Sebuah cerpen yang ditulis oleh A. Muh. Alif Asir (Adhigana Mahardika)
“HAH pukul 09.00, gue udah telat ke kampus” teriakku kaget ketika melihat
jam yang telah menunjukkan pukul 9 pagi.
“Hai Pak Rahman, selamat pagi!” sapaku pada Pak Rahman selaku satpam di
kampus kami.
“Enggeh Tri, pagi juga. Tumben datang di hari libur Tri, ada kegiatan apa?”
tanya Pak Rahman padaku.
Setelah sampai di pangkalan kampus, tak berpikir lama lagi aku langsung
berlari menuju ruang organisasi yang terletak jauh di lantai 3 gedung. Tampak jelas
sepanjang koridor tak ada satupun orang di dalamnya, koridor gedung hanya
disusun oleh tumpukan-tumpukan sampah dan bau apek yang tak asing lagi bagi
penghuni kampus ini.
“Hai teman-teman, maaf ya telat banget nih” sapaku pada semua orang yang
ada di ruangan.
“ALAH LAMBAT BANGET SIH LO, kalau jadi mahasiswa tuh gerak cepat,
mikirnya untuk kepentingan bersama, jangan EGO!” kesal Anna padaku. Anna
terlihat begitu marah dan kesal, jelas ia seperti itu sebab banyak hal yang harus
diselesaikan bersama namun anggota organisasi jarang lengkap di setiap
pertemuan. Sebagai ketua ia sangat benci dengan kemalasan dan tegas akan
segala sesuatu.
“Sudah, ayo kita lanjut rapat” balas Farhan yang sudah lelah menyaksikan
keributan dalam organisasi.
“Nah jadi gimana? udah sepakat kita bakal adain di Nusa Tenggara Timur
aja? Yakin proposal ini bakal diterima sama rektorat?” tanya Naila penuh dengan
kecemasan.
“Ya aku sih sepakat dan yakin kalau ini bakal berhasil di Nusa Tenggara
Timur” jawab Anna dengan penuh keyakinan setelah mengumpulkan seluruh suara
anggota organisasi.
5 menit yang lalu, kami baru saja memutuskan untuk mengadakan event
Bulan Bahasa dalam rangka memperingati hari bahasa nasional di Nusa Tenggara
Timur. Sebuah provinsi di belahan timur Indonesia yang asri, penuh dengan kearifan
lokal, indah, nan tentram itulah Nusa Tenggara Timur. Daerah ini dianggap sesuai
dan strategis untuk mengadakan event bahasa nasional untuk seluruh sekolah dan
universitas yang ada di Indonesia.
“YAAH akhirnya bulat sudah keputusan ini, jujur gue capek banget harus
rapat tiap hari dari pagi sampai sore” keluhku sambil memegang beberapa buku
meninggalkan ruang organisasi bersama Rizka.
“Iya nih jujur capek banget, ini eventnya belum dimulai tapi kok udah banyak
banget masalah yang muncul. Ah heran gue” timpal Rizka yang beranggapan sama
denganku.
“Ehh Riz, ini ada chat dari Anna. Katanya proposal event kita udah diterima
sama rektorat, tapi rektorat minta kita adain 1 kegiatan di program yang cukup
bermanfaat bagi kalangan menengah ke bawah, nah disini Anna minta kita ngajuin
kegiatan tambahan.” Ucapku dengan bahagia.
“Iya nih senang ya. Eh by the way sore ini lo datang ke rumah gue yah. Ada
yang mau gue bahas. PENTING. Mungkin ini bisa bantu kita di NTT juga,” pintaku
pada Rizka.
“Aduh ya Allah, eh Tri ini rapat baru aja kelar lo malah mau buat rapat baru
lagi. Ah sudahlah tunggu aja bentar sore semoga gue bisa ke rumah lo” ujar Rizka
dengan wajah yang cemberut kesal padaku.
Aku sudah tidak mempedulikan ekspresi Rizka lagi, karena aku yakin bahwa
ia akan datang ke rumahku. Namun yang kupikir saat ini adalah cara untuk
menemukan solusi atas permasalahan yang kini ku hadapi. Beberapa hari yang lalu
aku sempat berkunjung ke salah satu daerah pelosok yang ada di bagian timur
Indonesia dan kudapati banyak warga yang belum pernah merasakan nikmatnya
pendidikan. Terutama yang prihatin ialah ketika anak-anak yang berada dalam
kondisi keterbatasan ekonomi ternyata begitu antusias jika mendengar kata sekolah,
namun tak banyak yang dapat dilakukan sebab mereka tidak memiliki akses
berpendidikan. Saat ini aku berusaha membantu dan memberi solusi kepada
mereka yang masih saja belum dapat mengakses manisnya bangku pendidikan. Aku
turut bersedih membayangkan wajah riang anak-anak di pelosok sana belum dapat
menggambarkan kebahagiaannya pada pendidikan. Mereka yang saat ini tersenyum
di pelosok sana, hanya karena bahagia masih bisa makan dan bekerja, bukan
tersenyum karena pendidikan yang ia tempuh, sebab bagi mereka akses pendidikan
itu mustahil dicapai.
Tok, tok, tok. Suara pintu berbunyi, pertanda ada tamu yang datang. Tanpa
berpikir lama, aku sudah tahu bahwa itu adalah Rizka.
“Eh lo beneran datang nih, wah senang banget gue. Masuk Riz, udah gue
buatin kue cucur nih” sapaku pada Rizka yang telah kujanji sebelumnya untuk
datang ke rumah.
“Riz, kemarin waktu gue travel ke salah satu daerah di Indonesia Timur. Jujur
gue jadi sedih hanya karena melihat ternyata banyak banget orang di luar sana yang
gak pernah sekolah. Mau sampai kapan ini terus terjadi Riz, lihat kita ini dijajah dari
segi pemikiran, kita udah kala jauh dari mereka. Ini bukan lagi tentang kekayaan
atau kemiskinan, tapi intinya kita harus bisa naikin SDM Indonesia to, karena
percuma kalau itu gak ada” Jelasku pada Rizka dengan mata yang mulai berlinang
air.
“Riz, gimana kalau kita buat program volunteering untuk jadi relawan
mengajar anak-anak di Kupang. Gimana menurut lo?” tanyaku penuh dengan
harapan.
“Hmm ya ide bagus tuh, tapi caranya gimana. Ngadain volunteer gak mudah
Tri. Kita haru siapin ini itu, ah ribet” gerutu Rizka.
“Hmm gue pernah ikut volunteer di Sulawesi Selatan, nah yang ngadain
eventnya itu organisasi pemuda dan mereka bekerja sama dengan lembaga-
lembaga besar. Nah kita bisa buat kayak gitu juga, jadi dari organisasi himpunan
mahasiswa akan kerja sama dengan lembaga kemasyarakatan yang kiranya bisa
membantu” jelasku dengan tegas kepada Rizka.
“Nah kalau itu gue setuju Tri, ini bakal bisa jadi solusi buat organisasi
himpunan untuk menambahkan satu kegiatan lagi to. Nah volunteering ini pasti
bakal bisa dilakukan dan gue rasa mereka bakal s’tuju juga sih” ujar Rizka penuh
dengan rasa setuju.
Pagi ini aku, Rizka, dan Anna berjalan menuju ruang rektorat untuk
menyampaikan rancangan kegiatan yang akan kami tambahkan di event bahasa
yang sebentar lagi akan terlaksana. Dalam perjalanan, aku masih gugup karena
takut ini akan gagal, persiapan ku belum matang, aku hanya mengandalkan Anna
karena dialah yang paling bertanggung jawab atas Event Bulan Bahasa ini. Suasana
koridor menuju ruang rektorat kini tampak sunyi, hening, dindingnya lembab, tetapi
sangat rapi dan bersih yah mungkin itulah salah satu ciri khas kampus ini, di mana
yang bersih dan rapi hanyalah bagian-bagian yang dianggap penting saja,
selebihnya biarlah lebur begitu saja.
“Oh ini yang kemarin kirim pesan di email saya? Dari himpunan bahasa dan
sastra to?” tanya Pak Sudirman dengan ramah.
“Betul, iya pak” jawabku dengan singkat. Bukan karena sombong ataupun
malas berbicara, tapi grogi dan gugup.
“Pasti kalian datang karena kemarin saya minta tambahkan satu kegiatan
yang lebih berkelas di event kalian toh?” tanya Pak Sudirman dengan penuh
keyakinan.
“Iya betul pak, ini kami sudah buat usulan kegiatannya dan sudah disepakati
bersama-sama di himpunan” jelas Anna kepada Pak Sudirman.
“Oh baguslah, coba sini saya lihat usulan kegiatannya” ucap Pak Sudirman
sambil mengulurkan tangan.
