Anda di halaman 1dari 2

Cerita Kasih Sayang Orang Tua

Aku adalah bungsu dari lima bersaudara. Sama seperti kakak-kakakku yang lain, aku berhasil
menyelesaikan pendidikanku hingga S-1. Bagi kedua orang tuaku, anak-anaknya harus
mendapatkan pendidikan minimal hingga jenjang sarjana. Mungkin karena ayahku adalah
mantan pejabat, sehingga pendidikan anak-anaknya menjadi hal yang utama. Tiga orang
kakakku sudah memiliki karir yang bagus dan sudah pula meneruskan pendidikan mereka ke
jenjang S-2 dan S-3. Tentu saja ayah puas dan bangga dengan keberhasilan mereka itu.
Sementara aku pun sudah menjadi guru SMP, meski ditempatkan di piggiran kota yang
masyarakatnya kurang maju. Namun aku bangga dan cukup puas dengan pekerjaanku saat
ini. Orang tuaku pun tidak mempermasalahkannya. Berbeda dengan tiga orang kakakku yang
sudah sukses, kakakku yang ke empat, sebut saja Ita [bukan nama sebenarnya] memilih jadi
IBU RUMAH TANGGA! Padahal ia adalah seorang sarjana di bidang yang cukup bergengsi.
Sejak kecil hingga lulus kuliah, ia adalah anak yang dibanggakan karena segudang prestasi
telah diraihnya. Terutama saat SMA sampai perguruan tinggi, ia sering mengikuti berbagai
kegiatan hingga ke tingkat nasional, seperti pelatihan atau pertukaran pemuda. Kesempatan
itu diperoleh karena kak Ita, karena ia aktif di berbagai organisasi tertentu. Melihat prestasi
dan kegiatan-kegiatan Kak Ita yang membanggakan itu, wajar bila ayah, ibu dan kami semua
berpikir kelak Kak Ita akan menjadi orang yang sukses. Namun prediksi kami itu salah. Lima
belas tahun lalu saat memutuskan akan menikah, Kak Ita memutuskan meninggalkan semua
kegiatannya.
Beberapa kali ayah membujuknya untuk bekerja, setidaknya menjadi pegawai negeri. Tapi
entah mengapa, Kak Ita sama sekali tidak tertarik. Bahkan tawaran ayah untuk membantunya
pun ia tolak. Padahal cukup banyak orang di negeri ini yang ingin menjadi pegawai negeri.
Ternyata ia lebih tertarik mengabdi di lembaga-lembaga sosial  untuk mengisi hari-harinya
ketimbang bekerja dan berkarier. Pilihan Kak Ita itu membuat ayah sangat kecewa. Apabila
ayah sedang membicarakan kesuksesan ketiga kakakku yang lain, beliau terlihat begitu
bangga dan bahagia karena jerih payahnya menyekolahkan mereka terbayar sudah. Namun,
setiap kali membicarakan Kak Ita, ayah sering mengeluh dan berkata,”Dasar anak tidak mau
diatur.” Sikap ayah itu terkadang menular padaku. setelah aku menikah, setiap kali
membicarakn kesuksesan kakak-kakakku pada suami, aku juga sering mengeluhkan sikap
Kak Ita,”Kalau dia punya pekerjaan mapan, mungkin hidupnya bisa lebih baik.” Kalimat itu
sering kulontarkan setiap kali menceritakan keputusan Kak Ita menjadi Ibu Rumah Tangga
dan relawan di beberapa yayasan sosial. Hari berganti, tahun berlalu. Ayah dan ibu kini
semakin tua. Tiga kakakku yang sudah semakin sibuk dengan bisnis dan pekerjaannya,
sementara aku merantau ke kota lain karena tugas dan mengikuti suami.
Kondisi ayah dan ibu yang semakin tua membutuhkan perawatan. Di sinilah kami baru
melihat kontribusi Kak Ita yang begitu besar, yang justru tidak bisa dilakukan oleh anak-anak
orang tuaku yang terhitung sukses. Kami semua nyaris tidak memiliki waktu untuk merawat
ayah dan ibu. Di saat-saat seperti itulah, kami baru merasakan peran Kak Ita yang begitu
besar. Dengan sigap dan ikhlas ia menggantikan posisi kami semua. Penuh bakti dan
ketulusan ia habiskan hari-harinya untuk untuk merawat ayah dan ibu. Keputusan Kak Ita
untuk tidak berkarir ternyata membawa hikmah tersendiri. Sampai-sampai kakak tertua
sempat nyeletuk,”Untung saja kamu tidak sibuk bekerja.” April 2007 lalu ayah wafat di
usianya yang ke-80. Empat hari sebelum meninggal kondisi ayah sangat parah.
Selama itu, Kak Italah yang mendampingi dan merawat beliau. Aku sangat bersyukur
memiliki seorang kakak yang sangat berbakti pada orang tua. Dalam hati aku merasa iri
karena Kak Ita punya kesempatan lebih besar untuk berbakti pada ayah dan ibu dibandingkan
kami. Apalagi aku sering mendengarkan fatwa ulama yang mengatakan bahwa bila kita
merawat dan mengasihi orang tua kita yang telah renta hingga tiba saatnya mereka kembali
pada Tuhan, pahalanya sangat besar. Kini Kak Ita merawat ibu yang juga mulai sakit-sakitan.
Akhirnya kusadari, ternyata kebanggaan pada karir dan harta yang melimpah, tidak ada
artinya tanpa bakti kepada orang tua. Aku yakin sekali, bahwa di ujung usia, ayah telah
menyadari hal itu dan bersyukur karena memiliki anak seperti Kak Ita. Terima kasih Kak, kau
telah membukakan mataku tentang pentingnya berbakti kepada orangtua.

Anda mungkin juga menyukai