Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nida’ul Jinan Maemonah

NIM : F2A023033

Prodi : S1 Sastra Inggris

Mitos Bhakti

Cipratan jingganya mulai sapa latar sang lembayung. Dalam dekap sang senja, diriku
seperti mengharapkan sebuah asa. Samar-samar netraku tangkap semburat merah di pipinya
tatkala netra kami tak sengaja bersua kaku. Tubuhnya yang melenggok anggun ikuti iringan
gamelan yang mengalun magis itu, tersolek indah di pagelaran sore ini. Tak sedikit dari
penonton yang mulai bersorak-sorai memujanya.

Oh ibu angin, lihatlah surai legamnya yang apik tersanggul dengan hiasan bak pengantin
Jawa itu. Lekuk-lekuk seni yang Tuhan ciptakan itu melenggok dengan indah ciptakan latar
mistis kala sang jingga mulai hilang di ufuk sana. Tempo alunan gamelan mulai melambat,
disibaknya selendang kuning itu, sunggingkan senyum manis yang buatku mabuk kepayang.

Tepukan sosok di sebelahku sadarkan lamunanku. Masih dengan mengunci netraku pada
gadis penari itu, kuterima air mineral yang ia sodorkan tanpa memalingkan wajah. Tawa
khasnya berhasil buatku menoleh jengkel.

“Tong ngalamun, bang. Kaya nggak pernah lihat gadis penari aja lo ini!” (Jangan melamun,
bang. Kaya nggak pernah lihat gadis penari aja lo ini!)

“Yang ini beda, Sat,” ujarku kembali mengunci netraku pada gadis itu.

“Udahan yuk, gue laper.” Dengan tergesa kuraih lengannya. Alisku menukik tajam. Gelengkan
kepala tanda tak setuju dengan ajakannya.

“Kumaha anjeun weh, gue balik!” (Terserah lo aja, gue balik)

Finalnya buatku paksa berdiri tinggalkan pagelaran yang belum berakhir itu.
Langkahku terhenti, kembali melirik pada pagelaran itu. Netra kami kembali bertatap semu.
Mencari arti dalam raut wajah eloknya, kulemparkan senyum padanya sebagai salam akhir
jumpa. Kakiku terus terseret mengekor kemana Satya akan membawa perut kami mengisi
energi. Langkahnya terhenti pada sebuah burjo yang tak jauh dari pendopo tempat kami
menonton pagelaran itu. Putuskan untuk singgah demi sepiring nasi.

“Karin namanya,” tuturnya sembari mengaduk soto yang dipesannya itu.

“Siapa?”

“Gadis penari tadi atuh,” sahutnya, “Dia alumni seni tari ISI, bang. Baru banget tahun lalu
lulus.”

“Lo kenal, Sat?” tanyaku dengan penuh harap.


“Dulu perna se UKM. Bang Harsa mau gue comblangin?” Usulannya buat mataku mengerjap
sebelum putuskan untuk mengulik rasa penasaran itu semakin dalam. Mungkin perasaan
geli inilah yang mereka maksud tentang “Love at first sight”. Melihatku hanya beri tatapan
kosong, Satya jentikkan jarinya sadarkan alam bawah sadarku.

“Orang mana? Lo tau bonyok masih percaya mitos hubungan antar suku itu.” Kuseruput es
teh di depanku itu guna meredam rasa jengkel, “Lagian gue pengennya bisa se visi pacaran
sampe nikah, Sat.”

“Aya aya wae duh, bang Harsa ini … mitos doang itu teh! Kita Sunda-Jawa langgeng-langgeng
wae,” tuturnya dengan wajah yang lugu itu.

“Gelo maneh! Kita itu kawan bukan pasangan,” celetukku buatnya tertawa geli.

“Hahaha … orang Jawa, bang. Neng Karin mah asli Semarang,” Mendengar tuturnya buat
mataku berbinar. “Atuh da neng Karin teh keren pisan, bang. Udahlah penari terpilih dari
keraton yang sering diminta untuk tampil di pagelaran, neng Karin juga udah punya sanggar
tarinya sendiri!”

“Oh, pantes aja setau gue tari Serimpi itu cuma boleh dilakukan penari terpilih,” Keluarkan
sepuntung rokok dari dalam saku, kuputuskan untuk hangatkan badan dengan cerutu itu,
“Nyebat dulu, Sat!” ujarku tinggalkan dirinya yang asik habiskan soto itu.

Angin malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan rokok ini tak cukup buatku
hangat. Samar-samar netraku tangkap sosok yang berjalan mendekat. Pusatkan atensiku
untuk mengenalinya, sungguh! Semakin langkahnya mendekat, semakin dibuatnya pula
jantungku berdegup kencang.

“Mas nya yang nonton pagelaran tadi bukan?”

“Mbak Karin?”

“Eh kenal saya, mas?”

“Satya eh Harsa saya. Aduh bukan, maksudnya saya Harsa kenal Mbak Karin dari Satya,”
Tutur gugupku buatnya tertawa. Oh, purnama lihatlah garis bibis yang terangkat naik itu
tertawakan tingkah konyolku, “Masuk, Mbak Karin? Eh gini maksudnya nggak enak ngobrol
di luar gini, dingin. Mari mbak, ada Satya juga di dalam,”

“Boleh deh, Mas Harsa. Saya juga niatnya ingin menyapa kalian tadi,”

Jackpot! Bahkan tanpa menunggu aksi dari Satya, semesta seperti sudah meniti
benang merahku dengan Karin. Sudah kuduga, mimik wajahnya itu akan jadi sambutan tak
terduga untuk Karin yang entah dari mana datangnya bisa bergabung ke meja kami. Mencari
jawaban dari pupilku, aku hanya mengendikkan bahu buatnya semakin jengkel dan
mempersilahkan Karin duduk bersama kami.
“Astaga, teh! Sugan teh saha. Timana mau kamana teh Karin duh nanaonan ieu?” (Astaga,
teh! Kirain siapa. Dari mana mau ke mana duh apa-apaan ini?).

“Hahaha .. apasih, Satya.” Kumatikan rokok itu sesaat sebelum lemparkan senyum pada
Karin. “Saya tadi lihat kamu sama masnya di pagelaran. Niatnya sih mau nyapa tapi kamu
malah pulang duluan, ninggalin saya masih nari!” Tawa renyah Satya buat Karin ikut geleng-
geleng lihat tingkahnya.

“Laper, teh! Urang belum makan seharian, tadi nyebat doangan,” jawabnya, “Oiya naha teh
bisa masuk sarua bang Harsa?” (“Laper, teh! Kami belum makan seharian, tadi nyebat
doangan,” “Oiya kenapa bisa masuk sama Harsa?”)

“Saya merhatiin kalian selama nari tadi, nggak pernah lihat masnya juga jadi penasaran sama
teman kamu ini. Eh malah nggak sengaja ketemu mas Harsa di depan tadi,” jawabnya dengan
halus tanpa lunturkan senyum manisnya itu.

“Oh yaudah sok kalau mau kenalan, gue nyebat dulu,” Sepeninggalnya Satya buatku
tersenyum kikuk kala tertangkap basah amati dirinya tanpa berkedip. Karin hanya tersenyum
tatap kecanggunganku dalam suasana itu.

Dalam hening itu, kuberanikan diri buka obrolan untuk perlahan mengenalnya. Tak
butuh waktu lama bagi kami untuk akrab. Tak butuh waktu lama pula bagi kami untuk
bertukar kontak dan sosial media. Karin.ar started following you. Berulang kali ku baca
notifikasi itu dengan senyum terpatri. Jadi begini rasanya jatuh cinta? Hal sekecil ini pun
terasa sangat menggelitik.

Dua tahun sudah kujalani hubungan dengan Karin. Memang benar adanya bahwa
Karin aktif mandi keris dan puasa mutih. Namun Karin tak pernah solat dan puasa ramadhan.
Meski begitu setelah wisuda dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan ekspedisi, aku
semakin yakin untuk meminangnya dalam waktu dekat. Rencanaku ini sudah pasti segera
kuceritakan pada ayah dan ibu. Mengetahui bahwa Karin sangat kental dengan budaya
kejawen dan berdasarkan “perhitungan primbon Jawa” kami cocok, itu membuat keluargaku
puas dan tanpa ba-bi-bu menyuruhku untuk segera menikahinya.

Hari itu menjadi hari sakralku dengan Karin. Kanigaran yang kami kenakan tampilkan
keagungan dan kekuasaan bak pasangan keraton yang terlahir kembali. Beskap berkerah
yang terbuat dari beludru halus dihiasi sulaman-sulaman emas di kedua ujung lengan itu
beri kesan mewah dan elegan. Dibuatnya netraku tak berkedip kala dirinya berjalan di altar.
Polesan halus pada wajahnya dan sanggul ukel tekuk yang ia kenakan buat dirinya seolah
bunga yang baru saja mekar tinggalkan harum semerbak wangi cantiknya.

3 tahun berlalu, kukira semesta meniti takdir kami untuk selamanya. Namun
sepertinya aku gagal. Mungkin segala bentuk usaha yang telah kulakukan masih belum
cukup untuk mendatangkan kebahagiaan untuknya. Aku dan Karin resmi bercerai setelah
pisah ranjang tahun lalu. Sejak awal sudah aku persiapkan hatiku untuk runtuh dan hancur
mengetahui bahwa Karin berselingkuh dengan lelaki lain. Setidaknya aku masih memiliki
harapan walau terkadang terlihat sangat mustahil, aku yakin bahwa aku bisa bertahan.

Yang pacaran saja bisa putus, yang tunangan bisa usai di tengah jalan, apalagi yang
menikah pasti bisa cerai. Aku mengalah di persidangan, biarkan hasilnya tertulis sebagai
suami yang gagal dikeputusan cerai. Aku tak mau menjadi duri yang menghalangi
kebahagiaannya. Mengenai selingkuh, ibunya memaklumi hal tersebut dan menyalahkanku
karena dianggap kurang mampu secara ekonomi. Pernikahan kami hancur tanpa dikarunai
seorang anak pun.

Setelahnya, aku terjebak dalam perasaan datar. Mungkin aku tak sadar, namun
kepergiannya buat hatiku ikut terbawa saat dirinya pergi. Layaknya daun yang berguguran,
yang konon katanya tak akan pernah membenci angin karena terus membuatnya jatuh. Dan
bagaimana aku juga tidak membencimu, setelah membuat aku jatuh hati dan habiskan
seluruh rasa cintaku untukmu.

“Lo udah kaya mayat hidup, bang!” Satya menepuk bahuku sadarkan lamunanku, “Udah
terlalu lama sendiri juga, kenapa nggak mau buka hati lagi?”

“Gue masih terikat janji sama Karin, Sat! Bahwasanya jika tak bersamanya maka tak dengan
siapapun juga,” jawabku sembari menyeduh kopi.

“Janji apa lagi sih, bang? Neng Karin teh udah merayakan cinta barunya itu, lo kapan mau
berdamai?” cicitnya, “Hidup lo terlalu panjang buat terus bertaut sama patah hati itu. Lo
juga nggak bisa maksa seseorang untuk terus berdiri di samping lo, kalau lo sendiri aja nggak
mau berubah!” Tuturnya buatku menoleh, beri atensiku penuh untuk kali ini beranikan diri
dengarkan nasihatnya.

“Dunia ini tuh fana, nggak ada yang abadi, bang. Yang pergi biarlah pergi jangan ditahan-
tahan lagi kaya sebelumnya. Yang sudah berlalu biarlah termakan oleh waktu,” lanjutnya.

Nasihatnya sore itu buatku terbangun dari tidur panjangku. Satya benar, aku harus
bangkit dan buktikan bahwa diriku akan menjadi lebih baik. Terlepas dari semua fase
menyakitkan ini, hari demi hari aku berusaha untuk mengikhlaskannya. Kini semua itu sudah
berlalu termakan oleh waktu.

Hingga tiba masanya, untuk ikhlas yang tak pernah direncanakan, kini telah
dirayakan. Sebab hari ini sudah tak ada lagi isak tangisku di malam hari karena menahan
rindu. Tak ada lagi rasa penyesalan atas kepergiannya. Dan tak ada lagi rasa peduliku atas
semua hal tentangnya.

Bukan akhir dari ujian semesta, namun Tuhan seperti berikanku jalan hingga aku
berhasil diterima menjadi karyawan tetap disebuah perusahaan oil dan gas besar. Kehidupan
ekonomiku berbalik 180 derajat dalam waktu singkat. Sampai Karin sempat mencoba untuk
mendekatiku lagi, namun aku acuh. Semua tentangnya sudah berakhir, semua luka yang ia
beri kubiarkan abadi tergores dalam buku usang yang sudah lama tertutup itu. Tak luput dari
janjiku perihal, “ketika aku sudah bisa mengikhlaskanmu, takkan pernah kuanggap kamu
pernah hadir dalam hidupku” hari ini janji itu kutepati.

Bahkan aku sedang menata kembali hati yang pernah hancur untuk seseorang yang
manis rupanya pun halus tutur katanya. Allin namanya, ia adalah mantan penyiar radio di
Bandung dan sekarang aktif menjadi seorang MC di acara-acara islami. Allin juga sedang
bekerja disebuah perusahaan telekomunikasi di BUMN.

Aku mengenalnya dari Satya. Satya, ia masih setia menemaniku jatuh bangun. Buatku
mengenal gadis asal Bandung ini, Satya yakinkanku kala aku ragu untuk mengambil
kesempatan baru dengan gadis Sunda ini. Katanya, bila dengan gadis Jawa gagal apa
salahnya mencoba dengan gadis Sunda?

Allin memiliki silsilah Manado dari sisi ayahnya. Kedekatanku dengan Allin sudah
pasti berhasil buat Karin, mantan istriku beringsut mundur mendekatiku. Allin bukan tipe
gadis yang terburu-buru untuk memiliki dan dimiliki. Namun aku sudah dikenalkan baik
dengan keluarganya. Tak ingin buatnya ragu, aku sudah berusaha untuk mengenalkannya
pada ayah dan ibu. Namun seperti dugaan, mereka hanya bersikap acuh dan dingin
terhadapnya.

Hari itu Satya mengajakku pergi. Hanya dengan modal nekat dan keberanian
ditemani Satya, kuberanikan diriku sampaikan niat baik pada orang tuanya di Bandung.
Setelah bertemu keluarganya secara langsung, aku seperti menemukan ‘keluarga’ baru.
Keluarganya cukup terpandang dan dihormati di kota itu. Cukup terkenal karena miliki pola
pendidikan yang baik hingga melahirkan anak-anak yang berkarakter, aku semakin yakin dan
bulatkan niatku untuk memperjuangkannya.

Tentu saja kabar ini tak butuh waktu lama untuk sampai ditelinga ayah dan ibu.
Sepulangnya saya dari Bandung, ayah dan ibu mengajakku berbicara dan memintaku untuk
mengakhiri hubungan kami dengan dalih mitos bahwa gadis Sunda itu materialistis dan
malas mengurus rumah karena sibuk memoles diri. Ditambah dengan Allin yang masih
memiliki keturunan Manado, ibu menekankan bahwa keluarga Manado itu ‘doyan pesta’
serta berbagai hal lainnya.

Namun semua itu tak buatku gentar. Bahkan sehari sebelum berangkat
meminangnya, saudaraku datang ke rumah dan ikut menasehatiku. Ia menggunakan
pendekatan durhaka melawan orang tua. Namun aku beruntung kali ini semesta terus
berada dipihakku. Ayah dan ibu beri aku kesempatan hingga aku berhasil memboyong 5
mobil keluarga besar dari Jogja menuju rumah Allin di Bandung.

Begitu mengenal keluarga Allin, ayah dan ibu terlihat sangat terharu. Seperti terbuka
mata hatinya, bahwasanya keluarga Sunda tak seburuk yang mereka kira. Ayah pun tak
henti-hentinya memuji karakter keluarga Allin yang terkesan lembut dan sangat ramah. Tak
ada lagi penolakan dengan dalih mitos perbedaan suku, ayah dan ibu menyutujui niatku
untuk segera menikahi Allin dalam waktu dekat.
6 bulan setelah pernikahanku dengan Allin terlaksana, kami dikaruniai seorang anak
yang cantik mirip sekali dengan ibunya. Dan tak butuh waktu lama juga kami berhasil
membeli tanah dan membangun rumah impian kami sendiri, berkat hasil jerih payah kami
berdua. Allin tak materialistis dan bukan pemalas yang malas mengurus rumah. Bahkan dia
memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya demi mengurus rumah dan anak-anak.

Naraya Allin,

Every day, I’ll love you.

When I’m with you, my mind is quite. My thoughts are calm. And my heart is full.

Every moments we share feels like the perfect chapter gracefully unfolding.

-Raden Harsa Atmaja

Yogyakarta, 26 Februari 2024

Anda mungkin juga menyukai