Anda di halaman 1dari 2

Cerita Rakyat Kalimantan Barat Legenda Batu Menangis

Legenda Batu Menangis

Dahulu kala, hidup seorang ibu dengan anak perempuannya yang bernama Darmi. Ayah Darmi
telah lama meninggal. Dahulu mereka hidup berkecukupan. Namun setelah ayahnya meninggal,
ibu Darmi harus bekerja keras di ladang demi hidup mereka.

Setiap hari bekerja di ladang membuat kulit ibu Darmi jadi kian gelap. Berat tubuhnya juga
menyusut. Semua dilakukannya demi Darmi putri satu-satunya. Namun Darmi tidak mau
membantu ibunya. Kerjanya setiap hari hanya berdandan dan enggan keluar rumah karena takut
kulitnya gelap seperti ibunya.

Suatu hari ibu Darmi hendak bekerja di ladang. Dia akan bekerja sampai sore hari. Sebab musim
panen sudah tiba dan ibunya berkata pada Darmi.

"Darmi bisakah kamu memasak hari ini, nak? Ibu tidak bisa pulang siang ini karena harus
menyelesaikan panen kita. Jika sudah selesai memasak maukah mengantarkannya ke ladang
untuk ibu?" ucap ibu Darmi.

Darmi yang sedang menyisir rambutnya yang indah pun terkejut. "Tidak mau bu jika aku
memasak. Rambut ku bisa bau tungku bu. Aku kan habis keramas, lalu jika aku mengantarkan
makan ke ladang nanti kulitku jadi hitam. Aku kan habis luluran," jawab Darmi.

Ibu Darmi yang mendengar jawaban tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan
sedih. Saat di ladang, ibu Darmi bekerja dengan keras dia mengumpulkan hasil panen dan besok
akan dijualnya ke pasar. Ibu Darmi bekerja keras tanpa mempedulikan perutnya yang lapar.

Saat lelah dia beristirahat sambil meminum air kendi yang dibawanya. Dia pun berdoa dalam
hati. "Ya Tuhan tolong kami. Ubahlah anakku dan lepaskan dia dari sifat malasnya." 

Setelah pulang dari ladang, dia langsung pergi ke rumahnya. Betapa terkejutnya di sana tidak ada
makanan yang bisa untuk dimakan. Ternyata Darmi sama sekali tidak memasak, Darmi yang
melihat ibunya pulang malah marah-marah. 

"Ibu ini ke mana saja sih. Masa tidak ada makanan di rumah. Aku kan lapar seharian tidak
makan," ucap Darmi.

Ibunya pun menjawabnya dengan sabar. "Darmi, tadi kan ibu sudah menyuruhmu untuk
memasak." Darmi yang mendengar jawaban itu langsung pergi meninggalkan ibunya yang
kelaparan dan juga lelah.

Keesokan harinya, ibu Darmi sudah bersiap dengan hasil panennya. Dia akan pergi ke
pasar,"Darmi ikutlah ibu ke pasar nak, ibu membutuhkanmu untuk membawa hasil ladang kita,"
ucap sang ibu. 

"Tidak mau bu. Nnti kulitku kotor apalagi pasar kan becek. Aduh aku tidak bisa membayangkan
kulitku yang bersih ikutan kotor," kata Darmi.

Akhirnya, ibu ke pasar sendiri dengan membawa hasil ladang itu. Sorenya, ibu Darmi membawa
uang hasil panen. Tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk membeli kebutuhan beberapa hari.
Darmi yang melihat ibunya sedang menghitung uang segera mendekati ibunya.

"Bu, bedakku habis tolong belikan dong bu,"ucap Darmi.

"Iya ibu belikan tapi kamu harus ikut supaya ibu tidak salah beli," jawab sang ibu.
Akhirnya Darmi dengan terpaksa ikut perginya ke pasar dengan menggunakan payung, tapi dia
berbisik kepada ibunya. "Bu nanti kita jalannya jangan berdampingan, ibu dibelakang ku saja."

Mendengar hal itu ibunya pun bertanya," kenapa Darmi?"Tanpa memberikan alasan, Darmi pun
tetap memaksa ibunya untuk berjalan di belakangnya. Darmi sebenarnya malu berjalan bersama
ibunya yang berkulit gelap dan wajah yang tak terawat.

Tiba-tiba di tengah jalan ada seorang perempuan yang merupakan teman Darmi yang
menghampiri dan bertanya.

"Hai Darmi kamu mau kemana?" tanya teman Darmi. Darmi menjawab,"Aku mau ke pasar."
Teman perempuan Darmi yang melihat ibunya dengan pandangan bertanya,"Dia siapa Darmi?
Ibumu ya?"

Darmi yang tak ingin temannya tahu jika dia mempunyai ibu yang kotor dan jelek segera
menjawab. "Oh ini pembantuku, tentu saja bukan ibuku. Ih amit amit deh." 

Betapa sedihnya sang Ibu mendengarnya, namun hanya ditahan dalam hati.

Mereka melanjutkan perjalanan, Darmi bertemu dengan seorang laki-laki yaitu temannya yang
lain. "Darmi kamu mau kemana?" tanya teman laki-laki tersebut. 

"Aku mau ke pasar," jawab Darmi. Lalu temanya pun kembali bertanya kepada Darmi,
"Ngomong-ngomong siapa di belakangmu? Dia ibumu?" Dengan segera Darmi langsung
menjawab, "Bukan dia bukan ibuku, tetapi pembantuku," ucap Darmi.

Sungguh hati Ibu Darmi semakin sedih melihat anaknya yang begitu tega, mengakui dirinya
sebagai pembantu. Namun sekuat tenaga dia berusaha menahannya.

Sampailah Darmi dan ibunya di pasar. Saat mereka akan memasuki pasar lagi-lagi dia bertemu
dengan temannya yang lain. Darmi dan temannya melakukan pembicaraan yang sama seperti
teman-teman sebelumnya, dan mengakui ibunya sebagai pembantu.

Ibu Darmi tak kuasa menahan air matanya, dia sudah tidak tahan lagi dengan apa yang dikatakan
anaknya itu. Maka dia pun berdoa dalam hati.

"Ya Tuhan, hamba sudah tidak kuat lagi dengan sikap anak hamba. Tolong hukumlah dia agar
menjadi jera."

Setelah selesai berdoa, tiba-tiba Darmi menjerit. "Aaaahhhhh, ibu kenapa aku? Ada apa dengan
kakiku? Kenapa tidak bisa digerakkan lagi," ucap Darmi. 

Sedikit demi sedikit Darmi pun menjadi batu. Ibunya menangis pilu. "Maafkan aku nak, ini
semua karena perlakuanmu terhadap ibu," ucap sang ibu sambil menangis.

"Ampun bu. Ampun. Ampun bu. Darmi tidak akan mengulanginya lagi,"ucap Darmi.

Darmi pun menangis dan merintih kesakitan sambil meminta ampunan kepada ibunya. Sayang,
semua tak bisa kembali. Darmi pun tetap menjadi batu.

Dia harus menanggung hukuman atas perbuatannya karena durhaka terhadap ibunya yang sudah
merawat dan menjaganya hingga dia besar.

Batu Darmi itu lalu dipindahkan oleh orang-orang dan disandarkan di tebing. Hingga sekarang
batu itu masih ada di Kalimantan Barat dan dinamakan Batu Menangis.

Anda mungkin juga menyukai