“Hmm... Ini maksudnya apa? Tolong jelaskan!” tanya Pak Sudirman sambil
memperlihatkan satu paragraf dalam laporan kami.
Paragraf itu tengah membahas mengenai rencana alur yang kami akan
lakukan di kegiatan volunteer pendidikan di desa-desa NTT. Mungkin karena alur
yang terlalu kompleks membuat si bapak kemudian bingung dan bertanya-tanya.
Tanpa berpikir lama, aku kemudian menjelaskannya kepada Pak Sudirman, aku
mengeluarkan semua argumen yang kuanggap mampu untuk memahamkan Pak
Sudirman. Tak duduk diam saja, Anna dan Rizka juga ikut menimpali dalam
penjelasanku. Kami berusaha agar laporan ini ditandatangani oleh Pak Sudirman.
Krik, krik, krik. Suara jangkrik masih terdengar indah di telinga, di fajar ini aku
terbangun dari tidurku yang amat singkat. Hari ini adalah hari dilaksanakannya event
Bulan Bahasa dan Sastra, sungguh sangat menyenangkan namun tak pasti akan
berhasil ataupun gagal.
“Tri, ayo sini bantuin buat mading” ucap Keisha yang memanggilku dari arah
jauh.
Terlarut dalam kesibukan membuat mading, aku tak sadar waktu telah
menunjukkan pukul 07.55. Ini berarti sebentar lagi segerombolan manusia-manusia
berbakat akan tiba di lokasi ini dan mengikuti event bahasa dan sastra. Yah aku
menjadi panitia bagian acara khususnya sebagai master of ceremony yang akan
memandu event ini.
Dag, dig, dug. Begitulah gema jantungku yang berdetak dengan kencang.
Melihat mereka semua, aku menjadi gugup untuk menjadi pemandu acara. Tapi mau
bagaimanapun aku harus menjalankan tugasku sebagai master of ceremony.
“Halo selamat pagi kawan-kawan sobat Bahasa dan Sastra!” sapaku dengan
lantang.
Mendengar sapaan ramah dariku, para peserta juga balas menyapa dengan
beragam sapaan. Acara pembukaan kini berlangsung dengan lancar, sebagai
pembawa acara aku merasa bangga mampu menjalankan tugas dengan baik. Acara
pembukaan ini dipenuhi dengan penampilan tari dari panitia pelaksana, musikalisasi
puisi, dan sambutan-sambutan. Setelah pembukaan selesai, para peserta kemudian
dijamu dengan sarapan pagi yang begitu sederhana.
Di pukul 13.00, puncak event bahasa mulai terasa. Puncak event bahasa dan
sastra ini diawali dengan serangkaian seminar nasional yang diadakan bersama
pemerintah Nusa Tenggara Timur. Setelah itu para peserta disibukkan dengan kelas
berpikir kritis yang mengharuskan mereka menciptakan sebuah esai ilmiah yang
nantinya akan dipublikasikan.
Dua hari telah berlalu, hingga saat ini event berlangsung dengan sempurna.
Namun ada satu hal yang masih kunantikan, yaitu serangkaian volunteering yang
akan dilaksanakan besok hingga 3 hari kedepannya. Di malam hari ini, aku kembali
duduk di antara rerumputan hijau sembari menyusun konsep volunteer pendidikan
yang akan dilaksanakan besok. Aku memikirkan betapa indahnya menjadi sosok
relawan dalam ranah pendidikan terutama untuk mereka yang berada di pelosok
daerah Nusa Tenggara Timur ini, keindahan impianku tergambar bagai bintang amat
indah yang saat ini ku tatap. Karena terlalu lama berdiam diri di padang rumput, aku
memutuskan untuk kembali ke asrama penginapan khusus panitia.
“Tri, bangun yuk ini udah adzan subuh” ucap Rizka sambil berusaha
membangunkanku.
“Iya Riz, makasih ya” jawabku dengan letih sembari menggosok mata.
“Hari ini kita harus semangat Tri karena volunteer akan dimulai” ujar Rizka.
“Eh iyaa betul banget Riz, gue tadi lupa, untung kamu ingatkan. Yok cepat
nanti kita telat persiapan volunteer” ucapku sambil menarik tangan Rizka karena
terburu-buru mempersiapkan volunteer.
“Alhamdulillah kita sudah sampai” ucap salah satu peserta event yang mabuk
dalam perjalanan.
“Selamat datang bapak dan ibu di Desa Majeng. Inilah desa kami yang penuh
dengan kesederhanaan,” ucap salah seorang bapak tua yang menjabat sebagai
kepala Desa Majeng.
Puluhan warga desa berkumpul dan menyambut kami dengan hangat seraya
melontarkan ucapan selamat datang kepada kami. Tak jarang beberapa di antara
mereka menghampiri kami lalu memberi permen gula aren dan meminta untuk
berswafoto bersama. Sekitar 30 menit kami disambut hangat oleh warga Desa
Majeng, saat ini rombongan event bulan bahasa sedang melanjutkan perjalanannya
dengan berjalan kaki sambil menggendong tas ransel, ini semua kami lakukan
dikarenakan mobil bus yang sudah tidak memiliki akses jalan untuk masuk lebih jauh
ke dalam desa.
Di malam hari ini, aku terus disibukkan oleh suara-suara dari dalam pikiranku
sendiri yang terus menggejolak melontarkan beribu-ribu pertanyaan yang masuk
akal terkait permasalahan kemiskinan dan pendidikan di Desa Majeng.
Sekali lagi, aku belum bisa terlelap dalam tidurku. Aku terus termenung di
atas kasur dan ditemani oleh secangkir air putih yang sudah habis sejak tadi. Aku
baru tersadar telah melewatkan waktu tidur di malam hari ini ketika adzan subuh
telah berkumandang. Mungkin karena kecintaanku pada alam dan desa yang
membuatku sulit untuk mangacuhkannya begitu saja ataupun memang karena
gejolak pikiranku sehingga aku tak bisa tertidur walaupun sebenarnya rasa lelah itu
terus menyerang tanpa henti. Kecintaanku pada alam semakin memuncak ketika
aku mendengar bait-bait panggilan tuhan yang tersurat dalam adzan shubuh mulai
dikumandangkan, ditambah lagi dengan suara-suara jangkrik, tetesan air dari
genteng yang bocor, dan kicauan burung pipit di subuh hari telah mengingatkanku
kembali pada kampung halaman dan membuatku lupa pada bisingnya klakson dan
knalpot kendaraan di setiap jalan perkotaan.
“Rizka, Anna, yok bangun udah subuh nih” ucapku sambil menggoyangkan
tubuh kedua gadis pemalas itu.
“Halo pak, tanam apa pak?” tanya salah satu peserta kepada warga.
“Tanam jagung nak, kalau boleh tau kalian semua dari mana?” jawab si
bapak bertopi petani itu.
“Kami lagi ngikutin program pengabdian masyarakat pak” jawab Anna dengan
penuh sumringah.
“Masyaallah, ibu sungguh terharu akhirnya ada juga yang mulai melirik desa
kami yang sangat jauh dari perkotaan ini” ujar salah satu ibu yang tengah berkumpul
dengan ibu-ibu lainnya. Namun satu hal yang mengejutkan ialah salah satu dari
sekumpulan ibu itu kemudian berdiri di depan kami dan berkata “apa yang bisa ibu
bantu untuk untuk kalian?”
Mendengar hal itu, aku langsung menjawab “di sini kami mau mengajari anak-
anak menghitung, membaca dan menulis, kiranya ibu mungkin bersedia untuk
mengumpulkan anak-anak di salah satu rumah.”
“Baik bisa, pakai rumah ibu saja untuk belajar bersama anak-anak. Tunggu di
sini saja, 7 menit kemudian semua anak di Desa Majeng ini akan berkumpul”
ucapnya dengan penuh semangat.
Sungguh menyentuh kata-kata itu, kami lalu sangat merasa dihargai oleh
masyarakat Majeng. Sembari menunggu kehadiran anak-anak, para ibu yang tadi
berkumpul kemudian mulai bertanya-tanya kepada kami. Tak jarang beberapa di
antara mereka mulai mengeluh tentang kehidupannya yang jauh dari akses
pendidikan. Mereka merasa begitu sulit untuk bisa memahami beberapa teks
bacaan dalam kehidupan sehari-hari dan tak sedikit di antara mereka yang bahkan
masih belum tahu cara menulis dalam bahasa indonesia.
“Orang-orang di Majeng itu tidak ada yang sekolah nak, pun kalau ada
mungkin Cuma segelintir saja toh” ujar salah salah ibu.
“tapi sekolah yang ada di perbatasan itu udah gak dipakai ?” tanyaku dengan
penasaran.
“Sudah 8 tahun, Sekolah Rakyat itu tidak pernah beroperasi. Sejak awal
berdiri gak ada guru yang mau mengajar, katanya hidup di Majeng itu susah. Banyak
guru-guru yang mutasi, nah sampai di tahun 1992 sekolahnya udah resmi gak
dipakai lagi sampai sekarang di tahun 2000 ini.” Keluh si ibu.
“Kakak cantik ini dari mana?” ucap salah satu balita yang terus menatap
mataku.
“Halo adek cantik, kakak dari Yogyakarta. Nama adik siapa?” ucapku sambil
mengelus rambut halus anak itu.
“Oke adik-adik semua, ayo kita rapikan duduknya dulu ya.” Ucap Raihan
sambil mengatur barisan anak-anak.
Anak-anak itu kemudian duduk dengan rapi di atas lembaran tikar biru dan
menghadap ke papan tulis. Raut wajah yang penuh antusias bagai menitip beban di
atas pundak para relawan. Seketika, atmosfer terasa berubah menjadi lebih ceria
dan bahagia, seakan memberi gambaran akan tumpahan kebahagiaan para anak-
anak ketika belajar.
Sepulang dari rumah warga, aku kemudian kembali berpikir untuk mulai
membantu mengaktifkan Sekolah Rakyat Desa Majeng dan kembali membangun
sekolah yang telah mangkrak selama setahun. Pikirku itu adalah suatu hal yang
paling efektif untuk kita lakukan.
“Guys kalian setuju gak kalau Sekolah Rakyat yang ada di dekat perbatasan
itu kita aktifkan kembali aja?” ujarku.
“iya bisa banget, aku dengar Kepala Desa Majeng emang mau kembali
renovasi sekolah itu. Nah kita bisa beri sumbangan sekaligus bantuan pengajar
untuk sementara waktu selama sekolah itu dibangun” ucap Rizka.
“Nah gue setuju, katanya pembangunan disini akan di mukai pekan depan”
tambah Farhan yang kini mulai memasuki ranah diskusi.
Tanpa menunggu hari esok, aku dan beberapa dari kalangan relawan
pendidikan kemudian beranjak menuju kantor Desa Majeng. Di kantor desa, kami
membahas dan menawarkan untuk pengabdian masyarakat akan dilanjutkan hingga
beberapa periode kedepannya. Dan untuk pembangunan sekolah, relawan
pendidikan event bulan bahasa telah bersedia untuk mengumpulkan dana dari
seluruh masyarakat Indonesia melalui media sosial. Hanya persoalan waktu yang
kini dihadapi, tinggal menunggu waktu renovasi sekolah dan pengadaan beberapa
alat dan bahan dalam mengajar.
Sejalan dengan ekspektasiku, nyatanya Pak Saiful sebagai Kepala Desa
Majeng menerima dengan senang hati segala usulan dan bantuan yang kami
tawarkan. Kini, relawan pendidikan Event Bulan Bahasa kembali menyumbangkan
bahan belajar kepada seluruh anak-anak Majeng. Setumpuk buku-buku materi
pembelajaran kami berikan kepada setiap anak di Desa Majeng. Selesai sudah
sumbangsih kami di Desa Majeng ini.
Gerimis hujan kini turut membasahi pelipisku, temperatur suhu yang berada di
bawah 18 derajat celcius telah membuat betis dan lenganku terus bergetar
kedinginan. Entah mengapa Laeng begitu dingin, aku masih belum percaya bahwa
ada perkampungan yang terletak begitu jauh dan sulit untuk dicapai.
Tepat pada pukul 5 lewat 30, rombongan relawan telah sampai di Laeng.
Tempatnya begitu sejuk, damai, indah... Bagaikan negeri di atas awan. Namun
sungguh menyedihkan, seluruh keindahan alam yang membentang dari barat ke
timur Laeng dirusak oleh kondisi pendidikan masyarakat. Seluruh penduduk Desa
Laeng tidak ada yang pernah menduduki bangku pendidikan dan 94%
masyarakatnya berada di garis kemiskinan. Leang merupakan desa yang memiliki
kualitas SDM yang paling rendah di Nusa Tenggara Timur dan jauh lebih buruk dari
Majeng.
“Oh ini relawan yang dari Jogja itu?” tanya salah satu warga yang datang
menghampiri kami.
“Iya pak betul, kami dari relawan pendidikan bahasa dan sastra” ucapku
dengan ramah.
