Anda di halaman 1dari 6

Senja Yang Tak Lagi Indah

Seorang pelukis muda bernama Andy yang terkenal di seluruh Indonesia terbaring di
rumput nan hijau memandang langit senja di atasnya. Andre juga terkenal dengan bakat
melukis dan ide luar biasa yang tak pernah pudar. Namun kali ini, wajahnya nampak kusut
dengan papan canva yang kosong di sebelahnya.

Andy terbangun dan menghembuskan napasnya. “Kepalaku sakit, ide untuk melukis
menghilang, perut lapar, deadline untuk pameran sudah dekat. Hah ... kenapa di saat seperti
ini tidak ada jalan keluarnya? Aduhhh!!!” Andy mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

“Hei, jangan berteriak! Kamu mengganggu pengunjung yang lain!” Seorang gadis muncul
seketika di sampingnya, membuat Andy terperanjat terkejut.

“Kamu??? Siapa kamu??? Kok bisa ada di sini???” tanya Andy yang seakan-akan diserang
oleh kejutan bertubi-tubi.

Gadis itu tersenyum dan menyodorkan tangannya ke Andre. “Namaku Cindy, salam kenal.”

Andy dengan ragu menyambut tangan Cindy yang putih bening nan bersih. “Andy. Oh
iya, kamu belum jawab pertanyaanku. Kok bisa ada di sini?” Kini, suara yang tadinya
setengah berteriak berubah menjadi lembut.

“Aku ke sini karena mau melihat senja,” jawab Cindy menatap langit. “Aku harap, ini tidak
akan menjadi hari terakhirku melihat senja.”

Andy mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa kamu bilang begitu?”

Cindy terdiam sesaat. “Karena aku tidak bisa selalu keluar untuk melihat senja.”

“Apa yang membuat kamu berpikiran seperti itu?” tanya Andre kali ini dengan rasa ingin
tahu.

Cindy menatap sendu Andy. “Kita baru saja saling mengenal, jadi aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu, Tuan Andy.” Cindy bangkit berdiri dan meninggalkan Andy.

“Tunggu!” Suara Andy menghentikan langkah Cindy.

Cindy berbalik. “Ada apa?” tanya Cindy ramah.

“Akankah kita bertemu lagi?” Ekspresi penuh harap menghiasi wajah Andy.
Cindy menjawab pertanyaan Andy dengan senyumannya. Setelah itu, Cindy berbalik dan
meninggalkan Andy sendirian.

Andy tersenyum dan mulai melukis. Andy melukis wajah Cindy dengan background senja
dengan harapan bisa bertemu lagi dengan gadis tersebut.

Keesokan harinya, Andy kembali mendatangi tempat kemarin yaitu padang rumput
dengan harapan akan bertemu lagi dengan Cindy. Andy berencana untuk menunjukkan
lukisan yang dia buat untuk Cindy. “Kemana ya gadis itu?” Andy menatap jam tangannya
yang sudah menunjukkan pukul 5 sore, lalu berkacak pinggang. Pada pukul 6 sore, gadis
yang ditunggu tak kunjung datang. Alhasil, Andy memilih pulang ke rumah dari pada
menunggu sesuatu yang tak pasti.

Saat dalam perjalanan pulang, Andre melihat seorang gadis yang dibentak dan didorong
hingga terjatuh ke tanah. “Cindy? Cindy!” teriak Andy yang tak ayal langsung menghampiri
gadis tersebut. “Cindy, kamu tidak apa-apa?” tanya Andy khawatir.

Cindy menoleh dan terkejut. “Tuan Andy?”

“Oh, kamu pacarnya kah?! Lebih baik kalian pergi dari sini sebelum aku menghabisi kalian
berdua!” cecar wanita paruh baya tersebut. Setelah itu, wanita paruh baya itu masuk dan
membanting pintu utama rumahnya.

“Kamu diusir dari rumah?” tanya Andy. Ia merasa tidak tega ketika melihat nasib Cindy yang
mengenaskan.

Cindy hanya terdiam dan balik bertanya, “Kenapa Tuan bisa ada di sini?”

“Aku ke sini karena lihat kamu diusir sama nenek-nenek itu,” jawab Andy.

Cindy kembali terdiam. “Kamu seharusnya tidak menolongku, Tuan Andy. Kita baru saja
saling mengenal.”

Andy memutar bola matanya. “Ya, kita baru saja saling mengenal. Tapi, apa aku harus diam
saja melihatmu diusir dan diperlakukan kasar seperti itu? Kamu itu perempuan, Cindy. Tidak
seharusnya kamu diperlakukan seperti itu.”

Cindy bangkit berdiri dan menepuk bajunya yang terkena debu tanah. “Jangan khawatir, aku
sudah biasa mendapat perlakuan itu. Oh iya, apa kamu punya tempat tinggal? Aku perlu
tempat tinggal untuk sementara waktu sampai aku menemukan kembali tempat baru. Apa
anda tidak keberatan?”

Andy menggelengkan kepalanya. “Kamu bisa tinggal selama apapun yang kamu mau. Ayo
ikut aku.”

Cindy mengangguk dan tersenyum, lalu mengikuti langkah kaki Andy di depannya. Cindy
terus memperhatikan punggung tegap Andy. Wajahnya seketika merona ketika
membayangkan bila dia bersandar nyaman di punggung itu. Namun, itu tidaklah mungkin
karena mereka baru saling kenal.

Setibanya di rumah Andy, Andy membuatkan teh hijau dan menyediakan camilan untuk
Cindy. “Ini, kamu pasti belum makan dari tadi, kan?”

Cindy terkejut mendengar pertanyaan Andy. “Kok anda bisa tahu, Tuan?”

Andy mengernyit. ‘Tuan?’ “Jangan panggil aku Tuan, kita seumuran. Bagaimana aku bisa
tahu? Karena perutmu sangat berisik.”

Cindy yang mendengar itu pun menunduk menahan malu. Wajahnya kini merona seperti
tomat. “Se-seharusnya aku tidak bertanya,” cicitnya.

Andy terkekeh gemas, ia mengusap gemas rambut Cindy hingga berantakan. “Makanlah,
kamu pasti kelaparan.”

Cindy mengangguk dan memakan camilan dari Andy, setelah itu ia menyesap teh yang dibuat
oleh Andy. “Hmm ... enak sekali.”

Andy tersenyum mendengarnya. “Tentu saja enak. Teh dan camilannya dibuat dari bahan
yang berkualitas. Oh iya, aku mau nunjukkin sesuatu sama kamu.”

Cindy memiringkan wajahnya menatap Andy penasaran. “Mau nunjukkin apa?” tanyanya.

Andy menunjukkan hasil lukisannya kemarin pada Cindy. “Ini.”

“Ini...?” Mata Cindy membola ketika mendapati lukisan itu merupakan lukisannya. “Ini kan
aku?”

Andy mengangguk dengan senyuman yang masih tertahan di wajahnya. “Aku melukis ini
karena kamu cantik ditambah lagi dengan background senja, cantik sekali.”
Wajah Cindy merona mendengar pujian dari Andy. Hatinya terasa hangat dan kupu-kupu
berterbangan di perutnya. “A-ada-ada saja.” Cindy memegangi kedua sisi wajahnya yang
masih merona.

Seminggu sudah terlewati, Cindy dan Andy kian dekat. Bahkan setiap kali berpergian,
mereka selalu berdua. Sampai-sampai, ada yang mengira mereka pacaran. Mereka juga sering
menghabiskan waktu setiap sore ke padang rumput. Namun, seiring dengan dekatnya mereka,
ada pula seorang renternir yang datang ke rumah Andy dan menggedor pintu kayu itu.

“Woy! Buka pintunya! Kalau tidak, gue dobrak pintu ini!” teriak renternir tersebut.

Andy mau tidak mau membuka pintu rumahnya. “Ada apa ya? Kenapa gedor-gedor pintu?”

“Gue dengar, ada si Cindy di sini! Mana dia?! Suruh dia keluar atau gue sendiri yang seret
dia!” perintah renternir itu dengan nada ketus.

“Ekhem ... gue gak bakal biarin lo nyentuh Cindy.” Andy merentangkan tangannya untuk
menghalangi renternir itu masuk ke rumahnya.

“Ck, minggir!” Renternir itu mendorong tubuh Andy ke samping. “Gue gak ada urusan sama
lo, mendingan jangan ikut campur!”

Andy mematung sesaat, tubuhnya yang lebih kecil dari renternir itu pun mudah sekali
terdorong oleh renternir itu. Namun, keterdiamannya itu hanya sesaat. Andy segera menahan
tangan renternir itu hingga langkah kaki renternir itu terhenti. “Tunggu! Ini juga bakal jadi
urusan gue kalo lo ngapa-ngapain Cindy!”

“Oh, berani banget lo ngancem gue. Oke, gue mau lihat seberapa jago lo bertarung sama
gue.” Renternir itu memamerkan kuda-kudanya, begitu juga dengan Andy yang tak mau
kalah.

Mereka pun mulai bertarung dengan keahlian bela diri masing-masing. Sementara itu,
Cindy keluar dari rumah Andy karena mendengar keributan di luar. “Mas Andy???” ucapnya
shock. “I-itu....” Cindy diam-diam menunjuk renternir yang bertarung dengan Andy.

Beberapa menit kemudian, wajah Andy sudah mulai lebam berkat pukulan dari renternir
itu. Sang renternir yang tubuhnya lebih besar dan kuat hanya menderita sedikit luka yaitu
bibirnya yang robek. “Nah, masih mau sombong, nak?! Sekarang, serahkan cewek itu ke gue.
Gue bakal ampuni nyawa lo.”
Andy tersenyum miring. “Gak, gue gak bakal nyerahin Cindy ke orang kayak elo!” ucap
Andy tegas.

“Oh, masih mau ngelawan! Oke, gue bakal bunuh lo trus gue bakal bawa kabur si Cindy!”
Renternir itu tertawa keras setelah berkata demikian. Niat membunuhnya semakin besar
hingga tak segan-segan untuk mengeluarkan belati lipat dari kantong celananya. Renternir itu
menghunuskan belatinya ke arah Andy dan ingin menusuknya.

“Tidak!!!” Teriakan Cindy membuat Andy tersadar jika renternir tersebut hendak
melukainya. Namun, sebelum belati itu menancap di tubuhnya, pisau itu telah menancap di
tubuh Cindy.

“Cindy!!!” Kini teriakan Andy yang menguar setelah melihat Cindy tertusuk pisau. Tubuh
Cindy tumbang ke pelukan Andy. “Cindy, aku mohon kamu bertahan. Aku akan bawa kamu
ke rumah sakit.”

Cindy menggelengkan kepalanya tak mampu bicara. Ia hanya memasang senyumannya dan
menghapus air mata Andy yang mengalir. “Jangan nangis,” lirihnya.

“Please, jangan ngomong dulu! Aku akan telpon rumah sakit!” ujar Andy ketakutan.

Lagi-lagi, tangan Andy ditahan oleh Cindy. “Tidak perlu, sebentar lagi aku akan pergi dari
dunia ini. Aku udah bilang, kan? Aku bakal tinggal di sini sementara waktu, sampai aku
menemukan tempat tinggal.” Suara paraunya kembali bersuara. Cindy berbicara dalam satu
tarikan napasnya agar tidak terbata-bata. “Sekarang aku udah nemuin tempat tinggal.
Makasih atas semuanya, maaf aku merepotkan kamu. Aku pergi.” Mata Cindy mulai
terpejam mengakhiri perkataannya hingga membuat tangisan Andy semakin deras.

“Tidak! Kamu tidak boleh pergi! Hiks ... aku cinta sama kamu, Cindy! Cindy!!!” Andy
memeluk tubuh Cindy yang mulai mendingin. Tak dapat dipungkiri, rasa cinta itu mulai
tumbuh selama seminggu tinggal bersama.

Tiga hari setelah pemakaman Cindy, Andy menatap padang rumput tempatnya dan Cindy
menghabiskan waktu setiap senja. Di mana Andy selalu melukis wajah Cindy di kertas
canvanya. Sekarang, senja itu tak lagi indah baginya. Ada banyak kenangan bahagia di sana,
tapi kenangan buruk lebih menguasai ingatan.

Tak ada lagi keindahan senja karna kaulah senja terindah bagiku, Cindy.

Tamat
Halo teman-teman, nama saya Fenny Yulianti. Saya berusia 22 tahun dan asal saya dari
Bangka Belitung. Tujuan saya mengikuti lomba ini adalah untuk membuktikan jika menulis
itu ada manfaatnya tersendiri, seperti self-healing, menghibur, kalaupun bisa dapat uang saya
akan lebih bersyukur. Untuk itu, Pengalaman merupakan bonus yang paling berharga ketika
berkesempatan mengikuti Event ini. Sekian perkenalan dari saya, saya ucapkan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai