Anda di halaman 1dari 6

Indahnya Masa Kecil

"Prokk... Prokk... Prok..."

Itu suara tepuk tangan anak-anak. Aura kebahagiaan menghiasi wajah mereka. Dengan
menyambut burung-burung berterbangan dari pohon, bermain sepak bola beregu, bermain gobak
sodor, loncat tali, petak umpet, sampai kejar-kejaran, dan masih banyak yang lainnya. Mereka juga tak
jarang berteriak "Pak, minta uang!" kepada pesawat yang terbang melintasi birunya langit.

Konyol memang, namun tak dapat dipungkiri, mereka benar-benar bahagia menikmati masa
mereka. Saking bahagianya, sampai-sampai mereka tertidur nyaman di dalam rumah kardus lantaran
penat setelah bermain bersama dan bercanda tawa. Rumah kardus adalah rumah yang mereka susun
dengan bergotong-royong bersama teman seusia mereka. Jika orang-orang biasanya membuat rumah-
rumahan dengan pohon atau yang biasa disebut rumah pohon, berbeda dengan mereka. Mereka lebih
suka menggunakan kardus ataupun karung beras yang tak terpakai, alias bekas.

"Aaa... Hiks... Hiks... Hiks...," teriak anak perempuan cantik menangis sesenggukan.

"Adel, maafin Kelvin ya," ucap seorang anak laki-laki seumuran dengannya.

"Hiks.. Hiks.. Hiks..," tak ada ucapan, hanya suara tangisan.

"Adel, maafin Kelvin ya," ucapnya anak laki-laki itu sekali lagi sambil menyodorkan tangannya
kepada Adel, "Maaf, Kelvin nggak sengaja bikin Adel jatuh," lanjutnya sambil menggembungkan kedua
pipinya.

"Hiks.. Hiks.. Hiks..," masih tak ada ucapan, hanya suara tangisan.

"Kelvin janji, nggak akan bikin Adel jatuh lagi," katanya menyakinkan Adel.

"Janji ya?" pintanya dengan mata berbinar, sambil menyodorkan jari kelingkingnya kepada
Kelvin.

"Iya. Janji," kata Kelvin sambil membalas sodoran jari kelingking Adel.

Mereka kemudian berpegangan tangan dengan wajah berseri-seri, padahal baru beberapa menit
yang lalu rinai-rinai membasahi pipi Adel. Namun, seolah-olah rinai-rinai itu tak pernah membasahi
pipinya. Kini, Adel dan Kelvin melangkah kembali melanjutkan permainannya yang sempat tertunda. Tak
butuh waktu lama untuk mereka kembali ceria. Tak perlu ada kata "membenci" setelah terluka. Ah,
sungguh indah masa kecil mereka.
Sekitar 30 menit kemudian, Adel berlari ke tepi halaman tempatnya bermain, sambil tangan
kanannya menarik Kelvin untuk terus mengikutinya. Melangkah meninggalkan teman-teman yang masih
asik bercanda gurau.

"Kelvin... Kelvin...," panggilnya bersemangat. "Lihat itu!" kata Adel sambil menunjuk kearah
matahari yang akan terbenam. "Bagus ya. Aku suka," katanya sambil menunjukkan senyum manisnya di
akhir kata.

"Iya. Kamu tahu nggak, itu namanya apa?" ucap Kelvin.

"Matahari tebenam?" jawab Adel dengan mata mengarah ke arah Kelvin.

Kelvin mengangguk, tapi kemudian menggeleng, "Iya sih, tapi lebih tepatnya SENJA"

Adel mengangguk, ia baru mengetahui nama lain untuk matahari tenggelam. Senja, nama yang
bagus, sebagus sinarnya pada sore hari.

"Senjanya sudah mulai menghilang ya, Del?" dengan nada cempreng, Kelvin melanjutkan
ucapannya, "Pulang, yuk. Nanti bunda nyariin."

Adel mengangguk menerima ajakan Kelvin untuk pulang. Teman-temannya juga sepertinya
sudah pulang karena di sini hanya ada dirinya dan Kelvin. Sepertinya Adel terlalu menikmati indahnya
senja sore ini, sampai-sampai tak menyadari bahwa teman-temannya telah menghilang bagai ditelan
bumi.

***

"Assalamu'alaikum, Bun. Adel pulang...," Teriaknya dari arah pintu, dan langsung berlari
memeluk sang bunda.

"Wa'alaikum salam, sayangnya bunda," ucap sang ibunda seraya membalas pelukan anak
tersayangnya.

"Bunda tahu nggak, tadi Adel jatuh gara-gara Kelvin mendorong Adel. Katanya Kelvin nggak
sengaja. Awalnya Adel nggak percaya sama Kelvin, Bunda. Sampai-sampai Adel nggak mau maafin Kelvin.
Tapi setelah Kelvin janji nggak akan bikin Adel jatuh lagi, baru deh Adel maafin Kelvin, Adel baik banget
kan bun. Sudah mau maafin Kelvin. Yah walaupun terpaksa sih bun, karena Allah saja maha pemaaf
masa' adel enggak. Hehe." Cerita panjang kali lebar kali tinggi, dan di akhiri cengengesan bukan pertama
kali cerita yang diceritakan, entah sudah berapa kali sang ibunda tersenyum mendengar cerita keluh
kesah sang anak tersayang.

"Ya sudah, sekarang Adel ambil wudhu gih. Pakai mukena dan pergi ke langgar, sebentar lagi
adzan," kata sang ibunda seraya mengusap rambut Adel dengan penuh kasih sayang, tak lupa pula
bibirnya ikut tertarik sedikit ke atas. Langgar adalah tempat untuk beribadah umat islam, yang biasanya
disebut musholla. Di daerah kami, tempat ini bukan hanya digunakan untuk beribadah saja, namun juga
digunakan sebagai tempat mengaji TPQ (Taman Pendidikan Qur'an).

Pada pagi dan sore hari, tempat ini, sebut saja langgar, penuh dengan suara lantunan ayat suci
Al-qur'an yang dilakukan oleh anak-anak dan para remaja, ditemani ustadz dan ustadzah pada masing-
masing tingkatan.

Sore hari(ba'da ashar) adalah waktu dimana anak-anak mengaji, bukan al-qur'an, lebih tepatnya
jilid, yang terdiri dari jilid satu sampai enam. Sedangkan pada pagi hari (ba'da shubuh) waktunya para
remaja mengaji al-qur'an.

Selain sebagai tempat TPQ, di daerah kami langgar juga digunakan sebagai tempat dziba'an
untuk mencari syafa'at dari baginda Rasulullah, dan juga tempat tahlilan, untuk mendo'akan kakek,
nenek, dan saudara-saudara yang telah meninggal dunia.

Jum'at wage, di hari inilah sholat maghrib, di langgar tempat kami di penuhi manusia-manusia
yang ingin berserah diri kepada Allah. Di hari inilah langgar akan menjadi semakin sempit lantaran terlalu
banyak manusia yang mengingat kepada tuhannya. Baik tua, muda, remaja, anak-anak, lelaki, wanita,
semua tidak akan ketinggalan untuk datang ke tempat ini, pada hari ini saat sholat maghrib tiba. Bukan
karena suatu alasan apapun, melainkan mereka benar-benar ingin berserah diri kepada Tuhannya, dan
juga mereka akan mendapatkan bonus secara langsung setelah sholat maghrib dan mengikuti tahlilan,
mereka akan mendapatkan makanan yang ada, bukan ada dengan sendirinya. Makanan tersebut di bawa
sebagian orang untuk mengirim do'a kepada orang telah meninggal. Setelah selesai di do'akan makanan
tersebut akan diambil lagi dan dimakan, bukan dibuang ataupun dibuat sesajen.

Pada hari ini saat sholat maghrib, entah apakah orang benar-benar berniat berserah diri kepada
Tuhan-nya ataupun hanya berniat agar mendapatkan bunus berupa makanan, Allahua'lam. Hanya Allah
yang tahu

Pada jum'at wage, langgar menjadi sempit lantaran di penuhi manusia yang ingin berserah diri,
maka terdapat misteri kenapa selain jum'at wage, langgar menjadi longgar, lantaran manusianya
menghilang bagai ditelan bumi, alias sepi?

"Siap komandan," Adel berdiri sambil hormat kepada sang ibunda. Lalu dia berjalan dan
mengambil air wudhu.

***

Masa kecil, canda tawa menyelimuti, suka duka silih berganti. Bahagia selalu menghampiri, lalu
kenapa saat ini hanya dukalah yang silih datang, tanpa berganti dengan kebahagiaan?
"Ujian skripsi kapan selesai ya Allah, aku ingin pulang" keluh Adel terhadap lembaran-
lembaran yang berada dihadapannya dengan laptop menyala.

Di saat seperti ini, seketika Adel ingin berada dalam pelukan sang ibunda, bercerita
panjang kali lebar kali tinggi membentuk sebuah rumus matematika yang dapat memecahkan
kepala. Namu apalah daya, jarak telah menjadi penghalang untuk bercerita.

Kehidupan sekarang pun telah berbeda, bahkan sangat berbeda. Jika dulu apa-apa sang
ibunda, maka kini semuanya bukan lagi sang ibunda, diri sendirilah yang harus terjun sendiri
mengambil pekerjaan yang ada. Contoh paling sederhana, jika dulu yang memasak sang ibunda,
dan jika malas makan sang ibunda akan dengan senang hati menyuapi makanan sampai
makanan itu tak tersisa, maka kehidupan itu jauh berbeda dengan yang sekarang. Makan tak
makan terserah anda, jika makan pun harus bersusah-susah dahulu, maksudnya harus memasak
makanan dulu, jika tak ingin memasak bisa beli di warung yang ada, namun sebagai anak kost
yang tinggal di kota, jauh dari desa, dan jauh juga dari pengawasan orang tua, maka opsi kedua
hanyalah opsi jika keadaan sangat darurat saja.

