Anda di halaman 1dari 9

SMU Permata mulai ramai.

Murid-murid

berdatangan dengan wajah segar. Bandung memang

kota yang masih menyisakan rasa dingin. Apalagi SMU

Permata berlokasi di pinggir kota, di Bandung Utara,

di sekitar Dago. Masih terdapat kabut tipis di sana.

Akan tetapi, bila siang tiba, kota Bandung sama saja

dengan kota yang lainnya, panasnya minta ampun.

Apalagi pohon-pohon yang menaungi pinggir-pinggir

jalan dibabat habis untuk pelebaran jalan dan untuk

pembuatan jalan layang. Tapi wajah murid-murid yang

berdatangan itu betul-betul pagi.

"Wei, Di. Kok, kamu sudah ada di sekolah pagi-

pagi gini, tumben." Ima datang sambil menampakkan

tampang heran karena tak biasanya melihat Adi

sudah nongkrong di bangkunya sepagi ini selepas

bertukar cerita dengan Mang Eman.

Adi sepertinya mendapatkan energi baru

dari cerita-cerita pengalaman Mang Eman yang

penuh perjuangan. Ia, ternyata, belum seberapa

dibandingkan dengan kehidupan Mang Eman. Selain


itu, Adi juga telah menemukan sahabat, ya, sahabat,

yang selama ini tidak ia miliki. Dan ia punya kado

untuk Ujang. Ia, setidaknya, menemukan tempat

untuk mencurahkan isi hati. Oleh karena itulah,

Adi merasa lebih tenang.

Adi yakin orang tuanya tidak punya waktu

untuk mencarinya. Saat mereka sadar akan

kepergiannya, saat itu pulalah mereka sadar bahwa

mereka tak punya waktu untuk mencarinya. Mereka

terikat dengan pekerjaan kantor mereka.

"Sadar, ni, yee!" Ima menggoda Adi.

"Ah, enggak juga. Lagi ingin aja. Besok juga

normal lagi."

"Wah, jadi, menurut kamu orang terlambat

itu normal gitu."

"Bagi gue, iya. Kepagian datang gue adalah


keenggaknormalan gue."

"Wah, kamu ternyata pandai berfilsafat juga,

Di. Tapi menurutku yang normal itu adalah yang

baik, yang sesuai dengan kebiasaan umum."

"Nanti, nanti. Kata lu, yang normal itu adalah

yang baik dan yang baik itu adalah yang sesuai

dengan kebiasaan umum. Berarti yang baik itu

adalah yang sesuai dengan kebiasaan umum. Gue

enggak sepakat, Ma."

"Menurutmu, gimana?" Tanya Ima.

Ima sepertinya begitu tertarik dengan per-

ubahan Adi. Ini tidak biasa, pikirnya. Wacana yang

dilemparkannya kepada Adi tentang kebaikan begitu

saja disambutnya. Ada apa dengan Adi? Sepertinya

kepala Adi telah terbentur dengan benda keras

atau mungkin kehidupan yang keras sehingga ia


menderita amnesia. Dia lupa akan dirinya yang begitu

sombong. Adi betul-betul tampak lain hari ini. Atau

mungkin inilah yang disebut fitrah itu. Semua orang

punya modal kebaikan dalam diriya. Dan Ima yakin di

dalam hati Adi terdapat permata. Seperti nama SMU

mereka.

"Menurut gue. Mmmm…gimana yah. Gue

tadi bilang apa, Ma?"

"Nah, mulai datang lagi, kan telminya. Kamu

normal lagi, Di, he…he…he…." Ima mengejek Adi.

"Gue serius, Ma!" Seru Adi dengan nada tinggi.

Jiwa Adi adalah jiwa pekat dengan kebingungan. Ia

tengah berada pada wilayah transisi kedewasaan.

Saat inilah mungkin puncak kebingungan itu. Ia

melesat dari dunia geng motornya karena bisikan

hatinya bahwa ia berada pada tempat yang salah. Ini


tidak benar, bisik hatinya pada saat geng motornya

bertindak Out Laws.

"Tadi, kamu sepakat tentang pendapatku me-

ngenai kebaikan yang sesuai dengan umum?"

"Oh, iya. Menurut gue, pada zaman sekarang,

mah, kebaikan itu sesuatu yang tersembunyi dan

sedikit. Masih tidak umum. Yang umum, mah,

kejelekan sekarang. Coba aja lihat. Korupsi ada di

mana-mana. Pembunuhan, sering sekali. Pelacuran,

huuh, tidak tertampung, dilokalisasi, bahkan,

temen-temen seusia kita juga banyak yang jadi

pelacur atau sekadar perek, tapi apa bedanya. Lalu,apa lagi? Oh, iya…narkoba, begitu merajalela. Atau

kenakalan remaja yang mendekati kriminalitas.

Apakah semua itu menjadi kebaikan karena sudah

begitu biasa kita dapatkan kenyataannya."

"Ya, tidak dong, Di. Yang Ima maksudkan, bahwa


kebaikan itu sebenarnya sesuatu yang sudah ada di

benak setiap orang. Kebaikan itu adalah hal yang

umum dan fitrah."

"Apa?"

"Fitrah. Hal yang mendasar bagi manusia.

Kesucian. Jadi, kalau kamu kembali ke jalan yang

benar, kamu kembali ke fitrah kamu, he…he…

he…."

"Enak aja, emangnya gue keluar dari jalur,

apa?" Adi merasa tersinggung, sedikit.

"Ya, Tanya saja pada hati kamu. Apakah hati

kamu sepakat, tidak berontak, ketika kamu bolos.

Apakah hati kamu sepakat, tidak berontak, saat

kamu telat mulu. Apakah hati kamu sepakat, tidak

berontak, saat kamu melawan orang tua atau saat

kamu kabur dari rumah? Apakah …."


"Eit, nanti dulu. Kok, kamu tahu kalau aku …."

Tiba-tiba datang teman-teman yang lainnya. Winna

dengan kemenorannya tiba-tiba pula menjerit.

"Wooow. Adi! Kamu. Oh, ngaku…deh. Kamu

sungguh tambah cakep kalau rajin. Suwer, wajahmu

itu loh. Segar. Segar seperti pagi ini. Segar seperti

harapan-harapan yang menguncup di hati Winna.

Oh, Adi." Tiba-tiba Winna mendekati Adi. Seperti

seorang kekasih yang menyambut kekasihnya

merentangkan tangan siap menerima pelukan, tapi

Winna terbentur tubuh Ima yang tiba-tiba saja

menghalangi. Kontan saja Winna kaget.

"Eit...eit.... ooh jadi ini rupanya sang pembela

itu. Ooh, gue tahu sekarang. Kau dan Adi datang

pagi-pagi, janjian mau ngobrol-ngobrol, ya? Dan

Adi bertambah jadi rajin karena ada kekasih hati


yang menunggu. Gue tahu sekarang. Woi, teman-

teman, Adi dan Ima jadian! Woi..A..." Mulut Winna

tiba-tiba dibekap Adi.

"Elo kalo ngomong jangan macem-macem.

Hati-hati. Gue jadi ingin muntah dengan segala

tingkah lo yang norak ini. Urus saja make up lo

yang menor itu daripada ngurusin orang lain."

"Eh...eh...gue hanya main-main kok, Di.

Suwer!" hati Winna meleleh setelah Adi dengan

tegas memotongnya. "Maafin gue ya, Di." Adi diam

saja. "Ayo, dong, Di. Maafin gue, please...." winna

paling takut dimarahi, dia tidak bisa mendekatinya

lagi. "Minta maaf dulu sama Ima, baru ke gue."

Jawab Adi.

"Lho.. kok ... ke Ima, sih." Winna kaget dengan

perintah Adi. Harus minta maaf pada Ima? Oh


tidak lah yaw. Gengsi dong, bisik hati Winna.

"Ya, kau telah hampir mencemarkan nama

baiknya. Dia orang baik tahu, tidak kayak kamu.

Dasar perek!"

Duaaar. Dunia Winna tiba-tiba berpetir.

Gelap. Kelam. Dan badai pun tiba-tiba hadir. Winna

tak bisa berbuat apa-apa selain terpaku di bumi

tempatnya berdiri. Seluruh badannya terguyur oleh

air hujan kekecewaan seakan telah begitu runcing

dan menusuk-nusuk setiap pori-pori jiwanya. Ia

mematung dengan penuh rasa sakit. Adi betul. Aku

memang perek. Aku tak layak di sini. Hatinya pedih

berkata.

Sumber: Novel Dan Gue Bukan Robot karya

M. Irfan Hidayatullah, 2004

Anda mungkin juga menyukai