Anda di halaman 1dari 8

Nama : Serly

NPM : 20053103

MIMPI SANG DARA

Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil dengan nama Dara mulai
menjerang air untuk membuat segelas teh panas. Dara, ialah gadis yang hidup dengan sejuta
mimpi di dalam sebuah rumah berdinding tinggi.

Dara merupakan gadis yang tumbuh di dalam keluarga berkecukupan, bahkan bisa
dibilang sangat kaya. Namun sayangnya Dara tidak bisa menopang tubuhnya sendiri tanpa
menggunakan bantuan kursi roda, sehingga merasa diacuhkan bahkan saat berada di istana
mewah tersebut.

Kedua orang tua Dara selalu mengacuhkannya karena merasa tidak ada yang bisa
diharapkan dari gadis dengan kursi roda tersebut. Sementara kakaknya mungkin saja malu
mempunyai adik dengan kondisi seperti Dara.

Setiap hari Dara hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar dan sesekali
mengarahkan kursi rodanya menuju arah taman. Gadis yang berusia 17 tahun tersebut sangat
senang untuk menggambar di taman guna menghilangkan pikiran buruknya yang menyesali
keadaannya.

Suatu pagi Dara jatuh dari kursi rodanya, namun tidak ada seorangpun di dalam
rumah tersebut mendekat untuk menolongnya. Rasa kecewanya terhadap hal tersebut
membuat Dara memiliki kekuatan untuk menggerakan kursi rodanya ke arah taman
kompleks, berniat menenangkan diri.

Saat sedang terisak di taman, tiba-tiba Dara dihampiri oleh seorang gadis seusianya
dengan kondisi yang sama. Gadis tersebut mengulurkan tangan untuk Dara dan mulai
menyebutkan namanya, yaitu Hana. mereka berdua mudah sekali akrab, mungkin karena
keduanya saling mengerti kondisi masing-masing.

Tiba-tiba Hana Berkata, “ Dara, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini
yang terlahir sia-sia. Mungkin kita tidak bisa berdiri tegak layaknya manusia lain. Tapi, kita
masih punya hak untuk merasakan bahagia. Cobalah untuk menerima dirimu sendiri, Dara.”
lalu, akhirnya gadis itu berpamitan pada Dara.
Semenjak pertemuannya di taman dengan Hana, Dara mulai merenungi kata-kata
yang diucapkan oleh gadis tersebut. Dara berpikir bagaimana ia bisa seutuhnya menerima
dirinya ketika orang di dekatnya tidak mendukungnya sama sekali.

Dara mencoba mencerna perkataan dari Hana secara perlahan, meskipun seringkali ia
menangis ketika teringat kenyataan bahwa ia hanyalah seorang gadis yang diacuhkan. Hal
yang dipikirkan oleh Dara adalah bagaimana ia bisa mewujudkan mimpinya dengan kondisi
tersebut.

Mimpi Dara adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya bisa dipajang di dalam
pameran besar. Hal yang dilakukan Dara untuk memulainya adalah rajin membuat lukisan.
Kesibukan tersebut juga dilakukan Dara untuk tidak memikirkan mengenai dirinya yang
selalu diacuhkan dan mulai memahami perkataan Hana.

Perlahan mimpi sang Dara mulai terwujud saat diam-diam ia sering memposting
lukisannya melalui media sosial. Hingga suatu hari ada seseorang datang ke rumah Dara
untuk menemui gadis itu guna mengajaknya untuk bergabung di dalam sebuah pameran
lukisan.

Kedua orang tua Dara terperangah mendengar ucapan pria tersebut, sebab tidak
menyangka bahwa Dara si gadis kursi roda bisa menghasilkan karya lukisan yang indah. Dara
hanya tersenyum melihat respon kedua orang tuanya dan memilih menerima tawaran
pameran tersebut.

Berbagai lukisan indah dipajang dalam pameran yang diberi tema Mimpi Sang Dara.
Orang tua Dara menghadiri pameran tersebut dan merasa terharu atas pencapaian putri yang
selama ini diacuhkannya. Sementara Dara merasa lega bisa menerima keadaan fisiknya dan
memanfaatkan apa yang dimiliki.

Pesan Moral : Setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekuranngan, dimana di
dalam kekurangan pasti terdapat kelebihan, maka dari itu bermimpilah dan bercita-
citalah setinggi bintang di langit, serta wujudkan mimpi tersebut dengan penuh
keyakinan agar mimpi tersebut bisa terwujud. Seperti Darah yang memiliki cita-cita
untuk memjadi pelukis terbaik yang memiliki bakat dalam melukis
Nama : Linda Lisa

NPM : 20053089

TEMAN YANG BAIK

Rina dan Dini dikenal sebagai sahabat baik yang populer di sekolah. Meskipun
berbeda kelas, tapi mereka selalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Tidak ada yang
meragukan eratnya persahabatan di antara mereka.

Meski berbeda karakter, tetap tidak menghalangi kedekatan mereka. Rina merupakan
seorang siswi pendiam yang tidak akan populer jika tidak bersama Dini. Sedangkan Dini
cenderung seperti seorang pembual yang hobi memamerkan barang-barang milik Rina.

Suatu hari pada sebuah acara pengundian hadiah, Rina terpilih menjadi salah satu
pemenang. Ia datang bersama Dini. Di sana para pemenang diperbolehkan untuk memilih
sendiri hadiah berupa voucher belanja dengan berbagai nominal.

Dari lima pemenang terpilih, Rina mendapat giliran keempat untuk mengambil
hadiah. Rina melihat pemenang yang akan mengambil hadiah setelahnya, yaitu seorang ibu
berpakaian lusuh dengan keempat anaknya yang masih kecil. Ia kemudian melihat voucher
yang tersisa.

Melihat nominal pada voucher yang tinggal dua pilihan, ia memilih voucher belanja
dengan nominal paling rendah kemudian berbalik dan tersenyum pada ibu dan empat
anaknya. Hal ini membuat Dini terkejut dan menganggapnya bodoh.

Dini kemudian mencoba menguji Rina dengan uang yang ia bawa. Ia meminta Rina
untuk mengambil salah satu uang yang ia sodorkan. Sedikit bingung, Rina mengambil uang
dengan nominal paling rendah.

Keesokan harinya Dini bercerita kepada teman-temannya tentang kebodohan Rina.


Untuk membuktikannya, Dini memanggil Rina ke hadapan teman-teman kelasnya.

“Hai, Rin, aku ada uang nganggur nih. Kamu pilih yang mana? Aku kasih buat
kamu.” Dini menyodorkan uang sejumlah Rp10.000 dan Rp20.000 kepada Rina.
Rina pun mengambil Rp10.000 dari Dini. Dini dan teman-temannya tertawa dan
mengatakan bahwa Rina bodoh. Peristiwa ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali. Beberapa
teman Dini juga ikut-ikutan melakukan hal itu.

Rina tetap diam dipermalukan seperti itu. Dan setiap kali dipaksa untuk memilih, ia
selalu bersikap tenang dan memilih uang dengan nominal yang paling rendah. Ia juga ikut
tertawa ketika orang-orang menertawakannya.

Hingga suatu hari ketika Dini memamerkan kebodohan Rina pada salah seorang
kakak kelas terpopuler bernama Rifki dihadapan teman-teman kelasnya. Dini kembali
menyodorkan uang, kali ini bernominal Rp50.000 dan Rp100.000, kepada Rina dan
memintanya memilih.

Lagi-lagi Rina memilih uang dengan nominal terendah. Semua orang tertawa,
menertawakan Rina yang hanya tertunduk, kecuali Rifki. Ia tertegun mengamati siapa
sebenarnya yang sedang membodohi siapa.

“Lihat, Kak. Teman baikku yang satu ini unik kan?” kata Dini kembali mulai
mempermalukan Rina.

“Ya, dia memang unik dan cerdas. Jika saja ia memilih uang dengan nominal tertinggi
dari awal, maka kalian tidak akan mau bermain dengannya bukan? Cobalah kalian hitung
berapa ratus ribu yang sudah kalian keluarkan cuma-cuma,” kata Rifki.

Dia pintar, memilih bersabar untuk mengambil keuntungan lebih. Jadi, sebenarnya
siapa yang sedang membodohi siapa?” lanjut Rifki tertawa.

Semua orang terdiam mendengar penjelasan dari Kak Rifki. Seketika mereka merasa
telah melakukan hal bodoh yang sia-sia. Sedangkan Rina tersenyum memandang Kak Rifki
yang berbalik menertawakan Dini dan teman-temannya.

Pada akhirnya, bagi Rina teman yang baik itu selalu ada memberikan tambahan
penghasilan tak terduga meski harus dibayar dengan kesabarannya. Tapi tidak apa-apa, setiap
perbuatan pasti ada bayarannya dan perbuatan Dini dibayar dengan uang serta rasa malu.

Pesan Moral: Kita tidak boleh meremehkan orang lain dan merasa diri kita paling
pintar, karena jika kita meremehkan orang lain sama saja kita meremekan
kemamouan diri kita sendiri.
Nama : Putri Nurzanna

NPM : 20053064

KALAU REZKY GA KEMANA

Dalam waktu belakangan ini, aku sangat bingung dalam mencari pekerjaan. Berkas
lamaran kerja yang telah aku masukkan ke beberapa perusahaan, masih belum membuahkan
hasil yang kuinginkan.Hari-hariku menjadi terasa hambar, tiap hari kegiatan yang kulakukan
hanyalah luntang lantung tidak jelas. Setiap hari aku merasa kebingungan, ingin mencoba
membuka usaha, tetapi modal belum ada.

Di suatu pagi yang cerah, aku berjanjian dengan teman lamaku untuk menceritakan
mengenai permasalahan yang kualami ini.Saat aku sedang berada dalam perjalanan untuk ke
rumah temanku, samar-samar aku melihat dompet berwarna cokelat yang tergeletak di
samping jalan, tepatnya di trotoar.

Karena tingginya rasa penasaran, aku pun mencoba untuk memastikannya dan
ternyata memang benar bahwa itu adalah sebuah dompet berwarna cokelat. Lalu, aku pun
membuka isi dari dompet tersebut.Alangkah terkejutnya diriku ketika mendapati bahwa
dompet tersebut berisikan KTP, SIM, surat-surat penting, kartu kredit, kartu ATM, dan uang
yang berjumlah lumayan banyak. “Wah, alhamdulillah. Rejeki nih.” Ujarku dalam hati.

Walau demikian, aku berubah pikiran dan memiliki inisiatif untuk mengembalikan
dompet tersebut ke alamat pemilik yang ada di KTP tersebut. Setelah itu, aku pun
melanjutkan perjalanan ke rumah temanku, lalu menceritakan seluruh permasalahan dalam
hidupku.

Setelah semua urusan dengan temanku selesai, aku langsung berangkat untuk menuju
ke alamat yang tertera di dalam KTP tersebut untuk mengembalikan dompet cokelat ini.Aku
pun mencari-cari alamat dan nama dari pemilik dompet yang sesuai dengan KTP.

Setelah sampai dengan alamat yang tertera di dalam KTP, aku pun memberanikan diri
untuk mengetuk dan bertanya ke orang yang berada di dalam. “Permisi pak. Mohon maaf,
ingin bertanya. Apa benar ini rumahnya Pak Aan?” Tanyaku pada orang yang berada di
halaman rumah itu.“Iya benar, mas. Anda siapa? Dan sekiranya ada keperluan apa?” Jawab
bapak paruh baya yang sepertiny adalah tukang kebun sembari menimpali pertanyaan
untukku.
“Oh perkenalkan, saya Galih, saya ingin bertemu dengan Bapak Handy, saya
memiliki urusan yang sangat penting dengan beliau.” Jawabku setelah memperkenalkan diri.

Kebetulan sekali, ternyata Pak Aan berada di rumah dan aku diminta untuk masuk ke
dalam ruang tamu. Lalu aku pun duduk sembari sedikit mengagumi keindahan rumahnya.

Setelah bertemu dengan Pak Aan, aku mengatakan maksud serta tujuanku sambil
menyerahkan dompet cokelat yang aku temukan di jalan, lengkap dengan semua isinya.

Karena penasaran denganku, beliau bertanya “Kamu tinggal di mana, dik? Dan kerja
di mana?”

“Saya tinggal di desa Maju Sari, Pak. Kebetulan, untuk sekarang saya juga masih
menganggur. Masih menunggu beberapa panggilan kerja, tetapi sudah beberapa bulan belum
ada kabar, pak.” Jawabku dengan jujur.

“Memangnya kamu lulusan apa?” Tanya Pak Aan.

“S1 jurusan Manajemen Bisnis, pak” Jawabku.

“Kalau begitu, besok kamu datang saja ke perusahaan saya, dik. Kebetulan
perusahaan sedang memerlukan staff administrasi. Ini kartu nama saya, bila adik tertarik,
besok tinggal datang saja ke kantor dan bilang kalo saya yang menyuruh” Jawab Pak Aan.

“Wah ini beneran, pak?” Tanyaku yang seakan masih kurang percaya.

“Iya, dik. Saya sangat memerlukan karyawan yang jujur dan penuh dedikasi seperti
kamu, jika kamu memang bukan orang yang baik, pasti uang saya yang ada di dalam dompet
ini sudah kamu ambil dan tinggal buang dompetnya. Akan tetapi, kamu lebih memilih untuk
mengembalikannya.” Pungkas Pak Aan.

“Jika begitu terima kasih banyak, Pa. Besok, saya akan langsung datang ke
perusahaan bapak dan menyiapkan semua surat dan dokumen lamarannya.” Jawabku dengan
penuh rasa semangat.

Lalu, aku pun berpamitan untuk pulang dan menyiapkan semua kebutuhan untuk
besok. Aku sendiri masih tidak percaya dan masih belum yakin dan merasa bahwa ini adalah
suatu keajaiban.
Nama : Sarah Ibtisamah

NPM : 20053091

DIKUCILKAN DI SEKOLAH DITAMBAH MASALAH KELUARGA, AKU SEMPAT


MAU BUNUH DIRI

Sejak SD aku di-bully karena memiliki fisik yang bagi mereka ‘tidak cantik’. Bagi
mereka cantik itu berkulit putih, sedangkan aku terlahir dengan kulit sawo matang yang
cenderung gelap. Aku mengaku, pernah tidak mensyukuri kulit gelapku. Namun sekarang aku
sadar bahwa cantik tidak harus berkulit putih.

Setelah lulus SD, aku berpikir bahwa bullying akan berakhir. Namun ternyata tidak.
Saat duduk dibangku SMP, aku mengalami bullying hingga dijuluki ‘mulut comberan’ karena
melaporkan tindakan penganiayaan yang dilakukan geng populer di sekolahku. Geng populer
tersebut menganiaya salah satu orang temanku sepantaran yang tidak aku ketahui namanya.

Aku melaporkannya ke guru tatib (tata tertib) karena anak laki-laki yang dipukuli itu
sudah babak belur dan mengucurkan darah hingga bangku rusak. Hati nuraniku terketuk
untuk menyelamatkannya dengan cara segera melaporkan kejadian ini pada guru tatib. Guru
tatib pun tiba dan menyelesaikan perkara.

Setelah melaporkan, aku pikir perkara akan selesai. Namun ternyata tidak. Aku justru
menjadi ‘common enemy’ satu sekolah pasca melaporkan kejadian itu hingga dilabrak dan
dicegat sepulang sekolah oleh para anggota geng populer perempuan. Bahkan mereka
mengancam akan melabrak siapapun yang berani berteman denganku. Aku hanyalah anak
perempuan biasa yang tidak populer sehingga aku tidak memiliki ‘power’ untuk melawan
mereka. Tapi aku tidak menyesal telah melaporkan kejadian tersebut. Andai aku tidak
melaporkan, mungkin kasus ini akan muncul di koran atau berita lokal.

Tiga tahun setelah aku melewati masa SMP, akhirnya masa SMA tiba.
Namun bullying tetap menyasar padaku. Memang bullying yang aku alami tidak separah saat
SMP. Aku mengalami body shamming karena memiliki payudara besar sehingga banyak
yang menilaiku dengan stigma negatif tetapi aku cuek menghadapinya.

Di saat aku harus melewati masalah eksternal yang membuatku tertekan, ada masalah
internal keluarga yang juga harus aku hadapi. Aku terlahir dari keluarga utuh tapi dengan
orangtua nyaris akan bercerai. Ayahku berprofesi sebagai seorang dosen, sedangkan ibuku
adalah seorang ibu rumah tangga yang mengabdikan dirinya mengurus anak-anak. Ayahku
adalah seorang yang temperamental hingga tak jarang ia kerap berkata kasar dan memukul
istri dan anak-anaknya. Pertengkaran ayah dan ibuku kerap menjadi tontonan bagiku dan
adik-adikku. Ayahku sering mengeluarkan kata-kata menyakitkan hanya karena rumah
kurang bersih, masakan tidak enak, atau adikku bermasalah di sekolah. Sebagai seorang
perempuan, aku sakit hati melihat perlakuan ayahku terhadap ibuku.

Ibuku adalah lulusan sarjana yang seharusnya bisa melanjutkan karier. Karena terbuai
dengan cinta, ibuku memilih menikah muda. Dahulu saat ibuku ingin bekerja, ayahku
melarangnya. Namun kini ayahku justru merendahkan ibuku dengan cara menghinanya tidak
bisa berkontribusi bagi ekonomi keluarga. Perih rasanya ketika aku tak sengaja melihat ibuku
menangis diam-diam. Ia menyembunyikan air matanya di depan anak-anaknya.

Melewati masa-masa sekolah dengan penuh bullying dan terlahir dari keluarga


‘broken home’ yang sering mengalami kekerasan, pernah membuatku mencoba untuk bunuh
diri. Namun aku sadar bahwa bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Aku harus
bangkit dan membuat sinar kebahagiaan di duniaku yang suram.

Usai melalui lika-liku kerasnya kehidupan, aku berhasil meraih gelar sarjana dengan
predikat cumlaude di usia 22 tahun. Tak menunggu lama, kini aku bekerja di sebuah
perusahaan berita online bagian digital promotion. Aku juga aktif di dalam organisasi
kemanusiaan yang menyuarakan suara perempuan. Bergabung dalam organisasi
kemanusiaan, aku menemukan sebuah ‘circle’ pertemanan positif. Aku banyak belajar
tentang kasus kekerasan seksual, kekerasan perempuan dan anak, dan kemanusiaan. Bukan
hanya itu, bahkan aku bertemu langsung dengan mereka dan memberikan dukungan moral.

Setelah semua yang aku alami, aku sadar bahwa hidup itu pilihan kita sendiri. Tuhan
mungkin menakdirkan kita terlahir dengan keterbatasan fisik, kekurangan ekonomi, berparas
kurang menarik, mengidap sakit keras dan memiliki keluarga broken home. Tetapi Tuhan
tidak menakdirkan hidup seseorang akan sengsara. Sengsara atau bahagia itu kita sendiri
yang menentukan jika kita percaya bahwa kita bisa.

Pesan Moral: ktetap bersyukur dengan apa yang terjadi dengan diri sendiri

Anda mungkin juga menyukai