Anda di halaman 1dari 4

Yelena

Rahiel Abrar 9.7

Orientasi

Yelena, seorang gadis berusia 16 tahun yang duduk dibangku SMA Kelas 11. Ia merupakan
anak satu - satunya dari seorang pengusaha besar berkebangsaan Afrika dan seorang dokter
berkebangsaan Indonesia. Anak yang patuh terhadap orang tua, berbakat, aktif, dan rajin.
Wajar saja jika Yelena mendapat perhatian lebih dari kedua orang tuanya. Ditambah postur
tubuh yang diturunkan dari ayahnya, tinggi dan tegap, tidak heran banyak teman - teman
sekolahnya yang menaruh perasaan pada Yelena.  

Rangkaian Peristiwa

Suatu hari, Yelena kembali berkemas untuk pindah negara setelah menghabiskan 1
semester selama berada di Jepang. Karena Ayahnya seorang pengusaha, sudah biasa bagi
Yelena dan Ibunya untuk berpindah - pindah negara seperti ini. Namun, tentulah tidak mudah
bagi Yelena untuk beradaptasi di lingkungan baru setiap saatnya. Bahkan terkadang
memerlukan waktu berbulan - bulan untuk betul - betul menyesuaikan dirinya.

Setelah mengemas barangnya, Yelena beserta Ayah dan Ibunya segera menuju bandara dan
terbang menuju Amerika Serikat. Sampai di bandara, mereka segera menuju apartemen
Ayahnya dan segera beristirahat. “Wah!! Ini apartemen Ayah ya? Keren banget yah!” kagum
Yelena. “Iya, kan biar kita bisa istirahat dengan tenang juga.” jawab Ayah dengan lembut.
“Makasih banyak ya, yah!” kata Yelena sambil memeluk Ayahnya dengan erat dan memberi
senyum terlebarnya. “Iya nak, Yelena belajar yang rajin ya biar bisa banggain Ayah sama Ibu.”
Ayah memeluk Yelena lebih erat lagi. Melihat Yelena dan Ayah berpelukan, Ibu memperhatikan
sambil tersenyum dan memeluk mereka.

Besok hari pertama Yelena di sekolah barunya. Seperti biasa, tidak hanya mempersiapkan
fisik, Yelena juga harus mempersiapkan mentalnya untuk berada di lingkungan asing. 
Senin pagi, Yelena bersiap - siap untuk pergi ke sekolah. “Lena! Ayo nak sarapan dulu!” panggil
Ibu. “Oke, bu. Lena sebentar lagi siap.” sahut Yelena. Yelena segera menuju meja makan dan
melahap sarapannya, “Awas nanti tersedak loh, pelan - pelan makannya!” kata Ibu melihat
Yelena memakan sarapannya. “Hehe iya bu, maaf. Yelena terlalu semangat nih mau ketemu
temen - temen baru.” Ibu hanya tersenyum lebar melihat anak tunggalnya bahagia. Ibu dan
Yelena segera menuju mobil dan Ibu mengantarkan Yelena ke sekolah. Sampai di depan pintu
gerbang sekolah Ibu berkata, “Semangat Lena!” Yelena tersenyum melihat Ibunya sambil
mengepalkan jari - jarinya sebagai tanda semangat. 
Bel berbunyi menandakan pembelajaran akan segera dimulai. Sebelum masuk kelas, semua
murid dikumpulkan di auditorium sekolah berkenaan dengan adanya murid baru. Salah satu
Guru Kesiswaan menyebut nama Yelena dan Yelena segera naik ke atas salah satu podium.
“Perkenalkan, Yelena ini merupakan murid baru pindahan dari Jepang, Ibu harap kalian bisa
menerima dan merangkul teman baru kalian ini di sekolah kita bersama.” Guru Kesiswaan
tersebut menjelaskan. Murid - murid lain terlihat biasa saja dan tidak memberikan reaksi
apapun. Yelena hanya tersenyum melihat mereka dan berpikiran positif saja. Sampai di kelas,
tidak ada satupun murid yang menghampirinya. Namun, Yelena tidak pesimis begitu saja dan
tetap berpikiran positif.

Akhirnya, Yelena memutuskan untuk menghampiri teman - temannya, "Halo teman -


teman, kenalin nama aku Yelena!" Mereka kemudian menoleh dan melihat Yelena dengan
tatapan tajam dan menjawab tanpa senyum sedikitpun, "Eh, iya. Hai Yelena" Yelena hanya
membalas dengan tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. "Kalau nanti kita makan siang
bareng gimana? biar lebih kenal satu sama lain." tiba - tiba Yelena mengajak untuk makan siang
bersama. Bukannya menjawab pertanyaan Yelena, mereka malah menertawakan dan
mengabaikannya. Tertawaan teman - temannya seakan menyayat luka di hatinya. Dia tidak
pernah mengira bahwa sekolah barunya akan menjadi seperti ini. "Hm aneh, perasaan sekolah
- sekolah ku yang dulu tidak seperti ini" raut wajah Yelena kecewa.

Waktu istirahat tiba dan semua teman - teman sekelasnya menuju kantin untuk makan
siang, tanpa Yelena. Yelena menuju kantin sendiri dan duduk di meja kosong memakan menu
makan siangnya. Sepanjang istirahat Yelena hanya merenungkan mengapa teman - teman
barunya memperlakukan dia seperti ini. Sampai pada akhirnya salah satu perkataan murid
membuyarkan pikirannya, "Oh iya, dia kan keturunan Afrika, pantas saja tidak ada yang mau
berteman dengannya," seketika Yelena sadar bahwa dia bersekolah dengan ras mayoritas yang
berbeda dengannya. Setelah menyadari hal ini dia sudah mengerti bahwa hal seperti ini pasti
akan terjadi dan tidak menganggap ini sebagai masalah besar sama sekali. 

Keesokan harinya tidak jauh beda dengan hari pertama dia sekolah, begitupun hari - hari
berikutnya. Setiap hari berlalu, lama - kelamaan Yelena merasa kesepian dan tertekan. Tidak
jarang Yelena mendapati temannya membicarakan dan merendahkannya. Yelena merasa ia
tidak pantas untuk berada di lingkungannya yang sekarang ini. Ia merasa tidak diterima oleh
lingkungan barunya. Rasa ketakutan, cemas, depresi, kian hari semakin membesar melahap
Yelena.
Komplikasi

Suatu hari, Yelena pulang sekolah dan ia langsung menuju kamarnya, menangis, menjerit,
hingga seluruh isi rumah bergetar karena suaranya. "Apakah aku jelek? Aku tidak pantas
berada disini," jerit Yelena sambil menangis. "Bagaimana caranya agar aku bisa memiliki
teman? Apa yang salah dari diriku ini?" teriak Yelena. Dunia seakan hancur berkeping - keping.

Ibu mendengar suara dari kamar Yelena dan segera menghampirinya. Tok… Tok… Ibu
mengetuk pintu kamar Yelena. Seketika Yelena terdiam dan segera menghapus air matanya. Ibu
masuk ke kamar Yelena dan kaget melihat keadaannya, "Astaghfirullah Yelena, ada apa nak?"
tanya ibu dengan heran sambil menghampiri Yelena. Ia hanya bisa menjawab, "Maaf, bu." Ibu
segera menenangkan Yelena dengan mengusap - usap punggungnya, "Ayo sekarang cerita ke
Ibu ada apa."

Akhirnya Yelena menceritakan apa yang sebenarnya terjadi selama ini di sekolah dan
bagaimana keadaanya sekarang. Ibu mengangguk dan pastinya paham bagaimana perasaan
anaknya, "Ibu paham, tapi kamu tidak boleh gitu Yelena, setiap orang memang terlahir berbeda
- beda dan pastinya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing – masing. Kekurangan
tersebut bukanlah sesuatu yang harus kita sesali," Yelena menundukkan kepalanya dengan
malu dan berkata, "Tapi, bu," Yelena menoleh ke Ibunya, "Nggak tau kenapa, Yelena merasa
benci banget sama diri Yelena sendiri." Yelena menundukkan kepalanya dengan malu lagi. 

Resolusi

Ibu tersenyum, "Coba kamu lihat diri kamu sendiri deh di kaca," Ibu menunjuk ke arah kaca
di kamar Yelena. "Mencintai diri sendiri itu emang lebih sulit daripada mencintai orang lain,
benar tidak?" Yelena menjawab, "Iya bu, benar. Bahkan untuk memaafkan diri sendiri saja
susah rasanya," Yelena melanjutkan "Yelena juga sering bu membanding - bandingkan diri
Yelena dengan teman - teman dan itu hanya membuat Yelena tambah sedih bu, dunia ini
serasa hancur, Yelena nyesel." Ibu menjawab, "Nah itu dia Yelena, sekarang coba Yelena jujur
sama diri Yelena sendiri. Yelena memiliki kelebihan dan Yelena juga memiliki kekurangan, mau
apapun yang terjadi, itulah diri Yelena, toh kenapa kita perlu orang lain yang menentukan
apakah diri kita pantas atau tidak, diri kita sendiri, kenapa mesti takut? Sekarang yang
terpenting Yelena belajar mencintai diri Yelena sendiri, belajar memaafkan diri sendiri, lebih
mengenal diri Yelena sendiri, cari apa yang bisa bikin Yelena bahagia. Ingat, mencintai diri
sendiri itu sebuah proses. Jadi, jangan menyerah begitu saja. Itulah cantik yang sebenarnya,
bukan hanya dari penampilan."
Yelena menatap Ibu dengan mata berkaca - kaca, "Makasih banyak, bu. Yelena belajar
banyak banget hari ini!" Yelena segera memeluk Ibunya dengan erat. Ibu kemudian mengusap -
usap kepala Yelena dan tertawa "Nah ini baru namanya anak Ibu dan Ayah," Ibu beranjak untuk
meninggalkan kamar Yelena. Ibu berhenti di dekat pintu, "Oh iya, kamu tau nggak Yelena itu
apa artinya?" tiba - tiba Ibu bertanya. "Wah apaan bu artinya?" tanya Yelena penasaran. Ibu
tersenyum dan menjawab, "Yelena itu diambil dari bahasa Rusia yang artinya cahaya yang
bersinar, seperti kamu Yelena," Yelena tersenyum dan Ibu menambahkan, "Jangan lupa
Istirahat, cahaya Ibu." Yelena mengacungkan kedua ibu jarinya dan tersenyum lebih lebar lagi.

Semenjak hari itu, Yelena sadar bahwa pantas atau tidaknya kita di sebuah lingkungan
bukanlah ditentukan oleh orang lain, melainkan diri kita sendiri. Selain itu, ia juga menyadari
seberapa pentingnya untuk tidak membandingkan dan merendahkan diri sendiri. Setiap orang
pastilah memiliki kekurangan yang tidak seharusnya direndahkan.

Anda mungkin juga menyukai