Anda di halaman 1dari 10

Hari itu Indonesia sedang berduka atas kepergian sang pemimpin, Baskara.

Banyak
orang yang tidak menyangka, karena dia baru saja mengumumkan akan ada pergantian ibu
kota tahun depan.

“Apakah berita ini benar adanya? Aku sangat tidak menyangka, bukannya dia baru
saja mengadakan konferensi pers pemindahan ibu kota kemarin?” ujar Neka. Kepergian
Baskara di umumkan di seluruh media di Indonesia. Keluarga mengabarkan, kematian
Baskara disebabkan oleh serangan jantung. Beberapa bulan berlalu setelah kepergian
Baskara, masyarakat mulai membahas kembali tentang pemindahan ibu kota yang sudah
direncanakan Baskara sebelum kepergiannya. Tidak ada satu pun orang yang tau kota mana
yang terpilih untuk menjadi ibu kota, hal ini membuat pemerintah kebingungan. Pasalnya,
sampai sekarang masih belum ditentukan siapa pemimpin yang tepat untuk mengganti
Baskara.

2 bulan berlalu, masyarakat masih bertanya-tanya tentang pemindahan ibu kota.


Pemindahan ibu kota ini di nanti-nantikan oleh semua masyarakat di Indonesia. Karena jika
suatu kota sudah ditetapkan menjadi ibu kota. Kota tersebut akan lebih dahulu dalam segala
aspek, seperti perkembangan teknologi, transportasi, dan lain lain.

“Kapan pemindahan ibu kota akan dilakukan?aku sungguh menantikannya.”kata,


salah satu warga. “Aku juga!” “Aku juga sangat menantikan pemindahan ibu kota!” “Aku
juga menantikannya! Sudah 5 bulan sejak kepergian Baskara, pemindahan ibu kota ini masih
belum ada kabar kelanjutannya.” balas beberapa warga lainnya. Begitulah perbincangan
seluruh masyarakat Indonesia 5 bulan terakhir. Topik ini terus dibahas oleh semua kalangan,
tidak terkecuali oleh kalangan anak muda.

“Bagaimana menurutmu tentang pemindahan ibu kota?” tanya Anca, teman dekat
Neka. “Menurutku pemindahan ibu kota adalah ide yang bagus, karena kemacetan bisa
berkurang, penduduk Indonesia bisa lebih tersebar rata ke seluruh wilayah, dan bisa
berpengaruh pada ekonomi indonesia juga.” Jawab Neka. “Tetapi dengan kondisi seperti ini,
semua orang bisa saja memperebutkan ibu kota Indonesia kan?” balas Anca. Neka hanya
mengangkat kedua bahunya bersamaan. Perbincangan itu terhenti karena mereka harus
bergegas menuju ke kelas berikutnya. Ya, mereka berdua adalah mahasiswa di salah satu
universitas terkenal di Indonesia.

“Selamat siang semuanya , baik hari ini saya akan menjelaskan tentang salah satu
keunikan dari Negara kita. Seperti yang kita tahu Indonesia memiliki 5 elemen, yaitu
ketuhanan, keadilan, kepercayaan, kebersamaan, dan kemanusiaan. Dari kelima elemen ini,
apakah kalian tahu apa artinya?” ucap Pak Damar, dosen sejarah. “Saya pak!” ujar Neka
sambil mengangkat tangan. “Ya, silahkan Neka” “Elemen pertama adalah ketuhanan,
elemen ini melambangkan keberagaman agama yang ada di Indonesia, dengan kondisi dan
situasi apapun kita harus mengingat tuhan. Elemen kedua adalah keadilan, elemen ini
melambangkan sikap adil yang harus selalu kita junjung tinggi dan terapkan dalam
kehidupan. Elemen ketiga adalah kepercayaan, elemen ini melambangkan kepercayaan yang
harus selalu kita jaga agar tidak terpecah belah. Elemen keempat adalah kebersamaan,
elemen ini melambangkan bahwa kita harus tetap bersatu dalam situasi apapun. Dan yang
terakhir adalah elemen kemanusiaan, elemen ini melambangkan bahwa kita harus
memperlakukan semua manusia dengan sama.” “Bravo!” seru Pak Damar sambil bertepuk
tangan. Seluruh isi ruangan juga ikut bertepuk tangan dengan meriah, mereka semua sangat
kagum dengan pengetahuan yang dimiliki Neka. “Bagaimana kamu mengetahui hal ini nak?
Setahu bapak, elemen sangat jarang dibahas di SD, SMP, SMA, maupun saat kuliah. “ tanya
Pak Damar. “Kebetulan saya pernah membaca buku tentang elemen ini pak” Jawab Neka
“Oh iya? Kalau bapak boleh tau apa judulnya? Dan siapa yang menulis?” “The mystery of the
5 elements yang ditulis oleh Soekan” “Wah! Sepertinya isi buku itu sangat bagus ya. Baiklah,
silahkan duduk Neka” kelas sejarah pun berlangsung seperti biasa.

“Wahhh! Akhirnya kelas kita selesai juga. Eh ada apa itu ramai ramai?” kata Anca
sambil menunjuk kerumunan di dekat kampus mereka. Mereka berdua mendekati
kerumunan itu dengan sedikit berlari. “Demo?” ucap Neka pelan “Ada apa ini bu? Kenapa
ada demo di kantor pemerintah?” tanya Ancen kepada salah seorang warga. “Kami sedang
melakukan aksi mengenai pemindahan ibu kota nak, rumah-rumah kami sudah digusur
karena ingin dibangun menjadi fasilitas kota. Pemerintah berjanji akan mengganti biaya dan
tempat tinggal kami, tapi sampai sekarang kami belum mendapatkannya.” jawabnya. Neka
dan Ancen mengangguk pelan. Kampus mereka memang bersebelahan dengan kantor
pemerintah, karena itulah suara mereka bisa terdengar sampai gedung fakultas Neka.

Sesampainya di rumah, Neka langsung menjalankan kewajibannya untuk sholat.


Neka selalu berusaha menjalankan kewajiban sholat 5 waktunya, walaupun sedang diluar
rumah sekali pun. Selesai menjalankan sholat ashar, Neka bersiap-siap untuk bertemu
teman lamanya. Ini adalah rutinitas wajib yang harus dilakukan minimal 2 minggu sekali.
Menurutnya, dengan menjalin komunikasi seperti ini bisa mempererat tali silahturahmi.

“Hai! Sudah lama sekali kita tidak bertemu” sapa Evan, teman Nako saat di bangku
SMA. “Halo! Wahh kamu terlihat sangat berbeda” kata Nako “Ngomong-ngomong,
bagaimana kuliah mu?” tanya Evan. “Seperti mahasiswa pada umumnya sih, tidak ada yang
spesial. Hanya terus dikejar deadline sampai sampai aku harus meminum tiga gelas kopi
setiap hari.” Jawab Nako. “TIGA GELAS KOPI?” kata Evan, terkejut. “Iya.” Jawab Nako sambil
cengegesan. Pembicaraan mereka masih berlanjut sampai malam tiba. “Eh udah malam nih,
aku balik duluan ngga apa-apa? “ Tanya Neka. “Oh iya! Ngga apa-apa ini aku masih ada
sedikit urusan yang harus segera diselesaikan.” Neka mengangguk dan pamit kepada Evan,
sungguh hari yang sangat berkesan, Neka sangat suka bertukar pikiran dengan orang lain.
Sehingga dia bisa tau sudut pandang dan pola pikir orang lain yang membuat Neka lebih
memahami situasi. Sesampainya dirumah, Neka membersihkan diri dan mengistirahatkan
tubuhnya di ranjang.

Pagi sudah tiba, matahari mulai menampakkan sinarnya. Terdengar suara alarm,
yang dia pasang kemarin. Neka langsung mematikan alarm itu, dan beranjak dari kasur
untuk mandi. “Pagi Neka!” Sapa Ibu nya. “Pagi juga bu! Neka mandi dulu ya, hari ini ada
rapat.” Ibunya hanya membalas dengan senyuman. Pagi ini memang diadakan rapat besar
untuk mendiskusikan event yang akan diadakan pada bulan Agustus nanti. Neka yang
menjabat sebagai ketua BEM Universitas Garuda tahun ini tentu saja harus menghadiri rapat
tersebut.

