Anda di halaman 1dari 29

P E N G G A L I I N T A N

Naskah: Kirdjomulyo
Penyunting: Raudal Tanjung
Banua
Para Pelaku
1. Sandjojo
2. Sunarsih
3. Siswadi
4. Sarbini
Panggung merupakan sebuah ruangan depan rumah Sardjojo. Terdiri dari
dinding yang merupakan terbuat dari dinding kayu, ditutup dengan kertas-kertas
koran, sebelah belakang separo dari bagian atas merupakan jeriji-jeriji kayu yang
terbuat dari kayu biasa yang tidak dihaluskan. Tutup dari dinding bagian atas,
diangkat ke muka. Dua buah pintu ke sebelah kiri dan ke kanan (pintu keluar). Pintu
kesebelah kiri menuju kekamar lain. Di sebelah belakang terletak sebuah meja tua,
dengan dua kursi. Sebelah kiri terletak bangku panjang bersandarkan dengan meja
dan terletak begitu saja di sebelah kursi malas, yang telah diganti alas polanya
dengan kain. Beberapa kotak tempat duduk bergelimpangan di sudut kanan.
Bebrapa alat masak di bawah meja. Dua buah Mandau tergantung di diding kanan.
Latar belakang adalah pepohonan kayu hutan daerah pengalian intan di Sungai
Gula, Kalimantan Tengah. Di sebelah kanan tergantung cermin, alat-alat, gunting,
dan lain-lain. Di sebelah kiri, tergantung sebuah luksan cat air potret “Sunarsih”,
yang sudah lama.
Bersama dengan layar terangkat, terdengar suara seruling Siswadi yang asyik
dengan kerinduannya dengan lagu-lagu Sunda. Duduk dengan laki-laki di atas meja
menghadap ke belakang agak serong ke kanan. Di atas kursi malas berbaring
Sandjojo memandangi langit-langit, dengan mata yang penuh impian-impian. Apa
yang dipikirkannya saat itu ialah ia harus mendapatkan harta sebanyak-banyaknya,
untuk membuktikan kepada dunia luar, bahwa ia bisa menjadi kaya. Dan dengan
kekayaannya ia hendak menghancurkan beberapa perempuan. Sebab ia pernah
dilukai oleh seorang gadis karena ia tak berdaya. Sebenarnya perkataan gadis itu
hanya senda-gurau, tetapi karena ia lemah dan terlalu perasaan, senda-gurau itu
dirasakan sebagai pukulan yang keras. Tiba-tiba tangannya merai sebuah pisau
belati yang diselipkan di dinding, dan dipermainka pada jari-jarinya.
Sandjojo melirikkan matanya. Terasa pula perasan rindu mendesak langit-langit
jiwanya, tetapi dilawannya. Dan waktu Siswandi akan mulai dengan lagu lain,
Sandjojo berpaling memandang sesaat, kemudian kembali memandang kedepan.

1
Sandjojo : (Berkata tak sabar) Kau rindu rumah?
Siswadi belum menyahut, sebab berpikir pertanyaan itu hanya lontaran kesunyian.

Sandjojo : Heh Sis,Kau Rindu Pada Rumah Ya?

Siswadi : (Terpaksa menjawab untuk tidak menyakitkan hati). Ya! Telah lama
aku merindukan rumah. Rindu pada kota Bandung, tempat aku
dibesarkan.

Sandjojo : (Tertawa perlahan, tetapi mengandung ketajaman yang ngeri).Kau


Rindu kampung halaman yang tercinta? (Tertawa untuk
menenangkan perasaannya).
Siswadi : Ya. (Berpaling memandang). Kau tidak pernah ingat keluargamu?
Sandjojo : Ingat? Ya, ingat sekali. (Melanjutkan berkata seperti pada dirinya
sendiri). Juga pada kota Jogja. Tiap sore aku menyusuri jalan-
jalannya. Kau masih ingat kali Code? (Tersenyum).
Siswadi : Sebaiknya kita lekas-lekas pulang, San, telah cukup lama kita
merantau.
Siswadi : Kau mau tetap tinggal di sini selamanya?
Sandjojo : (Bangun, terduduk, mata memandang dengan tajam). Pada suatu
waktu kita akan dapat mendapatkannya. Kita akan mendapatkan
intan itu. !
Siswadi : Tidak semua orang bernasib baik.
Sandjojo : Sebaliknya, tidak semua orang bernasib jelek.
Siswadi : (Pedih memikirkan temannya). Semua orang berpikir akan bernasib
baik.
Sandjojo : Aku akan dapatkan intan yang lebih besar. Entah beberapa puluh juta
yang akan aku dapatkan. (Ia bangkit mendekati Siswadi). Peristiwa
itu akan terjadi. Bukan jumlah sedikit. Sebelum aku mendapat intan
itu selamanya aku tinggal di sini.
Siswadi : Tiga hari lagi tidak ada makanan.
Sandjojo terdiam. Sesaat Siswadi terdiam, gemetar memandangi seolah tak percaya.
Makin dekat menatapnya.
Sandjojo : Apa katamu? Tiga hari lagi segala persediaan
habis? Siswadi : Ya, tiga hari lagi. (Diam). Itu kalau kita hemat.
Sandjojo : Kita jual yang masih ada? (Melihat ke sekeliling).
Siswadi : Kita tinggal memiliki sehelai celana pada tubuh masing-masing.
Sandjojo : (Diam, lahir angan-angan yag bermimpi). Kita tak ada intan
sebutir
pun?
Siswadi terkejut mendengar pertanyaan aneh yang tiba-tiba. Melirikan matanya,
Sandjojo berubah air mukanya, disebabkan tekanan batinnya memuncak. Ia melihat
sekeliling rumah.
Siswadi : Kapan kau pernah dapatkan?
Sandjojo terdesak angan-angan yang
salah. Sandjojo : Dua kali aku
mendapatkan.

Siswadi : (Berpaling memandangi). Sekalipun kita belum pernah menyentuhnya.


Sandjojo berpaling menatap dengan dengan tajam, penuh curiga.
Siswadi : Kau jangan memandang penuh curiga demikian. Aku berkata dengan
benar.
Sandjojo : (Mengigat-ingat). Dua kali aku mendapatkannya. Hampir kau lupa, aku
pernah mendapatkannya. Jangan khawatir kalau tiga hari lagi kita tak
ada makanan. Segera aku dapatkan yang lain. Kau bisa makan apa
saja yang kau sukai.
Siswadi : Sebulan yang lalu kau pernah pula berjanji demikian.
Sandjojo : Jangan khawatir. (Berdiri, meninggalkan kursi malas, mencukur
kumis). Aku segera mendapatkan yang lain. Yang lebih besar.
Siswadi : Banyak yang perlu dikhawatirkan. (Meletakan seruling). Selain
makanan ada yang lebih mengkhawatirkan!
Sandjojo : Apa yang mengkhawatirkan?
Siswadi diam.
Sandjojo : Apa yang
mengkhawatirkan? Siswadi : Jiwa
rohanimu!
Sandjojo : (Tertawa, asing). Jiwa rohani ku?
Siswadi : Kau dibebani impian-impian sekitar intan yang mencengangangkan
dan menghancurkan kesadaranmu selama ini.
Sandjojo : Hey Siswadi, Dengarkan aku Tak ada keselumit apapun yang
mengganggu jiwaku selama ini.
Siswadi : Kalau aku tak berhutang budi padamu, tak mau aku mengikuti
perbuatanmu.
Sandjojo : (Berpaling keduanyadiam, tiba-tiba tersenyum). Kau bisa pergi. Aku
sanggup mengerjakannya sendiri. Menggali intan sendiri lebih baik.
Bila jadi aku dapatkan intan-intan, tak ada orang lain yang akan
mendapat jatah. Pergilah kalau tak tahan. Waktu berangkat aku pun
sudah mengatakan bahwa perjalanan ini berat.
Siswadi : (Mendekati). Dengarkan pembicaraanku. Perkataanku yang lahir
karena rasa bersahabat. Aku tidak bermaksud menghancurkan cita-
citamu menjadi kaya. Siapapun menginginkan hidup berada, tapi
tidak dengan jalan demikian.
Sandjojo : Dengan kekayaan itu aku bisa mencapai apapun. Aku bisa
menghancurkan tiap hati perempuan yang datang. Mula-mula
kuangkat ia di atas sanjunganku. Kemudian akan kulemparkan ke
tengah pelimbahan paling dahsyat.
Siswadi : Tapi kau tak ada harta sampai sekarang! Apa yang akan bisa kau
capai?
Sandjojo : Akan aku gali tanah-tanah intan tiap detik selama aku masih tetap
bisa bergerak.
Siswadi : Sebentar lagi ragamu tak akan sanggup bergerak! Untuk mengejar
impianmu yang akan aku beri sayap darah itu. Dan jiwa ragamu tak
akan tertolong lagi.
Sandjojo : Kau tahu apa tentang jiwa ragaku? Akan aku buktikan aku yang lebih
benar dari pada kau. Kau sekarang bukan lagi kongsiku. (Ia
mengacungkan pisaunya). Kau tinggal malam ini, akan aku buktikan
bahwa aku akan dapat intan.
Siswadi : Kau gila mengali pada malam basah begini!
Sandjojo : Akan aku buktikan jiwaku masih lebih keras dan berharga daripada
jiwamu.
Sandjojo mengacungkan pisaunya, ia berdiri di pintu sebelah kanan.. Siswadi tak
bisa berbuat apa pun, khawatir akan terjadi hal yang akan membahayakan jiwa
masing- masing. Ia memandang dengan perasaan kasihan dan cemas.
Siswadi : Jangan kau mengali malam
hari! Sandjojo : Kenapa?!
Siswadi : (Diam keduanya). Bagaimana hubungannya dengan
Sunarsih? Sandjojo diam seketika itu juga. Ia tersentak perasaan dendam
yang dahsyat. Siswadi : Dia tidak menghargai cintamu?
Sandjojo : Jangan kau bicarakan nama itu (Memandangi).Karena Dia bukan
bagian dari diriku.
Siswadi : Dan kau ingin membuktikan bahwa dengan harta kau bisa
menaklukkan, kemudian menghancurkannya?
Sandjojo : Ya, itu aku ingin buktikan.
Siswadi : Kau kesunyian tetapi merasa rendah diri, lalu lari mencari senjata
lain. Sandjojo : Bukan, bukan itu semua alasannya. Kau jangan coba
mengetahui lebih
lanjut, sebab tak akan pula berhasil. Kau tak akan berasil menyelami
jiwaku. Kau tunggu di rumah. Aku pulang bila intan telah tergenggam
di tanganku. Kau tidak perlu ikut. Sebab kau bukan lagi kongsiku.
Siswadi tidak menahan, sebab Sanjojo membawa belati terhunus dalam keadan
gelisah, ia terpaksamembiarkan. Sandjojo keluarmengambil lingis dan sekop dengan
mata yang liar.
Siswadi : Sandjojo! (memanggil-manggil). Jangan bunuh diri dengan menyiksa
jiwamu sendiri secara begitu. (Mengejar keluar). Sayangilah dirimu.
Kau tahu bahwa hari akan hujan lebat. (Suara hilang ditelan angin).
San!
Sandjojo mendengar dari jauh dengan suara yang merendahkan kehendak baik.
Suara itu makin jauh dan hilang. Hujan turun tiba-tiba. Siswadi kembali mengambil
jaketnya menyusul keluar. Hujan turun dengan angin.
Lampu Makin Gelap
Hujan kembali reda, waktu berlangsung kira-kira beberapa menit kemudian. Masuk
Sarbini seorang yang gemuk, kecil, pendek, sederhana dalam berpikir dan bercita-
cita, tetapi agak kekanak-kanakan dalam segala hal. Masuk mengenadap-ngendap
membawa beberapa kaleng mentega dan ikan. Langsung ke tengah menuju meja
makan, melihat ke kanan dan ke kiri.
Sarbini : Sis! (Menoleh ke sekeliling, melihat ke pintu, masuk ke kamar lain).
Sis! (Kembali menuju meja makan di sebelah belakan). Malam begini
gelap pergi juga kalian. Apa kerja kalian di sini? Orang mencari
penyakit. (Mengeluarkan makanan kaleng dengan bersiul-siul kecil,
sebab kegirangan bahwah dua hari yang lalu ia menemukan sebutir
intan dari hasil mendulang).
Masuk kemudian Siswadi dalam keadaan letih mengikuti Sandjojo yang tiba-tiba
hilang dari pandangannya. Terus langsung berbaring di kursi malas sebelah kanan.
Sarbini berpaling, tersenyum memandang Siswadi.
Sarbini : Eh, kau dari mana gelap-gelap gini?
Siswadi : (Membalikan badannya memandangi Sarbini).
Jalan! Sarbini : Di mana Siswadi Bopeng Sandjojo? (Tertawa
kecil). Siswadi : Jalan, mencari angin!
Sarbini : Malam-malam basah begini mencari angin? (tertawa).
Angin beginikan hanya penuh penyakit, bagaimana sih pikiran
kalian?
Siswadi : Pikiran masih baik, tapi kalau sudah letih?
Sarbini : Ya memag kita sudah letih berpikir yang lain-lain. Maka malam-
malam aku datang membawa apa-apa yang bisa menyegarkan
pikiranmu. (Tertawa). Kita makan besar malam ini. Kemarin saya
mendapat sebutir harganya lumayan.
Siswadi terduduk sebab terkejut juga turut girang.
Siswadi : Ya?
Sarbini : Kudapat waktu aku iseng-iseng mendulang di belokan kali.(Tertawa).
Nasib kalo sedang baik. (Berdiri menyeret sebuah kotak untuk duduk
mendekati). Berbaringlah kalau kau letih. Nanti akan aku masakan
sesuatu yang lezat. Kau masih ada nasi kan? Selain itu begini Sis!
(Tersenyum memandangi).
Siswadi : Kau dapatkan seorang perempuan?
Keduanya tertawa.

Sarbini : Jangan begitu, Mas. Memang benar begitu. (Tersenyum). Perempuan


seberang sungai itu. Kau sudah tahu kan? Ada minat saya padanya.
(Makin dekat). Orang tuanya sekiranya tidak akan keberatan. Dan
gadis itu tampak ada pula kesediaannya. Saya memang sudah lama
kepingin lekas bisa dapat istri. (Tertawa sendirian). Tak tahan hidup
sendirian begini lebih lama. Tetapi sukar saya untuk memulai.
Bagaimana saya dapat mendekati gadis itu? (Tertawa). Jika
berjumpa dengan dia, aduh gemetar saya. Tidak bisa berbuat apa-
apa. Dia juga diam saja. (Diam memandang). Kau bisa menolong
tentu, agar aku bisa dekat dan kemudian bisa meminangnya. Tetapi
mengenai ini kau diam saja dulu, aku sudah ada sedikit modal, bisa
untuk kawin. Bagai mana menurutmu? Bisakah gadis itu menjadi istri
yang baik?
Siswadi : Saya kira bisa.
Sarbini : Katakan padanya kalau kau bisa bertemu “Bahwa saya orang yang
cukup baik untuk dijadikan suami”.
Siswadi tertawa sendirian.
Sarbini : Jangan tertawa saya serius ini. Kau tahu aku sudah lama bosan
hidup sendirian.
Siswadi : Kau sudah pernah berbicara dengan
dia? Sarbini : Belum.
Siswadi : Jadi, bagaimana kau bisa kira-kira dia mau menikah dengan kau?
Sarbini : Kalau berjumpa dengan saya, pandangan matanya penuh dengan
arti. Siswadi : Tidak pernah kau berusaha untuk menegur?
Sarbini : Itulah yang saya katakan, kalau berjumpa saya tidak bisa berkata
apapun. (tertawa geli terhadap dirinya sendiri).
Sarbini : Kalau mau mandi, ia selalu lewat di sebelah rumah itu. Padahal ia
bisa mandi lebih dekat di sana!
Siswadi : (Tersenyum). Kalau memang dia memang senang mandi di sana?
Sarbini : (Diam agak bigung). Tolong saya. Kau tentu bisa menolong.
Siswadi : Ya, bagaimana saya bisa menolong dalam hal demikian. Coba
berikan misal, bagaimana caranya?
Sarbini : Ya. Kau bisa cari akal sendiri. Agar saya bisa ngomong dengan
dia. Siswadi : Kalau tiba-tiba ia malah jatuh hati padaku? (Tertawa).
Sarbini : Ya, kau yang kuhantam. (Tertawa).
Masuk Sandjojo dengan acuh tak acuh, seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Langsung ke sebelah yang lain duduk di bangku memandang kedepan.
Sandjojo : Selamat malam, Sis. (Berpaling melihat Sarbini). Selamat malam, Sar!
Siswadi : (Memandang mengikuti). Dari mana kau?
Sandjojo : Kau tidak menerkanya? (Tertawa memandang kearah lain). Mengira
pun tidak tahu? Bagaimana kau bisa menyelami jiwaku? (Tertawa
pelan tetapi mengandung perasaan yang tajam, sebab ingin
menyakitkan hati, dan ingin menekankan bahwa ia tidak lebih
bodoh). Aku bersembunyi di warung sebelah, minum kopi dengan
hidangan yang hangat. Kau sampai ke mana mengikuti sahabatmu?
Siswadi menelan perasan marahnya. Memandangi dengan mata yang tajam
bercampur kasihan.
Sandjojo : Kau memang sahabatku terbaik yang pernah aku kenal.
Siswadi : Kau sengaja mempermainkan aku?
Sandjoojo : Mempermainkan tidak. Masa mempermainkan? Aku berbuat apa yang
lahir dalam hatiku. Kau yang salah sangka sebab kau hanya
membayangkan semuanya yang buruk dalam hatiku.
Siswadi : (Bangkit menatap). Siapa yang mengatakan bahwa kau akan pergi
menggali impian. Dan tidak akan kembali sebelum tergenggam intan
di tapak tanganmu?
Sandjoojo : Soalnya, hanya tiba-tiba aku tidak jadi mengerjakan.di samping itu
ingin membuktikan bahwa terkaanmu atas jiwa rohaniku tak akan
bisa berhasil.
Siswadi : Kau sendiri sebenarnya sudah tahu apa yang terpendam dalam jiwa
ragamu, hanya kau tidak sanggup menghadapi atau mengalahkan
siapa yang mencengram dan menguasai pikiranmu selama ini.
Sandjojo : Masa demikian keadaannya?
Siswadi : Ya, demikian kalau kau mau
tahu. Sandjojo : Demikian keadaan,
Sarbini?
Sarbini : Aku tak tahu tentang apa jiwamu. Yang jelas aku membawa makanan
untuk malam ini. Kita tidak perlu bertengkar malam ini. Kita makan
bersama. Aku ingin merayakan hari keberuntunganku.
Sandjojo : Keberuntungan?
Sarbini : Aku mendapat sebutir intan kemarin pagi. Dan yang lebih dari itu aku
akan mendapatkan gadis yang mungkin mau menjadi istriku.
Sandjojo terbelalak, memandangi Sarbini yang menjadi cemas dan khawatir akan
dirampas.
Sarbini : Sebutir kecil saja. Hanya untuk peralatan kawin, yang telah lama
saya idamkan.
Sandjojo : Sebutir kecil kemarin pagi?
Sarbini : Kudapat waktu iseng-iseng mendulang di belokan sungai.
Sandjojo : Sebutir kecil waktu iseng-iseng mendulang di belokan sungai?
(tercengang terdiam). Kau tidak berharap waktu itu. Kau tidak
dibebani impian-impian mendapatkan intan waktu kau
mendapatkannya?
Sarbini : Aku tidak menyangka sama sekali.
Siswadi : Kau tidak bohong? Sungguh intan itu kau dapatkan di belokan sungai?
Sarbini : Buat apa aku berbohong padamu, San? Aku bercita-cita sangat
sederhana. Tidak akan memimpikan ingin membongkar semua intan
yang terpendam.
Sandjojo : (Gemetar tangannya memegang pisau, menelungkup di jeruji kayu
memandang keluar dengan air mata yang menetes). O, siapa
sebenarnya yang menguasai nasib ini? Siapa sebenarnya yang
berkuasa atas jiwa dan segala kejadiannya? (Menjadi gelisah, ada
sesuatu yang dipikirkan). Sarbini yang tidak berharap apa pun atas
impiannya, diberikan sebutir intan dengan mendulang di tepi sungai
yang dangkal. (Berbalik, menangis berbalik menelungkup ke
bangku).
Sarbini : (Berdiri mendekati minuman). Minum, San. Kau harus minum dan
istirahat.
Siswadi memberi isyarat supaya Sarbini tidak mengganggu.
Sarbini : (Mengangguk). Minuman ada di dekatmu. Kuambil nasi sebentar lagi,
kau suka makan sarden kan?
Sandjojo : Katakan padakum, Sis, siapa sebenarnya yang menguasai nasib
seseorang?
Siswadi : Kesadaran yang menguasai nasib kita.
Sandjojo : Jadi, tidak ada campur tangan Tuhan dalam nasib
kita? Siswadi : Kesadaran ialah Tuhan yang kau maksudkan bagiku.
Sandjojo : (Pada Siswadi). Malam ini aku akan betul-betul pergi. Kau tidak usah
mencari. Sebab aku tidak akan bersembunyi lagi untuk menyakiti
hatimu. Aku akan pergi mendulang mulai malam ini, di mana Sarbini
mendapatkan intan.
Sarbini : Amat berbahaya mendulang dimalam
hari. Sandjojo : Di sini aku lebih berbahaya.
Sarbini : Sungai itu di balik belukar yang
lebat. Sandjojo : Kaupikir aku takut
menghadapinya?
Sarbini : Tidak, Sandjojo. Aku hanya memberitahu. Sebab seminggu yang lalu
ada yang meninggal sebab di patok ular. Belokan sungai itu pun
bukan kepunyaanku.
Sandjojo : Teruskan kau makan besar. Aku mendoakan dari sana agar kalian
mendapat rahmat yang lebih besar. (Mengambil linggis dan batere
lalu melangkah. Sampai di pintu berhenti). Mari kita berlomba
mencari mana yang benar!
Sandjojo pergi, Siswadi hendak mengikuti terus, tetapi diingatkan oleh Sarbini. Dia
telah merasa jengkel terhadap Sandjojo sebab sikapnya yang selalu menyakitkan
hati.
Sarbini : Sudahlah biar dia mengikuti pikirannya. Ia akan mendapatkan apa
yang ia cari. Ialah penyakit demam malaria. (Tertawa).
Siswadi memandang keluar tidak sampai hati.
Sarbini : Nasi sudah hampir masak kita mengoreng ikan kaleng ini.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara Sandjojo yang menjanjikan sesuatu yang tak
menentu.
Siswadi : Suaranya amat perih terdengar.
Sarbini menurunkan nasi, kemudian ia memasang pengorengan, menuangkan
minyak dan membawa nasi ke atas meja. Dan menyiapkan piring.
Siswandi : Kau tidak apa-apa tentang penderitaan Sardjojo?
Sarbini : Merasa mesti merasa. Sebab aku masih mempunyai perasaan yang
baik. Tetapi aku tidak mau berbuat apapun. Sebab tahu bahwa
tidak ada faedahnya.
Siswadi : (Suara itu makin jauh). Terasa bahwa dia makin kedinginan.
Sarbini : Jangan kau pikirkan dia!!
Siswadi : Ia menghadapi nasib yang malang. Aku tak bisa membiarkannya.
Tunggulah rumah ini. Aku pergi menyusul. (Pergi hendak menyusul).
Sarbini tertawa sebab ia sudah jengkel pula.
Baru Sarbini mengambil penanak nasi, dari jauh terdengar suara Sandjojo memanggil
-manggil sampai di dalam, tangan mengacung memandang. Dengan
suara parau tetapi penuh kegirangan.
Sandjojo : E..Siswadi! Sarbini! Temanku yang karib. Coba terka, apa yang aku
genggam ini? Aku telah dapatkan impian itu. Aku dapatkan impian
itu.
Siswadi dan Sarbini memandang ke luar, Sanjojo masuk dan, Sandjojo mangulurkan
tangan menunjukan sebutir benda yang bercahaya pada mereka
berdua.
Sandjojo : Apa yang kau lihat di tanganku ini tuan-tuan? Apa? Sebutir intan! Siapa
masih sanggup mengatakan bahwa nasib tak akan ku jumpai. Masih
sangsi bahwa impianku menghancurkan jiwa ragaku?
Kedua teman itu memandangi dengan heran dan tidak menyangka sama sekali.
Dalam hati ikut girang pula. Sebab terpikir Sadjojo dengan demikian bisa sembuh
dari bayangan impian. Sandjojo kembali menggenggam dan memandangi dengan
tersenyum.
Siswadi : Aku ikut bergirang hati.
Sarbini : Saya pun ikut bergirang. Sebab kau sudah mencapai apa yang kau
inginkan!
Sandjojo : Kalian tidak menaruh iri hati?
Siawadi : Apa yang harus kami irikan? Aku hanya mengharapkan kau sadar
kembali.
Sandjojo : (Menatap genggaman intan dengan muka berseri-seri, duduk)
Siswadi : Kita pulang bila intan itu laku. Itu cukup untuk
modalmu. Sandjojo : Pulang?
Siswadi : (Terkejut bukan main dan menatapnya dengan tajam). Jadi, apa
rencanamu? Kau berjanji akan pulang jika telah mendapatkan
modal?
Sandjojo : Dulu sebelum dapat. Rasanya cukup dengan modal berapa
saja. Sarbini : Itu sudah cukup banyak.
Sandjojo : Heh Diam Kau!
Sandjojo : Kalau kau mau pulang, aku akan memberi kau uang, sebaiknya bawa
saja uang itu. Dan dirikan di kampungku sebuah rumah, dan tuliskan
di depan rumah namaku dengan huruf besar, dan beritahukan
kepada Sunarsih, bahwa aku telah mendirikan rumah besar.
Siswadi : San, kau bisa memulai rumah tangga dengan modal itu.
Sandjojo : Tidak. Aku tidak akan memulai rumah tangga. (Sinis). Jika kau jadi
pulang, cukup siarkan bahwa aku telah mempunyai intan berharga
mahal. Hingga semua perempuan memikirkan dan
mengharapkan.
