Anda di halaman 1dari 9

PULAU SIPUT

“ AWALOLONG “

MENUJU HOTEL APUNG

CATATAN KRITIS

ANTARA KEPEMILIKAN

DAN

HAK SEREMONIAL
OLEH

PEMERHATI LEWUENAJ

FRANS LANGOBELEN, S.Ikom

AWALOLONG
“ PULAU SIPUT “

APA DAN SIAPA YANG MEMILIKI !!


I. TINJAUAN UMUM
Laut dan daratan ( tanah ) yang kita pijak terus mengalami perubahan dari
dahulu sampai sekarang. Perubahan itu terjadi karena mencairnya Es sehingga muka
daratan ada yang digenangi air. Daratan yang tidak digenangi air yang dikelilingi oleh air
laut disebut ATOL ( pulau yang ditengah laut ) patut disyukuri karena semata Anugerah
Tuhan.
Sepanjang ini, oleh masyarakat Lewoleba memandang pulau siput sebagai
sebuah lahan / tempat untuk mengais nafkah. Potensi pulau siput seperti siput, lola,
trumbu karang, beragam jenis ikan, rumput laut sangat menjanjikan dan tak pernah
punah. Nilai keindahan hanya selayang pandang dilihat orang dan tak pernah
terbayangkan bahwa di suatu saat nanti akan menjadi objek wisata bahari atau
kemaratiman. ketika pemerintah sedang gencar membangun kepariwisataan di daerah
ini, salah satu incaran pemerintah yakni “ Pulau Siput “ sebagai objek wisata, maka
mulailah muncul beragam pertanyaan “ PULAU SIPUT ATAU AWALOLONG MILIK SIAPA ??
jawaban atas pertanyaan ini menjadi begitu sulit, tetapi oleh pihak tertentu, merasa
mudah dijawab “ Milik Orang Baolangu ( Lewokukung, Namaweka, Lite, Lewokewek ) “
benar dan tidak jawaban ini dibutuhkan sebuah kajian mendalam, menyeluruh dan paling
penting kajian secara ilmiah agar dapat ditemui jawabannya. Catatan ini sekedar
menggugah kita untuk berpikir, bertindak secara tepat agar apa yang kita lakukan
( terkhusus seremonial di pulau siput ) tidak ada orang yang menggugat baik secara
terbuka atau tertutup, bahkan harapan kita dapat diterima oleh para leluhur kita sehingga
menjauhi kita dari BALA/PETAKA ( akibat ) di kemudian hari. Cerita Legenda masa silam,
harapan kita tidak boleh terulang dimasa sekarang maupun masa yang akan datang.
II. TINJAUAN SEJARAH ( HISTORIS )
Berdasarkan cerita nenek moyang bahwa ribuan tahun silam, pulau siput
atau “ Awalolong “ adalah kampung atau Lewo yang dihuni oleh nenek moyang kita yang
pada umumnya berasal dari “ LEPAN BATAN “ yang sebelumnya mereka tinggal dan
menetap awalnya di Pulau Seram / Ambon. Bahwa penghuni awal di Pulau Awalolong itu,
apakah mereka adalah satu marga / suku sama sekali tidak diceritakan secara terbuka.
Mereka berkumpul dan tinggal bersama – sama dalam satu kesatuan penghuni tanah
pulau siput ( tanah Awalolong ). Apakah dalam satu kesatuan sebagai penghuni
Awalolong, adakah upacara ritual, seremonial yang dilakukan sebagai bentuk pengakuan
warga baik kepada “ Lerawulan Tanah Ekan “ sebagai perwujudan Iman Katolik, atau
