Anda di halaman 1dari 5

“Seperti yang sudah Bapak lihat. Beginilah sistem sudah mengakar disini.

Orang-orang berduitlah
yang berkuasa. Orang-orang memiliki jabatanlah yang omongannya di dengar. Dan jangan lupa,
senioritaspun selalu ada. Walaupun mereka salah berjuta-juta kali, tetap saja mereka yang benar.”

Ujarku saat memaparkan opini ditengah ruang rapat. Dan seketika semua mata memandangaku
tidak suka. Ditambah lagi dengan bisikan-bisikan halus, tapi aku mendengarnya.

“Menurut anda sistem sekarang sangat tidak relevan dengan prinsip bekerja anda?” Tanya seorang
pria berkemeja biru malam, serasi dengan warna dasi yang ia kenakan. Dia adalah CEO di
perusahaanku, Bapak Mahesa.

“Lebih tepatnya bukan prinsip, tapi kenyamanan bersama, Pak. Dan saya yakin, bukan hanya saya
yang tidak nyaman dengan situasi ini. Tetapi seluruh karyawan yang tidak memiliki kuasa. Mereka
hanya bisa mengangguk ketika disuruh, mengerjakan pekerjaan yang disuruh oleh seniornya padahal
bukan ranahnya mereka, meminta maaf bukan atas kesalahan mereka, dan ketika ditanya tentang
keluhan apa yang dirasakan, mereka hanya berkata tidak ada, Pak.” Jawabku.

Pria itu menatapku lama, lalu berkata “Fine. So, menurut anda, apa solusi yang dapat membuat
tempat kerja ini nyaman untuk seluruh karyawan?” Tanyanya sambil menaruh kedua tangannya
diatas meja dan mengaitkannya.

“Perubahan.” Tegasku.

Pria itupun menaikan satu alisnya.

“Saya ingin ada perubahan sistem. Tidak ada lagi yang kuat menindas yang lemah, tidak ada lagi si
kaya ataupun si miskin, dan tidak ada lagi pekerjaan senior dilimpahkan ke junior.” Lanjutku sambil
melihat Wanita berambut pirang yang duduk di samping CEO. Wanita muda dengan pakaian yang
super ketat, seperti berusaha menggoda pria yang melihatnya. Dia adalah Chintya, sekertaris yang
merangkap sebagai penindas junior-juniornya. Dan aku salah satu junior yang ia tindas.

“Memangnya anda siapa? Sampai harus merubah sistem yang ada? Lagi pula, selama ini tidak ada
keluhan tentang senioritas atau apapun itu yang mengganggu karyawan disini. Semuanya baik-baik
saja.” Ujar Chintya sambil tersenyum sinis padaku.

“Saya hanya seorang manajer pemasaran yang baru tiga bulan disini. Tapi lingkungan seperti ini akan
membuat perusahaan akan tutup lambat laun, karena tidak adilan bagi seluruh karyawannya.”
Ujarku membalas perkataannya.

Dapat aku rasakan, tatapan tidak suka semua orang yang berada diruangan ini, terkecuali Mahesa. Ia
menatapku sambil mencerna apa yang aku katakan.

“Baik. Usulan anda saya tampung dulu. Rapat ini saya tutup karena melihat jam sudah pukul delapan
malam, waktunya untuk pulang. Sampai jumpa besok.” Ujar Mahesa menutup rapat manajerial hari
ini.

Semua yang ada di ruang rapat pun berdiri sambil membereskan barang-barang yang ada di atas
meja mereka. Satu persatu mereka berjalan melaluiku. Dari tatapan sinis tak suka sampai
membisikan kalimat-kalimat tak suka atas pendapatku tentang perusahaan ini. Tapi tak ada satupun
yang aku gubris. Aku pun mengambil tablet yang sedaritadi ku taruh di meja, dan beranjak untuk
pergi meninggalkan ruangan rapat.

“Hana.” Panggil Mahesa.


“Ada apa, Pak?” Tanyaku.

“Ikut saya ke ruangan saya.” Ujarnya sambil berjalan di depanku.

Kami pun sampai di ruangannya dan di mempersilahkan aku untuk masuk dan duduk di kursi tamu.

“Hana, kamu sadar enggak si dengan apa yang kamu omongin di rapat tadi? Kamu itu masih baru.”
Ujar Mahesa.

“Justru karena aku sadar, Sa. Aku sadar ada yang enggak beres di perusahaan ini. Dan apa salahnya
kalau kita ngelakuin perubahan?” Ujarku.

