Anda di halaman 1dari 37

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

XI IA 1
2013/2014

Alkisah hiduplah seorang pemuda yang tinggal di kota Makassar, bernama Zainuddin.
Usianya kira-kira 19 tahun. Ia tinggal di kota ini bersama Mak Base, salah satu sanak saudara
ibunya. Mengapa ia bisa tinggal bersama Mak Base, bukan kedua orangtuanya? Nasib Zainuddin
memang tidak begitu mujur. Ketika masih kecil, ia sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Meski begitu, tumbuh sebagai anak yatim piatu tidak lantas membuatnya menjadi seorang laklaki yang tidak baik. Didikan Mak Base telah membuat Zainuddin menjadi orang yang gagah,
pemberani, dan berbudi baik. Sore itu, Zainuddin mendapati dirinya merasakan kerinduan yang
amat sangat saat melihat foto kedua orang tuanya. Ia hanya termenung di ruang keluarga,
menatap foto itu lekat-lekat.
(Setting : ruang keluarga, terdapat sebuah meja di tengah dan dikelilingi sofa. Zainuddin
duduk menghadap ke penonton)
Zainuddin

: (memegang foto kedua orangtuanya, memandangnya dengan muram)

Mak Base

: (datang) Zainuddin? Bukankah biasanya sore-sore begini kau akan keluar


mencari teman-temanmu? Apa pula yang membuat kau bermuram durja seperti
ini?

Zainuddin

: (tetap menatap foto di tangannya, mengelusnya perlahan) Ayah dan Ibu terlihat
bahagia sekali di foto ini Mak.

Mak Base

: Betapa tidak, foto itu diambil saat Habibah mengandungmu Zainuddin. Kau
anak pertamanya, buah cintanya dengan Sutan. Saat itu dia bilang dia sudah tidak
sabar akan menjadi ibu.

Zainuddin

: Kenapa mereka harus pergi secepat itu... (merenung)

Mak Base

: Tidak ada yang pernah bisa menebak kehendak Tuhan, Zainuddin. Mak pun tak
percaya Habibah akan meninggal di usianya yang masih terbilang muda.

Zainuddin

: Ceritakan kisah tentang mereka dulu Mak. Mungkin dengan mendengar


sekelumit kisah itu, aku bisa mengobati kerinduanku pada mereka..

Mak Base

: (pandangan menerawang) Ayahmu pernah mengalami masa-masa keras dalam


hidupnya, Zainuddin.

(Panggung gelap. Setting : tetap di ruang keluarga, Datuk Mantari dan Pendekar Sutan
berhadapan, suasana tegang. Diiringi suara Mak Base : Ketika nenekmu meninggal dunia,
ayahmu adalah pewaris tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara
perempuan. Menurut adat Minangkabau, yang akan mengurus warisan itu adalah ia dan Datuk
Mantari Labih, mamaknya. Mamak adalah sebutan untuk saudara laki-laki yang masih sesuku
dan dekat dengan pihak ibu. Saat itu Datuk Mantari telah zalim memakan warisan itu sendiri.
Hingga suatu malam terjadilah perdebatan antara Pandekar Sutan dan Datuk Mantari. Lampu
menyala kembali)
P.Sutan

: Aku tidak menggunakan warisan ini untuk hal yang aneh-aneh atau macammacam, Mak! Aku hanya menggadaikan beberapa sawah, karena aku hendak
mencari istri, pendamping hidupku kelak.

D. Mantari

: Kalau hanya hendak memperistri seseorang saja kau menggadaian harta


sebanyak itu, habislah sudah sawah di Minangkabau ini. Kau anak muda tidak
tahu malu, Sutan. Selalu hendak menggadaikan harta warisan ini.

P. Sutan

: Apa?! Mamak bilang aku anak muda yang tidak tahu malu? Bagaimana dengan
Mamak sendiri? Mamak juga pernah menggadaikan sawah bukan untuk
mengawinkan kemenakan, tapi mengawinkan anak mamak sendiri! Jangan kira
aku tak tahu soal itu, Mak!

D. Mantari

: Soal itu jangan disebut. Akulah Mamak di sini, aku yang berhak mengatur
semuanya, Sutan!

P. Sutan

: Tapi itu juga harta warisan ibuku, Mak! Sudah jelas pula, hukum zalim tak
boleh dilakukan.

D.Mantari

: (marah) Kau bilang aku apa? Zalim? Beraninya kau, Sutan! (mengambil keris
dari sakunya, menyerang Sutan)

P. Sutan

: (berkelit lalu menusukkan pisau belati di perut Datuk Mantari) Jangan pernah
coba melawanku soal permainan senjata, Mak. Mamak sendiri tahu Mamak tak
akan menang melawanku. Aku sudah muak dengan semua perlakuan Mamak,
terlebih soal warisan itu!