pemujaan terhadap dewa/dewi ?? tak satupun catatan tertulis yang ditinggalkan.
Menurut salah satu “ Nara Sumber “ bahwa Awalolong dahulu di masa penjajahan
merupakan sebuah kerajaan. Raja yang memerintah waktu itu adalah raja “ LABA
LEWOLEBA“ ( kebenaran cerita ini perlu ditelusuri ) karena cerita lepas yang sulit
dipertanggungjawabkan.
Untuk membantu kita mendudukan persoalan seremonial di pulau siput atau Awalolong
maka, ada runutan cerita oleh orangtua yang masih saya ingat dan coba saya ulas untuk
menjadi pokok – pokok pembicaraan menuju sebuah keputusan seremonial di Pulau
Awalolong.
A. TRAGEDI AWALOLONG
Menurut cerita bahwa di suatu ketika ada sebuah pesta kampung
awalolong. Pesta itu di ramaikan bermain sole oha atau bertandak. Ada seorang
mama tua yang sedang giat dengan urusan tenun menenun yakni memintal benang
yang diawali dengan cara membus lelu ( kapas ). Dengan cara dipakai sebuah busur
kecil, selanjutnya busur itu dipakai untuk memperhalus lelu ( kapas ) sehingga terurai
putih halus selanjutnya akan di keduk ( di pintal ) menjadi benang. Ketika sedang
sibuk dengan pekerjaan itu, ada seekor anjing yang melintas dihadapan mama tua.
Karena merasa terganggu maka mamatua itu marah dan membentak anjing tersebut.
Dia menyuruh anjing mengambil segumpal lelu ( kapas ) disertai busur dan alat pintal
( keduk ) dan menyuruh anjing tersebut ikut bermain tandak / sole oha. Anjing itu
menuruti perintah mama tua dan langsung bergabung dengan orang –orang yang lagi
bermain tandak. Anjing tersebut berada di dalam lingkaran sambil memegang keduk
dan lelu, dia ikut bermain sole oha. Selang beberapa waktu terjadi air pasang disertai
puting beliung. Air naik disertai hujan angin, air laut menutupi Lewo Awalolong
sebagian besar orang meninggal, sedangkan yang lain lari berpencar kemana – mana
meninggalkan Awalolong. Bala atau tragedi ini terjadi ribuan tahun silam diceritakan
secara garis besar bahwa orang-orang yang lari dari Awalolong diantaranya :
a. Suku Langobelen : Lari dan menetap di Belek atau Nuba, lain ke Ile Ape
dan ke selatan, diantaranya Lamalera.
b. Suku Lewoleba/Leban : Lari dan tinggal menetap Eber Bele Buto
( Lamahora )
c. Suku Karangora : Lari dan menetap di Karangora / Atadei
d. Dan beberapa suku-suku lain seperti :
- Atawuwur - Kwadaten - Unarajan - Ruing
- Ata Udjan - Touor - Malelam - Hadung Boleng
- Langowejak - Balaor - Lebangun
- Ataikun - Demongor - Soriwutun
- Langoblolok - Rewotoor - Hekur
- Tenauak
Juga tersebar dimana-mana..
Apakah semua suku ini, baik dari LEPANBATAN ATAU PULAU SERAM/AMBON
awalnya adalah orang – orangtua nenek moyang kita yang menghuni pulau
awololong atau tidak?. Hal ini membutuhkan sebuah kajian mendalam dari
berbagai sudut pandang ilmu.

B. RIWAYAT TANAH LEWOLEBA


Tanah Lewoleba yang merupakan sebuah hamparan dataran rendah sejak
dahulu, mulanya adalah sebuah hamparan tanah kosong tidak berpenghuni. Tanah
Lewoleba itu merupakan tanah KERAMAT ( GELARAK ). Dalam artian bahwa setiap
orang yang melintas atau singga di Lewoleba kala itu ‘” DILARANG KERAS
MEMBUANG KOTORAN ( TAI DAN KENCING ) “ diatas tanah keramat ini. Oleh orang-
orang yang dari gunung khususnya orang Baolangu ( Lewokukung , Lite, Namaweka
Lewokewek ) jikalau turun melaut ( cari ikan dan siput ) dan hendak membuang hajad
( tae & meke ) tidak boleh di tanah Lewoleba. Jalan keluarnya adalah masing-masing
orang jikalau hendak ke tanah Lewoleba maka harus membawa bambu loma
( gowek ) yang terbuat dari bambu agar saat mau kencing atau berak harus
dimasukkan dalam bambu loma dan dibawa pulang ke gunung. Tempat untuk
membuang kotoran itu di “ Tenubi “ nama kampung lama sebelum diberi nama “
Namaweka “ dan sekarang berubah nama menjadi Desa Nubamado.
Kendati tanah Lewoleba itu tanah keramat, tetapi dorongan untuk tinggal dan
menetap mengusahakan iris tuak, cari siput dan ikan tidak terbendung karena
merupakan kebutuhan pokok, disamping berburu dan mencari hasil hutan.
Cerita seputar, mengapa tanah Lewoleba ini milik orang komunitas Baolangu,
bermula dari sebuah kejadian luar biasa kala itu yang diperankan oleh seorang Nenek
bernama “ LABA LOMAK “ yang berasal dari Suku Ataudjan.
Menurut cerita, pada suatu malam, Bapak Laba Lomak duduk diatas pagong ( tempat
khusus ) diatas pohon untuk tunggu binatang hutan ( rusa & babi ). Begitu berselang
tengah malam, ada seseorang yang melintas dibawah pohon yang membawa barang
– barang baru pulang dari Ile Ape. Orang ini MAKAPU ( Uwer Merah ) yang menurut
orang setempat disebut suwanggi dan suka makan manusia “ dalam tanda petik “
bukan makan secara fisik tetapi tukang sihir kasih mati dan makan di alam lain ( La
eka mitem remak ).
Bapak Laba Lomak, yang oleh orang-orang setempat mengetahui bahwa
beliau memiliki kekuatan SUPRA NATURAL ( Mata Pat ) empat mata. Siang malam dia
lihat tembus dan dia bisa lawan makab meber ( uwer merah ) suwanggi.
Terdesak waktu mau subuh/menjelang pagi maka orang ( suwanggi ) itu meminta
bantuan kepada Bapak Laba Lomak dalam bahasa setempat orang itu terperanggap
( sidaka ). Menurut kepercayaan bahwa kalau suwanggi jalan malam maka dirumah
itu manusia tidak bernyawa/rongga tidak utuh, dan dia harus pulang sebelum orang
bangun tidur, kalau tidak maka bisa mati ( menjadi mayat ).
Teriakan histeris minta bantuan pada Bapak Laba Lomak berulangkali agar dia
dilepaskan. Dengan senang hati Bapak Laba Lomak menghampiri yang bersangkutan
dan saling berkomunikasi.
Kata Bapak Laba Lomak kepada orang itu ( suku Lewokuma), bahwa saya bisa
lepaskan engkau tetapi ada sebuah permintaan saya. Yakni Sepanjang ini anak cucu
saya, ari ana, uek kedak, sangat menderita. Mereka turun ke Lewoleba dan tidak bisa
berbuat apa-apa, berlama-lama karena tempat ini keramat ( kotoran tai, meke )
harus dimasukan dalam bambu dan dibuang di Tenubi, tidak bisa ditanah Lewoleba
saya minta tanah ini dibebaskan untuk saya dan anak cucu, arik ana, uek kedak
supaya bisa mojib ditanah ini. Beralaskan beban berat dan hari semakin menjelang
pagi, takut akan kematian maka, suwanggi itu menjawabi permintaan Bapak Laba
Lomak. Suwanggi itu berpesan kepada Bapak Laba Lomak, mulai besok malam
engkau datang dan duduk jaga ditempat ini lagi. Nanti ada segerombolan rusa besar
kecil yang akan melintas ditempat ini lagi. Ada satu rusa yang paling besar yang akan
berteriak “ GO BORO GONE “ maka engkau harus panah rusa itu dan lepaskan yang
lain. Setelah rusa itu mati engkau potong belah rusa itu dan didalam perut rusa itu
ada lodang emas. Ambil lodang itu tetapi daging rusa yang ada itu tidak boleh
dimakan, lepaskan saja. Setelah itu lodang emas dimaksud,dipotong – potong dan
diatur tanam sebagai batas-batas tanah yang kau miliki :
Utara : laut / watakener,
Timur : tanam di Mado Mula Wato
Selatan : tanam di Wologlarak Enamoting
Barat : tanam Wultaum sebelah Pada
Sedangkan Sisanya diisi di lepo. Lodang itu sebagian hidup, sebagiannya mati.
Sisa lodang yang tidak terpotong dimasukkan dalam lepo/gilingu yang menurut
tradisi adat adalah pengganti Ina ama Leluhur yang dijaga dan disimpan baik-baik.
Dengan demikian maka engkau bebas mengatur tanah itu karena sudah menjadi hak
ulayatmu yang akan dimanfaatkan oleh anak cucu, arik ana, uek kedak. Artinya tanah
keramat itu sudah bebas dan silakan memanfaatkannya.
Setelah dibebaskan, menurut cerita bahwa bapak Laba Lomak, menemuhi Nenek
Roma Uran yang waktu itu tinggal di waili pap ( jalan turun Namaweka sebelah
pakul / kunu ).
Beliau ( Bapak Laba Lomak ) meminta dan memandatkan kepada Nenek Roma untuk
turun tinggal dan menetap di Lewoleba, liku lapak tanah. Nenek Roma turun dan
menetap di Luo ( kuburan kaka Nimus ). Pekerjaannya melaut, memasang sero
( lebet ika ) + tahun 1861. Tanah Lewoleba ini sejak dahulu sudah ada batas-
batasnya, yakni :
Timur : dengan suku Lewoleba / Leban, Pukay Lamalaper
Barat : dengan suku Lako dari Belang
Selatan : suku Ruing dan suku Tukan ( orang asli Namaweka ), suku Wejak ( uru
mitem )
Utara : dengan laut wata kener

C. SEPINTAS KILAS SILA – SILA KETURUNAN PEMBERI MANDAT DAN PENERIMA


MANDAT UNTUK LIKU LAPAK TANAH LEWOLEBA.
MAGU ROMA

MAGU WALENG

MAGU B.L URAN - MAGU LANANG

MAGU TIO

MAGU LAGA TIONG MAGU DEMONG TIONG MAGU SUBA AGON

KETERANGAN :

MEREKA SATU RUMAH BESAR DAN SEBAGAI PENERIMA MANDAT ADALAH MAGU ROMA
URAN

MAGU GORI

MAGU LAWE URAN MAGU OLA GORIN

MAGU LABA LOMAK

MAGU ITONG ( ANAK LAME TAKE ) TUANU KEWA TAUNU PULO

KETERANGAN :

ADALAH PEMBERI MANDAT ATAS NAMA BAPAK LABA LOMAK

MAGU LAGA DUA MAGU BEDA NARAN MAGU KEA DUA MAGU SINA MAGU LELA

KETERANGAN :

SEMUA ORANG SUKU ATAUDJAN ADALAH ORANG BANGSAWAN KALA ITU

Dengan demikian maka seremonial yang dibuat oleh Bapak B.L. uran adalah
sebuah mandat yang diberikan oleh MAGU LABA Lomak kepada MAGU Roma dan turun
temurunnya.
Lokasi yang dimandatkan adalah Lewoleba yang merupakan bagian yang tak terpisahkan
dengan Desa Baolangu yakni Lewokukung, Lite, Namaweka dan Lewokewek karena
merupakan satu kesatuan.

III. SEKILAS PERKEMBANGAN LEWOLEBA


Mulanya segelintir orang Lewokukung, Lite, Namaweka, Lewokewek, memilih
tinggal di Luo Lewoleba, tepatnya dipohon Gudi yang sekarang ada kuburan Nimus
Dua Balaor. jumlanhya tidak sampai 10 kepala keluarga yang memilih tempat tinggal
itu adalah orang-orang yang memiliki keterampilan melaut. Saat itu orang-orang
Baolangu lebih memilih menetap di Baolangu. Keluarga yang pertama memilih tinggal
di Luo Lewoleba adalah Bapak / Nenek Roma Uran, satu dua keluarga dari
Lewokewek, Namaweka yang beasal dari suku Balaor, Rewotor, Touor, Demongor
( pecahan dari suku Tenauak dan suku soriwutun.
Dimasa kerajaan Hamente Larantuka, orang-orang Baolangu diperintahkan
untuk turun dan menetap di Lewoleba agar mudah diatur / diurus pelayanan
kemasyarakatan oleh Raja Larantuka.
Persebaran tempat tinggal komunitas Baolangu di masa Hemente Larantuka, yakni :
- Kampung Lewokewek : Kepala Kampungnya Nenek Dua Boran
- Kampung Lewokukung : Kepala Kampungnya Bapak Asmumu Wuwur
- Kampung Lite : Kepala Kampungnya Bapak Waleng
- Kampung Tenubi / Namaweka : Kepala Kampungnya Bapak Baja Demongoor
- Sementara untuk kampung Luo ( ada pohon gudi ) sekarang disekitar kubur
Nimus Dua Balaor,Saat itu Kepala Kampungnya Magu Doni Wutun.

Tahun 1918 terjadi serangan penyakit sampar menyerang penduduk Luo dimana
dan waktu itu tidak ada obat. Penyakit itu menurut bahasa daerah disebut ERES.
Ciri-cirinya seperti cacar air dan penyakit ini menyerang dunia dan banyak
meninggal dunia ( masa perang dunia I ).
Dengan musibah itu maka sebagai besar keluarga lari meninggalkan Lou
Lewoleba. Sekitar tahun 1920 mereka kembali lagi menghuni tanah Luo
Lewoleba.

Tahun 1946-1947 Air naik/masuk menggenangi kampung Luo Lewoleba.


Kepala Kampung pada waktu itu adalah Bapak S.S. Rewot, Atas perintah Raja
Larantuka kepada S.S. Rewot selaku kepala kampong, maka penduduk Luo
dipindahkan ke Walangkeam.
Tahun 1958 Bapak B.L. Uran ditunjuk menjadi Kepala Kampung, penduduk diluar
Etnis Baolangu, yang kalah itu menghuni Lou lewoleba yakni :
- Lamahala : Bpk Haji Isah , Bpk Blae Seraka
- Etnis China : Baba Jugian, Baba Bungko
- Etnis Atadei ( Atawolo ) : Bpk Plea, Bpk Weka Ledjab

Bahwa situasi dan kondisi keamanan serta kenyamanan orang lewoleba waktu itu
hampir tidak nyaman karena tahun 1959, Bapak Yoakim Libak dibunuh oleh orang
dari Nobo Adonara. penghuni Lewoleba waktu lari buyar meninggalkan Lewoleba.
Orang yang diluar komunitas Baolangu yang tetap tinggal di Lewoleba adalah Bapak
Weka dan keluarganya. Orang Atadei lain lari meninggalkan Lewoleba.

Tahun 1960 Pembentukan Desa Gaya Baru Lewoleba


Kepala Desa : Bapak B.L. Uran
Wakil : Bapak Gabriel Lapak ( Lamahora )
Sekertaris : Laurens Lazar
Pamong : A.B. Langobelen
Tahun 1961 atas perintah Kepala Desa Gaya Baru Lewoleba atas nama Bapak
B.L.Uran kepada Bapak Andreas Patal Tolok untuk mendatangkan orang – orang
Atadei, dari Kampung Tobilolong, Lerek, Watuwawer, untuk ke Lewoleba supaya
menghidupkan sekolah SDK Lewoleba yang kala itu kekurangan murid, setelah
mereka datang di Lewoleba, Pemerintah Desa Gaya Baru Lewoleba membagikan
tanah gratis kepada mereka ( luas disesuaikan dengan kemampuan kerja mereka )
jadilah sebagian besar orang atadei menguasai tanah dataran tanah dataran
Lewoleba yang semulanya dikuasai orang-orang Baolangu.

Perubahan demi perubahan untuk Lewoleba dari kampung menuju ke desa gaya lama
Lewoleba - ke desa gaya baru Lewoleba - ke Kelurahan Lewoleba mekar dan
pemecahan kelurahan yang hingga saat ini menjadi tujuh kelurahan. Bahwa terakhir
menjadi Ibukota Kabupaten Lembata.

IV. BATAS – BATAS TANAH ADAT ULAYAT BAOLANGU


Menurut jalan cerita diatas dan disesuaikan dengan perkembangan
Lewoleba saat ini, terkait Pengaturan wilayah administrasi Pemerintah maka, batas
tanah Adat Komunitas Baolangu sudah ditetapkan batas-batasnya sesuai
kesepakatan tua-tua adat masa pemerintahan Desa Baolangu yang Kepala Desanya
yakni Bapak Willem Batu Wuwur.
Disitu tidak terdapat batas ulayat Baolangu sampai di pulau siput hanya didalam itu
disebutkan secara garis besar bahwa dari Ile Bona Amang turun ke Wata Kner ( bibir
pantai ) tidak ada kata sampai di Awalolong ( lihat dokumen kesepakatan tua-tua
adat Desa Baolangu , tanggal 01 Agustus tahun 1999 ).

V. SARAN PENDAPAT
1. Untuk menetapkan bahwa Awalolong milik Komunitas Baolangu harus
didiskusikan dengan semua tokoh atau kepala suku ( 17 suku ) se Komunitas
Baolangu, baik yang berdomilisi di Lewokukung, Lite, Namaweka maupun
Lewoleba dan Lamahora.
2. Sepanjang ini belum pernah orang Baolangu melakukan seremoni di Pulau
Awalolong sebagai wujud pengakuan bahwa Awalolong milik orang Baolangu.
Seremoni hanya pernah dilakukan oleh Saudara “ Albert Pito “ orang dari
Karangora yang diistilahkan waktu itu dengan paraw Tua Magu ( kasih makan
leluhur ), tidak lama berselang waktu paraw Tua Magu, Bapak Albert dan
anaknya meninggal dunia di Jakarta sehingga Ritual dimaksud tidak bias dirunut
dan ditelusuri soal klaim dari Albert Pito bahwa Awalolong itu milik Mereka.
Untuk itu butuh Mola Bdae ( dukun ) dari berbagai orang guna mencari tahu
siapa, dan dari suku apa yang akan membuat seremoni.
Orang-orang tua yang tinggal di Lewoleba, Namaweka, Lite, Lewokukung dan
Lamahora, baik sebagai ketua suku maupun pemuka masyarakat harus duduk
bersama Mola Bdae mencari solusi / jalan keluar.
3. Catatan ini hanya sebagai masukan guna disempurnakan dan diharapkan dapat
menghasilkan kesepakatan untuk membuat seremoni sebagai titik awal
menunjang program pemerintah dibidang kepariwisataan.
4. Hasil diskusi untuk seremonial akan dibuat setelah ada kesamaan pandangan,
kesepakatan dari berbagai pihak.

PERTANYAAN KUNCI

1. Pulau Awalolong milik siapa ?


2. Siapa yang berhak membuat seremoni ?
3. Adakah seremoni yang dilakukan sebelumnya sebagai bentuk pengakuan bahwa
Awalolong milik Komunitas, suku atau ulayat orang perorangan ?

Tiga pertanyaan kunci ini dengan membandingkan keberadaan, kepemilikan tanah adat,
ulayat yang dimiliki dahulu sampai sekarang, bahkan untuk yang akan datang menjadi
hunian anak cucu kita, maka membutuhkan pengakuan melalui Tobe bau ( duduk omong
bersama ) sebelum kita melakukan sesuatu kegiatan.

Terima Kasih, Selamat Berdiskusi


Kita
Siap Menunjang Program Pemerintah Kabupaten Lembata
Membangun Kepariwisataan di tanah kita tercinta ini.
Salam

Lewoleba, Mei 2018

Anda mungkin juga menyukai