Anda di halaman 1dari 4

DARMI

Oleh: Deni Ratna Juwita

Berserakan dimana-mana pakaian anaknya begitu juga dirinya. Rumah kecil nan
sederhana itu tampak kumuh dan penerangannya pun redup. Apalagi menjelang malam hari,
makin tidak terlihat sudah rumah itu. Hanya ada satu lampu penerangan di depan rumah yaitu
lampu jalanan yang sepertinya mau mati karena sudah lama tidak ada yang mengganti.
“Bu, kapan aku sekolah?” tanya Bimo. Anak laki-laki yang sudah saatnya bersekolah
dasar seperti teman-temannya. Tampak raut muka Darmi yang menggambarkan kesenduan
mendengar setiap hari pertanyaan dari anak laki-laki satu-satunya yang dia miliki. Ingin
menjawab namun, Darmi tidak mau memberikan harapan tanpa kepastian. Lalu, dia
merangkul Bimo seraya mengelus kepala anak kecilnya. Rambut hitam legam, masih penuh
dengan keceriaan ingin sekolah menjemput masa depan gemilang, terlihat jelas di wajah
Bimo.
“Nak, sabar ya. Ibu cari uang dulu.”
“Mau aku bantu, Bu?” Berusaha sekuat tenaga Darmi menahan tangisnya mendengar
anak laki-laki kecilnya bertanya seperti orang dewasa yang sudah siap menopang hidup
keluarganya. Terlihat dewasa sebelum umurnya.
“Bimo di rumah saja ya, Ibu akan berusaha mencari uang yang banyak, biar Bimo
bisa masuk sekolah.” Bimo mengangguk mendengarkan Darmi berbicara lembut. Tiba-tiba,
terdengar gedoran keras dari pintu rumahnya.
“Iya-iya, siapa ya?” teriak Darmi. Dibukalah pintu itu. Terlihat tiga orang yang seperti
preman, karena dandanannya hitam-hitam dan salah satunya memakai tindik, mungkin
berjumlah lima sendiri ada di telinganya.
“Benar ini rumah Bapak Ardi?” Darmi terkejut. Seseorang yang memakai topi hitam
menyebut mantan suaminya yang telah melarikan diri entah ke mana. Ada apa gerangan
sampai ada tiga orang asing datang menghampiri gubuk kecil ini.
“Benar, ada apa ya?” jawab Darmi polos. Dia memang tidak menahu apa masalahnya.
“Jadi begini, Bapak Ardi ada hutang sepuluh juta, dan di sini tertera atas nama Darmi
sebagai jaminan.” Mendengar apa yang disampaikan itu, seakan-akan jantung Darmi berhenti
berdetak. Sepuluh juta?
“Sepuluh j-juta?”
“Benar.”
“Darimana saya dapat uang sebanyak itu?” tanya Darmi masih tidak percaya. Untuk
membayar sekolah anaknya saja tidak ada, apalagi mengganti hutan mantan suaminya yang
brengsek itu.
“Saya nggak mau tahu, Bu. Secepatnya harus sudah lunas, atau rumah jelek ini jadi
hak milik kami.” Setelah mengatakan itu, segerombolan preman tadi pergi tanpa permisi.
Meninggalkan Darmi yang dipenuhi pikiran mencekik dirinya.
***
Hari esok, tepat pukul empat sore, Darmi sudah siap dengan dagangan kaki limanya.
Berusaha mencari jalan keluar, setidaknya bisa membayar separuh hutang, meskipun
mustahil. Terseok-seok sendirian dia meninggalkan Bimo di rumah. Penuh keterpaksaan yang
harus dia jalani.
Jalanan terlihat ramai mobil dan motor lalu lalang. Mereka pun tidak peduli ada
Darmi yang berjalan bersama gerobak berisi jualannya serta sendal jepitnya yang hampir mau
putus. Peluhnya mulai memeleh membasahi muka keriputnya sampai kaos oblong yang dia
kenakan terlihat sedikit basah.
Dia memberhentikan gerobaknya di depan gedung perkantoran. Terlihat pula
pedagang lain berjualan di sana. Sembari beres-beres, dia berkenalan juga dengan orang-
orang.
“Darmi!” panggil Paijo. Dia tetangga Darmi, dan rumahnya persis di sebelahnya.
“Paijo,” jawab Darmi.
“Sini aku bantu.” Paijo turun dari motor membantu Darmi menggelar lapaknya.
