Anda di halaman 1dari 5

DADU 19 – KUCING EVAN

Evan menggaruk hidungnya yang gatal sambil bersin-bersin. Dia sudah tahu kenapa hal
ini terjadi padanya.
“Gayan, bersihkan badanmu itu!” Serunya sambil menggaruk hidungnya yang gatal sejak
kedatangan Gayan.
“Sudah ya.” Ujar Gayan tak terima.
Evan kembali bersin-bersin dan menggaruk hidungnya yang tak kunjung membaik,
“bagaimana bisa kamu tahan dengan hal itu,… Hachim! Aku sungguh tidak mengerti.” Tukasnya
sebal.
“Ya akukan tidak alergi sepertimu.” Cibir Gayan sambil berdiri menjauhi Evan.
Bagaimanapun, Gayan masih berperi perkucingan, dia tidak mau kucing-kucingnya dihina lagi
oleh Evan.
“Lagipula, bagaiman bisa kamu tidak takut dengan kucing.” Timpal Bonan bergidik
ngeri.
“Bagaimana aku bisa takut, kucing itu makhluk yang lucu dan menggemaskan tahu!”
Bela Gayan terhadap kesukaannya.
“Benar tidak Den?” Lanjutnya mencari pendukung. Denan yang sedang serius bermain
caturpun mengangguk setuju.
“Setuju!” Chandra yang tidak ditanyaipun ikut menanggapi. Padahal dari tadi dia sibuk
makan es krim.
“Lagian lu aneh Bon, guru Biologi, demen banget ama biologi, tapi benci kocheng. Salah
apa kocheng.” Sahut Andra padahal tidak ditanya dan sedari tadi diam saja karena sibuk bermain
game di ponselnya..
“Menyukai biologi tidak serta merta menikahi segala sesuatu yang ada di dalamnya,
kan.” Elak Bonan membela diri.
“Ya gak lah! Kalau lu suka sama sesuatu, harus dinikahin!” Seru Andra kegirangan,
kayanya dia sambil bayangin nikah sama gebetan-gebetan yang dia suka dan punya istri banyak.
“Terus, kalo lu suka sama PC gaming, bakal lu nikahin gitu? Kan engga!” Celetuk
Chandra disela-sela makan coklat. Tadi es krimnya udah habis.
“Ya kalo manusia, gue nikahin lah!” Seru Andra kegirangan.
“HUACHIMMMM!” Evan bersin kencang sekali, sampai-sampai ginjalnya Andra
pindah ke lutut.
“Allhamdulillah.” Sahut Denan spontan, dia lupa kalau Evan Protestan.
“Busetdah! Kalem dong kaget nih, anak gue sampe mau lahir.” Seru Chandra ga woles
“Lu bisa alergi bulu kucing kenapa dah Van?” Tanya Fandra pada Evan yang kini
menutup hidungnya dengan beberapa lembar tissue.
“Ga tahu dah, dari masih kecil. Tanya aja sama Denan.” Ujar Evan sedikit lemas karena
hidungnya kini mengeluarkan ingus. Sungguh menyedihkan. Dia sampai tidak bisa mengangkat
kepalanya dari sofa.
“Mungkin keturunan.” Celetuk Denan yang masih serius bermain catur.
Andra tercenung, lalu nyahut, “Bukannya alergi tuh lama kelaman bakal ilang ya.”
“Engga lah. Sampe mati juga bakal alergi.” Jawab Evan sedikit nge-gas.
“Memangnya begitu Bon?” Tanya Fandra memastikan, Bonan hanya mengangguk sambil
membalik halaman pada buku yang sedang ia baca.
“Padahal Senja dan Pagi suka sekali kucing.” Ujar Gayan menatap Evan kasihan.
“Tahu dari mana kamu?” Tanya Evan dengan nada yang sedikit kaget.
“Waktu itu, pas kamu menitipkan mereka di rumahku, mereka suka sekali sama kucing-
kucingku.” Jawab Gayan dengan bangga.
“Syukurlah, mereka ga ngikutin jejak sesat bokapnya.” Sahut Chandra sambil terkekeh.
Evan mendengus sebal.
“Sebenarnya, apa yang membuat kucing terlihat lucu?” Tanya Bonan penasaran.
“Dah lah, mau dijelasin berapa kalipun kamu engga akan paham, ya ga Den?” Sergah
Gayan mencari pendukung. Denan hanya mengangguk mantap sebab sudah puas memenangkan
permainan catur –yang ia mainkan sendiri,
“Jadi kapan kita mulai latihan?” Tanya Fandra pada teman-temannya.
