Anda di halaman 1dari 23

NASKAH TEATER

LAKON KALA WENGI

KARYA GUNUNG ARIFAN

BAGIAN 1

(Lampu remang remang menyala, terlihat 2 gadis sedang bercanda di setting sebuah kamar
dengan bantal-bantal dan juga pakaian piyama. Gadis-gadis itu tertawa cekikikan)

GADIS 1 : (Masuk ke panggung, membawa boneka jelangkung. Suasana mendadak hening,


GADIS 1 duduk di samping teman-temannya menunjukkan boneka tersebut. Lalu
ia melihat ke mata teman-temannya) Siap?

GADIS 2 : Kalau masuk beneran?

GADIS 1 : (Meletakkan boneka jalangkung dengan kasar, lalu berdiri berkacak pinggang
menghadap penonton) Dih, ya kan tujuan main jelangkung biar kita buktiin,
bener nggak boneka jelangkung itu bisa ngundang setan. Kayak pemeran
film horor endonesya kamu! Ndak mutu!

GADIS 3 : Udah to, ayo dimulai aja! (Menarik tangan GADIS 1 untuk kembali duduk)
Pokoknya, sebelum kita main jelangkung ini, kita berdoa dulu, biar kita
nggak diberikan kecelakaan dan tetap diberi perlindungan oleh Tuhan Yang
Maha Esa.

GADIS 1 : Mainan jelangkung kok pake berdoa dulu? Sinting kamu!

GADIS 2 : Iya! Aku setuju, ayo kita bersama-sama berdoa dulu. Supaya setan yang
masuk ke boneka jelangkung kita itu setan yang baik, yang nggak mau
nakut-nakutin kita, yang nggak mau bikin kita celaka!

GADIS 1 : Halah yaudah yaudah! Kita berdoa dulu! (Mulai memejamkan mata dan
mengangkat tangan setinggi dada) Hmm... Sebelum kita main jelangkung,
marilah kita berdoa menurut kepercayaan dan jumlah mantan masing-
masing. Berdoa, mulai!

(GADIS 2 berdoa sambil komat-kamit berisik sekali. GADIS 3 jadi terganggu, dan sesekali
memukul kepalanya agar dia tidak berisik)
GADIS 1 : Selesai! Hmm...Wes? Puas? Udah bisa dimulai main jelangkungnya?

(GADIS 2 dan 3 saling bertatapan, lalu mengangguk pelan kurang yakin. Lalu mereka
bertiga memegangi boneka jelangkung tersebut dan mulai menyakikan lagu pengundang
jelangkung)

Jelangkung... Jelangse...

Disini ada pesta... Pesta kecil-kecilan...

Datang tak dijemput, pulang tak diantar...

2X

(Lampu menyala redup dan padam beriringan dengan lagu jelangkung dinyanyikan. Hingga
akhir lagu dinyanyikan, lampu padam)

Gadis 1 : (berniat untuk melanjutkan lagu) Jelangkung... jelangse... Halaaaaah, kok malah
pada berhenti? Ayo to, sekali lagi!

(Lampu menyala redup perlahan-lahan. GADIS 2 dan GADIS 3 hilang dari panggung. Yang
terlihat hanyalah GADIS 1 dan seorang anak kecil dengan wajah putih, baju yang kotor
dengan tanah, dan rambut terurai berantakan, memegangi boneka jelangkung berdua. Gadis
1 berteriak keras, diikuti dengan suara gong dan lampu kembali padam)

(Paduan Suara menyanyikan lagu Jelangkung diiringi oleh gamelan)


BAGIAN 2

(Lampu menyala. Terlihat seorang bapak-bapak sedang membaca koran di sebuah ruangan
dengan meja dan sofa. Terlihat juga 2 orang anak-anak sedang bermain bersama, 1 anak
menghadap kanan panggung dan anak yang lain membelakangi penonton)

Seruni : (Masuk ke dalam panggung. Berhenti sejenak melihat anaknya bermain dengan
wajah sedih. Lalu berjalan kembali menuju sofa, duduk di sebelah suaminya) Mas
Wijaya...

Wijaya : Iya, Dik Seruni? (Sambil terus membaca koran dan membolak-balik halaman
koran)

Seruni : Mas, korannya tutup dulu... Seruni mau bicara... (Sembari menggoyang pundak
suaminya)

Wijaya : Iya, bicara aja... Mas dengarkan...

Seruni : (Merebut koran dari suaminya, melipat, dan meletakkannya di meja)

Wijaya : (Menatap Seruni dengan kecewa) Iya, Mas Wijaya dengarkan...

Seruni : Anak kita mas, kapan mau kita bawa ke dokter?

Wijaya : Dokter apa? Memangnya anak kita kenapa?

Seruni : Mas, berhentilah tidak peduli dengan anak kita! Anak kita itu tidak dalam
kondisi yang baik-baik saja. Ia sangat sulit berkomunikasi dengan orang lain,
sangat sulit untuk berbicara, bahkan kepada kita, kedua orang tuanya!

Wijaya : Sudahlah Seruni, janganlah kau suka membesar-besarkan masalah. Anak kita itu
masih kecil, wajar saja bila ia masih sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain,
atau dia memang memiliki pertumbuhan kemampuan verbal yang cenderung lebih
lambat dari anak-anak pada usianya. Kita hanya perlu mengerti kondisinya.

Seruni : Mas, ini bukan hal yang wajar! Anak kita sudah berusia 7 tahun! Anak kita
sudah berada di bangku sekolah dasar! Sudah berulang kali guru-gurunya
menemuiku untuk menyatakan bahwa anak kita seharusnya tidak diikutsertakan
dalam bangku sekolah dasar anak-anak pada umumnya! (Mulai menangis)

Wijaya : Istriku... (Memeluk istrinya yang mulai menangis) Jangan kau bersedih hati.
Anak kita adalah anak yang normal. Lihat, dia bisa berhitung, dia bisa
menggambar, dia bahkan terhitung anak yang pandai di kelasnya!

