by Devandrta
Bab I
Jangan Pasung Cintaku
Prolog
Mungkin orang akan berpikir bahwa aku, Syandarini
Aprilia Joshepine Munaf, adalah gadis teraneh yang pernah
ada. Bagaimana tidak, seorang gadis yang hanya
menambatkan biduk cintanya hanya pada satu dermaga hati
saja, meski banyak dermaga yang dihamparkan di
hadapannya dengan pantai yang lebih indah sekalipun.
Sama ketika aku begitu mencintai secangkir Cappuccino
dan menolak banyak kopi lain yang ditawarkan kepadaku Espresso, Coffee Junket, Coffe Mocha, Iced Vanilla Latte
Espresso, Coffee Frappuccino, Tiramisu Latte, Cafe
Macchiato, Almond Cafe Au Lait, dan masih banyak jenis
kopi lainnya.
Sesungguhnya, bukan karena aku tidak kepingin. Bukan.
Tapi bagiku, minum kopi bukan semata untuk memenuhi
selera lidah. Namun lebih pada citarasa yang telah melekat
pada lidah.
Dan sejak mula, aku telah menentukan pilihanku pada
Cappuccino. Aku jatuh cinta padanya. Dan aku tidak
mungkin berpaling pada kopi-kopi lainnya.
Rindupuccino
- sebuah falsafah tentang cinta sejati
***
Syanda tercenung sesaat di muka kulkas memilih minuman yang hendak disajikannya
untuk Aditya. Kalau untuk dia sendiri sih, gampang. Cappuccino.
"Belum pulang juga anak itu?!" tegur Mama.
Syanda hanya menggeleng. Dia tahu, di rumah ini tidak seorang pun menyukai Aditya.
Dan yang paling sering menunjukkan rasa tidak senang itu adalah Mama.
"Sudah jam berapa ini...."
"Ini kan malam Minggu, Ma," kilah Syanda sambil mencomot sebotol Coca-Cola jumbo
dari kulkas.
"Malam Minggu sih, malam Minggu. Zaman Mama masih muda dulu juga ada malam
Minggu. Tapi tidak sampai selarut seperti ini hura-hura sama pacarnya."
"Zaman Mama kan, dua puluh tahun yang lalu. Kuno. Ya lain, dong," ujar Syanda
berkelakar.
Mama mencibir. "Botol yang keberapa itu?" tanyanya nyinyir, melirik dengan rupa tidak
senang.
"Kenapa sih, Ma? Minuman di kulkas itu kan, memang disediakan untuk tamu!"
"Anak itu suka minum, ya?"
Syanda membanting tubuhnya dengan kesal di atas sofa.
"Kata teman-teman arisan Mama, temanmu Si Aditya itu tukang minum. Tukang
begadang. Tukang kebut-kebutan."
"Tukang minum apa dulu. Ya, kalau minumnya softdrink sampai segentong juga kan
tidak apa-apa, Ma. Namanya juga anak muda, begadang dan kebut-kebutan itu biasa.
Kalau tidak dilakukan selagi muda, kapan lagi dong, Ma? Apa mesti kalau sudah jadi
kakek-kakek?" bela Syanda seraya beranjak berdiri. Dia baru ingat kalau Aditya masih
menunggu di luar.
"Huh, kamu ini! Dibelaaa terus Si Aditya. Pemuda itu tidak punya masa depan. Mana
boleh kamu menggantungkan diri pada orang yang tidak punya masa depan? Mau makan
apa kamu nanti? Mau makan batu, apa?!" tukas Mama sengit.
Syanda hanya menghela napas lantas berlalu meninggalkan Mama. Mama memang
cerewet. Syanda sadar, siapa pun akan menilai Aditya sebagai anak berandalan. Sebab
cowok itu kelewat apatis. Cuek-bebek. Tukang balap. Doyan begadang. Tapi bagi
Syanda, hal itu bukan merupakan citra buruk selama semua itu dilakukan sebagai trend
anak muda belaka. Toh, selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal yang negatif.
Malah, perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berkurang secuil pun kepadanya.
Ya, mungkin Mama benar. Aditya tidak punya masa depan yang menjanjikan. Tapi, apa
peduliku? pikir Syanda. Hari ini memang mereka pacaran. Tapi esok? Hari esok pasti
menjanjikan cerita yang berbeda dengan hari ini. Dan Syanda merasa hari-hari yang akan
dilaluinya masih panjang.
"Lama banget. Kukira kamu ngambil Coca-Cola-nya sampai ke pabriknya," goda
Aditya, menyambut gadisnya yang keluar dengan sebotol minuman ringan.
Syanda tersenyum.
"Nih, minum sampai mabuk!" Diserahkannya botol Coca-Cola itu ke tangan Aditya.
"Mamamu marah lagi, ya?" tanya Aditya.
"Kok tahu? Nguping, ya?"
"Tidak usah nguping juga kedengaran dari sini, Syan. Suara Mamamu itu bisa sampai ke
bulan kalau lagi ngedumel."
Syanda terkikik. Dicubitnya lengan Aditya dengan gemas. Selalu saja ada bahan untuk
memancing tawanya.
"Jangan terpengaruh Mamamu ya, Syan? Aku cinta banget sama kamu!" ujar Aditya,
mendadak jadi serius.
Syanda tercenung. Ditatapnya mata lugu di hadapannya dengan hati berdentam. Cinta?
Cintakah aku kepada Aditya? Terlalu pagi rasanya mengucapkan kata-kata itu. Sampai
detik ini, yang dia tahu, dia hanya merasa senang berada di dekat Aditya. Itu saja.
"Aku juga sayang kamu, Dit!" ujar Syanda akhirnya setelah berhasil meredakan gemuruh
di hatinya.
Aditya menggenggam tangannya.
"Walaupun aku tidak naik sedan seperti Edo?" tukasnya.
"Hei, hei! Memangnya aku cewek matre apa?" Syanda melototkan matanya. "Aku tuh,
suka dibonceng sama motor trailmu itu asal kamu tidak ngebut saja."
"Tapi, aku juga tidak punya banyak duit buat neraktir kamu."
Aditya... ah, pasti polisi-polisi itu salah menangkap orang. Pasti Aditya hanya ikut
terjaring operasi penertiban narkoba dan ekstasi. Mungkin beberapa temannya memakai
narkoba. Tapi Aditya? Syanda membatin galau. Dia kenal betul siapa Aditya Putra
Wicaksana. Tukang balap yang setiap Minggu tidak pernah absen ke gereja. Tapi kalau
teman-temannya junkies, apakah tidak mungkin Aditya juga ikut-ikutan walau cuma
sedikit?
"Ti-tidak mungkin! Tidak mungkin!" desis Syanda berulang-ulang. Matanya mulai
membasah. Bibirnya bergetar menahan tangis.
"Tapi, Aditya kan perokok?" bantah Santi.
"Aku harus ketemu Aditya!" Syanda meninggalkan Santi yang masih menatap kakaknya
dengan pandangan heran.
Siapa pun pasti heran. Gadis semanis dan sepandai Syanda mau menggantungkan hatinya
pada cowok bengal yang tidak ketahuan ke mana tujuan hidupnya. Tapi, siapa yang tahu
kalau di balik semua sikap buruk Aditya ternyata ada sebongkah emas murni. Dan
Syanda-lah yang tahu di mana emas itu tersembunyi.
Cuma Syanda yang tahu.
***
"Waktu Nona cuma tiga puluh menit," pesan satpam yang mengantar Syanda ke ruang
tamu panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Ternyata panti rehabilitasi ini juga dilengkapi
dengan beberapa aparat keamanan. Syanda agak bergidik tatkala melihat beberapa
penghuni yang juga sedang menerima tamu. Badan mereka kurus kering dan tatapan
mereka hampa. Ah, Aditya-nya bukan orang jenis seperti itu.
Dan Syanda semakin yakin kalau polisi salah menjaring orang. Mata Aditya selalu
berbinar dan bersemangat manakala menyanyikan lagu-lagu rohani di gereja. Ah, mana
bisa dia disamakan dengan para junkies itu?!
"Kamu datang juga," suara berat Aditya membuyarkan lamunan Syanda.
"Ka-kamu... ke-kenapa?!"
Aditya menarik kursi di hadapannya. Menatap lurus sepasang mata indah milik gadis
yang belakangan ini diakrabinya melebihi apa pun juga.
"Kamu pikir aku sama dengan mereka...."
"Tidak. Aku yakin kamu tidak bersalah...."
Aditya mengerjap-erjapkan matanya. Kepalanya terkulai lemas. "Malam itu, Omar dan
Maxi ternyata bikin pesta gila-gilaan di rumahnya, di tempat kami biasa nongkrong
ramai-ramai. Aku ingat pesanmu untuk segera pulang, Syan. Tapi terlambat. Polisi
ternyata sudah mengepung kami. Semua terjaring. Malah, Maxi dan Omar ditahan di
polsek Menteng," ceritanya dengan suara serak.
"Tapi kamu ti-tidak...."
"Demi Tuhan, Syan. Demi Tuhan aku tidak...."
"Aku percaya...."
"Terima kasih. Hanya kamu yang mau percaya aku."
Syanda memaksakan bibirnya tersenyum. "Berapa lama kamu di sini?"
"Entahlah, Syan. Mungkin sebulan. Atau, mungkin pula bisa setahun...."
"Se-setahun?!" Syanda terbelalak.
"Kamu malu aku masuk panti rehabilitasi?"
Syanda menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku hanya takut membayangkan hari-hari yang
mesti kulalui tanpa kamu."
Aditya mengeraskan rahangnya. Berusaha menahan airmata yang hendak menyeruak.
Laki-laki pantang mengeluarkan airmata. Dia harus menunjukkan ketabahannya di
hadapan Syanda. Bukannya malah menambah rasa pedih di hati gadis yang sangat
disayanginya itu.
"Memang lama. Tapi...."
"Ak-aku akan tabah, Dit. Aku akan menunggu...."
"Ja-jangan...."
Syanda tersedu. "Ak-aku akan menunggumu sampai kapan pun juga!"
Aditya merengkuh pundak gadisnya. Membiarkannya menangis di bahunya. "Terima
kasih untuk ketulusanmu."
Waktu berlalu. Tiga puluh menit berjalan tanpa terasa. Mereka harus berpisah tepat
ketika bel tanda besuk berakhir berdenting memekakkan.
"Pulanglah...."
"Dit...!" Syanda kembali memeluk Aditya setelah sesaat tadi siap melangkah keluar.
"Jangan lupa berdoa, ya?"
"Pasti." Aditya mengangguk lalu melambai setelah Syanda berdiri di bawah bingkai pintu
keluar ruang tamu. Ditatapnya tubuh Syanda yang menirus dan menghilang di balik
tembok. Dua petugas satpam telah mengapitnya untuk menggiringnya masuk dan
berkumpul dengan penghuni panti rehabilitasi lainnya.
Di luar, betapa inginnya Syanda berteriak lantang. Bahwa Aditya sama sekali tidak
bersalah. Aditya bukan junkies . Tapi, siapa yang peduli? Bahkan, Aditya pun tampak
pasrah dan tabah menerima kenyataan itu. Dipisahkan dari orang-orang tercinta.
Syanda menyusut airmatanya. Diayunkannya langkah lebih cepat menyusuri koridor
panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa'. Dia ingin ke kapel. Berdoa di sana. Melaburkan dirinya
di dalam damai dan teduhnya sinar Ilahi.
Next to Page 2
Keterangan
Ember = memang (bahasa gaul atau prokem Jakarta ).
Cingcai = tidak apa-apa (bahasa Betawi yang diadaptasi dari bahasa Tionghoa).
Nyabu = mengisap shabu-shabu (bahasa melayu Jakarta yang diadaptasi dari kata shabushabu).
Junkies = sebutan untuk pecandu atau pemakai narkoba (khususnya jenis shabu-shabu
dan putauw).
Kapel = gereja kecil (di asrama, biara, dsb).
Bab II
To You I Belong
Rain feel down
You where there
I cried for you when I
hurt my hand
Storm a-rushing in
Wind was howling
I called for you, you where there....
Suara B*Witched dari Radio Prambors FM masih memenuhi ruang kamar Syanda. Di
atas bantal, Syanda merenung. Terlentang menatap langit-langit kamarnya. Tiada lagi
hari-hari bersama Aditya. Tidak ada lagi acara JJS yang mengesankan. Tidak ada acara
shopping bersama ke Blok M Plaza. Juga, tidak ada tawa canda ceria lagi di malam
Minggu. Ah, betapa beratnya menerima kenyataan kehilangan sesuatu yang amat berarti
dalam hidupnya secara tiba-tiba. Hari-harinya kini terasa terpenggal. Padahal baru
beberapa hari berlalu. Apalagi satu tahun?
Syanda bergidik membayangkan. Tiga ratus enam puluh lima hari harus dilaluinya dalam
kesendirian. Apakah dia akan mampu mempertahankan rasa sayangnya kepada Aditya?
Apakah dia sanggup memerangi setiap kejenuhan yang datang? Belum lagi sindiran sanasini yang akan membuat kupingnya memerah. Syanda pacaran dengan junkies! Pacar
Syanda ada di panti rehabilitasi milik yayasan Katolik 'Nusa Bangsa'. Ah!
Tok-tok-tok.
"Masuk," ujar Syanda tak bergeming.
Pintu berderit, dibuka. Wajah Mama menyembul.
"Sedang apa, Syan?" tegur Mama lembut sambil melangkah masuk.
Syanda menggeleng.
"Melamun terus." Mama mengangkat bantal dan guling yang berserakan jatuh di lantai.
"Berantakan betul kamarmu. Uh, sama kusutnya dengan wajahmu yang awut-awutan
itu."
"Nanti Syanda rapikan."
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan anak itu lagi? Sekarang terbukti kan, kata-kata Mama
dulu?" ujar Mama dengan perasaan bangga.
"Apanya yang terbukti?!" Syanda tersinggung.
"Lho? Kurang bukti apa lagi? Aditya sekarang tengah dirawat di panti rehabilitasi untuk
orang yang kecanduan obat-obat terlarang. Itu tandanya dia morfinis atau entah apalah
namanya. Masa sih kamu tidak sadar juga, Syan?!" pekik Mama tertahan.
Syanda menggeleng.
"Bukannya Syanda membela Adit, Ma. Tapi, Mama harus tahu kalau polisi salah
menjaring orang. Adit hanya ber...."
"Ah, Mama tahu semuanya, kok," potong Mama. "Mama sudah punya firasat yang buruk
pada anak itu."
"Memang Mama tidak senang sama Aditya, kok! Kenapa sih, Ma?! Apa Aditya pernah
bikin salah sama Mama?!" tanya Syanda serak sambil menatap kosong langit-langit
kamar.
"Tidak. Mama tidak menyukainya karena dia dekat dengan anak Mama. Mama tidak mau
anak perempuan Mama ikut-ikutan rusak! Belum lagi ocehan tetangga yang ramainya
seperti pasar. Mau dikemanakan muka Mama ini?! Anaknya pacaran sama pemabuk,
tukang kebut, berandalan. Kok, dibiarkan saja...."
Syanda menghela napas keras. "Tapi Aditya tidak seperti sangka Mama!"
"Kamu terus saja membelanya, Syan. Heran. Jangan-jangan kamu sudah dipelet."
"Dipelet? Dipelet pakai apa?! Apa Mama tidak tahu kalau Aditya rajin ke gereja?" bantah
Syanda jengkel. Mamanya mulai tidak rasional.
"Ah, itu kan cuma pura-pura saja. Supaya kamu makin simpati kepadanya. Aslinya
berandalan, ya tetap saja posisinya di tengah-tengah orang yang berandalan."
"Tidak! Aditya tidak bersalah. Dia memang bandel, tapi tidak seburuk sangka Mama. Dia
bukan pemabuk, pecandu narkoba. Dia bukan berandalan!" seru Syanda gusar.
Mama tersenyum melecehkan.
"Kamu mau bela dia lagi? Mau bilang bahwa polisi salah menjaring orang?"
Syanda terdiam.
"Polisi tidak asal tangkap saja, Sayang. Mereka menyelidiki dulu. Kalau Aditya ikut
terjaring, itu tandanya dia betul bersalah. Dia betul morfinis, atau apalah namanya. Sebab
polisi tidak bakalan menahan orang tanpa bukti."
Syanda makin diam, terjerat oleh kata-kata Mamanya. Hatinya mulai ragu. Siapa yang
salah. Polisikah? Mama? Atau, jangan-jangan justru Aditya yang begitu pandai
mengelabuinya? Atau... ah!
"Berhentilah memikirkan dia." Mama mengelus kepala Syanda.
Sementara lagu terus mendayu-dayu, pikiran Syanda membelit benaknya sendiri. Hanya
beberapa hari berlalu tanpa Aditya, tapi semua telah tampak demikian kabur. Masih
beratus-ratus hari lagi, tentulah bayangannya akan semakin jauh dan makin tak kelihatan.
Makin samar, lalu menghilang....
Whenever dark turns to night
And all the dreams sing their song
And in the daylight forever
To you I belong
Beside the sea
When the waves broke
I drew a heart for you in the sand
in fields where streams
Turn to rivers
I ran to you, you where there....
***
Aditya tampak kurusan dengan seragam hijau tuanya itu. Dagunya membiru habis
dicukur. Rambutnya tidak lagi gondrong. Syanda menatap iba. Aditya yang dulu
senantiasa bersemangat, kini harus menghabiskan detik demi detik di sebuah panti
rehabilitasi. Segalanya harus diawasi. Segalanya dibatasi. Bagai terpenjara.
"Apa kabar, Dit?" sapa Syanda canggung.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" Adit mencoba tersenyum. Tapi di mata Syanda senyumnya
kelihatan hambar. Jujur, Aditya tentu tidak kerasan di tempat ini. Senyum tadi hanya
untuk membahagiakannya saja. Hanya sekedar untuk mengusir rasa resah dari dalam diri
Syanda.
"Ak-aku baik." Syanda tertunduk.
"Mamamu dan Santi?"
"Mereka baik-baik saja dan titip salam untukmu."
"Mamamu juga?!"
"Ya, Mama juga...."
Aditya menyeringai. "Kamu bohong! Mamamu pasti makin benci sama aku. Bahkan,
Ibuku sendiri mulai bosan menjengukku ."
"Dit, kamu mau berjanji kepadaku?"
"Apa?"
"Berhentilah merokok. Berhentilah ngebut dan begadang setelah kamu keluar dari panti
ini," pinta Syanda.
"Pasti. Pasti. Aku telah berhenti merokok, Syan. Dan di sini, aku lebih suka tidur
ketimbang begadang."
"Syukurlah. Kamu juga tidak lupa berdoa, kan?"
"Tentu. Kebetulan di sini ada kapel. Kamu lupa, panti ini milik yayasan Katolik. Malah
aku mulai akrab dengan salah satu pastornya," cerita Aditya agak bersemangat.
Tapi masih beratus hari lagi mesti kamu lalui di sini, bisik Syanda pedih. Masih adakah
semangatmu esok? Lusa? Bulan depan?
"Kamu juga mendoakan aku?" bisik Syanda. Menggenggam jemari Aditya.
"Ya. Mendoakan kita. Aku dan kamu. Juga Mamamu."
"Mamaku juga?!"
"Ya. Aku menyesal. Seandainya saja sejak dulu kemauan Mamamu kuturuti, tentu
Mamamu tidak akan menentang hubungan kita. Juga tragedi sialan ini tidak bakal
terjadi...."
"Sudahlah, Dit!" Syanda menyentuh lembut bahu kekasihnya.
"Aku kangen kamu, Syan...."
"Kamu pikir aku tidak? Aku sering kebingungan menghabiskan malam Minggu-ku
dengan membaca atau menonton TV," ujar Syanda.
"Kamu... ah maaf. Aku ingin tahu, apakah ada yang mengisi tempatku di hatimu selama
aku tidak ada?" tanya Aditya hati-hati.
Syanda menggeleng. "Jangan bicarakan hal itu."
"Apakah kamu akan setia, Syan?" Aditya menatapnya dengan tajam.
Syanda makin rikuh. Dia takut Aditya membaca kebimbangan yang mulai sering
merecoki hatinya. Ah, kamu tidak tahu bagaimana kejamnya dunia memusuhimu, Dit!
Mempengaruhiku untuk meninggalkanmu dan merengkuh asa yang lebih baik. Selama ini
aku mencoba bertahan tapi aku mulai ragu. Apakah pasak yang kita bangun bersama akan
cukup kuat menyanggah setiap empasan badai yang datang? Sementara hari masih begitu
panjang dan gersang. Apakah semua akan berlalu seperti rencana kita, Dit? Syanda
membatin dengan kepala tertunduk. "Hei, kamu tidak datang untuk membingkiskan
airmata untukku, kan?" goda Aditya, mencairkan kebekuan suasana, lalu menghapus titik
airmata yang menempel di pipi kekasihnya tersebut.
Syanda tersenyum. Menyusut sisa airmata yang menggantung di sudut matanya yang tak
tersentuh tangan Aditya tadi.
"Ma-maafkan aku, Dit. Aku sedih membayangkan hari-hari sepi yang harus kamu lalui
sendiri di sini," kilahnya.
"Aku akan baik-baik saja."
Bel berbunyi. Memisahkan mereka kembali. Hari terus berganti dan roda terus berputar.
Bagi Aditya, mungkin tidak terlalu sulit. Tapi aku? batin Syanda.
Syanda menyeret langkahnya meninggalkan panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' dengan hati
galau. Dunia seakan menertawakan dirinya yang mau saja setia pada pemuda seperti
Aditya. Duh!
Bab III
Aku Akan Tetap Menunggumu
Syanda tercenung menatap lembar-lembar diarinya. Belakangan ini dia seolah
menorehkan kenangan biru dan kelabu semata. Biasanya, hari-hari yang dicatatnya
adalah hari penuh bunga, penuh tawa dan canda ceria bersama Aditya. Tapi kini?
Dihelanya napasnya yang kian hari terasa berat. Bahkan ada sekelumit rasa enggan untuk
mengisi diarinya lagi.
Diari, tulisnya. Entah apa lagi yang akan terjadi esok, lusa, minggu depan, bulan depan,
seratus hari lagi, dan... ratusan hari yang lain lagi. Ah, sepertinya semua mendadak
hilang. Begitu tiba-tiba dan tanpa sisa untukku!
Apa yang tengah dilakukan Aditya di panti sana? Apakah dia merasakan sepi yang
menggigit nurani ini? Apakah dia juga tengah bergumul dengan keragu-raguannya?
Apakah dia juga mulai bimbang? Ya, Tuhan! Kenapa petaka itu harus ditanggungnya?!
Rasanya Aditya berada jauh. Sangat jauh. Karena biasanya, tidak ada jarak di antara
kami. Tapi sekarang? Hanya tiga puluh menit seminggu. Betapa singkatnya. Betapa
pendeknya setiap detik yang berlalu untuk bertukar kasih dan sayang. Waktu seolah
musuh yang menakutkan buatku! Waktu pulalah yang memisahkan aku dengan Aditya.
Aku benci, aku benci waktu! Syanda membatin pilu.
Tapi, apakah ini yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu. Selama ini pikiranku belum
sampai ke sana . Aku hanya kadang merasa takut kehilangan Aditya. Aku rindu. Aku
kangen. Tapi, aku bimbang....
Mungkin cinta memerlukan pengorbanan. Apakah aku siap menderita untuk Aditya?!
Jawabnya masih kucari, entah di mana. Bahkan, di hari-hari belakangan ini pun aku
mulai ragu. Apakah aku masih memiliki kesetiaan untuknya?! Apakah aku masih harus
setia menunggunya?!
Kami masing-masing sudah menjauh. Tidak lagi saling mengetahui. Tidak lagi saling
berbagi. Setiap perjumpaan, yang hadir hanyalah airmata kesedihan. Tidak ada lagi derai
tawa. Tidak ada lagi senyum Aditya yang membuatku rindu. Semua telah berubah....
Syanda menghela napas. Direbahkannya dirinya ke sandaran kursi.
"Syan...," panggil Santi yang tiba-tiba saja sudah masuk dalam kamar.
"Ada apa?" Syanda menghapus dua titik airmatanya. Ditenangkannya dirinya. Dia tidak
ingin Santi mengetahui kalau dia kembali menangisi Aditya. Cowok yang sudah rusak
segala-galanya di mata orang-orang.
"Boleh mengganggu?" Santi duduk di bibir ranjang. "Sudah selesai menulisnya?"
Syanda mengangguk. Menutup diari merah mudanya.
"Tadi aku ketemu Nimo di Pondok Indah Mall. Kamu masih ingat dia? Katanya, teman
SMA-mu."
Syanda termenung sesaat. Nimo?! Geronimo Panggabean?!
"Ya, ya. Aku masih ingat."
Syanda tersenyum. Siapa yang tidak kenal Nimo. Anak Batak bandel yang gencar
mengejarnya itu. Dia cukup cute. Tajir. Royal. Dan yang pasti, dia anak pejabat berstatus
sosial baik-baik. Syanda terkenang masa SMA-nya dulu. Waktu itu, semua tahu Nimo
tergila-gila kepadanya. Tapi itu dulu. Sebelum dia mengenal Aditya. Meski Nimo baik
kepadanya, tapi ada sesuatu yang sama sekali membedakannya dengan Aditya. Itulah
sebabnya lantas dia lebih memilih Aditya.
"Nimo nanyain kabarmu," gugah Santi.
"Oya?" Syanda pura-pura cuek. "Dia masih ingat aku?"
Santi mengangguk mengiyakan.
"Katanya juga, salam buat Aditya."
"Nimo, Nimo...." Syanda tersenyum kembali.
"Sebetulnya kenapa dulu kamu menolak Nimo sih, Syan?" tanya Santi ragu.
"Kenapa? Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau kamu kelak menghadapi masalah seperti
aku, kamu akan mengerti sendiri, San."
"Tapi, Nimo memiliki hampir segalanya," bantah Santi.
"Aku tahu."
"Lalu... ah, aku heran sama kamu. Padahal, Nimo.... Duh, kenapa sih kamu masih
mengharap Aditya?!"
"Aku aku hanya bersikap dewasa, San! Berkomitmen dengan janji-janjiku kepada Aditya
selama ini. Terlepas dari semua itu pun, aku menemukan sesuatu dalam diri Aditya yang
sama sekali tidak dimiliki oleh cowok-cowok lain. Juga tidak dalam diri Nimo," jawab
Syanda dengan suara paruh tangis.
"Apa itu?!" Santi bertanya sinis. Melecehkan.
"Kejujuran. Aditya memang nakal. Bandel. Tapi, dia jujur. Dia tidak malu orang lain
mengetahui tingkah-lakunya. Dia tidak menutup-nutupi apa pun dariku. Aku salut!"
"Kamu juga salut dong, dengan keberhasilannya masuk panti rehabilitasi?!" serang Santi
memojokkan.
"Ka-kamu...." tukas Syanda gusar. "Dia bukan junkies, San! Harus berapa kali aku bilang,
kalau itu bukan salah Aditya! Dia hanya ikut terjaring saat operasi berlangsung. Dia tidak
tahu apa-apa!"
"Apakah kamu tidak memikirkan apa yang bakal terjadi padanya bila kelak dia keluar
dari panti rehabilitasi itu? Dia akan terkucil, Syan!" teriak Santi, berdiri dari duduknya.
"Apakah kamu mau ikut-ikutan dikucilkan orang? Oh, Syanda, kakakku sayang!
Berpikirlah rasional. Kamu terlampau sentimentil. Sok idealis tanpa memperhitungkan
untung-ruginya."
"Cinta tidak pernah memperhitungkan untung-rugi, San!" Syanda menggigit bibir.
"Kamu kelewat mencintainya! Oh, betapa beruntungnya cowok itu, dicintai kakakku
yang berhati bidadari."
Syanda tercekat. Setulus itukah cintanya kepada Aditya?! Padahal, sejujurnya dia mulai
ragu dengan kesetiaan cintanya kepada Aditya! Cuma cinta emosi, mungkin. Syanda
mengusap wajahnya.
"Syan, lupakanlah Aditya-mu itu. Tinggalkan Aditya sekarang, dan mulai lagi dengan
harimu yang baru. Masih banyak kok, cowok yang lebih baik dari dia." Santi masih
berusaha membujuk.
"Tinggalkan aku sendirian di sini, San!" pinta Syanda lemah.
"Oke, oke," Santi mengembangkan senyumnya sembari menjawil hidung kakak semata
wayangnya itu, jelas untuk meringankan suasana hati. Kemudian dilangkahkannya
kakinya dengan melompat-lompat kecil sampai ke bawah bingkai pintu kamar. "Tapi
janji lho, kamu tidak akan nangisin Aditya-mu itu lagi."
Aditya. Juga soal kesetiaan. Soal apa pun tentang Aditya hanya akan menumbuhkan
kedukaan yang kian dalam saja. Makin membuatnya merasa bahwa hari penantian kian
panjang dan tak berujung.
"Hari ini Kewiraan. Dua jam."
"Kewiraan lagi? Huh!" Syanda menghela napasnya.
"Pasti malas lagi. Bolos lagi?"
"Tauklah. Aku bosan sama Pak Irwan dan caranya mengajar itu. Setiap kali mata kuliah
Kewiraan, aku hanya terkantuk-kantuk di ruang kuliah."
"Jadi?" Sonya menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. "Kamu terus atau ke kiri?"
Syanda melirik ke kiri. Rasanya lebih baik dia menghabiskan siang ini di kantin saja.
Seorang diri, menghabiskan waktu sembari menanti Sonya untuk pulang bareng nanti.
"Ke kiri saja." Senyum Syanda disambut cubitan jengkel Sonya.
"Tunggu aku, ya?" pesan Sonya sebelum berlalu.
Syanda melambai. Diayunkannya langkahnya ke kantin. Lantas dipesannya secangkir
cappuccino dan sepotong roti keju bakar setibanya di sana. Ah, betapa segarnya badannya
setelah beberapa hari dia menghindarkan diri dari tempat yang bernama kampus ini.
Betapa jernih pikirannya setelah beberapa minggu dia menghindari tatapan orang-orang
yang kebetulan tahu siapa dia dan siapa Aditya.
Diteguknya kopinya dengan semangat begitu pesanannya tersaji di hadapan. Ah, mana
tisu? Syanda mengorek-ngorek tasnya untuk mencari sepotong tisu guna memegang roti
bakar yang berminyak dan agak panas itu.
Pluk. Sebuah benda terjatuh dari tasnya. Korek api Aditya! Korek api yang dulu sempat
disembunyikannya agar Aditya tidak merokok di rumahnya.
"Punyamu?"
Ups. Rupanya Syanda kalah cepat dengan tangan kekar yang kini menyodorkan benda itu
kepadanya.
"Ya." Ditatapnya si penolong itu. Seorang cowok berambut cepak ala Tintin, berkemeja
garis-garis dengan lengan baju yang dilipit rapi.
Cowok itu tersenyum simpatik.
"Terima kasih," ujar Syanda lagi.
"Sama-sama. Kamu kuliah di sini?" tanyanya lagi.
Syanda mengangguk.
Cowok itu menatap berkeliling. Rupa-rupanya kursi kantin telah penuh terisi. Syanda
menatap cowok itu lantas mengambil inisiatif.
"Duduklah di sini kalau kamu mau."
"Oh, terima kasih. Kursi-kursi kantin selalu penuh pada jam-jam begini. Jam-jam lapar!
Hahaha...." Cowok itu tertawa. "Oya, kita belum kenalan. Saya Ivan, Ivan Prasetyo.
Fakultas ekonomi semester dua."
Syanda menyambut uluran tangan Ivan. "Syanda. Syandarini Aprilia Joshepine Munaf.
Aku di fakultas psikologi. Baru semester pertama."
"Calon psikolog? Wah, saya harus hati-hati kalau begitu."
"Kenapa?"
"Katanya, psikolog bisa tahu apakah seseorang jujur atau berbohong hanya dengan
menatap mata orang itu. Betul? Apakah ilmumu sudah sampai di situ?"
Syanda tertawa. "Ada-ada saja," kilahnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh, tapi ngomong-ngomong, rasanya saya memang sering lihat kamu dulu. Habis cuti
mengabari aku lagi. Sampai-sampai aku harus mencari tahu kabarmu lewat teman-teman
SMA dulu," ujar Nimo dengan nada suaranya yang khas. Keras.
"Ah...."
"Bagaimana kabarnya, Aditya?"
"Ba-baik!" Syanda terbata.
"Aku turu... turut apa, ya? Mendengar kabar Aditya masuk panti rehabilitasi, aku ikut
prihatin. Sungguh Syan, aku tidak nyangka Aditya seburuk itu. Aku...."
"Sudahlah!" penggal Syanda jengkel. "Kalau kamu hanya menelepon untuk
membicarakan kejelekan Aditya, lain kali saja!"
"Oh, maaf. Tunggu dulu, Syan. Aku hanya...."
"Semua selalu menuduh Aditya yang bukan-bukan. Aditya yang salah, Aditya yang
buruk, Aditya yang junkies. Lalu buntut-buntutnya aku yang bodoh, yang mau saja
menanti cowok bengal tukang teler yang sudah tidak punya masa depan lagi!" seru
Syanda dengan isak tertahan.
"Syanda...."
"Beratus kali sudah kukatakan kepada semua orang. Aditya tidak bersalah. Dan aku juga
tidak salah menanti dia. Kesetiaanku selama ini bukanlah sesuatu yang tolol dan sia-sia.
Kamu dengar itu?!"
Klik.
"Hallo! Hallo! Syan, Syanda...!"
Tapi Syanda telah membanting gagang teleponnya. Menuntaskan setiap percakapan
tentang Aditya. Tentang kebodohan dirinya. Tentang penantiannya yang terasa sia-sia.
Penantian yang tak berujung.
Benarkah tindakanku ini? Syanda bertanya kepada dirinya sendiri. Ditatapnya bayangan
dirinya dalam cermin besar bufet di muka pesawat telepon. Ada seraut wajah tirus dengan
sepasang mata sayu di sana. Aditya telah pergi membawa hari-hariku. Akankah dia
kembali? Haruskah kutunggu dia dan kubiarkan diriku sendiri hancur oleh penantian dan
kerinduan yang sarat? Tidak bolehkah aku sedikit memikirkan diriku sendiri?
Membenahi hatiku yang porak-poranda dan menata kembali hari-hariku? Mencari secuil
keceriaan, tawa dan semangat dari orang lain?
Sekilas seraut wajah melintas di benaknya. Ah, Aditya! Akankah semua usai dan berganti
dengan hari-hari yang indah seperti dulu lagi?
***
Ruang tunggu di panti rehabilitasi 'Nusa Bangsa' masih sama seperti minggu-minggu
yang lalu. Dua minggu sudah Syanda alpa menjenguk Aditya.
"Apa kabar?" sapa Aditya agak kering.
"Baik."
"Lama tidak kemari...."
"Kamu marah?" tanya Syanda hati-hati.
Aditya menggeleng. "Tidak ada yang salah. Kamu berhak merasa jenuh...."
"Aku tidak jenuh, Dit. Hanya saja... hanya saja kuliahku menuntut waktu yang agak
banyak. Kamu tahu sendiri, beberapa waktu lalu nilaiku jeblok semua. Kini aku tengah
memperbaiki segalanya. Memulai lagi dari awal, sendiri tanpa kamu. Kamu mengerti,
kan ?"
Bab VI
Bukan Aku Tak Sayang
"Nah, ketemu lagi!"
Syanda tersentak. Dan puluhan mahasiswa lain yang berada di perpustakaan itu pun ikut
tersentak.
Ivan agak risih juga. "Maaf, aku mengejutkan kamu, ya?"bisiknya.
Syanda menggeleng, menunjuk pada sebilah papan bertuliskan: HARAP TENANG,
RUANG BACA. Ivan tersipu. Diambilnya tempat duduk tepat di hadapan Syanda.
"Apa kabar?" bisiknya. "Long time no see, yeah?"
Syanda tersenyum. "Apa kabar juga pacarmu? Siapa namanya?"
"Mita."
"Ah, iya. Mita. Bagaimana?"
"Justru aku yang mau tanya sama kamu. Bagaimana?"
"Oo, maksudmu bagaimana penyelesaiannya?" tukas Syanda sambil mengerling.
"Iya, tapi jangan pakai mengerling begitu, dong. Demi lirikanmu, rasanya aku rela
meninggalkan Mita," goda Ivan.
"Ah. Caramu bicara, caramu bercanda, mengingatkan aku kepada...."
"Aditya?" potong Ivan.
"Ka-kamu tahu?!" Syanda terbelalak. "Dari mana...."
Ivan mengangguk. "Aku tahu segalanya. Tentang kamu. Tentang Aditya-mu. Tapi, saat
ini aku tidak ingin membicarakan siapa kamu dulu. Atau, siapa Aditya-mu. Aku tidak
mau tahu semua itu. Aku hanya ingin berkawan denganmu. Dengan Syanda yang
sekarang. Oke?" ujarnya, lugas namun tegas.
"Belum pernah ada orang seperti kamu sebelumnya," desah Syanda antara kagum dan
terharu.
"Ah, sudahlah."
"Kamu mirip banget Aditya, Van," ujar Syanda sambil menatap lekat wajah di
hadapannya.
Sesaat mereka saling memandang. Saling menelusuri apa yang ada dalam bayang binar
mata masing-masing. Sampai akhirnya Syanda tertunduk jengah.
"Ma-maaf... aku teringat Aditya." Syanda menyadari telah kelepasan omong.
"Aku mengerti." Ivan tersenyum bijak.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu sekarang?" Syanda menghela napas dan membelokkan
arah pembicaraan.
"Tidak ada."
"Lho?"
"Aku sudah tahu jawabnya. Aku harus mengambil sikap tegas. Aku akan meninggalkan
Mita. Di antara kami sudah tidak ada kecocokan lagi."
"Secepat itukah kamu mengambil keputusan? Padahal, tadi ketika baru masuk kamu
masih meminta saran dariku. Aneh!"
"Setelah aku menatap matamu, aku tahu, aku harus berpisah dari Mita. Banyak yang
tidak kutemukan dalam dirinya, tapi kutemukan dalam dirimu."
"Maksudmu...."
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Hanya... selama ini aku seperti merindukan suasana
ceria. Santai. Tidak bertengkar melulu."
Syanda tercenung. Agaknya setiap orang memang memerlukan saat-saat seperti itu. Saat
yang pernah jadi miliknya dulu. Bersama Aditya. Ya, aku pun kehilangan saat-saat yang
terindah dalam hidupku, Van! desis Syanda dalam hati. Dan betapa inginnya aku
merengkuh kembali hari-hari yang indah itu lagi. Dan untuk itulah aku menanti. Masih
beratus-ratus hari lagi... dan aku mulai bimbang. Haruskah kujalani ratusan hari itu
dengan penantian, sementara di sekelilingku banyak yang menjanjikan kebahagiaan itu
sendiri?
Di satu pihak, Syanda merasa bersalah mengkhianati Aditya. Tapi di pihak lain, dia
merasa berhak memperoleh jalan hidupnya sendiri. Berhak melepaskan lingkar derita
yang membelenggunya karena kesetiaan yang dipertahankannya.
"Kamu sudah makan siang?"
"Belum," geleng Syanda.
"Kalau begitu, aku yang meneraktirmu."
"Untuk apa kamu meneraktirku? Alasan apa yang membuatku harus menerima
tawaranmu?"
"Ayolah...." Ivan menarik tangan Syanda. "Untuk jasamu memberiku jalan keluar dari
masalahku."
Syanda tersenyum. Lalu, sembari tertawa-tawa kecil mereka beriringan meninggalkan
perpustakaan yang senyap. Sebuah cerita baru yang menjanjikan babak baru mulai terbit.
Agaknya....
***
Dengan langkah ringan Syanda melangkah menapaki jalan setapak menuju serambi
rumahnya. Acara makan malam bersama Ivan lumayan menyenangkan kalau tidak mau
dibilang istimewa.
"Dengan siapa kamu pulang?" tegur Mama halus begitu Syanda menongolkan batang
hidungnya di dalam rumah.
"Ivan, teman sekampus," sahut Syanda ringan.
"Cowok bersedan merah itu lagi, ya? Sudah tiga kali kalau tidak salah kamu pulang
dengan... siapa namanya?" sambung Santi sambil mengunyah popcorn.
"Ivan. Namanya Ivan Prasetyo. Mahasiswa tingkat dua fakultas ekonomi." Syanda
melepas sepatunya dan mencuci tangannya lalu beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan
menuang sebotol sirup jeruk dingin ke dalam gelasnya.
"Rasanya aku kenal Ivan," Santi menyusul ke dapur. "Dia kan, seniorku ya?"
"Mungkin. Ya ampun, kenapa aku bisa sampai lupa kalau kamu juga di fakultas
ekonomi? Aku selalu mengingat kamu anak teknik sebab waktu SMA dulu kamu kan,
jurusan IPA."
"Yoi." Santi mengangguk-angguk. "Ivan. Hm, boleh juga. Lumayan dijadikan gandengan
buat JJS."
"Dasar!" Syanda pura-pura sewot.
"Maksudku, kamu tidak salah memilih." Santi terkekeh.
"Siapa memilih siapa?" tanya Syanda, mencibir kemudian.
"Kupikir kalian...."
"Jangan macam-macam kamu. Kita cuma teman biasa. Tidak lebih dari itu. Kalau kamu
mau tahu yang lebih dari sekedar teman, tidak ada nama lain selain Aditya. Tahu?"
Senja itu, seusai menghabiskan seharian waktu JJS di Plaza Senayan, mereka beristirahat
di Starbucks.
"Minum apa?" tanya Ivan pada Syanda sewaktu pelayan datang.
"Cappuccino."
"Makan?"
Syanda menggeleng.
"Cappuccino satu, espresso satu, dan roti cruissant-nya," ujar Ivan pada pelayan.
"Kenapa kamu baik banget sama aku, Van?" tanya Syanda, lebih untuk dirinya sendiri.
"Aku? Baik sama kamu? Kamu ini lucu." Ivan tersenyum.
"Ak-aku... ah maksudku, sebelumnya belum pernah ada orang setulus kamu selain...."
Mereka bertatapan. Tanpa sadar, sesaat jemari mereka saling menggenggam, namun
Syanda sadar dan cepat menariknya.
"Maafkan aku," tukas Ivan, seperti tahu apa yang ada di benak gadis di hadapannya.
Seolah tahu bahwa Aditya masih menjadi bayang-bayang baginya.
"Mungkin aku adalah orang terbodoh di dunia," keluh Syanda. "Seorang calon psikolog
yang tidak mampu menolong dirinya sendiri."
"Aditya...."
"Dia...."
"Aku tidak pernah memaksamu untuk bertindak apa pun, Syan."
"Aku tahu, karena itu kukatakan kamu adalah satu-satunya orang yang tulus yang pernah
kukenal selain Aditya."
Ivan terdiam dengan pandangan menerawang. Ludahnya tiba-tiba memahit.
"Ak-aku takut dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Tapi, ah... lupakanlah. Bicaraku
memang tidak karuan." Syanda mengibaskan tangannya seolah ingin mengusir pikiran
yang sempat melintas barusan.
"Kamu masih mempertahankan kesetiaan bagi Aditya?" tanya Ivan perlahan. Di matanya
tersimpan berjuta harap cemas.
Syanda mengangguk. Tapi sesaat kemudian menggeleng. Mengangkat bahunya seperti
orang bingung yang tidak memiliki pegangan sama sekali.
"Aku tidak tahu," desisnya.
"Kamu sedang gundah, Syan. Dan aku tidak pernah memaksamu untuk memutuskan apa
pun. Biarlah waktu yang mengatur segalanya...."
"Yang aku tahu, aku harus menyelesaikan semuanya," putus Syanda sambil menatap
lurus ke dinding kaca berlogo Starbucks.
"Maksudmu, kamu akan...?"
"Aku akan mengosongkan hati dan pikiranku sementara waktu tanpa seorang pun yang
mengganggu."
"Ja-jadi...?"
"Aku harus memberi tahu Aditya. Kurasa... ah, bagaimana pendapatmu?"
Percakapan terhenti sesaat ketika pesanan mereka datang. Syanda mengaduk-aduk
cappuccino-nya tanpa semangat. Sementara Ivan menatap roti cruissant -nya dengan
perasaan hambar."
"Itu keputusan yang baik. Tapi, apakah tidak terlalu terburu-buru?"
"Tidak. Orang-orang benar, aku harus mulai memikirkan diriku sendiri. Masa depanku."
"Kamu mencintainya, Syan?" Ivan seolah menuntut jawaban yang pasti.
Syanda mengangkat bahunya seraya menghela napas berat. "Sejak dulu aku tidak pernah
tahu jawabannya."
"Kamu harus membuktikannya."
"Caranya?"
"Mungkin dengan tidak menemuinya untuk sementara waktu. Atau... ah, aku bingung!"
Syanda tertawa dengan mimik paksa. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin jalinan
kehidupannya yang terasa kian rumit dari hari ke hari.
Mereka menghabiskan minuman dan makanan tanpa banyak bicara. Ketika mendung
memayungi bumi, mereka beranjak meninggalkan Starbucks. Di luar, senja mulai basah
oleh gerimis.
Syanda menerawang.
Dibiarkannya Ivan memakaikan jaketnya dan menggandengnya menuju mobil. Perhatian
dan kesabaran Ivan semakin membuatnya terjerat. Semakin mendilematisasikannya
terhadap dua pilihan yang sama-sama sulit.
Aditya adalah bagian dari hari-harinya yang dulu. Dan Ivan....
"Ke mana sekarang?" tegur Ivan ketika mobil mulai melaju meninggalkan pelataran
parkir.
"Ke mana lagi? Sudah seharian kita jalan-jalan, atau apa kamu mau bawa aku ke bulan?"
canda Syanda."
"Mungkin. Ke mana saja, asal kamu tidak bermuram durja begitu."
Sekilas dirasakannya tangan Ivan membelai pelipisnya. Ah.
"Hentikan segala kebaikanmu ini, Van," desahnya perlahan.
Sungguh. Dia tidak ingin mengkhianati Aditya.
***
"Aku mendapat sms dari Aditya," lapor Syanda kepada Sonya melalui horn di HP-nya.
"Oya?"
"Ya. Dan aku butuh pertimbanganmu."
"Apa yang ditulisnya?"
"Antara lain, dia kangen. Dia bingung karena aku tidak membesuknya lagi. Dia bertanya
tentang banyak hal."
"Jadi, kamu benar-benar sudah tidak pernah mengunjunginya lagi?" pekik Sonya
tertahan. "Gila kamu! Sebuah revolusi yang tidak pernah kuduga sebelumnya."
"Kini aku harus memutuskan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh."
"Dengan Ivan?"
"Ah, Sonya. Antara aku dan Ivan tidak pernah ada apa-apa. Bagiku, dia adalah dewa
penyelamat. Aku tidak pernah berani membayangkan lebih dari itu."
"Lalu, apa rencanamu?"
"Aku akan membalas sms-nya, atau mungkin mendatangi Aditya dan menceritakan
semuanya. Kurasa, keterusterangan lebih baik sekalipun kelihatannya menyakitkan. Aku
tidak mau membohongi Aditya."
"Kamu masih mencintainya, Syan? Soalnya, aku merasakan hal itu dari ucapanmu."
"Cinta? Ak-aku...."
"Sudahlah...." Sonya tidak mau peduli. Dia sadar benar kalau Syanda masih menyimpan
perasaan cintanya untuk Aditya.
"Jadi, menurutmu, apakah aku harus juga memberitahu Ivan?"
"Ya, kalau prinsipmu adalah keterbukaan. Tapi, hei... kamu kan tidak mengatakan bahwa
kamu mencintai Ivan?"
"Son, please. Berhentilah mengucapkan kata 'cinta'," pinta Syanda.
"Oke." Sonya tertawa.
"Tapi, Son, aku ragu. Aku takut perbuatanku hanya akan menambah luka hati Aditya.
Kamu kan tahu, selama ini semua orang telah meremehkannya. Meninggalkannya. Apa
jadinya kalau aku pun, orang yang paling dipercayainya, ikut berpaling dari dia?!"
"Syan, kamu kan tetap temannya. Hanya saja ikatan yang ada di antara kalian kini agak
renggang. Tidak serapat dulu. Jelaskanlah kepadanya. Kamu kan, calon psikolog...."
Syanda menghela napas panjang.
"Masih ada lagi?" tanya Sonya.
"Tidak. Thank's."
Syanda mematikan HP-nya. Hatinya berdebar. Dia harus membenahi kehidupannya
sendiri. Dia tidak selamanya harus bergantung pada kesetiaannya menanti Aditya. Dan
membiarkan hidupnya sendiri porak-poranda. Selama ini orang-orang ternyata benar,
hanya saja dia yang kelewat sentimentil. Menutup mata dan telinganya rapat-rapat hingga
dibutakan oleh cinta.
Pikirannya melayang pada Ivan. Ataukah, keputusan ini datang karena ada Ivan? Karena
ada yang menjanjikan hari baru? Mungkin dia akan membiarkan waktu mengatur
segalanya. Seperti kata Ivan, believe in time.
Maafkan aku, Dit. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kita. Syanda membatin. Setelah itu
dia lalu mengacungkan cangkirnya tinggi-tinggi seolah menyalami Aditya sebagai tanda
perpisahan. Lalu meneguk cappuccino-nya sampai tandas.
Dibacanya kembali penggalan sms Aditya yang diterimanya siang tadi.
Syanda,
Maafkan aku kalau sikap dan kata-kataku tempo hari menyakiti hatimu, membuatmu
tersinggung. Aku tahu, prahara inilah yang menyebabkan keretakan di antara kita.
Kerenggangan, ketidakdekatan kita, memang membuat kita masing-masing asing dan
berubah.
Dan, aku yang seolah terpenjara kini hanya dapat merenda impian indah bersamamu.
Bertemu denganmu, adalah anugerah yang terindah dalam hidupku kini. Namun aku
sadar, sadar sepenuhnya untuk tidak terlalu menuntut banyak darimu. Sebab, aku tahu
banyak hal yang dapat membahagiakanmu di luar sana ketimbang mengharap pemuda
ringkih tanpa daya yang mendekam di panti ini.
Aku mafhum kalau kamu sekarang lebih memilih renjana indah. Bukannya renjana tak
berujung dalam sarat beban penantian yang panjang. Lupakanlah aku, Syanda!
Lupakanlah masa lalu kita berdua. Aku ikhlas melihatmu berbahagia dengan siapa pun
yang dapat membahagiakanmu. Jangan tunggu aku lagi, sungguh pun aku rindu
kabarmu, wajahmu, suaramu. Segalanya. Segalanya tentang kamu!
Tuhan beserta kita.
Salam sayang,
Aditya
Syanda kembali menghela napas panjang. Dia harus sesegera mungkin menemukan
jawaban hatinya. Dia untuk siapa. Lalu, diputuskannya hengkang dari Jakarta . Mungkin
pada sebuah tempat nun jauh di sana, dari setiap permenungan yang dijalaninya, dia
dapat menemukan jawaban. Ada butiran hangat sebesar bulir padi yang masih mengalir
di pipinya. Kepalanya memberat. Dia merasa pening tiba-tiba.
Bab VIII
Kucari Jawabnya di Sana
Syanda mengemasi barang-barang yang akan dibawanya ke dalam koper. Pakaian, iPod
Apple, kamera, dan beberapa perlengkapan yang diperlukannya untuk mengusir sepi di
tempat pengasingannya nanti.
"Semua ini tidak bakal menyelesaikan masalah," ujar Mama, berusaha menahan
kepergian putri sulungnya itu.
"Tidak, Ma."
"Apanya yang tidak? Bagaimana dengan kuliahmu?" Mama membelai rambut Syanda.
"Tidak seharusnya kamu lari di saat seperti ini, Syan! Ini bukan jalan keluar!"
"Tapi, Syanda harus pergi, Ma. Syanda sudah izin cuti semester. Syanda perlu istirahat."
"Kenapa? Bukankah kamu di sini telah...."
"Maksud Mama... Ivan?!" desis Syanda getir.
"Yah, siapa pun...."
"Sudahlah, Ma...." Syanda menutup kopernya sambil berusaha menghentikan ocehan
Mamanya.
"Jangan pergi, Syan...." bujuk Mama dengan tatapan kecewa.
Syanda menggeleng. Dialihkannya matanya keluar jendela. Pikirannya menerawang.
Sesuatu yang sejak dulu tak mampu dijawabnya. Itulah yang memaksa dan membulatkan
tekadnya untuk pergi sesaat. Menguji diri dan mencari jawaban yang pasti. Mencari
cintanya yang sejati!
