Anda di halaman 1dari 5

Sepuluh Jarum Bersarang di Kepalaku

Bulan lalu, pimpinan perusahaan tempatku bekerja membuat kegiatan ramah-tamah, mereka
mengundang seluruh pekerjanya. Aku, yang awalnya malas hadir karena ingin memanfaatkan
hari libur bersama keluarga, terpaksa hadir juga. Mereka bilang, kalau aku tidak hadir, kontrak
kerjaku tidak akan diperpanjang lagi.

Pada 1 Mei beberapa bulan lalu, perusahaan juga menggelar acara serupa. Setahu aku, waktu itu,
acara terlaksana berkat kerjasama antara pengurus serikat pekerja dan pihak perusahaan. Mereka
menggelar berbagai macam lomba, dari lomba menyanyi hingga baca puisi. Waktu itu
perusahaan juga mengumumkan; barang siapa yang tidak hadir, dapat sanksi. Sanksinya beragam
sesuai tingkat jabatan, pekerjaan, dan status kerja dalam perusahaan itu.

Waktu itu aku baru bekerja selama dua bulan. Aku ditempatkan di bagian sewing. Meskipun baru
dua bulan bekerja, tapi aku termasuk yang paling lincah menjahit di line itu. Jarang sekali
supervisor mengomeli aku, apalagi menggebrak-gebrak meja jahitku. Tapi karena aku tidak
hadir di acara pada 1 Mei itu, yang katanya merupakan peringatan hari buruh sedunia, maka aku
dapat sanksi, bulan depan belum bisa menerima upah sesuai UMK, dan pertimbangan
pengangkatanku menjadi karyawan tetap menjadi mustahil.

Anakku masih minum susu formula, sementara gaji suamiku juga belum mencukupi untuk
menafkahi kami semua. Suamiku bekerja di pabrik lain dan sepulang bekerja, dia masih
mengurus bengkel kecilnya di halaman rumah, agar kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Dan
ada sedikit simpanan untuk persiapan anak masuk sekolah. Atas pertimbangan itu, terpaksa
liburan kali ini kami batalkan. Meskipun kami sudah merencanakannya jauh-jauh hari untuk
menjenguk nenek, yang rumahnya terletak di pinggiran lain kota ini.

Dan bergabunglah aku bersama teman-teman sekerja yang lain di sebuah aula gedung. Aku juga
sekaligus mengajak suami dan anakku. Aku katakan pada mereka bahwa, anggap saja kita
sedang berlibur di sebuah gedung mewah, kita pun pasti akan makan enak. Dan mereka tampak
senang.

Di acara itu aku ketemu Inang, ia satu line dengan aku. Inang, yang biasanya ceria, suka
menyapa duluan, kali ini kelihatan suram. Ia hanya melirik aku sekilas lalu kembali menatap
kosong ke depan di area panggung, bibirnya sedikit menonjol dan wajahnya datar.

"Aku sudah janjian dengan seseorang, padahal." Ia berkata setelah aku tawari sebiji permen dan
sepotong cokelat.

"Dia pasti orang spesial." Aku mencoba menggodanya.

Inang menjelaskan bahwa mereka sudah lama sering teleponan, bahkan sekali-sekali lelaki itu
menjemput Inang dengan motor ketika pulang kerja. Tapi ini untuk kali pertama mereka janjian
akan jalan bareng, memanfaatkan hari libur.
“Ia berkata ‘kencan kita ini akan menjadi kencan yang revolusioner.’ Dan aku percaya, meskipun
aku tak tahu betul apa maksud dari perkataannya itu.”

Aku pindahkan anakku ke pangkuan ayahnya, lalu aku rangkul Inang yang tampak betul-betul
murung. Dalam rangkulan itu aku rasai dadanya kembang kempis menahan isakan, lalu berkata:

"Untuk pertama kalinya aku akan masuk GBK dan naik ke puncak Monas. Gagal gara-gara
ramah-tamah sialan ini."

Karena semakin aku elus, isakan Ina rasanya semakin mencapai titik ledak juga, jadi aku pelan-
pelan menyorong badannya dan menawarinya air mineral.

“Minumlah sedikit, perasaanmu akan membaik setelahnya.”

“Mungkin aku lebih baik minum racun saja.”

“Jangan bodoh,” sergahku. “Perjuangan masih panjang”

Di depan sana, panitia pada sibuk mempersiapkan acara. Orang-orang serikat mulai bergantian
berpidato, menyampaikan bahwa pekerja dan pengusaha harus rukun. Dan sekali-sekali ada juga
orang serikat yang bicara apa adanya tentang keadaan pekerja di pabrik. Tentang perbedaan
kepentingan antara pengusaha dan pekerja. Aku lebih senang mendengar pidato orang seperti ini,
tidak banyak drama, tidak banyak bumbu-bumbu manisnya. Tapi mereka sangat minoritas,
suaranya hilang ditelan suara gemuruh para penjilat.