Seruni : (Melepaskan diri dari rangkulan suaminya) Tapi bukan itu saja masalahnya,
Mas. Anak kita... (Melihat ke arah anak-anak bermain dengan wajah ketakutan,
lalu kembali melihat wajah suaminya) Kau pasti masih ingat apa yang dikatakan
Nyonya Kemuning, kan? Itu... anak yang bernama Wengi.

Wijaya : (Hening sejenak, menghela napas panjang) Runi, sudah kubilang, bukan? Kau
terlalu membesar-besarkan masalah ini. Dengan kau membesar-besarkan masalah
ini, hal itu malah akan membuat psikologi anak kita semakin tertekan. Bayangkan
saja, dengan kau membawa-bawa masalah ini lagi, orang-orang akan berpikir
bahwa anak kita anak yang aneh, anak yang senang bermain dengan teman
fantasinya, dan orang-orang akan berpikir anak kita suka bermain dengan setan
atau semacamnya. Apa kau tak berpikir hal itu akan membuat anak kita akan
semakin sedih? (Hening sejenak, dengan wajah berpikir) Baiklah, untuk anak
semata wayang kita, aku akan telponkan psikolog anak terbaik di kota ini. Kau tak
perlu bersedih. Dan jangan membesar-besarkan masalah ini lagi, anak kita adalah
anak yang normal!

Seruni : Baiklah, kalau itu yang terbaik untuk Senja. Aku melakukan ini semua, karena
aku pun juga sudah kehabisan akal, apa yang harus aku usahakan lagi demi
kesembuhan anak kita, agar anak kita bisa menjadi anak yang normal seperti
anak-anak lain pada umumnya.

Wijaya : Aku mengerti. Hari ini juga kita akan mengkonsultasikannya pada psikolog anak
terbaik di kota ini. Akan ku buktikan padamu, bahwa aku akan menjadi ayah yang
baik untuk Senja. Kita akan berangkat sekarang. Kita akan ke rumah temanku, dia
pasti tahu psikolog anak terbaik di kota ini. Kita akan berangkat sekarang juga,
agar kamu tidak semakin kepikiran dengan masalah ini, dan tidak berpikir yang
tidak-tidak.
Seruni : (Tersenyum selagi memandangi suaminya. Berdiri, lalu berjalan ke arah tengah
panggung) Jesikaaa!! Jesikaaaa!!

Jesika : (Menjawab dari ruangan lain) Iya, Nyaaaah! Sebentar, Nyah!! (Berlari ke arah
Seruni) Ya, Nyah? Ada apa?

Seruni : Tuan dan Nyonya mau keluar untuk menemui psikolog untuk Senja, tolong
kamu jaga Senja baik-baik. Jangan lupa, ajak dia bermain! Jangan biarkan dia asik
bermain sendiri dengan teman khayalannya itu! Dan satu lagi, tolong kamu
bersihkan seisi rumah ini. Nanti siang Nyonya Kemuning mau ke rumah kita.
Saya nggak mau nanti siang waktu Nyonya Kemuning kesini, bukan setan yang
dia temui, malah lantai kotor dan sarang laba-laba.

Jesika : Hah? Memangnya rumah kita ada setannya nyah?

Seruni : Halah udah kamu nggak usah kebanyakan tanya! Udah kamu itu taunya masak
sama bersih-bersih! Mau ada jin iprit juga paling jin nya masih takut sama kamu!

Jesika : (Manyun-manyun sambil memainkan bagia bawah kaosnya)

Wijaya : Sudah, sudah. Kamu jangan suka menghina Jesika gitu to. Begini-begini, Jesika
itu sayang sama anak kita Senja. Buktinya, sampai sekarang, dia mau merawat
Senja dan mengurus semua keperluan Senja. Kita sudah berkali-kali berganti
pembantu, tapi kan Jesika yang sampai sekarang bertahan paling lama. Makanya,
kamu jangan bikin Jesika nggak betah di rumah kita.

Jesika : Aaaaah, Tuan bisa aja. Buat Tuan, apa sih yang nggak Jesika kasih. (Sambil
meremas-remas tangan Wijaya dengan malu-malu genit)

Seruni : (Memisahkan Jesika dengan Wijaya dengan paksa) Heh coro mabur!! Berani-
beraninya kamu genit sama suami saya! Minta dikubur hidup-hidup kamu?

Wijaya : Sudah, sudah! Yaudah ya Jes, saya sama Seruni berangkat dulu. Kamu ati-ati di
rumah, jaga Senja baik-baik.

Seruni : Jangan lupa bersih-bersih, dan jangan tidur! Nanti kalo Nyonya Kemuning
dateng kamu malah nggak denger! (Beranjak pergi dengan Wijaya)
Jesika : Anak sakit jiwa aja dipiara! Hih, sudi men nek dadi aku! (Duduk di sofa,
mengeluarkan alat make up dan mulai berdandan) Kalo aja Tuan Wijaya itu nggak
baik, nggak ganteng, nggak seksi, mana mau saya kerja di sini, ngurusin nenek
sihir dan anaknya yang sakit jiwa itu! (Berdiri, berjalan menuju tengah panggung)
Untung aja, Tuan Wijaya itu selalu baik sama saya. Hot daddy lagi! Hmm
pembantu-pembantu yang lain saja iri sama saya, punya majikan kok mirip sama
Edward Cullen gitu. Ihihihihihihihihihihi! Yaaah, si Seruni aja itu yang resek.
Galaknya kayak ratu iblis lagi PMS. Punya anak sakit jiwa lagi. (Melihat ke arah
Senja) Heh, kamu denger nggak??!! Dasar sakit jiwa!! Bisanya merepotkan orang
saja! Sudah mendingan kamu nyemplung jurang aja, dibawa sama teman imajinasi
kamu itu! (Menghampiri Senja) Mana teman imajinasi kamu? Ha? Ini?
(Menendang boneka) Atau ini? (Menendang mainan yang lain) Hih, anak kok
sukanya cari perhatian! (Menyeret baju Senja) Sudah, kamu masuk kamar aja.
Ruang tamu mau saya pel!

(Jesika dan Senja meninggalkan panggung)

(Tinggal Wengi yang ada di panggung. Gamelan Jawa mulai dimainkan. Setan-setan sebagai
penari latar memasuki panggung dan melakukan teatrikal)

(Setelah teatrikal selesai, terdengar suara Kemuning yang baru saja datang di luar rumah)

Kemuning : Permisi. Nyonya Seruni? Tuan Wijaya? Halo, permisi. Ada orang di rumah?
Jesika?

(Terlihat Wengi berjalan dari belakang Kemuning. Kemuning sadar sedang diikuti,
menengokkan kepalanya ke arah Wengi dengan badan tetap kearah penonton)

Kemuning : J-Jadi, kau Wengi?

(Lampu padam)
BAGIAN 3

(Lampu menyala. Terlihat seorang wanita di sebuah gubug sedang membelai rambut seorang
anak yang sedang dipasung. Si anak sedang tidur di pangkuan Ningsih)

Wengi : (Mulai menangis terisak isak di pangkuan )

Ningsih : (Mulai menembangkan lagu Lingsir Wengi. Perlahan-lahan Wengi berhenti


menangis)

Wengi : Ibu, apakah warga desa akan tetap membenciku?

Ningsih : (Tetap diam dan terus membelai rambut anaknya)

Wengi : (Mengangkat kepala dari pangkuan ibunya) Apakah aku harus menerima
penderitaan ini sepanjang hidupku?

Ningsih : (Merapikan rambut Wengi dan sembari menarik kepala anaknya untuk tetap
berada di pangkuannya)

Wengi : (Menarik tubuhnya dari pelukan ibunya, dan berjalan ke arah tengah panggung)
Aku juga bosan, Bu, terus menanyakan ini, membawanya kedalam tidurku, hari
demi hari. Apakah aku akan segera mati seperti mereka, ataukah aku akan dewasa
dengan penyakit ini, terus dikucilkan, terus dijauhi dan dikutuk. Aku ingin
jawaban, Bu! Jawab aku, Bu!!

Ningsih : Apa yang harus Ibu jawab untuk meringakan penderitaanmu? Apakah
keberadaan Ibu tidak cukup bagimu? Apakah kasih sayang Ibu kurang Ibu berikan
untukmu? Apakah apa yang Ibu lakukan kurang untuk membuatmu setidaknya
berhenti berpikir seolah-olah Ibu bertanggung jawab atas keadaanmu sekarang
ini?

Wengi : Aku marah, Bu! Aku juga tidak mau menderita seperti ini! Mereka pikir, akulah
yang menyebabkan ini semua? (Melihat kakinya yang diikat tali pada sebuah kayu
besar) Apakah aku pantas mendapatkan ini semua, Bu?
Ningsih : (Mendekati Wengi. Memposisikan diri di belakang serong tubuh Wengi) Wengi,
anakku. Selama ini Ibu sudah berjuang mati-matian demi dirimu, Nak. Warga
desa bisa saja membunuhmu kapan saja. Ibu berlutut di depan mereka agar kau
dibiarkan hidup. Kita hidup di jaman yang sulit. Pihak dalam kraton pun enggan
untuk ikut campur dalam urusan ini, mereka akhirnya mengucilkan kita dan
memasung dirimu, Nak. Sudah ratusan kali Ibumu ini meminta tolong Sri Sultan
untuk memberikan jalan keluar dari kita, namun sampai saat ini, mereka tetap
menutup mata dan seolah tidak tahu. Apalagi yang Ibu harus lakukan, Nak?
Apalagi? Apakah kau pikir Ibu tidak marah? Apakah kau pikir, Ibumu masih
kurang berusaha?

(Tiba-tiba terdengar suara ramai orang-orang berbondong-bondong datang. Ningsih segera


menyuruh Wengi untuk bersembunyi di belakang tubuhnya, dikarenakan
tubuhnya masih dipasung dan tidak bisa pergi jauh)

Warga 1 : Ningsih, serahkan Wengi kepada kami!

Ningsih : Apa yang kalian mau dari anakku? Tidak cukupkah kalian memasung hidupnya?
Apa lagi yang kalian inginkan??!!

Warga 2 : Kami kesini untuk mengakhiri malapetaka yang terjadi! Kami tidak ingin kami
dan anak-anak kami ikut tertular oleh penyakit mematikan Wengi!

Warga 3 : Baru saja, anak dari salah seorang petani di desa telah mati oleh penyakit yang
sama. Dengan ini, sudah ada 12 orang yang mati dari kampung kita. Kita tidak
bisa membiarkan hal ini terus terjadi.

Warga 1 : Ya, kami tak ingin penyakit ini menyebar kemana-mana. Berikan Wengi kepada
kami dan kami akan membiarkan kau dan suamimu hidup, Ningsih!

Ningsih : Tapi, Wengi sudah kalian pasung selama lebih dari 3 bulan! Dia bahkan tidak
bisa meninggalkan tempat ini! Tempat ini sudah sangat jauh dari desa, dan kalian
masih ingin menyalahkan Wengi atas kematian orang lain atas penyakit yang
sama? Apakah kalian tidak sadar, bahwa Wengi juga adalah korban!
Warga 4 : Kami hanya tidak ingin akan jatuh semakin banyak korban, Ningsih. Ini memang
berat untukmu, tapi bagi kami yang telah kehilangan anggota keluarga kami dan
yang takut kehilangan anggota keluarganya, kami hanya ingin malapetaka ini
segera berakhir. Kami tahu ini berat, Ningsih. Tapi percayalah, kami melakukan
ini demi kebaikan kita semua.

Wengi : (Berteriak sambil tetap di belakang ibunya) Tidak!! Kalian melakukan hal ini
karena kalian dendam denganku! Kalian ingin seorang kambing hitam! Kalian
semua memang licik!

Ningsih : Hentikan, Wengi! Jangan kau buat mereka semakin marah! Ibu sedang mencoba
untuk melindungimu disini!

(Terdengar suara Jurik berteriak memanggil nama Ningsih dan Wengi. Jurik masuk ke dalam
panggung dan kaget melihat banyak warga ada di situ)

Jurik : (Berlari menghampiri Ningsih dan Wengi) Kalian tidak apa-apa?

Warga 1 : Hei Jurik, kami menginginkan Wengi! Kami akan mengakhiri sendiri
malapetaka ini. Kami harap kau tidak ikut campur dalam masalah ini!

Jurik : Bagaimana aku tidak bisa ikut campur?! Wengi adalah anak semata wayangku
dan Ningsih! Aku akan melindungi mereka sekuat tenagaku!

Warga 4 : Lalu, apakah kau memikirkan bagaimana nasib warga desa lainnya yang
ketakutan akan penyakit menular ini? Apakah kalian tidak sayang akan nyawa
kalian sendiri? Apakah kalian tidak takut tertular penyakit itu?

Jurik : T-tapi, apakah tidak ada...

Warga 2 : (Memotong pembicaraan) Ah, sudahlah, sudah tidak ada gunanya berdebat
dengan kalian. Awalnya kami ingin hal ini terjadi dengan kesepakatan di kedua
belah pihak, namun ternyata kalian tidak bisa diajak berkomunikasi. Terpaksa
kami akan mengambil Wengi dengan paksa!

(Tiba-tiba ada suara berteriak untuk menghentikan hal tersebut. Muncul 2 orang penjaga yang
melerai warga dari mencoba mengambil Wengi dengan paksa)

Panji : Hentikan kalian semua! (Sembari masuk ke dalam panggung)


(Seluruh warga mendadak berhenti dan tunduk pada Panji, termasuk Jurik. Ningsih masih
tetap memeluk Wengi untuk melindunginya)

Jurik : Tuan, hendak apa Tuan datang ke tempat ini, Tuan?

Panji : Berdirilah, Jurik. (Menarik tubuh Jurik untuk berdiri, lalu bergerak sambil
mengemukakan dialog) Sebelumnya, aku ingin minta maaf kepada warga desa,
karena kami, pihak dalam kraton, tidak dapat membantu menyelesaikan masalah
ini sebelum masalah ini menjadi masalah yang semakin besar. Kami pun sudah
berusaha dengan segenap tenaga kami. Kami sudah mengerahkan tabib-tabib dari
dalam kraton, dan juga para ahli pengobatan lainnya. Tapi sepertinya masih belum
ada obat atas bencana ini. Aku harap kalian mengerti kondisi ini.

Ningsih : (Berlari menghampiri kaki Panji dan bersujud di depannya) Tuan, tolonglah
kami, Tuan! Orang-orang ini hendak merebut anak kami Wengi, karena ia salah
satu anak yang terjangkit oleh penyakit ini! Aku mohon padamu, Tuan! Tolong
kami!

Panji : (Menunjukkan wajahnya yang sedang bersedih) Berdirilah. (Mengangkat tubuh


Ningsih yang menangis terisak-isak) Sampai saat ini, kami juga masih
memikirkan cara bagiamana untuk membuat keadaan ini terkendali tanpa harus
ada korban yang jatuh. Namun, kami juga belum menemukan titik terang dari
permasalahan ini.

Warga 4 : Lalu, apa yang harus kami lakukan, Tuan? Kami juga tak ingin masalah ini pada
akhirnya membuat kami tidak bisa tidur dengan tenang.

Panji : Jurik, kemarilah! (Jurik menjawab dan datang ke arah Panji) Bersiaplah untuk
meninggalkan desa bersama keluargamu. Tinggalah di dalam hutan atau tempat
lainnya yang jauh dari keramaian manusia. Dengan begitu, setidaknya kau tidak
perlu merelakan Wengi sendirian.

Jurik : Tapi Tuan, di dalam hutan banyak perampok dan hewan buas. Bagaimana kami
bisa bertahan hidup di sana? Sementara untuk pergi ke tempat yang jauh dari
keramaian pun, anak kami Wengi sedang sakit. Dia tidak mungkin melakukan
perjalanan jauh.
Panji : Kau tidak memiliki banyak pilihan, Jurik. Aku, sebagai perwakilan dari pihak
kraton, berkewajiban untuk melindungi wargaku. Aku harap kau mengerti kondisi,
Jurik. Kami pun akan kehilangan dirimu dan istrimu, sebagaimana kau dan istrimu
telah banyak mengabdi untuk kami.

Jurik : (Mengangguk dengan pelan dan ragu)

Panji : Baiklah, aku harap kalian semua puas dengan keputusan ini. Aku harap juga, kita
bisa menyelesaikan masalah ini tanpa ada korban jiwa lagi. Mulai sekarang, kami
juga akan berusaha lebih keras lagi untuk segera mengakhiri bencana ini. Aku
berterima kasih atas pengertian kalian. Kembalilah ke rumah kalian masing-
masing! (Meninggalkan panggung bersama dengan pengawal)

(Setelah itu disusul dengan para warga yang meninggalkan panggung. Warga 4 sebelum
meninggalkan panggung datang menghampiri Ningsih dan memeluknya erat)

Panji : (Datang menghampiri Wengi) Wengi anakku, kau pasti lelah. Tidurlah. Kita
mungkin akan meninggalkan desa pagi-pagi sekali. Aku harap kau mengerti.

Wengi : (Mengangguk pelan, lalu pergi ke tempat pemasungannya)

Ningsih : (Mengantarkan Wengi tidur. Setelah Wengi tidur, mendekati suaminya di sisi
lain panggung) Apakah kita akan benar-benar meninggalkan desa?

Jurik : Aku tidak tahu. Pilihan ini benar-benar sulit untuk kita.

Ningsih : Ini sama saja bunuh diri bagi kita.

Jurik : Aku tahu itu, Ningsih. (Berpikir sejenak) Aku sebenarnya tidak ingin
mengatakan ini, tapi kita tidak memiliki banyak pilihan.

Ningsih : Katakanlah, suamiku.

Jurik : Aku memiliki keluarga di desa yang cukup jauh dari sini. Kita akan pergi kesana
dan memulai hidup baru. Di desa ini pun, kita tidak bisa hidup tenang lagi.

Ningsih : Tapi, bukankah akan sama saja? Warga desa itu pada akhirnya akan mengetahui
mengenai kondisi Wengi dan mengusir kita?
Jurik : (Menggenggam tangan istrinya dengan kuat dan menatap matanya dalam-dalam)
Kita tidak akan membawa Wengi.

Ningsih : Apa??!! Apa maksudmu?!!

Jurik : (Memotong pembicaraan) Sssstt, aku tidak ingin anak kita mendengar ini.
(Melepaskan genggaman Ningsih dan mulai pergerakan panggung) Kau tahu, ini
juga pilihan sulit bagiku. Kehilangan Wengi juga kehilangan besar bagiku. Tapi
kita tidak bisa melakukan ini, Ningsih. Aku terlalu mencintaimu, aku tidak bisa
kehilangan dirimu!

Ningsih : Kau sama saja dengan warga desa itu! Kau hanya peduli dengan dirimu! Seolah-
olah Wengi sendiri yang harus merasakan penderitaan ini sendiri!

Jurik : Tidak, bukan begitu, istriku. Apakah kau tidak takut mati? Apakah kau tidak
mencintaiku? Apakah kau ingin mengakhiri ini semua?

Ningsih : (Mulai menangis terisak-isak)

Jurik : Dengar, kita sama-sama tahu bahwa kita menyayangi Wengi. Tapi kondisi ini
tidak bisa membuat kita menghentikan hidup kita. Kita harus terus menyambung
hidup kita. Lambat laun, kita juga tidak bisa menyelamatkan Wengi. Dan kita
masih beruntung, kita belum tertular oleh penyakit yang diderita Wengi. Kita
harus terus hidup, Ningsih.

Ningsih : Aku hanya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepada anak semata
wayang kita. Ini begitu tidak adil untuknya. Dan kita ikut berkomplot untuk
mengakhiri hidupnya. Ya, kita, orang tuanya sendiri. Mendengarkannya saja
sudah membuat aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.

Jurik : Dengarkan aku, istriku. Sebelum subuh datang, ajaklah Wengi untuk masuk ke
dalam hutan. Aku akan menunggumu di dekat batu besar. Kita akan meninggalkan
Wengi di sana.

Ningsih : Meninggalkan Wengi katamu? Kau akan membuatnya mati dengan perlahan?
Membuatnya kelaparan, kehausan, dan akhirnya menjadi makanan hewan buas di
hutan? Kau gila, suamiku!!

Jurik : Kita tidak memiliki banyak pilihan, istriku.


Ningsih : (Hening sejenak) Tidak, kau benar, suamiku. Kita tidak memiliki banyak pilihan.
Tapi, kita tidak bisa melakukan ini. Kita harus menyegerai penderitaannya. Kita
harus melakukannya dengan cepat.

Jurik : Jadi, apa rencanamu, istriku?

(Lampu padam)
BAGIAN 3

(Lampu menyala redup. Terlihat Ningsih sedang membawa Wengi masuk ke panggung.
Setting adalah hutan yang gelap. Di ujung sisi panggung, terlihat Jurik yang
sedang duduk dengan cangkul, dan gundukan tanah yang menunjukkan dia selesai
menggali sebuah lubang.

Wengi : Ibu, dimana Ayah?

Ningsih : Ayahmu sedang membukakan jalan untuk kita, anakku. Dia berada di dalam
hutan. (Melihat Jurik dari kejauhan) Wengi, kau tunggulah disini terlebih dahulu.

Wengi : Jangan tinggalkan Wengi, Bu. Wengi takut.

Ningsih : Tenang, anakku. Setelah ini, kita akan hidup bahagia bersama. Kau hanya perlu
bersabar sedikit lagi.

Wengi : (Mengangguk pelan)

Ningsih : (Menghampiri Jurik) Aku telah membawa Wengi. Sekarang, yang harus kita
lakukan adalah membawa Wengi mendekat kemari.

Jurik : (Berdiri) Kita akan mengakhiri ini dengan segera. (Menggandeng tangan Ningsih
dan menjemput Wengi) Wengi, ayo, ikut Ayah dan Ibu.

Wengi : Kita akan kemana, Ayah?

Ningsih : Ayo, kemarilah saja. Kau akan tahu nanti setelah kita sampai.

(Di tengah perjalanan mereka, Jurik mengikat badan Wengi dengan paksa. Lampu berkedap-
kedip dan musik memainkan melodi menggebu-gebu. Terlihat Ningsih membantu
suaminya mengikat kaki anaknya. Wengi berteriak meminta kedua orang tuanya
untuk berhenti, sampai kedua mulutnya diikat pula. Tubuh Wengi diseret
mendekati sebuah lubang, setelah itu lampu mati sejenak)

(Lampu menyala redup. Terlihat Jurik yang sedang meratakan tanah dan Ningsih yang
menangis terisak-isak agak jauh dari tempat Jurik meratakan tanah)

Ningsih : Maafkan aku, anakku. Ibu dan Ayah terpaksa melakukan ini. Kami hanya tidak
ingin kau menderita lebih lama lagi.
Jurik : (Mendekat ke arah Ningsih) Ayo, Istriku. Kita juga perlu bersiap-siap untuk
meninggalkan desa kita. Kita akan pergi sebelum fajar menyingsing.

(Terlihat Ningsih dan Jurik meninggalkan panggung. Lampu padam sejenak. Musik
memainkan melodi mistis. Lalu lampu kembali menyala redup, terlihat tubuh
Wengi berada di dekat kuburannya dengan baju kotor dengan tanah dan wajah
putih. Setelah itu, lampu padam)
BAGIAN 4

(Lampu menyala. Terlihat ruangan rumah Wijaya dan Seruni. Seseorang dengan baju dokter
masuk ke dalam panggung diikuti dengan Seruni dan Wijaya)

Wijaya : Jadi, bagaimana keadaan anak kami, Dok?

Dokter : Anak Bapak dan Ibu sepertinya kurang baik. Dia sepertinya mengalami
gangguan semacam depresi. Terlihat dari bagaimana dia mudah menangis dan
cenderung menghindari percakapan. Mungkin anak Bapak dan Ibu pernah
mengalami peristwa traumatis yang menyebabkan anak Bapak dan Ibu berperilaku
demikian.

Seruni : Traumatis? Seingat saya, tidak pernah, Dok.

Dokter : Ya, itu baru teori awal saya saja. Banyak kejadian traumatis yang bisa dialami,
seperti melihat sesuatu yang membuat dia terkejut sekali, berada dalam tekanan
batin dalam waktu bertahun-tahun, atau mungkin tindakan yang tidak baik
terhadap anak Bapak dan Ibu sekalian yang membuat dia sedih dan murung.

Seruni : Tindakan buruk? Tidak mungkin, Dok. Kami sangat menyayangi anak kami.
Kami bahkan tidak pernah membentaknya. Dan lagi, anak kami sekolah di tempat
yang baik. Pihak sekolah selalu mengawasi kegiatan anak kami. Dan anak kami
tidak pernah bermain keluar rumah, kegiatannya hanya sekolah saja. Setelah itu
dia langsung dijemput pulang ke rumah.

Dokter : Ya itu hanya teori saya saja, Bu. Saya sarankan anak Bapak dan Ibu untuk terus
mendapatkan penanganan medis. Dengan begitu, akan semakin terlihat jelas
penyebab perilaku anak Bapak dan Ibu tersebut. Dan mungkin kami bisa
membantu Senja untuk berhenti terus diam dan bersedih.

Seruni : Baik, Dok. Terima kasih atas kunjungannya. Saya harap, kami bisa melanjutkan
pengobatan anak kami, sehingga anak kami bisa seperti anak-anak lain pada
umumnya.

Dokter : Baik, Bu. Saya mohon undur diri dulu. Selamat malam, Pak, Bu. (Meninggalkan
panggung)
Seruni : Kau dengar kan, Mas? Dokter itu mungkin bisa mengobati anak kita. Yang perlu
kita lakukan hanya terus berusaha demi anak kita.

Wijaya : (Dengan wajah panik) Tidak. Mulai besok dan seterusnya, aku tidak akan
membiarkan dokter itu bertemu dengan kau dan Senja.

Seruni : K-Kenapa begitu? Kenapa kau berubah pikiran secepat itu?

Wijaya : Aku mulai berpikir, ini semua sebenarnya hanya sia-sia! Anak kita memang
mengalami gangguan! Apa yang kita lakukan ini hanya sia-sia. Kita tidak akan
pernah bisa membuat Senja seperti anak-anak seperti pada umumnya.

Seruni : Kenapa begitu? Jangan putus asa dulu suamiku! Kau dengar kan apa yang dokter
psikolog itu katakan, masih ada kemungkinan untuk menyembuhkan anak kita!

Wijaya : Tidak! Ini semua hanya pelarianmu! Kau yang tidak becus menghasilkan
keturunan untukku. Kau takut kan, mengakui bahwa kau telah melahirkan anak
yang cacat untukku?!

Seruni : Kenapa kau tiba-tiba berubah seperti ini, Mas? Setan macam apa yang telah
merasukimu?

Wijaya : Sudah diam! Aku tak mau mendengarkanmu berbicara lagi. Pokoknya, kularang
siapapun yang ada di rumah ini untuk menemui dokter itu lagi. Kalau kau masih
tetap nekad, aku akan segera melayangkan surat cerai kepadamu, karena kau tidak
pernah bisa memberikanku keturunan yang layak! (Pergi dari panggung)

Seruni : (Duduk di sofa) Apa yang terjadi dengan suamiku? Kenapa dia bisa tiba-tiba
berubah?

(Tiba-tiba, terdengar suara Kemuning dari luar panggung memanggil)

Kemuning : Selamat siang, permisi!

Seruni : Selamat siang! (Mendatangi sumber suara) Oh, Nyonya Kemuning. Silahkan
masuk!

Kemuning : Terima kasih, Nyonya Seruni.


Seruni : Silakan duduk, Nyonya. Akan saya suruh Jesika untuk membuatkan minum
untuk Nyonya.

Kemuning : Tidak perlu repot-repot, Nyonya. Saya kesini hanya ingin menyampaikan sesuatu
hal. Tidak akan lama.

Seruni : Sesuatu? Apa itu, Nyonya?

Kemuning : Tadi siang, saya baru saja dari rumah Nyonya. Saya sudah mengetuk pintu dan
juga memanggil-manggil Tuan dan Nyonya, namun tidak ada jawaban. Setelah
saya coba membuka pintu, ternyata pintu tidak terkunci dan bahkan tidak tertutup
rapat.

Seruni : Benarkah itu, Nyonya? Benar-benar teledor si Jesika! Akan saya marahi dia
setelah ini!

Kemuning : Masalahnya bukan ada di situ, Nyonya. (Menghela napas panjang) Setelah itu,
saya masuk ke rumah Nyonya. Maaf atas kelancangan saya, Nyonya. Tapi saya
mendengarkan suara ramai di dalam rumah Nyonya.

Seruni : Ramai? T-Tapi, di rumah hanya ada Senja dan Jesika. Bagaimana bisa ada suara
ramai? Oh, oh, atau jangan-jangan Nyonya mendengar Jesika sedang menyetel
lagu dangdut keras-keras lagi?

Kemuning : Bukan begitu, Nyonya. Saya mendengarkan suara...gamelan, dan banyak sekali
suara anak kecil.

Seruni : A-Anak kecil?

Kemuning : Ya, sesaat setelah saya masuk, saya merasakan aura mistis yang sangat pekat.
Lalu, saya sudah melihat sendiri sosok Wengi yang sebelumnya saya ceritakan.
Sebelumnya, saya hanya mendengar namanya dari mata-mata saya yang sering
berkunjung ke rumah ini, tanpa Nyonya Seruni ketahui.

Seruni : S-Saya tidak mengerti apa yang Nyonya coba katakan ini.

Kemuning : Wengi adalah sosok anak kecil yang kerap bermain dengan Senja, Nyonya. Dan
tidak hanya itu, Wengi juga memiliki banyak pengikut anak-anak yang juga dia
bawa dari dunia ini. Saya harap, Nyonya terus mengawasi Senja. Jangan biarkan
dia sibuk dengan dunianya sendiri. Karena, salah langkah, Senja juga bisa terbawa
oleh Wengi. Dan setelah itu, masalah bisa menjadi semakin rumit.

Seruni : N-Nyonya, sulit bagi saya untuk percaya ini. Tapi, saya pun kaget Nyonya
mengetahui mengenai nama Wengi. Sebelumnya, Senja pernah menulis dalam
sebuah cerita ketika di sekolah bahwa dia sering ebrmain di rumah dengan gadis
bernama Wengi. Jujur saja, Senja tidak memiliki teman. Tidak ada anak yang
kemari untuk bermain dengannya. Kami kira, Wengi adalah teman imajinasinya,
karena dia merasa begitu kesepian. Namun, setelah Nyonya memberitahu saya
mengenai Wengi, saya jadi... (Mengusap belakang lehernya) Entahlah, Nyonya.

Kemuning : Saya hanya mencoba untuk memberi tahu Nyonya. Saya sendiri tidak akan
mampu menghadapi Wengi. Pengaruhnya begitu kuat di rumah ini. (Berdiri)
Sekiranya hanya itu yang ingin saya sampaikan. Percaya taau tidak percaya, saya
hanya menyerahkan ini semua di tangan Nyonya.

Seruni : Terima kasih, Nyonya. Saya sangat berterima kasih atas kepedulian Nyonya.
Mulai sekarang, saya akan terus mengawasi Senja. Saya juga berharap, untuk
kedepannya, Nyonya terus memberitahu saya mengenai informasi ini. Percaya
tidak percaya pun, saya hanya bisa melakukan antisipasi. Saya tidak ingin terjadi
apa-apa pada anak semata wayang kami.

Kemuning : Baiklah bila demikian, saya mohon undur diri terlebih dahulu. (Berjalan ke arah
pintu bersama Seruni) Dan satu lagi Nyonya, bila nanti terjadi hal yang tidak
diinginkan, saya harap, Nyonya bisa merelakan Senja. Apabila Nyonya salah
langkah, Nyonya juga bisa dibawa Wengi ke alamnya.

Seruni : A-Apa maksud Nyonya Kemuning?

Kemuning : Saya permisi terlebih dahulu.

Seruni : Nyonya, tunggu Nyonya! Nyonya Kemuning! (Mencoba memanggil Kemuning


lagi)

(Lampu mati)
BAGIAN 5

(Lampu menyala, terlihat Senja sedang duduk sendiri di dalam kamarnya. Suara musik mistis
mengiringi. Dan beberapa saat kemudian, Wengi datang. Wengi datang dengan
cara merangkak)

Senja : Wengi, kamu udah datang ternyata. Ayo kita main!

Wengi : Senja, apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibumu?

Senja : (Membuang muka) Biasalah, mereka sedang berkelahi. Ya karena aku seperti ini,
tidak bisa berkomunikasi dengan mereka.

Wengi : Kalau kau mau, kau bisa berkomunikasi denganku terus, Senja.

Senja : Iya, Wengi. Kau temanku satu-satunya. Anak-anak yang lain hanya bisa
mengejekku, dan mereka selalu meninggalkanku. Tidak sepertimu, kau selalu ada
ketika aku membutuhkanmu.

Wengi : Apakah kau membenci kedua orang tuamu?

Senja : Ya! Aku benci mereka! Mereka hanya peduli untuk membuat aku bisa menjadi
anak yang ideal bagi mereka. Mereka tidak pernah mengerti aku, bahwa aku
hanya ingin bersenang-senang. Apalagi Ayahku. Dia... (Menundukkan kepala)

Wengi : Kenapa dengan Ayahmu?

Senja : 2 tahun lalu, ketika aku masih berusia 5 tahun.

(Lampu mati sejenak, lalu menyala redup. Terlihat Senja sedang bermain di tengah
panggung)

Wijaya : Senjaaaaa~ (Mendekati Senja) Anak ayah yang paling cantik. Kau cantiiiik
sekali, seperti ibumu. (Mencium pipi Senja) Tubuhmu mungil menggemaskan,
pantatmu montok. (Mencium-cium leher Senja) Selama ini, Ayah selalu
membayangkan dirimu. Ayah tidak bisa menahan perasaan ini. Ayo, Senja, ikut
dengan Ayah sebentar.
(Wijaya menarik Senja dengan paksa. Senja berteriak-teriak menolak. Wijaya menyeret Senja
ke belakang layar, sehingga hanya terlihat siluet Wijaya yang sedang mencabuli
Senja. Senja berteriak-teriak. Lalu lampu padam, lampu kembali redup, dan
terlihat Senja dan Wengi ada kembali di kamar)

Senja : Hal itu tidak hanya terjadi sekali, sepanjang yang aku bisa ingat. Mungkin dia
kira aku tidak tahu apa-apa, tapi aku tahu dengan jelas perbuatan itu bukanlah
sesuatu yang bisa dianggap enteng.

Wengi : Apakah kau begitu membenci Ayahmu?

Senja : (Mengangguk dengan mantap)

Wengi : Senja, bagaimana kalau kau ikut ke duniaku saja?

Senja : Duniamu?

Wengi : Iya, di duniaku banyak anak-anak seperti kita. Kita tidak akan menjadi tua, dan
kita akan terus bermain. Tidak akan ada yang ditertawakan, tidak akan ada yang
ditinggalkan. Meskipun kau sakit, ataupun kau cacat, kau tidak akan ditinggalkan.

Senja : Apakah Ibuku bisa ikut?

Wengi : Tidak, tidak ada yang boleh ikut selain kau, Senja. Kau juga tidak akan bisa
menemui ibumu lagi. Bagaimana, Senja? Apakah kau akan ikut denganku?

Senja : Baiklah, aku akan ikut! Toh, selama ini, kau adalah teman terbaikku. Kau tidak
pernah marah padaku, kau juga tidak pernah mengecewakanku!

Wengi : Baiklah...

(Lampu merah menyala, setan-setan yang lainnya masuk ke dalam panggung dan menari-
nari. Suara-suara anak tertawa dan juga musik mistis. Teatrikal menunjukkan
proses Senja ditarik ke dunia lain, lalu lampu mati)
BAGIAN 6

(Lampu menyala. Terlihat Seruni menangis dan beberapa orang sedang menemani Seruni.
Seruni menangis di sisi suaminya. Terlihat juga Senja dan Wengi dalam pakaian
putih bermain di tempat biasa dia bermain, naun tidak ada seorang pun yang
menyadarinya)

Seruni : Mas, Senja kemana mas??

Wijaya : Berhentilah menangis. Kita sedang berusaha keras untuk mencari Senja. Bila
dalam 24 jam Senja masih belum ditemukan, kita akan segera lapor ke polisi.

Jesika : (Datang mendekati Seruni dan Wijaya) Tuan, Nyonya, saya sudah menghubungi
seluruh teman sekolah Senja. Mereka bilang, bahwa mereka juga tidak tahu
mengenai keberadaan Senja. Bahkan, beberapa dari mereka bilang, bahwa mereka
bahkan tidak pernah berbicara dengan Senja.

Seruni : Jesika, apa kau yakin sudah mengunci pintu?

Jesika : Bukankah Nyonya sendiri yang mengunci pintu setelah Nyonya Kemuning
pulang? Saya hanya mendengar ketika Nyonya Kemuning datang, dan saya
menyaksikan sendiri bahwa Nyonya kemudian mengunci pintu.

Seruni : Benar, aku bahkan melihat sendiri bahwa Senja sedang bermain di kamarnya
sebelum aku kembali ke kamar. Tapi kenapa sekarang Senja hilang?

Warga 1 : Bu Seruni, apa Ibu sudah mencoba menghubungi satpam perumahan kita?
Karena kan, untuk keluar dari perumahan ini, hanya ada satu jalan keluar.

Warga 2 : Benar, Bu. Apalagi di sana ada CCTV. Kita bisa menyaksikan semua orang yang
keluar dari perumahan kita.

Wijaya : Kami sudah melakukannya, Bu. Kami sudah mencoba menghubungi bagian
keamanan perumahan, namun dari pihak mereka menyatakan bahwa selama ini
mereka tidak melihat Senja.

Warga 3 : Itu berarti, mungkin, Senja masih ada di sekitar perumahan kita. Ibu-ibu,
bagaimana kalau kita membantu mencari Senja di sekitar perumahan kita?
Semakin cepat akan semakin baik.
Wijaya : Terima kasih, Bu, atas bantuannya. Kami benar-benar menghargai bantuan yang
Ibu-ibu berikan.

(Warga keluar dari panggung. Jesika keluar dari panggung ke arah dalam rumah. Seruni dan
Wijaya berpindah duduk di sofa)

Seruni : Mas, kemana perginya anak kita?

Wijaya : Aku pun juga tidak tahu. (Hening sejenak) Seruni, aku akan mencoba
menghubungi kantor polisi. Aku akan mencoba untuk membujuk polisi untuk
segera melakukan pencarian, dikarenakan sekarang sudah malam dan Senja bisa
saja pergi semakin jauh. Kau tinggalah di rumah bersama Jesika, aku akan ke
kantor polisi terdekat.

Seruni : Apabila ada informasi apapun, segera beritahu aku. Aku tidak ingin terjadi apa-
apa pada Senja.

Wijaya : (Mengangguk mantap dan segera pergi)

(Beberapa saat kemudian, terlihat Kemuning masuk ke dalam panggung. Kemuning sempat
melihat ke arah Senja dan Wengi dengan wajah kaget dan ketakutan, lalu
Kemuning datang mendekati Seruni yang belum sadar bahwa Kemuning datang
ke rumahnya)

Kemuning : Nyonya Seruni?

Seruni : Nyonya Kemuning! (Berdiri dan memeluk Kemuning)

Kemuning : Apa yang sebenarnya terjadi?

Seruni : Senja hilang, Nyonya. Padahal tadi sore, kami masih melihatnya. Pintu rumah
sudah saya kunci, dan satpam perumahan menyatakan bahwa tidak melihat Senja
dimanapun.

Kemuning : (Hening sejenak dan panik)

Seruni : Ada apa, Nyonya? A-Apakah ada yang Nyonya ingin sampaikan?

Anda mungkin juga menyukai