"Syan...!" Wanita separo baya itu menghela napas panjang. "Ivan baik...."
Syanda menatap Mamanya. Wanita yang dikasihinya itu memang tidak menyukai Aditya.
Dan rasanya semua orang pun akan bersikap sama. Ivan dibandingkan Aditya memang
ibarat bumi dan langit. Syanda heran, mengapa dia merasakan kebahagiaan yang sama.
Padahal, dua pemuda itu amat berbeda. Amat berbeda!
"Saat ini Syanda memang dekat dengan Ivan, Ma. Sementara Aditya berada jauh dari
Syanda. Kalau Mama menyukai Ivan, Mama tidak salah. Tapi tolong, biarkan Syanda
mengambil keputusan sendiri, Ma. Syanda akan mencari jawabannya," pinta Syanda.
Matanya terasa hangat.
"Ivan tahu rencana keberangkatanmu?" tanya Mama akhirnya dengan nada suara pasrah.
"Tidak seorang pun tahu. Tidak Ivan, tidak Aditya. Tidak siapa pun tahu ke mana Syanda
akan pergi, dan berapa lama!"
"Tidak juga Mama?! Syan, kamu akan memberitahu tempat tinggalmu kepada Mama,
kan ?" tanya Mama penuh harap.
Syanda mengusap wajah. Bukan tidak mungkin Mama-lah yang akan menjadi orang
pertama yang paling bersemangat mengacaukan acara pengasingannya. (Meski jauh-jauh
hari Papa sudah mengusulkan agar Syanda kuliah di Yogyakarta atau Solo dan belajar
hidup mandiri di sana , tapi baru kali inilah terpikir olehnya). Dia juga yakin kalau Mama
tidak akan berhenti menghalangi niatnya sebelum mendapat jawaban yang pasti tentang
Bab IX
Suatu Tempat dalam Kurungan Hening
Satu Tahun Kemudian
Aditya tertegun membaca puisi yang didapatinya dalam sebuah majalah. Dan nama
penulis puisi itu makin membuat dadanya bergetar.
Suatu tempat dalam kurungan hening
Jalan-jalan dengan lampu temaram
Keriuhan menjelma dalam senyap
Mengajarkan hati 'tuk bersikap sederhana
Kota telah lelap tertidur
Kudengar suara mendengkur
Kututup buku harianku
Bisikkan merdu di telingaku
Bahwa tak 'kan kutemukan lagi
Orang yang pernah kau tinggalkan
Oh, Cintaku yang sejati
Tangisku pecah bersama bumi
Syanda!
Kurang lebih setahun. Ah, nama itu masih begitu lekat di hatinya. Bahkan, menjelang
saat-saat terakhirnya di panti rehabilitasi ini. Beratus-ratus hari lewat sudah. Aditya
membalik kalender yang penuh coretan merah. Begitu banyak coretan merah yang
menandakan ketidakhadiran Syanda.
Dan hari ini, nama itu sekonyong-konyong kembali berdenyar. Sejak kapan Syanda
menulis puisi? Aditya tahu bahwa Syanda telah pergi jauh. Entah ke mana. Semua
diketahuinya dari Sonya. Namun hingga detik ini tidak ada sebaris pun sms terkirim di
HP-nya. Tidak sepotong berita pun terbang ke telinganya sekadar memberitahu tujuan
Syanda mengucilkan diri. Apakah untuk menghindariku? Apakah dia malu? Aditya
membatin dengan gundah.
Beratus hari di panti rehabilitasi ini membuatnya merasa selangkah lebih dewasa. Dari
Romo Dirgo dia banyak belajar tentang Tuhan. Tentang kebatilan dan kebajikan. Dan
semua itu membuatnya arif, mampu menahan segala rasa yang menghunjam tatkala
Syanda perlahan-lahan mulai berpaling darinya.
Hampir setahun.
Aditya menghela napas. Agaknya Syanda tidak menganggap dirinya sebagai bagian
hidupnya lagi. Agaknya Syanda tidak ingat lagi kepadanya. Agaknya semua memang
harus terkubur.
"Selamat sore, Aditya," sapa Romo Dirgo.
"Eh, Romo...."
"Tertarik pada puisi?"
"Eh, ti-tidak. Kebetulan penulisnya adalah...."
kini....
"Kamu masih di sana, Syan?" tegur Sonya.
"Ya, ya. Apa kabarnya Aditya?"
"Baik."
"Aku pun telah mengiriminya sms. Barusan."
"Bagus itu. Kamu tahu, belakangan ini Aditya mulai sering menulis dan juga ditulis...."
"Maksudmu? Menulis puisi seperti aku? Ah, sejak kapan Aditya mengerti soal seni?"
seru Syanda tidak percaya.
"Bukan puisi, tapi... ah, aku pun tidak mengerti apa namanya. Tapi yang jelas, Aditya
banyak membantu sebuah majalah rohani dalam rubrik tanya jawab. Semacam
konsultasilah. Dia juga mengasuh sebuah kolom di majalah tersebut yang menyerukan
anti-drugs!"
"Oya?"
"Ya. Dan dia juga banyak ditulis di media massa. Semua mata mulai terbuka bahwa
sebetulnya Aditya dulu tidak bersalah. Dia hanya korban drugs semata."
Syanda tertegun. Inikah jawaban Tuhan atas doanya selama ini? Inikah jawaban dari
segala penantian dan kesetiaannya? Rasa-rasanya ingin segera dikejarnya kereta api di
Stasiun Solobalapan dan berangkat kembali ke Jakarta. Berkumpul kembali di tengah
orang-orang yang ditinggalkannya. Mama, Papa, Santi, Sonya, Ivan, dan... Aditya!
Semuanya terasa berakhir dengan begitu manis.
"Syanda, kapan kamu kembali?"
"Besok sore."
"Beri kepastian, Syan. Aku akan menjemputmu di Stasiun Gambir."
"Thank's. Oya, sebelum lupa, bagaimana kabar Mama dan Santi?" tanya Syanda.
"Astaga! Jadi kamu bahkan belum pernah sekali pun mengabari mereka? Kamu
keterlaluan, Syan! Putri durhaka!" Sonya tergelak. "Terkutuklah kamu!"
"Aku ingin kepulanganku menjadi sebuah kejutan. Untuk semuanya, kecuali kamu
karena aku tahu kamu jantungan." Syanda mengolok, lalu ikut tergelak.
"Mulai lagi, nih!"
"Oke, besok sore aku kembali. Jemput, ya? Salamku untuk Aditya... eh, jangan! Jangan
bilang siapa-siapa, ya?"
"Ehem...." Di seberang sana Sonya sengaja berdeham.
"Janji, ya?"
"Iya, iya. Eh, hati-hati ya, Non. Besok kujemput kamu."
"Thank's ya, Son. Bye."
Bip.
Syanda menutup HP-nya. Ditinggalkannya travel kecil samping pondokannya di daerah
Makam Haji dengan dada lapang sembari mengipas-ngipaskan badannya dengan tiket
kereta apinya. Sesaat ditatapnya langit biru, lalu gugusan rumah sederhana dengan atap
genteng khas penduduk Kota Solo. Kurang lebih setahun diakrabinya semuanya dalam
masa permenungannya. Menyepi, menggali makna hidup ini. Dan keramahan kota kecil
di belahan tengah Pulau Jawa itu telah membantu menjernihkan pikirannya.
Menenteramkan hatinya yang dilanda kegalauan. Membantunya menentukan siapa yang
pantas mendampingi hidupnya kelak.
Cerita Sonya telah membuncahkan kebahagiaan di hatinya. Inilah akhir cerita lara yang
dirangkainya bersama Aditya. Dia akan minta maaf kepada Aditya atas keraguannya
selama ini. Dan semua orang akan minta maaf kepada Aditya. Atas tuduhan mereka yang
tidak benar sama sekali tentang Aditya yang terlibat dalam penggunaan narkoba.
Senyum Syanda mengembang. Semuanya bakal menjadi pelangi.
Bab X
Atas Nama Cinta Pertama
"Kamu tidak keberatan walau Mamamu tidak menyukaiku?" tanya Aditya.
"Tidak."
"Juga walau aku tidak dapat mengajakmu dinner ke resto-resto mewah seperti yang
lain?"
"Tidak."
"Juga walau aku hanya mempunyai motor trail butut dan bukan sedan seperti...."
"Sstt... sudahlah. Aku menyukaimu karena kamulah satu-satunya...."
"Tapi, sungguh. Aku tidak punya apa-apa...."
"Ah, gombal!"
"Kamu cinta kepadaku, Syan?"
"Ah, kenapa harus gunakan kata-kata usang itu?"
"Kenapa? Eh, kenapa ya?"
Syanda mengerjapkan matanya. Pluit panjang berbunyi mengakhiri lamunannya.
Membuyarkan masa-masa indahnya semasih bersama Aditya di setiap malam Minggu.
