Anda di halaman 1dari 18

PROLOG

Mereka adalah Neena.


Manusia yang mampu bernafas didalam air.
***
“Skak mat.”
Si pria bermata tembaga mengerutkan kening. Sejenak
tangannya membenarkan posisi mahkota emas yang
miring di kepala. Dan pandangannya heran terhadap
bidak gajah lawan yang menembak Raja-nya yang
terpojok dari sudut arena.

“Konyol," katanya. “Biasanya kau selalu kalah, Mattan.”

“Karena biasanya aku mengalah Paduka," Mattan


tersenyum, sekilas melirik permata merah berbentuk
tahta diatas air yang menghiasi mahkota merah sang
Raja. Dia menyandarkan tubuh, menyilangkan kaki kanan
dan meletakkan tangan dipangkuan.

Sang Raja menatap lekat pria berambut ikal


dihadapanya. Tertawa kering. Dia meraih cawan perak
disebelahnya dan meneguk habis isinya.

Raja Ein bangkit, langkahnya berdenting di lantai pualam


ketika menghampiri dinding jendela kaca raksasa. Dia
berdiri disana dengan tangan dilipat kebelakang.
Termenung lama memandangi laut biru yang
menghampar dibawah kastil kerajaanya.
Awan dilangit bersemburat jingga. Hari menjelang senja.
Hanya mereka berdua yang bernapas diruangan mewah
itu. Sisanya dihuni lukisan-lukisan bertema kekuasaan,
lentera-lentera kristal, patung-patung granit, baju zirah
dan koleksi senjata yang dijadikan pajangan, serta piala-
piala dari emas.

“Jadi... bagaimana menurutmu pertempuran kemarin?”


tanya Raja Ein penasaran. “Aku yakin kita akan menang.
Sedikit lagi. Lukamu sudah sembuh kan?”

Mattan merogoh saku celana. Mengambil sebuah


permen, membuka bungkus kelabu, dan memasukkan
isinya kedalam mulut. Mengunyah perlahan, lidahnya
merasakan manis lelehan sirup candu yang merangsang
ketenangan dalam otak. Lalu sejenak Mattan terpejam,
seakan mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu
yang gila. Aksi ini mungkin akan mencoreng nama dan
merusak reputasinya. Tapi tekad Mattan sudah bulat.

Dia tidak akan mundur lagi.

Mattan menumpukan kedua tangan di bibir meja, sedikit


mendorong kursi kebelakang. Dia bangkit. Berjalan
menghampiri sang Raja dengan tagan memegangi mata
sabuk bersepuh emas membentuk burung hantu
bertudung yang melingkari pinggang. Sosoknya yang
bertubuh tegap dan gagah memantul pada permukaan
kaca jendela dihadapan mereka. Mattan berdiri persis
dibelakang bahu Raja Ein.
Jantung Mattan berpacu. “... kapan kita akan berhenti,
Paduka?” tanyanya.

Raja Ein mengangkat kedua alis. “Kau bercanda lagi? kau


tahu aku tidak akan berhenti sampai akhir. Pengorbanan
kita sudah terlalu banyak, Matt” katanya, membalas
pantulan tatapan mata di kaca. Lalu berbalik
menghadap. “Apa lukamu sudah sembuh? .”

Terdengan klik pelan lingkar kunci yang ditarik jari


tengah. Tangan Mattan berpindah cepat dari sabuk.
Mengayukan tinju bersuara lembut. Menghunus
batangan logam pipih mengilap sepanjang 10 cm
kebawah tulang rusuk Raja Ein.

Dua kali. Tanpa perasaan. Tanpa basa-basi.

Raja Ein membelalak menatap Mattan. Mulut terbuka


lebar dan rahangnya gemetar.

Mattan menghela napas. Kepalan kanannya masih


menempel diperut, ketika tangan kirinya setengah
mendekap tubuh sang Raja yang goyah. Cairan merah
pekat mengalir dari besi ppisau yang ramping. Menetes
ke lantai. Menyusul peristiwa itu, kencring samar pelat
besi terdengar tergesa dibalik dinding. Seorang
pengawal Raja berteriak. Tak lama kemudian pintu
ruangan digedor-gedor seakan hendak memperingatkan
kalau ada kebakaran di kamar sebelah.

“Paduka! Buka pintunya! Paduka Ein! ”


“Paduka! Dia pengkhianatnya! Panglima Mattan!! ”

“Mereka tidak salah,” komentar Mattan. “Abdiku...


sahabatku yang paling setia.. mau membunuhku?” tanya
Raja Ein lirih. Mattan menjawab dengan wajah
menyeringai, "Dengan senang hati”. “Ini untuk adikmu,
Matt?” Raja Ein tampak pucat serta takjub. Napasnya
terhambat dikerongkongan, urat kebiruan menonjol
tegas di leher. “Kupikir kau sudah memaafkanku.”

“Kau menipuku, Paduka.”

Darah hangat mengalir dari sudut bibir Raja Ein. Dia


tertawa hambar. “Dan kau, bermain hati dengan Ratu-
ku, "tuduhnya, dengan lidah yang kelu.

“Oh, itu karena aku ingin.”

Raja Ein meludahi wajah Mattan. “Demi Unum,


beruntung aku sudah bosan dengan perempuan kurus
itu," tukasnya dingin. “Aku baru saja akan menyiksamu,
Matt, seperti adikmu. Selina mati dalam keadaan jiwa
yang terbakar.”
Wajah Mattan merah menegang dengan guratan
dendam yang mencolok. Dia tidak menyeka ludah kecut
di pipinya. Dia merasa harus mengubah pembicaraan
sebelum dirinya lepas kendali.

“Menumpas kebodohan?” cetusnya dengan hina.


“Sungguh, kegilaan Paduka sudah diluar batas”

Kegaduhan masih terdengar dekat dibalik pintu ruangan.


Saling menyeru. Sebagian pengawal berusaha
mendobrak pintu. Meski seseorang berkata bahwa itu
merupakan upaya tolol. Pintu kamar Raja terpahat dari
ulin merah setebal 5 cm. Kayu itu nyaris sekeras dan
sekuat lapisan beton.

“Ambil kunci serepnya, cepat!" seru satu suara dibalik


pintu.

Raja Ein terbatuk sinar matanya meredup. Dia merasakan


kantuk yang aneh. Membuatnya tak mampu melawan.
Raja Ein menyeringai. “Seringkali begitu. Mengubah arah
pembicaraan ketika mulai terpancing emosi," umpatnya.
“Yah... kebenaran memang pahit. Tapi aku
melakukannya demi kebaikan kita. Demi kemajuan
peradaban, Matt! Kau tahu itu!".

“Kau seorang ekstremis yang keji, Paduka. Seorang


rasis!”
“Oh, Matt... jangan kau berkata begitu padaku," Raja Ein
dirundung sesal. “Dia yang menghasutmu jadi seperti
ini ? kukira sejak dulu kau sepaham denganku.”

“Dia tidak ada hubungannya dengan keputusanku ini.


Demi perdamaian dunia. Aku sendiri akhirnya merasa...
kesombongan Paduka harus dihentikan. Kita sudah
bertindak diluar batas."

Tawa Raja Ein tiba-tiba meledak, seperti orang sinting.


Dia terengah-engah dan tersedak memuntahkan banyak
darah. Matanya membelalak nanar. Hidungnya yang
dipenuhi bulir-bulir keringat penderitaan, nyaris
menempel dengan Mattan. “Oh, perdamaian dunia,
perdamaian dunia... selalu begitu seolah kalian semua
paham dengan artinya. Dunia sumpek dan sesak karena
kalian! Jadi, ya! Aku perlu rasis, Matt! Aku harus rasis."
“Urgut dan Haedin adalah orang-orang hina yang bodoh!
Pemalas dan tak berguna."

Raut wajah Mattan memucat dan sekeras perunggu. Dia


menarik tusukan, melepaskan pegangan. Mattan mundur
dan mengangkat lutut, mendaratkan kaki kanan di perut
sang Raja. Pria itu terbelalak ngeri. Napas dia tercekat
merasakan tubuhnya terdorong menghempas dan
memecahkan kaca jendela.

Raja Ein terjun bebas menyambut kekosongan udara.


BAB I
***
Datan Woudward mendekatkan diri ke cermin persegi di
kamar mandi. Menggaruk secuil noda di pipi merahnya
dengan jari telunjuk. Tertegun memandangi pantulan
dirinya yang memandang balik. Datan selalu mengagumi
mata bulat miliknya yang sebening kristal dan sehijau
batu zamrud. Wajahnya menggemaskan dengan hiidung
mancung, lesung pipi yang menarik hati, dan berbingkai
rambut hitam tebal di kepala. Anak-anak perempuan
selalu membuatnya tertawa dengan bilang kalau Datan
tampan.

Oh, pujian itu suka menggelitik hatinya.

Datan terlahir berdarah Ingra. Si Penghuni Malam.


Dianggap jenis paling langka dan paling asing. Hasil
percampuran unik orang Marra si Penguasa Perairan
dengan Haedin Si Perenung. Golongan ras terakhir yang
konon dikatakan sebagai kaum terpilih, terbaik diantara
semua ras. Mata zamrud itu tandanya, yang kerap
menjadikan Datan mirip lakon opera terkenal sewaktu
banyak orang Urgut Si Tubuh Besar.

Tetapi Datan tidak setuju. Bibi Fira suka berlebihan kalau


menghibur anak-anak. Menurutnya, tidak ada orang yang
paling baik di dunia ini. Semua relatif. Iya, kan? Akibat
mitos konyol dan mata hijau itu, Datan jadi suka merasa
aneh dan sendirian. Dia belum pernah bertemu darang
Ingra seperti dirinya di Tormera.

Kenapa aku berbeda? Untuk apa aku dilahirkan?

Datan memang masih berumur 7 tahun. Tapi belakangan


dia lagi sering bertanya-tanya tentang hal ruwet
semacam itu. Suatu kali, dengan tertawa-tawa seorang
tua dipinggir jalan pernah bilang: bahwa orang-orang
dilahirkan untuk tidur, ngerumpi, makan sate dan main
layang-layang, lalu mati. Sederhana. Apa Datan harus
mencari sendiri jawabannya suatu hari nanti ketika
dewasa.

Datan mendesah gusar. Mengangkat punggung tangan,


menggosok hidung, lalu bersin. Dia mendongak, cemas
mengintip Selaput Elpa yang berpori, putih bening dan
halus pada rongga hidung antara bulu-bulu, lalu
mengoreknya pelan karena gatal. Organ bernapas dalam
air yang bisa menyerap udara sekaligus mencegah air
masuk itu amat jarang digunakannya untuk menyelam.
Jadi agak kaku dan mengganjal rasanya. Mirip keran
ajaib, Selaput Elpa dapat otomatis menutup lubang
hidung ketika kepala terbenam didalam air dan akan
tetap membuka selama di permukaan.

“Datan sudah selesai belum?” suara Ayah menembus


dinding, lantang dan tegas. “Sarapanmu sudah siap di
meja”.
“Sebentar lagi Ayah”

Datan buru-buru menyikat gigi. Membasuh muka dengan


air yang membuat kulit beku dan mengeriput, lalu
mengelapnya dengan handuk kecil dari gantungan balik
pintu. Datan malas mandi di tengah udara dingin hari itu.

Datan tinggal bersama Ayahnya, Mattan Woudward, di


rumah kecil nomor 21 di jalan paling ujung yang terletak
diluar perbatasan negeri Tormera. Mereka hidup tanpa
bertetangga, jauh dari keramaian dibibir tebing rendah
yang kelabu. Rumah berciri khas Haedin yang
keseluruhan dibangun dari kayu. Berbentuk kerucut,
beratap hijau rerumputan yang bernapas serta memiliki
ruangan asri yang dihias dengan beragam tanaman
semisal anggrek dan melati. Datan suka menciumi wangi
kedua bunga itu.

Datan berlari-lari kecil sembari bersiul menuju meja


makan. Dia menemukan Ayah mematung di depan
jendela kaca berbentuk segitiga, termenung
menyaksikan putih salju bulan Juni turun diluar. Ayah
pasti sedang memikirkan Ibu. Ayah menoleh ketika
Datan muncul, bergerak menyambutnya di meja makan.

Ayah bermata lebar berwarna biru terang seperti


keturunan Haedin umumnya. Wajahnya tirus dengan
tulang pipi menonjol. Rambut hitamnya yang
bergelombang hampir tak pernah lupa diikat satu
kebelakang. Tubuhnya ramping, tapi cukup kekar. Dan
dia bukan penyihir. Dia bahkan tidak suka bergaya
eksentrik bak seorang penyihir pada umumnya. Sejak
dulu, Penyihir adalah profesi yang sangat langka. Bahkan
dikalangan Haedin yang konon dikenal kontemplatif dan
akrab dengan ilmu sihir.

“Berhenti menatap seolah aku ini perampok, Datan”,


Ayah berkata. Dia memilihkan potongan jamur terbesar
dan menyendokkannya disertai kuah ke mangkok Datan.

“Masih memikirkan Ibu, ya?”

“Kenapa bicara begitu?”

“Karena masakan Ayah terlalu asin. Masakan Ayah selalu


asin kalau sedang tertekan memikirkan sesuatu.”

