Anda di halaman 1dari 8

cerpen pencuri

Hari itu Senin pagi, siswa-siswi SMA Telaga melakukan rutinitas mingguan yang
paling tidak disukai mayoritas murid di Indonesia, ya, upacara bendera. Apalagi ketika
harus mendengarkan amanat yang panjang dengan segala rentetannya, ya pada intinya
hanya “Jagalah Kebersihan.” Sangat membosankan.

Selesai upacara para murid berhamburan meninggalkan barisan, ada yang langsung
menuju kelas, ada yang jajan ke kantin, dan ada yang ke toilet. Biasanya yang pergi ke
toilet setelah upacara hanya cewek-cewek yang nge-hits, harus cantik setiap saat
dengan kipas yang selalu stand-by di tangan dan cermin kecil di saku dadanya. 

“Misi-misi, aduh rame banget sih toilet. Gue mau ganti baju nih takut telat jam
pertama olahraga. Sorry ya, dek.” Ucap Dena sambil menyerobot antrian toilet. 

Dena adalah salah satu murid terkenal di SMA Telaga, kelas 12. Ia pindahan di kelas
11. Ia sangat cantik, terlebih anak cheers memang sudah pasti dikenal. Rambut
panjang bergelombang yang kadang dicepol dan kadang terurai terlihat sangat
berkilau. Parfumnya yang sangat harum entah terbuat dari apa, sampai mungkin bisa
tercium dari radius 50 meter. Ia selalu menggunakan jaket/kardigan kemana-mana,
walaupun dilarang. Barang yang digunakannya tidak pernah murah, selalu branded
dan dari merek yang mahal. Dari mulai jam, tas, sepatu, dan segala asesoris
pelengkapnya. Mungkin memang ia anak orang kaya yang tajir melintir jadi ia mampu
membeli itu semua. Tapi mutlak sudah, pesona visualnya dapat menyihir semua mata
untuk tertuju padanya.

Namun, sifat jeleknya yang membuat orang tidak suka dengannya. Sombong, jutek,
tukang pamer, dan langganan pelabrak adek kelas. Orang-orang segan dengannya,
mungkin karna tidak mau mencari masalah atau malas berurusan dengannya. Tapi
semua laki-laki, tanpa terkecuali kelas 10, 11, ataupun 12, tetap tidak gentar untuk
mencoba mendapatkan hatinya. 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Dena, mau bareng turun ke lapangan gak?” Ajak Lea, teman sekelas Dena.

“Eh, oh iya, duluan aja Le, gue masih siap-siap. Aduh, liptint gue mana lagi. Duluan
deh duluan.” Jawab Dena tanpa mengacuhkan Lea, sambil terus mencari barang di
dalam tasnya.

“Tapi gue mau ngunci pintu, Na. Kan kelas kosong kita tinggal olahraga takut nanti
ada anak kelas lain yang asal masuk.” Jelas Lea.

“Ah, yaudah kalo gitu sini gue aja yang ngunci,” Ucap Dena sambil merebut kunci
pintu kelasnya. “Oh iya, sekalian bilangin ke Pak Wawan ya, Le. Gue telat sakit
perut.” Lanjut Dena kemudian ia melanjutkan mencari barang yang belum ditemukan
tersebut.

Lea hanya bisa mengiyakan keinginan Dena kemudian bergegas pergi, karna ia juga
tidak punya waktu banyak untuk menunggu dan berdebat dengan Dena.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Guys, ada yang liat kacamata gue gak? gue mau pake nih.” Teriak Julia, seorang
perempuan yang duduk di barisan pojok kiri bagian tengah. 

“Gak ada..” Jawab anak kelas serempak.

“Lo taro dimana?”

“Yang mana kacamatanya?”

Tanya teman-temannya bergantian.

“Ga gitu mahal sih kacamata murah, tapi kok bisa ilang ya? Padahal gue inget banget,
gue taro di tempat kacamata dan di dalem tas.” Jelas Julia.

“Cari dulu yang bener, Jul.”

“Gak ada, guys..” Jawab Julia lirih.

“Tapi iya loh akhir-akhir ini banyak barang ilang di kelas kita ya? Lo juga, Le. Lo abis
kehilangan tempat pensil pink yang lo bangga-banggain itu kan? Lo juga, Sin. Lo abis
kehilangan bando imut lo itu beberapa hari yang lalu.” Ucap Julia heran.

“Lo juga Jul, udah lah kehilangan orang tercinta sekarang kehilangan kacamata juga?
Tuh gara-gara Roy kecintaan mau ngejar Dena eh ternyata ditolak.” Ledek Lea kepada
Julia, disambut dengan tawa anak sekelas yang mendengarnya.

“Bukan salah gue ya, Jul. Kan gue gak ngapa-ngapain.” Jelas Dena sambil tertawa
kecil dan memainkan rambut panjang yang ia urai.