Minuman botol serta makanan ringan dia gantung. Beberapa menit kemudian tergelar sudah.
“Terima kasih, Paijo.” Setelah berpamitan, Paijo pulang. Tinggallah Darmi sendiri
menunggu orang baik menyempatkan diri mampir ke lapaknya.
Setengah jam, satu jam, dua jam, Darmi mulai bosan menunggu. Namun, dia masih
berharap dagangannya laris. Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Sudah terlihat
sepi dan hanya dia sendiri bersama gerobak reotnya. Seketika terlihat mobil petugas satpol PP
menghampiri lapaknya.
“Bu, kan sudah ada aturan, tidak boleh berjualan di sini, masih ngeyel aja.” Tanpa
permisi, petugas pun memarahi Darmi bernada kasar. Darmi langsung kebingungan.
Ditambah petugas itu menarik paksa gerobaknya sampai-sampai dibuat acakadut kemana-
mana.
“Pak! Saya nggak tau apa-apa, tolong gerobak saya jangan diberantakin!” teriak
Darmi. Petugas itu tidak peduli teriakan Darmi. Mereka terus membersihkan lalu memasukan
semua barang Darmi ke dalam mobil.
“Pak! Mau dibawa ke mana gerobak saya! Saya butuh berjualan untuk bayar hutang!”
“Makannya Bu, kalau sudah miskin jangan banyak gaya kan banyak hutang jadinya,”
celetuk salah satu petugas sambil terbahak. Setelahnya, mereka pergi meninggalkan Darmi
yang terisak. Hanya tersisa botol minum serta makanan ringan yang berserakan.
“Ya tuhan, apa salahku, kenapa hidup seperti ini.” Ini semua gara-gara suaminya
meninggalkan dia hanya karena miskin dan tak mau berjuang bersama. Padahal nafkah saja
dia tidak berikan kepada Darmi dan Bimo. Sekarang pun Darmi hidup menderita sendirian.
Hutang pun Darmi yang menanggung padahal dia tidak menahu soal kehidupan mantan
suaminya. Belum lagi, Bimo anaknya minta sekolah.
Hanya tatapan kosong sambil berjalan sendirian, Darmi menelusuri jalanan sepi.
Entah apa yang dipikirkan, dia ingin mengakhiri hidupnya saja.
“Apa aku mati saja … lagian hidup di dunia ini sudah seperti sampah yang tak
berguna,” gumam Darmi. Dia berjalan dan terus berjalan. Sampailah di sebuah jembatan
yang di bawahnya terdapat sungai besar. Menatap nanar air sungai itu, kemudian
memejamkan matanya.
“Bu! bu! Bu! jangan bunuh diri.” Tiba-tiba, seorang uztaz datang memberhentikan
percobaan Darmi bunuh diri. Uztaz tadi langsung menarik lengan Darmi dan mencoba
menenangkan.
“Buat apa Pak menjadi sampah yang tak berguna di dunia,” ujar Darmi.
“Bu, semua manusia diciptakan pasti berguna. Istighfar Bu.” Berkali-kali Darmi
mendengkus kesal. Dirinya telah pasrah sampai akhirnya tidak tahu apalagi yang harus dia
lakukan.
“Ingat Bu, ada anak Ibu di rumah menunggu Ibunya pulang ke rumah bukan ke
akhirat.” Bendungan air mata Darmi sudah tidak kuasa ditahan oleh kelopak matanya. Pecah
sudah, sampai terdengar isak tangis Darmi di depan ustaz tadi. Teringat senyuman Bimo yang
hangat sebagai penyemangat hidupnya.
Darmi pulang pada akhirnya, dan langsung disambut oleh Bimo bersama pelukan
hangatnya. Entah apa yang terjadi besok, malam ini Darmi berhasil keluar dari jeratan bunuh
diri. Dia berharap akan ada mukjizat yang datang pada dirinya.
“Bu, tadi ada pak RT, katanya Ibu mau direkrut jadi pegawai pabrik temannya,” ujar
Bimo lalu memberikan surat resmi untuk Darmi. Pelukan erat pun semakin menjadi.
Mengakhiri hidup ternyata bukan jalan keluar, namun sabar serta pasrah adalah penolongnya.
“Tunggu ya, Nak.”
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai