Teruntuk kamu, yang sedang terjebak dengan keadaan ini, kuharap segera terlepas. Jatuh dan patah karena angan sendiri, it's another level of pain. ***
"Lo beneran nolak, Daka?"
Aku mendelik. Hari ini entah sudah berapa kali mendapat pertanyaan itu. Aku terpaksa menghentikan kegiatan menyantap sepiring ketoprak kesukaanku. "Sesuai gosip yang lo denger!" sarkasku pada Ratna, sahabatku. Gadis cerewet itu tidak akan diam sebelum aku benar-benar mengonfirmasi langsung dari mulutku. Gebrakan meja membuatku memicingkan mata. "Apalagi, sih, Rat?" "Nggak habis thingking gue! IPK 4.00 lo emang nggak berfungsi untuk keadaan begini." Lagi, aku harus mendelik mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. "Ralat, cuma 3.85!" "Cuma lo bilang?" Ratna heboh, membuatku makin muak. "Eh, tapi gue bukan mau bahas itu." Aku menghela napas. "Please, ya, Rat. Gue mau makan tenang doang." "Gimana gue bisa tenang, sih. Ini lo nolak Daka, lho! Kadep Humas, yang peminatnya bejibun!" Aku berdecak. "Emang kenapa, sih, sama dia?" "Pake nanya lagi! Gini, ya, Ta, semua orang keknya tau, deh, seberapa bucin dia ke elo." Aku mengerutkan dahi, ini sebenarnya yang kutolak Daka atau Ratna? "Ta, siapa, sih, yang mau nyamperin lo dari Fakultas Teknik ke Psikologi? Cuma Daka, Ta!" "Gue nggak minta, tuh, disamperin!" kataku asal yang berhasil membuat Ratna menatapku seperti ingin menghabisi mangsa. "Talitha Putri Bangsul!" Aku memicingkan kedua mata ketika Ratna meneriakkan namaku dengan asal. Dalam hati bertanya, mengapa aku harus bersahabat dengan makhluk yang malu-maluinnya itu, lho, to the bone. "Ayo, dong, Rat! Waras dikit aja!" Aku diam, lebih memilih menyendok ketoprak yang gagal kunikmati dengan tenang. "Gue nggak masalah, deh, kalo yang lo tolak ini orang lain. Masa, sih, anak Psikologi yang pinter banget kayak lo nggak bisa liat setulus apa dia." "Gue bukan dukun." Lagi, Ratna melayangkan tatapan yang sama kepadaku. Menyebalkan sebenarnya, entah mengapa segala hal yang menyangkut tentangku selalu mengundang perhatian banyak orang. Aku sudah sangat menduga hal ini akan terjadi. Ratna yang tiba-tiba heboh mendengar gosip tentangku yang sepenuhnya benar, sih. "Lo, kan, tau, Rat, gue nggak suka sama Daka." "Dia udah effort banget, lho, ke elo, Ta! Lo nggak bisa liat dia seserius itu." "Itu kekurangannya, terlalu effort dan gue nggak suka." Ratna mendengkus. "Jadi, yang lo suka itu, macam si Menel itu?" "Mandra." "Halah, nggak peduli, deh, namanya siapa! Bisa nggak, sih, lo berhenti? Ini, tuh, nggak sehat! Yang lo rasain selama ini bukan suka atau cinta, Ta. Tapi, itu khayalan lo doang." Sedikit tertampar, tetapi kali ini saja biar aku meyakini isi hatiku. Kalaupun salah, setidaknya aku pernah mencoba. "Talitha Dimitri, dengerin gue, ya. Si Mandra itu kalo emang serius pasti juga bakal bela- belain datang, tuh, dari Jogja! Katanya kaya, masa tiket Jogja–Jakarta aja nggak punya duit." "Udah, deh, mending lo sama Daka. Gue jamin bahagia, dah, lo!" "Bahagia dari mana, kalau hati gue nggak mau sama dia." "Ini, sih, bukan soal hati, tapi otak lo yang dipertanyakan." Perdebatan alot dengan Ratna membuatku berpikir keras. Aku paham kekhawatiran Ratna, tetapi semua orang tidak akan paham sebelum benar-benar berada di posisi yang sama. Aku tahu ini gila, aku jatuh hati pada laki-laki yang sama sekali tidak pernah menunjukkan sinyal apa pun untuk sekadar menyukaiku. Yang gilanya lagi, aku jatuh hati jalur virtual. Aku mengenalnya dari aplikasi kencan yang sebenarnya kugunakan untuk riset tugas kuliah. Entah bagaimana mulanya hingga aku benar-benar jatuh hati pada laki-laki bernama Mandra Danuarta. Aku selalu merasa apa yang ia katakan padaku itu spesial. Mengatakan hal-hal kecil sederhana yang selalu kupanjatkan dan semoga Tuhan kabulkan. Ini tahun ketiga, aku masih sangat menyukainya. Bertahan dengan perasaan semu adalah hal gila sepanjang hidupku. Menolak laki-laki mana pun, sebaik apa pun, dan sekeras apa pun upayanya. Bahkan Daka, laki-laki yang kukenal jauh sebelum mengenal Mandra. Aku selalu memercayai ucapannya. Dia sering mengatakan akan menemuiku jika ke Jakarta. Tentunya, itu tidak pernah terwujud. Kalian tahu, bahkan aku tetap percaya ketika dia kembali menghubungiku setiap kali mengakhiri hubungan dengan kekasihnya. Kemarin sebelum Daka menawarkanku untuk menjadi kekasihnya, Mandra menghubungi setelah berbulan lamanya. Tentu saja, aku makin tidak bisa mengontrol perasaan. Perihal Daka, dia laki-laki yang baik—mungkin lebih dari kata baik. Daka akan selalu jadi orang yang pertama ketika aku butuh bantuan dan dia mungkin yang akan melakukan hal berlebihan untukku, seperti menemaniku riset. Maklum jika Ratna bereaksi berlebihan ketika aku menolaknya. Aku tidak menyangka kedekatan kami malah menumbuhkan benih di hatinya. Daka tahu betul bahwa hatiku sudah dipenuhi oleh Mandra. Kuharap dia menemukan seseorang yang mencintainya sepenuh hati, bukan aku yang hatinya sudah dipenuhi orang lain. Kejadian itu tepat di kantin fakultasku. Daka datang dengan wajah segar, tetapi kegelisahan turut menghiasi. "Gue udah nebak, sih, bakal ditolak. Tapi, seenggaknya gue lega banget udah bilang ini ke elo. Gue iri banget sama Mandra, gue yang berjuang tetap aja dia yang menang. Kalo menurut lo, dia yang terbaik, perjuangin, ya. Dan, kalo lo berubah pikiran kapan pun itu, hati gue selalu terbuka lebar buat lo," katanya sembari tersenyum. Saat itu juga aku merasa menjadi perempuan paling jahat. Aku selalu menceritakan tentang Mandra padanya, tanpa kusadari aku melukainya. Daka benar, aku harus memperjuangkan perasaanku. Jadi, ketika Mandra ingin bertemu, aku tidak perlu berpikir untuk menerima ajakannya. Kupikir ini adalah langkah awal. Mandra kebetulan ada urusan di Jakarta, katanya ini momen yang tepat untuk bertemu. Dia memintaku merekomendasikan tempat yang cocok. Pilihanku jatuh pada kafe yang sering Ratna kunjungi dengan pacarnya. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku, seperti ada ribuan kupu-kupu. Aku lebih dulu tiba di kafe. Sedari tadi aku tidak bisa menahan diri sehingga terus tersenyum. Ah, Mandra, laki-laki itu selalu berhasil membuatku seperti ini. "Kamu, Litha, kan?" Aku tersenyum lalu mengangguk. Tentu saja sosok itu yang kutunggu-tunggu. Mandra kini di hadapanku, tanpa terhalang jarak dan layar ponsel. "Maaf banget rada lama, ada urusan bentar." "Iya, nggak apa. Aku juga baru sampe, kok." "Salaman dulu, dong. Kita, kan, baru ketemu pertama kali, nih!" katanya sembari mengulurkan tangan dan kusambut dengan sukarela. "Wah, iya, sih. Setelah sekian purnama akhirnya nggak wacana doang." Mandra tersenyum menanggapi. Kami memesan makanan dan mengobrol dengan topik yang sangat random. Ah, inilah yang paling kusukai darinya. Selain paras yang tidak pernah bosan untuk dipandang, sikapnya juga tidak pernah membosankan. Mungkin ini alasan mengapa aku tidak bisa menyukai Daka, sikap kami bertolak belakang. Berbeda dengan Mandra, aku seolah melihat diriku versi laki-laki. Berdebat hal tidak penting, berbagi cerita konyol yang kami alami. I'm totally love him, apa pun yang ada di dirinya. "Sebenarnya, aku ke sini mau bilang sesuatu ke kamu. Rasanya nggak afdol aja gitu. Kita, kan, udah kenal lama." Aku mengerutkan kening, mencerna apa yang dia katakan. "Sebenarnya aku ke Jakarta, mau tunangan," katanya sembari tersenyum. Aku bergeming menatapnya. Aku baru saja merasa bahagia bukan main dan sekarang berubah menjadi rasa sakit yang bukan main. Aku terlalu berekpektasi untuk hari ini, sampai berakhir menyedihkan. "Jadi, Lit, datang, ya, ke acaraku," katanya yang berhasil membuyarkan lamunanku. "A–aku usahain. Kalau boleh tahu, kamu sama tunanganmu kenal di mana?" tanyaku, mencoba senatural mungkin. "Kami satu kampus, Lit. Aku udah cukup lama, sih, kenal dia, makanya aku nggak ragu lagi untuk ambil langkah sejauh ini." Aku tersenyum simpul. "Kalau gitu selamat, Dra." Pada akhirnya, si virtual kalah dengan yang real. Seyakin apa pun aku padanya, takdir Tuhan berkata lain. Mandra pulang lebih dulu. Sebenarnya dia menawarkan tumpangan, tetapi kutolak. Rasanya aku tidak sanggup menghirup udara di tempat yang sama dengannya. Andai saja aku lebih berani, mungkin tidak akan sesakit ini. Selama tiga tahun ini, aku bertahan dengan perasaan semu dan membiarkan dia tidak mengetahuinya. Jatuh cinta sendiri, kemudian patah hati sendirian. Mandra tidak brengsek, tetapi aku yang bodoh. Mengartikan segala hal yang biasa sebagai spesial. Dia orang pertama yang memanggilku Litha, dia juga yang selalu bertanya ‘Hari ini ngapain aja?’, atau ‘Litha, menurutmu bagusan sweter apa kemeja?’. Semuanya memang sederhana, tetapi menjadi rumit ketika aku salah mengartikan dan kemudian jatuh cinta. Aku mengusap sudut mata, di sini aku yang salah. Aku menatap ke luar, hujan mulai turun. Notifikasi pesan dari Mandra tidak lagi menarik. Kemarin saja aku dengan yakin menolak Daka dan memilih memperjuangkan Mandra. Semesta seolah menghukumku karena sudah menyakiti laki-laki sebaik Daka. Perasaan itu nyata, tetapi kamu akan tetap semu. Mandra, banyak hal yang kamu nggak tahu, begitu pula banyaknnya anganku yang ingin kuwujudkan bersamamu. Tak apa, itu hanya akan menjadi angan selamanya. Dengan ragu aku menekan tombol hijau. Tak berapa lama aku tersenyum haru. "Ka, hati lo masih terbuka lebar buat gue, kan?" Biografi Penulis Nama Pena : tulisandino Nama Lengkap : Dina Fadilla Siregar TTL : Tanjung Balai, 04 Maret 2003 Pendidikan : Universitas Riau-sekarang Kesibukan : Saat ini aku fokus berkuliah dan aktif dalam kegiatan kampus. Sesekali aku menulis dan membuat konten alternative universe di akun TikTok pribadiku. Alasan Menulis : Menulis adalah bagian diriku, sebab beberapa hal tidak bisa dilisankan maka aku menjelaskannya lewat tulisan. Pengalaman : Dalam dunia menulis aku sempat mengikuti beberapa kelas online mengenai novel dan editing naskah. Kemudian ikut beberapa event antologi yang menerbitkan cerpenku. Media Sosial : Instagram @dnafdllh_ TikTok @ilamind