. Orang yang menerima
hadis dari ‘Ansr ibn ‘Aun adalah al-Bukhârî dan Abû
Dâud. Di samping itu, ‘Amr ibn ‘Aun meriwayatkan
juga dari al-Bukhârî serta lainnya melalui ‘Abdullâh ibn
Muhammad al-Musnadî. Kemudian Hajjâj ibn al-Syâ‘ir,

‘Abdullâh al-Dârimî, ‘Abdullâh ibn Sulaiman al-


Rahâwî, Muhammad ibn Dâud ibn Shâbih, ‘Utsmân ibn
Kharzadz, al- ‘Abbâd ibn Ja‘far ibn al-Zabarqan, Yahyâ
ibn Ma’in, anaknya Muhammad ibn ‘Amr, Abû
Qudâmah, al-Sarkhasî, Muhammad ibn ‘Abdirrahîm al-
Bazzâr, Abû Zur ’ah, Abû Hâtim, Ya‘qûb ibn Syaibah,

‘Abd al-Karîm al-Dair ‘Aqulî, Ismâ‘il Sumawaih,


Ahmad ibn Bahz al-Dhabbî, ‘Alî ibn Abd al-‘Azîz al-
Baghawî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis
menilainya tsiqah. Demikian menurut Ibn Hibbân yang
juga memasukkannya dalam deretan orang-orang

tsiqah.663 Ibn Hajar menilainya tsiqah tsabat min al-


‘âsyirah. Ia wafat 225 H.664

6 61 Ibn Hajar, Tahdzîb…, vol. IV, h. 372-375.


66 62
63 Ibn
64 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I.
vol. h.
h. 311.
I.VI, 425. 238
h. 193-194.
(6). Ibn al-Mubârak al-Hanzhalî al-Tamîmî

Namanya adalah ‘Abdullâh ibn al-Mubârak ibn


al-Wadhîh. Ia menerima hadis antara lain dari Abî
Bakar ibn ‘Utsmân ibn Sahl ibn Hanîf, Muhammad ibn
Ibrâhîm ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân ibn
Tsaubân dan Abî Bakar ibn Abî Maryam. Sementara
orang yang menerima hadis dari Ibn al-Mubârak adalah
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Ishâq ibn al-Thâliqânî,
koleganya Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Muhammad al-
Fazzârî, ‘Amr ibn ‘Aun al-Wâsithî, dan sebagainya.
Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah, hadisnya
layak dijadikan hujjah.665 Ibn Hajar menilainya

. . Ia wafat 181 H.666

(7). Dhamrah ibn Habîb ibn Shuhaib al-Zubaîdî


Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘Utbah
al-Syâmî al-Himshî meriwayatkan hadis antara lain dari
Syaddâd ibn Aus al-Anshârî, ‘Anbasah ibn Sa‘îd ibn al-

‘Ash al-Umawî, dan Muhammad ibn Abî Sufyân ibn al-


‘Ala` ibn Jâriyah al-Tsaqafî. Sementara orang yang
menerima hadis dari Dhamrah ibn Habîb adalah
anaknya ‘Utbah ibn Dhamrah ibn Habîb, Mu‘âwiyah
ibn Shâlih al-Hadhramî, Abû Bakar ibn ‘Abdillâh ibn
Abî Maryam al-Ghassânî, dan sebagainya. ’Utsmân al-
Dârimî yang berasal dari Ibn Ma’in menilainya al-
Dârimî yang berasal dari Ibn Ma’ in menilainya tsiqah.
Ibn Sa’ad mengatakan tsiqah insyâ ’ Allâh. Sementara
Abû Hâtim mengatakan la ba’s bih. Ibn Hibbân
memasukkannya dalam kelompok orang-orang

6 66
65 Ibn Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
…,vol.
vol.I.V,
h. h. 334.239
320.
tsiqah.667 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-râbi‘ah. Ia
wafat tahun 130 H.668

(8). Syaddâd ibn Aus ibn Tsâbit al-Anshârî al-Najjârî


Ia yang populer dengan panggilan Abû Ya’la
dan ada yang mengatakan Abû ‘Abd al-Rahmân al-
Madanî yang juga merupakan sahabat meriwayatkan
hadis dari Nabi Saw. dan dari Ka‘b al-Ahbâr.
Sementara orang yang menerima hadis lewat Syaddâd
ibn Aus adalah ‘Abd al-Rahmân ibn Ghanam, kedua
anaknya Ya’lâ ibn Syaddâd dan Muhammad ibn
Syaddâd ibn Aus, Dhamrah ibn Habîb, dan sejumlah
orang lainnya.

Menurut ‘Ubâdah ibn al-Shâmit, Syaddâd ibn


Aus termasuk ilmuwan yang meninggal pada tahun 64
H. Namun menurut Ibn Sa‘d dan yang lainnya, pada
tahun 58 H. Pendapat tentang kapan meninggalnya
Syaddâd cukup beragam. Ada juga yang mengatakan
tahun 41, 64 dan 58 H.669
Skema sanad hadis yang menjelaskan tentang larangan

anggap remeh dengan sifat Maha Mulia dan Pemurah-Nya


terhadap pelaku mas’shîyat, dan jangan mengumbar nafsu
serta berangan-angan adalah sebagai berikut:

Rasulullah Syaddâd ibn Aus

Dhamrah ibn Habîb

Abû Bakar ibn Abî Maryam

66 67
6 69 Ibn Hajar , Tahdzîb …, 68 Ibn
vol. Hajar,
IbnIII,
Hajar, Tahdzîb
h. 604.
Taqrîb …,Hajar,
Cf. Ibn
…, vol.I.IV,
vol. h. 88.240
al-Ishâbah
h. 280. …, vol. III, h. 319.
‘Isa ibn Yûnus Ibn al-Mubârak

Sufyân ibn Wakî’ ‘Amr ibn ‘Aun

‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân

At-Turmudzî

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Sufyân ibn


Wakî‘’ yang dinilai shadûq dan Abû Bakar ibn ‘Abdillâh ibn
Abî Maryam yang dinilai dha‘îf. S

Hadis yang menjelaskan tentang kehati-hatian dengan


sifat ke-Maha Muliaan dan sifat Maha Pengasih-Nya
terhadap pelaku ma‘shîyat, jangan mengumbar nafsu dan
berangan-angan tanpa usaha, tampaknya hadis tersebut tidak
hanya ada dalam riwayat al-Turmudzî, tetapi al-Nasâ`î, Ibn
Mâjah, Ahmad dalam Musnad dan al-Zuhd, al-Hâkim dan al-
Thabrânî dalam al-Mu‘jam al-Kabîr, al-Mu‘jam al-Shaghîr

dan Musnad al-Syamîyîn juga meriwayatkannya. Kemudian


al-Bayhaqî dalam al-Syu’ab, Abû Nu‘aim dan Ibn Abî al-
Dunyâ dalam Muhâsabat al-Nafs serta al-Khathîb dan al-
Qudhâ`. Kesemuanya berasal dari Shaddâd ibn Aws lewat
jalur Abû Bakar ibn ‘ Abdillâh ibn Abî Maryam.670 Dengan

kitâb hadis nomor 2459; Ibn Mâjah, Sunan, kitâb zikr al-mawt wa al-isti’dâd lah, hadis nomor
4260; Ahmad, Musnad, vol. IV, h. 124; Ahmad, al-Zuhd, hadis nomor 206, h. 66; al-Hâkim, al-
Mustadrak,
6 70kitâb al-Îmân, Sunan,
Al-Turmudzî, bâb al-Kays man al-qiyâmah,
kitâb shifat dâna nafsuhhadis
wa nomor
‘amil li2461.
mâ ba’d al-Mawt,Sunan,
Cf. al-Nasâ`î, vol. I, h. 57;
al-Thabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, vol. VII, hadis nomor 7143, h. 284;241 al-
demikian, kualitas sanad hadis tersebut tetap dha‘îf.671 Abû
Bakar ibn ‘Abdillâh ibn Abî Maryam merupakan tokoh kunci
dalam periwayatan hadis tersebut, sekalipun thuruqnya cukup
banyak.

Al-Turmudzî menilai hadis ini dengan kualitas hasan,


al-Hâkim menilainya shahîh mengikut syarat al-Bukhârî,
namun al-Dzahabî menolaknya dengan mengingatkan bahwa

Abû Bakar merupakan perawi yang (sangat dha‘îf). Al-


Suyûthî tidak tinggal diam, ikut juga menilainya shahîh.
Namun al-Munâwî menolaknya dengan mengutip perkataan
al-Dzahabî di atas dan pendapat Ibn Thâhir bahwa Abû Bakar
merupakan posisi kunci dalam sanad hadis tersebut,
sementara dia sangat dha‘îf.672

Dalam biografi Abû Bakar ibn ‘Abdillâh ibn Abî


Maryam menginformasikan bahwa Ahmad dan beberapa ahli
hadis menilainya dha‘ îf. Ibn Hibbân misalnya, mengatakan
bahwa hafalannya buruk, sehingga tidak boleh berhujjah
dengannya apabila dia sedang sendirian (
,
). Ibn ‘Adî mengemukakan; bahwa hadis-hadisnya cukup
layak, namun tidak dapat dijadikan hujah (
). Ibn Hajar memberikan penjelasan alasan mengapa dia
dinilai dha‘îf, karena rumahnya kemalingan yang membuat
kitab-kitabnya ikut hilang, sehingga menyebabkan dia

mukhtalith. Konon, menurut Ahmad; sebelumnya dia


merupakan salah seorang sumber ilmu ( ).

Dengan demikian jelaslah bahwa hafalannya membuat


riwayatnya menjadi dha‘îf kendati pribadinya merupakan

6 71 Bandingkan dengan Syekh al-Albanî yang juga menilai sanad hadis tersebut dha‘îf.
6 72 Al-Dzahâbî,Munâwî,
Lihat al-Turmudzî,
Faydh
al-Talkhîsh, vol. al-Qadîr,
I, h.Sunan, vol.
vol.V,IV,
h.al-Jâmi’
57; al-Suyuthî, h.638. 242 vol. II, 256; al-
67-68. al-Shaghîr,
sosok seorang ilmuwan yang jujur.673 Jadi, sanad hadis
tersebut dha’ îf.
Hadis tersebut memiliki syâhid yang diriwayatkan oleh
al-Bayhaqî dari Anas lewat jalur ‘Awn ibn ‘ Ammârah dengan
lafal:

Al-Bayhaqî, Abû Dâud serta al-Bukhârî memandang


dha‘îf ‘Awn ibn ‘Ammârah al-‘Abdî ( ).
Sementara menurut Abû Hâtim selain dha‘îf, ‘Awn ibn
‘Ammârah juga munkar al-Hadîts.674 Jadi, syâhidnya juga
dha‘îf, sehingga belum bisa menaikkan kualitas sanad hadis
pokok yang dha‘îf menjadi hasan.

Dalam berbagai kitab dikemukakan, bahwa al-Hâkim


menyebutkan hadis tersebut pada dua tempat dengan
penilaian shahîh. Al-Dzahabî pada kali pertama menolak
kalau hadis tersebut dipandang shahîh. Pada kali kedua, dia
tidak memberi reaksi sama sekali. Diamnya ini mengundang
interpretasi yang berbeda; bisa setuju dengan penilaian
pertama, yaitu shahîh. Dan bisa sebaliknya. Namun
sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Luthfi; bahwa
diamnya itu bukan berarti setuju dengan al-Hâkim yang
menilainya shahîh, akan tetapi lebih dikarenakan oleh

sanadnya yang tidak berbeda sama sekali. Jadi, sanad hadis


tersebut tetap dha‘îf menurut al-Dzahabî.675

6 73 Al- Dzahâbî, Mîzân al-I’tidâl, vol. IV, h. 497-498; Cf. Ibn Hajar, al-Taqrîb al-
Tawdhih, h. 623.
ibn ‘Ammârah dalam al-Dzahabî,
6 74 Al-Bayhaqî Mîzânvol.
, Syu’ab al-Îmân, al-I’tidâl,
VII, hadisvol. III, 1045,
nomor h. 306;
h. Cf.
350;‘Abd
Lihat al-Rahmân
biografi ‘Awn ibn Abî
Hâtim Muhammad ibn Idrîs Abû Muhammad al-Râzî al-Taymî, al-Jarh wa al-Ta ’dîl, vol. VI, Dâr
Ihyâ`al-mawt,
ba’d al-Turâtsvol.
al-‘Arabî,
I, h. al-Mustadrak,
6 75 Al-Hâkim, 57Beirut,
dan vol.
1952,
IV, h.h.325;
kitâb 388.al-Dzahabî,
al-Îmân, bâb al-kays man dâna243
al-Talkhîsh, vol. I,wa
nafsuh h. ‘amil
57 dan vol. IV, h.
li mâ
BAB IV
AL-QAUL FÎ MA‘ASHÎ AL-QALB DAN AL-QAUL FÎ ÂDÂB AL-
SHAHÂBAH SERTA EVALUASI

A. Hadis-Hadis Tentang al-Qaul Fî Ma‘âshî al-Qalb

Ketika berbicara masalah ma ‘shîyat hati, al-Ghazâlî


mengemukakan bahwa sifat-sifat tercela dalam hati cukup banyak
sementara untuk membersihkan hati tersebut membutuhkan waktu yang
sangat panjang. Di antara sifat-sifat ma ‘shîyat hati tersebut, adalah: al-
hasad, al-rîyâ` dan al-‘ujub.

Al-Ghazâlî mengemukakan lima hadis untuk menopang antisifasi


sifat-sifat ma ‘shîyat hati tersebut, sebagai berikut:

(Hadis Nomor 56):

. :

Hadis tersebut dikemukakakan oleh al-Ghazâlî untuk selalu


waspada terhadap penyakit hati, seperti hasad, rîya dan ‘ujub. Sebab
mengandalkan niat baik (shâlihah) an sich dalam menuntut ilmu misalnya,

tidak cukup. Secara lengkap sanad hadis tersebut sebagaimana riwayat al-
Thabrânî:

325; al-Suyuthî, al-Durar al-Muntathirah, hadis nomor 330, h. 343; al-Zarkasyî, al-Tadzkirah, h.
139; al-‘Ajlânî, Kasyf al-Khafâ`, vol. II, hadis nomor 2029, h. 136; al-Sakhâwî, al-Maqâshid al-
hasanah, hadis nomor 850, h. 229-230; Ahmad Lutfi, Tesis …, h. 320.244
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Ada tiga hal yang membuat
celaka;

Telaah sanad:
(1). Muhammad ibn Muhammad al-Jazû‘î

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn


Syaddâd Abû ‘Abdillâh al-Anshârî yang juga dikenal dengan nama
al-Jadzû’î. Ketika di Baghdâd, ia meriwayatkan hadis antara lain dari
Musaddad ibn Musarhad, Shâlih ibn Hâtim ibn Wardân, dan

‘Ubaidillâh ibn ‘Umar al-Qawârîrî. Sementara orang yang pernah


meriwayatkan hadis daripadanya adalah Abû ‘Amr ibn Sammâk,
Ismâ ‘îl ibn ‘Alî al-Khathabî dan Muhammad ibn ‘Alî al-Haitsam al-
Muqri`. Ahli hadis menilainya tsiqah. Abû ‘Abdillâh al-Jazû‘î
meninggal pada bulan Jumâdî al- Âkhirah tahun 291 H.677

(2). Ibrâhîm ibn Muhammad ibn ‘Ar’arah


Nama lengkapnya adalah Ibrâhîm ibn Muhammad ibn
‘Ar’arah ibn al-Bernad ibn al-Nu’ mân ibn ‘Aljah al-Qurasyî al-
Syâmî. Ia yang populer dengan panggilan Abû Ishâq al-Bashrî
meriwayatkan hadis antara lain dari Ismâ‘îl ibn ‘Abd al-Karîm ibn
Ma’qal ibn Munabbih, Abî Bakar ‘Abd al-Kabîr ibn ‘Abd al-Majîd
al-Hanafî, dan Muhammad ibn Abî ‘Ubaidah ibn Ma’an al-Mas‘ûdî.
Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis dari padanya
adalah Ahmad ibn al-Hasan ibn ‘Abd al-Jabbâr al-Shûfî, Abû Bakar
Ahmad ibn Abî Khaitsamah Zuhair ibn Harb, Abû Zur’ah

‘Ubaidullâh ibn ‘Abd al-Karîm al-Râzî, dan sebagainya. Umumnya

Kanz
6 76 Al-Thabrânî, …,6vol.
al-Mu’jam XV, hadisvol.
77al-Ausath, nomor
Al-Baghdâdî, V, 43263,
Tarîkh
hadis
Baghdâd,
nomor vol. 245
h. 5452,
1254. III,
h. 328.
h. 205-207.
Cf. Al-Hindî,
ahli hadis memandangnya tsiqah. Ia wafat tahun 231 H.678 Ibn Hajar
menilainya

.
(3). Hamîd ibn al-Hakam al-Qurasyî
Ia meriwayatkan hadis dari al-Hasan, dan orang yang pernah
meriwayatkan hadis dari padanya adalah ‘Amr ibn ‘Âshim dan Mûsa
ibn Ismâ‘îl. Menurut Ibn Hibbân, Hamîd ibn al-Hakam al-Qurasyî
adalah munkar al-hadîts jiddan. Bahkan dalam kitab al-Majrûhîn

dikatakan tidak bisa dijadikan hujjah apabila dia sendirian dalam


periwayatan.680

(4). Al-Hasan (Ibn Abî al-Hasan al-Bashrî)


Ia merupakan tokoh tabi’in yang pernah melihat dan
mendengar khutbah ‘Utsmân (ibn ‘ Affân) serta ‘Alî (Ibn Abî
Thâlib). Al-Hasan banyak memursal-kan hadis. Sebab itu, al-Nasâ`î
cs memandangnya sebagai tadlîs al-isnâd. Menurut al-Bazzâr, dia
riwayatkan hadis dari sekelompok orang yang dia tidak mendengar
langsung dari mereka. 681 Ibn Hajar menilainya

.
Ia wafat tahun 110 H.682

(5). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn al-Nadhr ibn
Dhamdham ibn Zaid ibn Harâm ibnn Jundub ibn ‘Âmir ibn Ghanam

6 78 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 135.


6 79 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 93.
6 80 Ibn Hajar, Lisân …, 6vol.
81 II.
82 IbnH.Hajar,
Ibn 363. Taqrîb
Hajar, Cf. Ibn…,
Hibbân,
Thabaqât …, 246vol. I, h. 262.
I,al-Majrûhîn,
vol.vol.h.I,160.
h. 29.
ibn ‘ Adî ibn al-Najjâr al-Anshârî. Ia merupakan sahabat yang
meriwayatkan hadis antara lain dari Nabi Saw., Ubai ibn Ka‘b, dan
Tsâbit ibn Qais ibn Syammâs. Sementara orang yang pernah
meriwayatkan hadis daripadanya adalah anak saudaranya Ishâq ibn

‘Abdillâh ibn Abî Thâlhah, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanîf,
al-Hasan al-Bashrî, dan sebagainya. Ia yang termasuk perawi
terbanyak di antara sahabat dari Nabi Saw. wafat tahun 92 dan ada
yang mengatakan 93 H.683

Skema sanad hadis tersebut adalah:


Rasulullah Saw. Anas ibn Mâlik

al-Hasan ibn Abî al-Hasan

Hamîd ibn al-Hakam

Ibrâhîm ibn Muhammad ibn ‘Ar ‘arah

Muhammad ibn Muhammad al-Jazû ‘î


Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Hamîd ibn al-Hakam
yang dinilai oleh Ibn Hibbân sebagai perawi yang tidak layak dijadikan

hujjah riwayatnya dan munkar jiddan.


Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bazzâr, al-Thabrânî di
dalam kitab Mu‘jam al-Awsath,684 yang menjelaskan bahwa ada pada
riwayat tersebut Ibn Lahî’ah dan seorang perawi yang misterius (man lâ
yu’raf).685 Kemudian Abû Nu‘aim dan al-Baihaqî dalam kitab al-Syu‘ab

dengan sanad dha‘îf.686

6 83 Ibn Hajar, al-Ishâbah …, vol. I, h. 126. Cf. Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. I, h. 329. Cf.
Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 115.
6 84 Al-Thabrânî, al-Mu‘ jam al-Ausath, vol. V, h. 328.
66 85 Nûr al-Dîn
Qawâ
86 Al-Haddâd, ‘Alî
’id,ibnvol.
Baihaqî,
Takhrîj Abî
Syu’ab
…, Bakar
I,vol.
Dâr h.al-Haytsamî,
I, al-Îmân,
al-Fikr, vol. I,Majma
Beirut,
17. Lihat juga hadis
1412
Abu ’nomor
Bakar 247
al-Zawâ ’id nomor
H.,Ahmad
hadis
745, wa Manba
h. 471.
ibn 313,’ al-
al-Husain, h.al-
329.
(Hadis Nomor 57):

687 .

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai pendukung


hadis di
atas. Secara lengkap sanad hadis tersebut adalah
sebagaimana riwayat Ibn
Mâjah:

Artinya: Rasululllah Saw. pernah bersabda: “Kedengkian akan menghabisi


seluruh kebaikan sebagaimana api melahap kayu api, dan sedekah akan
menutup kesalahan sebagaimana air memadamkan api. Salat merupakan
cahaya orang beriman dan puasa merupakan benteng dari api neraka".

Telaah sanad:
(1). Hârûn ibn ‘Abdillâh ibn Marwân al-Baghdâdî

Ia yang populer dengan panggilan Abû Mûsa al-Bazzâr, yang


juga terkenal dengan al-Hammâl meriwayatkan hadis antara lain dari
Abî Dâud Sulaimân ibn Dâud al-Thayâlîsî, Mu‘âwiyah ibn ‘Amr al-
Azadî, dan Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Abî Fudaik. Sementara orang

6 88
87 Al-Ghazâlî,
Ibn Mâjah Sunan,
Bidâyat
vol.
…,I,h.hadis 248
14. nomor 4210, h. 1408.
yang meriwayatkan hadis dari Hârûn ibn ‘Abdillâh adalah Abû al-
‘Abbâs Ahmad ibn Muhammad ibn Khâlid al-Barâtsî, Abû al-‘ Abbâs
Ahmad ibn Muhammad ibn al-Fadhl al-Mu`dzan, Ibn Mâjah, dan
sebagainya. Para ahli hadis menilainya tsiqah.689 Sementara Ibn
Hajar menilainya tsiqah hâfizh kabîr Baghdâdî min shighâr al-
hâdiyah ‘asyarah. Ia wafat 243 H.690

(2). Ahmad ibn al-Azhâr ibn Manî‘ ibn Salîth ibn Ibrâhîm al-‘Abdî
al-Naisâbûrî

Ia yang populer dengan pangilan Abû al-Azhar meriwayatkan


hadis antara lain dari Abî al-Mundzir Ismâ‘îl ibn ‘Umar al-Wâsithî,
Ismâ‘ îl ibn ‘Abd al-Karîm al-Shan’ânî, dan Muhammad ibn Ismâ‘
îl
ibn Abî Fudaik. Sementara orang yang menerima hadis dari Ahmad
ibn al-Azhar adalah Ibn Mâjah, Abû Ja‘far Muhammad ibn Jarîr ibn
Yazîd al-Thabarî, Abû Hamîd Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hasan
ibn al-Syarqay al-Naisâbûrî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis
menilainya tsiqah. Bahkan al-Nasâ’î dan al-Dâruquthnî
mengatakan
masih bisa ditolerir (la ba’s bih). Shâlih Jazrah mengatakan shadûq.
Menurut Ahmad ibn Sayyâr Ia meninggal awal tahun 261 H..
Sementara Husain al-Qabbânî, . mengatakan tahun 263 H.691 Ibn
Hajar (3). Ibn Abî Fudaik
menilainya
Nama Abû Fudaik adalah Muhammad ibn Ismâ‘ îl ibn
Muslim yang juga dikenal dengan Dînâr al-Dailî. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari ayahnya Ismâ‘îl ibn Muslim, Muhammad ibn

‘Amr ibn ‘Alqamah, dan ‘Îsa ibn Abî ‘Î sa al-Hannâth. Sementara


orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah Abû al-‘ Abbâs

‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Hamîd ibn ‘Umar ibn ‘Abd al-Hamîd ibn
Yahyâ ibn Sa‘d ibn Abî Waqqâsh, Hârûn ibn ‘Abdillâh al-Hammâl,

6 89 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IX, h. 24.


66 90
91 Ibn
92 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. I,I,h.
h.h.569.
77. 249
43-44.
Abû al-Azhar Ahmad ibn al-Azhar ibn Manî’ al-Naisâbûrî, dan lain
sebagainya. Ibn Hibbân mengelompokkannya dalam kategori tsiqah.
Al-Nasâ’i memandangnya laisa bihi ba’s. Sementara Ibn Sa‘d
mengatakan bahwa ia orang yang banyak meriwayatkan hadis,
namun hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah (laisa bi hujjah). Ibn
Ma’in memandangnya tsiqah.693 Ibn Hajar menilainya shadûq min
shighâr al-tsâminah. Ia wafat tahun 200 H. Demikian menurut
pendapat yang terkuat.694

(4). ‘Îsa ibn Abî ‘Îsa Maisarah al-Hannâth al-Khayyâth al-Khabbâth


al-Ghifârî al-Madanî
Ia yang populer dengan Abû Mûsa dan ada yang mengatakan
Abû Muhammad meriwayatkan hadis antara lain dari ayahnya Abî
‘Îsa al-Ghifârî, Mûsa ibn Anas ibn Mâlik, dan Abî al-Zanâd
‘Abdillâh ibn Dzikwân. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari ‘Îsa ibn Abî ‘Îsa adalah Marwân ibn Mu ‘âwiyah, Abû Khâlid
Sulaimân ibn al-Hayyân al-Ahmar, Muhammad ibn Ismâ‘îl ibn Abî
Fudaik, dan lain sebagainya. Berbagai macam penilaian muncul
terhadap ‘Îsa ibn Abî ‘Îsa, sebagaimana dikemukakan oleh al-
Bukhârî; ‘Alî menilainya dha‘îf yang berasal dari Yahyâ al-
Qaththân. ‘Amr ibn ‘Alî mengatakan; saya pernah mendengar Yahyâ
ibn Sa‘îd dan ‘Î sa al-Khayyâth sendiri mengatakan ketidaksukaannya
dengan ‘Îsa ibn Abî ‘Î sa karena kejelekan hafalannya, sehingga dia
tidak mau meriwayatkan hadisnya. Hal ini diperkuat oleh Abû Dâud,
al-Nasâ’î, dan al-Dâruquthnî yang mengatakan; matrûk al-hadîts. Al-
Daurî juga mengatakan yang berasal dari Ibn Ma’in, laisa bi syai`

dan tidak layak dituliskan hadisnya. Abû Hâtim mengemukakan

66 93
94 Ibn
Ibn Hajar,
Hajar, Tahdzîb …,vol.
Taqrîb …, vol.I,IX, h. 61.250
h. 468.
laisa bi al-qawîy, mudhtharib al-hadîts.695 Ibn Hajar menilainya
matrûk min al-sâdisah. Ia wafat pada tahun 151 H.696

(5). Abî al-Zinâd al-Qurasyî al-Madanî


Namanya adalah ‘Abdullâh ibn Dzikwân, Abû ‘Abd al-
Rahmân al-Madanî. Ia adalah maula Banî Umayyah yang lebih
dikenal dengan nama panggilan Abû al-Zinâd.697 Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân, Anas ibn Mâlik,
dan Abî Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanîf. Sementara orang yang
meriwayatkan hadis daripadanya adalah kedua anaknya Abû al-
Qâsim dan ‘Abd al-Rahmân serta ‘Îsa ibn Abî ‘Îsa al-Hannâth, dan
yang lainnya. Menurut al-Bukhârî bahwa sanad yang paling shahîh
lewat jalur Abû Hurairah adalah yang diriwayatkan oleh al-A‘raj
karena bersumber dari Abû al-Zinâd..698 Ibn Hajar menilainya tsiqah
faqîh min al-khâmisah. Abû al-Zinâd meninggal secara mendadak
pada bulan Ramadhân dalam usia 66 tahun pada tahun 130 H.699

(6). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar ibn
Dhamdham al-Anshârî. Ia merupakan sahabat yang meriwayatkan
hadis antara lain dari Nabi Saw., Ubai ibn Ka‘b, dan Tsâbit ibn Qais
ibn Syammâs. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
daripadanya adalah anak saudaranya Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn Abî
Thâlhah, Abû Umâmah As‘ad ibn Sahl ibn Hanîf, al-Hasan al-
Bashrî, dan sebagainya. Ia yang termasuk perawi terbanyak di antara
sahabat dari Nabi Saw. yang paling akhir wafat di Bashrah tahun 92

6 95 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. IV, h. 344-345.


6 96 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 440.
6 97 Kuniyah ini bukanlah panggilan yang dia senangi. Kuniyahnya yang sebetulnya adalah
Abû ‘Abd al-Rahmân. Demikian menurut Sufyân ibn ‘Uyainah. Ibn Hajar, Tahdzîb al-Kamâl, vol.
XIV, h. 476.
6 98 Al-Suyûthî,Tahdzîb
Is’âf …, …,
6h.99vol.
Ibn V,
15-16. h. 178.
Hajar,
Cf. Al-Zahabî,
Taqrîb …,Tazkirât
vol. I, h.…, vol.251
302. I, h. 134. Cf. Ibn Hajar,
dan ada yang mengatakan 93 H. 700 Ia masih kecil ketika Nabî
melakukan hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia kepada
Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabî.701

Skema hadis tentang “Mewaspadai penyakit hati” adalah sebagai


berikut:

Rasulullah Anas ibn Mâlik

Abû al-
Zinâd
‘Îsa ibn Abî ‘Îsa al-Hannâth

Ibn Abî Fudaik

Hârûn Ibn ‘Abdillâh Ahmad ibn al-Azhar

Ibn Mâjah

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Ahmad ibn al-Azhâr dan
Ibn Abî Fudaik serta Ahmad ibn al-Azhar yang keduanya dinilai shadûq.
Kemudian ‘Isa ibn Abî ‘Isa al-Hannâth yang dinilai matrûk al-hadîts.
Pada dasarnya ‘Isa ibn Abî ‘Isa termasuk perawi hadis yang banyak,
namun banyak juga di antaranya matrûk. Bahkan ia banyak muththarib,
sehingga orang enggan mengkoleksi hadisnya. Sedangkan Ibn Abî Fudaik
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, ingatannya tidak kuat. Sebab itu,
hadis di atas dipandang dha‘ îf.

7 00 Ibn Hajar, Ibn Hajar,


Hajar,al-Ishâbah
7 01 al-Ishâbah Taqrîb
…, vol. I,…, vol.
h.…, vol.I,
126. Cf.I,h.h.115.
Ibn312.
Hajar, 252
JugaTahdzîb
Ibn Hajar,
…, vol.
Is’âfI,…,
h. 329.
h. 6. Cf.
Hadis yang menjelaskan tentang mewanti-wanti penyakit hati,
seperti hasad, rîyâ dan ‘ujub tersebut di atas, selain hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abû
Dâud dengan lafal:

." " " "

Jalur ini juga dipandang dha‘îf oleh al-Albânî.702 Kemudian di


dalam sanad hadis tersebut ada Ibn Abî Asîd (jadd Ibrâhîm) yang disebut-
sebut misterius (majhûl), maka kualitas sanad-nya tetap dha‘îf. Selain Abû
Dâud, penilaian juga diberikan oleh al-Bukhârî yang berasal dari Abî
Hurairah dan Ibn Mâjah yang berasal dari Anas dengan penilaian dha‘îf.703

:
- :
704 .