“Neka ayo sarapan dulu!” kata Ibu. “Nanti saja bu Neka bisa sarapan di kampus
nanti, hari ini Neka jemput Anca dahulu.” Jawab Neka. Ibu mengangguk paham, anak
semata wayangnya itu memang sangat sibuk dengan kegiatan kampusnya, tak heran jika
terkadang Neka harus berangkat lebih awal. “Bu Neka berangkat ya!” teriak Neka dari
garasi. “Iya! Jangan lupa sarapan di kampus Neka!” balas Ibu. Hari ini Anca meminta
bantuan Neka untuk menjemputnya karena motornya sedang di bengkel. “Eh udah datang
ka? Maaf ya ngerepotin.” Ucap Anca merasa bersalah. “Kaya sama siapa aja Ca, ayo
berangkat!” Ujar Neka. Kedua lelaki itu pun berangkat menuju kampusnya untuk menghadiri
rapat. “Saya buka dahulu, assalamualaikum Wr.Wb. pada pertemuan kali ini kita akan
membahas tentang event yang akan dilakukan untuk memperingati kemerdekaan
Indonesia.” Buka Neka pada rapat pagi hari itu. Rapat berlangsung dengan lancer, dan tiba
saatnya untuk mendiskusikan tugas setiap divisinya. “Oke, kita akan membagi tugas per
divisinya. Saya dan Elva sebagai ketua dan wakil ketua BEM akan mengarahkan, menangani,
dan mengurus semua keperluan untuk event ini. Anca dan Ava sebagai sekertaris 1 dan 2
akan membuat laporan dan pencatatan mengenai event. Eliz sebagai bendehara akan
menghitung semua biaya yang dikeluarkan dibantu oleh divisi keuangan. Divisi komunikasi
dan informasi akan menyebarkan informasi mengenai event kali ini, dan
mendokumentasikan seluruh rangkaian acara. Divisi sosial budaya akan merencanakan
budaya dan bintang tamu yang akan ditampilkan nanti. Divisi pendidikan akan
merencanakan tentang lomba yang akan diikuti oleh siswa atau siswi SMA/MTS untuk event
kemerdekaan kali ini. Dan yang terakhir divisi teknologi, akan mengatur sistem suara,
pencahayaan, dan lain-lain saat acara berlangsung. Untuk pemilihan tempat dan konsep
lanjutan akan kita bahas di rapat selanjutnya. Bagi setiap divisi diharapkan untuk menyusun
laporan dan di serahkan kepada saya. Apakah ada pertanyaan?” Jelas Neka. Semuanya
mendengarkan dan mencatat hal-hal penting dengan fokus. Event ini adalah event yang
sangat besar, dan berat untuk Neka. Tetapi Neka berusaha untuk membagi tugas dengan
adil kepada seluruh anggota termasuk dirinya sendiri, sehingga acara bisa berjalan dengan
lancer. “Baik, jika tidak ada pertanyaan bisa kita akhiri. Saya sebagai ketua sangat percaya
kepada kalian bisa menjalankan tugas dengan baik, dan saya berharap kerjasama kalian
semua agar acara kita kali ini bisa berjalan dengan baik.” “Badan Eksekutif Mahasiswa!”
“Sukses, sukses, sukses” seru seluruh anggota dengan penuh semangat. Rapat pun berakhir,
Neka memutuskan untuk pulang karena tidak ada kelas hari ini. “Mau bareng lagi Ca?”
tanyanya kepada Anca. “Engga deh ka, aku masih ada kelas pulang duluan aja.” jawab Anca.
“Oke” Balas Neka sambil mengacungkan jempol.

Saat di perjalanan, Neka melihat seorang ibu tua renta yang ingin menyebrang.
Bertepatan dengan itu, ada sebuah truk besar yang sepertinya tidak melihat keberadaan
ibu. Melihat hal itu Neka langsung memarkirkan motornya dan bergegas menyelamatkan
sang ibu. Truk semakin dekat, dan sekarang posisi berbalik. Neka berada di tengah-tengah
jalan raya, lalu lintas sangat padat dan cepat, tidak ada cela untuk menyebrang. Truk
kehilangan kendali, kecepatannya sangat tinggi dan lajunya tidak ada arah. Neka
memutuskan untuk menyebrang “Nak awas truk nya!” seru ibu tadi. Neka menoleh kearah
truk, dan tanpa sadar dia menutup kedua matanya. Dia pasrah dengan kemungkinan yang
akan terjadi. “Kenapa tidak ada suara? Padahal tadi lalu lintas sangat ramai.” Batin Neka.
Saat ia membuka mata, semua aktivitas berhenti, tidak ada orang yang bergerak seakan-
akan waktu berhenti berputar. Neka bingung, dia langsung berlari ke tepi jalan untuk
menyelamatkan diri. Dunia kembali seperti semula, semua aktivitas berjalan seperti biasa,
lalu lintas kembali dipenuhi oleh kendaraan. “Itu tadi kejadian apa?” batin Neka. Saat Neka
melamun memikirkan kejadian yang membuatnya bingung, ibu yang ia selamatkan tadi
berterima kasih “Terima kasih banyak ya nak, kamu tidak apa-apa kan?” tanya sang ibu
dengan cemas. “Sama-sama bu, saya baik-baik saja” balas Neka sambil tersenyum. Neka
melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, Neka masih memikirkan kejadian itu.

“Bu, Neka pulang!” teriak Neka kegirangan. “Eh, anak ibu sudah pulang ayo makan
siang dulu Neka.” Neka mengangguk, perutnya sudah berbunyi karena tidak sempat sarapan
di kampus. Selesai makan siang, Neka merebahkan tubuhnya sambil memainkan ponsel,
tiba-tiba pikiran tentang kejadian tadi muncul kembali. “Kenapa semua orang seperti
menjadi patung? Kenapa kendaraan-kendaraan tiba tiba berhenti?” dia terus bertanya-
tanya tentang kejadian itu. “Mungkin aku hanya kelelahan dan berhalusinasi.” Batin Neka.

Keesokan harinyan Neka bertemu Anca untuk mengerjakan tugas kelompok,


kebetulan mereka berdua berada di jurusan yang sama. Tiba-tiba Anca bertanya “Ka, kamu
percaya engga sih tentang kematian presiden?” tanya Anca penasaran. “Percaya gimana
maksudnya?” Neka kembali bertanya. “Ya kan pak presiden terkenal sama gaya hidupnya
yang sehat banget, masa iya tiba-tiba serangan jantung? Seperti ada yang disembunyikan
engga sih Ka?” Ujar Anca. “Engga lah, ngelantur kamu Ca udah ayo lanjutin tugasnya.” Balas
Neka. Anca hanya mengangguk, tetapi dia tetap memikirkan tentang kematian presiden
yang dia rasa janggal.

Karena rasa penasaran, Anca mengulik informasi tentang kematian Baskara. Dia
menemukan suatu artikel yang menarik berjudul “Baskara Pernah Menabrak Seorang Anak
Lelaki Saat Menjadi Presiden” di dalam artikel tersebut menjelaskan tentang peristiwa 2
tahun lalu disaat Baskara baru saja diangkat menjadi presiden. “2 tahun yang lalu, Baskara
mengunjungi pantai bersama keluarganya, tidak ada satu pun pengawal, hanya Baskara,
istri, dua anak nya, dan Ayah Baskara lah yang pergi pada malam hari itu. Dalam
perjalanan, Baskara sangat mengantuk karena tidak terbiasa menyetir pada malam hari.
Mobil yang ditumpangi Baskara dan keluarganya tiba-tiba kehilangan arah, berbelok ke
kanan dan kiri tidak beraturan, Baskara pun menabrakkan mobilnya ke pinggir jalan, tepat
di depan seorang anak laki-laki yang sedang berjalan. Sayangnya Baskara tidak melihatnya.
Kejadian itu pun menewaskan seorang anak laki-laki yang tidak diketahui oleh siapa pun
sampai saat ini. Tidak ada yang tau tempat pemakaman anak itu sampai hari ini. Rasa
bersalah pun menghantui Baskara setiap hari nya. Dan tepat 6 bulan lalu, Baskara memilih
untuk mengakhiri hidupnya karena rasa bersalah yang tak kunjung berhenti menghantui.”
Anca sangat terkejut sekaligus marah setelah membaca artikel tersebut. “Bagaimana bisa
seorang presiden yang selama ini di bangga-banggakan oleh seluruh rakyatnya melakukan
hal seperti ini?” Ucap Anca sambil menahan emosinya. Emosinya tidak dapat tertahan lagi,
dia memutuskan untuk membagikan artikel tersebut di media sosial menggunakan akun
palsunya tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi.

Pagi hari kembali datang, Neka bersiap untuk pergi ke kampus. Saat di perjalanan,
Neka melihat seluruh masyarakat sedang melakukan unjuk rasa. Dia sama sekali tidak tahu
apa yang sedang terjadi. “Ini apa lagi?” Batin Neka. “Pak maaf ini demo apa ya?” Tanya Neka
kepada salah satu warga. “Loh? Mas nya engga tahu? Beritanya udah nyebar mas, coba di
check deh.” Jawab bapak itu. Neka membuka ponselnya dan mencari info terkini, betapa
terkejutnya dia saat menemukan artikel tentang mantan presiden Indonesia itu. Dia
membaca artikel itu dengan teliti, samar-samar dia mendengar banyak komentar dari
beberapa demostran. “Pantas saja pemindahan ibu kota belum dilaksanakan, pemimpinnya
saja seperti itu.” “Benar, bagaimana mungkin Negara kita bisa maju dengan presiden yang
seperti itu?” kaget? Tentu saja. Demo ini lebih besar dan rusuh dari demo sebelumnya.
Banyak orang yang meminta kasus itu dibawa di jalur hukum walaupun Baskara sudah tiada.
Banyak pula masyarakat yang sudah tidak mempercayai pemerintah karena kasus ini.
Pemindahan ibu kota juga kembali diungkit, warga mengatakan bahwa ada rencana
penggusuran universitas dan sekolah di beberapa wilayah. Hal ini membuat emosi anak-
anak muda di seluruh Indonesia tersulut. Demo semakin panas, banyak orang yang merusak
fasilitas di kantor pemerintah sebagai bentuk unjuk rasa dan ketidak setujuannya terhadap
rencan serta kasus ini. Tanpa sadar mereka kehilangan satu elemen, yaitu kepercayaan.

Demo ini tidak hanya berlangsung selama satu hari. Seluruh anak muda kembali
melakukan unjuk rasa dalam skala yang lebih besar. Karena masalah ini, semua polisi dan
tentara turun tangan untuk mengamankan mereka. Namun Karena emosi yang sudah ada di
puncak kepala, mereka tidak memperdulikan nyawa lagi. Gas air mata mulai dikeluarkan
oleh pihak keamanan untuk menghalau anak muda memasuki kantor pemerintah. Situasi
semakin ricuh dengan anggota demostran yang semakin bertambah. Ada beberapa orang
yang tidak sadarkan diri karena sesak dan kepanasan. Ada juga yang mengalami luka-luka.
Tanpa mereka sadari, mereka kembali kehilangan satu elemen, kemanusiaan.

Sementara itu, kampus Neka yaitu Universitas Garuda adalah satu-satunya kampus
yang belum mengikuti demo ini. Sebagai ketua BEM Universitas, Neka berhak
menentukannya. Selama dua hari, Neka berusaha mencari titik terang dalam kasus ini. Dia
merasa rumor itu tidak benar, dan dia harus menemukan setidaknya satu bukti untuk
menunjukkan bahwa rumor itu benar dan mengarahkan mahasiswa untuk mengikuti demo.
Tetapi dia tidak menemukan bukti satu pun. “Ca? Bagaimana menurutmu?” tanya Neka di
saluran telfon. “Artikel itu sudah jelas benar adanya Ka! Mengapa kampus kita tidak
mengikuti demo sampai saat ini?”bentak Anca. “Aku harus menemukan kebenaran dari
rumor itu Ca! kita tidak bisa mengikuti demo tanpa mengetahui kebenarannya.” Tegas Neka.
Anca tidak menjawab dan langsung menutup telfon yang membuat Neka frustasi.

Demo masih berlanjut hingga keesokan harinya. Neka mendapat kabar bahwa tidak
hanya kota nya yang melakukan demo, tetapi semua kota di Indonesia. Hal ini membuat
keadaan semakin parah. Mereka yang melakukan demo tidak mendapat tanggapan sedikit
pun dari pemerintah, sehingga para demostran memutuskan untuk menambah jumlah
pasukan mereka. Ada beberapa orang yang membakar barang-barang, membuka paksa
gerbang kantor pemerintah yang sudah dijaga ketat, bahkan melawan petugas keamanan
untuk bisa memasuki kantor pemerintah. Emosi mereka sudah benar-benar tidak bisa
tertahan. Kini masyarakat menyama ratakan perilaku pemerintah dengan rumor presiden.
Mereka tidak lagi percaya kepada pemerintah. Dan pemerintah merasa tidak mendapat
keadilan oleh masyarakat karena di sama ratakan. Satu kata yang bisa menggambarkan
kondisi Indonesia saat ini, hancur. Mereka tidak menyadari bahwa ada satu elemen yang
hilang, keadilan.

Banyak mahasiswa yang protes atas keputusan Neka untuk tidak mengikuti demo.
Ujaran kebencian mulai bertebaran kepada Neka, namun keputusan ini bukan tanpa alasan.
Beberapa hari ini Neka berdiskusi bersama bapa rektor dari Universitas Garuda dan mereka
menemukan kesamaan pendapat. Bapak rektor juga merasa rumor tersebut tidak benar
sehingga beliau mendukung keputusan Neka sebagai ketua BEM untuk tidak mengikuti
demo dan hal ini berlaku bagi semua mahasiswa/mahasiswi di Universitas Garuda.
Semenjak telfon diputuskan sebelah pihak, Neka tidak pernah melihat Anca lagi.
“Mungkin dia sedang ada urusan.” Kata Neka.

“Bu, hari ini Neka ke Ayah ya!” ucap Neka. “Iya Ka, ibu kemarin sudah kesana.” Balas
Ibu. Neka pun berangkat menemui ayahnya. Saat sampai, Neka mengahampiri Ayahnya
dengan membawa bunga. “Assalamualaikum Ayah, maaf udah lama ya Neka engga kesini
hehehe.” Kekeh Neka. Ya, ayah Neka sudah meninggal dari dia berumur 5 tahun, dan hanya
sedikit kenangan yang Neka ingat sebelum ayahnya meninggal. Ayah Neka meninggal
karena kecelakaan, itulah mengapa Neka sedikit trauma saat berada di lalu lintas, ataupun
sedang menyebrang. “Yah, Neka cape deh banyak yang engga setuju sama Neka. Mereka
semua berbeda pendapat, akhirnya Neka sekarang dibenci satu kampus.” ucapan Neka
terhenti “Tapi engga apa-apa, Neka masih punya banyak temen yang support Neka kok.”
Ucap Neka sambil mengelus nisan bertulis nama ayahnya yang sudah mulai pudar.
“Sekarang lagi banyak demo, Indonesia lagi kacau banget yah. Doain ya Neka bisa bantu-
bantu buat memulihkan Indonesia.”Neka memandang nisan sang Ayah, dia tahu tidak ada
yang akan membalas ucapannya namun dia berharap ayahnya bisa mendengar dari atas
sana. “Neka pamit ya, maaf engga bisa lama-lama.” Ucap Neka.

