Sejak beberapa jam yang lalu, kepedihan menghantuiku dan tak dapat
dipungkiri akan terus menghantuiku. Seakan yang sebelumnya hanya hal kecil,
kepedihan menusuk hatiku lebih dalam tatkala melihat balutan kain yang
memeluk badan kaku nan dingin masuk ke dalam pelukan bumi.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Dari hati yang paling dalam, kami dan
keluarga turut berduka cita atas meninggalnya Almarhum Bapak Putra. Semoga
Allah SWT menempatkannya di tempat yang paling indah bersama orang-
orang beriman, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dalam
menerima cobaan ini," kata Mas Morpheus, tetangga kami. Walau wajahnya
tertutupi masker, kami semua dapat melihat dengan jelas raut wajah penuh
kesedihan yang mendalam.
Melihat kematian dan apa efek yang dia berikan di depan mataku, aku
tersadar, "Aku takut dengan kematian."
2 hari kemudian
"...Kucingku mati."
"Namanya sihh, Itachi, niatnya jadi kucing patriotisme kok malah ikutan
Itachi buat mati muda," kata Zahwa mencoba untuk meringankan suasana.
Mendengar itu kami tertawa terbahak-bahak.
"Iya, kenapa nggak dinamain Sasuke aja sih, biar panjang umur kek
Sasuke," lanjut Syifa yang mempertahankan suasana. Beberapa dari kami bahkan
sudah memegangi perut karena sakit akibat banyak tertawa.
"Kalo namanya Sasuke entar tangannya cuman satu, gimana sih Cipa ini,"
balas Bang Dhira pada Syifa. Mendengar itu Syifa langsung menjawab, "Yaudah,
Naruto aja, biar punya plot armor."
"By the way, Sela is kinda sad nowadays, so, I plan to make this big party
to cheer her, who's in?" tanya Naila setelah tawa kami mereda. Aku yang
mendengar itu merasa tersentuh. Ingin kuhentikan niat baik mereka karena mereka
pasti sibuk dengan kegiatan mereka, tapi hati kecilku berkata aku membutuhkan
healing time dengan mereka.
"Me two."
"Watashi three."
"Okee, kalo gitu kita bilang ke Rapi sama Bang Hakim juga, Mbak Vi
kemarin bilang lagi di luar kota jadi dia nggak bisa ikutan, kita party berkedok
bukber, ini dimana by the way kumpulnya?" kata Zahro dengan semangatnya.
Kami berpikir ke tempat yang sama, Happy Puppy, tempat karaoke yang
selalu kami datangi sebelum pandemi menerjang Kota Bontang. Makanannya
mahal sih di sana, tapi worth it buat lepas stres. Sayangnya, tempat publik tidak
dibuka selama pandemi. Jadi, ingin mengubah tempat pun tidak banyak pilihan
yang tersisa.
"Rumah Cipa, nggak sih?" tanya Zahro yang tidak terdengar seperti
pertanyaan itu. Alisnya naik-turun dengan senyum lima jari di wajahnya sambil
menatap Syifa. Kami tanpa banyak waktu, langsung menjawab, "Okayy."
"Jadi, Siti ini kenapa kok murung gitu beberapa hari terakhir? 'Cause you
never tell us," kata Bang Hakim yang mulai pembicaraan. Mendengar itu,
bukannya menjawab, kami malah tertawa.
"AHAHAHA SITI, who's Siti, We only know Sela," kata Zahro masih
dengan tawanya yang menggelegar di ruang tamu Syifa.
"Gimana sih Mas Ganteng ini, kan kita udah sepakat manggil Siti pake
nickname dari Bang Dhira, jadinya manggil Sela, in fact, we use each other’s
nickname, right?" kata Zahwa dengan memanggil Bang Hakim dengan nickname
yang anehnya tidak ia sukai.
Kata itu mulai bersahut-sahutan dengan nada yang lemah di ruangan ini.
Ruangan yang tadinya hangat menjadi dingin seketika.
Covid-19 banyak merenggut nyawa orang-orang di sekitar kami. Laki-laki
maupun perempuan, tua maupun muda, kaya maupun miskin, yang terdekat
maupun yang terjauh. Semua orang di ruang tamu ini, pernah merasakan
kejamnya virus korona menggerogoti tubuh korbannya. Bahkan, beberapa dari
kami pernah merasakan kejamnya ia merenggut nyawa orang terdekat.
16 tahun aku hidup dan selama 16 tahun pula aku bertanya pada diriku
sendiri, "Mengapa kita hidup jika pada akhirnya kita akan mati? Terlebih lagi,
kematian itu... apa?"
Lagi dan lagi, kematian datang di pikiranku, siap untuk dijawab, tapi aku
tidak pernah mendapatkan jawabannya. Ini... mengesalkan.
20 menit berlalu, baik buka puasa maupun salat Magrib sudah kami
lakukan bersama. Untuk tarawih, kami sepakat untuk pergi ke Masjid Al-
Mujahidin di Lokhtuan sekalian mengantarku pulang.
Ketika waktu tarawih tiba, 9 orang pun mulai pergi ke Masjid Al-
Mujahidin dengan 6 motor dan berpasangan, “Aku ama Cipa, Bang Dhira ama
Sela, Nadiya ama Awak, Aro ama Nela, Bang Hakim sendirian,” kata Raffi seraya
menaiki motornya.
2 jam kemudian
Ketika aku sampai di RS PKT, aku terkejut dengan kabar yang kudapatkan
dari Dokter Siregar, Dokter Kandungan yang menemani proses persalinan Ibu.
"Saya turut berduka cita, semoga Ibu Anda ditempatkan di sisi-Nya."
Ketika kalimat itu terlontarkan dari bilah bibir Dokter Siregar dan sahutan
temanku membalasnya, aku seperti diterjang oleh ombak ganas tanpa
perlindungan apa-apa. Hatiku sedih dan kakiku tak dapat menopang tubuhku
dengan baik.
Satu jam telah berlalu dan aku masih merasakan hampa di hatiku. Mataku
sudah bengkak dan memerah. Bang Dhira dan Bang Hakim bilang bahwa mereka
akan mengurus apa yang bisa mereka urus. Seperti, bayi yang dilahirkan Ibu
melalui bedah sesar sebelum ia pergi karena pendarahan yang hebat dan tidak bisa
dihentikan.
Aku sadar sekarang, dua hal itu akan berjalan bersamaku dan berada telak
di kuasa Allah SWT. Mengapa aku bertanya dan sibuk mencari jawaban tentang
semua ini kalau jawabannya sudah jelas? Mengapa aku bertanya ketika lubuk
hatiku yang paling dalam sudah mengetahui jawabannya? Ini semua karena kuasa
Allah SWT. Hidup dan mati atas kekuasaan-Nya. Kenapa aku bingung?
Aku alihkan pandanganku ke bayi yang baru lahir itu. Lihatlah dia, bayi
yang masih suci. Kehidupan yang diberikan oleh Allah SWT di depan mataku ini
terlihat begitu indah.