Aku kira acara makan-makan merupakan acara puncaknya, dan setelahnya kami boleh pulang.
Tetapi seorang lelaki dengan pakaian rapi bersetrika, naik ke panggung mengumumkan agar
kami jangan pulang dulu. Masih ada satu acara puncak, yaitu ceramah Pak Kiai, nama asli kiai
itu tidak ada yang tahu, yang orang tahu dia agamawan terkemuka di kota ini.

Pak Kiai mulai berbicara dengan lantang, diselingi dengan suara yang seolah hampir menangis.
Dan dengan bumbu ayat-ayat suci, dia lalu membimbing kami mengikuti ucapan-ucapannya.

"Tapi dalam hati saja," Kata sang kiai.

Ia berdoa. Doanya menggema di seluruh ruangan aula itu dan menyelinap masuk di hati kami:
Agar perusahaan tetap lancar, cabangnya semakin banyak; pekerjanya sehat-sehat, rajin, dan
tidak suka mengeluh. Mengeluh. Maksud Pak Kiai dengan mengeluh sebenarnya adalah protes.
Di pabrik, setahuku, memang sudah ada satu-dua orang yang mulai berbisik-bisik,
mempertanyakan ke sesama teman, akankah penentuan upah tahun ini akan membuat upahnya
juga ikut naik. Kalau naik apakah mampu menutupi inflasi. Duh, tema itu sebetulnya harus
menjadi perbincangan hangat di serikat buruh, di mana setiap bulan gaji kami dipotong untuk
membayar iuran.
Konon, pada tahun-tahun sebelumnya, bisik-bisik seperti itu munculnya dari atas, dari para
pengurus serikat. Tapi bukan serikat yang sekarang. Mereka mengajak para pekerja rapat
bersama dan perwakilan pekerja-pekerja di semua bagian menyampaikan keluhannya. Dan juga
tuntutannya agar mereka diupah sesuai jerih payahnya.

"Karena itu sebagian besar pengurusnya diPHK dan sebagian lainnya diberi jabatan dan
serikatnya dibubarkan." Kata Ety Komala Sari suatu ketika sesaat setelah secarik kain menempel
di mukanya karena dinilai oleh supervisor lelet dalam bekerja. "Supervisor kita sekarang itu juga
bekas pengurus serikat yang sudah dibubarkan itu."

"Ya, Ety, aku bisa membayangkan betapa menyenangkannya masa-masa itu." Aku merenung.

Sejak acara ramah-tamah itu, suasana di pabrik juga berubah. Pada jam-jam tertentu, biasanya
saat jam sepuluh siang dan jam dua siang, suara Pak Kiai kembali menggema melalui pengeras
suara yang dipasang di setiap sudut-sudut ruangan di pabrik ini. Ia bisa mengalahkan suara
gemeratak dari mesin jahit yang kami operasikan.

Suatu siang, aku kurang enak badan. Dari hidungku terus mengalir cairan bening dan ketika tidak
segera dilap tisu ia akan segera mengering dan terasa lengket. Maka setiap kali aku merasa cairan
itu mulai mengalir keluar, aku segera mengambil tisu. Ini sedikit menghambat konsentrasiku
sehingga pekerjaanku mulai keteteran. Suhu ruangan cukup panas, di atas kepalaku membentang
dua lampu neon sepanjang satu setengah meter yang cahayanya menyilaukan mata. Atap ruangan
juga tidak tinggi. Tapi entah kenapa badanku malah menggingil kedinginan.

Di depanku sudah menumpuk kain. Aku menjahit bagian kerah baju. Ini salah satu pekerjaan
yang termasuk sulit jika dibandingkan bagian-bagian kemeja lainnya.

Sementara aku menyeka cairan yang keluar dari hidungku, aku hampir pingsan oleh bentakan
dan gebrakan dari belakang. Itu terjadi tak lama setelah suara Pak Kiai sudah hilang dari
pengeras suara.

"Macam kura-kura saja kau, Lena," kata supervisorku.

Aku menunduk dan aroma kain semakin tajam menusuk hidungku, dan ia seperti mengalir
masuk hingga ke paru-paruku. Aku mencoba fokus pada jarum mesin jahit yang bergerak cepat
seirama dengan pedal yang dimainkan oleh kakiku. Tapi saat menundukkan kepala agak lama,
jarum-jarum yang bergerak cepat itu justru menusukku di ubun-ubun. Kepalaku serasa ingin
pecah. Dan, cairan bening itu tidak juga mau berkompromi. Ia keluar dengan derasnya, rasanya
seperti kita sedang mimisan saja.

"Bangsat," kataku.
Aku merasa, kalau kata itu aku ucapkan hanya dalam hati, tapi entah bagaimana caranya
supervisorku mendengarnya dan dengan sedikit menunduk, ia tempelkan mulutnya tepat di
lubang telingaku. Lalu ia berorasi di situ. Saking derasnya kata-kata meluncur dari mulutnya,
sehingga aku tidak bisa menangkap sepenuhnya apa yang ia katakan. Aku kagum dengan
kelancarannya berkalimat, yang dipenuhi diksi-diksi makian.

Aku jelas tidak bisa melakukan hal seperti itu. Saat dipuncak kemarahan, seperti saat-saat mulut
busuk itu menempel di telingaku, aku justru tidak bisa berkata-kata. Aku akui, ia memang hebat.
Aku tahu ia telah meledak dalam kemarahannya. Tapi bagaimana bisa, seiring dengan
kemarahan yang berapi-api itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya masih lancar. Oh, pasti
kata-kata itu tidak dari hati. Mungkin hanya dari mulutnya saja dan sedikit tambahan dari
otaknya yang sudah terkontaminasi dengan limbah pabrik. Tapi bisa dimaklumi. Aku teringat
kata-kata Ety Komala Sari, dia memang salah satu pengurus serikat yang sudah dibubarkan itu,
yang tidak diPHK, tapi malah diganjar dengan jabatan dan kenaikan upah. Oh, betapa serikat
adalah tempat belajar yang baik.

Pelan-pelan aku angkat kepalaku, aku ingin menatap matanya. Orang bilang, cara melawan iblis
adalah dengan menatap matanya. Ya, aku akan melawanmu dengan segala kekuatan yang masih
tersisa. Aku paksakan agar mataku bisa menatap tajam, aku hentakkan kepalaku, mendongak. Ia
sudah tidak di sana. Tapi suaranya tidak mau pergi, ia terus memburu telingaku. Ya Tuhan,
usirlah suara iblis terkutuk itu dari telingaku.

Aku menoleh ke belakang dan di ujung line sana aku melihat ia menggeser kursi platik. Bukan
untuk ia duduki, tapi ia pukul-pukul seperti anak reggae memainkan jimbe, dan sekali-sekali
berdiri di atasnya dan meneriakkan kata-kata makian. Ya, Tuhan, kenapa juga ada orang
semenjengkelkan seperti itu? Tidak usah dijawab, Tuhan, aku tahu jawabannya, hanya saja
dalam situasi sulit seperti ini aku perlu menyebut namaMu. Aku tahu. Ia juga akan disemprot
oleh atasannya apabila kami tidak bisa mencapai target, dan atasannya akan disemprot juga oleh
yang lebih di atas lagi. Dan yang di sana, yang sedang berdiri menggebrak kursi itu, hanya bisa
melampiaskan kemarahannya pada kami. Ketika bos marah, maka kami adalah pelampiasan
kemarahan terakhir. Tapi kami jugalah ujung tombak pencipta kekayaannya. Ah, aku tidak mau
berpikir lagi. Di depanku semakin banyak kain menumpuk. Dan si bawel itu tidak juga mau
berhenti memainkan jimbe sambil berorasi.

Jam istrahat tiba, orang-orang berhenti menjahit dan mulai bersorak gembira. Aku juga berhenti
menginjak pedal. Tapi aku heran, jarum itu sudah tidak bergerak tapi kepalaku masih terasa
ditusuk-tusuk. Sekarang tusukan itu seolah dari dalam, ya, aku tahu sekarang, ada sepuluh jarum
yang bersarang di kepalaku dan mereka menari seirama dengan gerak kepalaku sendiri. Aku
perlu istirahat. Aku juga ingin makan dan minum obat.

Laki-laki itu sudah ada di kantin. Wajahnya terlihat seperti orang yang tidak pernah tidur selama
seminggu, tapi matanya menyala memancarkan sebuah harapan. Setelah aku selesai makan, ia
melirik ke kanan dan ke kiri seperti orang gelisah, lalu menggeser pantatnya ke dekatku. Ia
mengeluarkan secarik kertas yang berisi penjelasan kenapa buruh harus ngotot menuntut
kenaikan upah. Oh, kataku dalam hati, tanpa penjelasan seperti itu aku juga tahu; kebutuhan
hidup semua naik dan kami tidak bisa makan dengan kenyang apabila upah tidak ikut naik. Itu
sudah.

"Tapi aku harus segera masuk, Bung," kataku. "Simpan kembali selebaranmu, sebab satpam akan
menggeledahku di pintu masuk."

Jarum di kepalaku masih ada, tapi intensitas tusukannya sudah sedikit berkurang. Dan, di
depanku, seperti ada pecahan kaca di setiap tempat yang akan aku pijak, aku beringsut masuk
pabrik. Tumpukan kain di mesin jahit harus aku selesaikan sebelum jam istrahat selesai. Sebab,
jika tidak, aku bisa mati oleh makian perempuan terkutuk itu.

Penulis: Accu Sufu, penggemar sastra, tinggal di Makassar.

Bisa dihubungi di akun Facebook: Accu Sufu.

Anda mungkin juga menyukai