---
Siang Senin yang terik, Andra baru saja selesai dari kelasnya dan langsung melesat
menuju ruangan Gayan. Baru saja menginjakkan kaki di ruangan ber-AC 18 derajat itu, ia
mengedar pandang sebelum akhirnya tercenung, dan bertanya “Evan kemana dah?”
“Sakit.” Jawab Bonan datar tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sejak dari
tadi dia baca. Kini dia sedang membaca buku sejarah kerajaan Majapahit melawan jendral
Daendels, dan konspirasi bambu runcing di dalamnya.
“Bisa sakit juga ya tu anak?” Sahut Chandra yang belum lama bergabung disitu juga –dia
datang tak lama sebelum Andra datang.
“Bisa lah.” Timpal Fandra.
“Sakit apaan?” Tanya Andra penasaran setelah meneguk air mineral yang ada di meja.
“Alergi.” Jawab Denan dengan nada sedikit gusar, dia mengkhawatirkan Evan.
“Alergi apaan?” Sahut Chandra.
“Jangan bilang gara-gara kemaren?” Pekik Andra tak percaya, Bonan mengangguk
mengiyakan –lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya.
“Alergi kocheng?!” Lanjutnya dengan nada dramatis. Bonan hanya menatapnya sekilas
tanpa menjawab apa-apa. Mungkin sebenarnya Bonan ingin bilang, “ga usah lebay lu!” Eh, ralat.
Bonan tidak akan mungkin pernah lepas dari Bahasa Indonesia baku yang baik dan benar, jadi
dia mungkin bakal bilang “Tidak usah berlebihan, Andra!”
“Iya, gara-gara kemarin pas kita nongki di Warmindo dia kejatohan kucing itu.” Timpal
Gayan menahan tawa. Chandra, Andra, dan Fandra kompak terbahak mengingat kejadian
kemarin.
“Eh tapi sumpah kemaren gue ngakak banget sih. Bisa gitu ya kochengnya jatoh pas di
kepalanya dia.” Sahut Chandra masih terbahak.
“Iya asli, padahal sebelumnya kita lagi ngomongin soal kocheng juga kan, dan si Evan
bener-bener kaya jijik gitu.” Imbuh Fandra yang juga masih tertawa.
“Terus engga ada angin, engga ada ujan, itu kocheng ga ada dosa tiba-tiba nemplok di
kepalanya Evan! Sumpah ngakak bat!!!” Seru Andra terbahak sambil bertepuk tangan
kegirangan. Gayan yang super receh sampai tidak mampu berkata apa-apa.
“Itu kucing jatoh dari mana sih sebenernya?” Timpal Chandra masih mengingat kejadian
kemarin yang super lucu itu –menurutnya.
“Ya itu jatoh dari genteng dah kayanya. Kan si Evan duduknya kaga pas di bawah
genteng, tapi di bawah pohon.” Imbuh Fandra mendeskripsikan kejadian kemarin. Gayan sampai
tertawa tanpa suara saking sudah terlalu banyak tertawa. Denan yang biasanya tidak akan
menertawakan temannya yang lagi kesusahan pun tak bisa menahan tawa meskipun dia hanya
terkekeh pelan, begitupun Bonan yang akhirnya tertawa kecil.
“Sumpah, besok-besok kalo ketemu itu kucing lagi, kita panggil Evan aja.” Tambah
Andra masih terbahak.
“Kucing Evan!” Seru Chandra semangat.
---
Evan sudah empat hari absen dari sekolah, sampai-sampai ibu kepala sekolah yang super
duper triple cuek pun mencarinya, karena ada beberapa wali murid yang komplain sebab
keabsenannya. Hingga akhirnya, 7 Serdadupun menjenguk Evan di rumahnya.
“Kok Senja dan Pagi udah gede aja ya.” Itulah kalimat pertama yang diucapkan Gayan
ketika melihat puta-putri Evan menyambutnya dari balik pintu.
“Namanya juga tambah umur, kalo kecil terus malah bingung kali ah.” Sahut Andra.
“Silahkan masuk mbak,… Mas,…” Sapa istri Evan mempersilahkan masuk dengan nada
khas Solo-nya.
“Mau minum apa nggih?” Lanjutnya ketika melihat teman-teman suaminya mulai
menduduki sofa di ruang tamu.
“Bebas, mbak.” Jawab Denan dengan nada super halus, tak lupa senyum manis. Istri
Evanpun berpamitan ke belakang untuk menyuruh ART-nya membuatkan minuman.
“Mas Evan di kamar, katanya langsung ke kamar saja.” Ujar istri Evan lembut
mempersilahkan mereka menuju kamar Evan.
“Woi bisa sakit juga lu!” Seru Andra ketika baru memasuki kamar Evan, padahal yang
dijenguk mukanya keliatan BT.
