Anda di halaman 1dari 9

Naskah Drama 1

Skenario: Didalam skrip drama ini pemain berjumlah 6 orang. Drama ini menceritakan
sekelompok pemuda dari keluarga kaya yang tidak mementingkan perasaan orang lain dan
selalu menganggap materi adalah yang terpenting. Berikut adalah alur skenario dari drama
tersebut.

Sinopsis: 1. Tema : Arti Kehidupan


2. Ritme :
a) Eksposisi
Brandon
Tommy
Elsa
Anna
Ivan
Helen
b) Permasalahan
Brandon, Tommy, Anna dan Ivan menyingkirkan Elsa begitu saja semenjak gadis itu menjadi
miskin.
c) Komplikasi
Elsa berencana untuk bunuh diri karena orang tuanya bangkrut dan teman-temannya
meninggalkan dirinya.
d) Catatan 1
Ivan dan Anna menyakiti hati Elsa dengan perkataan mereka.
e) Catatan 2
Helen, kakak Elsa, berbesar hati memaafkan mereka dan itu membuat mereka menyadari
kesalahannya.
f) Kesimpulan
Brandon, Tommy, Anna dan Ivan sadar tentang arti kehidupan karena Helen dan kematian
Elsa.
3. Karakter:

 Brandon (Antagonis)
 Ivan (Antagonis)
 Helen (Prontagonis)
 Tommy (Tritagonis)
 Elsa (Tritagonis)
 Anna (Tritagonis)

4. Latar

1. Tempat : Cafe dan Rumah Sakit


2. Waktu : Siang Hari

Skenario (Dialog)
Brandon : Pesen yang banyak deh! Nanti aku yang bayar. Pokoknya kalian harus makan
sampe kenyang.
Tommy : Baru gajian ya? Kok royal banget sih?
Brandon : Bawel ah! Mau ditraktir nggak nih?
Anna : Ya jelas mau lah! Hari ini kan giliran kamu yang keluar duit.
Tidak lama kemudian Elsa datang menghampiri meja dimana mereka duduk. Ia baru pamit
dari toilet untuk menerima telepon.
Anna : Elsa kenapa? Kok sedih? Pamali loh sabtu-sabtu murung gitu!
Ivan : Iya kenapa sih, Sa? Dompetmu hilang?
Brandon dan Tommy tertawa menimpali lelucon Ivan tesebut.
Elsa : Mamaku barusan telepon. Dia bilang papaku bangkrut. Semua rumah, mobil dan
tabungan di bank ludes. (Terisak pelan) kami harus pindah ke tempat tinggal yang lebih
kumuh. Parahnya lagi semua kebangkrutan ini karena papa terlibat kasus korupsi dan
sekarang dia menjadi buronan polisi (Menangis)
Brandon : HAH? Yang bener?!
Ivan : Berarti kamu anak buronan?!
Anna : Kamu jatuh miskin sekarang, Sa?
Brandon, Ivan, Anna dan Tommy memasang raut muka tegang dan memandang hina kepada
Elsa yang sedang menangis.
Elsa : Aku sudah nggak punya apa-apa sekarang, tapi kalian masih mau kan temenan sama
aku? Kita kan bersahabat sejak lima tahun lalu.
Anna menjauhkan kursinya yang tadinya berada di dekat kursi Elsa. Ia merapat kearah
Brandon yang berada disebelahnya.
Anna : Ya, kamu tahu sendiri lah, Sa kita ini sekumpulan pemuda-pemuda kaya. Jadi, mana
mungkin kamu bisa menuruti gaya hidup kita?
Tommy : Mending kamu pulang dan tengok keadaan orang tuamu, Sa.
Ivan dan Brandon hanya memandang dingin kearah Elsa. Elsa pun menatap mereka dengan
tatapan yang sangat sedih.