Ayah menyeringai. “Ngaco”, celetusnya. “Masakanku


baik-baik saja. Makan dengan benar, Datan.”

“Aku sempat dengar ayah bicara aneh dan teriak


semalam. Ayah mimpi apa?”

“Aku mimpi ada nyamuk sebesar kepalan tangan


nemplok di hidungku.”
Datan tertawa, dan mulai melahap sarapannya. “Jadi
bagaimana nanti malam?” tanyanya.
Ayah mengunyah irisan bawang putih sembari membuka
halaman depan koran Harian Tormera yang barusan
dibentangkan di meja. Ada dua berita tentang orang
yang menderita kerusakan Selaput Elpa akibat
keracunan. Datan tahu Ayahnya keberatan. Karena diam
terlalu lama.

“Ayah sudah janji padaku,” desaknya. “Menemaniku ke


pasar malam. Aku mau sate.”

“Aku tahu,” Ayah bergumam tanpa melepaskan mata


dari bacaan. “Coba lihat nanti sepulang berburu.”

***
BAB II
***
Putih lembut menutupi tanah hijau Tormera yabg
terletak di tengah padang rumput bagian selatan
Serayan – daratan yang setiap negeri didalamnya
cenderung hanya memiliki satu kota. Tormera dibelah
sungai besar dari ujung timur sampai ke barat dan
bercabang ke utara. Dikelilingi gugusan pegunungan
kelabu, ladang-ladang tebu orang Haedin, serta
dilindungi pagar tinggi besar yang menjadi pembatas
negeri. Seperti di belahan dunia lainnya, pemerintahan
mereka dipimpin oleh seorang Thar beserta para Sher
(yang membidangi beragam urusan pemerintahan), yang
mengabdi pada Raja yang menguasai negeri-negeri.

Sebaian orang biasa menjuluki Tormera sebagai negeri


pedagang. Karena bermacam pedagang dari berbagai
suku di penjuru dunia sering berkumpul di sana.
Rumahnya kebanyakan berbentuk kerucut dan dibangun
dari kayu, dengan banyak tanaman hias di dalam rumah.
Sedangkan sisanya adalah rumah kotak beratap datar
dari batu atau lumpur milik orang Urgut. Yang dikenal
senang memasang harga mahal dalam berdagang.

Senja tampak merah merona. Bercampur titik-titik


temaram cahaya keemasan di langit yang berasal dari
puncak- puncak Menara Suba. Menara itu berketinggian
mencapai 25 meter dengan ruangan proporsional mirip
piringan di puncaknya, yang menjadi tempat bermeditasi
bagi Unuma – para pemuja Unum, Sang pencipta
semesta.

Datan menyaksikan ratusan orang rela melawan beku di


pergelaran pasar malam Tormera. Khusus acara itu,
mayoritas pedagang merupakan pendatang dari
kalangan Urgut yang membawa barang-barang
dagangan dari jauh. Mereka gigih berceloteh dengan
suara lantang dan tubuh membusung yang tinggi besar.
Menggelar dagangan di sepanjang jalan yang diterangi
barisan lentera minyak, menggunakan rangkaian meja
kayu dan kereta-kereta dagang.

Ada bermacam orang yang konon berasal dari berbagai


zaman dan negeri di dunia. Dijual pada malam hari itu:
perhiasan dengan batu mulia yang langka, ornamen-
ornamen antik dari peradaban kuno – asli serta palsu,
benda-benda bertuah yang dikutuk, sampai pakaian dan
makanan khas dari suatu negeri.

Orang-orang yang menghampar bagaikan semut


bermantel musim dingin yang berbincang dan
menggeliat-geliat. Berkerumun rapat, menghimpit Datan
dan Ayahnya. Datan jadi merasa jengkel karena sulit
melihat bebas. Tubuh kecilnya membuat dia hanya bisa
memandangi lengan dan punggung orang lain di
keramaian. Ayah pun tak mau mengangkat Datan di
pundaknya.
“Kau sudah tidak pantas lagi meminta seperti itu,” kata
Ayah. “Kau sudah besar, Datan.”

Datan tersipu malu dengan cengiran masam di wajahnya.

Ayah membawa Datan berkeliling sampai bosan. Kadang


Ayah memaksa Datan melangkah tergesa, kadang santai
– dengan pandangan cermat yang meloncat-loncat
seperti pencopet, dan seringkali mendadak berbalik arah
disertai ucapan maaf pada seseorang akibat tidak
sengaja menyenggolnya. Datan heran, kenapa mereka
berjalan mirip orang bingung seperti itu? Ayah tak
menjelaskan apa yang dicarinya. Sampai akhirnya Datan
menemukan apa yang dia ingin.

Sampai di distrik makanan, udara harum bercampur


aroma masakan. Membuat perut Datan berkeriuk.
Menembus celah orang di keramaian, matanya
menangkap sesuatu.

“Sate! sate, Paman Gapp” Datan menunjuk pria kecil


berjenggot yang terselubung dalam sebuah kios beroda
penuh gambar daging tusuk yang dililit dan dibalur
bumbu. “Sebelah sana, Ayah.”

“Aku lihat, Datan,” Ayah menggenggam erat tangan


anaknya seraya menyeruak di keramaian mencari jalan,
menuju ke pinggir. “Sabar ada terlalu banyak orang di
tempat ini.”
“Seharusnya mereka mengadakannya di lapangan, ya?”

Paman Gapp menyambut mereka dengan senyuman


lebar diwajah, dan dia senang mengelus jenggot
kuncirnya sekali sebelum melayani. Ayah memesankan 3
tusuk sate, lalu ia membayar seharga satu Kurr – keping
uang perak berangka dengan campuran emas yang
menonjol di permukaanya. Setiap satu Kurr ditandai satu
titik emas, yang berarti semakin tinggi nilai Kurr maka
akan semakin banyak titik emasnya. Kata Ayah, Kurr
tertinggi bernilai seratus dengan bentuk keping emas
murni keseluruhan.

Tapi Datan belum pernah melihat Ayah memilikinya


selama ini.

Datan menunggu, menempelkan mulut ke celah kedua


telapak tangan yang ditangkupkan, dan meniup-niupnya.
“Aku mau sedikit manis,” pintanya. Karena menurut dia,
sate rasa paling enak adalah yang ditambah sedikit
madu.

Sesaat Datan merasa tak sabar sekaligus penasaran.


Melongok-longok dan hidungnya hampir mencium
tungku panjang pembakaran sate yang bertaburan
arang. Hingga Ayah mencengkeram kerah belakang
mantelnya, menariknya menjauh.
“Paman Gapp sudah tahu,” katanya gusar. “Apa kau mau
hidungmu ikut dipanggang?”

Tiba-tiba tangan gemuk dan lentik menepuk bahu Ayah.


Datan ikut menoleh, mendapati wanita gendut bermata
biru dengan dagu bergelambir, melotot menatap Ayah.
Penampilannya menor dengan wajah dibedaki dan lipstik
merah pucat, mengenakan selendang Kirki bulu angsa
kuning yang mengerudungi kepala. Wanita itu
mencermati wajah Ayah yang terheran-heran. Lalu alis
tebalnya bertaut.

“Jangan pura-pura bodoh,” cetus si wanita menor.

Datan menyadari orang sekitar turut menoleh heran,


mulai memperhatikan mereka. Muncul bisikan
meresahkan.

“Apa maksudmu?” Ayah menyipit tak suka, tangannya


bergerak-gerak kebelakang mencari Datan.

“Kau si pencuri,” sahut si wanita dingin. “Kau yang


menubrukku dan meminta maaf! Setelah itu, dompet
dalam saku jaketku hilang. Aku lupa menutup rapat saku-
ku sebentar saja, dan kau dengan gatal mencurinya!”

Datan terperangah.
“Kau wanita gila!” sangkal Ayah. “Aku bukan pencuri !
Dan ini pasar! Semua orang menubrukmu.”

Si wanita tidak mempedulikan ucapan Ayah. “Sher Bark!


Di Sini!” teriaknya, mengangkat tangan tinggi dan
melambai. “Aku di sini! Ini pencurinya!” pandangannya
tertuju ke satu arah.

Orang-orang sekitar serentak menjaga jarak. Terdengar


gumaman prihatin bercampur celaan dari mulut banyak
orang. Mereka mengelilingi karena penasaran dengan
apa yang selanjutnya terjadi. Ayah telah meraih tangan
Datan, menggenggam erat – selagi wanita bibir tebal itu
teriak-teriak memanggil petugas. Datan bisa merasakan
ketegangan dan basah keringat dingin di telapak tangan
Ayah. Mereka melupakan pembelian sate itu. Datan ingin
mengucapkan sesuatu, melontarkan protes dan satu –
dua pertanyaan. Tapi lidahnya sekaku papan. Jantungnya
berpacu merasakan banyak tatapan yang menuduh.

Ayahku mencuri?

***
BAB III
***

Anda mungkin juga menyukai