Masa-masa dimana dia masih bimbang mengungkapkan kata-kata cinta untuk Aditya.
Namun kini dia tahu, sebenarnya yang membuatnya enggan mengatakan cinta bukan
karena ragu tapi lantaran dia sudah terlampau yakin. Kata itu tidak lagi diperlukan.
Semua sikap Aditya dan sikapnya telah mencerminkan cinta itu sendiri. Tanpa suara,
tanpa kata-kata!
Deru kereta makin menggema saat memasuki stasiun. Syanda bersiap, matanya mencaricari lewat jendela. Apakah Sonya betul menjemputnya atau malah lupa?
"Syanda!"
Syanda tersentak. Menoleh ke arah kanan, nyaris terpeleset dari tangga kereta. Dilihatnya
Santi berlari ke arahnya. Saat itu juga kopernya terlepas dari pegangannya. Disambutnya
Santi. Disambutnya udara kota kelahirannya. Disambutnya segalanya.
"Syanda...!"
"Santi... apa kabar?"
"Baik. Kamu sendiri?"
"Seperti yang kamu lihat." Syanda mengerjapkan matanya menahan tangis haru. "Aku
baik-baik saja. Dan kurasa apa yang akan kutemui di sini akan membuatku merasa
semakin baik."
Santi menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Dalam dirinya terbersit keinginan
untuk menjadi wanita setegar kakaknya. Yang begitu mengagungkan kesetiaannya
terhadap cinta pertamanya, hingga rela melakukan apa saja. Sekedar membuktikan bahwa
dia memang hidup atas dasar dan untuk cinta suci.
"Kamu agak kurusan, Syan."
"Ya. Dan kamu pun nampak seperti gadis... hm, maksudku seperti bidadari yang turun
lewat titian pelangi, dan baru selesai mandi di sungai. Kamu tambah dewasa dan cantik,
Santi."
"Dan aku sendiri bidadari yang membawa kabar gembira ini kepada Santi dan pada
Mamamu!" Tiba-tiba saja Sonya sudah berada di tengah mereka.
"Sonya...!" Syanda memeluk sahabatnya.
"Selamat datang kembali, Syanda Manis-ku!" balas Sonya.
"Terima kasih."
"Mari kubantu." Sonya membantu mengangkat beberapa travelling bag Syanda.
Beriringan mereka berjalan meninggalkan stasiun yang mulai ramai lagi oleh suara pluit.
Kereta datang silih berganti, sama halnya dengan kehidupan manusia, suka dan duka silih
berganti. Berputar bagai roda pedati.
"Satu tahun rasanya seperti berabad-abad," kenang Syanda sumringah.
"Apa saja yang kamu lakukan di sana?" tanya Santi.
"Aku? Apa, ya? Merenung, menulis puisi, bekerja sebagai pramuniaga untuk membayar
pondokan dan makan. Itu saja."
"Kamu hebat," puji Santi lugas.
"Ah, tidak," Syanda tertegun. "Tapi, kalau kamu katakan aku berjuang, rasanya memang
iya. Dan sekarang perjuanganku telah berhasil."
"Jangan membuat puisi di jalanan, Syan," kelakar Sonya.
Mereka tertawa bareng.
"Oya, Mama tidak ikut?"
"Jaga rumah. Katanya, supaya kalau pingsan tidak ngerepotin," gurau Santi.
"Oh, aku sudah kangen banget sama Mamaku, Son. Eh, apakah kamu sudah memberitahu
Aditya?"
Sesaat hening. Tiba-tiba saja terasa kebekuan di antara tawa hangat mereka. Ada sesuatu
yang janggal. Sesuatu yang sumbang tatkala Sonya mencoba tersenyum dan bergurau.
"Aditya sudah tidak di panti rehabilitasi Nusa Bangsa' lagi, Syan...," ujar Sonya ragu.
"Oya? Di mana dia sekarang?" Syanda nyaris melonjak kegirangan.
"Kamu tidak tahu?"
"Dari mana aku tahu? Kami tidak pernah sms-an lagi...."
"Dan mungkin juga sudah ganti nomor," sela Santi menimbrung.
" Ada apa sebenarnya?" Syanda mengernyitkan dahinya.
"Tidak ada apa-apa." Sonya menggeleng. "Harusnya kamu gembira Aditya sudah tidak
lagi berada di panti rehabilitasi itu. Juga karena nama dan reputasi Aditya kini telah
bersih. Tidak seorang pun lagi yang dapat menuding dan menuduhnya sebagai
berandalan."
Syanda tercenung. Ya, semestinya dia gembira. Tapi dalam suasana haru seperti ini,
perasaannya berkata lain. Ada sesuatu yang disembunyikan Sonya. Dan sesuatu itu
agaknya tidak menyenangkan. Tentang Aditya. Ya, Aditya-nya....
***
Dengan hati berbunga-bunga Syanda menapaki anak tangga serba putih yang
mengantarkannya ke gerbang gereja. Dia tahu, sejak dulu, Aditya yang suka begadang itu
adalah juga Aditya yang rajin ke gereja lengkap dengan alkitab dan madah baktinya.
Kemarin dia surprais menerima sms dari Aditya. Mengundangnya bertemu di gereja
Katolik tua ini.
Setengah enam sore. Misa tengah berlangsung. Syanda mengambil tempat agak di
belakang. Ditundukkannya kepalanya dan mulai berdoa. Menunggu penuh harap bahwa
akan datang seseorang menegurnya, duduk di sebelahnya seperti janji yang tertulis dalam
layar ponselnya malam tadi. Bahwa Aditya mengajaknya bertemu di gereja ini.
Sementara itu frater di atas mimbar terus membacakan firman Tuhan, dan
menginterpretasikannya sehingga manusia lebih mudah mengamalkannya di dunia ini.
Namun pikiran Syanda tidak terpusat pada kotbah di atas mimbar.
"Aditya...!" desisnya sewaktu dilihatnya bahu bidang berkemeja kotak-kotak, berambut
klimis. Agak kurusan memang, tapi dia kenal betul. Dicondongkannya tubuhnya agak ke
muka untuk menyentuh bahu berkemeja kotak-kotak itu.
"Dit...!" panggilnya pelan.
Perlahan pemuda itu menoleh. Gadis di sebelahnya pun ikut menoleh. Sesaat Syanda
terkesiap. Ditutupnya bibirnya dengan jemarinya.
"Anda memanggil saya?"
"Eh, ma-maaf. Saya pikir Anda Aditya, teman lama saya. Dari belakang tadi Anda
tampak mirip dengan teman saya itu." Syanda gelagapan malu. Apalagi gadis di sebelah
cowok itu barusan memandangnya dengan tatapan tidak senang.
"Maaf, ya?" ujar Syanda sekali lagi. Kali ini maksudnya pada cewek bermata gundu itu.
"Saya mengganggu konsentrasi Anda." Syanda mundur, dan kembali menyandarkan
punggungnya di sandaran kursi.
"Tidak apa," balas cowok itu, lalu mengurai senyum tipis.
Bukan Aditya. Lantas, di mana Aditya-nya? Bukankah pesan sms kemarin Aditya
menulis akan menemuinya di gereja ini? Syanda menatap sekelilingnya sekali lagi, dan
dia yakin Aditya tidak pernah berbohong. Karena itu dia berusaha bersabar beberapa saat
lagi sambil mendengar kotbah frater.
"... sebab itu hendaklah kita memperlakukan sesama kita seperti orang yang paling kita
kasihi, seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Sebab segala yang kita miliki saat ini;
harta, harkat, martabat; datangnya dari Yang Di Atas Sana, dan suatu saat akan kembali
juga ke asalnya. Hidup adalah ujian sebelum masuk dalam kerajaan-Nya yang kekal.
Amin."
Umat menyambut usainya kotbah frater dengan koor panjang. "Sekarang dan
selamanya...."
Bibir Syanda ikut bergerak mengucapkan kalimat itu, namun dalam benaknya hadir
sejuta tanya. Tentang suara si Pengkotbah tadi. Ah, seperti begitu diakrabinya pada suatu
masa dulu. Syanda menatap tanpa berkedip ke arah mimbar.
"Aditya...!" desisnya.
Tidak dipedulikannya beberapa pasang mata yang menatap heran waktu dia melangkah.
Pindah ke deretan kursi terdepan. Sekedar untuk memastikan bahwa pemuda yang
dilihatnya memang Aditya!
"A-Aditya... kamukah itu?" tanyanya perlahan sewaktu frater melintas di hadapannya.
Pemuda berjubah panjang serba putih itu menghentikan langkahnya. Menatap Syanda
dengan tatapan setenang air telaga. Ah, mata itu bukan lagi mata yang penuh dengan
ambisi. Mata itu telah berubah, namun tidak bisa membohongi Syanda bahwa inilah
pemuda yang dicarinya. Inilah pemuda yang memaksa hatinya kembali dari tempat
pengasingannya.
"Syanda?" Kening frater berkerut.