Saat hendak pulang, tiba-tiba Neka melihat ada sebuah cahaya yang sangat terang.
Dia sangat penasaran dengan cahaya itu, perlahan-lahan Neka mendekat. Cahaya itu seperti
pusaran yang bisa menarik siapa pun di dekatnya. Jarak Neka dengan cahaya tersebut
semakin dekat dan semakin berkilau sampai-sampai Neka menyipitkan matanya. Cahaya itu
membawa Neka ke sebuah tempat yang sangat indah dan belum pernah dia kunjungi
sebelumnya. Banyak pepohonan, udaranya benar-benar sejuk, dan tidak ada polusi sedikit
pun. Anehnya tempat ini sangat sepi, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. “Nak?” Ucap
seorang kakek tua. “I-iya kek?” Jawab Neka gugup. “Bisa temani aku berkeliling sebentar?”
tanya kakek itu. Neka hanya mengangguk pelan dan menghampiri kakek. Sepanjang
perjalanan kakek menceritakan tentang tempat ini, tidak terasa mereka sudah sampai di
rumah kakek. “Masuk dulu nak, kakek ingin memberitahumu sesuatu.” Ujar kakek. Neka pun
memasuki rumah sederhana itu. Kakek mempersilahkan Neka duduk dan mulai bertanya
kepada Neka. “Kamu tahu aku siapa Neka?” tanya Kakek. Neka menggeleng, “Tidak kek, tapi
kenapa kakek mengenali saya?” tanya Neka kebingungan, karena selama perjalanan tadi dia
sama sekali tidak menyebutkan namanya. Kakek hanya terkekeh “Kamu masih ingat buku
berjudul “The mystery of the 5 elements yang ditulis oleh Soekan?” Neka mengangguk.
“Soekan adalah aku Neka.” Ucap kakek. Neka membuka matanya lebar-lebar, “Pasti kau
bingung mengapa bisa berada disini kan? Akan kujelaskan satu persatu. Tempat ini adalah
kota tersembunyi di Indonesia, tidak sembarang orang yang bisa masuk kesini, karena kota
ini adalah tempat semua rahasia berada.” Jelas kakek. “Rahasia?” tanya Neka kebingungan.
“Ya, kamu pasti tahu tentang 5 elemen yang ada di Negara kita selain elemen itu, seluruh
masyarakat Indonesia memiliki kekuatan. Dan kamu adalah orang pertama yang
mendapatkan kekuatan itu.”

“Maksudnya kek?”Neka tampak kebingungan.

“Apakah kamu masih ingat saat kau hampir tertabrak oleh truk dan tiba-tiba dunia
berhenti begitu saja? Itulah kekuatan mu Neka, kau bisa memiliki 1 dari 3 kekuatan yang ada
yaitu penyelamat. Kekuatan ini memang dimiliki oleh semua masyarakat tetapi hanya orang-
orang yang dianggap pantas saja yang bisa memunculkan kekuatan tersebut. syaratnya
adalah mereka harus mengamalkan 5 elemen, yaitu ketuhanan, keadilan, kepercayaan,
kebersamaan, dan kemanusiaan. Dan tanpa kamu sadari, kau sudah mengamalkan
kelimanya nak.” Ujar Kakek Soekan. “Lalu mengapa kekuatan ini hanya muncul padaku
kek?” tanya Neka penasaran. “Indonesia sedang diambang kehancuran, 4 elemen yang ada
diantara kalian sudah hilang karena perpecahan ini. Hanya tersisa 1 elmen saja, yaitu
ketuhanan. Elemen ini akan menjadi modal bagi kita untuk mempersatu Indonesia. Aku tahu
kebenaran dari semua rumor yang bersimpang liur di Indonesia, dan aku tahu cara
mengatasi ini semua. Tetapi aku harus meminta bantuan mu Neka, aku tidak bisa
menjalankannya sendiri. Setelah misi ini berhasil, perlahan-lahan Indonesia akan pulih dan
semua masyarakat akan memiliki kekuatannya masing-masing.”Ujar Kakek. Neka
menangguk paham. “Pokok permasalahannya adalah pemindahan ibu kota, ibu kota akan
dipindahkan ke Bevia oleh Baskara. Pasti kau bingung mengapa aku bisa tahu hal ini kan?
Aku menyimpan surat wasiat Baskara sebelum dia meninggal, bacalah suratnya Neka.” Neka
mengambil surat yang diberikan oleh sang kakek dan membacanya.

Sebelum saya meninggal, saya akan memindahkan ibu kota ke Bevia. Bevia adalah
satu-satunya kota yang menjadi perhitungan saya sejak 2 tahun terakhir, dan banyak faktor
lain mengapa saya memilih kota tersebut. Bila nanti terjadi salah paham, bagi siapapun
yang menemukan surat ini tolong baca selantang mungkin di hadapan seluruh masyarakat.
Saya menderita penyakit jantung dari lahir, itulah mengapa saya harus membiasakan diri
untuk gaya hidup sehat, walaupun kecil kemungkinan saya untuk sembuh. Jika saya sudah
tiada, mohon jaga Indonesia yang sudah saya bangun susah payah, dan jagalah elemen
yang kalian miliki sekarang.

Salam hormat

Baskara

“Rumor itu….” Ucap Neka pelan. “Ya, rumor itu tidak benar Neka. Aku bisa menjadi
sanksi karena aku berada di situasi itu.”

“Pagi hari itu, Baskara dan keluarganya pergi ke pantai tanpa didampingi oleh
pengawal karena Baskara lah yang meminta untuk tidak didampingi khusus hari itu saja,
namun tetap di damping oleh sopir pribadinya. Tidak ada kejadian apapun yang terjadi saat
itu. Keluarga baskara berangkat pada pagi hari bukan malam hari seperti yang ada di artikel
itu, tidak ada kecelakaan yang terjadi dan tidak ada hubungannya pula dengan kematian
Baskara.” Jelas Kakek Soekan.

