Anda di halaman 1dari 3

IX.

Selama seminggu ini Vina tak berniat untuk berbicara kepada siapa pun kecuali Rena. Setelah kejadian
Ardi yang mengungkit masalahnya dengan Jazze, yang dipedulikannya hanya materi, materi, dan materi.
Rena pun susah payah untukl menyuruhnya makan dan istirahat yang cukup. Hari itu membuat mood-nya
benar-benar hilang dan tak kunjung kembali.

Tangannya mencoret-coret beberapa kertas, mencoba mengerjakan beberapa soal terakhir. Mungkin Vina
sedikit bingung karena ia hanya memutar pensilnya dan menatap kertas dihadapannya dengan kosong.
Jam terus bergerak, membuat Vina mau tidak mau mengerjakan soal yang menurutnya sulit itu.

Di sudut yang berbeda, Ardi tengah duduk mematung dengan pandangan yang tidak lepas dari seorang
cewek. Ardi memang telah menyelesaikan pekerjaanny sekitar 15 menit yang lalu dan pekerjaannya
sekarang adalah memperhatikan Vina dengan raut wajah serius

“Waktu habis, silahkan mengumpulkan lembar jawaban di meja depan,” ujar Bu Lati, guru Sosiologi
yang paling garang. Menurut Jazze begitu, karena Jazze pernah dihukum habis-habisan, pada akhirnya
Jazze menceritakan kejadian tersebut pada Ardi dan Elga. Tentu saja mereka tertawa tak ada ujung jika
Jazze tidak memarahinya.

Ardi maju dengan lembar jawabannya terlebih dahulu, teman-teman yang lainnya masih berkutat dengan
soal-soal yang sebenarnya membuat otak lelah. “Boleh pulang nih, Bu?” tanya Ardi ketika tepat
dihadapan Bu Lati.

Bu Lati menatapnya sinis. “Belum boleh pulang sampai semuanya selesai,” ucapnya tegas. Dan satu lagi,
Bu Lati benar-benar membenci anak IPA dan selalu membandingkannya dengan anak IPS yang
menurutnya lebih istimewa.

Dengan hati yang kesal Ardi kembali ke tempat duduknya. Tapi ia mengambil sisi baiknya dengan
memperhatikan Vina yang sedang bingung. Ardi menopang dagunya di atas meja dan menghadap ke
sebrang, dilihatnya rambut Vina yang berwarna merah masih tertata rapi.

Vina menyelesaikan nomor terakhirnya dengan sempurna. Ia bangkit dari duduknya, mencoba untuk
meregangkan pinggangnya yang sedikit pegal. Dari manik matanya ia melihat sesuatu, Ardi tengah
menatapnya. Entah sejak kapan cowok itu memperhatikannya, itu membuat perasaan kesal kembali
menyelimutinya.

Tanpa menghiraukan Ardi, Vina berjalan ke depan untuk mengumpulkan kertas ujiannya. “Boleh saya ke
toilet, Bu?”

Guru menyebalkan itu tampak berpikir. “Asalkan kamu jangan pulang duluan,” jawabnya dengan nada
seperti ancaman.

Vina melewati meja Rena yang kebetulan dekat dengan pintu. “Buruan keluar, gue tunggu di kantin.”

----
Dengan udara sejuk yang menerpa wajahnya, Vina tersenyum memperhatikan awan yang bergerak. Saat
ini seperti telah lepas dari tanggung jawab yang besar karena Kimia adalah ujian terakhir yang berarti
setelah ini ada seminggu libur untuk melepaskan penat yang selalu menghantuinya.

Seseorang duduk tepat disampingnya. Tapi bukan Rena seperti yang ia harapkan, melainkan Ardi yang
tengah tersenyum manis ke arahnya lalu ikut memandangi langit yang berwarna putih. Vina tidak
mengerti kenapa sulit untuk marah pada cowok disebelahnya itu.

“Maaf ya, gue gak tau masalah lo waktu itu,” ucap Ardi pelan. Ia tak ingin Vina marah lagi padanya.

Vina tersenyum tulus pada Ardi. Cewek itu tidak mau memusingkan dirinya hanya karena hal sepele. “Lo
cuma pengen tau, dan gak ada salahnya kalo lo mau tau. Tapi kayaknya lo udah tau sekarang,” tebak
Vina yang dihadiahi cengiran Ardi.

Ardi tersenyum manis dengan wajahnya yang menatap langit, lagi. “Rambut lo di warnain ya?” wajahnya
sekarang menghadap Vina, membuat Vina bingung sendiri.

Alisnya terangkat sebelah, bingung akan mengatakan apa. “Iya ... gue bosen soalnya. Emang kenapa?”

Cowok itu menggeleng lalu menatap langit lagi. “Gue suka rambut coklat lo, Mave. Lain kali gak perlu
diwarnain lagi, ya,” saran Ardi dengan nada lembut. Vina hanya tersenyum untuk menanggapinya.

Pertengkaran mereka karena masalah kecil itu telah berakhir. Pasalnya pertengkaran itu membuat batin
keduanya resah tak menentu. Terutama Ardi yang selalu berpikiran bahwa semuanya terjadi karena
pertanyaan sialan itu.

“Vina, Katanya kamu mau ke toilet!” suara cempreng dan tegas itu terdengar dengan jelas. “Kamu juga
Ardi, katanya mau nunggu di koridor depan kelas!” Ah, mereka benar-benar dalam masalah.

----

Jam dinding yang terletak di dekat ruang piket menunjukkan pukul 13:24 yang berarti mereka beradu
argumen dengan guru Sosiologi itu selama 2 jam. Keringat pun bercucuran ketika mereka baru keluar
dari ruang guru.

“Lo mau pulang, Mave?” tanya Ardi dengan wajahnya yang sudah kusam dan sedikit muram. Rasanya
begitu panas di ruangan itu bersama guru paling gak masuk akal.

Tentu saja Vina mengangguk. Cewek itu tidak memiliki jadwal lagi setelah ini. “Emang kenapa?”

Ketika memasuki kelas, disana tidak ada siapa pun kecuali tas mereka berdua yang diletakkan di dekat
pintu. Rena yang seharusnya pulang bersama Vina pun tak terlihat, membuat Vina sedikit cemberut.
Ardi yang menyadari perubahan raut wajah Vina mencoba untuk menghiburnya.

“Jalan yuk,” ajak Ardi dengan senyumnya yang masih tetap manis, semanis ice cream coklat. Tangannya
menyampirkan tas di bahunya sebelah.
Vina melakukan hal yang sama dengan tasnya. Lalu ia tampak berpikir dengan tawar Ardi yang sangat
dibutuhkan karena saat ini ia benar-benar bosan jika harus kembali ke apartemennya yang sepi. Sebuah
senyuman telah terukir di bibirnya, membuat Ardi semakin berharap.

Tapi tiba-tiba senyuman itu hilang. “Paling enggak,” Vina menyalakan keran air di dekatnya, membasahi
tangannya yang kering lalu berjinjit untuk merapikan rambut cowok dihadapannya, “tampilan lo gak
kaya orang habis bangun tidur.”

Di sisi lain Ardi menatap Vina tak percaya. Tapi tergantikan oleh senyum indahnya yang membuat Vina
berlari sepanjang koridor. “Tungguin gue, Mave,” Ardi ikut berlari mengejar Vina yang telah sampai di
depan gerbang.

Sesampainya Ardi di hadapan Vina, napasnya tak teratur. Vina yang melihatnya hanya terkekeh lalu
berjalan ke arah parkiran. “Payah lo, gitu aja kaya abis lari maraton.”

Tidak terima dengan pernyataan Vina yang bisa dibilang mengejek, Ardi kembali berlari mengerjar Vina
yang entah kemana. Ia menemukan cewek itu tengah berdiri di trotoar dengan gayanya seperti mencari
angkutan umum.

“Jadi, lo gak mau jalan sama gue?” tanya Ardi lagi setelah sampai di samping Vina.

Vina mengerucutkan bibirnya kesal, matanya mendelik ke arah Ardi. “Gue tunggu sini,” Vina menunjuk
tempatnya ia berdiri, “dan lo ambil mobil, atau gak jadi!” sahutnya dengan tangan menunjuk arah
parkiran.

Sesegera mungkin Ardi menjalankan mobilnya dan menjemput Vina yang berada di trotoar. Masing
untung Vina tak meninggalkan Ardi yang akan berakibat cowok itu meolongo di pinggir jalan meratapi
Vina yang telah pergi.

Anda mungkin juga menyukai