Anda di halaman 1dari 20

It’s Not Easy To Be Me

Sepulang kerja, Ardi memacu Honda Brio-nya membelah kemacetan kawasan BSD
menuju Apartemen Nature View. Kawasan yang dahulunya adalah kebun karet itu kini
telah bertransformasi menjadi kota satelit di selatan Jakarta. Sesampainya di apartemen,
Ardi memeriksa gawainya. Ada beberapa pesan WhatsApp masuk, salah satunya dari
Andini.

Andini : A, malam ini jemput Neng jam 8 yah.

Ardi :Kok pulang lebih awal? Ada apa?

Andini : Lagi suntuk aja, ngga mood kerja. Butuh temen curhat. Aa ngga keberatan

kan?

Ardi : Ngga keberatan kok. Apa sih yang ngga buat kamu? (",)

Andini : Si Raja Gombal mulai beraksi. Ya udah, sampai nanti yah A, Neng mau kerja dulu,

tamu terakhir nih.

Ardi : OK, See you.

Ardi tersenyum sendiri. Hatinya merasa teramat bahagia. Lelah setelah seharian bekerja
seakan tak terasa. Ia merasa Andini sudah sepenuhnya nyaman dan percaya padanya.
Jalan semakin lapang untuk mendapatkan hati Andini. Jerat yang telah aku pasang mulai
mendapatkan mangsa, begitu benaknya. Lalu ia melompat dan merebahkan diri ke
ranjang. Matanya menatap langit-langit sambil membayangkan wajah Andini.

Setelah puas melamun, Ardi segera membersihkan diri. Lalu memilih kemeja putih
casual Calvin Klein berpadu dengan jeans Louis berwarna krem untuk dikenakan.
Dipakainya pula pomade untuk menata rambut lurusnya agar rapi. Saat memilih jam
tangan, agak lama ia memutuskan untuk memilih memakai Guess Gc series berwarna
coklat. Ardi sangat menyukai jam tangan. Koleksinya sampai saat ini ada 21 buah. Tak
lupa menyemprotkan Hugo Boss kesukaannya. Ardi mematutkan dirinya pada cermin,
memastikan penampilannya perfect.
Sekitar pukul 19.45, Ardi sudah sampai di tempat kerja Andini. Di meja resepsionis, ada
koh Abie dan mba Siska yang nampaknya sedang sibuk menghadap monitor. Ardi lalu
menyapa, "Met malem Koh. Parkiran rame nih, banyak cuan agaknya." Pria yang
dipanggil koh pun menoleh, "Eh, lo Di. Cuan aja pikiran lo. Mau jemput Andini yah?
Tunggu aja, sebentar lagi juga turun dia. Mau nge-date yah?"

"Iya Koh, mau jemput Neng. Ngga tau mau kemana, terserah si Neng aja mau kemana
nih."

"Hati-hati bro bermain hati dengan wanita penghibur. Berbahaya... Bahaya buat lo dan
juga dia." kata Koh Abie setengah berbisik dan setelah tengok kanan kiri. Ardi terkejut
dengan perkataan Koh Abie barusan.

"Maksudnya bahaya gimana koh?" tanya Ardi perlahan.

Koh Abie lalu bangkit dari tempat duduk resepsionis, lalu mendekati Ardi seraya
berkata, "Kita ngobrol sebentar, tapi jangan disini. Kita ke ruangan gue aja yuk."

Ardi mengangguk. "Mba Siska, kalo Andini udah kelar, bilang saya di ruangan koh Abie
yah."

"OK mas Ardi," balas mba Siska tanpa sedikit pun menoleh.

Koh Abie lalu berjalan menuju ruangannya yang tak jauh dari meja resepsionis, dan Ardi
pun mengikutinya. Ruangan kerja Koh Abie tak begitu besar, namun cukup nyaman dan
rapi. Koh Abie lalu duduk di sofa berwarna putih, dan mempersilahkan Ardi untuk
duduk.

"To the point aja yah, Di. Gue dah anggap lo bukan sebagai customer lagi. Gue dah anggap
lo itu as a friend. Sudah selayaknya bagi seorang teman itu saling mengingatkan." Koh
Abie bertutur sambil menyalakan sebatang Marlboro lights. Tak berapa lama asap putih
mengepul dari bibir pemilik usaha tempat Andini bekerja.

"Bro, ada aturan tak tertulis di dunia nightlife. Jangan bawa cinta disini. Bila kesini,
tanggalkan dulu cinta lo dirumah. Jangan libatkan hati disini. Semua hanya transaksi, ga
lebih. Ngga usah baper, jangan naif, mereka semua sudah terlatih untuk menyenangkan
customer."

"Lalu maksud koh Abie bahaya itu gimana?" tanya Ardi dengan penuh rasa penasaran.
"Lo siap jatuh cinta sama wanita yang setiap hari dijamah lelaki lain? Lo tahan melihat
wanita yang lo cinta melayani hasrat lelaki lain? Udah kuat lo dengan semua itu? Itu
bahayanya buat lo. Bahayanya buat dia, lo mau tau? Semakin lama mereka bekerja disini,
semakin mereka kebas terhadap apa yang namanya cinta. Sekalinya jatuh cinta, bakal
susah ngelupainnya. Jatuh cinta sama salah satu tamu, biasanya cuma berakhir dengan
kekecewaan bahkan tragis." Koh Abie menatap mata Ardi tajam.

“Bertahun-tahun pengalaman gue jalanin bisnis ini, belum pernah sekali pun gue denger
ada yang berakhir bahagia dari hubungan yang lo dan Andini jalanin. Lo liat Siska, dia
dulu jatuh cinta dan menikah dengan salah satu tamunya. Baru setahun menikah, tuh
orang selingkuh sama wanita penghibur lainnya dan ninggalin dia gitu aja seperti tissue
bekas.” Imbuh koh Abie sambil menghisap rokoknya.

“Dulu ada yang kerja disini, namanya Sherly. Dia jatuh hati dengan salah satu tamunya,
seorang pria yang sudah beristri namun selalu memberi perhatian lebih. Pria itu sering
kasih barang-barang mahal, traktir makan, ngajak jalan-jalan sampai keluar kota,
bahkan sampai disewain apartemen mewah. Terus tiba-tiba ngilang gitu aja.” Koh Abie
lalu menghisap kembali rokok ditangannya dan menghembuskan asapnya secara
perlahan. Ardi diam terpaku menatap koh Abie, menanti apa yang keluar dari mulut pria
yang usianya tidak berbeda jauh dengannya.

“Lo tau apa yang terjadi ama Sherly? Depresi berat! Setiap hari kerjaannya cuma
menangis dan melamun. Bahkan kadang melakukan tindakan suicidal yang bikin gue
ngeri. Dia suka menyayat tangannya sendiri dengan silet. Lo tau akhirnya gimana? Dia
bunuh diri dengan cara gantung diri.” ujar koh Abie sambil menampakkan ekspresi
wajah ngeri.

“Dan lo tau siapa yang pertama kali menemukan mayatnya? Gue...! Dan gara-gara itu gue
ga bisa tidur nyenyak selama seminggu. Di sebelah mayatnya, ada surat wasiat yang
isinya memilukan dan masih gue simpen. Lo mau baca?”

Ardi mengangguk perlahan, pikirannya mulai mengawang. Ada sedikit rasa cemas mulai
menjalari akal pikirannya. Sementara itu koh Abie membuka laci di meja kerjanya,
mengambil sehelai amplop, lalu mengeluarkan selembar kertas didalamnya.

“Lo baca deh sendiri, gue ngeri ngebayanginnya.” ujar koh Abie sambil menyerahkan
kertas tersebut kepada Ardi sambil bergidik. Ardi lalu mengambil dan membacanya
selama beberapa menit. Baris demi baris dibacanya surat wasiat dari seseorang yang tak
dikenalnya dan jelas tidak ada hubungan dengan dirinya.
“Boleh saya foto Koh? Saya mau baca dengan seksama dilain waktu” tanya Ardi. Koh
Abie hanya mengangguk. Lalu Ardi mengeluarkan iPhone 5 dari saku celananya, dan
memotretnya dan menyerahkan kembali ke koh Abie.

“Masih ada yang mau disampaikan lagi Koh?” tanya Ardi.

“Sementara ini cukup dulu. Apa yang kita bicarakan disini, gue harap sih ngga lo
bicarakan ke orang lain, terutama Andini. Tuh anak masih jadi bintang disini, gue ga
mau hal ini menghambat bisnis gue.” tukas koh Abie sambil memasukkan kembali surat
wasiat kedalam laci meja kerjanya. Ardi mengangguk pelan.

Ardi belum mencerna apa yang disampaikan koh Abie, tapi ia mengingat semuanya.
Hatinya masih dipenuhi rasa kasmaran pada Andini, tapi yang disampaikan koh Abie
juga terasa penting baginya.

Keluar dari ruangan Koh Abie, Ardi melihat Andini sedang mengobrol dengan mba Siska
di meja resepsionis. Biasa, kalau wanita sudah bertemu dan mengobrol, dua orang sudah
serasa satu RT.

“Udah, udah nge-gosipnya, lanjut besok,” ujar Ardi menghampiri sambil tersenyum.
Andini lalu menoleh, rambut sebahunya tergerai. Malam itu Andini tampak anggun di
mata Ardi. Tubuhnya dibalut dress sabrina merah dan sepatu stiletto hitam.

“Cantik sekali kamu malam ini, Neng” ucap Ardi seraya menggandeng tangan Andini dan
menatapnya dengan mesra.

“Oh, jadi kemaren-kemaren Neng ini ngga cantik,” ucap Andini sambil merajuk manja.

“Bukan begitu Neng, kemaren-kemaren kamu tuh cantik. Tapi malam ini cantiknya lain.
Auranya lebih keluar. Kamu pake susuk yah? Buat memikat Aa kan. Dah ngaku aja.” Ardi
menggoda.

“Ih, geer banget sih jadi orang,” ucap Andini sambil mencubit pinggang Ardi.

“Aduh, sakit tau. Kecil-kecil tenaganya kuat juga.” Ardi mengelus pinggangnya sambil
meringis. Andini lalu melepas genggaman tangan Ardi, dan mengambil sesuatu di meja
lobi. Sesuatu yang cukup besar dibungkus dalam tote bag.

“Ini yang akan menemani Neng malam ini, barang mahal nih! Aa tolong bawa yah, berat
soalnya.” Seolah tahu apa yang dipikiran Ardi, Andini berkata sebelum ditanya. Ardi
melihat apa isi di dalam tote bag, lalu menggeleng-gelengkan wajahnya.
Setelah berpamitan pada mba Siska, mereka berdua pergi. Tangan kanan Ardi
memegang mesra Andini, sedang tangan kirinya menenteng tote bag.

“Mau pake mobil Aa atau mobil Neng?” tanya Ardi ketika memasuki area parkir.

“Pake mobil Aa aja, audionya lebih asyik. Playlist-nya musik dugem yah,” jawab Andini
sambil tersenyum dan bergaya 2 jari ala-ala victory. Ardi tersenyum melihat tingkah
Andini. Wanita yang ekstrovert, periang dan ekspresif seperti Andini memang yang
disuka oleh Ardi. Beda dengan dirinya yang introvert, gloomy and cool.

Ardi lalu mengeluarkan kunci dan membuka pintu mobilnya. Tote bag diletakan Ardi di
kursi belakang. Setelah menyalakan mesin, Ardi menyalakan audio mobilnya. Sebagai
seorang yang hobi musik dan audiophile, Ardi men-set up audio di mobilnya secara
khusus. Ardi mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk itu. Namun, mahal murah
bukan hanya soal uang, tapi lebih kepada apresiasi. Bagi orang yang tak mengerti seni,
lukisan seharga 100 juta terasa bodoh untuk dibeli. Namun tidak seperti itu bagi yang
mengerti.

“Di flashdisk Aa, ngga ada musik dugem. Play dari gadget Neng aja yah via bluetooth.”

“Ih, ngga gaul banget sih, masa ngga ada musik dugem. Ga asyik ah,” balas Andini sambil
mencari playlist musik dugem di gawai miliknya.

“Yee, Aa kan emang ngga suka musik dugem.”

Tak lama kemudian terdengarlah dentuman musik dari DJ Riri “Rusty Guitar” menemani
dua insan berbeda dunia itu meretas kemacetan jalan raya Serpong di malam hari.

“Tadi seru banget ngobrol sama mba Siska, ngobrolin apa sih?” tanya Ardi menyelidik.

“Ih, kepo deh. Mau tau aja urusan wanita. Terus tadi Aa tumben dari ruangan koh Abie,
ada urusan apa?”

“He.. he.. Sekarang Neng yang kepo, mau tau aja urusan pria.” Ardi berkata dengan
senyum kemenangan.

“Ah, Aa mah nyebelin. Main rahasia-rahasiaan. Ngga ada hubungannya sama Neng kan?”
tanya Andini dengan memasang wajah cemberut.

“Mmmm... gimana yah? Yang kita bicarakan bukan kamu sih. Tapi sedikit banyaknya ada
kaitannya dengan kamu,” Ardi berkelit. Dalam hatinya bergumam, “Perasaan wanita
memang tajam sekali, seakan tahu apa yang pria sembunyikan.”
Ardi lalu membelokkan mobilnya ke sebuah mini market, lalu turun untuk membeli
sesuatu.

“Aa mau beli apa? Kalo makanan ringan, ada banyak di apartemen Neng.”

“Yang mau Aa beli, sepertinya ngga ada di apartemen kamu.” Ardi tersenyum penuh
misteri, membuat Andini menjadi penasaran. Tak berapa lama, Ardi kembali dari mini
market dan membawa kantong plastik berisi 2 kotak susu UHT rasa plain ukuran 1 liter
dan 4 botol youghurt rasa strawberry.

“Ini yang bakal menemani Aa malam ini. Ngga ada kan di apartemen kamu, Neng?”

Andini melihat isi kantong belanjaan Ardi, lalu mencibir, “Ih, udah segede gini masih
minum susu. Kayak anak kecil aja.”

Ardi tersenyum, perkataan Andini barusan sudah sering dialamat padanya. Seolah tak
peduli, Ardi kembali memacu kuda besinya perlahan menembus padatnya lalulintas.
Sambil menyetir, sesekali dipandangnya wajah Andini yang sedang manggut-manggut
mengikuti dentum musik ber-genre EDM bertempo medium.

“Kalau nyetir itu lihat ke depan A, jangan sering lihat ke samping, nanti nabrak loh,”
tutur Andini sambil menoleh dan tersenyum genit menggoda. Ardi kaget dan tak
menyangka Andini memperhatikan gerak-geriknya mencuri pandang.

“Sumpah Neng, malam ini kamu cantik banget. Aa jadi ragu, jangan-jangan kamu ini
bukan Neng yang selama ini Aa kenal. Jangan-jangan kamu ini bidadari yang sedang
turun ke bumi,” Ardi mengeluarkan jurus gombal untuk menutupi kegugupannya. Pipi
Andini tersipu merah merona, namun tak terlihat oleh Ardi karena temaram. Andini
sudah sering mendapat pujian atas kecantikannya, namun pujian Ardi terasa berbeda
baginya. Entah apa yang berbeda, yang jelas membuat Andini serasa melayang tak
menapak tanah.

“Dari pool bus Arimbi, ke arah mana Neng?” Ardi bertanya arah ke apartemen Andini.

“Maju sedikit lagi A, setelah Transmart. Ada penunjuk jalannya koq.”

Ardi mengangguk tanda mengerti. Lalu sedikit mempercepat laju mobilnya. Dirinya
sudah tak sabar untuk melewatkan malam berdua dengan pujaan hatinya.

Apartemen Andini terletak di kawasan Jl. M.H. Thamrin-Tangerang, The Ayoda namanya.
Apartemen dengan 4 tower yang letaknya cukup strategis di tengah kota. Sebuah
apartemen mewah 33 lantai dengan view jalan tol Jakarta-Merak disalah satu sisinya.
Apartemen ini sangat menjaga privacy penghuninya. Keamanannya juga cukup ketat,
hanya pemilik dan pemegang kartu identitas yang boleh masuk. Apartemen Andini
terletak di lantai 21 nomor U08.

Apartemen Andini cukup besar dengan luas 40 m 2 , dan sudah full furnished. Ardi
berkeliling melihat isi apartemen. Desain interiornya begitu memanjakan mata. Semua
perabotannya adalah kelas satu. Ada TV LED 60 inch, home teather, 2 kasur pegas queen
size, sofa berbahan suede, kulkas 2 pintu, microwave, mesin cuci sampai kitchen set. Ada
pula mini bar tempat koleksi minuman keras mahal disimpan. Ardi membuka kulkas,
dan melihat isi didalamnya sambil menggelengkan kepala. Didalamnya penuh dengan
minuman beralkohol berbagai macam merk. San Miguel, Corona, Guiness, Heinekken,
Calshberg, dan kawan-kawannya.

“Neng, ini kulkas atau showcase minuman keras sih?” Ardi berteriak.

“Aa, udah deh, ngga usah bawel. Kalau mau minum, ambil yang mana aja. Enak semua
koq,” balas Andini yang sedang duduk santai di sofa sambil menonton TV.

Setelah puas melihat bagian dalam apartemen, Ardi menuju balkon. Dari sini view kota
Tangerang dengan lalulintasnya dapat terlihat. Indah sekali lampu-lampu kendaraan
berpadu dengan gelapnya malam. Insting fotografinya tergugah. Diambilnya beberapa
foto melalui kamera di gawainya. Setelah puas, ia kembali masuk dan duduk disebelah
Andini.

“Kamu tinggal sendirian di apartemen sebesar ini Neng?”

“Iya, emang kenapa A?” Balas Andini sambil menatap Ardi heran.

“Kamu sewa atau beli?”

“Bukan keduanya A. Udah yuk, kita ke atas. Aa bawa tote bag-nya yah. Kita ke tempat
rahasia.” Andini lalu menggamit tangan Ardi. Tak lupa Ardi juga membawa tote bag dan
sekotak susu.

Tempat rahasia yang dimaksud Andini adalah bagian roof top dari apartemen. Tempat
yang lapang, sunyi dan temaram. Tempat yang Ardi yakin jarang dikunjungi penghuni
apartemen ini. Ardi menatap sekeliling. Sebelah barat, dilihatnya lalu lintas kota
Tangerang. Sebelah utara, pandangannya dihadapkan pada tower apartemen yang lebih
tinggi. Sebelah timur, nampak rumah-rumah penduduk. Sebelah selatan adalah jalan tol
Jakarta-Merak.

Ardi dan Andini kemudian sama-sama melayangkan pandang ke arah selatan. Kedua
insan itu bergeming dan diam seribu bahasa. Kedua anak manusia itu asyik dengan jalan
pikirnya masing-masing. Angin malam lembut menerpa, membuat rambut indah Andini
tergerai. Ardi tersadar dari diamnya, dan memandang ciptaan Tuhan yang indah, sosok
Andini. Raut wajah Andini saat itu terlihat sangat berbeda dari yang biasa ia lihat. Tiada
wajah riang dan penuh percaya diri. Yang ada adalah wajah dengan tatapan kosong
seakan menyimpan kesedihan. Ardi ingin memulai pembicaraan, namun urung
dilakukannya. Ia ingin Andini yang memulai.

Andini lalu duduk diatas kotak kayu, dan mengeluarkan isi dari tote bag-nya. Sebotol
minuman keras beserta gelasnya. Dituangkannya minuman beralkohol itu dalam gelas
kecil sampai memenuhi setengah bagian. Dipandanginya sejenak, lalu ia meminumnya
dalam sekali teguk. Sambil memejamkan mata, Andini menikmati tegukan pertama dari
minuman yang sebotolnya berharga jutaan rupiah itu.

“Sshh Aaah, nikmatnya... Dah lama ngga minum ini. Lumayan mahal sih di Indonesia.
Untung bisa dapet harga diskon di Singapura.”

Ardi lalu ikut duduk disebelah Andini. Ia lalu memegang botol minuman keras yang
diminum Andini dan memandangnya dengan lekat. Ia ingat betul minuman ini harganya
lumayan mahal, karena Ryan pun pernah membelinya. Seingatnya, kadar alkoholnya
cukup tinggi. Bukan untuk pemula yang baru coba-coba.
"Hidup sepertinya akan lebih mudah bila ada pil amnesia yah A... Telah saja 1 butir, lalu

kenangan akan masa lalu yang kelam, rasa sakit hati, dan perasaan bersalah akan hilang

selamanya. Lalu esoknya kita bisa melanjutkan hidup tanpa beban," tutur Andini dengan
tatapan kosong.

Kalimat pembuka yang sungguh membuat Ardi kaget. Ia tak menyangka kata-kata ajaib
itu bisa keluar dari mulut Andini. It feels like drink whiskey for the first time.

Hening sesaat kemudian, kedua insan hanya menatap lalu lalang mobil dibawah mereka.
Hanya ada sedikit bintang berkeliaran malam itu. Angin malam membelai lembut
mereka berdua, disaksikan bulan sabit dengan nuansa awan tipis. Bermandikan cahaya
temaram, mereka larut dalam bahasa kalbu.

"Kalau pil amnesia itu benar-benar ada, apakah kamu mau menukarnya dengan seluruh
harta yang kamu punya?" Tanya Ardi sejurus kemudian.

Andini lalu meneguk Chivas Regal 12 years old ditangannya, lalu menjawab "Tentu saja
Neng bersedia. Tak peduli seberapa besar Neng harus membayarnya. Kalau hanya uang,
Neng bisa mendapatkannya lagi dengan mudah."

"Hidup ini memang tak menawarkan apa-apa, kecuali masalah. Berjuta tanya yang tak
terjawab. Tersesat diantara milyaran benda angkasa," balas Ardi sambil menatap bulan
sabit yang terhalang awan tipis.

...
Hidup ini hanya kepingan
Yang terasing di lautan
Memaksa kita
Memendam kepedihan
Hidup ini hanya kepingan
Yang terasing di lautan

Memaksa Kita
Merubah Jadi Tawa

(Kesepian Kita – PAS Band feat Tere)

“Tapi kita sudah terlanjur hidup, Neng... Meski kita tak meminta untuk diberi hidup.
Paling tidak, Aa tidak mengingat, bahwa dahulu pernah diberi pilihan untuk hidup atau
tidak. Tidak pernah diberi pilihan dari keluarga mana Aa dilahirkan. Tiba-tiba Aa sudah
hadir didunia ini.” Ardi melanjutkan bicara sambil memejamkan mata sejenak.

"Kadang Neng mah ingin mengakhiri hidup ini A... Neng mah merasa udah ngga kuat lagi
menjalani hidup ini,” ucap Andini dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Apa alasan kamu ingin mengakhiri hidup, Neng?” Ardi bertanya sambil menggenggam
lembut tangan Andini.

“Kalau dengan mati, semua masalah terselesaikan, Aa mungkin sudah lebih dulu
memilih mati, Neng. Masalahnya, setelah mati justru kita akan dihadapkan pada urusan
yang jauh lebih rumit.” Ucap Ardi setelah meneguk susu UHT ditangannya dengan
sedotan.

Air mata Andini mulai jatuh perlahan. Ia tak mampu lagi membendung emosi yang
membuncah didalam hatinya. Ia tak malu lagi membuang egonya di hadapan pria yang
laun mulai mengisi tempat istimewa di hatinya itu. Ia tak sungkan lagi untuk berkeluh
kesah dihadapan pria yang memberi perlakuan istimewa kepadanya.

Melihat Andini menangis, Ardi semakin erat menggenggam tangannya. Ia seolah ingin
berkata bahwa ada aku disampingmu yang akan mengerti tangismu. Ada aku tempat
curahan hatimu. Ada aku yang merasakan deritamu. Ada aku yang menggenggam
perihmu. Keluarkan saja semuanya malam ini.
“22 tahun Neng hidup di dunia ini, jarang sekali Neng bahagia. Orang-orang yang datang
dalam kehidupan Neng, semua menggoreskan luka. Tak ada yang tulus mencintai Neng.
Tak ada yang peduli sama Neng. Semuanya jahat. Dunia ini tak adil.” Dan air mata Andini
pun mengalir deras di bahu Ardi.

Ardi belum memahami apa maksud perkataan Andini. Tiga bulan ia mengenal Andini,
namun belum banyak hal pribadi yang diketahuinya. Siapa dan dimana keluarganya?
Siapa saja orang-orang terdekatnya? Dan masih banyak pertanyaan lain tentang Andini
yang belum terungkap.

“Kamu tahu Neng, kalau manusia punya 3 wajah. Wajah pertama yang dia tunjukkan
pada dunia. Wajah kedua yang dia tunjukkan pada keluarga dan orang dekatnya. Dan
wajah ketiga yang tidak pernah ditunjukkan pada siapa pun. Sebelumnya, Aa selalu
melihat wajah pertamamu. Tapi malam ini, sepertinya Aa melihat wajah keduamu.”

Andini memandang wajah Ardi dengan tatapan syahdu. Dalam hatinya berkata, “Kamu
memang orang yang paling mengerti aku.” Orang disampingnya memang bukan
siapa-siapa. Bukan keluarga, kekasih atau sahabatnya tapi dirinya merasa nyaman di
dekatnya.

“Lagipula, kalau hanya karena alasan tak bahagia, kamu ingin mengakhiri hidup, tentu
sudah banyak yang bunuh diri. Mungkin Aa termasuk didalamnya. Setiap orang
menyimpan rasa sakit dalam hatinya, Neng. You can share your pain with me if you want.
Tell me your sorrow, sad stories, hurt, whatever. You can trust me.” Ardi menatap mata
dan berusaha meyakinkan Andini.
“I need more time, A. If you know my past, you can understand why i am who i am. But i’m
not ready yet.” Andini membalas dengan wajah tertunduk.

“Sure, let it flow. I will not insist. I will be waiting. Just tell me whenever you’re ready. I’m
here.” Tutur Ardi sambil memegang dan mengangkat dagu Andini. Setelah itu, selama
beberapa saat mereka hanya saling menatap. Saling beradu pandang yang akhirnya
membuat getar-getar dalam kalbu. Ardi mengelus lembut pipi Andini. Sejurus kemudian
Andini memejamkan matanya. Ardi mendekatkan wajahnya, hingga hanya menyisakan
sedikit jarak.

Ardi merasakan deru nafas Andini. Seolah detak jantungnya yang semakin cepat pun
dapat didengarnya. Bibir Andini gemetar. “She want it, but she’s not ready yet,” Ardi
membatin. Akhirnya Ardi kembali menjauhkan wajahnya dari wajah Andini dan
melepaskan tangannya dari pipi Andini.

Andini membuka mata, diam sesaat, lalu kembali meraih minuman berjenis whiskey
berkadar alkohol 40% itu dan meminumnya. Ia terus meminumnya tanpa henti.
Sebenarnya Ardi ingin melarang Andini untuk terus minum, namun sepertinya untuk
saat ini, mungkin itu yang dibutuhkannya.

Tegukan demi tegukan membuat Andini mulai mabuk. Mukanya sudah mulai merah
padam. Andini lalu berdiri dan berjalan kearah tepian roof top sambil tangannya
memegang gelas. Tak lama kemudian ia berbalik arah, dan menatap Ardi sayu.

“Aa, aku sayang kamu... Hiks.. Aku cinta kamu... Hiks.. Tiada satu pun didunia ini yang
peduli, kecuali kamu. Tapi aku ini tak pantas buat kamu. Aku ini kotor dan hina. Pelacur
murahan. Hiks....” Andini mulai meracau sambil cegukan. Tubuhnya mulai terhuyung
seolah tak kuat untuk berdiri.

Dengan sigap Ardi memegang lengan Andini, lalu memapahnya. Andini sudah
benar-benar mabuk, dan tak sanggup lagi berdiri. Ardi lalu menggendongnya kembali
menuju kamar apartemen. Ditinggalkannya begitu saja, minuman keras yang masih
menyisakan setengah bagian beserta gelasnya.

Ardi meletakkan tubuh Andini di ranjang, lalu dilepasnya pula sepatu yang masih
melekat di kakinya. Tak lupa kemudian memberinya selimut. Dinyalakannya pendingin
udara, karena cuaca malam itu terasa cukup panas. Ia lalu duduk dipinggir ranjang, dan
menatap sejenak wajah Andini. Ia ingin memastikan Andini telah terlelap. Ia belai
rambut Andini yang acak-acakan, setelah yakin Andini telah tidur, dimatikannya lampu
kamar.

Sudah hampir tengah malam, namun Ardi belum merasakan kantuk. Ia lalu menuju
balkon dan berdiri bersandar pada dinding. Pikirannya berkelana jauh. Apa yang
dilewatinya malam ini terasa begitu rumit. Apa yang disampaikan koh Abie, apa yang
dikatakan Andini, beradu dengan akal pikirnya. Akalnya berkata bahwa Andini bukan
sosok yang pantas dijadikan kekasih apalagi pendamping hidup. Hatinya berujar bahwa
dirinya harus menyelamatkan Andini dari dunia laknat yang dijalaninya.

Ardi lalu melangkah ke tepian balkon. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa
menentukan sikap. Ia merasa kembali terjebak di persimpangan dilema. Ia terlalu takut
untuk memilih. Ia bingung untuk memilih akal pikirannya ataukah suara hatinya. Hingga
lewat tengah malam, Ardi belum memutuskan pilihannya. Hingga kantuk pun
menyerangnya. Ia lalu masuk dan berbaring di ranjang kosong disebelah Andini.

Pukul 4 pagi Ardi terbangun. Ia tidak bisa tidur nyenyak setiap tidur di tempat lain
untuk pertama kali. Dan ini untuk pertama kalinya ia tidur di apartemen Andini.
Dipandangnya Andini yang tengah terlelap di ranjang sebelahnya. Ardi pun bangkit dari
ranjang, kemudian menatap lekat wajah Andini. Kata orang, bila ingin melihat
kecantikan alami seorang wanita, lihatlah saat dia tidur.

“Indahnya ciptaanMu yang satu ini Yaa Allah. Izinkan aku menjadi pendampingnya. Aku
ingin membasuh luka hatinya. Aku ingin membawanya keluar dari dunianya yang kelam.”
Ardi bergumam dalam hatinya. Lalu dirapihkannya letak selimut Andini.

Pukul 10 lewat Andini terbangun. Kepalanya terasa berat seakan ditimpa beban.
Kalaulah bukan karena panggilan alam, tentu ia tak akan bangkit dari ranjang. Dengan
terhuyung, diseretnya langkah menuju toilet. Setelah selesai, ia membasuh muka di
wastafel. Tampak olehnya, wajah semrawut dan rambut yang acak-acakan. Ia lalu
berkeliling apartemen mencari sosok Ardi. Tak ditemukannya Ardi di dapur, ruang
tengah, bahkan balkon. Ia berpikir Ardi telah pulang tanpa berpamitan karena dirinya
masih tidur.

Andini lalu duduk di meja rias dan mengambil kapas serta pembersih make up. Sisa
make up tadi malam, dibersihkannya. Ia hendak pergi mandi namun pandangannya
tertuju pada kertas memo yang tergeletak di sisi kanan meja rias. Dibacanya perlahan
baris demi baris dalam memo itu. Dirinya tersenyum, tulisan di memo itu memberikan
dirinya sepotong bahagia. Dirinya bak seorang putri yang menari di taman bunga
warna-warni dan dikelilingi kupu-kupu yang cantik. Diiringi syahdu lembut kidung
sukacita dari para peri. Ditingkahi tarian jenaka para kurcaci.

Disobeknya memo itu, lalu ditempelnya di kulkas. Ia ingin memandangnya setiap


membuka kulkas. Saat memandang memo itu, Andini dikejutkan oleh suara dari arah
pintu. Ternyata Ardi yang datang membawa barang belanjaan.

“Good morning sunshine. Udah mandi belum?” Ardi bertanya sambil meletakkan barang
belanjaannya di atas meja makan.

“Loh, Aa dari mana? Kirain dah pulang,” tanya Andini tanpa menjawab pertanyaan Ardi.

“Dari supermarket di bawah. Aa lapar banget, tapi di kulkas kamu ngga ada persediaan
bahan makanan yang bisa dimasak.”

“Ngapain repot-repot masak sih A, tinggal pesen aja. Di bawah juga ada resto yang buka.
Biasanya juga Neng begitu.”

“Hari ini kan libur, sesekali dong kita masak. Lagi pula dengan memasak sendiri, kita
bisa membuat menu yang lebih sehat. Kamu bisa masak ga, Neng?”

“Bisa dong. Masak air sama masak mie instan,” jawab Andini sambil tersenyum.

“Halah, masak air aja paling gosong. Ya udah, kamu bantuin Aa aja. Hari ini kita masak
yang sederhana aja, cap cay sama salmon teriyaki.”

Lalu mereka berdua menuju dapur dan sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan yang
kesiangan. Ada istilah untuk hal ini, yaitu brunch. Gabungan dari kata breakfast dan
lunch. Istilah untuk makan pagi yang dilakukan sekaligus untuk makan siang.

Ardi sibuk meracik bumbu. Ia sudah terbiasa memasak sendiri sejak menjadi anak kost
saat kuliah. Sedang Andini mencuci dan memotong sayuran. Dua insan berbeda dunia
itu tampak asyik menyiapkan masakan untuk brunch. Diselingi derai canda tawa, sampai
akhirnya masakan telah siap.

Ardi menata masakan di atas meja makan, sedang Andini mengambil peralatan makan.
Lalu mereka berdua duduk bersama di meja makan. Nasi merah, capcay kering dan
salmon teriyaki adalah menunya. Andini lalu menyantap hidangan dengan lahap.

“Heh, sebelum makan itu berdoa dulu, Neng. Biar berkah,” ujar Ardi.
“Eh, iya. Lupa. By the way, masakan Aa enak juga yah. Kapan-kapan boleh tuh masakin
Neng lagi,” ujar Andini sambil mengunyah capcay.

“Kamu harus belajar masak, Neng. Kamu kan suatu saat nanti jadi istri dan ibu. Alangkah
baiknya bila apa yang masuk ke dalam mulut suami dan anak-anak adalah apa yang
kamu masak sendiri.”

“Ah, Neng mah belum berpikir ke arah sana A. Lagi pula, siapa sih laki-laki yang mau
menjadikan seorang pelacur sebagai istri,” tukas Andini sambil sesaat termenung.

“Hei, jangan skeptis, apatis, bin pesimis gitu dong. Mana Andini yang selama ini Aa kenal?
Andini yang periang dan selalu optimis menantang dunia.” Ardi berkata sambil
tersenyum dan mengacak lembut rambut Andini. Tak berapa lama kemudian,
terkembanglah senyum dari bibir Andini.

“Aa, hari ini agendanya mau kemana?”

“Belum ada agenda kemana-mana sih, memangnya kenapa gitu?”

“Temenin Neng ke salon sama beli baju yuk. Sudah waktunya perawatan nih, sekalian
mau ganti penampilan.”

“Gimana yah. Masa Aa harus bengong nungguin kamu ke salon. Boring dong.”

“Selama Neng di salon, Aa kan bisa nonton di bioskop atau ke toko buku. Abis itu kita
cari baju sebentar, terus kita makan deh. Neng yang traktir deh. Mau yah A, please...”
tutur Andini dengan memasang wajah memelas.

Diperlakukan seperti itu, Ardi tak kuasa menolak. Sebenarnya Ardi paling tidak suka
menemani wanita ke salon atau membeli baju. Pasti akan memakan waktu yang lama.
Setidaknya begitu pengalaman dirinya bersama mantan-mantan kekasihnya.

“Hmmm... Ya udah deh. Tapi kita ke apartemen Aa dulu yah, Aa kan belum mandi dan
ganti pakaian.”

“Nah, gitu dong. Ya udah, Neng mau mandi dan siap-siap. Abis itu kita cus ke apartemen
Aa.”

Selesai makan Andini lalu bergegas ke kamas mandi, dan bersiap-siap untuk pergi
bersama Ardi. Ia biasanya berlama-lama kala mandi, namun tidak untuk kali ini. Selesai
mandi, dikenakannya blouse Gucci berwarna peach bermotif polkadot dan celana jeans
Levi’s berwarna hitam. Bedak & lipstick disapunya tipis. Tak lupa jam tangan Alexander
Christie dilingkarkan di tangan kirinya.

“Yuk A, kita cus.” Andini menggamit tangan Ardi yang sedang asyik dengan gawainya.
Sepanjang jalan menuju parkiran, Andini menggandeng mesra tangan Ardi. Seolah ingin
menunjukkan kepada semua orang tentang kemesraan mereka. Begitu pula ketika
melewati pos keamanan, dengan riang disapanya 2 orang satpam yang tengah bertugas.

“Siang pak Arman, siang Mas Wahyu. Jagain nih apartemen yah. Jangan sampe ada yang
bawa lari.” Andini menyapa 2 orang penjaga keamanan yang membalas sapaannya
dengan senyum pula. Ardi hanya memandang Andini dengan tatapan campuran antara
senang dan heran.

“Kamu sepertinya bahagia banget Neng, seperti besok mau lebaran aja. Kenapa sih? Ada
yang Aa lewatkan sepertinya,” tanya Ardi sesampainya di dalam mobil.

“Ada deh... Ada pujangga kesiangan yang bikin puisi gitu. Puisinya sih ngga sebut nama,
tapi sepertinya sih buat Neng. Yaa lumayan lah walau belum sekelas W.S. Rendra.”
Andini berkata sambil susah payah menahan tawa.

“Sh*t, Aa lupa ambil tuh kertas. Kamu baca yah? Mana kertasnya sekarang?” Ardi berujar
setengah panik dan sedikit malu.

“Mohon maaf, barang bukti sudah diamankan. Ha... ha.... Udah deh A, ngga usah panik
begitu. Kertasnya Neng simpan. Neng bahagia banget baca puisinya. Thanks banget yah
A. Sudah lama Neng ngga merasakan bahagia seperti saat ini. Saking lamanya, Neng lupa
kapan Neng terakhir kali bahagia seperti saat ini.”

Andini menatap Ardi dan matanya mulai berkaca-kaca. Namun kali ini disebabkan oleh
sepotong kebahagiaan yang diberikan Ardi. Tatapan Andini bagaikan anak panah yang
melesat cepat ke dalam hatinya. Seketika seisi ruangan mobil dipenuhi dengan romansa.
Romansa yang membawa dua anak manusia berjauhan watak itu dalam dekapan cinta.

“Tadi malam Aa ngga bisa tidur nyenyak. Sambil memandang Neng yang sedang terlelap,
Aa tulis puisi itu. Kalau itu bisa memberi kebahagiaan buat Neng, Aa ikut senang.” Ardi
tersenyum. Ardi lalu menyalakan mesin mobil, dan melajukannya menuju arah selatan.
Lantunan lagu-lagu romantis Michael Buble menemani sepanjang perjalanan.

Tak sampai 30 menit, tibalah mereka di apartemen Ardi. Sebuah apartemen dengan
konsep menyatu dengan alam. Letaknya agak jauh dari pusat kota, namun memang itu
yang dicari oleh Ardi. Di sekeliling apartemen, ada taman-taman yang begitu indah.
Berbagai bunga bersemi disana. Di bagian barat, terdapat danau kecil yang juga asri.
Disekitarnya ada pohon-pohon besar yang menjadikannya teduh di siang hari ini.

Apartemen Ardi ada di lantai 17, dengan view menghadap ke danau. Apartemen Ardi
adalah tipe studio dengan luas hanya 40 m2. Hanya ada 1 ranjang queen size. Perabotan
yang ada pun sederhana saja.

Andini pun berkeliling mengamati keadaan apartemen. Dia pun membuka kulkas dan
melihat isi didalamnya. Isinya dipenuhi sayuran, buah-buahan, susu dan produk olahan
susu. Lalu ia menuju balkon dan memandang ke arah danau.

“Aduh A, pemandangannya bagus banget disini. Serasa di tempat wisata.” Andini


setengah berteriak. Ardi pun datang menghampiri dengan membawa binocular, dan
memberikannya pada Andini.

“Kalau senja, lebih indah lagi Neng. Saat mentari tenggelam dan warna langit bernuansa
jingga. Aa ingin suatu saat, Neng ada disini kala senja datang.” Ardi berucap pelan, but
it’s so deep and touching bagi Andini. Ia tidak bermaksud menggombal atau merayu
Andini.

“Aaah, Aa mah seneng banget bikin Neng baper. Kalau Neng sampai jatuh cinta gimana?
Repot nih urusannya. Emang Aa mau tanggungjawab?” Andini merajuk manja dan
bergelayut dipundak Ardi.

“Tanggungjawab? Aa ngapa-ngapain kamu aja ngga, koq disuruh tanggungjawab. Enak


aja! Udah ah, Aa mau mandi,” goda Ardi sambil tersenyum dan berjalan menjauhi Andini
menuju kamar mandi.

“Ih, orang lagi serius juga, malah diajak bercanda.” Andini merengut. Ia lalu kembali
melihat pemandangan melalui binocular. Setelah puas, ia kembali masuk kedalam.

Sambil menunggu Ardi, Andini menjelajah meja kamar Ardi. Dilihatnya beberapa buku
novel Tere Liye, buku agama, serta kitab suci Al Qur’an. Alat-alat tulis tersusun rapi di
container. Andini lalu menyalakan Macbook Air, namun ternyata diberi password. Lalu
matanya tertuju pada foto keluarga Ardi. Diambilnya dan dipandangi lekat. Ia dapat
menduga orang-orang yang ada disana adalah Ayah & Ibu Ardi, dua adik Ardi, dan tentu
saja Ardi sendiri.
Begitu lama dan lekat sekali Andini memandangi foto keluarga Ardi, hingga tak sadar
bila Ardi memperhatikannya. Ardi hanya bisa menduga perasaan Andini saat itu adalah
rindu pada keluarganya.

“Ehm... Serius banget lihat foto keluarga Aa. Rindu sama keluarga yah, Neng?” Ardi
bertanya sambil membuka lemari pakaian dan memilih kombinasi pakaian yang akan
dikenakannya.

“Bukan rindu sama keluarga A, tapi iri sama Aa yang punya keluarga lengkap dan
bahagia,” jawab Andini dengan suara bergetar. Ia berusaha sekuat tenaga menahan air
matanya tumpah.

Jawaban Andini membuat Ardi terperangah. Ia tak menyangka respon Andini akan
seperti itu. Air mukanya menunjukan ekspresi menyesal. Ia tak bermaksud membuat
Andini seperti itu.

Ardi lalu mendekati tubuh Andini. Bahasa tubuhnya mengatakan kemarilah, datanglah
ke pelukanku. Seolah mengerti bahasa tubuh Ardi, Andini lalu memeluk erat tubuh Ardi
yang hanya berbalut handuk. Tangis Andini pun pecah, rinai air matanya mulai deras
mengalir. Ardi tak mengucapkan kata apapun. Ia hanya mengusap kepala dan membelai
lembut rambut Andini. Ia paham, bila seorang wanita menangis, maka tak perlu berkata
untuk berhenti menangis. Biarkan saja sampai ia puas.

“Aa minta maaf kalau kata-kata Aa barusan menyinggung kamu, Neng. Aa ngga
bermaksud membuat kamu seperti ini.” Ardi membuka kata setelah tangis Andini
mereda.

Andini melepaskan pelukan Ardi. Ia lalu mengambil tissue dan menyeka sisa air mata di
wajahnya.

“Ngga perlu minta maaf, Aa ngga salah apa-apa. Neng aja yang terlalu baper. Udah
cepetan Aa pake baju, abis itu kita cus. Neng tunggu di ruang depan yah.”

Ardi menghela nafas lega. Ternyata yang terjadi tak seperti yang ia kira. Ia lalu memilih
pakaian untuk dikenakannya. Dipilihnya kemeja Moschino berwarna merah marun dan
celana chino Giordano warna hitam serta jam tangan Hublot.

Setelah siap, mereka berdua berkendara menuju arah utara. Tempat yang mereka tuju
adalah sebuah super mall di kawasan Karawaci. Lagu-lagu band Peterpan menemani
perjalanan selama 40 menit itu. Tepat ketika lagu Kupu-kupu Malam, Ardi ikut
bernyanyi mengikuti suara merdu Ariel.

“Hmm... Nyindir Neng aja pake nyanyi segala,” ujar Andini sambil memasang wajah sok
ngambek.

“He.. he... maaf yah Neng. Kalau dengar lagu ini, memang yang terbayang adalah Neng.
Tapi Aa mau tanya nih, memang benar kalau kalian itu suka tersenyum dalam tangis,
atau menangis dalam senyuman?” Balas Ardi sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Andini tidak langsung menjawab pertanyaan Ardi. Ia malah mematikan AC mobil lalu
membuka jendela mobil. Ia lalu menyalakan sebatang Sampurna Mild dan
menghisapnya. Asap putih pun mulai mengepul dari bibir Andini.

“Pertanyaan Aa tadi, ngga harus kamu jawab koq Neng. Aa ngga punya maksud untuk
menyinggung atau merendahkan. Hanya berusaha berempati.” Ardi berkata sambil
mengunyah sepotong white chocolate yang hampir selalu tersedia di mobilnya. White
chocolate adalah mood booster bagi Ardi.

“Ngga sepenuhnya benar, tapi ngga salah juga. Terlalu sederhana bila dijadikan lirik lagu.
Semakin lama Aa bergaul dengan Neng, Aa akan semakin mengerti seperti apa rupa
dunia yang Neng jalani. Tak ada yang perlu Neng konfirmasi. Sekarang ini Neng sedang
menunjukkan sekelumit dunia Neng.” Andini berkata serius.

Ardi berusaha mencerna kata-kata Andini barusan. Ia berusaha mengelaborasikan


apa-apa yang diketahuinya tentang Andini dan dunianya. Ia mencoba untuk menafikan
asumsi yang selama ini mengendap dibenaknya.

Kembali dipotongnya satu bagian white chocolate, lalu dikunyahnya. Ia merasa Andini
terus memperhatikannya memakan coklat.

“Neng mau coklat?” Ardi menawarkan coklat pada Andini.

“Nah, gitu dong. Makan sendirian aja ngga nawarin. Ngga tahu apa, Neng dari tadi
mupeng. Siapa sih yang ga suka coklat A?,” jawab Andini sambil mengambil coklat dari
tangan Ardi.

“Ga usah nunggu ditawarin kali Neng. Semua yang ada di mobil Aa ini, boleh kamu ambil
tanpa izin, termasuk hati Aa,” Ardi mengeluarkan jurus gombalnya.

Anda mungkin juga menyukai