Aku melihat ke seluruh penjuru Desa Laeng dengan penuh seksama, namun
tak satupun kutemukan lembaga pendidikan yang berdiri di sana seperti sekolah,
rumah belajar, dan lain sebagainya. Sungguh miris, namun pada kenyataannya
penduduk Desa Laeng juga menolak pendidikan itu hadir di antara mereka. Hanya
adat istiadat yang dikembangkan dan tidak boleh bersentuh dengan dunia luar
termasuk pendidikan mereka yang sangat primitif. Sudah sejak awal penduduk
Laeng terus menjelaskan adatnya pada kami, mereka berkata bahwa adat mereka
mengharamkan adanya pendidikan dari dunia luar. Mereka berkata bahwa
sebaiknya kita bantu orang-orang miskin saja. Aduh dasar primitif.
“Kak Tri, kalau mau buka sekolah di Laeng harus ada izin dari kepala desa
kami dulu to” ucap Fahri padaku dalam obrolan panjang di pagi ini.
“Tapi gimana caranya? Kepala desa tidak ingin ada sekolah yang dibangun di
Laeng, katanya sih itu adat kalian” ujarku.
“Hmm gimana kalau kita bujuk aja..” ucap Fahri dengan wajah polosnya yang
menganggap ide itu adalah hal yang cemerlang.
Atmosfer Laeng kini mulai berubah, keindahan demi keindahan yang telah
aku jumpai bagai sirna begitu saja ketika aku dihadapkan pada segelintir masalah
yang amat sulit dipecahkan. Tanpa tersadar aku terus termenung di tengah
hamparan padang ilalang yang terletak di sebelah barat Dusun Laeng.
“Tri, mungkin kita bisa kirim surat aja ke Kemendikbud untuk mengirim
perwakilan aja.” ucap Anna yang tiba-tiba muncul di belakangku bagai mengetahui
segala isi pikiran.
Mendengar saran Anna, aku kemudian berdiri dan kembali menatap matahari
senja di atas bukit Laeng. Berpikir sejenak membayangkan apa yang akan terjadi
jika kami menyurati Kementerian Pendidikan untuk memberi surat permohonan
mendirikan sekolah.
“Hmm, itu sebenarnya bisa banget. Tapi apakah jika kementerian telah
mendukung kita, para masyarakat Laeng juga akan mau untuk didirikan sekolah?”
tanyaku dengan penuh cemas.
“Kalau soal itu aku gak yakin si Tri. Soalnya orang-orang disini yang emang
gak mau sekolah” ujar Anna
“Tapi mau bagaimanapun kita gak boleh nyerah Anna, karena.....” tegasku
sambil bergetar kebingungan untuk melanjutkan argumen.
“Karena apa? Ayo coba jelasin ke aku? Nah kan kamu masih bingung juga.
Ahh besok kita balik ke Jogja aja deh, gak ada yang bisa dilakuin di sini” gerutu
Anna dengan ekspresi kecewanya
“Tri, hari ini kita balik ke Jogja ya. Masyarakat di sini sudah meminta kita
keluar karena mereka menganggap kita telah menantang adat mereka” ucap Rizka
padaku.
“Oke, kalau itu yang mereka mau lantas mengapa tidak. Ayo kita kembali ke
Kupang, biarlah perayaan hari bahasa nasional kita laksanakan di Kupang saja”
ucapku dengan lantang dan tegas.
Hancur sudah rencana perayaan hari bahasa nasional ini. Sungguh miris,
karena rangkaian kegiatan yang paling penting di antara yang lain ternyata tak bisa
kita laksanakan di Laeng sebagai tujuan utama. Sungguh berbeda dengan Majeng
yang menerima kami dan segala inovasi pendidikan yang ditawarkan, Laeng justru
menolak segala dari apa yang kami ingin lakukan untuk bumi ibu pertiwi. Selesai
sudah urusanku dengan Laeng dan segala fenomananya. Terima kasih Majeng atas
segala kenangan indahmu, kebaikan, dan ketulusanmu menerima abdi kami. Dan
teruntuk Laeng, terima kasih atas setiap kenanganmu untuk abdiku yang engkau
tolak begitu saja.
Terima kasih Tuhan… Terima kasih karena hanya mewajibkan kami untuk
berusaha, dan menyerahkan hasilnya kembali pada genggamanmu. Biarlah yang
demikian itu adalah bagian dari kuasamu, hanya usaha yang kami dapat lakukan.
Sungguh benar perkataanmu Tuhan, bahwa Engkau tidak akan merubah suatu
kaum apabila ia tidak ingin atau tidak mau merubah nasibnya sendiri.
***