Anda di halaman 1dari 3

KARENA KAU ADALAH SAHABATKU Oleh Cyntia Zulina Sari Aira menghela nafas panjang seusai menutup handphonenya.

Ia memang sudah beberapa kali mengikuti perlombaan volley, tetapi tidak pada waktu sekarang. Sekarang, waktunya bukan sekedar sendiri tapi telah ada yang menemaninya. Dicky. Cowok yang memiliki pikiran lebih dewasa dari umurnya, mampu menemani Aira sejak menduduki bangku SMA. Walau hanya sekadar sahabat, tak ada satupun diantara mereka berniat untuk menjatuhkan hati pada orang lain. Terlalu sulit menggantikan peleburan hati dan jiwa yang telah mereka ikrarkan. *** Ki!!! Tim kami menang! seru Aira saat perlombaan usai. Iya. Selamet yah. Hmm, banyak amat keringat lo. Hhh, iya apa? Pluk. Sehelai handuk kecil jatuh di kepala Aira. Usap ke muka lo tuh. Masa cantik-cantik keringatnya banyak. Yee, nolong kok ngejek sih. Tapi, thanks ya! Surya kembali ke peraduannya layaknya penutup cerita hari ini. Hari ke hari mengeratkan hubungan keduanya tanpa sadar jika itu akan semakin mudah membuat salah satu di-antaranya terluka atau kecewa. Tak ada alasan saling menyakiti jika bukan karena keadaan menjadikan itu sebagai skenario kehidupan. Langit juga tak menjamin dalam keheningan ada kebahagiaan. *** Suatu hari, Bram mengajak Aira tawuran dengan musuh bebuyutan mereka. Tak hanya mereka berdua tapi juga sebagian besar cowok di sekolah mereka. Dalam hal ini, Aira tak per-nah memberitahukan Dicky walaupun seringkali ketahuan olehnya. Karena dalam kasus kali ini menyangkut nama sekolah masing-masing Aira tampak semangat mengiyakan ajakan Bram. Mau! tegasnya. Beneran ya? Nggak boleh nangis lho. Iya gue tau. Emang lo nggak tau apa kalau gue tuh udah ngikut yang kayak beginian hampir 5 kali.

Sayangnya, hari ini adalah hari sial bagi sekolah mereka. Kalah personil. Jadi, setiap kali terjadi baku hantam Aira mencoba berdiri di barisan belakang kelompok. Namun, naas baginya. Beberapa anggota kelompok musuh menyerang dari belakang. Ck, ada cewek rupanya. Gan, ada cewek nih. ucap salah satu cowok dari sekolah musuh. Mau apa lo? Eh, dianya nantangin. Langsung aja bro. Brak, bruk, brak. Degup jantung Aira sejenak berhenti ketika ia sadar bahwa kepalan tangan tadi tak menyentuhnya tetapi dalam genggaman tangan seseorang. Dicky. Cepat lari, Ai. Entar gue nyusul lo. Gue mau beresin nih orang-orang. Iiiya. Aira berlari dari kerumunan itu secepat mungkin. Ia menuju salah satu taman yang berdekatan dengan kompleks rumahnya. Tak berapa lama kemudian, Dicky muncul dengan luka kecil di ujung bibirnya. Lo nggak apa-apa kan? Nggak apa-apa. Sini, biar gue bersihin luka lo tuh. Biarin aja. Ai, gue cuma pengen ngomong serius sama lo sekarang. Ngomong aja. Toh, selama ini kita emang saling terbuka kan? Iya! Tapi nggak dalam hal ini. Lo tau nggak apa akibat kalau ikut kayak gituan? Lo sadar kan kalau lo tuh cewek? Lo seharusnya nolak kalau ada yang ngajak kayak gituan. Gue tau, Ki! Gue sadar! Gue nggak bisa nolak! Toh, selama ini lo nerima aja kan. Kenapa sekarang lo protes kayak gini? Lo sahabat gue Ai. Gue nggak mau hal buruk terjadi dengan lo. Gue punya hak untuk ngasih tau lo mana yang benar, mana yang salah. Dan yang lo lakuin sekarang tuh salah besar.

Gue cuma nggak mau terlihat lemah, Ki. Gue pengen bisa ngelakuin semuanya sendiri dan Itu berlaku saat disamping lo nggak ada siapa-siapa. Sekarang udah ada gue. Gue bisa jadi benteng yang selalu ngelindungi lo, gue bakal selalu nyediain bahu gue kalau lo lagi butuh sandaran, gue jadi sahabat lo karena cuma 1 alasan, Ai. Gue udah terlanjur mampu untuk lindungin lo, ngejaga lo, dampingin lo di saat apapun. Dan gue nggak mau jadi sahabat yang tuli dan buta jika lo salah ngelakuin suatu hal. Aira sadar. Selama ini, Dicky memberikan waktu untuknya agar sadar terhadap sikapnya selama ini. Tapi ternyata, Aira tak menyadarinya. Dengan keterbukaan itu, Aira tahu. Sahabat tak hanya sekedar harus menerima kekurangan dan kelebihan, tetapi juga harus mampu untuk menegur jika ia salah. Bukan sahabat namanya jika ia buta atau tuli saat sahabatnya salah.

Anda mungkin juga menyukai