Anda di halaman 1dari 7

Perhatikanlah Naskah

Drama berikut.

Pengejaran

Para Pelaku
Maskun Sanjaya atau Herman : Politikus, oportunis, tidak punya rasa
nasionalisme Mardilah : Istri Maskun Sanjaya, bekas kekasih Masduki
Masduki : Pejuang veteran yang cacat Anak Mardilah
Suhita : Anak Mardilah
Saiko : Pengawal Pribadi, tukang pukul Maskun Sanjaya

Sebuah ruang tamu yang cukup mewah, di sebelah kanan tampak sebuah sofa, dua
kursi, dan sebuah meja yang berhias jambangan bunga di atasnya. Agak ke belakang
menempel ke dinding, tampak sebuah rak buku yang hampir penuh berisi jajaran buku. Di
sebelah kiri, ada sebuah kenap dengan sebuah telepon di atasnya. Di belakang sofa itu, berdiri
sebuah lampu baca. Seorang perempuan paruh baya tampak sedang duduk di sofa. Tangannya
masih memegang sebuah buku, tetapi pandangannya tampak lesu dan hampa tertuju jauh ke
depan.
Seorang laki-laki, suaminya mengibas-ngibaskan saputangan karena kegerahan mcnuju ke
sebuah kursi. Belum sampai ia duduk, istrinya bangkit menuju ke jendela sambil melirik
suaminya yang kegerahan.
Mardilah : Gerah, Pak?
Maskun : Tidak (Kata Maskun kaku danjidak
berperasaan) Mardilah : Dibuka, ya, jendelanya, biar
sedikit segar?
Maskun : Tidak! Jangan! (Tetap kaku)
Mardilah : Terlalu sesak hawanya kalau
ditutup.
Maskun : (Bangkit dan bcrbicara dengan garang) Mardilah! Jangan kataku! Kembali kau!
(Dengan hah pedih, perempuan itu menuruti perintali suaminya lain duduk kembali di sofa.
Kemudian, keduanya terdiam beberapa saat. Maskun Sanjaya lain duduk di kursi, mengusap-
usap rambutnya, semenlarn istrinya dengan lesu memandangi tingkali laku suaminya).
Mardilah : Mengapa Pak? Ada apa? Kau akhir-akhir ini cepat sckali marah.
Maskun : Mardilah! Aku tidak suka bcrbicara dengan engkau!
Mardilah : (Menatap Maskun sesaat kemudian bangkit seraya mengbelas napas) Baiklah,
Pak. (la bergerak lain masuk ke dalam).
Maskun : Tunggu dulu!
Mardilah : Ya?
Maskun : Kau mesti peringatkan Suhita! Anak itu kian hori, kian menjadi liar!
Mardilah : Ada apa dengan Suhita, Pak? Tadi pun dia mengeluh karena katanya kau
marahi lagi. (Menghampiri suaminya) Sudah selayaknya kalau kau berdamai dengan
dia.
Maskun : Dia yang harus berdamai dengan aku. (Terdiam scienak) Anak itu seperti bukan
anakku....
Mardilah : (Menditi wajah suaminya, min sesuatu yang mcnckan dan manhunt
mereka terdiam beberapa saat. Mardilah duduk tertunduk). Mengapa kau berperasaan
demikian?
Maskun : (Berdiri menghela napas) Tak tahu aku. Mulut anak itu semakin berbau racun.
Barusan tadi dia berkata, rumah ini rumah penjara. Dan akulah kepala penjaranya.
(Pandangan mata Maskun Sanjaya mendakwakan tudulian kepada istrinya.
Mardilah terkejut takut menerima tatapan mala suaminya. Perempuan itu duduk dengan
langan gemetar, berpegang pada lengan kursi).
Mardilah : (Cemas dan takut) Adakah sesuatu yang sal ah, engkau tidak tcntcram.
Adakah yang salah?
Maskun : Aku bukan seorang yang lemah! Aku kuat! Kalau kau bisa mclarang Suhita
bercampur gaul dengan kawan-kawannya yang sok tahu politik itu, nah, baru tidak ada yang
salah.
Mardilah : Tapi, itu pun bisa menguntungkan kedudukanmu, bukan? Dengan
aktifnya Suhita di kesatuan aksi, gengsimu bisa naik di mata umum. Saat ini, justru lagi
memuja-muja perjuongan para mahasiswa itu. Kau bisa lepas dari sorotan dan
gugatan. Coba! Apakah tidak demikian menurut pendapatmu?
Maskun : Kau tidak punya wibawa! (Maskun masuk meninggalkan istrinya yang gundah
karena pekertinya. Kemudian, seperti didorong oleh keinginan yang mendesak, tiba-tiba
perempuan itu bangkit ke meja tulis. la mengambil kertas dan menu I is dengan cepat.
Sementara itu, Suhita dan anak perempuannya mencangklong tas, siap akan pergi).
Suhita : Maaf, Bu, aku makan duluan.
Mardilah : (Menatap anaknya, cemas) Kau akan pergi lagi?
Suhita : Pertemuan itu belum selesai. Aku pulang untuk sembahyang dan makan saja.
Ibu menulis apa?
Mardilah : (Mardilah dengan diam memasukkan surat yang ditulisnya ke dalam
amplop. Dengan ujung bibirnya, amplop itu direkatkanuya. Setelah itu, amplop
tersebut diberikan kepada anaknya). Ini punting Suhita. Sampaikan surat ini ke alamat
vang tcrcantum di situ. Sampaikan saja. Sungguh! Kau jangan bicara apa-apa
dengannya. Kepada orangnva. Kau mengerti?
Suhita : Baiklah. Tampaknya pouting betul, ya? Tentu, akan kusampaikan. Ada yang
lain lagi?
Mardilah : (Sejenak diam. Kemudian seperti mendapat pikiran yang baru,
dipeluknya pundak Suhita dan dibimbingnya ke kursi). Duduklan Suhita. Ibu ingin
bertanya kepadamu kau mengerti?
Suhita : Soal apa, Bu?
Mardilah : Suhita Bagaimana perasaanmu terhadap bapakmu?
Suhita : Kenapa, Bu?
Mardilah : Tidak apa-apa. Ibu hanya ingin tahu perasaanmu
kepadanya

Suhita : Biasa.
Mardilah : Tapi, mengapa tadi berkata kepada bapakmu balnva rumah ini adalah
rumah penjara. Dan bapakmu adalah kepala penjaranya? Mengapa Suhita? Cukup
beralasankah kala-katamu itu?
Suhita : Karena ayah selalu bertindak koras. Selalu main perintah saja.
Mardilah : Hanya itu? Tidak ada yang lain? (Suhita terdiam) Ayolah anakku! Kau
harus jujur kepada ibumu sendiri. Tidak karena yang lain bukan, anakku?
Suhita : Tidak.
Mardilah : Tetapi, dengan kata-katamu itu! Mengapa kau katakan penjara dan bukan
yang lain?
Suhita : Itu hanya perumpamaan saja, Bu!
Mardilah : Mengapa engkau memilih perumpamaan "penjara". Kok, tidak memilih
yang lain? Lagi pula, mengapa kau suka main perumpamaan segala? Coba jawab,
Suhita!
Suhita : Oh, anakmu hanya mcrasa kebetulan saja memilih perumpamaan itu, Bu. Ibu,
ada apa? Mengapa Ibu keberatan aku memakai perumpamaan itu?
Mardilah : (Menatap anaknya dengan diam) Baiklah (Berdiri) Kau tidak setuju
bapakmu diangkat jadi wali kota. Bukan begitu, Suhita?
Suhita : Oh, maksudku ... maksudku, masih banyak calon yang lebih baik dari ayah.
Mardilah : Suhita! Apakah bapakmu tidak cukup baik?
Suhita : Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud melukai hatimu.
Mardilah : Mengapa engkau memusuhi bapakmu sendiri,
Suhita?
Suhita : Aku tidak memusuhi ayah, Bu. Ibu tentu maklum sendiri, bukan? Kita pada saat-
saat seperti ini membutuhkan seorang pemimpin yang jujur, yang iktikadnya baik dan mau
berkorban demi kepentingan rakyat, serta menjalankan kewajiban di segala bidang tanpa
pamrih.
Mardilah : (Duduk) Apakah bapakmu bukan pemimpin yang jujur, bukan pemimpin
yang sempurna iktikadnya untuk membela rakyat? Kalau bapakmu bukan pemimpin
yang sempurna dan baik, orang tidak akan mau menyerahkan kepimpinan partai
kepadanya, Suhita.
Suhita : Jabatan itu bisa dibeli dengan uang dan pembohongan-pembohongan, Ibu. Soal
itu, engkau bisa merenungkannya sendiri. Tapi, bukankah aku berhak menentukan apa yang
layak aku perbuat? Bukankah aku berhak untuk tidak menyukai seseorang termasuk ayahku
sendiri kalau orang itu nyata-nyata . . .
Mardilah : (Manukas dengan tajam)
Mardilah : Dari mana kau dapat kata-kata yang tidak layak
itu?

Suhita : Dari hati nuraniku, Ibu.


Mardilah : (Sengit) Hati nuranimu? Tidak mungkin! Hati nuranimu akan
membisikkan kasih kodrati seorang anak kepada orang tuanya! Tidak mungkin dari
hati nuranimu! (Suaranya mcrendah penuh tekanan) Suhita berterus-teranglah
engkau. Adakah seseorang yang datang padamu dan menceritakan sesuatu yang buruk,
yang membuat engkau tiba-tiba jadi berubah sifat dan pandanganmu? Terus-
teranglah, anakku. Jawablah Suhita.
Suhita : (Suhita tidak mcnjawah. la menundukkan mukanya).
Mardilah : Adakah seseorang datang padamu? (Suhita tidak menjawab. Mardilah
inenghainpirinya dengan pasti). Seorang laki-laki bukan, Suhita. Bertangan satu, cacat,
pucat, terpincang-pincang dengan tongkatnya.
Suhita : (Tersentak, ntundur setapak dengan ccmas) Ibu, dari mana Ibu tahu? Dari
mana?
Mardilah : (Menghela napes panjang). Bayangan masa lampau anakku. Masa lampau
yang kini mcnudingkan telunjuknya ke rnuka kita semua. Yang akan mcngadili kita
semua. Engkau sadarlah, Suhita, anakku bahwa bapakmu datum bahaya akan jatuh,
akan hina-dina di mata zaman kini!
Suhita : Ibu?
Mardilah : Kau tahu anakku. Laki-laki yang datang kepadamu itu adalah setan, iblis
yang akan melahap kebahagiaan keluargamu! Yang akan menghancurkannya!
Suhita : Tidak! Bukan! Ibu keiiru! Dia bukan iblis. Dia bukan orang jahat.
Mardilah : Dari mana kau tahu bahwa dia bukan orang jahat? Dari mana kau tahu,
Suhita?

Suhita : Matanya menatap aku dengan kasih yang tulus, lembut, dan ikhlas. Belum
pernah kuterima tatapan yang demikian lembut, bahkan dari ayahku sendiri. (Mengatur
tiapas). Aku ingat pagi itu, kurang lebih sebulan yang lalu, orang itu datang kepadaku di
sekolah. "Engkaukah Suhita?" tanyanya. Tubuhnya yang tidak sempurna, tangannya yang
tinggal sebelah, dan yang sebelah lagi menopang tongkatnya. Kekurangan pada tubuhnya itu
seperti tidak ada jika aku melihat mata pada sinar matanya. Mata penderitaan yang
meluluhkan kemanjaanku sebagai putera orang terhormat dan berkecukupan. Dia hanya
menatapku. "Jangan takut"! katanya lagi. Aku hanya sisa dari masa lampau. Bayangan buruk
yang pernah kau lihat pada generasi tua, tetapi juga yang terbaik dari sisa patriotisme yang
kini telah jadi pudar. Kemudian, dijabatnya tanganku erat-erat seperti tidak akan
dilepaskannya lagi. "Terima kasih", katanya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. "Terima
kasih anakku. Telah kulihat kau turun di jalan-jalan seperti kami dulu, juga menyerukan
tuntutan seperti- yang kami serukan, memperjuangkan kembali apa yang kami perjuangkan
dulu. Menyerahkan nyawamu seperti kami menyerahkan nyawa kami. Terima kasih anakku,
engkau telah menghidupkan jiwa kami ke dalam jiwamu." (Matanya naitar, suarajiya
menggeletar karena tcrliaru). Aku ingin menangis melihat pejuang yang cacat itu. Aku ingin
memeluknya, mendekapkan kepalaku kepadanya yang bertubuh cacat, tetapi mempunyai jiwa
pejuang yang gagah itu. Ingin kuucapkan janji
Mardilah : Cukup, Suhita! Engkau telah kena sihirnya.
Suhita : (Mengusap mata, menghela napasnya). Baiklah,
Ibu. Mardilah : Jangan pergi dulu!
Suhita : Maafkanlah aku, Ibu. Namun, kejadian ini terlampau berat buatku dan terlampau
pahit.
Mardilah : (penuh curiga) Kejadian apa, Suhita? Kejadian apa? (Suhita ciiam) Laki-
laki itu bercerita apa kepadamu? Ibu ingin tahu. Bercerita apa, Suhita?
Suhita : (Dengan s tiara berat, tersendal) Tentang ayah.
Mardilah : (Terperanjat dan terhenyak di kursi) Baiklah..., Suhita. Engkau
anakku ... anakku ....
Suhita : (berusaha menguasai perasaannya) Baiklah, Bu. Aku harus pergi. Kawan-
kawanku di markas tentu sudah menunggu. Lagi pula, surat Ibu harus segera
kusampaikan, bukan?
Mardilah : (bangkit memeluk anaknya) Engkau anakku, Suhita....
Suhita : Ya, Bu!
Mardilah : Kau tidak boleh marah pada Ibu,
ya, Nak!

Suhita : Tidak, Bu!


Mardilah : (melepaskan pclukannya seperti main kepada dirinya sendiri)
Baiklah, sampaikan surat itu secepatnya!

Anda mungkin juga menyukai