Anda di halaman 1dari 8

Hidup dan Mati

Kematian itu... apa?

Suara isak tangis berlomba-lomba untuk memenuhi hamparan tanah hijau


sejauh mata memandang. Tak ingin kalah, rasa duka juga ikut memeriahkan
suasana di antara kami. Pundak yang lemas, punggung yang tak lagi tegap, juga
mata yang memerah dan jejak air mata di pipi sangat kontras dengan suara bising
menenangkan dari serangga kecil yang hinggap di rumput segar, pijakan kami.
Satu-satunya yang membuat kami masih waras selain bisikan menenangkan dari
lingkungan sekitar adalah sinar matahari yang memeluk kami dengan hangatnya,
seolah-olah ia berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sejak beberapa jam yang lalu, kepedihan menghantuiku dan tak dapat
dipungkiri akan terus menghantuiku. Seakan yang sebelumnya hanya hal kecil,
kepedihan menusuk hatiku lebih dalam tatkala melihat balutan kain yang
memeluk badan kaku nan dingin masuk ke dalam pelukan bumi.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Dari hati yang paling dalam, kami dan
keluarga turut berduka cita atas meninggalnya Almarhum Bapak Putra. Semoga
Allah SWT menempatkannya di tempat yang paling indah bersama orang-
orang beriman, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dalam
menerima cobaan ini," kata Mas Morpheus, tetangga kami. Walau wajahnya
tertutupi masker, kami semua dapat melihat dengan jelas raut wajah penuh
kesedihan yang mendalam.

Kematian, ya. Ini pertama kalinya kematian menyapa orang terdekatku.


Kematian membawa tangisan, duka, penyesalan, dan yang paling utama,
perpisahan di dunia.

Melihat kematian dan apa efek yang dia berikan di depan mataku, aku
tersadar, "Aku takut dengan kematian."
2 hari kemudian

"WOY! NADIYA NANGIS!"

Teriakan melengking dari Zahwa menyambutku yang baru saja masuk


kelas. Walaupun masih dengan aura suram, tidak mungkin aku tidak akan kaget
dengan teriakannya. Perlahan, rasa khawatir juga penasaran mulai merambat di
hatiku.

"Nadiya kenapa?" tanyaku yang langsung mendekati kumpulan teman-


temanku. Kulihat mata Nadia yang agak bengkak dan memerah dengan dua tetes
air mata yang mengalir dari matanya merembes ke masker putih yang ia kenakan.

"...Kucingku mati."

"Yang namanya Itachi itu?" tanya kami dengan serempak.

Nadia mengangguk pelan masih menahan isak tangisnya. Iba, kami


rasakan. Beberapa dari kami mulai menenangkan Nadia dengan tepukan di
punggung juga pelukan bahkan ada yang mencari tisu juga masker baru.

"Namanya sihh, Itachi, niatnya jadi kucing patriotisme kok malah ikutan
Itachi buat mati muda," kata Zahwa mencoba untuk meringankan suasana.
Mendengar itu kami tertawa terbahak-bahak.

"Iya, kenapa nggak dinamain Sasuke aja sih, biar panjang umur kek
Sasuke," lanjut Syifa yang mempertahankan suasana. Beberapa dari kami bahkan
sudah memegangi perut karena sakit akibat banyak tertawa.

"Kalo namanya Sasuke entar tangannya cuman satu, gimana sih Cipa ini,"
balas Bang Dhira pada Syifa. Mendengar itu Syifa langsung menjawab, "Yaudah,
Naruto aja, biar punya plot armor."

"Ahahaha sudahi, sakit kali perutku," kataku dengan susah payahnya


karena tawa kecil masih saja keluar dari mulutku.
Suasana ini, canda tawa yang dilontarkan tanpa kenal waktu, keberadaan
teman yang siap memberikan pundak untuk kau tangisi dan mental support di saat
yang bersamaan. Ya Allah, terima kasih sudah memberikan aku teman-teman
seperti mereka.

"By the way, Sela is kinda sad nowadays, so, I plan to make this big party
to cheer her, who's in?" tanya Naila setelah tawa kami mereda. Aku yang
mendengar itu merasa tersentuh. Ingin kuhentikan niat baik mereka karena mereka
pasti sibuk dengan kegiatan mereka, tapi hati kecilku berkata aku membutuhkan
healing time dengan mereka.

"Of course I'm in."

"Me two."

"Watashi three."

"Watashi mou, four."

"Pfftt, Aku five."

Semuanya melihat ke arahku dengan mata tersirat akan pesan untuk


mengiyakan saja, mereka juga ingin menghabiskan waktu bersama. Aku hanya
menganggukkan kepalaku dengan perlahan kemudian menundukkannya karena
aku tidak ingin menatap mereka dengan mata yang berair.

"Okee, kalo gitu kita bilang ke Rapi sama Bang Hakim juga, Mbak Vi
kemarin bilang lagi di luar kota jadi dia nggak bisa ikutan, kita party berkedok
bukber, ini dimana by the way kumpulnya?" kata Zahro dengan semangatnya.

Kami berpikir ke tempat yang sama, Happy Puppy, tempat karaoke yang
selalu kami datangi sebelum pandemi menerjang Kota Bontang. Makanannya
mahal sih di sana, tapi worth it buat lepas stres. Sayangnya, tempat publik tidak
dibuka selama pandemi. Jadi, ingin mengubah tempat pun tidak banyak pilihan
yang tersisa.
"Rumah Cipa, nggak sih?" tanya Zahro yang tidak terdengar seperti
pertanyaan itu. Alisnya naik-turun dengan senyum lima jari di wajahnya sambil
menatap Syifa. Kami tanpa banyak waktu, langsung menjawab, "Okayy."

Keesokan harinya di Rumah Syifa

"Jadi, Siti ini kenapa kok murung gitu beberapa hari terakhir? 'Cause you
never tell us," kata Bang Hakim yang mulai pembicaraan. Mendengar itu,
bukannya menjawab, kami malah tertawa.

"AHAHAHA SITI, who's Siti, We only know Sela," kata Zahro masih
dengan tawanya yang menggelegar di ruang tamu Syifa.

"Gimana sih Mas Ganteng ini, kan kita udah sepakat manggil Siti pake
nickname dari Bang Dhira, jadinya manggil Sela, in fact, we use each other’s
nickname, right?" kata Zahwa dengan memanggil Bang Hakim dengan nickname
yang anehnya tidak ia sukai.

Bang Hakim hanya tersenyum paksa setelah mendengar nickname dari


Zahwa. Melihat Bang Hakim yang sudah lelah dengan kami, bahkan sebelum
waktu buka bersama dimulai, aku dengan segera menyela, "Well, my father is
dead days ago, covid-19 played the main role on what the cause of his death."

Mendengar itu, tawa yang semula memenuhi ruang tamu berangsur-angsur


hilang hingga tersisa keheningan. Keheningan tajam yang sayangnya enggan kami
pecahkan. Semuanya menundukkan kepala mereka untuk menyembunyikan raut
wajah yang murung. Pundak mereka memelas dengan punggung yang tak lagi
tegak. Suasana penuh canda tadi layaknya fatamorgana.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."

Kata itu mulai bersahut-sahutan dengan nada yang lemah di ruangan ini.
Ruangan yang tadinya hangat menjadi dingin seketika.
Covid-19 banyak merenggut nyawa orang-orang di sekitar kami. Laki-laki
maupun perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, yang terdekat
maupun yang terjauh. Semua orang di ruang tamu ini, pernah merasakan
kejamnya virus korona menggerogoti tubuh korbannya. Bahkan, beberapa dari
kami pernah merasakan kejamnya ia merenggut nyawa orang terdekat.

Lagi-lagi, kematian datang lagi di pikiranku.

16 tahun aku hidup dan selama 16 tahun pula aku bertanya pada diriku
sendiri, "Mengapa kita hidup jika pada akhirnya kita akan mati? Terlebih lagi,
kematian itu... apa?"

Lagi dan lagi, kematian datang di pikiranku, siap untuk dijawab, tapi aku
tidak pernah mendapatkan jawabannya. Ini... mengesalkan.

Konsep kematian yang terus datang di hadapanku, membuatku berpikir


akan konsep yang berlawanan, yaitu konsep kehidupan. Hidup dan mati, mereka
saling melengkapi. Selama aku hidup, kematian terus menghantuiku. Ketika aku
meninggal, hidupku akan dinilai untuk menentukan tempatku.