“Ya bisalah.” Sahut Evan sebal.
“Kok bisa jadi parah banget gini, gimana dah Van?” Tanya Fandra penasaran, sedikit iba
melihat kondisi temannya.
“Aku makin benci sama kucing, sumpah.” Ujar Evan masih dengan kedongkolan yang
sama dari beberapa hari lalu.
“Gue kira lu ga bakal sampe kaya gini asli.” Celetuk Chandra yang juga iba melihat
kondisi Evan.
“Bagaimana bisa, Evan?” Imbuh Denan penasaran.
Dengan kedongkolan yang masih menggebu, Evan membuka suara untuk menjelaskan
apa yang sebenarnya membuat dia jadi lelaki lemah selama berhari-hari ini, “Gue kena scabies-“
“HAH? RABIES?!” Pekik Gayan ga woles, Evan rasanya pengen jambak-jambak dia
sekarang juga.
“SCABIES!!!” Evan nge-gas, tapi habis itu meng-aduh kesakitan.
“Scabies apaan?” Tanya Andra, mewakilkan Gayan bertanya pertanyaan yang sama –
kayanya.
“Jadi itu kucing ternyata punya penyakit scabies, dan dia kan kemaren nemplok di
kepalaku, kukunya yang kena scabies itu ngegores muka sama kepalaku meskipun ga ninggalin
bekas luka yang gimana-gimana, TAPI, gara-gara dia punya scabies jadi kulitku ruam merah
semua gini.” Ungkap Evan dengan kecepatan super, soalnya dia belum kuat ngomong panjang-
panjang. Lalu iapun menunjukkan beberapa ruam kemerahan yang ada di bagian dahi, pipi kanan
dan kiri, juga dagunya. Sungguh memprihatinkan.
“Emang penyakit scabies tuh apaan?” Tanya Chandra masih penasaran, tapi ia justru
menatap Bonan lurus-lurus.
“Skabies merupakan kondisi yang menyebabkan rasa gatal pada kulit akibat terdapatnya
tungau yang menggali ke dalam kulit. Tungau ini disebut Sarcoptes scabiei.” Ujar Denan
menjelaskan.
“Sumber, Wikipedia.” Lanjutnya. Alih-alih Bonan yang jawab, justru Denan yang buka
suara.
“Maka dari itu, karena adanya tungau tersebut menyebabkan rasa gatal yang hebat pada
area di sekitar galian tersebut. Hasrat untuk menggaruk akan dirasakan semakin meningkat
terutama pada malam hari.” Bonan melanjutkan, akhirnya buka suara juga.
“Terus kok bisa itu kucing kena scabies?” Tanya Gayan penasaran.
“Biasanya kucing jalanan kan tidak ada yang merawat, jadi sangat memungkinkan di
kuku atau kulitnya tumbuh jamur, bakteri, tungau, bahkan virus. Nah, kebetulan kucing yang
waktu itu jatuh di kepala Evan adalah kucing yang tumbuh tungau Sarcoptes scabiei, dan secara
tidak sengaja, tungau itu jatuh ke kulitnya ketika kucing itu hinggap di kepalanya.” Jelas Bonan,
panjang lebar. Kalau kaya gini aja baru ngomong banyak.
“Tapi kok bisa Evan sampai demam, dan berhari-hari ga ilang-ilang gini?” Tanya Fandra
penasaran.
“Sistem imun setiap orang berbeda, dan mungkin karena Evan punya alergi bulu kucing,
belum lagi setelah dihinggapi kucing tersebut, dia tidak berhenti bersin dan menggaruk hidung
juga area wajahnya yang lain, hal itu juga bisa menjadi salah satu faktor penghambat
kesembuhannya. Belum lagi, kemungkinan dia sedang kurang fit, sehingga sampai terjadi infeksi
dan menyebabkan demam.” Terang Bonan, bak sedang memberikan kuliah umum.
“Jadi kapan Evan bisa sembuh?” Tanya Denan ga kalah penasaran, udah berasa acara
talkshow tanya jawab bersama Bonan.
“Iya, kamu dicariin bu kepsek tau, Van.” Timpal Gayan.
“Mungkin beberapa hari lagi. Dari luka yang terlihat hari ini, sepertinya dia masih
memerlukan beberapa hari lagi untuk penyembuhan. Belum lagi, luka itu belum tentu langsung
hilang.” Lanjut Bonan.
“Tapi Van, lu tau ga, kita namain tu kucing tau.” Celetuk Andra tiba-tiba, engga
nyambung dari topik. Emang dasar hobi banget OOT (out of topic).
“Ngapain dinamain coba. Emang dinamain apa?” Tanya Evan.
“Kucing Evan!”
---

Anda mungkin juga menyukai