Anda di halaman 1dari 4

Hidup Dengan Keadilan

(Yeremia 25: 5, Amsal 21:15, Mazmur 37: 27-29 )

Hai ini Jerry, dia seorang anak yang duduk di bangku SMA. Dia lahir di Kota Bromo,
pada tahun 2006. Jerry adalah anak yang baik. Dia hidup bersama kedua orangtuanya. Setiap
hari, ayahnya bekerja sebagai satpam di suatu perusahaan. Ibunya adalah ibu rumah tangga.
Jerry mengayuh sepedanya di sepanjang perjalanan ke sekolah. Pagi itu, matahari
bersinar dengan cerah. “Wah, pagi ini sungguh cerah.” ucap Jerry. Kicauan burung terdengar
begitu merdu seperti alunan alat musik harpa. Jerry selalu menikmati perjalanan ke sekolahnya.
Jerry pun tiba di sekolahnya dan langsung pergi menyimpan sepedanya. Lalu berjalan ke
ruang kelasnya yaitu kelas 11. Sekolahnya terlihat ramai dengan banyaknya siswa lain yang
sudah ada di sekolah. Dia berhenti di depan pintu kelasnya. Kelas itu terlihat ramai namun ia
sendiri merasa kesepian ditengah keramaian itu.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya, ternyata itu adalah Sandy. “Hai bro, kamu baru
sampai ya?” tanya Sandy. “Eh hai, iya nih.” jawab Jerry. Sandy tersenyum, “Yaudah yok
masuk.” Mereka pun masuk ke dalam kelas bersama-sama.
Sandy dan Jerry duduk berdekatan. Belum saja mereka duduk dibangku, 2 orang
menghampiri mereka. “Heh Jerry! Kamu masih berani datang ke sekolah yah haha,” kata Tian,
“masih berani ya kamu ke sekolah.” Jerry yang sering mendapat bullyan dari mereka berdua
merasa takut. Teman-temannya yang lain tidak ada yang mau menolong Jerry.
“Kamu bisa berhenti—” ucapan Sandy terhenti karena bel masuk berbunyi. Semua siswa
kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Mereka bersiap untuk memulai pelajaran.
Guru akhirnya masuk dan memulai pembelajaran.


Kring! Suara bel istirahat terdengar nyaring ditelinga para siswa. Para siswa pun
berhamburan keluar kelas. Ada yang ke kantin, ada yang pergi ke toilet, ada juga yang pergi
berjalan-jalan di koridor sekolah. Kelas tempat Jerry berada menjadi sepi.
Sementara itu di kelas, Jerry memasukkan bukunya ke dalam tas. Saat dia ingin
meninggalkan kelas, seseorang menendang bangkunya. Lagi dan lagi itu adalah Tian, anak itu
sepertinya tidak tenang jika sehari saja ia tidak mengganggunya.
“Tidak bisakah kamu berhenti mengganggunya?!” teriak Sandy. “Sandy … Sandy, kok
kamu bisa sih membela anak satpam ini?” ucap Tian. “Hahaha, gaji Ayahnya bahkan tidak cukup
membayar sepatuku ini.” tawa Lea. Tawa Lea terdengar begitu menyakitkan bagi Jerry. Apalagi
teman-teman kelasnya ikut tertawa.
Kemudian seseorang datang untuk meredam tawa teman-teman kelas, Wulan namanya.
Wulan adalah siswa yang dikenal dengan sikapnya yang berani, sopan, dan baik oleh teman-
temannya. “Sudah cukup teman-teman, jangan menghina sesama kita seperti itu,” kata Wulan.
Mereka pun akhirnya terdiam dan melanjutkan aktivitas masing-masing.


Seorang anak memarkirkan sepeda berwarna biru gelap di rumahnya. Rumah sederhana
berwarna hijau itu di isi dengan keluarga kecil yang sangat sederhana. “Sore Ibu.” sapa Jerry
pada Ibunya. “Sore Nak, gimana sekolahnya?” tanya Ibunya. “Ya… biasa saja, tidak ada yang
menarik.” jawab Jerry. Jerry tidak pernah menceritakan apa yang ia alami di sekolah. Dia tidak
ingin Ibunya merasa sedih.
Jerry berjalan menuju kamarnya. Kamar itu terlihat kecil namun cukup nyaman bagi
Jerry. Jerry membersihkan dirinya dan bersiap-siap untuk belajar. Jerry membuka bukunya dan
kembali mempelajari pelajarannya di sekolah tadi.
Jam demi jam berlalu, jam makan akhirnya tiba. Jerry merasa lapar saat mencium aroma
masakan Ibunya. Dia merapikan buku-bukunya dan menuju ruang makan. Ternyata disana sudah
ada Ayahnya yang baru saja pulang kerja.
“Halo Yah.” sapanya. “Iya Nak, mari sini makan.” ajak ayahnya. Mereka semua duduk
dikursi. Aroma makanan yang ada dimeja sangat harum. Mereka berpegangan tangan dan
Ayahnya memimpin doa makan. Lalu, mereka menikmati makanan yang telah dimasak Ibunya.
Makanan yang dimasak Ibunya sangat enak. Menurut Jerry, Ibunya adalah pemasak yang handal.
Jerry menatap Ayahnya, dia sangat bersyukur Ayahnya tidak pernah menyerah walaupun
seringkali dia melihat Ayahnya direndahkan orang lain. Bagi Jerry, kedua orangtuanya bak
malaikat yang sangat baik. Diapun melanjutkan makannya.


Terdengar bentakan seorang guru dari ruang kelas 11. “Jerry! Tugas saya ini sudah dari
minggu lalu loh! Kok kamu belum kerjakan?” bentak guru itu. Jerry terdiam, sesaat kemudian
dia menjawab gurunya. “Saya tidak tahu ada tugas bu, waktu itu saya izin ke toilet saat pelajaran
sedang berlangsung dan kembali saat sudah pelajaran berikutnya.”Jerry menjawab dengan kepala
yang menunduk.
Jerry berbalik dan melihat wajah tahan tawa teman-temannya. Salahkah bila dia menjadi
anak dari seorang satpam? Jerry hanya bisa tertunduk lesu. Dia kembali ketempatnya dengan
wajah sedih. Ruang kelas kembali menjadi sunyi.
“Hai anak miskin, hahaha!” ejek Lea. “Waduh, ada yang gak kerja tugas nih.” sahut Tian.
“Udah miskin, pemalas lagi, kurang apa lagi coba.” ucap Lea “Kalau kalian gak mau bantu,
setidaknya tidak usah mengejek.” bela Sandy. “Tau tuh, si paling kaya.” Wulan tiba-tiba datang
menyahut. “Udah deh bubar aja kita Lea.” ujar Tian dengan malas. Mereka berdua meninggalkan
kelas dengan muka kesal.
Wulan mengajak Sandy dan Jerry untuk makan bersama. Mereka menghabiskan waktu
istrahat dengan makan dan cerita bersama. Jerry sangat senang karena ini pertama kalinya dia
menghabiskan waktu istrahat seperti ini. Jerry bersyukur punya teman-teman seperti mereka.


Jalanan sore ini dipenuhi dengan berbagai kendaraan yang berlalu lalang. Banyak juga
siswa yang baru pulang sekolah. Ada juga para pekerja yang baru pulang. Jerry terlihat seperti
semut diantara banyak orang.
Jerry melihat seorang anak yang kelaparan saat melewati taman favoritnya. Tampaknya
anak itu lelah dan merasa lapar. Setelah memarkirkan sepedanya. Ia menghampiri anak kecil itu.
Dia memberikan roti yang ia beli di kantin saat istirahat tadi. Anak itu berterima kasih dan
memakan roti itu dengan senang.
Keadaan sebenarnya sedang sulit bagi dirinya. Tetapi dia sadar diluar sana masih banyak
yang lebih membutuhkan daripada dirinya. Dia bersyukur masih bisa menolong orang lain. Ia
tahu hal-hal sederhana seperti ini bisa berarti bagi orang lain, salah satu contohnya adalah anak
kecil yang sangat bersyukur saat dia memakan roti yang ia berikan. Dia kembali mengambil dan
mengayuh sepedanya menuju rumah.
Saat sampai dirumah, dia langsung membersihkan dirinya. Dia juga membantu Ibunya
sebentar. Setelah itu dia lanjut belajar di kamarnya. “Astaga!” Jerry berseru kaget saat melihat
tugasnya sudah habis dirobek. Ia sudah sangat lelah dengan perlakuan teman-temannya. Jerry
mengambil kertas itu dan membuangnya. Lalu ia mengulang tugasnya lagi.


Bel berbunyi, menandakan pelajaran olahraga telah selesai. Para siswa dan siswi kelas 11
menuju ke ruang ganti untuk mengganti baju mereka. Jerry dan Sandy ikut menuju ke ruang
ganti laki-laki. Jerry mencari-cari baju seragamnya tapi tak kunjung menemukan barang itu di tas
miliknya. Sesaaat kemudian, dia melihat seragamnya berada di lantai kelas. Saat dia mengambil
seragamnya, teman-temannya menertawakan dirinya.
“Kalian semua gak usah gangguin Jerry terus deh!” seru Wulan. “Kalian semua memang
lebih mampu dalam hal ekonomi, tapi itu bukan jadi alasan kalian bisa bertindak seperti ini.”
ucap Sandy. “Udah-udah aku gapa-” ucapan Jerry terputus. “Ya gak bisa gitu dong!” Wulan
kembali menyahut. “Benar! Mereka udah perlakuin kamu gak adil.” kata Sandy.
“Dasar dianya aja yang miskin.” ucap Tian. “Benar tuh, siapa suruh orangtuanya gak bisa
cari kerjaan yang benar.” kata Le. “Heh! Aku memang gapapa diejek, tapi kalian gak boleh
merendahkan orangtuaku.” bela Jerry. “Dih cupu gausah sok jago.” ucap siswa lain.
Pak Luis yang mengamati mereka daritadi masuk ke dalam kelas. Pak Luis mengatakan
bahwa ia sangat kecewa dengan perlakuan siswa-siswa kelas 11. Seharusnya diusia seperti ini
kalian belajar menjadi lebih dewasa. Pak Luis meminta Jerry, Tian, Wulan, Sandy, dan Lea
untuk ke ruangannya sepulang sekolah.
“Gara-gara Jerry kita semua yang kena.” tuduh salah satu siswa. “Lagian udah tau miskin
ngapain sekolah, palingan juga nanti jadi satpam kayak ayahnya.” balas siswa lain. Jerry
berbohong, ia sebenarnya tak pernah merasa baik-baik saja. Namun, ia bisa apa?


Tidak terdengar suara apapun dari ruang konseling. Tiga siswa dan dua siswi enggan
membuka suara. Pak Luis yang menjadi guru konseling mereka, akhirnya membuka suaranya.
“Kenapa kalian mengganggu Jerry?” tanya Pak Luis pada Tian dan Lea. “Orang kayak dia
memang pantas diejek.” jawab Tian. “Kalau gak mau diejek suruh orangtuanya kerja yang
benarlah.” kata Lea.
“Tian dan Lea, kalian tidak berhak merendahkan orangtua Jerry seperti itu,” Pak Luis
kembali menyahut. “kalian tidak tahu apa yang mereka alami selama ini.” Dia berhenti sejenak
sebelum kembali berbicara. “Tuhan telah memberikan kita agar meninggalkan perbuatan
perbuatan kita yang jahat. Ingatlah pada Raja Salomo, dia adalah raja yang bijak dan adil semasa
hidupnya.” ucapnya. “Jadilah siswa yang baik. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik
anak-anak.” lanjutnya lagi.
Dia menatap kepada Jerry yang sedari tadi diam. “Jerry… kamu harus ingat bahwa Tuhan
tidak akan meninggalkan meninggalkan umat-Nya. Walaupun dalam keadaan seperti ini, kamu
harus ingat bahwa Tuhan selalu berada di sampingmu. Jangan pernah menyalahkan Tuhan atas
apapun.”
Pak Luis menasehati setiap siswa yang berada di depannya. Tian dan Lea akhirnya
menyadari bahwa setiap orang harus diperlakukan dengan baik. Tidak semua orang mendapat hal
yang sama dalam kehidupannya. Merekapun meminta maaf pada Jerry. Tian berkata, “Maafkan
kami berdua Jerry seharusnya kami tidak merendahkan kamu. Kami sungguh-sungguh ingin
berubah.” “Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan setara. Maaf ya.” Sahut
Lea.
“NAH! Gitu dong, kalau akur kan enak dilihat gitu.” seru Wulan tiba-tiba. Semua orang
dalam ruangan kaget mendengar suaranya tiba-tiba. Wulan hanya tersenyum tidak bersalah.
Mereka semua ketawa bersama-sama.
Hari demi hari berlalu, mereka semua semakin dekat. Tian dan Lea tidak lagi menganggu
teman-temannya yang lain. Teman-teman Jerry yang lain juga meminta maaf padanya karena
sudah bersikap tidak adil padanya. Mereka berempat mengakhiri kisah ini dengan berseru, “Ayo!
bersikap adil dengan sesamamu. Setiap orang adalah sama dan setara.”

Anda mungkin juga menyukai