Lamunanku buyar ketika azan magrib berkumandang. Tak sendirian,


teman-temanku juga ikut lepas dari lamunan mereka dan saling memandang satu
sama lain. Senyum canggung kami pasang di wajah kami seraya kami beranjak
dari duduk kami menuju ruang makan.

Buka bersama kami jalani dengan suasana canggung di awal yang


perlahan hilang berkat usaha Zahwa dan Siti untuk meramaikan suasana di meja
makan.

20 menit berlalu, baik buka puasa maupun salat Magrib sudah kami
lakukan bersama. Untuk tarawih, kami sepakat untuk pergi ke Masjid Al-
Mujahidin di Lokhtuan sekalian mengantarku pulang.

Ketika waktu tarawih tiba, 9 orang pun mulai pergi ke Masjid Al-
Mujahidin dengan 6 motor dan berpasangan, “Aku ama Cipa, Bang Dhira ama
Sela, Nadiya ama Awak, Aro ama Nela, Bang Hakim sendirian,” kata Raffi seraya
menaiki motornya.

Menghabiskan waktu bersama teman memang menyenangkan, tapi tak


dapat dipungkiri pertanyaanku tentang hidup dan mati terus menerus terselip
dalam pikiranku tanpa kusadari.

2 jam kemudian

Tarawih sudah selesai dan rencananya mereka akan mengantarku pulang.


Tapi, rencana hanyalah rencana. Aku dapat panggilan dari Ibu kalau Beliau akan
segera melahirkan. Mendengar itu aku merasa sangat senang. Segera saja aku
bergegas ke RS PKT ditemani teman-temanku yang pastinya turut senang
mendengar kabar ini.

Ketika aku sampai di RS PKT, aku terkejut dengan kabar yang kudapatkan
dari Dokter Siregar, Dokter Kandungan yang menemani proses persalinan Ibu.
"Saya turut berduka cita, semoga Ibu Anda ditempatkan di sisi-Nya."

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."

Ketika kalimat itu terlontarkan dari bilah bibir Dokter Siregar dan sahutan
temanku membalasnya, aku seperti diterjang oleh ombak ganas tanpa
perlindungan apa-apa. Hatiku sedih dan kakiku tak dapat menopang tubuhku
dengan baik.

Euforia, itulah yang kurasakan tadi. Tapi, bagaimana perasaanku


sekarang? Rasanya hampa. Ini perasaan yang sama ketika aku mendengar apa
yang dokter Ayah katakan pada keluargaku beberapa hari yang lalu.

Aku terduduk di tengah-tengah lorong RS PKT yang dengan sigapnya,


beberapa temanku membantuku untuk berdiri agar tidak duduk di lantai yang
dingin. Mereka ada yang menenangkanku, Bang Dhira bertanya lebih lanjut pada
dokter sebagai perwakilanku karena terang saja, aku memang tidak dalam pikiran
yang jernih.

Satu jam telah berlalu dan aku masih merasakan hampa di hatiku. Mataku
sudah bengkak dan memerah. Bang Dhira dan Bang Hakim bilang bahwa mereka
akan mengurus apa yang bisa mereka urus. Seperti, bayi yang dilahirkan Ibu
melalui bedah sesar sebelum ia pergi karena pendarahan yang hebat dan tidak bisa
dihentikan.

Kematian dan kehidupan, ya.

Aku sadar sekarang, dua hal itu akan berjalan bersamaku dan berada telak
di kuasa Allah SWT. Mengapa aku bertanya dan sibuk mencari jawaban tentang
semua ini kalau jawabannya sudah jelas? Mengapa aku bertanya ketika lubuk
hatiku yang paling dalam sudah mengetahui jawabannya? Ini semua karena kuasa
Allah SWT. Hidup dan mati atas kekuasaan-Nya. Kenapa aku bingung?

Aku alihkan pandanganku ke bayi yang baru lahir itu. Lihatlah dia, bayi
yang masih suci. Kehidupan yang diberikan oleh Allah SWT di depan mataku ini
terlihat begitu indah.

Peristiwa yang bertubi-tubi dilempar kepadaku membuatku ingin menjadi


manusia dan hamba yang lebih baik lagi. Dengan pelajaran yang baru saja aku
dapatkan, "Hijrah di bulan Ramadhan terdengar menyenangkan."
Hasil Turnitin naskah:

Anda mungkin juga menyukai