“Bagaimana kakek bisa memastikan hal itu?” tanya Neka, belum percaya. “Aku
adalah Ayah dari Baskara Neka, banyak yang tidak mengetahui ku karena aku diasingkan
sejak aku mengetahui tentang kekuatan yang dimiliki masyarakat. Aku selalu
mendokumentasikan apapun yang dilakukan oleh keluargaku dan aku masih menyimpan
foto dan videonya sebagai bukti.” Neka sangat terkejut mendegarnya, bagaimana mungkin
kakek yang ada di depannya sekarang adalah Ayah dari Bapak presiden?

“Lalu apa yang harus aku lakukan kek?” tanya Neka. Soekan mengambil sebuah keris
berlapis emas dan menyerahkannya kepada Neka. “Keris situ adalah kunci dari semua
masalah yang ada, saat kondisi bertambah kacau kamu bisa menancapkannya di bukit
pancasila. Keris itu akan mengarahkanmu dimana bukit itu berada. Ingat Neka, jangan beri
tahu siapapun tentang pertemuan kita hari ini.”Ujar kakek. “Boleh saya tanya satu
pertanyaan lagi kek?” Soekan mengangguk. “Mengapa presiden merahasiakan kekuatan ini
kek? Dan mengapa saya dipercaya untuk membantu kakek?” Tanya Neka. “Baskara
merahasiakan ini karena takut masyarakatnya akan serakah dan seenaknya, dia ingin
masyarakat menyadari kekuatan itu sendiri. Dan alasan mengapa saya memilih kamu karena
itu adalah takdir.” Jawab kakek. Neka mengerutkan dahinya, “Takdir?”

“Iya nak, takdir. Mungkin kamu tidak menyadarinya, nama lengkap mu memiliki
makna yang sangat bagus. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Aku
percayakan sepenuhnya kepadamu Neka, semuanya ada di tangan mu sekarang.” Ujar
kakek. Neka mengangguk dengan semangat dan pamit kepada kakek untuk menjalankan
misinya. Tanpa mereka berdua sadari, ada satu orang yang sejak tadi menguping
pembicaraan.

Anca melihat Neka sedang menuju suatu tempat, entah apa yang membuat Anca
tertarik untuk membuntuti Neka tetapi dia sangat penasaran arah tujuan Neka. Anca
melihat Neka memasuki suatu cahaya, tanpa sengaja Anca juga memasuki cahaya itu dan
mendengarkan seluruh pembicaraan antara Neka dan kakek Soekan. Anca pun berniat
untuk menyebarkan informasi yang dia peroleh tadi kepada seluruh masyarakat.

Neka bangun dari tidurnya dan kembali bersiap untuk pergi ke kampus. Dia mengira
demo sudah mulai reda, nyatanya tidak. Demo semakin parah, bahkan lebih parah dari
sebelumnya. Kali ini berbeda, Neka melihat kertas besar yang dibawa beberapa demostran
bertuliskan “Kami menolak ibu kota pindah ke Bevia” Neka bingung, bagaimana bisa
masyarakat mengetahui tentang ini semua? Neka yakin kemarin tidak ada siapapun kecuali
dirinya dan Kakek Soekan. Semua orang berdebat tentang pemindahan ibu kota ini. Banyak
yang tidak setuju jika ibu kota dipindahkan ke Bevia. “Kota Bevia adalah kota yang belum
maju, bahkan lebih kecil dari ibu kota kita saat ini.” Kata salah satu warga. Situasi semakin
memananas, seluruh masyarakat Indonesia menginginkan kotanya lah yang terpilih menjadi
ibu kota. Mereka menganggap, kota yang akan terpilih menjadi ibu kota akan berbeda
dengan kota lainnya. Ibu kota akan mendapat perilaku lebih di bidang tranpostasi, ekonomi,
dll. Padahal nyatanya tidak seperti itu, pemerintah pasti akan berusaha adil dalam
pembangunan semua kota di Indonesia. inilah yang menjadi pokok permasalahan. Neka
langsung teringat akan pesan kakek tentang keris itu, dia juga membawa surat wasiat
Baskara sebagai bukti ketidak benaran rumor tersebut. dan tanpa mereka sadari lemen
keempat hilang, kebersamaan.