Juli yang ditertawakan teman-teman sekelasnya hanya bisa menutup wajahnya malu.

“Eh tapi serius. Ada yang aneh gak sih? Beberapa hari yang lalu juga uang kas tiba-
tiba ilang 350ribu. Terus juga sering banget gue dapet laporan uang anak-anak ilang
10/20ribu gitu, walaupun ga banyak tapi ini ada yang janggal gak sih?” Ucap Lea.

“Bener,”
“Iya loh sama gue juga botol minum gue ilang.”

“Tempat makan juga masa gue lupa bawa pulang, besoknya ilang.”

Ucap murid kelas bergantian memberi kesaksiannya satu persatu.

“Na, lo ada kehilangan gak sih? Kayaknya cuma barang lo doang yang lengkap gak
pernah ilang, apa lo ilang langsung beli ya?” Tanya Julia kepada Dena.

“Hng- i-iya beberapa hari yang lalu jugaa parfum chanel gue ilang, tapi besoknya gue
beli baru sih. Gue gak pernah ambil pusing.” Jawab Dena terbata, tanpa memalingkan
wajahnya dari layar handphonenya.

Julia hanya bisa terdiam heran. Ia bingung kenapa bisa tercipta manusia seangkuh ini.

“Oh, iya, CCTV nyala kan ya? kita cek aja. Siapa tau kita bisa nemuin barang yang
ilang selama ini. Mungkin kita lupa naro atau ternyata selama ini ada-“ Usul Julia
namun terpotong. 

“-Tuyul” Ucap Lea nyeleneh.

“Heh, bukan tuyul. Ada maling!” Lengkap Julia.

“Eh, menurut gue sih gak perlu ya, soalnya kayaknya juga CCTV mati dan percuma
juga kalian lapor wali kelas gak akan diurusin.” Usul Dena membantah omongan
teman-temannya.

“Tapi atleast kita coba.”

“Bener” Teriak teman-teman sekelasnya.

“Oke, nanti gue tanya Bu Neneng ya solusinya gimana.” Ucap Lea.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Terlihat Lea sedang berdiri menghadap ke lapangan, tatapannya kosong. Ia bersandar


di besi balkon, di depan kelas, kemudian disambit dengan Dena yang entah darimana
datangnya.

“Heh kok ngelamun sih, cantik. Gimana, Le? Lo belom ngecek CCTV kan? iyalah
orang CCTV kelas mati.” Tanya Dena sambil mengunyah permen karet di dalam
mulutnya, kemudian hanya dibalas anggukan oleh Lea.

“Iya, gue udah tau kalo itu mati. Lo sih gak percaya sama gue” Ucap Dena santai. 
“Lo tau darimana kalo CCTV kelas itu mati? padahal anak-anak sekelas taunya bulan
lalu CCTV masih nyala gara-gara Bu Neneng mergokin kita contek-contekan sekelas
pas pelajaran kimia.” Jelas Lea tanpa mengalihkan pandangan kosongnya ke arah anak
kelas 11 yang sedang bermain basket.

“Eh? eee- engga kok itu, oh iya! Ya karna lampu indikatornya gak nyala. Emang lo
gak engeh ya?” Jawab Dena terbata-bata entah karna apa.

“Na, liat.” Ucap Lea sembari menunjuk ke pojok kanan atas, ya, itu CCTV yang
menyala tepat di depan kelas mereka. 

“Iya, terus?” Tanya Dena santai.

“CCTV itu ngarah langsung ke depan kelas kita, bahkan dia ga ngarah ke koridor ini,
karna Mang Ujang bilang teknisinya salah masang arah CCTV. Itu ngarah ke kelas
kita. Sebagian besar kelas kita ternyata diawasin sama CCTV yang ada di depan kelas
ini.” Jelas Lea, terlihat Dena panik dan hanya bisa terbungkam.

“Gue udah tau semuanya, sumber kekayaan lo, yang lo bangga-banggain semuanya
dari hasil maling kan? Lo sahabat gue Na, gue harus apa?” Ucap Lea lirih tidak habis
pikir dengan kelakuan sahabatnya sendiri.

“Le, gue bisa jelasin.”

“Bu Neneng minta buat manggil mami lo kesini, lo jelasin semuanya di depan mami
lo dan Bu Neneng. Gue udah gak bisa berkata-kata. Gue gak akan ngomong apa-apa
ke anak sekelas, lo yang jelasin sendiri dan minta maaf ke mereka. Lo ngecewain
semua orang, Dena.” Ucap Lea kecewa tatapannya nanar kepasa Dena.

Ketakutan Dena selama ini akhirnya terjadi, ia terlanjur tertangkap basah. Terlebih
oleh sahabatnya sendiri. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, sesaat semua
orang mengetahui kebenarannya.

Kaki Dena lemas, iya tidak sanggup menopang tubuhnya lagi. Ia terjatuh,
pandangannya kabur, tangannya seketika bergetar. 

“Lo gak bisa bersyukur sama apa yang lo punya aja ya? Lo beneran tajir kan, Na?
Kenapa lo mesti maling? Dan, barang gak penting? Kenapa lo maling uang sampe
tempat minum segala?” Tanya Lea bertubi-tubi tanpa ampun namun Dena hanya bisa
terdiam menangis.

Dena bangun dari duduknya kemudian ia berlari ke toilet menangis sampai jam pulang
sekolah, hingga sekolah hampir sepi.
“Na, mami lo udah sampe sekolah. Bu Neneng  yang kabarin ke beliau. Lo dimana? 
ditunggu di ruang BK ya.”

Dena membaca pesan singkat yang dikirim oleh Lea. 

Jantungnya tidak berhenti berdetak kencang, ia bingung. Pikirannya kacau, kalut, tak
karuan. Ia teringat kembali kejadian lampau yang menimpanya persis seperti ini, 2
tahun lalu sebelum ia pindah ke SMA Telaga. 

“KENAPA HARUS KETAUAN LAGI SIH?!?!” Teriak Dena kemudian disambar


dengan ayunan kencang kakinya, ia menendang ember toilet hingga pecah. Menonjok
tembok kamar mandi hingga tangannya bercucuran darah. Bajunya basah tak karuan
karna semburan air dari dalam ember yang pecah tadi. Ia menyalakan keran air agar
tangisannya tak terdengar siapapun.

“DENA?!?!!!!” Teriak Lea, mendobrak pintu kamar mandi yang Dena kunci berjam-
jam.

“Le, gue gak bisa. Gue malu banget, mami gue bisa bunuh gue kalo gini caranya.”
Ucap Dena dengan tubuhnya yang bergetar menggigil.

“Gue temenin lo ngomong. Udah, Na, gue tau semuanya sekarang. Lo aman sama gue,
tenang ya?” Ucap Lea meyakinkan lalu memeluk Dena sekejap sampai akhirnya Lea
mengalingkan jaket miliknya ke tubuh Dena berharap memberi kehangatan walau
sedikit, kemudian pergi bersama menuju ruang BK.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“PLAKKKK-PLAAAAKKKK” 

Terdengar suara tamparan keras ke wajah Dena yang dilayangkan oleh Ibunya Dena
sendiri.

Dena tidak berkutik sedikit pun, ia tetap tegap berdiri dengan baju kuyupnya.

“Bu, saya udah gak tau lagi. Kalo mau DO, silahkan DO. Dia sudah 3 kali pindah
sekolah SMA tetap gak mau berubah. Dasar anak gila!” Ucap Ibu Dena berteriak
kemudian ingin menamparnya kembali namun ditahan oleh Bu Neneng dan Lea.

“Ibu sudah, Bu. Tenang dulu..”

“Tante udah tante.. kasian Dena..”

Akhirnya Bu Neneng memberikan waktu untuk Bu Dena meredakan emosinya hingga


akhirnya dapat menceritakan apa yang terjadi pada Dena.
“Dena mengidap kleptomania sejak ia kelas 5 SD, bu. Awalnya memang hanya barang
kecil, seperti jepitan, iseng aja dia ambil. Ngumpetin barang teman-temannya. Lama-
lama menurutnya hal tersebut kemudian menjadi seru. Dari yang dia ambil tergolong
bukan barang yang berharga, sampai uang ratusan ribu, perhiasan, dll. Dia memang
dia suka mencuri barang, merasa tertantang, tanpa melihat nilai materilnya. Kemudian
ia kumpulkan di suatu tempat, bahkan setelahnya menumpul begitu saja dan jadi
sampah. Saya mampu bu, memberikan apa yang dia mau. Cuma karna trauma masa
kecilnya, yang membuat ia seperti ini,” Jelas Ibu Dena tak kuat menahan tangisnya,
hanya kecewa yang dirasa saat ini.

“Tapi, Dena sadar bahwa yang Dena lakukan tidak baik, nak?” Tanya Bu Neneng
kepada Dena.

“Sadar betul, bu. Setelahnya saya merasa bersalah, ingin mengembalikan tapi rasa
takut saya lebih besar. Saya takut dijauhi, saya menyesal. Saya ingin berhenti bu, saya
capek terus-terusan seperti ini. Saya gak kuat menahan keinginan untuk mencuri
barang.” Jawab Dena sambil menangis.

Lea masih tetap duduk di samping Dena, menggenggam tangan kiri Dena mencoba
untuk menguatkannya.

“Saya usul untuk dibawa ke psikiater, ya, bu? untuk menjalankan terapi. Insha Allah,
Dena bisa kembali seperti dahulu kala. Saya tidak akan DO, tapi akan saya awasi
selama Dena berada di lingkungan sekolah, dibantu dengan Lea juga tentunya.
Bagaimana?” Usul Bu Neneng yang dijawab dengan anggukan kencang oleh Ibu
Dena.

“Terima kasih, bu. Saya akan berusaha untuk berubah. Tolong bantu saya..” Ucap
Dena penuh harap kepada Bu Neneng.

“Saya punya permintaan terakhir, kamu harus jujur kepada teman sekelas kamu ya
dan minta maaf juga sama mereka, oke?” Pinta Bu Neneng.

Dena hanya menunduk lemas mendengar ucapan Bu Neneng, ia takut. Terlebih


dengan kelakuan ia selama ini yang bertindak semaunya, sombong, angkuh. Andai ia
bisa memutar kembali waktu, tidak akan ia melakukan semua itu kepada teman-
temannya.

“Gak usah takut, Na. Gue bantu yaa.. besok kita ngomong di depan kelas.” Ucap Lea
kemudian disambut pelukkan hangat oleh Dena.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cuaca cukup cerah pagi itu, semua terlihat sangat bahagia. Tapi tidak dengan Dena,
wajahnya pucat, rambutnya berantakan, tidak seperti biasanya.

“Ih kenape lo jelek banget? Kok sekolah ga dandan sih? Tumben” Ledek Julia sambil
terkikik geli.

“Apaan sih, Jul. Tetep cantik kok, sini gue pakein alis, blush on, sama liptint, Na, biar
ga pucet. Mau pake bedak sekalian ga?” Tawar Lea kepada Dena sambil merapihkan
rambut Dena kemudian dikuncir rapih olehnya. Dena hanya tersenyum tipis, “Makasih
ya, Le” Ucap Dena.

“Siap ga? Sekarang ya?” Tanpa basa-basi Lea langsung menarik tangan Dena ke
depan kelas untuk melaksanakan janjinya kepada Bu Neneng kemarin. Ya, meminta
maaf di hadapan teman sekelasnya.

“Cepetan ngomong.” Ucap Lea sambil menyenggol bahu Dena dengan bahunya.

“Ehm.. Guys, sebelumnya gue mau minta maaf karna gue udah ngecewain kalian dan
ngelakuin sesuatu diluar ekspekta-“ 

Permintaan maaf Dena terhenti karna seketika teman-teman sekelas Dena maju
menghampiri Dena dan memeluknya erat secara bersamaan.

“Peluk Denaaa” Ucap teman sekelasnya.

“Gapapa, cantik. I know it’s hard”

“Pasti susah buat kamu ngelewatinnya. Kamu hanya perlu diterima, gak perlu cacian
atau makian”

“Sekarang semuanya sayang sama Dena yaa..”

“Sekarang lo pacar gue, Na”

“DENA KATANYA GERI MAU DICURI NA HATINYA” Terdengar celetukan dari


salah satu murid laki-laki.

“HUSHHHH” lalu hanya dibalas tawa kecil oleh Dena dan sekelas ikut tertawa.

Dena terharu dan menangis hebat saat itu. Tangisan sedih dan khawatirnya sudah
berubah menjadi tangis bahagia. Ternyata Lea sudah menjelaskan terlebih dahulu
untuk memberi pengertian kepada teman sekelasnya, memastilan bahwa Dena tidak
akan mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya.

“Kalian baik bangett” Ucap Dena.


“Lo jangan kayak gini deh, Na. Aneh banget, ayo cepet bully Pepeng, gue gak suka,
Na lo tidak berdaya kek gini” Ucap Julia sambil menunjuk-nunjuk Pepeng. Ya,
Pepeng adalah bulan-bulanan mereka terutama Dena untuk dijadikan bahan candaan.

“Peng, kayak biasa, Es Jeruk Mbok Ipeh, bakwan 2, nasi ayam 1. Duitnya 50rb
kembalinya ambil aja” Ucap Dena meragakan tingkah laku sehari-harinya kepada
Pepeng, disambut tawa seluruh murid di kelas tersebut.

Seketika Dena tersadar, bahwa ia hanya ingin diterima. Selama ini ia tidak pernah
mendapatkan validasi atas segala perasaan di dalam dirinya dari orang yang ia
percayai. 

Dena tersenyum hangat, sangat senang. Hari itu diluar ekspektasinya. Ia berjanji untuk
rajin mengikuti terapinya hingga tuntas, agar tidak mengecewakan teman-teman dan
orang tuanya untuk kesekian kalinya. Berharap bahwa ini kejadian terakhir dan tak
akan pernah terulang lagi. Belajar yang rajin dan menyelesaikan tahun terakhirnya di
SMA plus mendapatkan nilai yang baik saat kelulusan nanti. Begitu pintanya.

Anda mungkin juga menyukai