Makan tak makan terserah anda. Sebagai anak kost sesibuk apapun harus menyiapkan
waktu untuk sekedar mengganjal perut, Tak ada kata malas kalau tak ingin menyusahkan diri
sendiri pada akhirnya.

***

"Alhamdulillah skripsi sudah selesai direvisi, tinggal nunggu wisuda lalu pulang. Empat
tahun jauh dari kampung halaman membuat rindu ini selalu datang," kata Adel sambil
mengusap kedua tangan.

Rindu, kata yang paling tepat menggambarkan perasaan saat ini. Rindu akan kampung
halaman, rindu menikmati senja di tepi laut, rindu permainan masa kecil. Meskipun sudah tak
dapat mengulang kembali permainan masa kecil, setidaknya sudah berada di tempat dimana
masa kecil itu berada, bisa mengenal apa yang telah berlalu. Karena sejatinya yang telah berlalu
dijadikan sebuah kenangan, bukan angan-angan.

Tahlilan, dziba'an pun menjadi hal yang di rindukan. Bukan karena di kota tidak ada, di
kota memang ada, namun rasanya jauh berbeda. Di kota pun jarang mengikuti kegiatan
tersebut, alasanya karena sudah terlalu banyak kegiatan di kampus, apalagi anak semester tua,
mereka sibuk mengurus kertas-kertas yang penuh dengan tinta merah.

Juga karena faktor lingkungan, bukan karena disana lingkungannya kotor, yang dimaksud
faktor lingkungan di sini adalah gaya hidup, bukan hidupnya bergaya namun tingkah laku sehari-
hari masyarakat yang menjadikan masyarakat lain mengikutinya. Contoh, di sana lebih sering
berbelanja baju ke mall, pergi ke taman, dan lain sebagainya. Sedangkan di desa (kampung
halaman) jangankan beli baju, diajak ke pasar saja tidak mau karena becek dan berdesak-
desakan. Maklum, di kampung tidak ada mall.

***

"Bunda... Adel pulang... " Adel berlari setelah turun dari mobil menghampiri sang
ibunda, sambil membawa ijasah kelulusan, dan topi wisuda, juga jas wisuda yang masih
menempel di badannya.

"Bunda, Alhamdulillah usaha Adel empat tahun jauh dari bunda nggak sia-sia, Adel
medapat lulusan terbaik bunda," cerianya sambil berlompat-lompat seperti anak kecil, di akhiri
dengan pelukan dari sang ibunda.

Bahagia, kata inilah yang cocok untuk menggambarkan keadaan saat ini. Bahagia, bukan
karena banyaknya harta benda, melainkan karena dapat berkumpul dengan para keluarga,
terlebih-lebih karena bisa memberikan sesuatu yang berharga.

"Adel selamat, bisa mendapatkan lulusan yang terbaik di kampus" ucap seseorang
dihadapan Adel sambil bersalaman.

"Iya, makasih Kelvin". Seseorang tersebut adalah Kelvin, teman masa kecilnya sahabat
masa kecilnya, teman segalanya, sahabat segalanya.

"Ayo del kesana lihat senja" Kelvin dan Adel melangkah meninggalkan perantara rumah.

"Senja seperti ini, mengingatkan masa kecil kita dulu ya Kelv, dulu kita sering main
bareng di sana," sambil menunjukkan halaman kecil tempat mereka bermain "kejar-kejaran,
ngelihat senja bareng. Aku rindu masa kecil dulu Kelv."

"Iya Del, aku juga rindu masa kecil dulu, namun waktu sudah berubah semua sudah
berlalu, tak ada yang perlu disesali. Semua tinggalah kenangan, tinggal bagaimana kita
menyikapi keadaan."

"Iya Kelv, makasih nasehatnya,"


Dear masa kecil.

Tak ada rindu yang paling ku rindu. Tak ada kenangan yang tak dapat ku lupakan, selain kisah
masa kecilku dulu. Canda tawa, selalu menyelimuti. Suka duka, tak pernah terlewati.
Kebahagiaan selalu menghampiri.

Daer masa kecil.

Kamu adalah masa yang paling aku rindukan di antara masa-masa yang pernah aku lalui. Masa
yang paling banyak menyimpan kenangan di antara masa-masa yang lain. Kenangan
menyenangkan, menyakitkan, semua berada di sini.

Dear masa kecil.

Menangis terharu-haru, menangis sekencang-kencangnya, tertawa terbahak-bahak, tertawa


sekeras-kerasnya. Bukan suatu hal yang baru lagi, itu adalah ungkapan melepas segala perasaan
kealam tak perlu malu nada sumbang, atau bukan.

Tamat

Dengok, 07 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai