Anda di halaman 1dari 5

Rumah Jalan Kauman

Devano Mahendra, anak sulung dari keluarga yang hidup di rumah daerah jalan
Kauman. Anak laki-laki kebanggaan yang selalu menjadi bintang kelas dari dia duduk di
Sekolah Dasar. Devan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis, agamis, dan
selalu mengedepankan pentingnya pendidikan. Tak heran orang tuanya memperjuangan
pendidikannya sampai dia bisa kuliah di Institusi ternama di daerah Bandung. Devan
mengambil kuliah jurusan arsitektur, karena mimpi utamanya untuk membangunkan
sebuah rumah impian kedua orang tuanya. Devan merasa keluarganya sungguh sempurna,
selalu ada dan mendukungnya di setiap langkah kehidupannya.
Selain menjadi anak yang berprestasi, Devan juga aktif dalam keorganisasian di
kampusnya. Devan diberikan kesempatan untuk menjadi presma untuk tahun ajaran
sekarang. Tugas yang tidak mudah namun tidak pula membebankan baginya, karena
bukankah manusia yang terbaik adalah manusia yang bermanfaat? Rutinitas Devan masih
sama setiap harinya yaitu kuliah dan kegiatan kampus. Seperti siang ini, dia bersama ketiga
temannya sedang berdiskusi ringan mengenai acara akhir pekan untuk kampusnya itu.
Namun seketika handphone di saku berdering ada satu panggilan yang bertuliskan “IBU”.
“Assalamu’alaikum bu?”.
“Wa’alaikumsalam. Devan sedang sibuk nak? Sedang dikampus ya?”.
“Engga sibuk kok bu, biasa lagi kumpul sama teman-teman saja di kampus, ada apa bu?”.
“Akhir pekan ini Devan bisa pulang ke rumah dulu nak? Ayah dan ibu kangen pengin ketemu
kamu”.
“Siap bu, InsyaAllah nanti Devan pulang ya bu”.
“Makasih ya nak, hati-hati disana ya lancar kuliahnya ya, Assalamu’alaikum ”.
“Iya bu sama-sama. Terimakasih banyak doanya ya bu, Wa’alaikumsalam ”.
Devan segera mencari tiket kereta agar dia bisa pulang kerumah akhir pekan ini. Dia
menepis segala perasaan yang penuh dengan tanya. Ada sesuatu yang tidak bereskah di
rumahnya? Ada sesuatu yang terjadi kah? Devan hanya meyakini bahwa semua baik-baik
saja dan tidak ada masalah.
Akhir pekan pun tiba, Devan bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat menuju
stasiun. Beruntunglah jarak dari kosan menuju stasiun tidak jauh sehingga dia tidak
terlambat. Perjalanan menuju rumahnya membutuhkan waktu 5 jam, waktu yang bisa dia
gunakan untuk menghabiskan sisa halaman buku yang ada di hadapannya.
“Nak, kamu sudah sampai mana?” .
“Masih di kereta bu, insyaAllah 1 jam lagi sampai”.
“Oh ya sudah hati-hati. Nanti kalau sudah sampai kamu langsung saja ke RS Mitra Sahabat
ya”
“Loh kok ke RS bu? Siapa yang sakit bu?”.
“Iya nak, ayah kamu sedang dirawat. Ibu tunggu kedatanganmu ya”.
“Iya bu”.
Devan tidak berani memikirkan hal-hal negatif, dia selalu berpikiran semua baik-baik
saja, ayahnya hanya membutuhkan waktu istirahat yang lebih sehingga harus di rawat.
Sesampainya di stasiun tujuan dia bergegas menuju RS. Dia segera menuju ke kamar rawat
inap dimana ayahnya berada. Setiap langkahnya beriringan dengan setiap doanya, Devan
juga harus mengatur emosinya agar tetap terlihat sedang tidak terjadi apa-apa di hadapan
orang tuanya.
“Assalamu’alaikum ayah dan ibu”.
“Wa’alaikumsalam sehat kamu nak?”.
“ Alhamdulillah, ayah sakit apa? Kok sampai bisa masuk rumah sakit?”.
“Iya ayah hanya butuh istirahat aja “.
“ Cepat sembuh dong yah, nanti kita bisa nonton bola bareng lagi di rumah”.
“ Kamu tuh, masa iya mau nonton bola mulu, teman-teman itu loh diurusin. Presma loh
masa begitu”.
“Mulai deh ngledek mulu nih ayah, ibu istirahat pulang aja bu, biar Devan yang gantian jaga
ayah disini.”
“Ya udah kalo gitu nak, ibu pulang dulu ya, kasihan Devi juga sendirian. Nanti hubungin ibu
kalo ada apa-apa ya”.
“Siap bu bos haha”.
Devan merasa waktu memang secepat itu sedahsyat itu. Terakhir dia meninggalkan
rumah, semuanya baik-baik saja. Namun sekarang tepat dihadapannya, kondisi berubah
dengan segala ketentuanNya. Ayahnya, teman bermainnya teman curhatnya dengan segala
masalah yang ada kini sedang tidak baik-baik saja. Sebagian dari dirinya merasa hancur,
merasa tidak bisa menjaganya. Padahal di waktu dia kecil ayahnya selalu tepat ada
disampingnya. Devan merasa dilema, karena esok dia harus kembali lagi ke Bandung, dia
harus mengikuti perkuliahan di semester-semester terakhirnya. Namun ayahnya tidak
memungkinkan untuk ditinggalkan begitu saja. Dimanakah perannya sebagai anak? Pikiran
Devan mulai berkecamuk, perasaannya mulai bimbang.