Hadis qudsî ini dijadikan oleh al-Ghazâlî untuk menghindari sifat


rîyâ atau pamer yang merupakan kemusyrikan tersembunyi (al-syirk al-
khafî ).

(Hadis Nomor 58):

7 02 Abî Dâud, Sunan, vol. I, hadis nomor 4903, Bâb fî al-hasad, h. 693. Lihat juga al-
Albânî, al-Jâmi
7 04 ’ al-Shagîr,
03 Al-Ghazâlî,
Al-Haddâd, vol.…,
Takhrîj
Bidâyat I, vol.
…, hadis
h. 14-15.
I, h. 31.253
nomor 5005, h. 501.
:
:

:
:

:
:

254
705 .

Hadis ini dikemukakakan oleh al-Ghazâlî untuk mendukung hadis

sebelumnya. Namun hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibn al-Jauzî dalam


deretan hadis-hadis maudhû‘.706

(Hadis Nomor 59):

707 .

Hadis ini dikemukakan oleh al- Ghazâlî untuk menjelaskan bahwa

cinta dunia merupakan induk dari seluruh penyakit hati. Secara lengkap
sanad-nya dapat ditemukan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abî al-
Dunya.

. : :
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Cinta dunia pangkal semua
kesalahan".

Telâh sanad:

(1). Suraij ibn Yûnus

Nama lengkapnya adalah Suraij ibn Yûnus ibn Ibrâhîm al-


Baghdâdî. Ia yang populer dengan panggilan Abû al-Hârits al-‘Âbid
meriwayatkan hadis antara lain dari Ibrâhîm ibn Khatsyam ibn

‘Arrâk ibn Mâlik, Abî Ismâ‘il Ibrâhîm ibn Sulaimân al-Mu`dab, dan
‘Abbâd ibn al-‘Awwâm. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
7 05 Al-Ghazâlî, Bidâyat …, h. 15.

7 08 Ibn Abî 77al-Dunya,


06 Lihat al-Haddâd,
07 Al-Ghazâlî,
Dzamm Takhrîj
Bidâyat
al-Dunya, …,
16.vol.
…, h.vol. II,255
I, hadish.nomor
213. 9, h. 15.
daripadanya adalah Ahmad ibn al-Hasan ibn ‘Abd al-Jabbâr al-Shûfî
al-Kabîr, Ahmad ibn Muhammad ibn al-Fadhl ibn Shâlih ibn Syekh
ibn ‘Umairah al-Asadî, ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî al-Dunya,
dan sebagainya. Umumnya ahli hadis memandangnya tsiqah

‘âbid.709 Ibn Hajar menilainya tsiqah ‘âbid min al-‘âsyirah. Ia wafat


tahun 235 H.710

(2). ‘Abbâd ibn al-‘Awwâm Abû Sahl al-Wâsithî


Nama lengkapnya adalah ‘Abbâd ibn al-‘Awwâm ibn ‘Umar
ibn al-Mundzir ibn Mash‘ab ibn Jandal al-Kalâbî. Ia meriwayatkan
hadis antara lain dari Abî Maslamah Sa‘îd ibn Yazîd, Muhammad
ibn ‘Amr ibn ‘Alqamah, dan ‘ Auf ibn Abî Jamîlah al-‘Abadî al-Hijrî
Abî Sahl al-A‘râbî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
daripadanya adalah Sa‘îd ibn Sulaimân al-Wâsithî, Abû al-Rabî‘
Sulaimân ibn Dâud al-Zahrânî, Abû Bakar ‘Abdullâh ibn
Muhammad ibn Abî Syaibah, dan lain sebagainya. Umumnya ahli
hadis seperti Ibn Ma’in, al-‘Ajlî, Abû Dâud, al-Nasâ’î, dan Abû
Hâtim memandangnya tsiqah, kecuali yang berasal dari Sa‘îd ibn

‘Arûbah. Hadisnya adalah muththarib. Demikian menurut al-Atsram


yang berasal dari Ahmad.711 Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-
tsâminah. Ia wafat tahun 185 H.712

(3). Hisyâm ibn ‘Urwah al-Qurasyî al-Asadî


Nama lengkapnya adalah Hisyâm ibn ‘Urwah ibn al-Zubair
ibn al-‘Awwâm. Ia yang populer dengan panggilan Abû al-Mundzir
dan ada yang mengatakan Abû ‘Abdillâh meriwayatkan hadis antara
lain dari Yahyâ ibn ‘Abbâd ibn ‘Abdillâh ibn al-Zubair, pamannya

‘Abdillâh ibn al-Zubair, dan anak pamannya ‘Abbâd ibn ‘Abdillâh


ibn al-Zubair. Sementara orang yang meriwayatkan hadis darinya

7 09 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. III, h. 297.


77 10 Ibn Hajar,
11 Ibn
12 Hajar, Taqrîb
Taqrîb …,
Hajar,Tahdzîb …,vol.
…, vol.I,
vol. I,V,h. 86. 256
h.h.229.
290.
adalah Ayyûb al-Sikhtiyânî yang meninggal lebih dahulu darinya,
‘Ubaidullâh ibn ‘Umar, Hisyâm ibn Hassân, dan lain sebagainya.
Abû Hâtim menilainya tsiqah namun dia kadang tadlîs. Bahkan dia
merupakan Imâm al-hadîts.713 Ibn Hajar menilainya tsiqah faqîh
rubamâ dallasa min al-khâmisah. Ia wafat tahun 145, namun ada
yang mengatakan tahun146 H. dalam usia 87 tahun.714

(4). ‘Auf al-A‘râbî


Nama lengkapnya adalah ‘Auf ibn Abî Jamîlah al-‘Abadî al-
Hijrî yang populer dengan Abî Sahl. Namun ia lebih dikenal dengan
sebutan al-A’râbî walaupun dia bukan A’râbî. Ia meriwayatkan hadis

antara lain dari Abî al-Minhâl Sayyâr ibn Salâmah al-Riyâhî, Sa‘îd
ibn Abî al-Hasan al-Bashrî, dan al-Hasan al-Bashrî. Sementara orang
yang meriwayatkan hadis dari padanya adalah Abû Usâmah
Hammâd ibn Usâmah, Khâlid ibn ‘Abdillâh al-Wâsithî, ‘Abbâd ibn

al-‘Awwâm, dan sebagainya. Umumnya ahli memandangnya


tsiqah.715 Ibn Hajar menilainya tsiqah rumiya bi al-qadr wa al-

tsyayyu‘ min al-sâdisah. ‘Auf al-A’râbî wafat antara tahun 146 atau
147 H. dalam usia 86 tahun.716

(5). Al-Hasan (Ibn Abî al-Hasan al-Bashrî)


Ia merupakan tokoh tabi’in yang pernah melihat dan
mendengar khutbah ‘Utsmân (ibn ‘ Affân) serta ‘Alî (Ibn Abî
Thâlib). Al-Hasan banyak memursal-kan hadis. Sebab itu, al-Nasâ`î
cs. memandangnya sebagai tadlîs al-isnâd. Menurut al-Bazzâr, dia
meriwayatkan hadis dari sekelompok orang yang dia tidak
mendengar langsung dari mereka.717 Ibn Hajar menilainya

7 13 Lihat al-Kâsyif, vol. II, h. 337. Cf. Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. XI, h. 44.
7 14 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 573.
77 15
16 Ibn
17 IbnHajar,
Ibn Hajar,Tahdzîb …,…,
Taqrîb …,
Thabaqât vol.
vol. I,VIII,
vol. 257
h.h.29.
h.I, 433. 148.
.
Ia wafat tahun 110 H.718

Kualitas hadis: mursal, karena dalam sanad hadis tersebut tidak ada yang
menghalangi untuk menilainya shahih. Sebab perawinya tsiqah. Demikian
pula sanad-nya bersambung hingga tabi‘ in. Hanya saja hadisnya mursal

(tanpa menyebut sahabat yang menerima dari Nabi Saw.).


Memperhatikan sanad hadis tersebut kelihatan ada keraguan pada perawi

yang menggunakan kalimat , yang menggambarkan apakah ‘Abbâd ibn

al-‘Awwâm menerima dari Hisyâm atau dari ‘Auf. Dari penelusuran yang
telah dilakukan memperlihatkan bahwa ‘Abbâd ibn al-‘Awwâm
meriwayatkannya dari ‘Auf al-A’râbî, bukan dari Hisyâm ibn ‘Urwah al-
Qurasyî. Kemudian dalam sanad ada al-Hasan ibn Abî al-Hasan yang
terkenal dengan memursal-kan dan tadlîs al-hadîts. Dengan
memperhatikan ‘illat di atas, maka sanad-nya dapat dikategorikan dha‘îf.
Namun dari aspek makna, hadis tersebut dapat diterima.

Al-Bayhaqî juga telah meriwayatkan hadis tersebut secara mursal


di dalam kitab Syu’ab al-Îmân719 dan al-Zuhd lewat jalur Hasan al-Bashrî,
al-Daylamî, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Sakhâwî yang
meriwayatkannya dari ‘Alî. 720 Kemudian al-Mundzirî juga menyebutkan
hadis ini sebagai riwayat Ruzayn yang berasal dari Khuzayfah dari
Rasulullah Saw. dengan lafal:

77 19 7 18 Ibn
20Al-Bayhaqî,
Al-Sakhâwî, Hajar,
Syu’ab Taqrîb
al-Maqâshid
al-Îmân, …, vol.
VII, I,hadis
al-Hasanah,
vol. h. 160.
hadis 25810501,h.
nomor
nomor 384, h. 182.
338.
.

Selain mereka, Abû Nu‘aim bersama al-Bayhaqî juga telah


meriwayatkan hadis tersebut sebagai sabda Nabi ‘Isa a.s.722 Ibn Abî al-
Dunya tidak ketinggalan meriwayatkan hadis tersebut dalam Maqâ‘id al-
Syaythân, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sakhâwî sebagai perkatan Mâlik
ibn Dînâr. Sementara Ibn Yûnus meriwayatkannya di dalam Târîkh Mishr

dari Sa‘d ibn Mas‘ûd sebagai perkataannya. Ibn Taymîyah sendiri


mengatakan bahwa hadis tersebut merupakan perkataan Jundub al-Bajlî.723

Dari aspek makna dapat diterima. Karena cinta dunia akan


menyebabkan ketamakan, sehinga pada gilirannya akan menghalalkan
segala cara. Dengan perbedaan riwayat di atas menyebabkan para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan kualitas sanad-nya. Al-Bayhaqî, Ibn
al-Jawzî, Ibn Taymîyah, al-‘Irâqî, dan al-Shaghânî menetapkan
kualitasnya sebagai mawdhû‘. Sementara menurut Ibn Hajar yang
merupakan titik fokus penilaian hadis dalam tulisan ini, al-Sakhâwî, dan
al-Suyuthî, mereka hanya menguatkan pendapat yang mengatakan mursal.
Sebab, demikian mereka berargumentasi, sanad riwayat al-Bayhaqî yang
berasal dari Hasan al-Bashri adalah hasan. Sementara kualitas mursal

salah satu dari jenis hadis dha‘îf.724

B. Hadis-Hadis Tentang al-Qaul Fî Âdâb al-Shahâbah


Ketika berbicara tentang tata cara bersahabat, al-Ghazâlî
menjelaskan bahwa sahabat pertama dan utama yang tidak pernah
memisahkan diri adalah Allâh Swt. Sebab itu, sebisa mungkin Dia harus

7 21 Al-Bayhaqî, al-Zuhd, hadis nomor 248; al-Mundzirî, al-Targhîb, Vol. III, h. 257; Juga
Ahmad Lutfi (Tesis; Kajian Hadis Kitab Durrat al-Nâsihîn), UKM, Bangi, 2000, h. 364-365.
7 22 Abû Nu’aym, Hilyat al-Auliyâ ’, vol. VI, h. 388. Cf. al-Bayhaqî, Syu’ ab al-Îmân, vol.
VII, h. 323-324.
7 23 Al-Sakhâwî, al-Maqâshid …, hadis nomor 383, h. 182-183.
‘Abd al-Rahmân Khalaf, Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, Dimasyq, 1985, hadis nomor 35,h. 37; Al-
Suyûthî, 7al-Jâmi’
24 Ibn
al-Islâmîyah, Taymîyah,
Beirut, 1985,Ahâdîts
al-Shaghîr,
hadis I,al-qushshâsh,
vol. nomor
h. 498. Terj.
7, h. 58; Muhammad
Al-Hasan ibn Muh 259 al-Saghânî,
Lutfi al-Sabbâgh,
ammad al-Maktabah
Terj. Najm
dijadikan sahabat sepanjang waktu, baik siang maupun malam. Kalau
tidak, paling tidak di kesunyian malam harus disediakan waktu untuk
bermunajat kepada-Nya.

Kemudian untuk mencari sahabat yang ideal, dia mengemukakan


satu hadis, yaitu:

(Hadis nomor 60):

725 .

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk memilih teman


dengan memperhatikan siapa temannya dalam mengukur tingkat
keagamaannya.Untuk itu al-Ghazâlî menetapkan lima syarat dalam
menjadikan seseorang jadi sahabat, yaitu cerdas (al-‘aql), berakhlak mulia
(husn al-khulq), saleh (al-shilâh), tidak tamak kehidupan dunia dan
terpercaya (al-shidq), tidak pembohong.

Secara lengkap sanad hadis di atas adalah sebagaimana riwayat


Ahmad ibn Hanbal.

. :
Artinya: Nabi Saw. pernah besabda: “Seseorang sesuai menurut agama
teman dekatnya, sebab itu hendaklah seseorang di antara kamu
memperhatikan siapa yang bakal dia jadikan teman".

Telaah sanad:
(1). Abû ‘Âmir al-‘Aqadî al-Bashrî

Namanya adalah ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Amr. Ia meriwayatkan


hadis antara lain dari Abî Ghâlib Khalîfah ibn Ghâlib al-Laitsî al-
Bashrî, al-Zubair ibn ‘Abdillâh ibn Abî Khâlid, dan Zuhair ibn

7 26 Ahmad
7 25 Al-Ghazâlî,
ibn Hanbal,Bidâyat
Musnad,…,
vol.
h. II, 260 8398, h. 334.
17.hadis nomor
Muhammad al-Tamîmî. Sementara orang yang meriwayatkan hadis
dari Abî ‘Amir adalah Ahmad ibn al-Hasan ibn Kharrâsy al-
Baghdâdî, Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Abbâd ibn Jablah ibn Abî
Ruwâd, Ahmad ibn Hanbal, dan Sebagainya. Umumnya ahli hadis,
Ibn Sa‘d, Ibn Hibbân, dan Ibn Syâhîn misalnya, menilainya tsiqah.727
Ibn Hajar menilainya tsiqah min al-sâdisah. Ia wafat tahun 204 dan
ada yang mengatakan 205 H.728

(2). Zuhair ibn Muhammad al-Tamîmî al- ‘Anbarî


Ia yang populer dengan panggilan Abû al-Mundzir al-
Kharrâsânî al-Marwazî meriwayatkan hadis antara lain dari
‘Abdillâh ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsa al-Asy‘arî, ‘Abd al-Rahmân
ibn al-Qâsim ibn Muhammad ibn Abî Bakar al-Shiddîq, dan Mûsa
ibn Wirdân. Sementara orang yang meriwayatkan hadis dari Zuhair
ibn Muhammad adalah ‘ Abd al-Mâlik ibn Muhammad al-Shan’ânî,
Sulaimân ibn Dâud al-Thayâlîsî, Abû ‘Âmir ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Amr
al-‘Aqdî, dan sebagainya. Menurut Ibn Hajar, kalau penduduk Syâm
yang meriwayatkan hadis dari padanya adalah ghair mustaqîmah.
Sementara orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Zuhair adalah
penduduk Syâm. Bahkan hadis-hadisnya manâkir, demikian menurut
al-Bukhârî yang dia terima dari Ahmad. Kecuali kalau penduduk
Bashrah, maka dapat dipandang shahîh.729 Ibn Hajar menilainya

.
Zuhair ibn Muhammad wafat tahun 162 H.730

(3). Mûsa ibn Wirdân al-Qurasyî al- ‘Âmirî

Ia yang populer dengan panggilan Abû ‘Umar al-Qâsh


meriwayatkan hadis antara lain dari Hafsh ibn ‘Ubaidillâh ibn Anas

7 27 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VI, h. 363.