“Tapi sistem ini udah ada dari zamannya ayahku, Han. Dan lagipula mereka yang lama-lama itu lebih
berpengalaman daripada kita." Jawabnya.

“Tapi bukan berarti mereka punya hak untuk menyetir dan menindas semua karyawan disini dong.
Dan bukan berarti juga mereka merasa benar atas semua perbuatan dan pemikiran mereka, sampai-
sampai pendapat karyawan di bawah mereka itu enggak di dengar atau digubris.”

Mahesa pun terdiam.

“Terus apa yang harus aku perbuat?” Tanyanya padaku.

“Adakan satu acara dimana seluruh karyawan dapat mengeluarkan semua keluh kesahnya.” Ujarku.

“Caranya?”

Tok tok tok

Suara ketukan pintu, disusul dengan masuknya Chintya ke dalam ruangan.

“Permisi, Pak. Inia da beberapa dokumen yang harus ditandatangani.” Katanya sambil membawa
beberapa dokumen dan menghampiri Mahesa.

“Taruh saja di meja. Nanti akan say abaca terlebih dahulu.” Kalimat Mahesa yang membuat
sekertarisnya itu berhenti berjalan ke arahnya, dan kemudian menaruh dokumen-dokumen tersebut
di atas meja kerjanya.

“Kalau begitu, saya pamit ya, Pak. Bapak pulangnya jangan terlalu malam ya, Pak. Soalnya angin
malam itu enggak baik untuk Kesehatan, Pak.” Ujar Chintya sambil berjalan meninggalkan kami.

“Chintya memang seperhatian itu sama kamu, Sa?” Tanyaku kepada Mahesa, karena merasa ada
yang janggal dengan kalimat dan nada suara sekertarisnya itu.

“Iya.” Jawabnya enteng.

“Kok nadanya beda ya? Ketika dia dengan karyawan yang lain nadanya malah ketus. Dan tidak
mendayu-dayu seperti tadi.”

“Ya biasa lah.” Katanya sambil tersenyum sinis.

“Dan terus kamu ladenin?” Tanyaku lagi.

“Tenang, Han. Cuma buat seneng-seneng aja kok. Lagian kan aku jomblo, nah Chintya juga
sepertinya butuh perhatian. Jadi ya..”

“Kamu jadian sama Chintya? Cewe sok seksi itu?” Tanyaku.


“Enggak dong, Han. Dia itu cuma buat seneng-seneng aja. Lagi pula dia bukan tipeku.”

“Syukurlah. Aku kira seleramu udah turun dari cewe yang punya otak ke cewe yang modal tampang
aja.” Ujarku merasa lega. Karena saat SMA dulu, kekasih Mahesa itu adalah wanita yang cerdas,
memiliki segudang prestasi, dan memiliki prilaku yang sopan.

“April maksudmu?” Tanya.

“Ya siapa lagi mantanmu, yang kamu pacarin dari SMA sampai 3 bulan yang lalu kalua bukan April.”

Mahesa pun terdiam.

“Esa.” Ujarku menyadarkannya.

“Tadi itu acara apa ya yang pingin kamu usulin ke aku?” Ujarnya mengalihkan.

“Family gathering.”

Mahesa menaruh tangannya didagu, seperti menimbang usulku.

“Memang bisa ya? Apalagi mayoritas karyawan disini orang-orang yang sudah berumur? Sedangkan
dari dulu, Ayahku tidak pernah mengadakan acara seperti itu di kantornya.” Tanyanya.

“Justru karena tidak pernah, maka kita tidak tahu. Enggak ada salahnya kan kita adain acaranya. Toh
lagi pula acara itu untuk menyatukan karyawan. Jadi semua karyawan berbaur. Berapapun umurnya,
apapun jabatannya, mereka jadi satu. Dan di akhir acara, minta seluruh karyawan mengeluarkan
semua masalah mereka tentang kantor, supaya ada perbaikan sistem dan meningkatkan mutu
kinerja di kantor. Siapa tau, karena adanya acara itu, senioritas yang ada akan memudar.” Ujarku.

Mahesa pun mengangguk-anggukan kepalanya.

“Boleh juga saranmu, Han.” Ujarnya tersenyum.

“Siapa dulu dong, Hana gitu loh.” Ujarku membanggakan diri.

“Tapi besok aku minta rundown acaranya, plus biaya yang dibutuhkan ya. Biar cepat acaranya
berlangsung.” Tambahnya.

“Mahesa, kamu itu punya sekertaris. Kenapa enggak kamu suruh sekertarismu yang seksi itu untuk
membuat rundown dan perhitungan biaya? Diakan sudah memiliki banyak pengalaman kerja.
Otomatis dia bisa tau dong.” Ujarku berusaha melempar tanggung jawab ke Chintya.

“Hana Putri Sasongko, Chintya itu sekertaris, dan bukan kompetensinya untuk mencari semua itu.
Lagipula, kalau dia yang mengerjakan itu, aku yakin seribu persen kalau kerjaan itu tidak akan
selesai. Karena dia akan sibuk menggodaku, sampai aku mau berpacaran dengan dia.” Ujarnya
sambil tertawa.

“Ternya bapak Agung Mahesa Aditya ini percaya diri sekali ya.” Ujarku sambil geleng-geleng percaya.

Diapun hanya tertawa.

“Pokoknya harus kamu yang kerjain. Aku enggak mau tau, besok aku udah liat draftnya dari kamu.”
Ujarnya sambil berdiri.

“Mahesa, ayolah. Tugasku sudah banyak. Masa iya harus ditambah dengan ini lagi? Jahat sekali
kamu dengan teman kecilmu ini.” Ujarku sambil memelas.
“Tolong profesional ya Ibu Hana Putri Sasongko. Urusan pekerjaan tidak untuk dicampur adukkan
dengan urusan pertemanan.” Katanya sambil mengambil tasnya.

Akupun hanya memasang muka memelas dan menyatukan kedua telapak tanganku memohon.

“Ayo kita pulang. Sudah jam berapa ini. Ambil tasmu, dan aku antar kamu pulang.” Ujarnya sambil
menarik tanganku keluar ruangan.

Diperjalanan pulangpun aku masih berusaha membujuknya untuk tidak menyuruhku mengurus
acara tersebut.

“Jadi fix banget ni harus aku yang buat?” Tanyaku Kembali padanya.

“Ya kamu harus bertanggung jawab dong denga napa yang kamu usulkan.” Ujarnya sambil melihat
jalan di depan.

“Baiklah.” Jawabku menyerah.

Akhirnya di dalam mobil Mahesa hanya terdengan lantunan lagu yang diputar radio. Aku melihat
jalan yang biasa aku lalui. Tiga bulan belakangan ini, aku dan Mahesa terkadang pulang bersama.
Terlebih lagi jika kami pulang di malam hari. Mahesa akan memaksaku untuk pulang bersamanya.
Sebenarnya aku merasa tidak nyaman untuk pulang bersamanya, apalagi sekarang Mahesa berstatus
CEO di tempat kerjaku. Tapi bukan Mahesa namanya kalau dia tidak berhasil membujukku. Karena
aku dan dia sudah berteman sejak SMA.

“Han, aku lapar. Mampir di warung lalapan yang biasa kita makan, yuk.” Ujarnya.

“Boleh. Aku juga lapar.” Ujarku padanya.

Sesampainya kami di tempat makan. Kamipun memesan makan beserta minum. Tidak berapa lama
kemudian, Mahesapun memperlihatkan layar ponsel pintarnya ke arahku.

“Ini April bukan?” Tanya padaku.

Akupun melihat seorang wanita cantik berdiri dengan anggun di depan sebuah gedung sambil
memakai toga.

“Iya, ini April. Dia sekolah lagi?” Tanyaku.

Mahesapun mengangguk.

“Ambil spesialis saraf?” Tanyaku.

Diapun mengangguk lagi.

“Wuah, nyesel banget pasti kamu mutusin cewe paket lengkap kaya April. Udah cantik, pinter, baik
pula.”

Mahesapun menggeleng.

“Serius?” Tanyaku.

“Iya. Toh memang itu sudah keputusanku. Kami juga enggak mungkin bisa bareng.”

“Kenapa enggak bisa? Kan kalian cocok.”

“Itu kan menurutmu. Menurut aku, kami enggak cocok.”


---

Hana berdiri di pinggir pantai, memandang luasnya hamparan laut serta birunya langit. Tak terasa air
matanya berlinang. Hatinya begitu sakit. Dadanya terasa sesak. Ia mengepalkan tangannya kemudian
memukulkan ke dadanya. Dia tau apa yang dirasanya itu salah, dari awal ia tau ini salah. Cintanya
pada Mahesa tidak akan pernah terbalas karena keyakinan mereka yang berbeda. Mahesa seorang
pemuda yang taat beragama, begitu pula Hana.

Anda mungkin juga menyukai