Anda di halaman 1dari 5

SAUDADE

Burung laying-layang api bergelombol, terbang menukik kemudian menghilang di langit


senja. Pucuk-pucuk pohon seolah menyentuh sinar terakhir matahari yang sebentar lagi akan
tenggelam. Suhu mendingin karena musim telah memasuki pertengahan. Salju semakin
gencar turun ketika malam hari menyambut.

Sidney menatap sepasang sepatu yang tergantung, terlihat kusam dibanding terakhir kali ia
berkunjung. Lelaki itu nampak tak berniat meninggalkan tempat meski gelap perlahan
memeluk sekitar. Mantel hitamnya sengaja ia tinggalkan di dalam mobil. Dan kini ia
menyesal,

Ternyata memakai satu lapis pakaian di tengah salju membuat tak nyaman juga ya..

Sidney menertawakan kebodohan diri sendiri, betapa mirisnya. Kata hatinya yang lain
mengatakan kalau hal seperti itu harus dilakukan sesekali agar ia bisa merasakan sakit yang
nyata. Ini tak seberapa, ia tak bisa membayangkan Zidni yang merasakan sakit lebih dari ini.
Hei, berapa lama kau sudah menderita? Sidney masih ingat wajah pucat yang selalu
tersenyum itu. Tak peduli seberapa sakit yang Zidni rasakan, orang itu tak pernah kehilangan
lengkungan sabit dibibirnya.

“Jangan seperti itu, aku pasti sehat dan berhentilah mencemaskanku, pikirkan tentang
dirimu juga dong. Dasar.”

Ah ucapan itu. Siapa yang sedang sakit sebenarnya kenapa Zidni yang malah memberinya
motivasi? Sidney tertawa bersama angin yang berhembus. Sekali lagi, ia memandang
sepasang sepatu yang bergerak di atas pohon akibat ulah angin barusan. itu milik Sidney
omong-omong, saat terakhir kalian kemari tak ada satu pun diantara kalian yang memakai
sepatu. Karena saat itu musim panas, sandal terasa lebih nyaman dipakai.

***

Kalian berencana memancing ikan di danau dekat pohon oak itu tumbuh. Orang tua Zidni
sudah melarang untuk keluar rumah, memang dasarnya sifat keduanya yang bebal, tak ada
satu pun yang mendengarkan. Ketika itu usia kalian masih sepuluh tahun, penyakit hepatitis
Zidni belumlah parah ditambah jiwa kanak-kanak kalian berdua yang memanggil untuk
bertualang.

Sepasang sahabat itu tak membawa peralatan mancing apapun. Zidni terlalu buru-buru ketika
kabur dan rencana yang terlalu mendadak membuat mereka tak memikirkan apapun selain
pergi secepatnya. Bermodal sepeda gunung hadah ulang tahun milik Sidney mereka pergi
menyusuri pinggiran pedesaan. Sudut bibir keduanya melengkung ke bawah ketika
mendapati fakta kalau danau yang dituju ternyata kering kerontang, panasnya cuasa membuat
air cepat menguap dan ikan-ikan pergi entah kemana. Mereka kurang beruntung, akhirnya
dengan dengus kecewa mereka lebih memilih beristirahat di bawah pohon oak di dekat
danau.

Zidni bilang musim favoritnya adalah musim panas, ia mengatakan hal itu meski tak ada
yang bertanya. Ia bilang, ia selalu menyukai rasa hangat dan derik jangkrik yang bernyanyi di
malam hari. Sidney yang saat itu belum mengerti justru mencibir, menurutnya musim dingin
adalah yang terbaik. Sidney tak suka berkeringat atau panas-panasan, saat musim dingin tiba
entah kenapa kasurnya berubah menjadi lebih nyaman dan membuatnya lebih betah tidur
dikamar seharian.

Zidni tertawa kencang mendengarnya.

“Itu sih kaunya saja yang malas.” Ujarnya ketika Sidney bertanya.

Zidni tak menghentikan tawanya. Malah ia semakin kencang tertawa setelah Sidney
menggelitik pinggangnya balasan kareana Zidni mengatainya malas.

“Aduhh iya aku menyerah, gelitikanmu itu memang tak main-main ya.” Zidni bersungut-
sungut.

“Ha! Makannya kau jangan meremehkanku.” Sidney mulai menyombongkan kehebatanya.


Saat itulah, ketika Sidney masih sibuk berceloteh sendiri, netra milik Zidni menangkap
sesuatu, ia tiba-tiba berdiri dan langsung lari menjauh dari tempat mereka. Sidney yang
kebingungan, malah mengikuti Zidni dan ikut berlari ke arahnya.

“Apa sih, kenapa tiba-tiba berlari, ada ular ya?” katanya, memang disemak-semak sering
dijumpai hewan liar yang membuat sarang, berhubung Zidni takut ular, makanya Sidney
mencurigai hal itu.
“Bukan, lihat itu.” Telunjuk Zidni mengarah ke atas pohon oak.

“Sarang burung?” ujar Sidney.

“Bukan bodoh, yang sebelahnya.” Tak sadar dikatai, pandangan Sidney mengikuti benda
yang dimaksud.

“Sepatu?”

“Kau tau arti sepatu yang tergantung itu apa?” ujar Zidni ketika ia masih mendapati wajah
kebingungan temannya.

“Itu kerjaan orang iseng kan?” ucap Sidney, Zidni memukul kepala temanya yang tak bisa
diajak serius.

“Tidak semua orang bertindak iseng seperti dirimu tau, itu ada maknanya.” Ujarnya sebal.

“Memangnya apa?”

“Itu memiliki arti ‘mengenang yang sudah tidak ada’ aku pun tidak tau sejarah rincinya jadi
jangan tanyakan kenapa“ jelas Zidni.

“Lalu kenapa kau bisa tau?”

“Itu kata ibuku, orang zaman dulu melakukanya hanya sebagai pengingat saja. Suatu saat,
gantungkan punyaku juga ya.” Pintanya

“Hah? Kau kan masih ada di sini, kenapa tiba-tiba meminta? Bukannya kau bilang itu untuk
orang yang sudah tidak ada.” Terkadang Sidney heran dengan sahabatnya ini.

“Kan aku bilang nanti, cepat attau lambat siapa yang tahu?”

“Ada-ada saja, hei ini sudah sore, kita harus pulang sebelum ibumu memarahiku.” Ucap
Sidney.

“Well, sepertinya kau akan tetap dimarahi, selamat ya..” Zidni tertawa menyebalkan.

Sore itu mereka kembali pulang. Tanpa Sidney sadari permintaan itu sudah terucap. Hanya
saja dirinya yang tak menyadari semua itu.

***
Dua tahun berlalu dan penyakit yang dialami Zidni semakin mengganas. Ketika ingin
bertemu, ia hanya bisa memandangi Zidni dibalik jendela ruangan tempat sahabatnya itu
dirawat. Ia datang hampir setiap hari, meski sekedar menyampaikan tugas dari guru karena
Zidni tak lagi masuk sekolah. Dihari ujian, Sydney sedikit berharap kalau sahabatnya akan
hadir, tentu saja itu hal yang mustahil. Hingga hari terakhir ujian berlangsung pun ia tak
pernah melihat Zidni datang.

Barulah ketika hari kelulusan tiba, Sidney mendapatkan kabar itu. Tentang kematian Zidni,
sahabatnya.

***

“Aku ingat tak mengucapkan selamat tinggal yang benar padamu, maaf. Sepatu itu
sebenarnya tak layak digantung disana, seharusnya aku menggantung milikmu. Masalahnya,
keluargamu pergi tanpa sepengetahuanku setelah kau tiada. Aku jadi tidak bisa memintanya
pada mereka. Maafkan aku. Ahh aku terlalu banyak meminta maaf

Maaf..”

Sidney tak lagi bisa menahan sensasii perih di hatinya lagi. Tanpa izin, air matanya mengalir
begitu saja. Tahun-tahun berlalu, tapi rasa sakit akibat kehilangan ini tetap sama. Sidney
menyadari kalau dirinya bukanlah sahabat yang baik. Beribu kali kata maaf terlontar, namun
hal itu tak dapat mengembalikan sahabanya ke muka bumi.

Zidni, kau harus tau, mungkin sepatu milikmu sudah tergantung. Mungkin tawamu sudah
menghilang. Mungkin juga dengusan sebalmu yang selalu kau tunjukan sudah tiada. Akan
tetapi jangan lupakan satu hal kalau aku masih disini, selama sepatu milikku belum
tergantung aku pasti akan selalu mendoakanmu sahabat. Maaf, tak bisa menjadi orang yang
aku andalkan.

Aku menyayangimu.

End

*saudade : the feeling of longing for something or someone who you love and which is lost.
**sepatu yang digantung disebuah pohon sebenarnya memliki banyak makna, diantaranya
untuk mengenang sesuatu attau momen kemudian itu hanya kerjaan orang iseng (ini memang
terjadi diluar negeri loh) dan terakhir adalah pertanda kalau ada seseorang yang sudah tidak
ada.

Tambahan :
Nama : Nika Amalia
Nomor hp : 0895806737080
No rekening : 4860339094
Nama pemilik rekening : Nika Amalia
Akun media social : (instagram) @amalianika_
Alamat email : nikaamalia22@gmail.com

Foto

Anda mungkin juga menyukai