Anda di halaman 1dari 3

NASIHAT WAK IPAH DI SEKOLAH

“Keterbatasan yang ia miliki tak sedikit pun menjadi penghalang baginya untuk berubah.
Baginya, tuhan menetapkan nasib manusia berdasarkan harapan dan upaya yang dimilikinya”
terang Pak Ujang pada Pak Bagio di ruang guru.
Para guru cemas melihat keadaan siswi baru yang memiliki kekurangan fisik itu. ia kerap diejek
oleh teman-teman barunya di sini. Tangan kanannya tidak seperti tangan normal lainnya.
Tangannya pendek dengan jari-jari yang merapat seperti tangan kepiting. Segala aktivitas ia
lakukan menggunakan tangan kirinya.
Teman-temannya sempat beberapa kali kepergok oleh guru sedang mengejeknya. Di sinilah
guru menjadi sangat khawatir dengan mental yang ia miliki.
“Adakah manusia yang tak ingin hidupnya senantiasa bahagia dan baik-baik saja? Rasanya
hanya manusia yang sudah terganggu akalnya yang tak ingin bahagia. Begitu pun dengan Neno.
Jika bisa memilih ia juga pasti memilih lahir dengan kesempurnaan” Sambung Pak Ujang dengan
senyum.
“Terserah kalian mau berkata apa, yang penting tugas kita harus terus mendukungnya dan juga
membantunya saat ia sedang kesulitan. Kita harus tetap memantau perkembangan belajarnya.
Ya sudah, kita sudahi pembicaraan ini sampai di sini, ya.” Buk Een menyela pembicaraan dan
menyudahinya. Semua mengangguk dan membubarkan diri dari obrolan.

Pagi itu, ia berangkat dari rumah menuju sekolah seperti biasa. Ia sadar betul setibanya di
sekolah nanti, pasti akan ada ejekkan yang menyertainya. Tak ambil pusing ia langsung masuk
ke kelas menuju bangku paling ujung di sudut kanan tepat sebelah jendela kaca kusam yang
jarang dibersihkan itu.
“Eh, kepiting udah sampai”.
“Mana-mana. Oya itu dia” Tunjuk mereka di depan pintu kelas. Kemudian mereka
mendekatinya dengan muka ketus.
“Ini apaan?” Mereka memegang paksa tangan kanan Neno.
“Itu capitnya, lah” jawab temannya disertai tawa mereka.
Sesaat hati Neno menjadi hening, kelam, gelap, tak bersuara. Sunyi senyap tak bernapas.
Bersama tawa mereka, Neno saat itu menyimpan tangis dalam hati. Neno beranjak pergi begitu
saja keluar kelas. Sembari menunggu waktu masuk kelas yang masih setengah jam lagi, ia pergi
kebelakang sekolah. Sengaja menemui Wak Ipah yang selama ini telah menguatkan hati Neno.
Wak Ipah adalah perempuan paruh baya penjaga sekolah. Beliau sangat ceria dan gemar
menenangkan hati Neno yang tengah gundah dengan perkataan tajam teman-temannya.
“Dengarlah, ini bukan sekadar drama pembodohan! Tak ada kata yang benar-benar membekas
jika kita mengikhlaskan. Kamu hanya perlu sabar. Abaikanlah yang seharusnya diabaikan.
Jangan pula kamu balas dikemudian hari. Kita semua adalah saudara yang saling melindungi”
nasihat Wak Ipah pada Neno.
Neno mengangguk paham. Berkat nasihat dan kesabaran Wak Ipah yang selalu ada buat Neno
di sekolah. Neno Wardani akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan banyak
memperoleh prestasi di sekolah.
Hari-hari di sekolah ia habiskan bersama Wak Ipah. Baik waktu kosong maupun saat istirahat.

Bulan demi bulan berlalu begitu cepat. Hingga tiba saatnya Neno Wardani di Acara Perpisahan
sekolah. Jam menunjukkan pukul 12.17 Wib. Mata Neno membelalak mencari Wak Ipah di tiap
sudut sekolah. Neno makin penasaran. Kenapa di acara ini Wak Ipah tak kelihatan. Tak seperti
acara-acara lainnya. Wak Ipah selalu tampak sedang menyapu dari kejauhan.
Kali ini Neno bangun dari duduknya, menuju kearah belakang sekolah. Tempat biasa ia selalu
duduk bersama Wak Ipah.
“Kenapa gak ada juga, kemana ya?” Neno makin cemas. Karena ini baru kali pertamanya Wak
Ipah tidak kelihatan di sekolah. Ia memutuskan berkeliling untuk mencarinya. Saat tiba di
penghujung kantin, Neno duduk di salah satu kantin Bang Anto.
“Kenapa? Kok bingung?” Tanyanya pada Neno.
“Saya cari Wak Ipah dari tadi tapi gak ada”
“Wak Ipah?” Tanya Bang Anto lagi dengan bingung.
“iya. Biasa beliau selalu nyapu di sekitar sini. Kadang juga di sebelah mushola itu.” Sambil
menunjuk mushola.
“Wak Ipah penjaga sekolah mana? Kita kan gak ada penjaga sekolah atau tukang sapu semenjak
Wak Ipah meninggal. Ah, ada-ada aja Neno ini” Bang Anto gak percaya.
“Loh, beneran. Masak iya Wak Ipah meninggal. Baru kemarin saya ngobrol dengannya di sini.
Hampir tiap hari Neno selalu curhat juga dengan Wak Ipah. Dari kelas satu dulu bahkan” Timpal
neno dengan terkejut.
“Wak Ipah udah meninggal hampir lima tahun ini, jadi gak mungkinlah. Wak Ipah dengan tahi
lalat besar di hidung kan?”
“Iya” jawab Neno dengan yakin.
“Ya udah bang. Neno ke depan dulu ya” Bangkit dari duduk dan menuju ke Acara Perpisahan
yang sebentar lagi selesai.
Neno yang kurang yakin memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Ia sempat bertanya
sebelumnya dengan Wak Ipah sendiri.
Begitu selesainya acara. Ia langsung menuju alamat yang pernah ditanyanya itu. kampung yang
tak begitu jauh dari kampungnya, ada banyak rumah yang tak begitu rapat satu dengan yang
lainnya. Ia ingat pertanda rumah itu: ada pohon manga besar dan bunga pagar sejajar dengan
kursi panjang. Tidak salah lagi. Rumah kedua itu adalah rumah Wak Ipah.
Ia langsung menanyainya di sana. Ketika pintu terbuka keluarlah seorang ibu yang tak terlalu
tua.
Obrolan berlangsung tak begitu lama. Neno menyudahi percakapan dan bergegas pulang. Ia
heran kenapa Wak Ipah sudah meninggal. Padahal hampir setiap hari selalu bertemu dan bicara
dengannya di sekolah. Ia juga masih ingat jelas nasihat terakhir darinya.
“Sabar adalah ketahanan mental untuk menanti sesuatu yang diharapkan hadirnya. Sabar
adalah akhlak yang sangat dianjurkan oleh Allah. Saking pentingnya, bahkan allah selalu
membersamai orang-orang yang sabar”
Meski demikian, Neno senang sekaligus terkejut dengan apa yang dialaminya selama tiga tahun
di sekolah itu. berkat bantuan Wak Ipah, Neno menjadi lebih percaya diri dan banyak menoreh
prestasi.

Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai