Naskah: Kirdjomulyo
Penyunting: Raudal Tanjung
Banua
Para Pelaku
1. Sandjojo
2. Sunarsih
3. Siswadi
4. Sarbini
Panggung merupakan sebuah ruangan depan rumah Sardjojo. Terdiri dari
dinding yang merupakan terbuat dari dinding kayu, ditutup dengan kertas-kertas
koran, sebelah belakang separo dari bagian atas merupakan jeriji-jeriji kayu yang
terbuat dari kayu biasa yang tidak dihaluskan. Tutup dari dinding bagian atas,
diangkat ke muka. Dua buah pintu ke sebelah kiri dan ke kanan (pintu keluar). Pintu
kesebelah kiri menuju kekamar lain. Di sebelah belakang terletak sebuah meja tua,
dengan dua kursi. Sebelah kiri terletak bangku panjang bersandarkan dengan meja
dan terletak begitu saja di sebelah kursi malas, yang telah diganti alas polanya
dengan kain. Beberapa kotak tempat duduk bergelimpangan di sudut kanan.
Bebrapa alat masak di bawah meja. Dua buah Mandau tergantung di diding kanan.
Latar belakang adalah pepohonan kayu hutan daerah pengalian intan di Sungai
Gula, Kalimantan Tengah. Di sebelah kanan tergantung cermin, alat-alat, gunting,
dan lain-lain. Di sebelah kiri, tergantung sebuah luksan cat air potret “Sunarsih”,
yang sudah lama.
Bersama dengan layar terangkat, terdengar suara seruling Siswadi yang asyik
dengan kerinduannya dengan lagu-lagu Sunda. Duduk dengan laki-laki di atas meja
menghadap ke belakang agak serong ke kanan. Di atas kursi malas berbaring
Sandjojo memandangi langit-langit, dengan mata yang penuh impian-impian. Apa
yang dipikirkannya saat itu ialah ia harus mendapatkan harta sebanyak-banyaknya,
untuk membuktikan kepada dunia luar, bahwa ia bisa menjadi kaya. Dan dengan
kekayaannya ia hendak menghancurkan beberapa perempuan. Sebab ia pernah
dilukai oleh seorang gadis karena ia tak berdaya. Sebenarnya perkataan gadis itu
hanya senda-gurau, tetapi karena ia lemah dan terlalu perasaan, senda-gurau itu
dirasakan sebagai pukulan yang keras. Tiba-tiba tangannya merai sebuah pisau
belati yang diselipkan di dinding, dan dipermainka pada jari-jarinya.
Sandjojo melirikkan matanya. Terasa pula perasan rindu mendesak langit-langit
jiwanya, tetapi dilawannya. Dan waktu Siswandi akan mulai dengan lagu lain,
Sandjojo berpaling memandang sesaat, kemudian kembali memandang kedepan.
1
Sandjojo : (Berkata tak sabar) Kau rindu rumah?
Siswadi belum menyahut, sebab berpikir pertanyaan itu hanya lontaran kesunyian.
Siswadi : (Terpaksa menjawab untuk tidak menyakitkan hati). Ya! Telah lama
aku merindukan rumah. Rindu pada kota Bandung, tempat aku
dibesarkan.
Sandjojo : Persis macam bayi kalau begitu ragaku? (Tertawa dan pergi ke luar,
di halaman ia berpaling). Aku tidak percaya lagi kepada seorang pun
di dunia ini. Aku akan mencari intan. Di mana ia memberi dunia
kepada jiwaku yang penuh kekecewaan, kekosongan, dan kesunyian
dan mencari rahasia jiwa perempuan yang penuh tikaman-tikaman
yang paling melukai. Kalau kau sayang padaku, ikutlah denganku.
Jangan kau tarik kembali kepada kampung halaman yang telah
melemparkan aku selama ini.
Sunarsih : Aku memang sayang kepadamu, tetapi tidak harus dengan
membuktikan secara begitu. Sebab aku tahu alasanmu.
Sandjojo : Saya tunggu jika Nona sebenarnya menaruh sayang. (Pergi keluar)
Sandjojo : Ayolah nar ikutlah denganku ayo nar, kita akan bersenang-senang
dilumpur penggalian hahahahahahaha
Sandjojo tertawa makin jauh.
Sunarsih : (Terpaku bingung dan gelisah tidak bisa menentukan). Tunggu, aku
ikut kau! (Sandjojo pun lari, tetapi tetap di kejar Sunarsih). Jangan
tinggalkan aku. Tunggulah! Aku ikut dengan kau. (Dari jauh
terdengar Sandjojo tertawa). Ho…hoo…ho…
Sunyi kembali sejenak.
Masuk Sarbini, dalam keadaan bingung memikirkan Sunarsih yang sayang pada
Sandjojo. Yang dipikirkan sudah tidak lagi.
Sarbini : Ooh. Bagaimana perempuan itu? Orang sudah tidak lagi beres
otaknya, bisa saja dia tetap mencintai. Aku yang segar bugar begini
tidak seorang cantik mencintai? (Bercermin,, duduk di meja, jengkel
menirukan kata-kata Sunarsih. Sesaat dia berbaring tiba-tiba berdiri.
Teringat bahwa mungkin saat-saat itu waktunya siapa gadis seberang
sungai itu lewat pulang dari ladang. Dia bangkit) Aku sayang padamu
San, jangan tinggalkan aku, aku ikut kemanapun kau pergi. (Tertawa
sendirian). Kenapa tidak mengatakan”Aku sayang padamu Sar! Aku
ikut kau. Kau dengan kedua tanganku yang terbuka lebar kuterima,
waktu itu juga”. Perempuan tidak tahu hati laki-laki! Apa yang dia
harapkan dari laki-laki! Apa yang diharapkan dari laki-laki macam dia.
Tampang juga tidak jauh berbeda denganku. Tidak tahu aku apa yang
ajaib ini. (Membaringkan diri, tidak peduli dan merokok)
Siswadi masuk.
Siswadi : Di mana Sunarsih?
Sarbini : Ia lari mengejar Sandjojo. Dia akan ikut menggali lubang intan.
Siswadi : (Heran, tercengang dan khawatir). Tanah berbahaya sehabis hujan
lebat begini. Ke mana mereka?
Sarbini : Tahulah. Aku sendiri heran memikirkan perempuan secantik itu, bisa
jatuh cinta luar biasa. Masa pada orang macam Sandjojo yang
berotak miring. Sampai dia berkata,”Aku sayang padamu. Jangan
tinggalkan aku!”
Siswadi akan keluar. Datang Sandjojo. Keduanya terkejut. Ketiganya berpandangan
seperti tidak ada kejadian apa-apa. Sandjojo masuk terus berhenti di pintu,
menyalakan rokok. Siswadi menaruh curiga.
Siswadi : Di mana Sunarsih?
Sandjojo : Aku tidak mengurusi di mana
dia! Siswadi : Ia mengikuti pergimu.
Sandjojo : Mengikuti bagaimana?
Siswadi : (Ia berpaling pada Sarbini). Mana yang
betul? Sarbini : Ya, ia pergi menyusul.
Sandjojo : (acuh tak acuh, tapi mengawasi Siswadi yang menghadang di pintu).
Ya, ia menyusulkumenyusulku tadi
dipenggalian Siswadi : Dan sekarang?
Sandjojo : Tergelincir di lubang penggalian sebab mengejar
aku. Sswadi : Kau tidak menolongnya?
Sandjojo : Buat apa aku menolongnya sis!. Aku melihat dari atas dengan
senyumanku yang menghancurkan jiwanya. Kau jangan menolong.
(Sambil mengacungkan pisaunya).
Siswadi : (Memandang dengn tajam). Kau menghendaki kematiannya?
Sandjojo : Tidak, aku hanya menghendaki ia tergenang dalam lumpur
penggalian.
Siswadi : Ia sangat sayang padamu.
Sandjojo : (Tertawa). Sayang?Heh Sis! Ia hanya menghendaki uangku yang baru
diperoleh dengan cara yang mudah, pura-pura menyusul dan
menaruh sayang.
Siswadi : Itu hanya prasangkamu yang telah tidak menaruh kepercayaan pada
orang lain.
Sandjojo : Yah Dan Mungkin sekarang ia telah merasa lemas. (Memandang
dengan senyum menaruh puas). Kau jangan mengurus dia! Sebab
kau tidak ada hubungannya!
Siswadi : Ada hubungannya!
Sandjojo : Apa Ia tidak menaruh cinta padamu!
Siswadi : Hubungan bahwa kita sama-sama telah menerima
nasib. Sandjojo : Hubungan halus antara perasaan kemanusiaan?
Siswadi : Itu sebab perasaanku belum terbunuh macam perasaanmu yang
mengeliat siang malam mencari pemenuhan dahaganya.
Sandjojo : Mungkin benar kata-katamu. Aku memang menghendaki
kematiannya karena ia telah menjadi kehancuran jiwaku selama ini.
Keduanya terdiam. Sandjojo memandangi dengan tersenyum. Ia melanjutkan
mempermainkan pisau dengan meraut-raur kukunya.
Siswadi : Aku tak bisa membiarkan ia mati. Aku minta kau membolehkan aku
pergi. Berilah kesempatan kepadanya hidup kembali.
Sandjojo : Kau ingin pergi, pergilah!
Siswadi : Apa maksudmu mempermainkan pisau di depan pintu?
Sandjoj : Main-main untuk hanya sekedar menghibur hati yang gundah.
(Tersenyum).
Siswadi : (Mencoba melangkah, tetapi Sandjojo juga melangkah ke tengah
pintu). Aku hendak menolong dia! Kau tidak boleh membunuhnya.
Sandjojo : Seseorang akan membunuh seseorang yang hendak merampas harta
benda yang dengan susah payah dicarinya. Siapa pun
mempertahankan miliknya.
Siswadi : Aku tahu siapa sebenarnya merampas jiwa orang.
Dengan cekatan sekali Siswadi menghantam tangan Sandjojo. Pisau terpelanting.
Sandjojo membalik. Dihantamnya dari belakang jatuh tersungkur. Siswadi lari keluar.
Sarbini ikut lari, pintu dikunci dari luar. Meraka lari menyusul Narsih.
Sandjojo : (Bangun dengan payah, memegang kepalanya, berdiri meraih pintu,
lalu digoyang-goyangkan sekerasnya. Berteriak dengan parau). Akan
kubunuh kalian! Akan kubunuh semuanya. Siswadi, kau dengar
suaraku ini? Akan kubunuh kalian. (Pintu terbuka, tiba-tiba ia ingat
intan yang disimpannya dalam saku. Tapi intan itu tidak ada. Ia lupa
di mana menaruhnya) Intan? Intan! Intanku di mana, Sarbini! Kau
mencuri intanku? (Mencari segala tempat dibantingkan apa yang
ada, lari keluar dengan suara teriakan yang parau dengan langkah
payah).
Layar turun dengan cepat dan dramatis.