Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Hari Ibu

26 Desember 2010 4.864 views 2 Comments

Cerpen Hari Ibu, judul : Lilin untuk Maryam

———————–

“Kenapa nggak boleh, Bu? Kan cuma lima hari?” marah Dinda pada ibunya yang tidak
menyetujuinya untuk ikut berlibur bersama teman-temannya ke Bandung.

“Feeling Ibu nggak enak, Din. Ibu masih belum bisa melepas Dinda.” Sambil menyalin nasi
ke mangkuk, Maryam, ibu Dinda menjelaskan alasannya dengan nada datar, nada keibuannya
yang biasa meluluhkan anak semata wayangnya untuk menurutinya.

“Bu, Dinda kan sudah besar. Apalagi yang Ibu beratkan untuk melepas Dinda? Pun Dinda
juga sering Ibu tinggal berhari-hari, malah lebih dari lima hari, karena kerjaan Ibu.” Dengan
kesal Dinda mengutarakan semua alasannya.

Maryam adalah seorang single parent setelah kematian suaminya dua tahun yang lalu. Sejak
itu, Maryam harus banting tulang demi kelangsungan hidup dan pendidikan anaknya. Sebagai
seorang engineer, tak jarang ia bepergian berhari-hari, bahkan hingga sepuluh hari. Tapi, tak
pernah sekali pun ia meninggalkan anaknya tanpa menelfonnya tiga kali sehari. Selain itu,
tentu saja Dinda tak dibiarkan tinggal sendirian di rumah, selalu ada Sari, kakak Maryam
yang dimintai tolong untuk menemani Dinda.

“Walaupun Din… perasaan Ibu berat.” Sambil membawa nasi hangat untuk makan malam,
Maryam duduk di kursi makannya.

“Ibu tak adil, Dinda tak melarang Ibu berlibur bersama Om Sofyan, tapi Ibu melarang dinda
berlibur bareng teman-teman. Tak adil!” beranjak dari kursi makan, Dinda bersegegas
menuju kamarnya.

“Dinda… Ibu dan Om Sofyan bukan berlibur! Kami team, Dinda! Ingat itu!”
“Tetap saja ibu tak adil!”
BRAKK! Banting dinda.

Sungguh berat bagi Maryam sebagai single parent menghadapi anak semata wayangnya
dalam tujuh tahun kedua. Mengikuti ceramah yang pernah didengarnya dahulu, Rasulullah
ketika mendidik anaknya membagi dirinya menjadi tiga sikap. Tujuh tahun pertama mendidik
anak dengan menganggap anaknya sebagai raja, mengikuti keinginan-keinginannya dengan
tetap memberi patokan yang benar. Tujuh tahun kedua, menganggap anaknya sebagai
seorang tawanan. Sedikit agak keras, mengekang, dan selalu mengawasinya. Tetap
berpatokan pada suatu kebenaran agar kelak ia dapat menentukan yang mana yang baik dan
yang mana yang buruk.

Terakhir, tujuh tahun ketiga dan selanjutnya, menganggap anak sebagai seorang
sahabat.Mengajaknya melakukan apa yang baik buatnya, dengan lemah lembut, penuh kasih
saying.Tetapi, kisah ini belum sampai ke telinga Dinda. Rencanaya nanti setelah Dinda
menjadi sahabatnya.

Dan sekarang Dinda dalam masa tujuh tahun kedua. Sulit bagi maryam untuk menjalani
perannya dengan sempurna. Selain tuntutan ekonomi, sebagai single parent, Maryam harus
tetap memperhatikan tuntutannya sebagai seorang ibu. Suatu peran yang sulit ia satukan dari
peran kerjanya, seorang engineer.

Banyak saja celah yang tertangkap oleh Dinda sebagai kesalahan Maryam. Meninggalkannya
berhari-hari, tidak menghadiri rapat orang tua –walau mengutus Sari sebagai wakilnya-, tidak
menemaninya membeli peralatan sekolah, tidak menanyakan berapa nilai ulangannya –
padahal ia memperoleh nilai sempurna,100-, tidak genap lima belas hari dalam sebulan
menjemputnya, tidak berada disisinya ketika banyak hal yang ingin diceritakannya, dan
sekarang tidak mengizinkannya berlibur bersama teman-temannya ke Bandung. Tambah lagi
celah yang paling besar, menuduh Maryam ada sesuatu terhadap Sofyan, rekan kerja
Maryam.

17 Desember 2010, salah satu rutinitas Maryam, menyilang hari yang telah berlalu dengan
beberapa agenda yang telah tercapai dan membuat agenda baru untuk hari-hari selanjutnya.
Tangannya terhenti pada agenda 20 Desember 2010. Ulang tahun Dinda yang ke lima belas.
Hari yang akan merubah sikapnya, dari menganggap Dinda sebagai tawanan menjadi sahabat.
Ia berencana akan membuat hari itu begitu special baginya dan tentu saja badi Dinda, pemilik
hari itu.

Berawal dari 18 Desember 2010. Tanpa jadwal proyek yang selalu mengganggunya, Maryam
membuat sebuah hadiah istimewa buat Dinda. Ia berencana mambuat kamar baru buat Dinda.
Menjadikan kamar tamu yang jarang terawat sebagai lokasinya. Mulai dari membersihkan,
mengecat, mengganti tirai, tempat tidur dan meja belajar yang baru buat Dinda semua ia
lakukan sendiri. Sesekali ia meminta bantuan Sofyan untuk memesan peralatan yang ia
inginkan, seperti lemari, boneka dan beberapa bingkai yang menghiasi lukisan Dinda yang
selama ini hanya tersinpan dalam boxnya. Semua peralatan berwarna dan bercorak kesukaan
Dinda. Kamar tersebut penuh dengan warna hijau dengan berbagai gradasi yang menarik.
Dinda pasti senang, fikirnya.

Sebelum ia menjemput Dinda, tak ada celah yang dapat membuat Dinda bahwa ada sesuatu
yang luar biasa yang terjadi di rumahnya. Ketika Dinda tiba di rumah, dugaan pun tak
terlontar dari gerak-geriknya. Semua Maryam lakukan hanya ketika Dinda sekolah, tentu,
karena Dinda berangkat pukul 07.00 dan pulang pukul 16.00. Tak sempat baginya
memandangi keadaan rumahnya. Selanjutnya 19 Desember 2010, Mar-yam kembali dengan
berbagai rencananya.

Namun, setelah selesai sudah hadiah tersebut, tiba-tiba saja seseorang datang menjemputnya.
Ia lupa bahwa 20 Desember ia harus berada di Bekasi untuk sebuah proyek yang telah
ditandatanganinya.

Tak bisa mengelak, Maryam pun berangkat ke Bekasi. Sebelum itu ia menitipkan kunci yang
juga sudah di kotakkan indah kepada Sofyan yang tidak ikut proyek kali ini, agar
memberikannya kepada Dinda sepulang sekolah esok.
Esoknya, mendapat kotak kecil dari Sofyan, Dinda menampakkan wajah dinginnya, walau
tetap melontarkan ucapan terimakasih, karena kebiasaan.
Dibukanya kamar hadiah Maryam. Cantik, sesuai seleranya, sangat bahagia. Tapi tetap saja
ada celah lagi, Maryam tak bersamanya dihari ulang tahunnya dan Sofyan yang
mengantarkan hadiah Maryam. Kalau Sofyan hanya team, kenapa Sofyan yan mengantarnya.
Surat dari Maryam, tentang cerita sikap Maryam padanya, tak dibacanya. Telfon Maryam tak
diangkatnya. Tak ada kata-kata yang didengarnya dari Mar-yam. Sampai pesan yang dikirim
Maryam pun tak di bacanya, bahkan langsung dihapusnya.

Hingga 22 Desember 2010. Hari tibanya Maryam kembali kekediamannya, Pekanbaru. Hari
ibu yang biasanya dirayakan oleh dua beranak ini. Kini, tak ada tanda-tanda bahwa hari itu
ada. Dinda tak langsung pulang, hanya sms yang dikirimnya, bahwa ia ke rumah Sari.
Tinggallah Maryam seorang diri di rumah. Hadir tanpa sambutan. Duduk di ruang makan
dengan kue hari ibu yang di belinya sendiri. Tiba-tiba lampu padam, penuh air mata Maryam
menyalakan lilin.Meratapi kesalahannya. Seandainya saja pekerjaannya tidak menuntutnya
sekeras ini, seandainya saja masih ada ayah dinda yang selalu mengisi kekurangannya,
seandainya seja ia lebih tanggap lagi, seandainya saja dinda mengerti. Mar-yam menangis
sambil berbicara sendiri menghadap lilin.
“Jangankan seperti sang surya menyinari dunia, seperti lilin pun kasihku tak sampai.”
Terhenti oleh tangis “Anakku seorang saja tak bisa kubahagiakan.” Air matanya mengalir
sambil bernyanyi “Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi,
tak harap kembali …”
“Bagai sang surya menyinari dunia.” Sambung Dinda sambil membawa rangkaian lilin yang
banyak, indah. Dengan isak tangis lagu itu ia nyanyikan.

“Maafkan Dinda Bu. Cik Sari dan Om Sofyan telah menjelaskan semuanya pada dinda.
Dinda juga sudah membaca surat Ibu. Juga Dinda telah mengerti alasan kenapa Ibu terlalu
sibuk bekerja.

Begitu egoisnya Dinda. Maafkan Dinda Bu.” Tangis mengalir bahagia dalam pelukan
Maryam dan Dinda dengan lilin untuk Maryam.
—————————-

Anda mungkin juga menyukai