77 28
29 Ibn
30 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb
Tahdzîb…,
Taqrîb …,vol.
…, vol.I,
vol. h.
h. 364.
I,III,217. 261
h. 301.
ibn Mâlik, Sa‘îd ibn al-Musayyib ibn Hazm ibn Abî Wahhâb ibn
‘Amr, dan Abî Hurairah. Sementara orang yang menerima hadis dari
Mûsa ibn Wirdân adalah Abî Syuraih ‘Abd al-Rahmân ibn Syuraih
al-Iskandânî, Ibrâhîm ibn Muhammad ibn Abî ‘Athâ`, Zuhair ibn
Muhammad al-‘Anbarî, dan sebagainya. Para ahli hadis cukup
bervariasi dalam menilai Mûsa ibn Wirdân. Ahmad ibn Hanbal
menilainya khair. Demikian dikemukakan Muhammad ibn ‘Auf.
Yahyâ ibn Ma’in mengatakan shâlih. Sementara ‘Utsmân al-Dârimî
mengatakan laisa bi al-qawîy. Demikian Yahyâ. Bahkan menurut
Abû Khaitsamah dha‘îf al-hadîts. Dalam Taqrîb dikatakan shadûq,
namun sering keliru.731 Ibn Hajar menilainya shadûq rubamâ
akhtha`a min al-tsâlitsah. Ia wafat 117 H.732

(4). Abî Hurairah


Ibn Atsir mengatakan, bahwa tidak ada nama orang yang
sekontroversial nama Abû Hurairah. Menurut al-Nawâwî, bahwa
silang pendapat tentang nama Abû Hurairah itu tidak kurang dari tiga
puluh versi. Namun, yang paling dipercayai adalah ‘Abd al-Rahmân
ibn Shakhar.733 Ia digelari Abû Hurairah karena sering menggendong
kucing,734 sehingga Rasulullah Saw. memanggilnya Abû Hurairah

(ayah kucing). Pada masa Jahilîyah, ia bernama ‘Abd Syams dengan


panggilan Abû al-Aswad.735 Abû Hurairah masuk Islam pada masa
perang Khaibar, awal tahun ke tujuh hijrîyah.736 Ia wafat pada tahun
57 H.737

Skema sanad hadis tentang “Memilih teman yang menjadi tolok


ukur tingkat keberagaman seseorang” adalah sebagai
berikut:
7 31 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. VIII, h. 431-432.
7 32 Ibn Hajar, Taqrîb …, vol. I, h. 554.
7 33 Al-Suyûthî, Is’âf…, h. 16.
7 34 Ibn Atsîr, Ushûd …, vol. V, h. 320.

7 36 Ibn
7 37Katsîr,
Al-Suyûthî, 7 35
al-Bidâyah
Is’âf …,Al-Dzahabî,
wa h. 33. Lihat Tadzkirah…,
al-Nihâyah, vol.
jugaIV,
IbnDâr vol.
Atsîr,
al-Fikri,
Ushûd 262vol.t.t.,V,h.h.181.
I, h.Bairut,
32.
…, 321.
Rasulullah Abû Hurairah

Mûsa ibn Wardân

Zuhair ibn Muhammad

Abû ‘Amir

Ahmad ibn Hanbal

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Mûsa ibn Wardân yang
dinilai shadûq namun sering keliru. Kemudian Zuhair ibn Muhammad dinilai
sebagai;

Keberadaan mereka dalam sanad hadis tersebut menyebabkan


kualitas hadis dipandang dha‘îf.
Hadis yang menjelaskan tentang memilih teman atau sahabat di
atas, kelihatannya perlu, karena tingkat keberagamaan seseorang dapat
diukur dengan memperhatikan orang yang dia jadikan sebagai teman.
Kelihatannya hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu-satunya jalur sanad

Mûsa ibn Wardân. Sebab itu, kualitasnya hanya hasan li dzâtih. Abû Dâud
dan al-Turmudzî menilai hadis tersebut dengan hasan. Sementara al-
Hâkim insyâ Allâh shahîh.738

Kemudian untuk menjaga hak persahabatan (murâ’at huqûq al-


shahâbah), dia mengemukakan tiga hadis, yaitu:

(Hadis Nomor 61). :

263
7 38 Lihat al-Haddâd, Takhrîj …, vol. I, h. 129.
.

Hadis ini dikemukakan oleh al-Ghazâlî untuk menjaga


kelanggengan persahabatan dengan menyadari bahwa di antara sesama
teman saling memiliki kebutuhan, layaknya dua tangan. Secara lengkap

sanad hadis tersebut adalah sebagamana diriwayatkan oleh al-Sullamî.

.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Perumpamaan dua orang
mukmin yang bertemu seperti halnya dua tangan yang satu membasuh
yang lain".

Telaah sanad:
(1). Ahmad ibn Muhammad ibn Ghâlib al-Bâhilî al-Bashrî

Ia yang populer dengan Ghulâm Khalîl meriwayatkan hadis


antara lain dari Dînâr ibn ‘Abdillâh yang dia riwayatkan Anas ibn
Mâlik, Qurrah ibn Habîb, dan Muhammad ibn Maslamah al-Madînî.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis daripadanya adalah
Muhammad ibn Makhlad, Abû ‘Amr ibn al-Sammâk, Ahmad ibn
Kâmil al-Qâdhî, dan sebagainya. Sebagaimana dikemukakan oleh
Ibn Abî Hâtim al-Râzî dalam kitab al-Jarh wa al-Ta ’dîl, ketika
ayahnya ditanya tentang Ahmad ibn Muhammad ibn Ghâlib, bahwa
dia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari guru-guru yang misterius
(majhûl). Al-Hâkim juga mengemukakan bahwa dia pernah
mendengar Syekh Abû Bakar ibn Ishâq mengatakan bahwa Ahmad
ibn Muhammad ibn Ghâlib termasuk orang yang tidak diragukan
kebohongannya (kadzb). Al-Dâruquthnî menilainya matrûk. Al-

1990, h. 95.
7 39 Abû ‘Abd al-Rahmân Selanjutnya
al-Sullamî, Adâbdisebut al-Sullamî.
al-Shahabah, 264
vol. I, Dâr al-Shahâbah, Mesir,
Khathîb mengatakan Ahmad ibn Muhammad wafat bulan Rajab
tahun 275 H.740

(2). Dînâr ibn ‘Abdillâh


Ia yang populer dengan Abû Makîs diduga kuat sebagai
Khâdim Anas ibn Mâlik dan meriwayatkan hadis daripadanya.
Sementara orang yang meriwayatkan hadis daripadanya antara lain
Ahmad ibn Muhammad ibn Ghâlib al-Bâhilî, Hamdûn ibn Ahmad
ibn Sâlim al-Samsâr, dan Abû Ahmad Muhammad ibn Mûsa al-
Barbarî. ‘Abdullâh ibn ‘Adî menceritakan al-Hafîzh bahwa Dînâr ibn

‘Abdillâh adalah munkar al-hadîts, dha‘îf, dzâhib, syibh al-majhûl


(semi misterius). Ia wafat di Barqah tahun 231 H. Demikian
dikemukakan oleh Abû Hasân al-Hasan ibn ‘Utsmân al-Zayâdî.
Berbeda sedikit dengan yang dikemukakan oleh Abû al-Hasân
Muhammad ibn Ahmad ibn al-Qawwâs al-Warrâq bahwa Dînâr ibn

‘Abdillâh wafat pada pertengahan Jumâdî al-Âkhirah tahun 230 H.741

(3). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar ibn
Dhamdham al-Anshârî. Ia merupakan sahabat yang meriwayatkan
hadis antara lain dari Nabi Saw., Ubai ibn Ka‘b, dan Tsâbit ibn Qais
ibn Syammâs. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
daripadanya adalah anak saudaranya Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn Abî
Thâlhah, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanîf, al-Hasan al-
Bashrî, dan sebagainya. Ia yang termasuk perawi terbanyak di antara
sahabat dari Nabi Saw. yang paling akhir wafat di Bashrah tahun 92
dan ada yang mengatakan 93 H.742 Ia masih kecil ketika Nabî
melakukan hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia kepada
Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabî. 743

7 40 Ibn Hajar, Lisân …, vol. I, h. 272. Cf. al-Baghdâdî, Tarîkh Baghdâd, vol. V, h. 78.
7 41 Al-Baghdâdî, Tarîkh …, vol. VIII, h. 281. Cf. ‘Abdullah ibn ‘Adî ibn ‘Abdullah ibn
Muhammad Abû Ahmad al-Jurjânî, al-Kâmil fî al-Dhu’afâ`, vol. III, Dâr al-Fikr, Beirut, 1988, h.
109. Selanjutnya disebutkan
7 42 Ibn Hajar, Ibn ‘Adî.
Ibn Hajar,
Hajar,
7 43 al-Ishâbah Taqrîb
vol. I,…,
al-Ishâbah
…, vol.
h.…, vol.I,
126. Cf.I,h.h.115.
Ibn312.
Hajar, 265
JugaTahdzîb
Ibn Hajar,
…, vol.
Is’âfI,…,
h. 329.
h. 6. Cf.
Skema sanad hadis tentang “Menjaga kelanggengan persahabatan”
adalah:

Rasulullah Anas ibn Mâlik

Dînâr ibn ‘Abdillâh

Ahmad ibn Muhammad ibn Ghâlib

Al-Sullamî

Kualitas hadis: dha‘îf, karena dalam sanad ada Ahmad ibn Muhammad
ibn Ghâlib al-Bâhilî yang dinilai sebagai pembohong (kadzdzâb).744
Namun maknanya tetap dapat diterima. Sebab, sebagai teman diharapkan
selalu dapat bermanfa’at antarsesama.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Sullamî dalam adâb al-


shahabah dan Abû Manshûr al-Dailamî dalam Musnad al-Firdaus dari
Anas.

(Hadis Nomor 62):

Dasar (ashl) hadis tersebut tidak diketahui (lâ ashl lah) sama
sekali. Demikian dikemukakan oleh al-Haddâd745

(Hadis Nomor 63):

746 .

77 44 Lihat
Lihat al-Haddâd,
45 Al-Ghazâlî,
46 al-Haddâd, Takhrîj
Bidâyat …, h.…,
Takhrîj 18.vol.
…, II,266
vol.II, h.
h.122.
130.
Ketiga hadis tersebut dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebagai
landasan agar selalu menjaga hak-hak persahabatan. Namun hadis kedua
terakhir tersebut tidak ditemukan sanad-nya yang lengkap dalam kitab
sumber yang dijadikan sebagai rujukan. Sementara hadis semakna, secara
lengkap sanad-nya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-Tamimî.

:
.
Artinya: Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Tidak saling mengasihi dua
orang lelaki, kecuali salah seorang di antara keduanya yang paling kasih
terhadap temannya lebih utama".
Telaah sanad:
(1). ‘Alî ibn al-Ju’d ibn ‘Ubaid al-Jauharî

Ia yang populer dengan panggilan Abû al-Hasan al-Baghdâdî


meriwayatkan hadis antara lain dari Abî Mas‘ûd ‘Abd al-A’lâ ibn
Abî al-Musâwir, ‘Âshim ibn Muhammad ibn Zaid al- ‘Umarî, dan
Mubârak ibn Fadhâlah. Sementara orang yang pernah meriwayatkan
hadis dari padanya adalah Abû Bakar Ahmad ibn ‘Alî ibn Sa‘îd al-
Marwazî al-Qâdhî, Abû Ja‘far Ahmad ibn ‘Alî ibn al-Fadhîl al-
Khazzâr ak-Muqri`, Abû Ya‘lâ Ahmad ibn ‘Alî ibn al-Mutsanna al-
Muwashshalî, dan sebagainya. Umumnya ahli hadis, seperti Ibn
Ma‘în menilainya tsiqah shadûq.748 Ibn Hajar menilainya tsiqah
tsabat rumiya bi al-tsyayyu‘ min shighâr al-tâsi‘ah. Ia wafat tahun
230 H.749

(2). Mubârak ibn Fadhâlah ibn Abî Umayyah al-Qurasyî al-‘Adwî

7 47 Ahmad ibn ‘Alî ibn al-Mutsanna Abû Ya’la al-Muwashshalî al-Tamîmî, Musnad Abî
Ya ’ la, vol. VI, hadis
48nomor
7 49 3319,
Ibn Hajar, h. 143.
Tahdzîb
Taqrîb…,…,Selanjutnya
vol.
vol.
I, h.
VII,
398. 267 al- al-Tamîmî.
disebut
h. 256-257.
Ia yang populer dengan panggilan Abû Fadhâlah al-Bashrî
meriwayatkan hadis antara lain dari Bakar ibn ‘Abdillâh, ‘Ubaidillâh
ibn Abî Bakar ibn Anas ibn Mâlik, dan Tsâbit al-Bannânî. Sementara
orang yang pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah ‘Alî ibn
al-Ju ’d al-Jauharî, al-Nu’mân ibn ‘Abd al-Salâm al-Ashfihânî, Yahyâ
ibn Zakarîya ibn Abî Zâ`idah, dan sebagainya. Para ahli hadis,
seperti halnya ‘Abdullâh ibn Ahmad mengatakan yudallis.750 Ibn
Hajar menilainya shadûq yudallisu wa yusawwî min al-sâdisah. Ia
wafat tahun 166 H. Demikian pendapat yang terkuat.751

(3). Tsâbit ibn Aslam al-Bunânî Abû Muhammad al-Bashrî


Ia meriwayatkan hadis antara lain dari Syu‘aib ibn
Muhammad ibn ‘Abdillâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh, Ishâq ibn ‘Abdillâh
ibn al-Hârits ibn Naufal, dan Anas ibn Mâlik. Sementara orang yang
pernah meriwayatkan hadis daripadanya adalah Abû ‘Uwânah al-
Wadhdhâh ibn ‘Abdillâh al-Yasykurî, Katsîr ibn Abî Katsîr al-Laitsî,
Mubârakibn Fadhâlah, dan sebagainya. Para ahli hadis, seperti al-

‘Ajlî menilainya tsiqah rajul shâlih.752 Ibn Hajar menilainya tsiqah


‘âbid min al-râbi‘ah. Ia wafat sekitar tahun 120 H. dalam usia 86
tahun.753

(4). Anas ibn Mâlik


Nama lengkapnya adalah Anas ibn Mâlik ibn Nadhar ibn
Dhamdham al-Anshârî. Ia merupakan sahabat yang meriwayatkan
hadis antara lain dari Nabi Saw., Ubai ibn Ka‘b, dan Tsâbit ibn Qais
ibn Syammâs. Sementara orang yang pernah meriwayatkan hadis
daripadanya adalah anak saudaranya Ishâq ibn ‘Abdillâh ibn Abî
Thâlhah, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanîf, al-Hasan al-
Bashrî, dan sebagainya. Ia yang termasuk perawi terbanyak di antara
sahabat dari Nabi Saw. yang paling akhir wafat di Bashrah tahun 92

7 50 Ibn Hajar, Tahdzîb …, vol. X, h. 27-28.