“Apakah ini saat yang tepat?” Tanya Neka dalam hati. Neka memutuskan untuk pergi
kerumahnya dan membuka lemari tempat dia menyembunyikan keris berlapis emas. Benar
kata kakek. Saat Neka membuka keris, keris itu langsung menarik Neka menuju bukit
pancasila. Disana terdapat batu yang juga berlapis emas, keris tersebut menarik Neka untuk
menancapkannya pada batu itu. Namun ternyata tidak mudah, ada perlawanan antara batu
dan keris emas tersebut. Neka berusaha melawannya, namun gagal. Percobaan kedua, Neka
mengambil keris yang tadi terpental lalu menancapkannya sekuat tenaga, namun gagal.
Percobaan ketiga, Neka mengambil keris itu, memegangnya dengan erat lalu
menancapkannya pada batu, dan berhasil. Keris dan batu itu mengeluarkan cahaya yang
sangat amat terang sampai-sampai seluruh masyarakat Indonesia di berbagai daerah juga
bisa melihat peristiwa itu. Keris emas itu memunculkan sebuah hologram yang berisi
hangatnya persatuan Indonesia beberapa tahun lalu, tidak ada perpecahan, tidak ada demo,
semua masyarakat hidup dengan damai dan berdampingan. Lalu hologram itu menampilkan
kondisi Indonesia sekarang. Dimana banyak demo, rumor dan hoax bertebaran yang
menimbulkan perpecahan diantara masyarakat. Sudah tiada lagi kebersamaan yang ada di
dalam hidup masyarakat. Tidak ada lagi keadilan yang tertanam. Tidak ada lagi kemanusiaan
yang tersisa. Dan tidak ada lagi kepercayaan diantara kita. selanjutnya hologram
menampilkan video yang berisi perjalanan keluarga Baskara yang sedang menuju pantai.
Seluruh masyarakat mulai memperhatikan hologram itu dengan fokus. Dalam hologram itu,
ternyata juga dilengkapi oleh suara Kakek Soekan yang menjelaskan semuanya. Hologram
itu juga menampilkan surat wasiat yang Neka bawa. Hologram tersebut memperintahkan
Neka untuk membaca dengan suara yang lantang. Neka pun membacakannya. Masih belum
berakhir, hologram tersebut menampilkan sesorang yang Neka kenal, Anca. Dalam video
berdurasi 1 menit itu menunjukkan Anca lah yang menyebarkan rumor hoax yang sekarang
sudah dipercayai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Anca juga yang menyebarkan
pemindahan kota ke Bevia. Tentu saja Neka kaget, seorang teman yang sangat dekat
dengannya 3 tahun terakhir melakukan hal seperti itu. Hologram itu pun kembali kedalam
keris emas. Semua masyarakat hanya bisa diam menyaksikan video-video tadi.

Tiba-tiba ada seorang pejabat Negara yang diakui sebagai ketua di bidang keamanan
Negara. dia memeriksa surat wasiat yang dibawa oleh Neka, membolak-balikkan surat itu
selama beberapa kali untuk memastikan bahwa surat itu bukan surat palsu. Karena orang
yang memalsukan tanda tangan serta stampel presiden akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan peraturan yang sudah tertulis. Setelah memeriksa surat itu, dia menagguk-angguk
dan mengucapkan terima kasih kepada Neka. “SEMUANYA, SURAT INI BUKAN SURAT
PALSU!” ujarnya dengan suara yang sangat lantang. Setelah menonton hologram dan
membaca surat itu, masyarakat serta anak muda di Indonesia mulai sadar pentingnya
elemen yang mereka miliki. Walaupun dengan agama yang berbeda-beda, namun kita tetap
harus hidup berdampingan dengan rukun. Harus saling menghargai dan menghormati
dengan penganut agama lain adalah kunci utamanya. Pihak kampus juga memutuskan untuk
mengeluarkan Anca atas perilakunya. Perlahan-lahan empat elemen yang hilang itu pun
kembali. Mereka berjanji untuk mempertahankan elemen yang ada dan berusaha
mewujudkan Indonesia yang maju.

10 tahun berlalu.

“Ayah, sekarang Indonesia udah keren banget ya!” ucap seorang anak perempuan
yang sedang membaca buku sejarah kepada Ayahnya.

“Iya dong, siapa dulu yang memimpin Indonesia.” Balas sang Ayah.

“Iya deh, Lira tahu ayah dulu pernah menyelamatkan Indonesia.” Ujar sang anak
dengan malas.

“Ayah mu ini beneran berjasa loh Ra!” Ucap Ayah dengan nada bercanda.

“Udah-udah, ayo dimakan dulu sarapannya Ra, lalu berangkat sekolah bersama Ayah
ya.” Ucap seorang wanita.

Sejak kejadian sepuluh tahun lalu, Indonesia berkembang sangat pesat dan inilah
Indonesia sekarang. Semuanya bisa dilakukan dengan teknologi, ada mobil terbang,
handphone hologram, bahkan robot yang membangun rumah hanya dalam 1 hari. Tidak ada
lagi sumber daya manusia, semuanya telah dilakukan oleh robot. Manusia hanya bertugas
sebagai pengendalinya sehingga semua pekerjaan masyarakat Indonesia sangat fleksibel.
dan bisa dilakukan dimanapun. Banyak masyarakat yang sudah berhasil memunculkan
kekuatannya setelah mengamalkan kelima elemen itu. Baik anak muda maupun orang
dewasa hidup dengan damai dan berdampingan. Semua ini berkat presiden baru mereka,
Neka. Neka diangkat menjadi presiden 3 tahun setelah kejadian itu. Walaupun usianya
masih muda, namun dia mampu mewujudkan Indonesia yang maju. Neka berharap semua
ini tidak akan pernah berubah, masyarakat tetap hidup damai dengan kecanggihan
teknologi yang ada tanpa melupakan lima elemen yang mereka punya.

Anda mungkin juga menyukai