“Devan, sini nak. Ayah mau ngomong”.
“Iya yah, ada apa?”
“Kapan kamu kembali ke Bandung? Kuliahmu kan sebentar lagi selesai janganlah izin-izin
terus, teman-temanmu juga diurusin itu loh”.
“Iya yah, tenang urusan disana beres kok. Sekarang kan gantian dong aku nemenin ayah
disini”.
“Ingat nak, selesaikan apa yang kamu mulai. Meskipun berat kamu tidak boleh mundur.
Laki-laki harus bisa bertanggung jawab, harus bisa menyelesaikan masalah, harus bisa
melindungi”.
“Iya ayah siap, doakan semoga aku bisa seperti ayah”.
“Tidak nak, kamu bisa lebih dari ayah”.
Berat sekali langkah Devan untuk meninggalkan keadaan disini. Namun dia
mengingat akan pesan ayahnya bahwa dia harus menyelesaikan apa yang dia mulai. Dia pun
berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk kembali ke Bandung. Di tengah perjalanan
dia selalu berdoa untuk kesembuhan ayahnya, untuk semua keadaan disana agar semua
lekas kembali baik-baik saja.
Sesampainya di kampus dia tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Dia harus
bersikap profesional menyelesaikan segalanya dengan pikiran dan perasaan yang sedang
tidak baik-baik saja. Dia harus bisa menyelesaikan urusan kuliahnya dan perannya sebagai
presma. Menuntaskan sebaik-baiknya dan dia pun tidak lupa selalu menanyakan kondisi
ayahnya disana. Devan berencana akan kembali lagi ke rumahnya akhir pekan ini, dia pun
sudah mengabari akan hal ini kepada orang tuanya. Namun rencananya ditolak oleh
ayahnya, beliau tidak menyetujui akan hal itu. Devan diminta untuk tetap tinggal di Bandung
dan menyelesaikan segala urusannya disini. Perasaan kecewa menyelimuti hatinya, namun
dia percaya ayahnya hanya ingin melihatnya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.
Hari ini Devan tidak ada agenda apapun, dia hanya tinggal di kosan saja dan
menyelesaikan deadline tugas-tugas kuliahnya. Devan berharap semester ini dia bisa
mempersembahkan sebuah kelulusan untuk orang tuanya. Ketika dia sedang serius dengan
laptop di hadapannya, ada bunyi dering telepon memecahkan keheningan.
“Devan, lagi apa nak? Lagi dimana nak?”.
“Devan di kosan bu, sedang mainan laptop saja. Ada apa bu?”
“Nak, ayah minta maaf ya kalo banyak salah sama Devan selama ini, ayah minta doa dari
Devan”.
“Ibu, biarkan Devan yang bicara langsung dengan ayah bu”.
“Devan, ibu mewakili ayah untuk minta maaf sama kamu nak“.
Devan langsung bergegas meninggalkan kosannya dan menuju stasiun, dia tidak bisa
berpikiran apapun selain dia harus segera sampai rumah. Dalam setiap perjalanan dia selalu
berusaha mencoba berpikiran bahwa ayahnya masih sehat dan baik-baik saja. Perjalanan di
kereta kali ini sangat menyesakkan, tak terasa air mata juga menetes dari kedua matanya.
Dia tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi hari ini. Kenangan bersama ayahnya
sangat tergambar jelas di memorinya, tidak secepat itu kan semuanya berubah?
Sesampainya di depan gang menuju rumahnya, terpasang bendera putih di samping
pohon Mahoni. Kaki Devan merasa sangat lemas seketika dia merasa tidak punya tenaga
untuk melangkah. Devan pun harus di papah oleh dua orang tetangganya, dia diantarkan
menuju kedepan rumahnya. Rumah jalan Kauman, tempat dimana dia dan ayahnya
melakukan semua kegiatan, bercerita, saling memberikan semangat satu sama lain. Kini
rumah itu ramai dengan puluhan orang yang mayoritas menggunakan pakaian hitam.
Kenangan yang selalu diingatnya, ayahnya selalu menyambutnya dengan senyuman
menyambutnya dengan ledekannya, dan kini berbeda dia disambut dengan keranda dan
janazahnya.
Devan harus kuat dengan semua yang terjadi sekarang. Dia adalah anak laki-laki
dalam keluarga ini. Dia harus bisa menguatkan ibu dan adik perempuannya. Dia harus bisa
bertanggung jawab akan keluarga ini. Devan harus menggantikan peran ayahnya untuk
kedepannya. Terima kasih ayah untuk semua pembelajaran kehidupan ini. Terima kasih
ayah sudah menciptakan rumah yang sesungguhnya, karena rumah itu kata sifat bukan kata
benda. Tempat dimana terdapat orang-orang yang kita cintai itu adalah rumah. Doaku selalu
menyertaimu ayah, semoga kita bisa bertemu dan berkumpul lagi di surgaNya.

Biodata Penulis
Nama : Yunitta Muassas Sari
Alamat : Kos Pak Hari, Jalan Kenari 2g no 131 RT 02/ RW 04, Kenari, Senen, Jakarta
Pusat, 10430
WhatsApp : 085726508305
Email : yunittamuassas@gmail.com
Instagram : @yunittamuassas

Anda mungkin juga menyukai