77 51
52 Ibn
53 Ibn Hajar,
Hajar, Taqrîb…, vol.
Tahdzîb …,
Taqrîb…, vol. I,
I, h.
vol. II, 519.
h. 132.
h. 3. 268
dan ada yang mengatakan 93 H.754 Ia masih kecil ketika Nabî
melakukan hijrah ke Madinah. Ibu Mâlik menyerahkan dia kepada
Rasulullah selanjutnya menjadi anggota keluarga Nabî. 755

Kualitas hadis: hasan, karena pada sanad ada Mubârak ibn Fadhâlah
yang dinilai sebagai shadûq.

C. Evaluasi Sanad Hadis Bidâyat al-Hidâyah

Berdasarkan uraian yang telah lalu terlihat bahwa dalam kitab Bidâyat
al-Hidâyah terdapat 63 hadis. Hadis tersebut terdiri dari hadis bi al-lafdzî dan
bi al-ma ‘na. Artinya hadis-hadis yang dikemukakan, baik secara eksplisit
maupun implisit.

Dari rijâl sanad hadis yang telah diuraikan sebelumnya terdapat


sebanyak 29 orang secara keseluruhan yang keberadaannya dalam sanad-
sanad hadis Bidâyat al-Hidâyah menimbulkan masalah. Artinya,
menyebabkan kualitas sanad hadisnya dha‘îf. Para perawi yang dianggap
bermasalah, dalam arti tidak memenuhi keriteria shâhîh tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Mathar ibn Thuhmân al-Warrâq dan al-Mutsanna ibn Yazîd al-Tsaqafî


pada sanad hadis 1) tentang meluruskan niat dalam menuntut ilmu agar
tidak melenceng dari tujuan karena Allâh Swt. semata dan kepentingan

âkhirah. Mathar ibn Thuhmân al-Warrâq dinilai shadûq. Namun


hafalannya jelek (sî` al-hifzh). Hadisnya dipandang dha‘îf kalau dia
meriwayatkan dari ‘Athâ'. Sementara al-Mutsanna ibn Yazîd al-Tsaqafî
dipandang misterius (majhûl).

2. Katsîr ibn Qais dan Dâud ibn Jumail pada sanad hadis 2) tentang
keutamaan orang yang menuntut ilmu yang bermanfa’at. Ibn Hajar
memangnya dha‘îf min al-tsâlisah. Sementara Dâud ibn Jumail dinilai

dha‘îf min al-sâbi‘ ah.

7 54 Ibn Hajar, Ibn Hajar,


Hajar,al-Ishâbah
7 55 al-Ishâbah Taqrîb
…, vol. …, …,vol.
I, h. vol.I,Cf.
126. I,h.h.Ibn
115.
312.
Hajar, 269
Juga Tahdzîb
Ibn Hajar,
…,Is’âf
vol.…,
I, h.h.329.
6. Cf.
3. Utsmân ibn Miqsâm pada sanad hadis 4) tentang siksaan terhadap orang
yang tidak mengamalkan ilmunya. Ia dipandang kadzîb dan wadh’ al-
hadîts.

4. ‘Ubaidullâh ibn Fadhâlah yang dipandang majhûl pada sanad hadis 5)


tentang ilmu yang manfa ‘at.
5. ‘Alî ibn Zaid pada sanad hadis 6) yang menjelaskan agar mengamalkan
‘ilmu. Ia dipandang dha‘îf min al-râbi‘ah karena sering memarfu’kan
hadis yang oleh orang lain mauqûf.

6. Muhammad Ibn Ishâq dalam sanad hadis 15) tentang memelihara


kebersihan mulut dan dalam sanad 39) tentang hadis yang menjelaskan
supaya memperbanyak dzikrullâh dengan lidah. Dalam sanad hadis 15)
tentang memelihara kebersihan mulut, dia dipandang tidak mendengar
langsung dari Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî (munqathi‘).

7. Salamah ibn Wirdân yang dinilai dha‘îf min al-khâmisah pada sanad
(hadis 51) tentang anjuran meninggalkan debat (al-mirâ`), dan
Muhammad ibn al-Qâsim al-Thâliqânî pada sanad (hadis nomor 54)
tentang anjuran meninggalkan bergaul dengan orang-orang dzalim.

8. Sufyân ibn Wakî‘ dan Abû Bakar ibn Abî Maryâm pada sanad hadis 55)
agar jangan anggap remeh terhadap sifat Maha Mulia dan Pemurah-Nya
pelaku ma‘shiyat dan mengumbar nafsu serta berangan-angan, yang oleh
Ibn Hajar, Sufyân ibn Wakî‘ shadûq dan Abû Bakar ibn Abî Maryâm
dipandang dhâ‘îf min al-sâbi‘ah. Dia mukhtalith karena rumahnya
kemalingan.

9. Hamîd ibn al-Hakam pada sanad hadis 56) mewaspadai penyakit hati,
yang oleh Ibn Hibbân dipandang munkar al-hadîts jiddan.
10. ‘Îsa ibn Abî ‘Î sa al-Hannâth pada sanad hadis 57) tentang penyakit hati,
yang oleh Ibn Hajar dipandang matrûk min al-sâdisah.
11. Zuhair ibn Muhammad pada sanad hadis 60) tentang memilih teman yang
menjadi indikasi dalam tingkat keberagamaan seseorang. Ibn Hajar
memandangnya dha‘îf kalau penduduk Syâm yang meriwayatkan
hadisnya. 270
12. Ahmad ibn Muhammad dan Dînâr ibn ‘Abdillâh pada sanad hadis 61)
yang menjelaskan tentang menjaga kelanggengan persahabatan. Menurut
al-Hâkim; dia pernah mendengar Syekh Abû Bakar ibn Ishâq bahwa
Ahmad ibn Muhammad termasuk orang yang tidak diragukan
kebohongannya. Sementara Dînâr ibn ‘Abdillâh

Dari 63 hadis yang sudah ditakhrij dalam kitab tersebut ditemukan


sebanyak 16 sanad hadis shahîh, baik shahîh li dzâtih maupun shahîh li
ghayrih, sanad hadis hasan sebanyak 18 hadis, baik hasan li dzâtih maupun li
gahyrih. Sedangkan sanad hadis lemah (dha‘îf) ada sebanyak 18 hadis,
termasuk di dalamnya 1 hadis matrûk dan 1 hadis gharîb. Kemudian 1 hadis

maudhû‘ dan 1 hadis yang tidak memiliki dasar sama sekali (la ashla lah).
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dikemukakan pengelompokannya
berupa tabel sebagai berikut:
______________________________________________________________
No.: Kategori dan Kualitas Hadis: Jumlah: Persen:

1.: Shahîh : 19 : 30,5 %


2.: Hasan : 22 : 35 %
3.: Dha‘îf : 16 : 25,5 %
4.: Gharîb : 1 : 1,5 %

5.: :Matrûk
1 : 1,5 %
6.: Maudhû’ : 1 : 1,5 %
7.: Lâ ashla lah : 1 : 1,5 %
8.: Majhûl : 2 : 3 %
======================================================
Jumlah : 63 : 100 %

Selain 1 hadis maudhû‘ , 1 hadis yang tidak memiliki sumber (lâ ashla
lah) dan 2 hadis yang belum diketahui kualitasnya tersebut, masih ditemukan
penggalan lafal hadis yang tidak jelas sumbernya, yaitu:

1). ....tidur.
2).pada dan
dari teks pada11)
hadis teks hadis 9)
tentang tentang
bacaan bacaan
271masuk wc.bangun
Ke-empat penggalan hadis tersebut tersusup ke
dalam redaksi (matn) hadis
yang dikemukakan dalam kitab Bidâyat al-
Hidâyah, namun tidak ditemukan
dalam matan hadis yang di-takhrîj.
3). pada teks hadis 12) tentang
Tentunya penilaian ini belumlah final. Artinya
bacaan keluar dari wc.
kalau
4). ada peneliti lain
pada teks hadis 37) yang
tentang orang yang mampu
meninggalkan ma‘shiyat.
kemudian berbeda dengan yang dikemukakan,
penulis dengan sangat senang
membuka diri untuk mempertimbangkannya.

272
273
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadis-hadis yang termuat dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah karya al-

Ghazâlî, setelah diadakan penelitian, tidak seluruhnya shahîh. Hadis-hadis yang

tidak shahîh dimaksudkan ada yang dikategorikan hasan dan ada yang dha’îf,

bahkan maudhû’.

Hadis-hadis yang diteliti seluruhnya berjumlah 63 hadis. Dari ke-63 hadis

tersebut, hanya 1 (satu) hadis di antaranya yang secara jelas dikatakan tidak

memiliki dasar (lâ ashl lah) dan 1 (satu) maudhû‘, kemudian ada dua hadis yang

belum diketahui kualitasnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis Bidâyat al-

Hidâyah tersebut diduga palsu, tidak sepenuhnya terbukti, walaupun tidak

dilengkapi dengan sanad. Artinya bahwa hadis-hadis yang termuat dalam kitab

Bidâyat al-Hidâyah, tidak shahîh secara keseluruhan, juga tidak semuanya dha‘îf.

Hadis-hadis yang termuat dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah yang dipandang

bermasalah, ternyata tidak semua mempunyai mutâbi’ atau syâhid. Sebagai

konsekwensi semua hadis yang termuat dalam Bidâyat al-Hidâyah, berdasarkan

penelitian, maka tidak semuanya dapat dijadikan sebagai dalil atau hujjah.

Terlebih lagi dengan adanya penambahan kalimat dari matan aslinya, seperti yang

ditemukan pada hadis-hadis nomor 9) tentang bacaan ketika bangun dari tidur,

nomor 11) tentang bacaan ketika akan masuk w.c., nomor 12) tentang bacaan

ketika keluar dari w.c., dan hadis nomor 37) tentang orang yang mampu
meninggalkan ma ‘shiyat. 272
B. Saran-saran

1). Tidak seharusnya membuang hadis-hadis yang tidak dilengkapi dengan sanad

tanpa terlebih dulu meneliti kualitasnya.

2). Agar tidak terjebak dalam inkar al-sunnah, seyogianya hadis-hadis yang

terkait dengan amal-amal ekstra (fadhâ’ il al-a‘mal) minimal satu kali seumur

hidup dipraktekkan.

3). Meskipun penelitian ini terfokus pada kualitas hadis-hadis yang termuat dalam

kitab Bidâyat al-Hidâyah, namun masih terbuka peluang untuk mengkaji hadis-

hadis dari aspek lain, seperti hadis-hadis dha‘îf apabila dikaitkan dengan fadhâ’ il

al-a‘mal.

4). Dalam menilai kualitas hadis-hadis Bidâyat al-Hidâyah, al-Ghazâlî perlu

diposisikan ketokohannya sebagai sûfî.

5). Apa yang menjadi inti dari pendidikan yang ditekankan oleh al-Ghazâlî dalam

kitab Bidâyat al-Hidâyah tersebut, yaitu mengaplikasikan ilmu pada kehidupan

sehari-hari, kiranya dapat dipraktekkan oleh siapa saja yang memiliki keinginan

untuk mendekatkan diri (taqarrub) sedekat mungkin kepada Allah Swt., sehingga

tercapa tujuan permulaan pertunjuk (Bidâyat al-Hidâyah), yaitu taqwa lahiriyah

dan muara pertunjuk (Nihâyat al-Hidâyah) tersebut, yaitu taqwa batiniyah

sekaligus terhindar dari “arsitektur” perancang dan pembangun jurang yang dalam

dan lebar dengan Allah Swt.

Sebagai penutup dari tulisan ini dapat juga dikemukakan bahwa al-

Gahazâliy sebagai tokoh sentral dalam pembahasan, merupakan seorang ahli

tasawuf dan ahli ibadah yang tidak begitu ketat dalam menilai kualitas hadis

sebagai kajian akademik. Sebagai seorang shufi, kelihatannya dia lebih


273
mementingkan nilai pencerahan bathiniyah (velue of spirit). Dapat diperkirakan

bahwa dia tahu betul tentang kelemahan kualitas hadisnya.

Bagaimana dia bisa mempraktekkan hadis-hadis yang kualitas sanadnya

dha’îf dalam ibadah-ibadah ekstra (fadhâ`il al-a’mal), selama hal itu tidak

menyangkut persoalan pokok, seperti halnya masalah salat, puasa dan sebagainya,

tentunya sah-sah saja. Kemudian perlu diketahui bahwa di kalangan orang-orang

yang selalu ingin lebih dekat (muqarrabîn) dengan Khâliq-nya ada statemen;

hasanat al-abrâr sayyi'ât al-muqarrabîn.

274
LAMPIRAN C

DAFTAR ISTILAH

Al-‘Amm, lafal yang mempunyai sifat umum. Kata ini dibedakan dengan al-
Khash, yakni lafal yang mempunyai sifat khusus. Laal dabbat dalam
al-Qur`an mempunyai sifat umum, yaitu mencakup semua yang melata
di bumi, sama ada hewan maupun manusia. Sementara al-Qur`an
khusus nebgacu kepada kitab suci umat Islam.
Dha’îf, lemah, yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis sahih atau
hasan (lihat uraian hadis sahih).

Fîhi syai`, lafal jarh yang maksudnya adalah bahwa di dalam hadis atau sanad
tertentu ditemukan ssesuatu yang dapat melemahkan hadis.

Al-Hafîzh , artinya orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu hadis dan
segenap cabang-cabangnya, dimana dia mampu menghafal seratus ribu
hadis lengkap dengan sanadnya. Kata ini menunjukkan kepada sifat
periwayat tertentu yang dhâbith, yaitu memiliki daya ingat yang
tinggi, kuat dan tegar.

Hathîb al-layl, pengumpul kayu di malam hari. Artinya periwayat yang


mengumpulkan hadis atau meriwayatkannya tanpa seleksi. Kata ini
merupakan lafal jarh yang mengisyaratkan kepada lemahnya
periwayat yang memiliki sifat tersebut.

Hujjah, dalil. Kata ini dipergunakan sebagai lafal ta’dil terhadap periwayat yang
setingkat lebih tinggi dari pada al-hafizh di atas. Hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang sudah sampai ke tingkat hujjah
dapat dijadikan sebagai dalil.

Ibthâl, pembatalan, yaitu suatu pernyataan atau putusan habisnya masa berlaku
suatu ketetapan atau aturan dan digantikan dengan ketentuan baru,
seperti halnya nasakh.

Ihtiyât, sikap hati-hati (antisipatif) dalam menghadapi atau menyelesaikan suatu


persoalan yang rumit.

Ijmâ’, konsensus, yaitu kesepakatan para ahli agama dalam menghadapi suatu
persoalan.
dalam kasus
Ikhtilâf al-hadîts, yang sama.
perbedaan yangHadis-hadis yang memiliki
kelihatan antara pebedaan
satu hadis dengan hadis lain
dimaksud disebut mukhtalif. 261
262

Ikhtilâth, kelemahan hafalan yang disebabkan gaktor ketuaan atau karena


rusaknya penglihatan atau bisa juga karena hilang kitabnya, karena
terbakar umpamanya. Hadis yang diriwayatkan orang seperti ini
disebut mukhtalith.

Izâlah, penghapusan. Maksudanya sama dengan ibthâl dalam kaitannya dengan


pengetian nasakh. Izâlat al-hukm, yaitu habisnya masa berlaku
hukum dan digantikan dengan hukum baru.

Jarh , cacat, yaitu sifat yang melemahkan seorang periwayat. Jarh dapat juga
dalam arti tajrîh, yaitu penilaian atau pernyataan bahwa seseorang
dipandang cacat. Orang yang dipandang cacat atau hadis yang
diriwayatkan oleh orang tersebut dapat disebut majruh. Sementara
penilaian yang menunjukkan seorang periwayat dapat diterima
hadisnya disebut ta’dîl.
Al-Khâsh, (lihat pengetian
al-‘âmm).
La ba’s bih, tidak menjadi persoalan menerima riwayatnya. Lafal ini digunakan
untuk ta’dîl, namun pada tingkat yang paling rendah. Orang yang
dinilai dengan lafal ini memiliki ingatan yang kurang kuat.

Laisa bi hujjah, tidak hujjah, yaitu lafal jarh yang menunjukkan seorang
periwayat tidak kuat ingatannya.

Laisa bi al-qawîy, ingatannya tidak kuat.


Laisa bi tsabat, tidak kuat.
Laisa bi tsiqah, tidak tsiqah. Artinya tidak ‘adil dan atau tidak
dhâbith.
Majhûl, periwayat yang tidak jelas identitasnya, misterius, disebut mubham.
Majrûh, orang yang tidak dinilai cacat (lihat pengertian
jarh ).
Mansûkh, ayat atau hadis yang tidak berlaku lagi karena ada yang baru yang
berbeda atau bertentangan dengan yang lebih awal datangnya serta
tidak dapat dikompromikan (ta`wîl). Ayat atau hadis yang datang
kemudian disebut nasikh dan peroses perubahan atau pergantian ayat
atau hadis dimaksud disebut nasakh.

Maqbûl, diterima, dibedakan dengan mardud (ditolak) atau majrûh. Hadis


maqbûl adalah hadis yang sudah memenuhi persyaratan yang
ditentukanMubham,
bagi kesahihan(lihat majhûl).
suatu hadis.
Mudallis, orang yang meriwayatkan hadis secara tadlîs (lihat tadlîs).
263

Munkar, hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah, bertentangan
dengan yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Istilah munkar al-
hadîts yang dinisbahkan kepada seorang periwayat menunjukkan
orang itu tidak kuat hafalannya, sehingga dapat terjadi pertentangan
antara riwayatnya dengan riwayat orang lain yang lebih kuat
ingatannya.
Muththarib, goyang, tidak tetap. Artinya hadis yang diriwayatkan dengan
beberapa jalur dan masing-masing jalur ini mempunyai kekuatan yang
sama, sehingga tidak dapat diketahui mana jalur yang sahih.
Perbedaan atau pertentangan dimaksud dapat terjadi pada sanad dan
dapat juga pada amatan. Istilah muththarib al-hadîts dinisbahkan
kepada orang yang meriwayatkan hadis seperti ini. Istilah
menggambarkan bahwa periwayat tersebut tidak kuat hafalannya,
sehingga hadisnya ditolak.
Mukhtalif, hadis yang tampak padanya perbedaan atau pertentangan dengan hadis
lain (lihat ikhtilâf).

Mukhtalith, (lihat ikhtilâth).


Mutasâhil, longgar, tidak ketat dalam penilaian suatu
hadis.
Mutasyaddid, ketat, dibedakan dengan mutasâhil dan mutawassith.

Mutawassith, moderat, tidak terlalu ketat dan tidak terlalu longgar, pertengahan
dalam penilaian hadis.
Nasakh, (lihat mansûkh dan ibthâl).
Nâsikh, (lihat mansûkh).
Shâlih al-hadîts, lafal ta’dîl yang paling rendah yang dinisbahkan kepada seorang
periwayat. Artinya, hadis yang diriwayatkan oleh orang seperti ini
masih dalam layak diamalkan, hanya saja tidak bisa dijadikan dalil
atau argumen terhadap orang lain. Kualitas hadisnya, paling tinggi
hasan, tidak mencapai sahih.Jika keadaan orang tersebut lebih rendah
lagi, maka orang inilah yang diistilahkan shuwailih.
Shudûq, lafal ta’dîl yang berarti jujur atau dapat
Syaikh,dipercayai.
Tadh’ îf,
Si`uguru,
pelemahan,
al-hifzh
orang
, menunjukkan
orang
yang yang
mempunyai
buruk
sebab-sebab
atau
otoritas
kelemahan
tidakdalam
kuat
periwayatan
suatu hadis.
hafalannya.
hadis.
264

Ta’dîl, penilaian datau pernyataan seseorang ‘adil. Artinya, hadisnya dapat


diterima.

Tadlîs, penyembunyian identitas seorang guru atau pengubahan formulasi sanad


dengan maskud tertentu.

Tajrîh, (lihat jarh ).


Taqrîr, penetapan. Maksudnya pengakuan atau diamnya Rasulullah terhadap
tindakan dan atau perbuatan seorang atau beberapa orang sahabat.

Tasâmuh, sikap lentur, toleransi, menghargai pendapat orang


lain.
Tasyahhud, pernyataan keyakinan dengan ucapan dua
kalimat syahadah :
Tsiqah, lafal ta’dil yang maksudnya periwayat yang bukan saja jujur, melainkan
juga kuat ingatannya.

Wahm, dugaan, persaangkaan, lafal tajrîh yang dinisbahkan kepada orang yang
tidak kuat ingatannya.

Yukhti`, lafal tajrih yang menggambarkan seorang periwayat lemah ingatannya,


sehingga ia melakukan kekeliruan dalam periwayatan.

Yuktab hadîtsuh, hadisnya ditulis. Lafal ini merupakan ta’dil terendah yang
dinisbahkan terhadap orang yang hadisnya boleh ditulis, namun tidak
dapat untuk dijadikan dalil, walaupun ada sebagain yang bisa dijadikan
sekedar pengetahuan.

Yu’ tabar, lafal yang dinisbahkan kepada orang yang hadisnya boleh dijadikan
pelajaran, bukan untuk dalil.
DAFTAR PUSTAKA

Âbadî, Abû al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq, ‘Aun al-Ma ’ bûd, Syarh
Sunan Abî Dâud, al-Maktabat al-Salafîyah, Madinat al-Munawwarah,
1969.

Abâdî, Muhammad Abû al-Laits al-Khair, Takhrîj al-Hadîts Nasy’atuh wa


Manhajîyatuh, Dâr al-Syâkir, Selanjur, 1999

Âbâdî, Muhammad ibn Ya‘qûb al-Fairûz, al-Qâmûs al-Muhîth,

‘Abd al-Muththalib, Rif’at Fauzî, al-Madkhâl ila Tautsîq al-Sunnah, Mu`assasah


al-Khanijî, Mesir, tt.

Abdullah, ‘Umar, Ah kâm al-Mawârits, Kairo, Dâr al-Ma’ârif, 1968

Abû Dâud, Sulaimân ibn al-Asy’as al-Sijistânî, Sunan Abî Dâud, Dâr al-Fkr,
Beirut, tt.
Abû Lubâbah Husain, al-Jar wa al-Ta ’dîl, Dâr al-Liwa’, Rîyadh, 1974.

Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Fikr al- ‘Arabî, Mesir, 1958.

Abû Zahw, Muhammad Muhammad, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, Syirkah


Musâmahat Mishrîyah, Mesir, tt.

Al-Adlibî, Shalâhuddin, Manhaj Naqd al-Matn, Dâr al-Afaq al-Jadîdah, Beirut, tt.

Al-‘Alli, Jami’ al-Tahshîl Fî Ah kâm al-Marâsil, Waratsat al-Auqâf, Iraq, 1978


Al-Albânî, Muhammad Nashiruddin, Silsilah al-Ah âdits al-Dhâ’ ifah wa al-
Maudhû’ah, al-Maktabah al-Islâmî, Beirut, 1398.

Al-Amin, Syarif Yahya, Mu’jam al-Firâq al-Islamîyah, Dâr al-Adhwa’, Beirut,


1986,
Amin, Ahmad, Dhuhâ al-Islâm, Maktabah al-Nahdhah al-Mishrîyah, Kairo, 1974.

--------, Fajr al-Islâm, Maktabah al-Nahdhah al-Mishrîyah, Kairo, 1975.

Arsyad, Mohammad Hassan ibn Tok Kerani Muhammad, al-Tarîkh Salâsilah


Negeri Kedah, Kuala Lumpur, 1968

Al-A’zhamî, Muhammad Musthafâ, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn,


-------, Dirâsah
Syirkahfî at-Thibâ’ah
al-Hadîts al-Nabawî,
al-‘Arabîyah
Jami’ah
al-Su’ûdîyah,
al-Rîyadhah,
Rîyâdh,
275
Rîyâdh,
1982.
tt.
Badawi, Abd al-Rahmân, Mu’allafât al-Ghazâlî, Wakalah al-Mathbu’ah, Kuwait,
1997

Al-Bahnasâwî, Sâlim ‘Alî, al-Sunnah al-Muftarâ ‘alaiha, Dâr al-Buhûts al-


Islâmîyah, Mesir, 1979.

Al-Baihâqî, Abû Bakar Ahmad ibn Husain, al-Sunan al-Kubra, Dâr al-Shadir,
Beirut, 1352.

-------, Ma ’rifat al-Sunan wa al-Atsar, Majlis al-A’la li sy-Syu`ûn al-Islâmîyah,


Mesir, 1969.

Al-Baqri, Abd ad-Dâ’im Abû al-Atha’ Filsafat al-Ghazâlyi, Lajnat al-Ta’lîf Wa


al-Turjumat al-Nasyr, Kairo, 1943

Al-Dahlawî, Syah Walîullah, Hujjatullah al-Bâlighah, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, tt.

Al-Daulabî, al-Kunya wa al-Asmâ`, Dâ`irat al-Ma’arif al-Usmânîyah, India, 1322.

Al-Dârimî, Abû Muhammad ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rahmân, Sunan al-Dârimî,


Maktabah Dahlan, Bandung, tt.
Departemen Agama RI, Yayasan Penyelengara Penterjemah al-Qur’ an, al-Qur`an
dan Terjemahnya, Proyek Pengadân Kitab Suci al-Qur`an, Departemen
Agama RI, 1984/ 1985.

Djuned, Daniel, Disert asi: Suatu Tela’ah Terhadap Hadis-hadis Risalah Imam
al-Syafi ’î, IAIN Ciputat 1983.

Dunya, Sulaimân, Tahâfut al-Falâsifah, Dâr al-Ma’ârif, 1972

Fakhri, Madjîd, A History of Islamic Phylosophy, Colobi University Press, New


York, 1983

Falembânî, Syekh ‘Abdus-Samad, Hidâyat al-Sâlikîn Fî Sulûk Maslak al-


Muttakîn, Syirkah Maktabah al-Madanîyah, Indonesia, tt.

Fawziy, Rif’at, Madkhal Ila Tawtsîq al-Sunnah, Mu’assasat al-Khanijî, Mesir,


1978

Al-Fayumi, Muhammad Ibrâhîm, Al-Ghazâlî Wa ‘Alâqat al-Yaqîn, Dâr al- Kitâb


al-‘Arabî, Kairo, 1976,

Fazlur Rahmân, Islam, University of Chacago Press, Chicago, edisi II, 1979

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid, al-Musthashfa min ‘Ilm al-Ushûl, Mathba’ah al-


-------, Ihyâ
Amîrîyah,
’ ‘Ulûm Bulaq,
al-Dîn,vol.
1322.I, Beirut,276
Dar al-Fikr, tt
-------, al-Imlâ’ fî Ishâlat al-Ihyâ ’, Dâr al-Fikr, 1980.

-------, Al-Munqiz Min al-Dlalâl, Silsilat al-Saqafat al-Islâmîyat, Kairo, 1961

-------, Bidâyat al-Hidâyah, Mauqi’ al-Warrâq, t.tp., tt


-------, Tahâfut al-Falâsifah ; Kerancuan Para Filosuf, terj. Ahmadie Thaha,
Panjimas, Jakarta, 1986

Al-Hâkim, Abû ‘Abdillah al-Naisâburî, al-Mustadrak, Maktabah al-Nashr al-


Hâditsah, Rîadh, tt.

-------, Ma ’ rifah ‘Ulûm al-Hadîts, Maktabah al-Mutanabbî, Kairo, tt.


Hamadah, ‘Abbâs Mutawallî, al-Sunnah al-Nabawîyah wa Makânatuha fî al-
Tasyrî’, al-Dâr al-Qaumîyah, Kairo, tt.

Hanafi, Manla, Syarh al-Dibâj al-Muzahhab, Muhammad Ali Syubaih, Mesir, tt

Hassan, A.Qadir, Ilmu Musthalâh Hadîts, Diponegoro, Bandung, 1991

Hasyim al-Husainî, al-Imam al-Bukhârî Muhadditsan wa Faqîhan, al-Dâr al-


Qaumîyah, Kairo, tt.

Hasyim, Ahmad Umar, Qawâ ’ id Ushûl al-Hadîts, Dâr al-Fikr, ttp. tt.

Husnan, Ahmad, Kajian Hadis Metode Takhrij, Al-Kautsar, Jakarta, 1993

Ibn ‘Abd al-Barr, Abû ‘Amr Yûsuf, al-Intiqa` fî Fadhâ`il al-A`immah al-Salâsah
al-Fuqahâ`, Kairo, 1350.

Ibn ‘Abd al-Barr, al-Isti’âb fî Asmâ` al-Ashhab, catatan pinggir (hâmisy) Ibn
Hajar, al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, Dâr al-Fikr, Beirut, 1978.

Ibn ‘Abd al-Qâdir, ‘Abd al-Muhdî, Thuruq Takhrîj Hadîts Rasûl Allâh Saw., Dâr
al-I‘tishâm, tt.,t.tp.,

Ibn al-Asîr, ‘Izzuddin Abû al-Hasan ‘Alî, Ushûd al-Ghâbah fî Ma ’rifat al-
Shahâbah, Dâr al-Fikr, Beirut, 1970.

Ibn al-Asîr, Majduddin Abû al-Sa’adah, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts, Dâr al-
Fikr, Beirut, 1979.

Ibn ‘Imâd, Syadzârat al-Dzahab Fî Afkâr Man Dzahab, Mathba’ al-Quds, Kairo,
1350
Ibn Hajar,
-------,
AhmadSyarh
ibnNukhbat
‘Alî al-Asqalânî,
Nizhâmîyah,
al-Fikr, Maktabat
Tahzîb
India, 1326.
al-Tahzîb
al-Qâhirah,
Dâ`irah
277
Kairo,al-Ma’ârif
tt. al-
-------, Fath al-Bârî, Dâr al-Fikr, Beirut, 1379.

-------, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Dâr al-Fikr, Beirut, 1978.

-------, Bulugh al-Marâm, al-Maktabah al-Tijârîyah al-Kubra, Beirut, tt.


Ibn Hanbal, Abû ‘Abdillah Ahmad, Musnad Ah mad Ibn Hanbal, Maktabah al-
Islâmîyah, Beirut, 1978.

-------, Fadlâ’il al-Shahâbah, Mu’assasah al-Risâlah, Makkah al-Mukarramah,


1403 H.

Ibn Katsir, Abû al-Fida` Ismâ’il, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, disyarah oleh Ahmad
Muhammad Syakir dan diberi nama al-Ba`îs al-Hasîs fî Syarh Ikhtishâr
‘Ulûm al-Hadîts, Dâr al-Fikr, Bairut, tt.

Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Dâr al-Fikr, Beirut, tt.

Ibn Khallikân, Ahmad ibn Muhammad ibn Abî Bakr, Wafâyat al-A’yân, Dâr al-
Tsaqafah, Beirut, tt.

Ibn al-Madînî, ‘Alî ibn ‘Abdillah, al-‘Ilal, al-Maktabah al-Islâmî, ttp., 1392.

Ibn Majâh, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Yazîd, Sunan Ibn Mâjah, Dâr al-Fikr,
Beirut, tt.