Elsa : Kupikir persahabatan kita selama lima tahun ini berarti. Tetapi kita aku jatuh miskin,
kalian menempakku begitu saja!
Brandon : Sudahlah, Sa. Pulanglah. Betul tadi apa kata Tommy. Sudah bagus makananmu
kubayari!
Elsa bangkit berdiri dari kursinya kemudian menatap sedih keempat temannya. Kemudian ia
meninggalkan mereka dan keluar dari cafe.
Ivan : Gila si Elsa, masa kita disuruh anggep dia teman sih. Sementara dia udah melarat. Aku
jadi nggak nafsu makan.
Brandon : Sama nih, ya udah minta bill aja deh!
Tiba-tiba Anna yang sudah hampir sampai ke mobilnya, berlari menghampiri Brandon dan
Ivan.
Anna : Guys! Barusan aku dapat kabar kalo ada seorang gadis yang ciri-cirinya mirip Elsa
hendak lompat dari fly over!
Ivan : Serius?!
Anna : Masa kayak gini bohong? Coba cek handphone kalian!
Brandon dan Ivan mengecek handphone masing-masing dan menerima kabar yang sama dari
pesan broadcast.
Brandon : Yuk, kita langsung ke fly over itu! Kamu bareng kita aja, Anna! Hubungi Tommy,
suruh dia langsung kesana.
Anna, Ivan dan Brandon masuk kedalam mobil. Brandon mengemudikan mobil kearah fly
over tempat dimana Elsa hendak bunuh diri. Tiba-tiba di separuh perjalanan, handphone Ivan
berbunyi dan raut muka Ivan berubah menjadi sangat tegang.
Ivan : Guys…. Kita terlambat. Elsa melompat dari fly over tersebut dan ia tewas.
Brandon langsung menghentikan mobilnya. Anna menangis tersedu-sedu di jok belakang
mobil.
Ivan : Kita langsung ke Rumah Sakit Permata Biru aja, jenazah Elsa dibawa kesana.
Brandon menarik nafas panjang kemudia mengemudikan mobilnya kearah rumah sakit itu.
Sesampainya disana, mereka bertiga berlari dan didepan ruang jenazah sudah ada ibu dan
Helen, kakak Elsa yang duduk membisu.
Anna berlari memeluk Helen.
Anna : Kak, maafkan kami. Ini semua salah kami. Kalau kami kasih support ke Elsa, pasti
jadinya tidak akan begini. Tetapi kami malah meninggalkan Elsa begitu saja saat ia
membutuhkan kami.
Helen membalas pelukan Anna dan mengusap punggung Anna dengan lembut. Helen tidak
dapat menahan air matanya.
Helen : Sudahlah, kami sudah memaafkan kalian. Ini semua sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. Aku Cuma memohon agar kalian terus mendoakan Elsa agar ia tenang disana.
Brandon dan Ivan terkesiap menatap Helen yang tidak marah kepada mereka dan malah
memaafkannya.
Ivan : Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Kak. Kami pasti terus mendoakan Elsa.
Helen : Tidak perlu minta maaf terus menerus, Van. Elsa hanya tidak kuat menerima
kenyataan bahwa kami semua jatuh miskin. Aku sangat mengerti karena sejak kecil ia hidup
dengan bergelimang harta.
Brandon, Ivan dan Anna takjub akan kebesaran hati Helen dan semenjak itu mereka bertekad
untuk lebih menghargai orang lain dan tidak menggunakan uang sebagai tolak ukur.
Naskah Drama 2
Sinopsis: Tema kesehatan memang pantas untuk selalu diangkat, mengingat banyak orang
yang melepaskan dunia dengan mengalami sakit parah. Hal ini tentu memberikan kita
perhatian, sebab dampak ditinggalkan orang terkasih melalui serangan penyakit. Tentunya
memiliki nilai trauma tersendiri bagi orang terdekat yang ditinggalkan.