(Panggung gelap. Suara Mak Base : Setelah itu, Sutan sempat dibuang ke Cilacap
selama 15 tahun. Ia menjalani masa hukuman yang berat karena membunuh mamaknya sendiri.
Singkat cerita, habislah masa hukuman Sutan dan ia tinggal di Makassar. Ia tinggal menumpang
di rumah seorang tua keturunan bangsa Melayu. Budi pekerti Pandekar Sutan amat menarik
hatinya sehingga ia memutuskan untuk mengawinkan Sutan dengan anaknya yang masih
perawan, Daeng Habibah. Empat tahun Sutan bersama dengan istrinya yang setia hingga
akhirnya mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.. Lampu panggung dinyalakan kembali)
D. Habibah

: (menggendong anaknya, menatapnya penuh sayang) Lihatlah, betapa


tampannya anak kita, Sutan.

P. Sutan

: Tentu saja, istriku. Dia mewarisi ketampanan ayahnya.

D. Habibah

: (tertawa) Ya, kau benar. Semoga dia juga akan menjadi pria yang gagah
sepertimu kelak.

P. Sutan

: Tapi kurasa, dia juga tidak akan setampan itu jika saja ibunya tidak secantik
dirimu, Habibah.

D. Habibah

: Ah, sudahlah, kau memang yang paling jago soal urusan rayu-merayu, Sutan.

P. Sutan

: Rayuanku hanya untukmu, Habibah. (tersenyum)

D. Habibah

: (tersenyum, menatap anaknya lagi) Akankah aku bisa melihat Zainuddin ketika
ia menjadi seorang pria yang sukses nantinya?

P. Sutan

: Apa maksudmu, Habibah? Tentu saja kau akan melihatnya tumbuh besar
menjadi pria yang sukses.

D. Habibah

: Entahlah, Kanda. Akhir-akhir ini, aku sering dihantui firasat buruk, seolah-olah
hidupku tidak lama lagi.

P. Sutan

: Jangan bicara seperti itu, adinda! Jangan pernah. (memegang pundak Habibah)
Kita akan melihatnya tumbuh besar bersama-sama. Yakinlah akan hal itu,
adinda.

D. Habibah

: Baiklah, Kanda.

(Setting diatur sebagai berikut: sebuah ranjang, Habibah tidur di atasnya, Mak Base
duduk di tepi ranjang. Suara Mak Base : Tak berapa lama kemudian, Habibah sakit keras. Ia
terbaring lemah di atas ranjang selama berhari-hari.)
D. Habibah

: (batuk-batuk, bicaranya terbata-bata) Base Mana Udin, Base?

Mak Base

: Dia ada di kamarnya, tadi sehabis makan siang dia tertidur.

D. Habibah

: Bisa tolong bawakan dia ke sini, Base?

Mak Base

: Sebentar, Habibah. (ke belakang panggung, datang lagi membawa Zainuddin


yang masih bayi) Ini dia. (memberikan Zainuddin pada Habibah)

D. Habibah

: (membelai Zainuddin) Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa menemanimu lebih
lama lagi.

P. Sutan

: (datang) Habibah, ini obatmu, minumlah agar kau merasa baikan.

D. Habibah

: Mendekatlah, Kanda. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu.

P. Sutan

: (mendekat dan duduk di tepi ranjang)

D. Habibah

: Maafkan aku, Kanda. Rasanya obat itu tidak akan ada gunanya lagi. Aku
merasa ajalku sudah semakin dekat. Maaf karena tidak bisa menemanimu lagi
untuk mengasuh Zainuddin. Rawat dan didik dia baik-baik, suamiku.

P. Sutan

: Kau harus kuat, Habibah. Soal Zainuddin, tenang saja, aku pasti akan
merawatnya baik-baik, aku berjanji padamu.

Mak Base

: Benar, Habibah. Soal Zainuddin tidak usah kau khawatirkan, aku akan
membantu Sutan untuk mengurusnya.

P. Sutan

: (menggenggam tangan Habibah, menatapnya dengan raut sedih) Adinda,


kuatkan dirimu. (mencium tangan Habibah)

D. Habibah

: Maafkan aku, kanda. Maaf Aku aku tidak bisa menemanimu lagi
(memejamkan mata)

P. Sutan

: Habibah! Habibah!

Mak Base

: (mimik wajah sedih)

P. Sutan

: AdindaMengapa kau tinggalkan aku secepat ini? Bagaimana pula dengan


Zainuddin anak kita? TuhanMengapa Kau renggut dia dari sisiku? Kurang
baikkah aku menjaganya selama ini sehingga Kau mengambilnya dariku? Apa
yang bisa kuperbuat tanpanya? (menggenggam tangan Habibah erat-erat)

Mak Base

: (mengelus punggung Sutan) Sudahlah Sutan Ikhlaskan dia. Jika kau tak
ikhlas tak akan tenang pula ia di sana. Apa kau mau itu terjadi? Soal Zainuddin
tidak usah khawatir, aku pasti membantumu untuk mengurusnya.

P. Sutan

: (mengambil Zainuddin dan menggendongnya) Betapa malang nasib kita, Nak.


Ibumu pergi meninggalkan kita berdua.

Mak Base

: Ikhlaskan dia, Sutan. Ikhlaskanlah.

P. Sutan

: (menatap Habibah) Adinda, aku berjanji akan menjaga anak kita sebaik
mungkin. Semoga Semoga kau tenang di sisi-Nya. (menutup badan Habibah
dengan selimut)
(Setting : masih di kamar yang sama. Suara Mak Base : Saat itu aku bisa merasakan

kehancuran hati Sutan. Dia selalu mengatakan Habibah adalah separuh jiwanya. Dia sering
termenung dan bersedih sendiri, dan aku tak kuasa melihatnya bermuram durja seperti itu.
Terkadang aku menyuruhnya untuk mencoba mencari istri lagi, tapi ia selalu menolak. Seringkali
aku mendapatinya merenung sendirian di kamar memandangi foto Habibah.)
Mak Base

: Sudahlah Sutan, janganlah kau berlarut-larut dalam kesedihan.

P. Sutan

: Rasanya susah sekali mengikhlaskannya pergi, Base. Dialah perempuan yang


berhasil merubah watak kerasku. Bersamanya, aku terasa utuh, semuanya terasa
lengkap. Aku selalu terhanyut dalam kelembutannya. Hanya dia yang berhasil
membuatku luluh. Lalu dia pergi, ke tempat yang tak akan bisa kujangkau.
Separuh jiwaku telah dibawa pergi olehnya.

Mak Base

: Pernahkah kau berpikir untuk mencari penggantinya? Aku begitu khawatir


dengan keadaanmu Sutan. Kau selalu murung, dan dari hari ke hari kau ini
semakin kurus saja. Mungkin dengan mencari penggantinya, kau akan bisa
melupakan kesedihanmu.

P. Sutan

: Tidak, Base. Tidak akan pernah. Tidak akan ada yang bisa menggantikan
Habibah.

Mak Base

: Lalu, bagaimana dengan keluargamu di Padang? Aku melihat akhir-akhir ini


kau sering menerima surat dari mereka. Ada apakah gerangan?

P. Sutan

: Mereka memintaku untuk kembali ke Padang.

Mak Base

: Akankah kau pergi ke sana?

P. Sutan

: Entahlah. Aku memang rindu sekali dengan kampung halamanku. Amat sangat
rindu, terlepas dari kenyataan bahwa aku pernah dibuang dari sana karena biar
bagaimanapun di sanalah aku menghabiskan masa-masa kecilku. Tapi aku tak
tahu, berat rasanya hati ini meninggalkan pusara Habibah. Aku juga tidak tahu
bagaimana respon dari keluargaku nantinya, entah mereka akan suka dengan
kedatanganku atau tidak. Tidak, rasanya aku tidak akan pergi ke sana lagi, Base.
Biarlah aku menghabiskan sisa hidupku di sini.

Mak Base

: Baiklah kalau memang itu maumu, Sutan. Tapi ingatlah, jangan terlalu larut
dalam kesedihanmu. Banyak-banyaklah berdoa dan meminta pada Yang Kuasa
agar kau senantiasa diberikan ketabahan untuk menghadapi semuanya.

P. Sutan

: (pandangan menerawang) Base Kalau aku meninggal pula nanti, bagaimana


dengan Zainuddin?

Mak Base

: Mengapa tiba-tiba kau berkata seperti itu, Sutan? Soal Zainuddin, tentu aku
yang akan mengurusnya.

P. Sutan

: Tapi harta peninggalanku tidak cukup banyak, Base. Tentu mengasuh


Zainuddin akan memberatkanmu.

Mak Base

: Jangan pernah bicara seperti itu, Sutan. Bagaimanapun, Zainuddin sudah


seperti anakku sendiri. Aku berjanji akan merawatnya dengan baik.

P. Sutan

: (mengambil kunci dari sakunya) Ini, terimalah ini, Base. (menaruh kunci di
tangan Mak Base)

Mak Base

: Apa ini, Sutan?

P. Sutan

: Mulai sekarang engkaulah yang berkuasa di sini, Base. Kunci ini biarlah
engkau yang memegangnya. Kunci yang berwarna putih ini adalah kunci lemari.
Di dalam lemari itu ada sebuah peti. Berjanjilah, kau tidak akan membuka peti itu
sebelum aku mati.

Mak Base

: Baiklah, Sutan. Aku berjanji.

(Panggung gelap. Suara Mak Base : Itulah kata-kata terakhir yang kudengar darinya.
Ternyata firasat Sutan benar. Keesokan harinya, ia meninggal dunia saat sedang sembahyang di
atas tikarnya seperti biasa setiap malam, memohon tobat dan ampun atas segala dosanya.
Memang malang nasibmu Zainuddin, harus kehilangan orangtua di usia yang masih amat belia.
Setting diatur seperti adegan pertama di ruang tamu. Zainuddin dan Mak Base duduk di tempat
semula.)
Mak Base

: Begitulah Zainuddin. Hanya itu yang bisa Mak ceritakan padamu.

