Anda di halaman 1dari 7

Kasih Kakak Adik

Dina, siswi SMA berprestasi di sekolah unggulan kotanya. Dina menjadi berprestasi
tidak semata-mata menelan validasi. Ia sungguh-sungguh mendapatkannya demi
mempertahankan beasiswa yang sekolah berikan. Dina mempertahankan itu semua agar tidak
memberatkan ekonomi orang tuanya yang masih harus mengurus adik kecilnya yaitu Ris
yang menginjak 5 tahun.

Di teriknya matahari sepulang sekolah, Dina masih berusaha membantu


menghabiskan jualan korang Sang Orang tua. Dona tidak merasa terbebani, ia terus
mengembangkan senyum kepada siapapun yang membeli atau bahkan hanya sekadar
menyapa. Ia sama sekali tidak merasakan penat menghantam dirinya. Dina sangat
menyayangi keluarganya. Maka dari itu, ia melakukan semua itu untuk terus berusaha
membahagiakan mereka.

Namun di suatu saat ketika Dina kembali dari berjualan, di mana hari itu matahari
telah tergantikan oleh bulan. Dina meratapi rumahnya, seisinya kosong. Tak ada riuh ceria
dari Risa ataupun sambutan dari Ayah dan Ibu.

“Ayah? Ibu? Risa? Kok tidak ada? Apakah kalian selarut ini? Rasanya tidak seperti
biasanya.” Gumam Dina, berbicara seorang diri. Dina mengira mereka masih berkeliling
menjual koran. Padahal kalau sudah malam, walau koran tak habis, mereka masih bisa
melanjutkannya esok.

Dina pun sedikit menghiraukan walau hati tak nyaman memikirkan konsidi
keluarganya di luar selarut ini.

Ketika Dina membenahi rumahnya, lalu melanjutkan tugas sekolahnya dan


mempersiapkan untuk sekolah esok, seorang tetangganya, Bu Rani, memanggil dengan nada
bicara yang mengherankan Dina. Bu Rani ada apa heboh-heboh selarut ini?

“Dina, Ini Adikmu! Risa menangis mencarimu. Ayah dan Ibumu di rumah sakit
dibawa oleh warga setempat kota sebelah. Cepat lihat keadaan mereka, akan ku antar.” Ucap
Bu Rani yang sedang menggendong Risa.
Tubuh Dina mematung, ia berusaha mencerna apa yang Bu Rani katakan. Dengan
segera, Dina dan Risa diantar Bu Rani untuk ke rumah sakit. Terlihat ada luka di kaki Risa,
tetapi tak begitu parah.

Sesampainya di rumah sakit, Dina, Risa, dan Bu Rani menunggu di ruang tunggu
sampai diperbolehkan melihat orang tua Dina dan Risa. Di situlah Dina mendengar
penjelasan kronologi bagaimana orang tuanya bisa sampai rumah sakit dan Risa, adiknya
terluka.

“Saat mereka bersepeda mencari pemveli, sepeda mereka terjatuh karena Ayahmu
terkena serangan jantung. Adikmu segera berlari ke pinggir jalanan, sedangkan Ibumu sulit
untuk bangun dari jatuhnya, belum lagi harus menggendong Ayahmu. Ibumu tak sempat, di
keadaan gelapnya malam, sebuah mobil melaku dengan cepat di hadapan orang tua mu.”

Shock, itulah yang dirasakan Dina ketika mendengar penjelasan panjang. Doa pun
mengalir di pergerakan mulutnya untuk mengharapkan yang terbaik.

Pintu ruang perawatan kedua orang tuanya telah terbuka, seorang dokter menghampiri
mereka,

“Maaf, Seluruh usaha telah kami kerahkan. Namun, kami tidak bisa melawan takdir
Tuhan yang telah ditentukan. Ketiadaan Ayah dan Ibu mu akan dibantu pihak rumah sakit.”

Pecah tangis Dina menggema di ruang tunggu. Risa yang kebingungan apa yang
terjadi pun meneteskan air matanya. Risa masih belum mengerti, ia tak tega melihat
kakaknya berlinang air mata.

Setelah kepergian orang yang begitu mengasihi dan menyayangi Dina, ia menjalani
harinya dengan tatapan kosong. Rasanya masih belum terbiasa, tak menyangka akan terjadi
begitu cepat. Dina pun memikirkan bagaimana nasib ia sebagai pelajar yang tetap harus
mempertahankan ekonomi dan mengurus adiknya.

Pagi yang cukup suram dilalui Dina dengan tegar. Kini, Dina perlu berangkat lebih
pagi untuk sekolah karena akan ke tempat penyotiran koran terlebih dahulu. Untungnya, Dina
bertetangga dengan Bu Rani, sosok yang bersedia membantu Risa ketika Dina sedang
menimba Ilmu.
Setelah berjualan hingga larut, Dina pulang untuk beristirahat. Begitu terkejutnya
Dina melihat pintu rumah terbuka dengan keadaan kosong melompong tanpa ada siapapun.
Risa berada di rumah Bu Rani, tak mungkin ia kembali ke rumah sendirian di malam hari.

“Risa? Kamu sudah pulang? Mengapa tak menungguku saja?”. Teriak Dina kepada
angin yang tak akan menjawab sautannya.

Saat Dina mengecek keadaan kamarnya, Dina tersadar akan sesuatu,

“Ya Tuhan, aku tak tahu cobaan yang bertubi-tubi ini begitu membuatku lelah, sangat
lelah. Uang simpanan satu-satunya yang kumiliki tiada, Aku hanya memikirkan nasib Risa
esok…”

Ternyata, seluruh harta yang dimilikinya di rampok. Tak diketahui siapa yang
tersangka, tapi sungguh, ia sangat kejam. Harta Dina tak seberapa, tapi setidaknya akan
memenuhi kebutuhan primer Dina dan Risa.

Hari demi hari Dina lalui begitu berat. Namun, sekuat mungkin Dina hadapi. Orang-
orang mengenal Dina sebagai gadis SMA yang ramah, senyumnya selalu terukir manis.
Sembari berkeliling menjual koran sepulang sekolah, Ia terus mencari pekerjaan yang bisa
dilakukan selain terpaku pada penjualan kkoran agar kebutuhan adiknya tpenehu. Sangat sulit
untuk mendapatkannya di umut Dina yag masih belum cukup untuk berkerja.

“Kak, Risa sebentar lagi 6 tahun loh. Aku ingin sekali kue dan hadiah di hari
istimewaku.” Tiba-tiba Risa melontarkan sebuah keinginan ketika Dina baru saja pulang.

“Iya, Risa. Kakak akan belikan semuanya untukmu.” Ucap Dina tak bisa menolaknya.
Risa begitu masih belia, wajar saja memiliki banyak keinginan. Dina sangat menyayangi
adiknya, Ia akan mengabuli itu agar Risa terus bahagia tanpa memikirkan kekurangan yang
terjadi. Dina hanya bisa berdoa untuk mengiringi perjalanannya agar dengan waktu singkat
rezekinya menghampirinya.
Di hari Dina sedang menjual koran kepada pelanggan tetapnya, Sang Pelanggan, Bu
Tina menawarkan suatu pekerjaan karena ia cukup mengenal bagaimana kondisi Dina dan
Adiknya.

“Dina, aku memiliki toko kue. Pegawaiku hanya satu, bagaimana jika kau menjaga
shift sore? Kau kan bisa sepulang sekolah. Pegawaiku hanya satu, kasihan jika ia harus
menjaga sehari penuh. Tenang saja, Aku akan membayar jasamu.”

Begitu mengetahui akan ada bayaran, Dina sangat menyetujui tanpa keraguan. Itulah
yang ia butuhkan. Terjawab sudah doa Dina semalam.

“Lumayan untuk tambahan kado ulang tahun Risa.”

Dina tetap menjalani hari seperti biasanya. Kali ini, bebannya sudah tersisihkan
sedikit. Senyumnya tetap terlukis di wajahnya. Dina tak merasa lelah karena ia ingun sekali
adiknya tersenyum mendapatkan yang Ria inginkan dari usaha Dina sendiri. Dina tak pernah
tertinggal soal akademik di sekolahnya. Ia pandai menyeimbangi aktivitas sehari-harinya.

Satu hingga dua minggu terlalui. Dibayar perminggu ternyata tidak mencukupi
kehidupannya. Dina linglung karena ia harus menepati janjinya dengan Risa seperti apa.
Waktu semakin cepat mendekati hari ulang tahunnya.

Suatu cara dengan spontan melesat di benak Dina.

“Kalau aku ambil jatah uangku lebih dulu dari hasil penjualan kue hari ini sepertinya
tidak akan masalah. Lagipula, Bu Tina tidak akan mengecek toko hari ini. Sudahlah, ini demi
Risa.”

Aksi itupun Dina lakukan ketika sedang penutupan toko. Dina melakukannya tanpa
berpikir resiko sekecil apapun itu.

Tanpa diduga, Bu Tina ternyata mendatangi toko kue pada hari itu. Dina panik, Pasti
Bu Tina akan mengecek pendapatan seminggu ini. Dina tak sempat memanipulasi datanya.

“Loh, Din? Kok uang nyata pendapatan kita tak sesuai dengan data pembeli ya? Kau
jaga toko dengan baik kan?”

“Ah, benar kok, Bu. Dina tak pergi kemana-mana.”

Bu Tina tak mencurigai Dina. Bu Tina hanya khawatir ada penyusup tak bertanggung
jawab yang datang.
“Saya cek cctv dulu ya, Din.’

Astaga! Dina melupakan hal itu. Cctv terus berjaga sepanjang hari, merekam
peristiwa yang bisa saja terjadi di luar dugaan. Dina hanya pasrah, menunggu Sang Pemilik
Toko datang.

“Dina, jujur saja. Untuk apa melakukan itu?” Tanya Bu Tina langsung saat keluar dari
ruang cctv. Dina tahu hari itu sepi pelanggan, sehingga mudah untuk mengidentifikasi siapa
pelakunya.

“I-itu Bu…. Saya melakukannya dengan alasan. Risa, Adikku sebentar lagi berulang
tahum. Dina hanya ingin membelikan kue untuknya, namun biaya tak mencukupi. Saya telah
menjanjikan itu karena hari istimewa Risa tak pernah dirayakan.” Dina tak ada pilihan lain.
Jujur lebih baik walau Ia mengatakannya dengan terpatah-patah.

“Ibu kecewa. Ibu akan pikirkan untuk masa pekerjaanmu untuk kedepannya.” Bu Tina
ingin mempertimbangkan kembali karena perilaku yang telah Dina lakukan.

“Bu, Dina mohon tak memecat Dina. Dina butuh untuk kehidupan Dina, terutama
Risa, Bu. Maafkan Dina yang melakukan hal tadi di luar kendali. Apa yang Dina bisa lakukan
untuk menebusnya? Akan Dina penuhi dan tak akan mengulanginya.” Dina memohon kepada
Bu Tina dengan penuh penyesalan.

“Huft baiklah. Saya mengampunimu dengan syarat. Sebenarnya Saya mengetahui har
ulang tahun Risa dari orang tuamu dulu. Awalnya saya berniat memberikan kue dari toko
saya dengan percuma. Tetapi, kali ini bersyarat.”

Dina pun mendengarkan dengan seksama apa itu syaratnya.

“Pegawaiku untuk Sabtu dan Minggu besok sedang berlibur. Tolong gantikan untuk
menjaga toko seharian penuh. Minggu adalah hari ulang tahun Risa kan? Akan kubawakan
seselesainya kamu bekerja.” Pinta Sang Pemilik Toko.

Pada Hari Sabtu tiba, Dina menitipkan Adiknya kembali kepada Bu Rina. Walau Ia
libur sekolah, Ia akan memenuhi janjinya kepasa Risa dan menebus kesalahannya.

Sudah terlewati hari Sabtu dan tibalah Hari Minggu. Pada Minggu Malan, Dina telah
selesai menebus kesalahannya. Sang Pemilik Toko pun memenuhi janjinya,

“Jangan kecewakan sata lagi ya, Dina. Ini kuenya, sampaikan ucapanku untuknya.”
Dina sangat mensyukuri dikelilingi yang selalu bersedia menolongnya. Dina langsung
kembali ke rumahnya. Tak sabar menghadiahi adiknya. Saat sampai pun, Dina memeluk
adiknya dengan erat.

“Risa, ini yang kau inginkan. Maafkan Kkakak yang terlambat mengucapkan. Selamat
ulang tahun, Adikku.” Ucap Dina dengan haru. Senyum dari keduanya begitu lepas. Semua
masalah yang ada bisa diresakan oleh keharmonisan. Ria pun mengetahui perjuangan
Kakaknya untuk memenuhi keinginan Risa.

“Terima kasih ya, kak. Semua yang Kakak lakukan sangat membahagiakanku. Aku
menyayangimu sepenuhnya. Aku takkan pernah berhenti mendukungmu dan berjanji tak akan
menjadi anak nakal.” Dina tak menyangka Risa akan mengucapkan hal semacam itu. Air
mata mulai mengalir. Dina sangat mensyukuri apa yang telah Ia punya.

Kehidupan Dina dari Risa sebagai kakak-adik berangsur-angsur membaik. Risa yang
mengetahui konsisi ekonomi sedang sulit sehingga tak lagi membebankan kakaknya dengan
meminta-minta hadiah tak penting. Risa belajar hidup sederhana. Dina tetap menjalani
harinya dengan cukup padat dengan belajar dan tetap mempertahankan ekonomi dengan
berjualan koran dan menjaga toko kue, Namun mereka berdua tak pernah merasa kekurangan.
Karena menurut mereka, kasih sayang yang tulus selalu mengalir itulah yang terpenting
karena tak akan terbayarkan oleh apapun.

Anda mungkin juga menyukai