Terangkan kepada Sunarsih bagaimana keadaanku. Hingga timbul
lagi cintanya. Siarkan di mana aku berada sekarang. Hingga tiap
orang mengirim surat padaku, menanyakan atau menawarkan anak
gadisnya. (Dengan suara dendam).
Siswadi : Aku pulang besok pagi. Cukup aku membantu perjalananmu sampai
malam ini. Terserah bagaimana kau akan menyelesaikan.
Sandjojo : Kau juga pulang? (Pada Sarbini)
Sarbini : Ya. Saya juga pulang. Saya akan mendirikan bengkel sepeda atau
apapun dengan modal ini
Sandjojo : Ya. Sebaiknya kau memang pulang saja. Agar semua orang tahu
bahwa kekerasan hati itu sukar dicari (Menyalakan rokok acuh tak
acuh, menyindir siswadi )
Sarbini : (Bingung menghadapi, cemas bahwa akan ada sesuatu, sebab
melihat Sandjojo membawa pisau di ikat pinggangnya. Dan melihat
Siswadi tampak tersinggung perasaannya dengan kata-kata
Sandjojo). Aku pergi dulu (Pergi keluar). Kau nanti ikut makan besar
kan San?
Sandjojo : Ya, tentu. Tentu ikut.
Siswadi : Ya sebaiknya kau pergi agar tidak ikut tersinggung perasaanmu.
Sandjojo : Diam kau! (Dilemparkanya apa yang di genggam di tangan). Apa pun
anggapanmu. Aku akhirnya akan mengakui bahwa akulah yang
benar dan kuat. Kau pulang sekarang. Tetapi janjiku kucabut. Aku
tidak akan memberi bekal pulang untukmu.
Siswadi : Aku tidak mengharapkan uangmu. Aku sudah tidak mau menemani
kau di sini.
Sandjojo : Baik. (Keluar. Sampai di halaman ia berhenti menirukan Siswadi yang
terakhir). Ya masing-masing sama. Hidup dengan beban keinginan
yang tidak merasa terpenuhkan. Tetapi yang tidak sama, bagaimana
kita menguasainya. (Suara makin parau dan hilang dengan suara
tertawa yang merendahkan).
Cahaya perlahan gelap. Ketika terang kembali, hari sudah pagi.
Tampak Siswadi memasukan beberapa kepunyaannya ke dalam ransel. Pintu
diketuk orang, ia berpikir bahwa itu Sandjojo.
Masuk Sunarsih dengan tersenyum. Berkata waktu di belakang
Siswadi. Sunarsih : Saya bukan tuan besar, Sis.
Siswadi : (Berpaling, demikian terkejut). Narsih? (Memandang tidak percaya)
Sunarsih : Ya, aku Narsih!
Keduanya berpandangan.
Sunarsih : Jangan memandangku dengan begitu sangsi. Tidak masuk akalkah
seorang perempuan sampai di daerah ini?
Siswadi : Duduklah! Kau datang
sendirian? Sunarsih : Ada kawanku
kemari
.Siawadi : Dan barang-barangmu?
Sunarsih : Di sana juga, di rumah seberang sungai.
Siswadi : Sangat kebetulan kau datang. Nar, kami pun secepatnya akan
pulang. Sunarsih : Sandjojo?
Siswadi : Ya, ia pun pulang mestinya.
Sunarsih : Di sini kau berdiam selama
ini? Siswadi : Ya, di sini.
Sunarsih : Bagaimana keadaan Sandjojo sampai sekarang?
Siswadi : Ia baik-baik saja. Sebentar ia kan kucari. Kau mengasolah seenaknya.
Dan sebelum itu, ceritakan bagaimana kau bisa kemari hanya
dengan seorang teman?
Sunarsih : (Mengambil Mandau, dilihatnnya dengan penuh perhatian). Aku rindu
padanya. Dan merasa bersalah. Aku menyakiti hatinya hingga ia
pergi selama ini memendam dirinya di tengah penggalian intan. Ada
seorang kenalanku seorang gadis Kalimantan, ia rindu ayah ibunya.
Dan ia sanggup mengantarkanku kemari. Tapi hari ini ia tidak sempat
karena rindu pada ayah ibunya tidak bisa ditahan. Aku pergi ke sini
setelah diberi tahu letak rumah ini oleh orang tuanya.
Siswadi : Bagaimana selama perjalanan? (Menolong membukakan Mandau)
Sunarsih : Lancar. Tidak ada kesukaran apa-apa kecuali makan yang sulit di
perjalanan.
Siswadi : Kita akan pulang sama-sama setelah selesai di sini. Usahakanlah
Sandjojo mau pulang bersama kita.
Sunarsih : Ia bermaksud tidak pulang?
Siswadi : Ia ingin mendapat intan lebih banyak lagi. Padahal telah dapat
lumayan.
Sunarsih : (Terpaksa mendengarnya). Kenapa dia tak hendak pulang? Aku
menyesali segala sikapku yang telah lampau. Aku hanya bermaksud
bermain-main.
Siswadi : Apa yang kau katakan dulu?
Sunarsih : Aku hanya senda-gurau mengatakan waktu dia iseng menanyakan
”apa yang kau cita-citakan tentang seorang suami?”. Ya dengan
tertawa aku menjawab ”aku ingin seorang suami kaya, tidak macam
kau”, itu diterimanya sungguh-sungguh. Masak aku berkata sungguh-
sungguh sedangkan aku sudah tahu bahwa ia tidak berada. Sejak itu
ia tidak datang lagi. Dan pergi dengan meninggalkan surat yang
mengatakan ”Dia mau pergi mencari dunia yang tidak
mengecewakan”.
Siswadi : Ya, mudah-mudahan saja apa yang sebenarnya terjadi dia percaya.
Dan mau memahami kembali. Usahakanlah ia mau pulang bersama
kita secepatnya. Kau tunggu di sini. Aku mecari dia. Kau bisa
memasak apa-apa kalau mau.
Sunarsih : Aku mau ikut
mencari. Siswadi : Kau tunggu di
rumah.
Kebetulan Sarbini datang, membawa ikan dengan gembira sambil berlari-lari.
Sarbini : Si! Siswadi aku dapat yang besar-besar! (Terkejut masuk hampir
menubruk Sunarsih). Oh, maafkan, Nona!
Sarbini memandang gelisah
Siswadi : Kenalkan ia kawanku, kawan karib. Sunarsih.
Keduanya berkenalan.
Siswadi : Kau temani dia Sar. Aku pergi mencari Sandjojo. Jangan kau ganggu
dia Sar.
Ketiganya tertawa.
Sarbini : Duduklah seenaknya. Ya, hanya ini tempatnya.
Sunarsih : (Langsung mendekati meja. Melihat keadaan meraka dalam kamar).
Mereka memasak setiap hari sendiri?
