Anda di halaman 1dari 4

Rumor Sebuah Kondom

Pentigraf Siti Muflihah

Jumat pagi sekolah gempar. Temuan sebuah kondom di taman depan kelas memecah
keheningan sekolah. Kegemparan itu bukan karena barang rahasia itu. Siapa pun,
dewasa maupun anak-anak, bisa mengenal barang itu. Di etalase supermarket barang
itu dipajang, bahkan di depan kasir. Tidak ada syarat yang beli harus sudah menikah.
Lalu apa yang membuatnya istimewa dan bikin heboh sejagat sekolah? Mas Totok,
petugas kebersihan sekolah, mengamati benda temuannya. Alat kontrasepsi merk
sutra itu sudah berisi cairan sejenis lendir. Kontan membuat puluhan pasang mata
saling menatap penuh tanya dan curiga. Siapa yang membuang benda itu di sekolah?
Apakah ada orang beraktivitas malam Jumat di sekolah? Kalau ada orang melakukan
di luar, ngapain pula naruh barang itu di taman sekolah?. Apakah ada siswa yang
beradegan orang dewasa di sekolah? Berbagai rumor perilaku nista beredar di
sekolah.

Spontan beberapa pasang mata dewan guru mengarah pada dua siswa yang pernah
masuk BK karena ketahuan pacaran di kelas. Dua sejoli diinterogasi, namun mereka
mengelak. “Saya berani disumpah pocong, Bu. Saya tidak melakukan hal terkutuk
itu” Nandhito mencoba meyakinkan. Ceweknya mengamini. Akhirnya, sumpah
pocong benar-benar jadi alternatif pengakuan sekaligus pembelaan. Suasana sangat
mencekam. Banyak yang khawatir, kalau Dito berbohong, dia dan pacarnya akan
mati.

Di tengah prosesi yang menegangkan itu, tiba-tiba dari arah barat, Yudha, anak
berketerlambatan mental, berlari terengah-engah.” Itu tisu balon mainanku. Isinya
ingus . Aku pilek. Itu tisu yang kuambil di bawah bantal mama. Ada tulisan sutra.”.
Pengakuan Yudha membatalkan sumpah pocong sekaligus mengakhiri rumor
kondom.
Perang Sarung Berujung Maut
Pentigraf Siti Muflihah

Pandemi berangsur sirna. Geliat kehidupan makin terasa. Pengais rezeki di bulan
puasa seolah menemukan kembali telaga yang selama tiga tahun terakhir mengering.
Seperti menjadi tradisi, tiap Ramadan jualan sarung dan busana lainnya laris manis.
Khusus Ramadan tahun ini, larisnya sarung bukan semata untuk salat ataupun hadiah
buat sanak saudara. Ada budaya baru di kalangan anak muda yang bernama perang
sarung. Di beberapa tempat, bahkan perang sarung dilombakan. Lumayan buat
hiburan sekaligus olahraga bagi anak-anak muda. Sejenak mereka bisa menaruh
gawainya.

Orang boleh menyebut itu kreativitas yang dibanggakan. Tapi bagi Yana, perang
sarung tak ubahnya bagai petaka. Bagaimana tidak, akibat permainan itu, dia
kehilangan anak semata wayangnya. Selepas salat tarawih, Dendi yang kini duduk di
kelas VIII, pamit main keluar."Ma, aku keluar sebentar." Tanpa firasat apa pun, Yana
melepas keluar buah hatinya.

Yana tak menyangka itu pamitan putranya yang terakhir kalinya. Dendi yang tadi
keluar masih segar bugar, kini pulang tinggal jasad terbujur . Nyawanya melayang
akibat tertabrak truk, saat dia mencoba mengelak dari sabetan sarung temannya.
Sabetan sarung yang dipilin menyerupai pecut itu tak mengenai tubuh anaknya, tapi
menggoreskan luka yang dalam di hati Yana. Luka yang entah sampai kapan akan
musnah. Buah hati yang didamba hingga di dasa anniversary-nya, kini terenggut dari
pangkuannya. Perang sarung….., mengapa harus bikin murung?
Di Atas Langit Masih Ada Langit
Pentigraf Siti Muflihah

Senin pagi sekolah masih sunyi. Dinda bergegas menuju ruang OSIS. Dia
menyiapkan perlengkapan upacara. Semangatnya ingin tampil memukau di depan
seluruh warga sekolah, membuatnya lupa mengisi perut sebelum berangkat.
Ambisinya menjadi petugas terbaik agar jadi panutan siswa yang lain. Ya… Dinda
sang ketua OSIS perempuan pertama dalam sejarah SMPN Tanggul Lumpur.

Rasa percaya diri melambung ke langit hingga dia lupa menginjak bumi. Saat dia
menarik bendera,,,,blak….. bendera itu terbalik, putih di atas merah di bawah. “Ya
Tuhan, ini tidak boleh terjadi” bisiknya dalam hati. Dia terbiasa melatih dengan tegas
adik kelasnya yang menjadi petugas upacara. Tapi, kini giliran dia bertugas ternyata
mengalami kesalahan fatal. . Rasa malunya membuncah, hingga kepalanya seakan
berputar. Pandangannya perlahan-lahan gelap. Dia jatuh pingsan. Untungnya
pemimpin upacara sigap. Segera dia mengaba-aba, agar peserta upacara balik kanan..
Dinda dievakuasi tim PMR ke UKS. Petugas cadangan menggantikan peran Dinda
hingga upacara usai.

Ketika kesadarannya pulih, Dinda menumpahkan air matanya. Baru kali ini dia
menangis. Sedari kecil, ayahnya mendoktrin, anak seorang tentara tidak boleh
cengeng dan harus mandiri. Itulah mengapa, tiap ada tugas kelompok, Dinda tak mau
berkelompok. Dia lebih suka mengerjakan sendiri. Hanya sekali dia terpaksa bekerja
kelompok, yaitu saat menyusun teks drama. Itu pun dia adu jambak dengan
temannya karena sama-sama memaksakan pendapatnya. Insiden itu cukup menjadi
alasan bagi temannya untuk malabeli Dinda anak yang sombong. Kejadian hari ini
membuat Dinda menyadari kekurangannya. Dia terlalu sombong dan egois, hingga
menyepelekan orang lain. Dengan gontai dan muka tertunduk, dia berjalan kembali ke
kelas. Penampilan yang sangat jauh berbeda dari kesehariannya. Tampaknya dia
menginsyafi, bahwa di atas langit masih ada langit.
Biodata Penulis

Nama : Siti Muflihah


Unit Kerja : SMPN 1 Tanggulangin

Anda mungkin juga menyukai