Tema : Pendidikan
Judul : Kesehatan Sang Ibu
Pemeran :

1. Ibu
2. Fensa
3. Noftavia
4. Dokter

Naskah
Suatu ketika handphone Fensa bergetar di pagi hari, suatu hal yang tidak lumrah sebab nomor
yang etrtera adalah nomor kakanya, Noftavia. Merasakan ada hal yang aneh, di pagi buta
sudah menelfon padahal biasanya cukup mengirimkan pesan singkat. Fensa langsung
mengangkat pada deringan yang pertama.
Fensa:”Halo.. Assalamu’alaikum..”
Noftavia:”Wa’alaikumsalam.. Dek, bisa pulang ke rumah sekarang?”
Fensa:”Ada apa mbak?”
Noftavia:”Pulang bisa pagi ini juga?”
Fensa:”Ada apa dulu, aku harus berangkat kerja. Kalau alasan tidak masuk tidak jelas bisa
dikeluarkan!”
Noftavia:”Ibu dek, ibu masuik rumah sakit. Diabetesnya ternyata belum sembuh total. Pulang
dulu, tengok ibu. Siapa tahu keadaanya bisa lebih baik.”
Seketika tumpah air mata Fensa medengar sang ibu, yang merupakan pecutnya bekerja
dengan giat. Kini terbaring di rumah sakit, ketakutan itu seketika muncul. Namun fensa
berusaha menepis dengan kuat.
Fensa:”Iya, aku pulang sekarang…!”
Telepon ditutup segera, Fensa langsung menymbar tas punggungnya ia masukkan sepasang
baju yang mudah diraih. Membawa barang seperlunya, dan bergegas menuju ke halte bus
terdekat. Sepanjang perjalanan, air mata tak bis adibendung seperti air bah banjir Jakarta
yang turun dari wilayah Bogor. Fensa sudah tidak peduli dengan sekeliling yang terus
mengamati, sebab dalam benaknya hanya ada ibu, ibu, dan ibu. Tidak ada yang lain lagi.
Setelah tiga jam perjalanan yang melelahkan dan panjang, akhirnya Fensa sampai di rumah
sakit di kabupaten kota kelahirannya. Ia bergegas memencet nomor kakaknya, Noftavia
menanyakan ruang rawat sang ibu.
Noftavia:”Di ruang manggis, kamar no 4 ya dek. Disini ada dokter yang masih memeriksa
ibu..”
Fensa:”Iya kak..”
Sampailah Fensa di kamar sang ibu, di samping ranjang ada dokter dan perawat serta
kakanya tersayang. Sementara di ranjang pesakitan, kini terbaring tubuh malaikat
penyemangatnya selama ini. Kaget Fensa melihat keadaan ibunya, namun sang ibu bukannya
terlihat sakit tak berdaya. Justrus eulas senyum tersungging penuh ikhlas dan penawar rasa
khawatir.
Fensa:”Ibu wajahnya kok bisa begini?”
Ibu:”Tidak apa-apa..”
Fensa:”Dok, ibu kok bisa begini kenapa?”
Dokter:”Ada komplikasi yang cukup rumit dari diabetes yang diderita ibu anda.”
Fensa:”Apa itu?”
Dokter:”Ada komplikasi di saluran pencernaan, yakni usus dan lambung. Paling para
komplikasi di ginjal. Sehingga membuat ibu anda sukar membuang sampah dlaam tubuhnya
mbak.”
Noftavia:”Sudah 2 hari kemarin ibu tidak bisa buang air kecil maupun besar, tidak juga bisa
keluar keringat dek..”
Dokter:”cairan yang tidak bisa keluar, baik keringat maupun air seni karen aginjal yang
terganggu. Mengakibatkan kulit ibu anda menggembung berisi cairan. Untuk sementara
mengguankan infus khusus agar bisa kencing dan berkeringat.”
Fensa:”Apakah bisa diatasi dok?”
Dokter:”Untuk sementara bisa dengan infus ini. Namun selebihnya semoga diberikan
kemudahan dari-Nya!”
Noftavia:”Saya masih bingung dok, apa penyebab komplikasi ginjal ini?”
Dokter:”Dari hasil pemeriksaan, ibu saudara sepertinya sering mengkonsumsi minuman
instan. Padahal tidak baik bagi penderita diabetes, penumpukan ini berakibat pada ginjal ibu
anda.”
Terkejut sudah pasti, namun tetap saja hanya bisa tabah dan berusaha menjalani cobaan ini
dengan selalu berhusnuzdon pada-Nya. Sang dokter meninggalkan ruangan, beserta
perawatanya.
Noftavia:”Tadinya ingin rawat jalan saja agar lebih hemat, tapi dokter tidak mengijinkan.
Kondisi ibu tidak stabil dek, obat infus ini mahalnya luar biasa. Ibu juga tidak mau makan
nasi, hanya mau makan buah. Itupun tidak seberapa jumlahnya.”
Tangisan kini berderai makin deras, Fensa tidak kuasa untuk tidak menahannya. Merasa
bersalah, membiarkan ibunya memperburuk kesehatan yang sudah kurang baik sedari dulu
oleh diabetes. Sang ibu memang gemar minum minuman yang manis, apalagi jika minum
minuman instan yang praktis cara membuatnya. Namun nasi sudah menjadi bubur, berharap
ibunya bisa bertahan dan melalui ini semua adalah jalan yang terbaik.
Fensa:”Soal biaya nanti dipikirkan, sekarang biar ibu sehat dulu.”
Noftavia:”Iya dek, tapi mau dapat uang darimana? Seharusnya kita ikutkan ibu asuransi
kesehatan agar tidak tunggang langgang begini.”
Fensa:”Sudah kak, jangan disesali. Kalau sudah rezeki tidak akan kemana, toh ini ibu kita,
ibu yang baik. Dan selalu beramal dengan sesamanya. Pasti kita diberikan jalan.
Noftavia:”Semoga saja”
Siang ini kedua saudara saling menguatkan satu sama lain, saling berjanji saat ibu sudah
sehat mereka akan memperhatikan hal remeh sekalipun. Tanpa terkecuali perihal minuman
yang dianggap sepele.
Ibu:”Kapan sampai sa?”
Fensa:”Barusan bu.. ibu kenapa tidak mau makan? Nanti gak bisa minum obat, kapan
sembuhnya?”
Ibu:”gak apa-apa.”
Fensa:”Ibu selalu saja bilang ‘gak apa-apa’. Yang sakit apa bu? Perutnya sakit kalau makan?”
Pertanyaan ini hanya dijawab dengan gelengan, Fensa semakin sedih. Wajah dan sekujur
tubuh ibunya terlihat penuh keriput. Karen akulit yang tadinya menggembung karena
penumpukan cairan kini tepah kempis dan meinggalkan bekas. Bekas yang sangat
menyakitkan, mencerminkan penderitaan ibunya yang tidak perbah diungkapkan kepada
kedua putrinya.
Setelah seminggu di rumah sakit, akhirnya sang ibu boleh pulang. Namun setelah melakukan
permohonan dengan sangat kepada tim dokter. Sebab keterbatasan biaya, yang membuat
merawat di rumah sakit menjadi amat sangat berat. Keputusan yang diambil sudah bulat, ibu
akan dirawat di rumah oleh Noftavia. Sebab fensa harus ebkerja untuk mencari biaya berobat
sang ibu setiap bulannya. Semakin hari keadaan ibu memang semakin membaik, meskipun
sejak keluar dari rumah sakit. Sang ibu suda tidak pernah lagi berpijak di tanah dengan kedua
kakinya. Kesehatan itu mahal harganya, sakit berat seharusnya tetap dijaga asupan konsumsi
hariannya.
Naskah Drama 3
Suatu ketika disaat keadilan sudah menjadi kata yang punah. Sedang diadakannya ujian
semester. Adi dan Banu duduk sebangku, Sita dan Dini duduk sebangku di depannya,
sedangkan Budi duduk sendiri disamping Banu.
Mata pelajaran yang sedang di ujiankan adalah matematika, semua murid terlihat
kebingungan dan kewalahan melihat soalnya. Dan terjadi lah percakapan antara 5 sekawan,
Adi, Budi, Banu, Sita dan Dini.
Dialog
Banu: “Din, aku minta jawaban soal nomor 5 dan 6!”
Dini: “A dan C”
Sita: “kalau soal nomor 10,11 dan 15 jawabannya apa Ban?
Banu: “10 A, 11 D, nomor 15 aku belum”
Adi: “Huss, jangan kencang-kencang nanti gurunya dengar”
Sita: “soalnya sulit sekali, masih banyak yang belum aku kerjakan”
Mereka berempat saling contek-mencontek seperti pelajar lainnya. Tapi tidak dengan Budi, ia
terlihat rileks dan mengerjakan soal ujian sendiri tanpa mencontek.
Banu: “Bud,kamu sudah selesai?”
Budi: “Belum, tinggal 3 soal lagi”
Banu: “Aku minta jawaban nomor 15 sampai 20 Bud!”
Budi: “Tidak Bisa Ban,”
Banu: “Kenapa? Kita sahabat bud, kita harus kerjasama”
Dini: “Iya Bud, kita harus kerja sama”
Adi: “Iya, kamu kan yang paling pintar disini bud”
Budi: “tapi bukan kerjasama seperti ini teman-teman”
Sita: “Kenapa memang Bud? Hanya 5 soal saja!”
Budi: “Mencontek atau pun memberi contek adalah hal buruk, yang dosa nya sama. Aku
tidak mau mencotek karena dosa, begitu pula member contek ke kalian. Aku minta maaf”
Sita: “Tapi saat ini, sangat mendesak Bud”
Dini: “Iya Bud, bantu kami”
Budi: “tetap tidak bisa”
Adi: “yasudah, biarkan. Urus saja dirimu sendiri Bud, dan kami urus diri kami sendiri.”
(marah dan kesal)
Banu: “biarkan, kita lihat di buku saja”
Banu lalu mengeluarkan buku dari kolong bangkunya secara diam-diam, kemudian melihat
rumus dan jawaban di dalamnya. Lalu Sita menanyakan hasilnya.
Sita: “Bagaimana Ban? Ada tidak?
Banu: “ada, kalian dengar ya. 15 A, 16 D, 17 D, 18 B, 19 A, 20 C”
Karena suara Banu yang agak terdengar keras, Guru pun mendengarnya dan menghampiri
mereka berempat.
Guru: “Kalian ini, mencontek terus. Keluar kalian”
Mereka berempat di hukum di lapangan untuk menghormati tiang bendera.
Banu: “Aku tidak menyangka akan seperti ini”
Dini: “Aku juga tidak menyangka, akan dihukum”
Sita: “Seharusnya kita belajar ya”
Adi: “Iya, Budi benar”
Banu: “Disaat seperti ini, baru kita menyadarinya yah!”
Sita: “Aku menyesal!”
Adi,Dini&Banu: “Aku juga” bersama
Setelah itu Budi keluar dari kelas dan menghampiri mereka. Kemudian Budi ikut berdiri
hormat seperti yang lain.
Dini: “kenapa bud? Kamu di hukum juga?”
Budi: “Tidak, aku ingin menjalani hukuman kalian juga.
Kita sahabat kan? Aku ingin kita bersama”
Sita: “aku berharap ini menjadi pelajaran kita semua”
Dini: “dan tidak kita ulangi lagi”
Adi: “Kita sahabat sejati”
Lalu mereka semua menjalani hukuman dengan penuh senyum dan tawa. Persahabatan akan
mengalahkan segala keburukan.
Naskah Drama 4
Judul : patuh pada orangtua.
Tema : sosial.
Jumlah pemeran : Drama 3 orang.
1. Tomy
2. Lisa
3. Sinta
Sinopsis drama
Tomy sedang ngobrol dengan Lisa disebuah taman yang tidak jauh dari rumah mereka. Tomy
dan Lisa adalah dua remaja yang sangat patuh pada orangtua. Tidak lama kemudian
datanglah Sinta. Sinta adalah sosok remaja yang kurang memperhatikan perintah orangtua
dan sering melanggarnya.
Sinta : Eh.. ada apa kok kelihatannya lagi pada serius gitu?
Tomy :Eh kamu Sinta.. nggak kok, Lisa cerita ke aku kalau dia kemarin disuruh Ibunya untuk
beli barang kebutuhan dapur, tapi dia kelupaan.
Lisa : Iya, Sinta.
Sinta : Terus? Kenapa gitu aja kok kayak jadi masalah serius gitu buat kamu Lisa?
Lisa : Ya iya dong, itu namanya kan aku nggak ngendahin perintah Ibu aku. Kan nggak baik
kalau seorang anak sering nggak memperhatikan perintah orangtuanya.
Tomy : Betul tu.. harusnya Lisa nggak suka lupa gitu.
Sinta : Yea elah.. kalau cuman gutu aja mah aku sering. Ngapain juga urusan kecil gitu aja
kalian pikir ampe segitunya.
Tomy : Kok kamu seperti itu sih Sinta? Ya sudah seharusnya dong Lisa menyesal, kan itu
nggak bagus namannya. Nggak memperdulikan perintah orangtua.
Sinta : Kalau aku sih, bukan sekali-dua kali saja begituan. Lagian yang namanya nggak ingat
mau gimana lagi. Masak setiap orangtua nyuruh kita harus dipenuhin, nggak juga kan?
Lisa : Ya harus dong Sinta. Yang namanya orangtua kalau udah nyuruh kita yang kita harus
kerjakan.
Tomy : Ah.. aku sih kalau sempat yang aku kerjain, kalau nggak yang nggak.
Lisa : Itu nggak baik Sinta. Itu namanya kamu anak yang tidak patuh pada perintah orangtua.
Kamu harus bisa merubah sikap kamu, ntar kamu jadi anak yang durhaka lagi.
Tomy : Betul kata Lisa itu Sinta. Kamu harus berubah. Jangan membiasakan diri
meremehkan perintah Ibu/Ayah kamu. Nggak baik itu.
Sinta : Iya deh.. aku ngerti.
Naskah Drama 5
Sebuah nuansa pagi hari yang cukup cerah. Jenitama dan Voni, dua orang siswa kelas VII
sedang asyik membaca buku Biologi diperpustakaan sekolah. Pasalnya nanti siang akan ada
ulangan harian mata pelajaran tersebut. Kemudian datanglah Anggira, salah satu sahabat
mereka.
Anggira: “Mit, Von, rajin sekali kalian berdua!”
Jenitama: “Iya lah, tugas kita sebagai pelajar kan memang harus belajar. Hehehe…”
Anggira: “Iya juga sih. Eh Oya kalian tahu tidak, ada siswa baru yang akan masuk ke kelas
kita hari ini.”
Voni: “Oh ya, siapa namanya? Lelaki atau perempuan?”
Anggira: “Lelaki, tapi aku juga belum tahu siapa namanya dan seperti apa rupanya.”
[Bel sekolah berbunyi]
Jenitama: “Eh ayo masuk kelas!”
[Ketiganya memasuki ruang kelas. Bu Guru masuk bersama seorang siswa baru.]
Bu Guru: “Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru dari Sulawesi, ia
akan menjadi teman sekelas kalian. Silakan perkenalkan dirimu, nak!”
Wantara
Wantara: “Selamat pagi, sahabatku. Nama saya Muhammad Wantara. Saya berasal dari
Sulawesi.”
Jenitama [berbisik pada Anggira]: “Jauh sekali ya, dari Sulawesi pindah ke Bandung!”
[Anggira hanya mengangguk petanda setuju]
Bu Guru: “Wantara, kamu duduk di belakang Voni ya [menunjuk sebuah meja kosong].
Untuk sementara kamu duduk sendiri dahulu karena jumlah siswa di kelas ini ganjil.”
[Wantara segera duduk di kursi yang disediakan]
Bu Guru: “Ya baiklah, sekarang kita mulai pelajaran hari ini. Buka buku kalian di halaman
48….”
[Pelajaran pun dimulai]
Tiba saatnya jam istirahat. Wantara, yang belum memiliki teman, diam saja duduk di
kursinya sambil menunduk. Rupanya belum ada yang mau mendekati Wantara. Semua siswa
di kelas itu masih sungkan dan hanya mau tersenyum saja padanya tanpa berani mengajak
ngobrol lebih lanjut.
Voni: “Psst, Mit, Nggi, coba lihat anak baru itu, sendirian saja ya!” [berbisik pada Jenitama
dan Anggira saat mereka baru kembali dari kantin]
Jenitama: “Ayo kita dekati saja.” [Ketiganya menghampiri Wantara]
Anggira: “Hei, Wantara. Kenalkan, aku Anggira, ini Wantara dan Jenitama [menunjuk kedua
temannya].”
[Ketiganya duduk di sekeliling Wantara]
Wantara: “Hai, salam kenal.”
Voni: “Kamu kok tidak jajan ke kantin?”
Wantara: “Aku… Aku bawa bekal makanan [pelan sekali, sambil tertunduk].”
Jenitama: “Oh begitu, rajin sekali kamu, Wan!
[Keempat siswa ini mulai terlibat obrolan ringan sehingga Wantara merasa ditemani]
Saat jam pulang sekolah, Bu Guru memAnggiral Anggira dan Voni yang hendak pulang ke
rumah.
Bu Guru: “Anggira, Voni! Ke sini sebentar. Ibu mau menanyakan sesuatu.”
[Anggira dan Voni menghampiri Bu Guru]
Voni: “Ada apa, Bu?”
Bu Guru: “Itu, bagaimana perilaku Wantara di kelas? Apakah ia bisa membaur?”
Voni: “Dia agak pendiam, Bu. Dan suka menunduk saat berbicara.”
Anggira: “Tadi di jam istirahat, kami berdua dan Jenitama berusaha mendekatinya. Kami
mengobrol cukup lama, ia anak yang baik kok, hanya saja ia seperti agak kurang percaya diri
dan muram.”
Bu Guru: “Hmm… begitu ya. Anak-anak, Wantara adalah salah satu korban selamat tragedi
tsunami Sulawesi beberapa bulan yang lalu. Kedua orang tuanya tewas terhempas ombak.
Kini hanya tinggal ia dan adik perempuannya, Annisa. Annisa masih duduk di kelas 4 SD, di
SD V kota kita ini.”
Anggira: “Ya Tuhan, sungguh berat cobaan yang menimpanya…”
Bu Guru: “Iya. Untungnya, seorang pamannya tinggal di Bandung sehingga ia dan adiknya
tinggal di sini. Mereka tergolong masyarakat prasejahtera, sehingga Wantara benar-benar
harus berhemat. Pamannya berkata pada Ibu tadi pagi, ia tak mampu memberi uang jajan
yang cukup untuk Wantara sehingga Wantara harus bekal nasi setiap hari agar tidak lapar di
sekolah.”
Voni: “Oh pantas saja tadi jam istirahat ia tidak ke kantin.”
Bu Guru: “Ya sudah, Ibu cuma mau bilang begitu. Kalian berbaik-baiklah dengannya.
Temani dia agar tak merasa kesepian dan terus berduka.”
[Anggira dan Voni pamit kemudian pulang]
Di rumahnya, Voni terus menerus memikirkan teman barunya, Wantara. Akhirnya ia
mendapatkan suatu ide. Dikabarkannya Anggira dan Jenitama melalui SMS. Keesokan
harinya di jam istirahat….
Voni: “Eh, kalian membawa apa yang aku bilang kemarin, kan?”
Jenitama: “Bawa lah. Yuuuk kita dekati Wantara.”
Anggira: “Wantara, bolehkah kami bertiga makan bersama kamu?”
Wantara: [kikuk dan kebingungan] “Eh, eemm.. boleh saja..”
Voni, Anggira, dan Jenitama mengeluarkan makanan mereka. Ketiganya juga membawa
makanan cemilan untuk dimakan secara bersama-sama, tentu saja Wantara juga kebagian.
Dengan makan bersama setiap hari, mereka berharap bisa membuat Wantara lebih ceria.
Setelah makan…
Wantara: “Terima kasih, sahabatku. Kalian cukup baik kepadaku.”
Jenitama: “Kamu ini bicara apa, sih? Kita kan teman, wajar saja jika kita saling bersikap
baik.”
Semenjak saat itu Wantara menjadi semakin kuat karena mendapat dukungan dari sahabat
barunya. Siswa-siswi lain di kelas itu pun banyak yang bergabung membawa bekal untuk
dimakan bersama-sama pada jam istirahat, dan suasana semakin terasa cukup menyenangkan.
Naskah Drama 6
Judul drama : Wawasan Masa Depan
Jenis drama : Drama singkat
Jumlah pemeran drama : 4 orang
Toni : Jika kalian nanti diberikan pilihan untuk bekerja di sebuah perusahaan besar, namun
gajinya rendah dan bekerja di perusahaan kecil tapi gajinya mahal, mana yang kalian pilih?
Linda : Kalau aku, lebih baik di perusahaan kecil tapi gajinya mahal.
Norman : Aku tidak setuju dengan Linda. Lebih baik di perusahaan besar meskipun gajinya
kecil, karena kalau bekerja di perusahaan besar masa depan kita kan lebih terjamin
kedepannya.
Toni : Kalau kamu Ami? mana yang lebih kamu pilih, di perusahaan kecil gaji besar atau di
perusahaan besar gaji murah?
Ami : Kalau bagi aku yang penting itu kan potensi kedepannya. Tidak mengapa gaji murah
untuk sementara waktu, asalkan kedepannya lebih menjanjikan.
Toni : Itu artinya kamu lebih memilih untuk bekerja di perusahaan besar dan gajinya kecil
daripada di perusahaan kecil yang gajinya mahal.
Ami : Iya, benar.
Norman : Kalau kamu Toni? mana pilihan kamu?
Toni : Kalau pilihanku kurang lebih sama dengan pilihan Ami. Kita bekerja itu kan untuk
jangka panjang. Kalaupun gaji kita besar, namun tidak ada jenjang jabatan kan itu juga
sebuah kerugian untuk masa depan kita?!
Norman : Iya, benar juga ya kata kamu. Yang paling penting itu kan jangka panjangnya.
Linda : Iya, sepertinya pilihan yang paling tepat dan bijak itu adalah memperhitungkan
jangka panjangnya. Kalaupun gaji mahal, tapi hanya bersifat sesaat atau jalan di tempat kan
rugi juga kita.
Ami : Ok, sekarang kalian kan sudah tahu kekurangan dan kelebihannya. Makanya, nanti
kalau sudah bekerja pilihlah jenis pekerjaan dan perusahaan yang cocok untuk masa depan
kalian.
Teman-teman Ami : Sip! kami setuju dengan kamu. Sangat bijak menurut kami.

Anda mungkin juga menyukai