Sarbini : (Tertawa). Ya, kita masak sendiri. Cuci sendiri. Mandi
sendiri.(Tertawa). Ya hampir segalanya sendiri.
Sunarsih : Tidak ada perempuan yang bisa bekerja sebagai
pembantu? Sarbini : Hampir tidak ada pekerja rumah tangga di sini.
Sunarsih : Bagaimana pendapatan menggali intan?
Sarbini : Kalau nasib untung menjadi nyata. Kalau nasib jelek setahun awak
bergumul denagn lumpur, sebutir batu pun tidak pernah tersentuh.
(Tertawa). Tetapi saya hidup senang di sini sebab punya rencana
yang baik, sekalipun sederhana.
Sunarsih : Tidak pernah terjadi kecelakaan dalam penggalian di tengah hutan
demikian?
Sarbini : Ooo….(Tertawa). Banyak. Banyak sekali. Hampir bisa dikatakan tiga
hari sekali.kita mendengar kabar seseorang mati tertimbun tanah,
atau lengan patah waktu tangga yang dipakainya runtuh. Sekali-kali
ada yang mendapatkan penyakit demam demit. (Tertawa).
Sunarsih : (Tertawa). Apa itu demam demit?
Sarbini : Itu demam yang tiba-tiba menyerang dengan kerasnya dan karena
sukar mencari obat, matilah ia. Dan banyak lagi. Akibat macam-
macam di luar penderitaan kecelakaan mereka. Tidak sedikit yang
menjadi gila karena terlalu lama tidak mendapat intan, atau tiba-tiba
mendapat intan besar. Hingga ia tidak percaya terhadap dirinya atau
mencurigai orang lain. Sekali- kali ia menjadi gila karena bingung
akan mengunakan uang itu. Hingga menjadi tertekan jiwanya siang
malam oleh ketakutan akan kehilangan intan. Dan banyak lagi yang
menjadikan ia tidak mendapat harta, tapi mendapat maut yang
sangat menyedihkan.
Sunarsih : Bagaimana dengan Sandjojo? Ia telah sadar apa yang ia kerjakan?
Sarbini tak sadar telah menceritakan semuanya karena memang kebiasaan ia
bercerita seenaknya tentang segala hal. Dia tak mengerti apa akibat perkataanya
terhadap jiwa Sunarsih.
Sarbini : Ya, hampir mengarah gelisah. Setelah mendapatkan intan kemarin.
Selama ini ia telah terganggu pikirannya, sebab terlalu lama
mengharapkan sesuatu yang berharga. Untunglah kau datang waktu
ini. Mudah-mudahan kau bisa menolong jiwanya dari kegelisahan itu.
Sunarsih : Ia sudah ada tanda-tanda mendekati kebingungannya?
Sarbini : Tidak hanya bingung. Tadi pagi ia hampir berkelahi dengan Siswadi
perkara jiwa masing-masing. (Dia tidak sadar sebab kebiasaanya. Ia
menirukan kejadian tadi tentang perselisihannya, dengan ditambah-
tambahi semaunya). Untunglah ada saya. Yang masih bisa bersifat
sebar dan tenang menghadapi segala hal. Ia di pintu ini dengan
pisaunya (Menirukan, sebentar menjadi Sandjojo sebentar menjadi
Siswadi) :Kita pulang sebaiknya San, setelah intan ini laku” .(Berganti
sebagai Sandjojo)”Pulang?”(Berganti sebagai Siswadi)”Ya pulang
sebab ada yang menunggu kau di rumah”(Berganti sebagai
Sandjojo)”Pulang kampung hanya dengan uang tiga ratus
ribu?”(Berganti sebagai Siswadi) ”Jadi mau apa selanjutnya?
(Berganti sebagai Sandjojo) ”Tinggal di sini. Dulu rasanya cukup
dengan uang berapapun, tetapi ternyata belum apa-apa. Dan kau
memang sebaiknya pulang. Beritahukan pada Sunarsih bahwa aku
telah mendapatkan intan. Dan bawalah uang itu lalu belilah rumah
besar di sana.”(Berganti sebagai Siswadi)”Ya memang aku akan
pulang besok”(Sebagai Sandjojo)”Pulanglah, dengan begitu akan di
ketahui siapa yang sebenarnya laki-laki” (Sebagai Siswadi) ”Kau
datang kemari karena apa?”(Sebagai Sandjojo) ”Menggali apa yang
terpendam dalam impianku” (Sebagai Siswadi)”Tidak, kau lari
sebenarnya. Sebab kau tahu. Dan merasa tidak berharga. Berpisah
baik berpisah. Tetapi kau akan menyesal”(Sebagai Sandjojo)
”Menyesal atau tidak, peduli apa! Aku kemari pun tidak ada
perjanjian apa pun!” Dan saya bertindak dengan tenang”Jangan
berselisih demikian tehadap teman sendiri. Kita bersama sama di
tanah rantau. Harus bisa mengerti penderitaan satu sama lain” dan
mereka jadi tenang kembali.”Persoalan ini kan hanya soal kecil yang
bisa dipikirkan dengan baik. Mari kita makan apa saja yang kita
punya. Saya habis mendapat untung. Mari kita rayakan”.
(Memandang, bangga). Nah, demikian kita berdamai. (Meyakinkan).
Masuk tiba-tiba Sandjojo, seperti acuh tak acuh. Memandang sekilas Sunarsih yang
memandangnya dengan penuh harap dan kemesraan.
Sandjojo : He, kau Nar?
Sunarsih : Ya, aku San.
Sandjojo : Sudah lama?
Sarbini : (Merasa tidak enak, ia mengangguk pada Sunarsih). Saya ada perlu
di luar.
Sandjojo : Ke mana kau Sar?
Sarbini : Aku ada perlu
sebentar
Sandjojo : Kau jangan merasa tidak enak. Sunarsih ke mari bukan mencari
aku. Sarbini : Saya mau keluar sebetar. (Terus keluar) Maaf Nar.
Sunarsih hampir tidak mendengar,
mengangguk. Sandjojo : Tiba-tiba sekali kau
datang
Sunarsih : Ya, tiba-tiba juga aku mendapat jalan dan bisa kemari.
Sandjojo : Ada keperluan yang luar biasa hingga datang kemari? (Terus tidak
memandang, tetapi langsung ke bangku sebelah. Berdiri
membelakangi Sunarsih dengan mempermainkan korek api)
Sunarsih : Aku datang untuk menjemput kau San!
Sandjojo : O…ingin tahu masih hidup dan
tidaknya? Sunarsih : Aku rindu padamu.
Sandjojo tertawa tiba-tiba dengan menyakitkan hati.
Sunarsih : Aku benar-benar rindu selama ini.
Sandjojo : Rindu jangan lahir karena perasan sayang? Sayang seribu sayang
(Tertawa). Masih ada seorang yang merindukan (Tertawa). Masih
beruntung Sandjojo!
Sunarsih : Aku rindu sebab merasa tidak bisa berpisah lebih lama lagi.
Sandjojo : Itu lucu sekali
Sunarsih : Apa yang lucu
sekali? Sandjojo : Itunya
Sunarsih : Masa kau tidak percaya. Bahwa aku merindukan kau selama
ini? Sandjojo : Percaya? Percaya!
Sunarsih : Kau belum di beritahukan oleh Siswadi apa yang tejadi atas diriku
sepeninggalmu? Tentang perkatanku dulu yang menyebabkan
segala kejadian pahit ini?
Sandjojo : Dia belum menceritakan apa-apa
Sunarsih : (Mendekati dari belakang) Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu
dulu. Aku tidak sungguh-sungguh dengan perkataanku.
Sandjojo : Demikian? (Tersenyum)
Sunarsih : Soalnya kau terlalu perasa. Hingga menerima perkataan yang tidak
kusadari itu sebagai suatu hal yang sungguh-sungguh.
Sandjojo seakan-akan menerima dan menyesali.
Sunarsih : Kau mau memaafkan kesalahanku
bukan? Sandjojo diam seperti memikirkan
Sandjojo : Aku tidak mengira sama sekali waktu itu bahwa kau bersenda
gurau. Sunarsih : Kau tak usah ingat hal iu. Aku berjanji tidak akan mengulangi.
Sandjojo melirikan matanya, ia sengaja memberi hati dan harapan, untuk kemudian
dihancurkannya kembali harapan itu sebagai pelunasan balas dendam.
Sunarsih : Kau masih ingat segala kenangan yang indah pada perjalanan
percintaan kita?
Sandjojo : masih ingat nar, ingat sekali.
Sunarsih : (Makin medekat). San! Kaulah satu-satunya harapanku selama ini.
Jangan tinggalkan aku. Aku menyusul ke sini karena cintaku
padamu.
Sandjojo memegang tangan Sunarsih yang diulurkan, memegang dengan mesra.
Sunarsih : Ayah ibu talah setuju sepulang kita, mengadakan perhelatan
perkawinan kita.
Sandjojo : Yang sanggup menghadapi kenyataan sepahit-pahitnya.
Sunarsih : Ya, demikian. Dan marilah kita secepatnya pulang kembali. Kita
dirikan selanjutnya satu rumah yang bisa berbahagia.
Sandjojo : Cukup kita mendirikan rumah tangga dengan persiapan sebutir intan?
Sunarsih : Itu lebih dari cukup (Tercengang) Aku tak minta seorang suami yang
lebih kaya.
Sandjojo : Masa?
Sunarsih : (Tersinggung perasaannya). Masa? Jadi, apa yang kau pikirkan
tentang diriku?
Sandjojo : Kau tidak sungguh-sungguh dalam segenap perkataanmu.
Narsih terkejut , ia mundur takut akan pandangan yang menaruh dendam dan
kebencian itu.
Sandjojo : Aku tahu apa yang sebenarnya kau pendam dalam dirimu. Kau datang
kepadaku, hanya untuk melihat apakah aku telah mendapat intan atau
belum. Untuk mendapatkan jiwaku yang lunak seperti dulu, dan dapat
memiliki harta itu. Kau sembunyikan jiwa ragamu yang sebenanya
dengan merubah iar muka menjadi roman yang manis, mesra dan
menaruh sayang.(Tersenyum memandangi dengan pandangan mata
yang tidak mengacuhkan)
Sunarsih : (Menjadi marah mendengar ucapan itu, sebab apa yang terkandung
selama ini adalah kecintaannya yang tulus, tapi tetap ada perasaan
kasihan dan keinginan tetap membantu). Tidak San! Tidak benar apa
yang kau katakan tentang diriku.
Sandjojo : Cinta perempuan sekarang tidak sanggup mendorong hatinya untuk
melayari lautan. Menyusur sungai Barito yang memerlukan waktu
berhari-hari untuk dapat mencari tempat penggalian daerah ini.
Sunarsih : Aku hampir mati sebab mencari kau, San. Sebab ingin menemukan
jiwamu membantu untuk bangkit kembali, mempersiapkan masa
depan yang bisa kita harapkan. Rindu tiap malam, menjerit di atas
geladak kapal, saat jatuhnya malam di mana sekeliling hanyalah
kesunyian yang mencerminkan kembali bayangan jiwa, yang sunyi
dan lebat luka-luka masa lampau.
Sandjojo : Duka dan luka lampau. Amat manis perkataan itu.
Sunarsih : Ia amat manis dikatakan. Tetapi coba kau yang menanggungnya?
Sandjojo tidak bisa menjawabnya dalam sekejap.
Sunarsih : O, lihatlah bayangan jiwamu, San. Kau lihatlah dengan tenang.
Mengapa kau tak pernah lepaskan segenap tikaman yang
menghancurkan jiwamu selama ini?
Sandjojo : (Berpaling memandangi, dengan memicingkan matanya). Masa tidak
pernah?
Sunarsih : Ya, tidak akan pernah.
Sandjojo : Kau seperti tahu benar tentang ketentuan yang akan terjadi atas jiwa
seseorang
Sunarsih : Tahu memang tidak. Tetapi, mengambil kesimpulan secara logis
berdasarkan pengalaman, masa tidak bisa?
Sandjojo : O…bisa, bisa, bisa Nona manis. Tetapi dipercaya atau tidak
kebenarannya, saya pun berhak mempercayainya atau tidak.
Sunarsih : Kau tidak akan sanggup mengakui bahwa kau percaya.

Sandjojo : Persis macam bayi kalau begitu ragaku? (Tertawa dan pergi ke luar,
di halaman ia berpaling). Aku tidak percaya lagi kepada seorang pun
di dunia ini. Aku akan mencari intan. Di mana ia memberi dunia
kepada jiwaku yang penuh kekecewaan, kekosongan, dan kesunyian
dan mencari rahasia jiwa perempuan yang penuh tikaman-tikaman
yang paling melukai. Kalau kau sayang padaku, ikutlah denganku.
Jangan kau tarik kembali kepada kampung halaman yang telah
melemparkan aku selama ini.
Sunarsih : Aku memang sayang kepadamu, tetapi tidak harus dengan
membuktikan secara begitu. Sebab aku tahu alasanmu.
Sandjojo : Saya tunggu jika Nona sebenarnya menaruh sayang. (Pergi keluar)
Sandjojo : Ayolah nar ikutlah denganku ayo nar, kita akan bersenang-senang
dilumpur penggalian hahahahahahaha
Sandjojo tertawa makin jauh.
Sunarsih : (Terpaku bingung dan gelisah tidak bisa menentukan). Tunggu, aku
ikut kau! (Sandjojo pun lari, tetapi tetap di kejar Sunarsih). Jangan
tinggalkan aku. Tunggulah! Aku ikut dengan kau. (Dari jauh
terdengar Sandjojo tertawa). Ho…hoo…ho…
Sunyi kembali sejenak.
Masuk Sarbini, dalam keadaan bingung memikirkan Sunarsih yang sayang pada
Sandjojo. Yang dipikirkan sudah tidak lagi.
Sarbini : Ooh. Bagaimana perempuan itu? Orang sudah tidak lagi beres
otaknya, bisa saja dia tetap mencintai. Aku yang segar bugar begini
tidak seorang cantik mencintai? (Bercermin,, duduk di meja, jengkel
menirukan kata-kata Sunarsih. Sesaat dia berbaring tiba-tiba berdiri.
Teringat bahwa mungkin saat-saat itu waktunya siapa gadis seberang
sungai itu lewat pulang dari ladang. Dia bangkit) Aku sayang padamu
San, jangan tinggalkan aku, aku ikut kemanapun kau pergi. (Tertawa
sendirian). Kenapa tidak mengatakan”Aku sayang padamu Sar! Aku
ikut kau. Kau dengan kedua tanganku yang terbuka lebar kuterima,
waktu itu juga”. Perempuan tidak tahu hati laki-laki! Apa yang dia
harapkan dari laki-laki! Apa yang diharapkan dari laki-laki macam dia.
Tampang juga tidak jauh berbeda denganku. Tidak tahu aku apa yang
ajaib ini. (Membaringkan diri, tidak peduli dan merokok)
Siswadi masuk.
Siswadi : Di mana Sunarsih?
Sarbini : Ia lari mengejar Sandjojo. Dia akan ikut menggali lubang intan.
Siswadi : (Heran, tercengang dan khawatir). Tanah berbahaya sehabis hujan
lebat begini. Ke mana mereka?
Sarbini : Tahulah. Aku sendiri heran memikirkan perempuan secantik itu, bisa
jatuh cinta luar biasa. Masa pada orang macam Sandjojo yang
berotak miring. Sampai dia berkata,”Aku sayang padamu. Jangan
tinggalkan aku!”
Siswadi akan keluar. Datang Sandjojo. Keduanya terkejut. Ketiganya berpandangan
seperti tidak ada kejadian apa-apa. Sandjojo masuk terus berhenti di pintu,
menyalakan rokok. Siswadi menaruh curiga.
Siswadi : Di mana Sunarsih?
Sandjojo : Aku tidak mengurusi di mana
dia! Siswadi : Ia mengikuti pergimu.
Sandjojo : Mengikuti bagaimana?
Siswadi : (Ia berpaling pada Sarbini). Mana yang
betul? Sarbini : Ya, ia pergi menyusul.
Sandjojo : (acuh tak acuh, tapi mengawasi Siswadi yang menghadang di pintu).
Ya, ia menyusulkumenyusulku tadi
dipenggalian Siswadi : Dan sekarang?
Sandjojo : Tergelincir di lubang penggalian sebab mengejar
aku. Sswadi : Kau tidak menolongnya?
Sandjojo : Buat apa aku menolongnya sis!. Aku melihat dari atas dengan
senyumanku yang menghancurkan jiwanya. Kau jangan menolong.
(Sambil mengacungkan pisaunya).
Siswadi : (Memandang dengn tajam). Kau menghendaki kematiannya?
Sandjojo : Tidak, aku hanya menghendaki ia tergenang dalam lumpur
penggalian.
Siswadi : Ia sangat sayang padamu.
Sandjojo : (Tertawa). Sayang?Heh Sis! Ia hanya menghendaki uangku yang baru
diperoleh dengan cara yang mudah, pura-pura menyusul dan
menaruh sayang.
Siswadi : Itu hanya prasangkamu yang telah tidak menaruh kepercayaan pada
orang lain.
Sandjojo : Yah Dan Mungkin sekarang ia telah merasa lemas. (Memandang
dengan senyum menaruh puas). Kau jangan mengurus dia! Sebab
kau tidak ada hubungannya!
Siswadi : Ada hubungannya!
Sandjojo : Apa Ia tidak menaruh cinta padamu!
Siswadi : Hubungan bahwa kita sama-sama telah menerima
nasib. Sandjojo : Hubungan halus antara perasaan kemanusiaan?
Siswadi : Itu sebab perasaanku belum terbunuh macam perasaanmu yang
mengeliat siang malam mencari pemenuhan dahaganya.
Sandjojo : Mungkin benar kata-katamu. Aku memang menghendaki
kematiannya karena ia telah menjadi kehancuran jiwaku selama ini.
Keduanya terdiam. Sandjojo memandangi dengan tersenyum. Ia melanjutkan
mempermainkan pisau dengan meraut-raur kukunya.
Siswadi : Aku tak bisa membiarkan ia mati. Aku minta kau membolehkan aku
pergi. Berilah kesempatan kepadanya hidup kembali.
Sandjojo : Kau ingin pergi, pergilah!
Siswadi : Apa maksudmu mempermainkan pisau di depan pintu?
Sandjoj : Main-main untuk hanya sekedar menghibur hati yang gundah.
(Tersenyum).
Siswadi : (Mencoba melangkah, tetapi Sandjojo juga melangkah ke tengah
pintu). Aku hendak menolong dia! Kau tidak boleh membunuhnya.
Sandjojo : Seseorang akan membunuh seseorang yang hendak merampas harta
benda yang dengan susah payah dicarinya. Siapa pun
mempertahankan miliknya.
Siswadi : Aku tahu siapa sebenarnya merampas jiwa orang.
Dengan cekatan sekali Siswadi menghantam tangan Sandjojo. Pisau terpelanting.
Sandjojo membalik. Dihantamnya dari belakang jatuh tersungkur. Siswadi lari keluar.
Sarbini ikut lari, pintu dikunci dari luar. Meraka lari menyusul Narsih.
Sandjojo : (Bangun dengan payah, memegang kepalanya, berdiri meraih pintu,
lalu digoyang-goyangkan sekerasnya. Berteriak dengan parau). Akan
kubunuh kalian! Akan kubunuh semuanya. Siswadi, kau dengar
suaraku ini? Akan kubunuh kalian. (Pintu terbuka, tiba-tiba ia ingat
intan yang disimpannya dalam saku. Tapi intan itu tidak ada. Ia lupa
di mana menaruhnya) Intan? Intan! Intanku di mana, Sarbini! Kau
mencuri intanku? (Mencari segala tempat dibantingkan apa yang
ada, lari keluar dengan suara teriakan yang parau dengan langkah
payah).
Layar turun dengan cepat dan dramatis.

Anda mungkin juga menyukai