Ibn al-Manzhûr, Abû al-Fadhl Jamâuddîn Muhammad Makram, Lisân al-‘Arab,


Dâr al-Shadîr, Beirut, t.th.
Ibn Nadîm, Muhammad ibn Ishâq, al-Fahrasât, Mathba’at al-Istiqâmah, Kairo, tt.

Ibn Sa’d, Muhammad, al-Thabaqât al-Kubrâ, Dâr at-Tahrîr, Kairo, 1968.

Ibn al-Shalâh, Abû ‘Amr ‘Utsmân ibn ‘Abd a-Rahmân, ‘Ulûm al-Hadîts, al-
Maktabat al-Islâmîyah, Madinah, 1972.

‘Itr Nuruddîn, al-Madkhal ila ‘Ulûm al-Hadîts, al-Maktabah al-‘Ilmîyah, al-


Madînah al-Munawwarah, 1972.

---------, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, Dâr al-Fikr, Beirut, 1979.

al-Ja‘fî, Muhammad bin Ismâ’il Abû ‘Abdillâh al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî,


t.p.: Dâr al-Fikr, 1981

---------, al-Jamî’ al-Shâhih, Dâr al-Fikr, Beirut, tt.


Jones, James
Al-Jundî, G.al-Halîm,
‘Abd Rabbins & Barbara
R. Turman
al-Imâm S. ,Komuikasi
Sirait,
al-Syâfi
Pedoman Yang
’î, DarIlmu Efektif,
al-Ma’arif,
Jaya,
278 alih1986
Jakarta,
Mesir, bahasa Drs.
tt.
Al-Khâthib, Muhammad ‘Ajjâj, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Dâr al-Fikr, Beirut,
1971

----------, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh Wa Musthalâhuh, Dâr al-Fikr, 1989

Al-Khawarizmî, Muhammad, Jami ’ Masânid al-Imâm Abû Hanifah, Dâ`irat al-


Ma’arif al-Nizhâmîyah, India, 1332

Al-Khudarî Bek, Muhammad, Târikh al-Tasyri’ al-Islâmî, Mathba’at al-


Sa’âdah., Mesir, 1954.

----------, Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Fikr, Beirut, 1981.

Al-Khûlî, Muhammad ‘ Abd al-‘Azîz, al-Adâb an-Nabawî, Dâr al-Fikr, Beirut, tt.
---------, Miftâh al-Sunnah, Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, Beirut, 1980.

Al-Khumaisî, ‘Abd al-Rahmân ibn ibrâhîm, Mu’jam ‘Ulûm al-Hadîts al-Nabawî,


Dâr Ibn Hazm, Beirut, 2000

Lutfi Ahmad, (Kajian Hadis Kitab Durrat al-Nâsihîn; Tesis yang dikemukakan
Untuk Memperoleh Doktor Falsafah), Fak. Pengajian Islam UKM, Bangi,
2000.

Madkûr, Ibrâhîm, Falsafat al-Islâmîyah, vol. I, Dâr al-Ma’ârif, Kairo, 1976


Mahmûd, ‘Abd al-Halîm, al-Sunnah fî Makânatiha wa fî Tarîkhiha, Dâr al-Kâtib
al-‘Arabî, Kairo, 1967.

---------, Qadlîat al-Tasawuf al-Munqidz Min ad-Dlalâl Li Hujjat al-Islâm al-


Ghazâlî, terj. Zakî al-Kâf, Pustaka Setia, Bandung, 2001

Ma`luf , Louis, al-Munjid fî al-Lughat wa al-‘ilm, Dâr al-Masyriq, Beirut, 1973.

Al-Maushilî, Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Dâud, Irsyâd al-Adhîb ila Thuruq al-
Takhrîj al-Hadîts, Mu`assasat al-Rayyân, Beirut, 1995

Al-Mubârak, ‘Abdullah, al-Nâqid al-Hadîts, Muhammad ‘Alî Shubaih, Mesir,


1961.

Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, 1977

Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqih Muqâran, Erlangga, Jakarta, 1933

Al-Nabhanî, Ibn Hamd, al-Nukhbat an-Nabhanîyah, Maktabat al-Tijârîyah al-


Kubra, Mesir, tt.
Al-Nadawî, Abû al-Hasan, Rijâl
Beirut,
al-Fikr
tth wa al-Da‘wah fî al-Islâm,
279 Dâr al- Qalam,
Al-Naisâfûrî, Muslim ibn al-Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî, Shahîh Muslim,
vol. II, (Beirût: Dâr Ibn Hazm, 1995)

Al-Nasâ’î, Abû ‘Abd al-Rahmân Ahmad ibn Syu’aib, Sunan al-Nâsa’î, Syarh al-
Suyûthî, Dâr al-Fikr, Beirut, 1980.

Al-Nasysyâr, ‘Alî Sâmî, Manâhij al-Bahs ‘inda Mufakkir al-Isalamî, Dâr al-Fikr
al-‘Arabî, Iskandarîah, 1947.

Nasution, Harun, Teologi Islam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,


1972

Nasution, M.Yasir, Manusia Menurut Al-Ghazâlî, Rajawali Pers, Jakarta, 1988


Al-Nawawî, Abû Zakarîa Yahya ibn Syaraf, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî,
al-Mathba’ah al-Mishrîyah, Mesir, 1924.

----------, al-Taqrîb al-Nawawî Fann al-Ushûl al-Hadîts, Muhammad ‘Alî


Shubaih, Mesir, 1968.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


1986.

Al-Qardhawi, Yusuf, al-Imâm al-Ghazâlî, Bayna Madhihih Wa Naqdhihih, Dâr


al-Wafa’, Kairo, 1992

Al-Qâsimî, al-Sayyid Muhammad Jamaluddin, Qawa ’id al-Tahdîs, Isa al-Babî al-
Halabî, Mesir, 1961

Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj, Shahîh Muslim, Dâr al-Fikr, Beirut,
tt.
Quzwain, Chathib, Mengenal Allah; Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf
Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palimbani Ulama Palembang Abad ke-18
Masehi, Bulan Bintang, Jakarta, 1985
Al-Ramahhurmûzî, al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahmân, al-Muhaddits al-Fâshil, Dâr
al-Fikr, Beirut, 1971.

Al-Râzî, Abu Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Hâtim, al-Jarh wa al-
Ta ’dîl, Majlis Dâ`irat al-Ma’arif, Hayderabad, 1953.
al-Râzî, Muhammad ibn Abû Bakr, Mukhtar al-Shihâh, Maktabah Lubnân, 1988

Al-Sakhawî, Syamsuddin Muhammad ibn ‘Abd al-Rahmân, Fath al-Mughîts, al-


Maktabat as-Salafîyah, al-Madinat al-Munawwarah, 1968.
Al-Shabbâgh, Muhammad, 1972.
al-Hadîts al-Nabawî, al-Maktabat
280 al-Islamî, Rîadh,
al-Shâlih, Adîb, Lamhat Fî Ushûl al-Hadîts, Maktabah al-Islâmî, Beirut, 1399

Al-Shâlih, Shibh ,‘Ulûm al-Hadîts Wa Musthalâhuh, Dâr al-‘Ilm Li al-Malayin,


Beirut,1959.

Al-Shan’ânî, Muhammad ibn Ismâ’il al-Amîr, Taudhîh al-Afkâr, al-Khâijî, Mesir,


1366.

---------, Subul al-Salâm, Musthafa al-Babi al-Halabî, Mesir, 1960.

Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of Islam, terj. Sapardi Djoko


Darmono, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000

Al-Siba’ î, Musthafa, al-Sunnah wa Makânatuha fî al-Tasyrî’ al-Islâmî, al-Dâr al-


Qaumîyah, 1966.

Smith, Margareth, Pemikiran dan Diktrin Mistis Al-Ghazâlî, terj. Amrouni, Rirora
Cipta, Bandung, tt

Al-Subki, Tajuddin, Thabaqât al-Syâfi’îah al-Kubra, Musthafa al-Babi al-Halabi,


Mesir, tt
Al-Suyûthî, Jalâluddin ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, Asbâb al-Wurûd al- H adîts,
Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, Beirut, 1984.

-------, Tadrîb al-Râwî, Dâr al-Kutub al-Islâmîah, Beirut, 1979

-------, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1979.

-------, Is’âf al-Mabtha’ Bî Rijâl al-Muwaththa’, Syirkah al-I’lâmat al-Syarqîah,


1389

-------, Syarh Alfîyât al-Suyûthî fî ‘ilm al-Hadîts, Maktabah Ibn Taimîyah, al-
Qâhirah, 1995

Sya’ban, Zakîyuddin, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Dâr at-Ta’lîf, Kairo, 1964

Al-Syâfi’ î, Muhammad ibn Idrîs, al-Umm, Kitâb al-Sya’b, Mesir, tt


Syakir, Ahmad Muhammad, Muqaddimah al-Risâlah, dalam asy-Syâfi’î, ar-
Risalah, Maktabah al-Islâmîah, Beirut, tt

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abû, Kitab Hadis Sahih yang Enam, Terj. Drs.
Maulana Hasanudin, Litera Antar Nusa, Jakarta,
Shubhî, Ahmad Mahmûd, al-Mu’tazîlat, Mu’assasat al-Saqafat al-Islâmîyat
Al-Thabârî, Muhammad ibnMa’arif,
Iskandarîah,
Jarîr, Abû
1963
Ja‘far,
1982 Târîkh al-Thabâri,
281 Kairo Dâr al-
Al-Taftazani, Abû al-Wafa’ al-Ghanimi, Sûfi dri Zaman ke Zaman, terj. Pustaka,
Bandung, 1997

al-Thahhân, Mahmûd, Taysîr Musthalah al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Qur`ân al-


Karîm, 1981), h. 345.

--------,Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd, (Riyâdh: Maktabah al-Ma‘rifah,


1991), h. 8.

Usmân, Abd al-Karîm, Sirah Al-Ghazâlî, Dâr al-Fikr, Damaskus, tt

Al-Wadi’î, Maqbal in Hâdî, al-Shâhih al-Musnad min Asbâb al-Nuzûl, Dâr al-
Nûr, Jerman Barat, tt.

Al-Zahabî, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad, Tazkirât al-Huffâh, Dâr Ihyâ`
al-Turâs al-‘Arabî, Makkah, 1373.

-------, Mizân al-I’tidâl, ‘Isa al-Bâbi al-Halabî, Mesir, 1963.

Al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâim Jârullah Mahmûd ibn ‘Umar, al-Fâiq fî Gharîb al-
Hadîts, Dâr al-Fikr, Bairut, 1979.

Al-Zarkasyî, Badruddin Muhammad ibn ‘Abdillah, al-Burhân fî ‘Ulum al-Qur`ân,


‘Isa al-Bâbi al-Halabî, Mesir, 1957.

Al-Zarqanî, Muhammad ‘Abdul ‘Azhîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân,


‘Isa al-Bâbi al-Halabî, Mesir, tt.

Al-Zawî, Tartîb al-Qâmûs al-Muhith, vol. I, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th.

282
Kualitas No. Matan Hadis
Sanad Hadis

...
36 ...
48 ...
37 ...
. ..


...

...
. ..

...
. ..

44
...

41
... :
... :
...
...

... ...
...
...
...

...

38 ...

...

. ..

...

...

43 .... ,

45 ...

...

...

...

.. .

...
63
...

62 ...

...
61

60
...
...
...

...

42 ...

...

...

...

41 ... !

46 ...

47 ...

...
49 ...

...
LAMPIRAN B INDEKS HADIS BERDASARKAN KUALITAS:

1. SHAHIH:

Nomor Hadis:
... .
... .
... .
… .
... : .
... .

... .
... .
... .
. .. .

... .

.... , .

.. . .

... .

... .

... ! .
2. Hasan:
Nomor Hadis: ... .
... .

. .. .

… .

. .. .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

… .

... .

... .

... .

... .

… .

3. Dha‘îf:
Nomor Hadis:
... .
. .. .
... : .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

4. Hadis Gharîb:
Nomor Hadis:
... .

5. Hadis Matrûk:
Nomor Hadis:
... .

6. Nomor
Hadis Maudhû‘:
Hadis:
... .

7. Hadis Lâ ashl lah:


Nomor Hadis:
... .
Lampiran A

INDEKS HADIS BERDASARKAN ABJAD

Kualitas No. Matan Hadis


Sanad Hadis

......

.. . .

36 . ...

48
. ...
. ...
37
. . ..
.…
. ...
. ...

. . ..
. ...
. . ..

44
. ...

.......

41 . ... :
. ... :
. ...
. ...

. ...
. ...
. ...
...........
25 ......
26
..........
. ...
. ...

. ...
38
. ...

. ...

. . ..

. ...

. ...
23
...................
24
......
52 . .... ,
45
. ...
. ...
. ...

. …

.......

. ...

.......

. .. .

63 . ...

. ...
62 . ...

61 . ...

60 . ...

. ...

. ...

. ...

51 . ...

. ...

. ...

. ...

41 . ... !

46 . ...
47 . ...
. ...
49
. ...

.…

. ...
Lampiran B

INDEKS HADIS BERDASARKAN KUALITAS

1. SHAHIH:

Nomor Hadis:
... .

... .

... .

… .
... : .
... .
.......... .
... .

... .
... .

. .. .

... .
...... .
..... , .

.... , .

...... .
... .

... ! .

2. Hasan:
Nomor Hadis:
........ .

... .

... .

. .. .

… .

. .. .

... .

.... .

... .

. ... .

................ .

...... .

... .

... .

................. .

... .
... .
. … .

... .

... .

... .

… .

3. Dha‘îf:
Nomor Hadis:
... .

. .. .

... : .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .
... .
... .

4. Hadis Gharîb:
Nomor Hadis:
... .

5. Hadis Matrûk:
Nomor Hadis:

... .

6. Hadis Maudhû‘:
Nomor Hadis:
... .

7. Hadis Lâ ashl lah:


Nomor Hadis:
... .
8. Hadis Tawaqquf
..... .
.... .
Lampiran B

INDEKS HADIS BERDASARKAN KUALITAS

1. Shahih:

Nomor Hadis
... .
... .
... .
… .
... : .
... .
... .

... .

... .
. .. .

... .

.... , .

.. . .

... .

... .
... ! .
2. Hasan:

Nomor Hadis
... .
... .
. .. .
… .
. .. .
... .
... .
... .

... .

... .

... .

... .

… .

... .

... .

... .

... .
… .
3. Dha‘îf:

Nomor Hadis
... .
. .. .
... : .
... .

... .
... .

... .

... .

... .
... .

... .

... .

... .

... .

... .

... .
4. Hadis Gharîb:
Nomor Hadis
... .

5. Hadis Matrûk:
Nomor Hadis

... .

6. Hadis Maudhû‘:
Nomor Hadis
... .

7. Hadis Lâ ashl lah:


Nomor Hadis
... .
Lampiran C

DAFTAR ISTILAH

Al-‘Amm, lafal yang mempunyai sifat umum. Kata ini dibedakan dengan al-
Khash, yakni lafal yang mempunyai sifat khusus. Laal dabbat dalam
al-Qur`an mempunyai sifat umum, yaitu mencakup semua yang
melata di bumi, sama ada hewan maupun manusia. Sementara al-
Qur`an khusus nebgacu kepada kitab suci umat Islam.
Dha’îf, lemah, yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis sahih atau
hasan (lihat uraian hadis sahih).

Fîhi syai`, lafal jarh yang maksudnya adalah bahwa di dalam hadis atau sanad
tertentu ditemukan ssesuatu yang dapat melemahkan hadis.

Al-Hafîzh , artinya orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu hadis dan
segenap cabang-cabangnya, dimana dia mampu menghafal seratus
ribu hadis lengkap dengan sanad-nya. Kata ini menunjukkan kepada
sifat periwayat tertentu yang dhâbith, yaitu memiliki daya ingat yang
tinggi, kuat dan tegar.
Hathîb al-layl, pengumpul kayu di malam hari. Artinya periwayat yang
mengumpulkan hadis atau meriwayatkannya tanpa seleksi. Kata ini
merupakan lafal jarh yang mengisyaratkan kepada lemahnya
periwayat yang memiliki sifat tersebut.
Hujjah, dalil. Kata ini dipergunakan sebagai lafal ta’dil terhadap periwayat yang
setingkat lebih tinggi dari pada al-hafizh di atas. Hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang sudah sampai ke tingkat hujjah
dapat dijadikan sebagai dalil.
Ibthâl, pembatalan, yaitu suatu pernyataan atau putusan habisnya masa berlaku
suatu ketetapan atau aturan dan digantikan dengan ketentuan baru,
seperti halnya nasakh.

Ihtiyât, sikap hati-hati (antisipatif) dalam menghadapi atau menyelesaikan suatu


persoalan yang rumit.

Ijmâ’, konsensus, yaitu kesepakatan para ahli agama dalam menghadapi suatu
persoalan.
dalam kasus
Ikhtilâf al-hadîts, yang sama.
perbedaan yangHadis-hadis yang memiliki
kelihatan antara pebedaan
satu hadis dengan hadis lain
dimaksud disebut mukhtalif.
Ikhtilâth, kelemahan hafalan yang disebabkan gaktor ketuaan atau karena
rusaknya penglihatan atau bisa juga karena hilang kitabnya, karena
terbakar umpamanya. Hadis yang diriwayatkan orang seperti ini
disebut mukhtalith.
Izâlah, penghapusan. Maksudanya sama dengan ibthâl dalam kaitannya dengan
pengetian nasakh. Izâlat al-hukm, yaitu habisnya masa berlaku
hukum dan digantikan dengan hukum baru.

Jarh , cacat, yaitu sifat yang melemahkan seorang periwayat. Jarh dapat juga
dalam arti tajrîh, yaitu penilaian atau pernyataan bahwa seseorang
dipandang cacat. Orang yang dipandang cacat atau hadis yang
diriwayatkan oleh orang tersebut dapat disebut majruh. Sementara
penilaian yang menunjukkan seorang periwayat dapat diterima
hadisnya disebut ta’dîl.
Al-Khâsh, (lihat pengertian al-‘âmm).
La ba’s bih, tidak menjadi persoalan menerima riwayatnya. Lafal ini digunakan
untuk ta’dîl, namun pada tingkat yang paling rendah. Orang yang
dinilai dengan lafal ini memiliki ingatan yang kurang kuat.

Laisa bi hujjah, tidak hujjah, yaitu lafal jarh yang menunjukkan seorang
periwayat tidak kuat ingatannya.

Laisa bi al-qawîy, ingatannya tidak kuat.

Laisa bi tsabat, tidak kuat.

Laisa bi tsiqah, tidak tsiqah. Artinya tidak ‘adil dan atau tidak dhâbith.

Majhûl, periwayat yang tidak jelas identitasnya, misterius, disebut mubham.

Majrûh, orang yang tidak dinilai cacat (lihat pengertian jarh ).


Mansûkh, ayat atau hadis yang tidak berlaku lagi karena ada yang baru yang
berbeda atau bertentangan dengan yang lebih awal datangnya serta
tidak dapat dikompromikan (ta`wîl). Ayat atau hadis yang datang
kemudian disebut nasikh dan peroses perubahan atau pergantian ayat
atau hadis dimaksud disebut nasakh.
Maqbûl, diterima, dibedakan dengan mardud (ditolak) atau majrûh. Hadis
maqbûl adalah hadis yang sudah memenuhi persyaratan yang
ditentukan bagi kesahihan suatu hadis.

Mubham,
Mudallis, orang yang (lihat majhûl).
meriwayatkan hadis secara tadlîs (lihat tadlîs).
Munkar, hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tidak tsiqah, bertentangan
dengan yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqah. Istilah munkar al-
hadîts yang dinisbahkan kepada seorang periwayat menunjukkan
orang itu tidak kuat hafalannya, sehingga dapat terjadi pertentangan
antara riwayatnya dengan riwayat orang lain yang lebih kuat
ingatannya.
Muththarib, goyang, tidak tetap. Artinya hadis yang diriwayatkan dengan
beberapa jalur dan masing-masing jalur ini mempunyai kekuatan yang
sama, sehingga tidak dapat diketahui mana jalur yang sahih.
Perbedaan atau pertentangan dimaksud dapat terjadi pada sanad dan
dapat juga pada amatan. Istilah muththarib al-hadîts dinisbahkan
kepada orang yang meriwayatkan hadis seperti ini. Istilah
menggambarkan bahwa periwayat tersebut tidak kuat hafalannya,
sehingga hadisnya ditolak.
Mukhtalif, hadis yang tampak padanya perbedaan atau pertentangan dengan hadis
lain (lihat ikhtilâf).

Mukhtalith, (lihat ikhtilâth).

Mutasâhil, longgar, tidak ketat dalam penilaian suatu hadis.


Mutasyaddid, ketat, dibedakan dengan mutasâhil dan mutawassith.

Mutawassith, moderat, tidak terlalu ketat dan tidak terlalu longgar, pertengahan
dalam penilaian hadis.

Nasakh, (lihat mansûkh dan ibthâl).

Nâsikh, (lihat mansûkh).

Shâlih al-hadîts, lafal ta’dîl yang paling rendah yang dinisbahkan kepada seorang
periwayat. Artinya, hadis yang diriwayatkan oleh orang seperti ini
masih dalam layak diamalkan, hanya saja tidak bisa dijadikan dalil
atau argumen terhadap orang lain. Kualitas hadisnya, paling tinggi
hasan, tidak mencapai sahih.Jika keadaan orang tersebut lebih rendah
lagi, maka orang inilah yang diistilahkan shuwailih.
Shudûq, lafal ta’dîl yang berarti jujur atau dapat dipercayai.

Si`u al-hifzh , orang yang buruk atau tidak kuat hafalannya.

Syaikh, guru, orang yang mempunyai otoritas dalam periwayatan hadis.

Tadh’
Ta’dîl,îf, pelemahan,
penilaian menunjukkan
datau pernyataan sebab-sebab
diterima.
seseorang kelemahan
‘adil. Artinya,suatu hadis.
hadisnya dapat
Tadlîs, penyembunyian identitas seorang guru atau pengubahan formulasi sanad
dengan maskud tertentu.

Tajrîh, (lihat jarh ).

Taqrîr, penetapan. Maksudnya pengakuan atau diamnya Rasulullah terhadap


tindakan dan atau perbuatan seorang atau beberapa orang sahabat.

Tasâmuh, sikap lentur, toleransi, menghargai pendapat orang lain.

Tasyahhud, pernyataan keyakinan dengan ucapan dua kalimat syahâdat:

Tsiqah, lafal ta’dil yang maksudnya periwayat yang bukan saja jujur, melainkan
juga kuat ingatannya.

Wahm, dugaan, persaangkaan, lafal tajrîh yang dinisbahkan kepada orang yang
tidak kuat ingatannya.

Yukhti`, lafal tajrih yang menggambarkan seorang periwayat lemah ingatannya,


sehingga ia melakukan kekeliruan dalam periwayatan.

Yuktab hadîtsuh, hadisnya ditulis. Lafal ini merupakan ta’dil terendah yang
dinisbahkan terhadap orang yang hadisnya boleh ditulis, namun tidak
dapat untuk dijadikan dalil, walaupun ada sebagain yang bisa
dijadikan sekedar pengetahuan.
Yu’ tabar, lafal yang dinisbahkan kepada orang yang hadisnya boleh dijadikan
pelajaran, bukan untuk dalil.
Dari 50 hadis yang sudah ditakhrij dalam kitab Bidâyat al-Hidâyah karya al-

Ghazâlî ditemukan hadis shahîh sebanyak 19 hadis, baik shahîh li ghayrih maupun

shahîh li dzâtih. Hadis hasan sebanyak 9 hadis, baik hasan li dzâtih maupun li

gahyrih. Sedangkan yang lainnya adalah lemah (dha’îf), yaitu sebanyak 18 hadis,

termasuk di dalamnya hadis matrûk, maudhû’ dan gharîb serta hadis tidak punya

dasar sama sekali (la ashla lah), yaitu ada 4 hadis yang tidak ditemukan sumbernya.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dikemukakan pengelompokannya berupa

tabel sebagai berikut:

________________________________________________________________

No. : Kategori dan Kualitas Hadis: Jumlah: Persen:

1.: Shahîh li dzâtih : 12 : 6 %

2.: li ghayrih : 7 : 3,5 %

3.: Hasan li dzâtih : 3 : 1,5 %

4.: li ghayrih : 5 : 2,5 %

5.: gharîb : 1 : 0,5 %

6.: Dha’îf : 11 : 5,5 %

7.: Jiddan : 1 : 0,5 %

8.: Mursal : 1 : 0,5 %

9.: Matrûk : 1 : 0,5 %

10.: gharîb : 1 : 0,5 %

12.:
11.: lâmawdhu’
ashla lah : 4: : 25 : 2,5
% %

Jumlah : 50 : 100 %
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Ali Sati, dilahirkan di Janjimanaon Kecamatan Batang Angkola Kabupaten

Tapanuli Selatan Sumatera Utara pada tanggal 26 Sepetember 1962 dengan marga

Rangkuty dari pasangan H. Martua Rangkuty (alm.) dengan Hj. Fatimah Sam Siregar

(almh.). Setelah tamat Sekolah Dasar Negeri 6 tahun di Sigalangan pada tahun 1974

anak pertama dari dua bersaudara ini melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah

Pertama Negeri di Sigalangan dan memperoleh ijazah pada tahun 1977. Atas kemauan

sendiri, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pesanteren Madrasah

Musthafawiyah Purbabaru Kecamatan Kotanopan. Setelah mondok selama enam

tahun, pada tahun 1983 menamatkan pendidikan dengan memperoleh peringkat

ketiga dari 200 siswa lebih.

Perguruan Tinggi yang pertama kali dimasukinya adalah Fakultas Syari’ah

Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang Sumatera Barat. Pada tahun 1986

gelar Sarjana Muda (BA) diperolehnya dan pada tahun itu juga, tanpa melalui testing

melanjutkan pendidikan pada jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Syari’ah IAIN Imam

Bonjol Padang. Sarjana lengkap (Drs.) diperolehnya pada tahun 1989.

Setelah tamat Sarjana lengkap, ia mencoba mencari pengalaman kerja sebagai

tenaga honorer pada Madarasah Tsanawiyah swasta selama lebih kurang setahun,

setelah beberapa bulan sebelumnya bekerja sebagai tukang loper dengan status Buruh

Harian Lepas (BHL) pada biro jasa ekspedisi. Ketika penerimaan calon pegawai
negeri pada Tinggi
Pengadilan tahun1990,
Agama
ia mencoba
Medan Sumatera
ikut testing
Utara.
pada
Namun,
calon hakim
karenaagama
“DewidiFortuna”
belum berpihak kepadanya membuatnya kembali mengabdikan ilmu yang dia peroleh

ke perguruan swasta. Beberapa bulan kemudian ia berangkat sebagai pendidik ke

Pondok Pesanteren Terpadu Darul Hikmah Sirandorung Kecamatan Barus Tapanuli

Tengah. Tahun berikut, tepatnya 1991 dia kembali mencoba ikut testing calon

pegawai sebagai calon dosen (edukatif) di IAIN Sumatera Utara Medan. Lagi-lagi

belum berhasil ketika pengumuman test gelombang terakhir. Akhirnya kembali lagi

ke tempat mengajar pertama kali pada Madrasah Tsanawiyah swasta. Kemudian,

ketika Jurusan Tafsir-Hadis fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang

membutuhkan kader asisiten, ia diminta supaya bersedia menjalaninya. Akhirnya,

setelah penerimaan calon pegawai dibuka tahun berikutnya, ia mengikuti testing calon

dosen pada perguruan tinggi tersebut. Alhamdulillah hasil testing menginformasikan

bahwa yang bersangkutan diterima. Selama ia berstatus sebagai asisten yang masih

dikader dan beberapa bulan setelah diterima sebagai calon pegawai (capeg), ia

mencari belanja sehari-hari sebagai tukang loper titipan pada jasa ekspedisi yang ia

pernah alami sebelumnya. Beberapa bulan setelah resmi sebagai calon pegawai

edukatif, ia ikut testing program pascasarjana dan berhasil lulus untuk belajar di IAIN

Ar-Raniry Banda Aceh. Selama tiga tahun di Banda Aceh, ia menyelesaikan strata-2

tingkat Magister dengan memperoleh gelar Master Agama (M.Ag) pada tahun 1996.

Semenjak menyelesaikan pendidikan pada tingkat Sarjana Muda sampai

sekarang baru beberapa karya ilmiah yang berhasil ia tulis, antara lain : Buntut

Undian Harapan Ditinjau dari Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (Risalah Sarjana Muda), Kepemimpinan ‘Umar Ibn al-Khaththâb Ditinjau

dari al-Qur ’an dan al-Hadits (Skrips Sarjana Lengkap), Suatu Telaah Terhadap
Hadis-Hadis
KitabKitab
Bidâyat
Muwaththa’
al-Hidâyah
Imam
Karya
Mâlik
al-Ghazâlî
(Tesis S.2)
(Disertasi
dan Kajian
Doktor).
Hadis-Hadis
Selain itu, ia pernah juga menulis dan menyajikan beberapa makalah dalam

seminar dan menulis artikel yang pernah dimuat dalam jurnal/ majalah kampus. Di

antara makalah yang pernah disajikan dalam seminar, antara lain : Zakat Menurut

Hukum Islam (sebagai nara sumber pada seminar sosialisasi zakat antar Majelis

Ulama dengan tokoh Masyarakat di Pesanteren Purbagata, Gunung tua Tapanuli

Selatan, 2007) dan Zakat Profesi Ditinjau Menurut Hukum Islam (sebagai nara

sumber pada seminar antar guru-guru dan para pegawai di lima rayon SD, SMP dan

SMA serta Kantor se Kecamatan Batang Angkola selama delapan hari kerja, 2007).

Sementara artikel yang pernah dipublikasikan adalah ‘Adalat al-Shahabah (Majalah

Tajdid fakultas Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang. Kemudian pengalaman

organisasi yang pernah dijabatnya adalah Ketua Ikatan Pelajar Musthafawiyah

Purbabaru yang berasal dari Kecamatan Batang Angkola dan Sekretaris Dewan

Pelajar Musthafawiyah Purbabaru Kecamatan Kotanopan pada tahun priode 1982-

1983. Pada saat ini, ia dipercaya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

Kecamatan Batang Angkola masa khidmat 2006-2011.

Lewat perkawinannya semenjak tahun 1990 dengan Ernida Siregar, guru

Sekolah Dasar Inpres Janjimanaon Kecamatan Batang Angkola hingga sekarang telah

dikaruniai enam orang anak, lima laki-laki dan seorang perempuan, yaitu : Fikri Ali

Tua Rangkuty (siswa kelas 1 Aliyah), Rifka Fadma Rangkuty (siswi kelas 3

Tsanawiyah). Keduanya belajar pada Pesanteren Darul Mursyid Simanosor

Kecamatan Saipar Dolok Hole Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara, Amirul

Alawi Martua Rangkuty (siswa kelas 6), Nu’aim Marsudin Rangkuty (siswa kelas 5)

dan Ahmad Alfen (siswa kelas 2), ketiganya belajar pada SD Inpres Janjimanaon
Kecamatan Batang Angkola
(baru usia
Tapanuli
3,5 tahun).
Selatan. Terakhir, Yusran Nazra Rangkuty

Anda mungkin juga menyukai