Anda di halaman 1dari 4

Melukis Senja di Limpakuwus

Reina dan Wisnu kini duduk di meja nomor 18 di kafe Cempaka. Mereka duduk
berhadapan dan saling diam. Mata mereka saling berpandangan seakan banyak kata yang ingin
dibicarakan.
“Rei, jadi kita mau bahas dari mana?” tanya Wisnu sambil mengaduk minuman di depannya.
“Memilih jurusan dulu kali ya, lebih urgent udah mau deadline soalnya” jawab Reina.
“Udah bilang ke orangtua kan, jadi ambil arsiteknya?” tanya Wisnu.
“Iya jadi, mereka juga setuju disuruh ambil di Bandung aja katanya, kamu gimana?” tanya Reina
dengan rasa penasaran.
“Aku kayaknya juga jadi ambil teknik industri di Yogyakarta, ibu bolehinnya disana” jawab
Wisnu.
“Bandung dan Yogyakarta nih, barat dan timur nih” kata Reina dengan nada sedih.
“Apaan si Rei, masih Indonesia juga. Udah yang penting kita sekarang usaha dulu untuk ujian
bulan depan ya. Semangat Rei” kata Wisnu sambil menyemangati”
Dalam hati Wisnu, perasaan khawatir akan jarak pasti ada, tapi mengapa itu
dipermasalahkan kalau mereka akan tetap baik-baik saja. Berjuang untuk mendapatkan
universitas impian masing-masing bukankah itu lebih penting sekarang. Belajar bersama dan
saling mendukung satu sama lain itu sudah cukup bagi Wisnu. Untuk masalah jarak, ah sudahlah
semua akan terselesaikan nantinya.
Waktu semakin hari semakin cepat berlalu, tak terasa waktu ujian tinggal 2 hari. Wisnu
dan Reina sudah berusaha untuk selalu belajar setiap harinya. Tak lupa mereka pun melangitkan
doa-doa untuk yang terbaik bagi mereka. Wisnu mempunyai ide untuk mengajak Reina keluar
rumah sebentar. Melepas penat dan stress yang ada untuk sedikit bernafas sebentar dan bersatu
dengan alam. Wisnu mengajak Reina ke sebuah tempat pegunungan. Hamparan pemandangan
tanaman hijau yang subur serta udara yang segar. Melihat kedamaian alam bersatu dalam satu
bingkai dan bersinergi untuk mengingatkan kita sebagai manusia. Mengingatkan bahwa Sang
Pencipta sudah mendesain semuanya dengan sempurna, tidak ada yang cacat, tidak ada yang
perlu dikhawatirkan dan inilah alam Limpakuwus.
Senja di Limpakuwus sangat indah saat ini, Wisnu tak tahu memang pemandangannya
yang indah atau orang yang tepat ada disebelahnya yang membuat makin indah senja ini. Wisnu
hanya bisa memandang Reina dengan tatapan teduhnya, memastikan Reina akan bahagia dengan
senja ini.
“Nu, keren banget deh tempatnya, gokil juga tempat rekomendasimu” teriak Reina dengan
bahagia.
“Ya kan lumayan lah buat buang penat sebelum kita bertarung lusa” jawab Wisnu dengan
tersenyum.
“Duh jangan diingetin dong lusa ada apaan, lagi damai nih perasaannya” kata Reina
“Iya ibunda ratu” kata Wisnu sambil menggoda Reina.
Hari yang dinanti pun tiba, mereka harus berjuang di waktu ini. Memperjuangkan masa
depan yang ingin mereka dapatkan, gerbang awal untuk melaju menggapai impian. Mereka
memulai ujian diwaktu yang bersamaan, pukul 08.00 WIB. Mereka mempunyai waktu 2 jam
untuk menyelesaikan kertas kosong yang ada dihadapannya. Detik waktu mulai berputar,
gerakan tangan menggores pena, serta gerakan bibir membaca tiap soal-soal menjadi
pemandangan pagi ini. Akhirnya setelah 2 jam berlalu, panitia mempersilakan para peserta ujian
untuk dapat keluar ruangan. Mereka satu persatu keluar ruangan dengan menampilkan ekspresi
di wajah mereka, tersenyum, cemberut, sedih, dan marah, tergantung dari tiap individunya.
”Makan yuk Nu, lapar nih aku lelah habis menghadapai kenyataan” ajak Reina
“Lebay deh, yuk makan. Makan bakso aja ya, mau kan?” tanya Wisnu.
“Apa ajalah sikat “ kata Reina.
“Susah kalo ngajak tukang makan emang ya” kata Wisnu sambil tertawa.
“Diem deh, yuk jalan engga pakai lama” ajak Reina
Mereka pun akhirnya memutuskan makan di dekat lokasi ujian. Mereka menemukan
penjual bakso dengan gerobak biru di dekat pertigaan. Pesanan mereka sampai tidak lama dari
waktu mereka memesan. Syukurlah abang penjual mengerti kondisi mereka yang tidak bisa
menunggu lama karena perut sudah tidak bisa diajak kompromi. Mereka lahap menghabiskan
makanan yang ada di mangkuk tanpa bersisa.
“Ya ampun Nu, kamu seperti belum makan berhari-hari saja “ ejek Reina.
“Sendirinya juga makan tanpa bernafas Rei?” tanya Wisnu sambil meledek.
“Wah pengumuman kapan Nu? Bulan depan?” tanya Reina.
“Iya, kalau tidak ada perubahan si bulan depan” kata Wisnu.
“Jadi kita pisahnya bulan depan dong, antara Bandung dan Yogyakarta” kata Reina.
“Apaan sih, positifnya kita bisa mulai melangkah buat mimpi kita di tempat impian” hibur
Wisnu.
“Iya dan negatifnya kita harus pisah” kata Reina dengan mimik sedih.
“Malas kalau ngobrolin yang negatif, kenapa harus fokus dengan yang negatif kalau ada yang
positif sih” hibur Wisnu.
Sebenarnya perkataan Reina mengenai perpisahan kota selalu terngiang di benak Wisnu.
Menampilkan wajah khawatir dan sedihnya bukankah akan memperkeruh situasi yang ada.
Wisnu hanya ingin membahagiakan Reina, meskipun pada akhirnya memang harus berpisah.
Bukankah kita bisa membuat perpisahan sedikit bahagia, tidak ada penyesalan dan kesedihan.
Wisnu berpikiran bahwa impian Reina adalah kebahagiaan untuk Reina, lantas mengapa dia
harus memberatkannya?
Sebulan berlalu pengumuman yang dinantikan mereka akan segera datang. Pengumuman
akan ditampilkan secara online. Sehingga mereka hanya bisa melihat hasil milik pribadi. Mereka
menunggu pengumuman di layar laptop mereka masing-masing. Perasaan campur aduk menjadi
satu, berpasrah dan meminta dikuatkan hasilnya apapun nanti. Wisnu mulai mengetik nomor
pendaftaran yang ada dan hasilnya pun muncul di layar. Bertuliskan kata selamat sudah membuat
hati Wisnu berbahagia, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Kalimat syukur tidak lupa dia
ucapkan, memberitahu kabar bahagia kepada orangtuanya pun langsung dia lakukan. Lantas dia
langsung mencari handphone di kamarnya, ada orang yang harus dia beritahu selanjutnya, Reina.
“Hallo, Rei” kata Wisnu.
“Hallo Nu, selamat ya untuk kelulusannya, jadi anak gaul Yogyakarta ciyee “ kata Reina.
“Sebentar, kok kamu tahu sih? Aku kan belum ngomong apapun” tanya Wisnu.
“Yaelah, Wisnu gitu loh masa gagal, aku kan punya indera keenam haha “ kata Reina sambil
tertawa.
“Dasar sok tahu banget ini anak, tapi makasih Rei, dan kamu gimana hasilnya?” tanya Wisnu.
“Iya aku juga lolos Nu” kata Reina dengan nada datar.
“Wah selamat Rei, kok nada bicaramu berubah gitu sih?” tanya Wisnu.
“Haha engga ada yang berubah Wisnu” kata Reina
“Jangan bohong, suara sedihmu sampai sini Rei, jangan sok kuat” kata Wisnu.
“Siapa yang sedih sih, harusnya kamu deh yang sedih sepertinya” ejek Reina.
“Kok aku, emangnya kenapa?” tanya Wisnu.
“Jadi gini sepertinya lusa aku harus ke Bandung, aku hrus daftar ulang dan mungkin akan
sekalian cari tempat kos disana. Kebetulan aku ada tante disana jadi sekalian aja keluarga aku
silaturahmi” kata Reina.
“Oh gitu ya, wah cepet banget ya jadi anak gaul Bandungnya” ejek Wisnu.
“Nu, besok bisa ketemu? Mau sekalian pamitan nih” kata Reina dengan pelan.
“Maaf Rei, sepertinya engga bisa, aku harus nemenin ibu ke tempat nenek” jawab Wisnu.
“Oh ya sudah deh, sukses selalu buat kamu ya Nu, semoga kita bisa ketemu lagi” kata Reina.
“Sukses juga buat kamu ya Rei” kata Wisnu.
Wisnu menahan diri untuk tidak bertemu dengan Reina. Dia sebenarnya tidak ada acara
untuk besok hari, namun dia memilih untuk berbohong. Wisnu merasakan sesuatu yang aneh, dia
sangat senang Reina bisa berkuliah di Bandung, namun dia tidak sanggup untuk bertemu dan
mengucapkan perpisahan. Menurutnya lebih baik tidak bertemu dari pada dia harus berusaha
melupakan pertemuan terakhir dengan Reina.
Sore harinya Wisnu memutuskan untuk pergi, menghibur diri dan menghindari rasa
penyesalan yang sedang dia alami. Tidak tahu mengapa perjalanannya terhenti di pegunungan
Limpakuwus. Udara yang segar dan pemandangan senja yang indah menemaninya hari ini. Sama
seperti terakhir kali dia datang kesini, hanya ada satu yang berbeda, tanpa Reina. Wisnu
memandang hamparan tumbuhan hijau yang ada, mendengarkan kicauan burung yang saling
bersautan. Bisik angin dan rasa dingin mulai datang menemaninya.
“Rei, semoga sukses di Bandung, kelak pasti kita akan bertemu lagi ya” bisik Wisnu dengan lirih
dan sambil tersenyum.

Anda mungkin juga menyukai