Anda di halaman 1dari 4

Batu Menangis

Narator 1: “Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang ibu dengan anak perempuannya
yang bernama Darmi. Ayah Darmi sudah meninggal saat Darmi masih kecil. Dahulu mereka
hidup berkecukupan namun setelah ayahnya meninggal, Ibu Darmi harus bekerja keras di
ladang demi hidup mereka. Karena setiap hari bekerja di ladang, kulit Ibu Darmi jadi kian
gelap berat. Tubuhnya juga menyusut. Semua dilakukannya demi Darmi putri satu-satunya.
Namun apa yang dilakukan Darmi? Dia tidak mau membantu ibunya. Kerjanya setiap hari
hanya berdandan, dia juga enggan keluar rumah karena takut kulitnya jadi gelap seperti
ibunya. Suatu hari, Ibu Darmi hendak bekerja di ladang. Dia akan bekerja sampai sore sebab
musim panen sudah tiba. Ibu Darmi berkata kepada Darmi.”
Ibu Darmi: “Darmi, bisakah kamu memasak hari ini nak? Ibu tidak bisa pulang siang ini
karena harus menyelesaikan panen kita. Jika sudah selesai masak, maukah kamu
mengantarnya ke ladang untuk Ibu?”
Narator 1: “Darmi yang sedang menyisir rambutnya yang indah terkejut.”
Darmi: “Tidak mau, Bu. Kalau aku masak nanti rambutku bau tungku, aku kan habis
keramas. Lalu kalau aku mengantar makanan ke ladang kulitku jadi hitam, aku kan habis
luluran”
Narator 1: “Ibu Darmi hanya menggeleng-gelengkan kepala, sedih. Di ladang, Ibu Darmi
bekerja dengan keras. Dia mengumpulkan hasil panen. Besok dia akan menjualnya ke pasar.
Dia tidak memperdulikan perutnya yang lapar. Saat lelah dia beristirahat sambal meminum
air kendi yang dibawanya. Dia berdoa dalam hati.”
Ibu Darmi: “Ya Tuhan, tolong kami. Ubahlah anakku, lepaskan dia dari sifat malasnya.”
Narator 1: “Setelah pulang dari ladang, Ibu Darmi pulang ke rumah. Betapa terkejutnya, di
sana tak ada makanan yang bisa dimakan. Darmi sama sekali tidak memasak. Darmi yang
melihat ibunya pulang malah marah-marah.”
Darmi: “Ibu ini kemana saja sih? Masa tidak ada makanan di rumah? Aku kan lapar, seharian
tidak makan.”
Ibu Darmi: “Darmi, tadi Ibu kan sudah menyuruhmu untuk memasak.”
Darmi: “Aku tidak mau, Bu. Heh!”
Narator 1: “Darmi meninggalkan ibunya yang kelaparan dan juga lelah. Keesokan harinya,
Ibu Darmi sudah bersiap dengan hasil panennya. Dia akan pergi ke pasar.”
Ibu Darmi: “Darmi, ikutlah Ibu kepasar nak. Ibu membutuhkanmu untuk membawa hasil
ladang kita.”
Darmi: “Ah, nggak mau Bu. Nanti kulitku kotor, apalagi pasar kan becek. Aduh, aku nggak
bisa membayangkan kulitku yang bersih ikutan kotor.”
Narator 1: “Akhirnya ibunya kepasar sendiri dengan membawa hasil ladang itu. Sorenya, Ibu
Darmi membawa uang hasil panen tidak terlalu banyak hanya cukup untuk membeli benih
dan makan beberapa hari. Darmi yang melihat ibunya sedang menghitung uang segera
mendekati ibunya.”
Darmi: “Bu, bedakku habis. Tolong belikan dong, Bu.”
Ibu Darmi: “Yaa, besok ibu belikan. Tapi kamu harus ikut supaya Ibu tidak salah beli.”
Narator 1: “Akhirnya Darmi terpaksa ikut ibunya pergi ke pasar, tapi Darmi berbisik kepada
ibunya.”
Darmi: “Bu nanti kita jalannya jangan berdampingan. Ibu dibelakangku saja.”
Ibu Darmi: “Kenapa Darmi?”
Darmi: “Ish, pokoknya Ibu jalan di belakangku!”
Narator 2: “Darmi sebenarnya malu berjalan bersama ibunya yang berkulit gelap dan wajah
yang tak terawat. Tiba-tiba ditengah jalan ada seorang teman Darmi yang menghampiri dan
bertanya.”
Teman Darmi: “Hai Darmi, kamu mau kemana?”
Darmi: “Ah, aku mau ke pasar!”
Narator 2: “Teman Darmi melihat Ibu Darmi dengan pandangan bertanya.”
Teman Darmi: “Dia siapa, Darmi? Ibumu ya?”
Narator 2: “Darmi yang tak ingin temannya tahu jika dia punya Ibu yang kotor dan jelek,
segera menjawab.”
Darmi: “Ohh, dia pembantuku tentu saja bukan ibuku. Ih amit-amit.”
Narator 2: “Betapa sedih saat ibu Darmi mendengarnya namun hanya ditahan dalam hati.”
Narator 1: “Mereka melanjutkan perjalanan Darmi bertemu dengan temannya yang lain.”
Temannya yang lain: “Darmi, kau mau kemana?”
Darmi: “Ah, aku mau ke pasar.”
Temannya yang lain: “Ngomong-ngomong siapa yang ada dibelakangmu? Apa dia Ibumu?”
Darmi: “Bukan, dia bukan ibuku. Dia pembantuku.”
Narator 1: “Sungguh hati ibu Darmi semakin sedih. Begitu tega anaknya mengakui dirinya
sebagai pembantu. Namun sekuat tenaga berusaha menahan sakit hatinya. Sampailah
Darmi dan ibunya di pintu pasar. Saat mereka akan memasuki pasar, lagi-lagi Darmi bertemu
temannya yang lain.”
Temannya: “Darmi, tumben kamu pergi ke pasar. Eh siapa yang berjalan di belakangmu?”
Darmi: “Mm itu pembantuku.”
Narator 1: “Ibu Darmi tak kuasa menahan air matanya, dia sudah tak tahan lagi. Maka dia
pun berdoa dalam hati.”
Ibu Darmi: “Ya Tuhan, hamba sudah tidak kuat lagi dengan sikap anak hamba. Tolong
kiranya Tuhan mau menghukumnya agar ia menjadi jera.”
Narator 1: “Setelah ibu Darmi selesai berdoa, Tiba-tiba Darmi menjerit.”
Darmi: “Akh, ibu! Tolong aku! Ada apa dengan kakiku? Kenapa tidak bisa di gerakkan lagi?!”
Narator 1: “Sedikit demi sedikit Darmi menjadi batu. Ibu Darmi menangis pilu.”
Ibu Darmi: “Maafkan aku nak, ini semua karena perlakuanmu terhadap ibu.”
Darmi Batu: “Ampun Bu huhu, Ampunn. Darmi tidak akan mengulanginya lagi huhuhuhu.
*menangis”
Narator 1: “Darmi merintis sambal menangis meminta ampunan ibunya. Sayang, semua tak
bisa Kembali. Darmi tetap menjadi batu. Dia harus menanggung hukuman karena dia telah
durhaka terhadap ibunya yang sudah merawat dan menjaganya hingga dia besar. Batu itu
akhirnya dipinggirkan orang-orang dan disandarkan di tebing hingga sekarang. Batu itu msih
ada di Kalimantan Barat dan dinamakan Batu Menangis.”

Tokoh
Ibu Darmi: Bela
Darmi: Kokon
Teman Darmi: Riva
Temannya yang lain: Ryan
Temannya: Daniel
Narator 1: Riva
Narator 2: Daniel

Tata Busana
Ibu Darmi: Baju Hitam, Celana Leging, Sarung Batik, Tanggoy
Darmi: Baju Hitam, Celana Leging, Sarung Batik, Wig Panjang
Teman Darmi: Baju Putih, Rok Batik Panjang
Temannya yang lain: Baju Putih, Celana, Sarrung
Temannya: Baju Putih, Celana Sarung
Properti
Ibu Darmi: Sapu pakai punya kelas, Cangkul (pakai sekop kelas), Tas Punggung (buat angkut
hasil panen), hasil panen (pakai semak-semak), tudung saji, duit mainan dan kipas.
Note= Boleh dibawa siapa saja untuk meringankan bawaan Ibu Darmi.
Darmi: Kursi santai, tempat bedak, sisir, cermin dan payung.
Teman Darmi: Tas Jinjing berisi belanjaan
Temannya yang lain: Tas Jinjing berisi belanjaan
Temannya: Tas Jinjing berisi belanjaan

Tata Rias
Ibu Darmi: makeup gelap dan keriput muka
Darmi: makeup terang
Teman Darmi: makeup biasa
Temannya yang lain: makeup biasa
Temannya: makeup biasa

Tata Panggung:
Panggung yang berlatar belakang rumah kumuh, ladang dan pasar.

By: Kokon

Anda mungkin juga menyukai