Anda di halaman 1dari 3

Suara Adzan subuh berkumandang terdengar lantang bergema pada tiap sudut ruanganku.

Rumah
sederhana yang kubangun 5 tahun lalu ini memang sangat dekat dengan mushala, tempat beribadah
penghuni komplek perumahan “Puri Seruni” yang ada 5 blok jangkauan paguyubannya.

Kali ini aku tak membangunkan Denaya, anak sulungku. Anak kedua ikut ibunya di Malaisia, anak
pertama si sulung ikut aku ayahnya, hasil keputusan setelah perpisahan kami 1 tahun lalu.

Bukan karena aku tak ingin mengajak Denaya shalat berjama'ah, tapi karena keyakinan kami sudah
berbeda. Yah, Denaya ikut keyakinan ibunya beragama Katholik.

Seperti biasa, pada hari ini yang adalah hari minggu, mushala sangat penuh. Kebanyakan dari
penghuni komplek yang biasanya tidak ikut shalat berjamaah karena bekerja, hari ini ikut shalat
subuh berjamaah juga.

Pak Mahfudz, imam shalat subuh hari ini, ustadz yang mengisi pengajian kultum rutin yang tinggal di
depan rumahku adalah sosok panutan di komplek perumahan “puri seruni” tidak hanya di blok kami,
tapi juga di blok lain. Beliau sangat baik dan selalu memberi nasehat serta pencerahan pada kami
ketika ditanya masalah apapun.

“nak Ello” panggil pak Mahfudz menghentikan langkahku yang belum jauh dari mushala. Aku
menghampirinya “iya pak “ Jawabku, aku kemudian melepas sendal danemghampiri beliau yang
berdiri di depan pintu mushala.

“duduk bersama bapak disini dulu nak, kalau nak Ello tidak ada kesibukan” kata pak Mahfudz sambil
menunjuk teras mushala samping pintu tempat beliau berdiri. Aku mengangguk kemudian duduk
bersila, di susul beliau.

“Sebenarnya sudah lama bapak ingin menanyakan ini, tapi masih belum ada kesempatan,
alhamdulillah hari ini kesempatannya” kata beliau menatap wajahku seperti membaca ekspresi ku.

“Ada apa pak Mahfudz, silahkan saja bapak ingin menyampaikan apa pada saya”. Jawabku. Sebelum
melanjutkan pembicaraan kami, pak Mahfudz menoleh arah luar pagar mushala dan aku mengikuti
arah pandangan beliau.

“Lihat itu hak Ello” kata pak Mahfudz tidak mengalihkan pandangannya pada dua orang yang sedang
bercakap-cakap di depan rumah salah seorangnya. Letak mushala yang ada di tengah memudahkan
arah tempat kami duduk untuk jelas melihat mereka.

“Itu Pak Tigor dan Pak Rahmat, penghuni lama sama seperti saya nak, kalau nak Ello ini kan masih
terbilang baru ya nak” lanjut pak Mahfudz, aku menyimak sambil sesekali melihat ekspresi beliau.

“Pak Tigor itu beragama Kristen, sedangkan pak Rahmat beragama Islam. Tapi lihat berapa rukun
dan akrab mereka, bahkan pak Tigor tidak keberatan disini yang dekat rumahnya di bangun mushala.
Beliau sadar bahwa mayoritas penghuni komplek adalah muslim, jika tidak, bisa saja beliau protes
dan menginginkan adanya gereja di dekat rumahnya” lanjut pak Mahfudz mengalihkan
pandangannya kemudian padaku. Aku mencoba memahami mengapa beliau mengatakan hal ini
padaku.

“pak Rahmat sering memberi sesuatu, terutama makanan pada pak Tigor, lihat pak Rahmat juga
menerima makanan yang pak Tigor beri meski ajaran dan budaya mereka berbeda” kata pak
Mahmudz membuatku melihat kembali pada dua orang yang kulihat pak Tigor memberikan sebuah
mangkok berisi makanan pada pak Rahmat.
“Bapak tahu kamu sedang menghadapi dilema dan permasalahan yang berbeda namun memiliki
kesamaan pada hal yang bapak sampaikan” lanjut pak Mahfudz yang mengejutkanku. Menyadari
ekspresi ku beliau tersenyum tipis lalu berkata “ kita tinggal di kompleks nak, hehehe dinding punya
telinga”kami tertawa lirih bersama. Akupun memberanikan diri bercerita.

“Saya memang kebingungan pak Mahfudz, seperti cerita yang mungkin bapak dengar. Saya sudah
ikhlas, namun permasalahan saya adalah pada Denaya yang adalah tanggungjawab saya sekarang.
Saya bingung bagaimana bersikap pak, dan sudah setahun dia tidak terlalu berbicara pada saya,
hanya bertanya hal yang penting saja. “ kataku dengan tertunduk menyibukkan mataku melihat
motif kotak pada sarung ku yang berwarna merah.

“Seperti yang bapak ceritakan tentang dua orang yang sangat berbeda tapi bisa rukun, mereka orang
lain nak, bisa. Apalagi nak Ello dan nak Denaya, sedarah” ucap pak Mahfudz sambil menepuk
pundakku, menyadarkanku atas hal dasar yang seharusnya selalu kuingat.

Aku mendongakkan kepala untuk melihat ekspresi pak Mahfudz yang yakin padaku.

“Iya pak, apapun yang terjadi Denaya adalah anak saya yang saya sayangi, saya cintai” kataku, tak
terasa air mata meleleh di pipiku.

“Kita tidak bisa memaksakan keyakinan kita pada siapapun nak, termasuk keluarga kita. Itu panggilan
hati dan hidayah dari Allah. Berdoa saja yang terbaik. Bapak juga akan mendoakan kalian” kata pak
Mahfudz sambil menepuk-nepuk pundakku.

Beliau berpamitan dengan senyuman dan menyemangati ku lagi. “tak ada yang tak mungkin bagi
Allah, Cintailah sesama makhluk Allah, apalagi Denaya, anakmu sendiri”

Aku melihat pak Mahfudz berlalu sampai sosoknya menghilang memasuki gang rumahnya. Aku lalu
berdiri berapikan sarung ku yang sedikit kusut kemudian pulang ke rumah dengan pikiran jernih.

Ku bangunkan Denaya yang masih tertidur di kamarnya.

“Nak, Denaya sayang. Bangun, sudah pukul 5.30,bukannya kamu bilang ada kegiatan di gereja hari
ini? “ kataku dengan lembut menepuk pundaknya. Haru berjalan pelan menyusuri diriku.

Denaya membuka mata dengan malas dan memandangku keheranan. Itu wajar karena kami jarang
berkomunikasi, apalagi aku tidak pernah membangunkannya tidur.

“Ayah, e.... “ katanya sambil mengusap matanya dan duduk berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Aku berhenti di depan pintu sudah hampir berlalu dari kamarnya

“iya, nak? “ jawabku sambil tersenyum

“ e....., terimakasih yah” jawabnya sambil tersenyum meski matanya sayu karena belum 100% pulih
dari hawa bangun tidurnya.

Kami sarapan seperti biasanya, aku membuatkan sosis gulung telur keju kesukaannya. Yang berbeda
dari sarapan kali ini adalah kami sarapan bersama satu meja, berdoa bersama meski dengan cara
masing-masing. Lebih sering tertawa karena candaan ringan yang sebelumnya tidak pernah terjadi
setahun belakangan ini. Kata bahagia tidak bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat ini, ada
hari ada geli menertawakan diri sendiri atas waktu yang terbuang dan sebagainya.

“Ayah, habis ini ngapain? “ tanya Denaya dengan mulutnya yang penuh makanan

“Ngantar kamu ke gereja” kataku melahap suapan terakhir sarapan ku yang sama dengan Denaya.
“Habis itu? “ katanya yang sudah menelan makanan di mulutnya.

“Mau mengerjakan laporan buat presentasi besok senin di kantor” kataku sambil berjalan menuju
dapur untuk mencuci piring.

“Biar Denaya yang cuci piringnya ayah, ayah siap – siap aja” katanya yang berjalan cepat agak berlari
menyusulku dan mengambil piring ku.

Kami bergegas menuruni tangga menuju garasi. Ku keluarkan Motor matic hitamku, sedangkan
Denaya mengunci semua pintu rumah dan pagar.

Kami berkendara keluar dari komplek perumahan menyusuri jalan yang rindang dengan pohon
bungur yang sudah berbunga ungu cerah. Gereja yang kami tuju hanya berjarak 20 menit dari
rumah. Disana Denaya biasa bertemu nenek nya, ibu dari Lina, mantan istriku.

“nanti Denaya telpon ayah kalau sudah selesai ya Yah?. Biasanya sih jam 12 sudah selesai “ kata
Denaya ceria setelah sampai di depan gereja. Ia tersenyum dan mencium punggung tanganku dan
masuk kedalam gereja.

Kebiasaan dia waktu kecil ‘salim' sekarang dia lakukan, aku tersenyum tipis bahagia, lalu melajukan
motorku menuju rumah.

Kemelut pikiranku yang meratap bahwa perpisahan membuat semua anakku dibawa pergi ibunya ke
malaysia , Denaya yang berusia 11 tahun saat itu dan Adiva yang masih berusia 5 tahun yang
berujung Denaya memilih tinggal bersamaku karena beralasan tidak ingin berpisah dengan teman-
temannya.

Membuatku benar-benar susah. Namun sekarang aku tahu harus bagaimana bersama dengan
Denaya. Aku yakin kami akan rukun, saling menyayangi dan menghargai. Sebagai ayah, aku akan
melakukan yang terbaik untuknya.

Tak ada batas bagi seseorang yang menyayangi sesama, tak juga batasan Agama, suku ataupun
lainnya. Tak ada yang bisa merubah cinta tulus yang tak bersyarat.

Anda mungkin juga menyukai