Zainuddin

: Rasanya ingin sekali bertemu dengan mereka, Mak.

Mak Base

: (memegang pundak Zainuddin) Jangan berlarut-larut dalam kesedihan dan rasa


rindumu Zainuddin.

Zainuddin

: Mak bilang keluarga ayah tinggal di Padang?

Mak Base

: Ya, di Desa Batipuh, seluruh keluarga ayahmu tinggal di sana.

Zainuddin

: Aku akan pergi ke sana, Mak. Sebenarnya sudah lama aku memikirkan ini.
Izinkanlah aku merantau ke sana, Mak.

Mak Base

: Apa kau yakin, Zainuddin? Kenapa kau tidak tinggal saja di sini bersama
Mak?

Zainuddin

: Sempit rasanya alamku, Mak jika aku masih saja diam di Makassar ini. Aku
ingin mencari ilmu ke Padang, kudengar di sana telah ada sekolah agama.
Lepaslah aku ke sana, Mak. Orang-orang berkata negeri Padang itu amatlah
indahnya, dan aku juga ingin melihat tanah asal ayahku. Izinkan aku pergi, Mak.
Seperti kata pepatah Anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah
buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut
palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan
layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang

Mak Base

: (sedih) Aku tak punya alasan untuk melarangmu jika memang itu yang kau
inginkan, Zainuddin. Tunggu di sini sebentar. (pergi ke belakang panggung,
datang membawa sebuah peti, mengeluarkan uang di dalamnya dan
memberikannya pada Zainuddin) Ini, terimalah ini, Udin. Ini hakmu, usaha dari
ayahmu.

Zainuddin

: Ah, kenapa Mak berikan padaku semuanya? Jangan Mak, Mak harus simpan
uang itu. Berikan aku ongkos berangkat saja. Sisa uang itu Mak simpan untuk
sehari-hari di sini.

Mak Base

: Tapi ini hakmu, Zainuddin. Terimalah.

Zainuddin

: Aku tak mau, Mak. Mak yang selama ini mengurusku, biarlah uang itu Mak
simpan saja. Satu yang kuminta, doakan agar aku sukses di sana, Mak.

Mak Base

: Pasti Zainuddin, pasti. Ingatlah, kelak ketika kau sudah sukses, Mak yakin
orangtuamu akan sangat bangga karena memiliki putra sehebat dirimu. Jaga diri
baik-baik, nak.

Zainuddin

: Terimakasih banyak, Mak. (tersenyum, memeluk Mak Base)

Mak Base

: (memeluk Zainuddin dan mengelus punggungnya) Mak sudah menganggapmu


seperti anak Mak sendiri Zainuddin. Jangan kecewakan orang-orang yang
menyayangimu. Kau mengerti apa maksud Mak bukan?

Zainuddin

: (melepas pelukannya) Aku mengerti Mak. Aku akan berusaha sebaik mungkin.
Untuk Mak dan untuk kedua orangtuaku.

(Panggung gelap)
Keesokan paginya, Zainuddin pun berangkat menuju Desa Batipuh di Padang.
Sesampainya di sana ia pergi ke rumah Mande Jamilah, salah satu saudara perempuan ayahnya
yang masih sesuku dan dekat dengan pihak ayahnya.
(Setting : ruang keluarga. Jamilah dan suaminya duduk berhadapan. Dua cangkir kopi di
atas meja. Jamilah sedang menyulam. Suaminya minum kopi)
Zainuddin

: (datang dari tangga panggung) Permisi. Selamat siang.

Suami

: Siapa pula yang datang bertamu siang bolong begini. (menggerutu)

Jamilah

: (berhenti menyulam, menatap suaminya) Aku tak tahu, Pak. Mungkin


kerabatmu?

Suami

: Ah, mungkin saja. Kalau begitu biar aku saja yang menemuinya. (berjalan ke
arah Zainuddin) Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?

Zainuddin

: Begini, Pak. Saya hendak bertanya, apakah benar ini rumah Mande Jamilah?

Suami

: Ya, dia istriku. Ada keperluan apa kau mencarinya?

Zainuddin

: Saya anak dari Pandekar Sutan. Bisa saya bicara dengannya, Pak?

Suami

: Tunggu sebentar. (menghampiri istrinya) Jamilah, yang datang bukan


kerabatku. Pemuda di depan sana itu bilang dia anak dari Pandekar Sutan.

Jamilah

: (terkejut) Apa? Pandekar Sutan? Pemuda di sana itu anaknya? Mau apa dia
kemari?

Suami

: Kau pernah bercerita bahwa Pandekar Sutan juga anggota keluargamu bukan?
Yang membunuh Datuk Mantari? Lalu ia diusir dari sini?

Jamilah

: Kau benar, suamiku. Itulah sebabnya aku heran mengapa anaknya datang
kemari mencari kita.

Suami

: Temui saja dulu.

Jamilah

: Baiklah. (berjalan ke depan mencari Zainuddin) Kau bilang tadi kau adalah
anak dari Sutan?

Zainuddin

: Betul, Mande. Namaku Zainuddin.

Jamilah

: Masuklah dulu. Kita bicarakan semuanya di dalam.

Zainuddin

: Terimakasih, Mande. (masuk mengikuti Jamilah dan duduk di sofa)

Suami

: Siapa namamu, Nak?

Zainuddin

: Oh maaf, tadi aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Zainuddin.

Jamilah

: LaluSebenarnya ada keperluan apa kau datang kemari, Zainuddin?

Zainuddin

: Begini, jika Mande berkenan, saya ingin menumpang tinggal di sini. Saya
hendak menuntut ilmu di sekolah agama di Padang ini, karena di Makassar sana
tidak ada sekolah agama. Bolehkah saya tinggal di sini?

(Jamilah dan suaminya bertukar pandang)


Suami

: Kauorang Makassar, bukan? (memandang Zainuddin dengan pandangan


melecehkan)

Zainuddin

: Yasaya memang datang dari Makassar. Ibu saya orang Bugis, Habibah
namanya, tapi ayah saya berasal dari Padang, bukan? Di tempat inilah ia
dilahirkan.

Suami

: Entahlah. Kau terlihat seperti orang asing. Adat kita berbeda.

Jamilah

: Bagaimana, suamiku? Bolehkah ia tinggal di sini?

Suami

: Mau bagaimana lagi. Aku tak mau dianggap sebagai bako atau sanak saudara
yang tidak bertanggung jawab dan suka menelantarkan kerabat sendiri. Baiklah
Zainuddin, kau boleh tinggal.

Zainuddin

: Terima kasih, Mande. Terima kasih banyak.

Pada awalnya sambutan itu memang baik, dan betapa senangnya Zainuddin bisa
tingggal di negeri yang selama ini jadi idamannya. Namun lama-kelamaan ia merasa aneh.
Orang-orang di sana bukannya tidak menyukainya. Mereka suka, tapi berlain kulit dan isi.
Zainuddin sendiri merasa bahwa meskipun dia orang Minangkabau tulen, banyak yang masih
menganggapnya orang pendatang, masih dipandang sebagai orang Makassar. Setiap ditanya, ia
tak bisa mengatakan ia orang Padang. Di Padang menganut sistem matrilineal, mengikuti garis
keturunan ibunya. Sementara di Makassar menganut sistem patrilineal, mengikuti garis
keturunan ayah. Betapa malangnya ia, bagaikan orang tak bersuku. Ayahnya orang Padang,
namun ibunya orang Makassar. Dia tidak bisa diterima di kedua tempat itu sepenuhnya.
Saidah

: Jamilah, aku dengar pemuda yang datang dari Makassar itu sekarang tinggal di
rumahmu?

Jamilah

: Ya, itu benar. Kau tahu, dia anak Pandekar Sutan.

Saidah

: (terkejut) Apa? Pandekar Sutan? Dia yang pernah dibuang karena membunuh
Datuk Datuk siapa itu namanya? Ah, ya, Datuk Mantari? Dia yang membunuh
Datuk Mantari dulu, bukan?

Jamilah

: Ya, memang benar. Aku pusing mendengar semua pembicaraan orang


tentangnya, mengatakan ia anak orang terbuang, apalagi dia tinggal di rumahku
sekarang. Menambah beban saja.

Saidah

: Yah, mau bagaimana lagi. Ayah ibunya sudah meninggal, sepertinya hanya kau
dan suamimu keluarga terdekatnya kini.

Jamilah

: Terkadang aku kasihan juga melihatnya. Sebenarnya Zainuddin itu berbakat,


dia mewarisi kegagahan ayahnya. Nasibnya yang tidak mujur, terlahir dalam
keadaan seperti itu.

Saidah

: Roda kehidupan selalu berputar. Siapa tahu dia akan sukses setelah menimba
ilmu di sini.

Jamilah

: Yah, mungkin dengan begitu orang-orang akan menganggapnya lain. Tidak


akan ada yang meremehkannya lagi. Tapi tetap aja, cap anak terbuang itu akan
selalu mengikutinya.

(Suami Jamilah masuk)


Suami

: Apa yang kalian bicarakan?

Jamilah

: Tentang Zainuddin.

Suami

: Memangnya ada apa dengan Zainuddin?

Saidah

: Orang-orang di kampung semuanya membicarakan tentang dia. Kau tidak


tahu?

Suami

: Ah, sudah bisa ditebak. Makanya aku agak enggan sewaktu dia mengatakan
ingin tinggal di sini. Aku tahu dia pasti akan dibicarakan banyak orang karena
asal-usulnya yang tidak jelas.

Jamilah

: Lalu bagaimana, suamiku? Kita juga tidak mungkin mengusirnya. Sebenarnya


aku agak kasihan juga dengannya. Zainuddin itu anak yatim piatu. Dia menjadi
bual-bualan banyak orang. Tujuannya ke sini sebenarnya baik, dia hanya hendak
menuntut ilmu di sekolah agama. Biarkan sajalah dia tinggal di sini untuk
sementara.

Saidah

: Jadi, kalian akan tetap membiarkannya tnggal di sini?

Suami

: Ya, biarkan saja dia tinggal di sini. Sudahlah, buat apa terlalu dipikirkan.

Saidah

: (mengendus-endus) Hei, bau apa ini?

Suami

: (ikut mengendus) Baunya seperti masakan gosong.

Jamilah

: (menepuk dahi) Astaga, ikan gorengku! (berlari ke belakang panggung)

Meskipun sering dibicarakan orang karena asal-usulnya yang tidak jelas, Zainuddin
tidak menyerah, ia selalu berusaha membantu orang lain. Jika ada orang ke sawah, ia akan
mengikutinya, dan membantu barang mencangkul dan sebagainya. Ia juga sering bergaul dengan
pemuda-pemuda di sana. Hingga pada suatu hari ia bertemu seorang gadis di Ekor Lubuk. Hari
itu hujan turun dengan deras, dan Zainuddin bertemu dengan gadis itu saat hendak pulang.
Hayati

: Mengapa hujan ini tak kunjung reda. Bagaimana aku akan pulang ke rumah?
(cemas)

Zainuddin

: (datang membawa payung, melihat Hayati) Maaf, tapi mengapa kau masih
diam di sini? Sudah hampir malam. Apakah kau menunggu hujan reda baru kau
akan pulang?

Hayati

: Seperti itulah. Sebenarnya aku hendak pulang sejak tadi. Tapi ada beberapa
urusan yang belum kuselesaikan. Aku khawatir mamak akan cemas menungguku
hingga tiba di rumah. Tapi hujan ini tak kunjung reda juga.

Zainuddin

: (memandang payungnya, menyodorkan pada Hayati) Ini, pakailah payung ini


dulu.

Hayati

: Benarkah? Terima kasih. Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Bagaimana kau
akan pulang nantinya?

Zainuddin

: Tak usah dipikirkan, aku ini laki-laki, soal itu gampang. Pukul 9 malam pun aku
sanggup untuk pulang sendiri bila nanti hujan ini reda. Berangkatlah dahulu,
gunakan payung ini.

Hayati

: (menerima payung) Terima kasih banyak. Ke mana payung ini harus kuantarkan
nantinya?

Zainuddin

: Besok saja diantarkan, ke rumah Mande Jamilah.

Hayati

: Baiklah. Terima kasih banyak atas budi yang baik ini. (tersenyum, membuka
payung, berjalan ke belakang panggung)

Zainuddin

: (tersenyum menatap Hayati, diiringi suara dalam hati Aduhai, betapa cantiknya
gadis itu.)

Zainuddin akhirnya mengetahui bahwa gadis itu bernama Hayati, seorang kembang
desa yang terkenal karena parasnya yang begitu elok, terlebih lagi ia keturunan terhormat di
Desa Batipuh itu. Beruntung nasib Zainuddin karena permohonannya terkabul. Ia bertemu lagi
dengan gadis cantik yang telah memikat hatinya itu.
Hayati

: Aku hendak mengembalikan payung ini. Terimakasih untuk pertolongan


kemarin. Kau sangat baik. (menyodorkan payung)

Zainuddin

: Ah, tidak usah seperti itu, aku hanya melakukan apa yang orang lain akan
lakukan kemarin. Bagaimana bisa aku yang seorang laki-laki pulang dengan
payung sementara ada perempuan di sana yang cemas menanti redanya hujan?

Hayati

: Bagaimanapun juga aku tetap ingin berterima kasih padamu karena sudah
menolongku kemarin. Hmm, kau Zainuddin, bukan? Aku sering mendengar
tentangmu. Namaku Hayati. (tersenyum)

Zainuddin

: Aku sudah tahu . Kembang desa, gadis yang tercantik di Desa Batipuh ini.

Hayati

: Ah orang-orang sering berlebihan berbicara tentangku. Kalu begitu, aku akan


pulang ke rumah sekarang. Sekali lagi terima kasih banyak, Zainuddin.

Zainuddin

: Tunggu sebentar, Hayati. (mengeluarkan surat) Ini untukmu. Aku tidak


mengharapkan balasan, namun sudilah kiranya kau membaca surat itu dulu.

Hayati

: Baiklah. Aku pergi dulu, Zainuddin. (tersenyum)

Zainuddin

: Hati-hati di jalan, Hayati. (melambaikan tangan)

Hayati pun pulang dengan rasa penasaran yang menyelimuti hatinya. Penasaran dengan
apa isi surat yang ditulis Zainuddin untuknya. Setibanya di rumah, Hayati masuk ke kamarnya,
dan membaca surat dari Zainuddin.
Suara Zainuddin : Hayati, gemetar rasanya tanganku saat menulis surat ini. Hatiku memaksa
untuk menulis, namun aku bingung akan memulainya dari mana. Sudah hampir

setahun aku tinggal di negeri Padang ini, tanah kelahiran ayahku. Aku sangat
ingin kembali ke sini karena di saat di Makassar, aku dipandang sebagai orang
Padang, bukannya orang Bugis, dan aku selalu merasa kesepian. Berulang kali
aku menanggung perasaan ini, namun tak tahu kepada siapa aku harus mengadu.
Ketika tinggal di sini, aku juga merasakan kesepian dan sedih karena orang-orang
malah menganggapku sebagai orang Makassar, pendatang baru, bukannya orang
asli Padang. Bahkan bakoku tidak mengakuiku. Terimalah pengaduan ini, Hayati.
Ayahku telah mati, dan ibuku pula. Bakoku tidak mengakui aku keluarganya.
Dalam pergaulan, aku disisihkan orang. Aku percaya dengan Yang Maha Kuasa,
dibalik semua kesulitan dan masalah ini akan ada jalan terang dan hikmahnya. Di
dalam khayalku, dalam gelap gulita malam, awan bersibak, dan terlihat satu
bintang, bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu adalah
kau sendiri, Hayati. Aku sendiri tidak tahu mengapa hatiku bisa berkata begitu.
Aku mengirim surat ini bukannya meminta balasan darimu, karena aku tahu diri,
aku hanya orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim piatu. Sudikah
engkau menjadi sahabatku, Hayati? Meskipun bagaimana, percayalah hatiku baik,
hati yang bersih karena senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya
ke dunia.
Zainuddin
Hayati

: Kasihan sekali Zainuddin tapi apa yang bisa kuperbuat untuk menolongnya,
aku ini kan hanyalah perempun biasa. Kenapa pria sebaik dirimu harus
menghadapi nasib seburuk ini, Zainuddin?
Hari-hari selanjutnya, Hayati dan Zainuddin pun sering bertemu dan berbalas surat. Dari

situlah asal mulanya mereka saling jatuh cinta, Namun, kedekatan Zainuddin dengan Hayati
telah menjadi desas-desus di Desa Batipuh. Banyak orang yang membicarakan kedekatan
mereka, dan banyak pula yang mencela karena Zainuddin yang tidak bersuku dianggap tidak
pantas berhubungan dengan Hayati.
(Setting : Jamilah duduk di kursi, menyulam)
Saidah

: (datang sambil menenteng keranjang belanjaan) Jamilah! Jamilah!

Jamilah

: Ada apa? Kenapa pula kau membawa-bawa keranjang belanjaan? Baru datang
dari pasar?

Saidah

: Iya, aku baru datang dari pasar. Aduh, ini benar-benar gawat, Jamilah.

Jamilah

: Apa? Apanya yang gawat?

Saidah

: Aduh, bagaimana aku harus mengatakannya

Jamilah

: Ayolah katakan saja, sebenarnya ada apa?

Saidah

: Kau pasti sudah tahu kan soal hubungan Zainuddin dan Hayati?

Jamilah

: Bagaimana mungkin aku tidak tahu, setiap hari orang-rang di kampung sini
yang berpapasan denganku selalu menanyakan hal itu. Tapi aku tidak pernah
menjawab apapun karena Zainuddin tidak pernah bercerita apa-apa padaku soal
Hayati.

Saidah

: Nah, hubungan mereka ternyata tidak disetujui banyak orang. Kau tahu sendiri
Zainuddin dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Masalahnya, tadi aku
mendengar segerombolan anak muda berencana menyerangnya besok malam.
Awalnya aku mengira aku salah dengar, tapi aku sengaja berlama-lama di dagang
sayur agar bisa mendengar percakapan mereka lebih lanjut. Mereka akan
menyerang Zainuddin besok beramai-ramai. Kau tahu kumpulan si Amin bukan?

Jamilah

: Amin? Astaga, bukankah hampir semua pemuda di kampung ini tunduk pada
Amin? Kalau dia sudah murka dan mengerahkan pasukannya, bisa gawat ini!

Saidah

: Karena itulah aku cepat-cepaat datang ke sini, Jamilah, aku ingin


memberitahumu soal ini. Suruh saja Zainuddin pergi, kasihan dia. Dia harus pergi
hari ini juga, sebelum pemda-pemuda satu kampong menyerangnya.

Jamilah

: Baiklah. Terimakasih atas infonya, Saidah. Daripada ia mati babak-belur


dipukuli si Amin, lebih baik aku menuruhnya pergi dari sini secepatnya.

Kabar mengenai hubungan Hayati dan Zainuddin pun terdengar sampai ke telinga Mak
Datuk, saudara ibu Hayati yang telah mengurus Hayati dari kecil sejak ibunya meninggal.Maka
pada suatu hari, Mak Datuk pergi untuk menemui Zainuddin.
Datuk

: Zainuddin, belakangan ini, aku seringkali mendengar desas-desus mengenai


hubunganmu dengan Hayati. Banyak pembicaraan negatif, karena hal ini
bertentangan dengan adat, dimana Hayati adalah kembang desa dan merupakan
orang terpandang di desa ini, sementara kau dianggap sebagai pendatang dari
Makassar, orang yang tidak bersuku. Rasanya tidak pantas bila kau menjalin
hubungan dengannya. Sebelum merusak nama kami dalam negeri, sebaiknya kau
pergi dari Batipuh ini. Putuskan hubunganmu dengannya.

Zainuddin

: Tapi kami saling mencintai, Engku. Mengapa Engku bicara seperti itu? Sampai
membawa nama adat dan turunan?

Datuk

: Hayati adalah orang bersuku, terhormat, dia bukan sembarang orang yang bisa
seenaknya kau jadikan istri. Serba salah posisiku sekarang ini, Zainuddin. Aku
dikatakan sebagai mamak yang tak pandai mengatur kemenakan. Jika ku
mencintainya, demi kebaikan Hayati, pergilah dari Desa Batipuh ini segera.

Zainuddin

: Tapi itu artinya sama saja Engku merenggut jantung dari dada saya. Saya tak
bisa meninggalkannnya, Engku.

Datuk

: Engkau seorang laki-laki, Zainuddin.m Sakitmu hari ini, bisa terobati besok
atau lusa. Tapi seorang perempuan seorang perempuan akan binasa kalau
tersakiti hatinya.

Zainuddin

: Tidak Engku, hati laki-lakilah yang kerap remuk lama. Perempuan dapat segera
melupakan kehidupnya di zaman muda.

Datuk

: Aku mohon dengan sangat segera tinggalkan Desa Batipuh ini, Zainuddin!
Demi Hayati! Jangan pernah bermimpi kau akan bisa mmemperistrinya. Ingatlah,
kau dan dia berasal dari kaum yang berbeda. Camkan kata-kataku ini, Zainuddin!
(pergi)

(Lampu mati. Scene selanjutnya di beranda rumah Jamilah.)


Dengan hati yang pedih karena mendengar perkataan Datuk, Zainudin pulang ke
rumahnya. Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga, di rumah pun ia mendapat kabar
buruk dari Mandenya.
Jamilah

: Zainuddin, sudah pulang rupanya kau?

Zainuddin

: Ya, Mande. Ada apa?

Jamilah

: Sebaiknya kau segera pergi Zainuddin. Pergilah dari Desa Batipuh ini.
Pembicaraan orang tentangmu semakin hari semakin tak mengenakkan saja.
Pergilah! Tinggallah di Padang Panjang. Tadi aku mendengar banyak pemuda
yang ingin berbuat jahat padamu.

Zainuddin

: (lemas) Baiklah, Mande. Saya akan pergi dari sini.

Akhirnya Zainuddin pun pergi meninggalkan rumah Mandenya. Sementara itu, di


rumahnya Hayati pun merasakan kesedihan yang amat sangat karena mendengar kabar dari
mamaknya.
Datuk

: Hayati Hayati! Kemarilah!

Hayati

: (datang) Ada apa, Mak Datuk?

Datuk

: Kau tentu sudah tahu bagaimana perkataan orang tentang hubunganmu dan
Zainuddin. Banyak orang yang mengatakan hal-hal negatif tentang hubungan
kalian. Aku tak mau jika nama keluarga kita sampai tercoreng karenanya. Kita
orang terpandang, Hayati. Aku tidak menyetujui hubungan kalian.

Hayati

: (sedih) Cinta kami ini suci Mak Datuk. Aku mencitai Zainuddin tulus dari
hatiku.

Datuk

: Bukan itu masalahnya, Hayati!

Hayati

: Zainuddin pun pernah berkata ia serius, Mak Datuk. Ia hendak memperistriku.

Datuk

: Hayati! Menyebut hal itu saja tidak pantas. apalagi melangsungkannya?


Zainuddin itu orang yang tidak bersuku. Sadarlah, Hayati!

Hayati

: Tapi bukanlah dia juga keturunan Minangkabau? Di hadapan Yang Kuasa saja,
aku yakin Zainuddin dan kita itu sama, kita semua sama-sama manusia, Mak
Datuk.

Datuk

: Jangan membantah dan mencoba mencari alasan, Hayti! Jangan membawabawa nama Yang Kuasa. Tahu apa kau ini soal hidup? Sekarang ini mencari suami
harus yang jelas asal-usulnya, pencaharian dan adatnya. Jangan pernah kau
samakan Zainuddin dengan kaum kita!

Hayati

: Mak Datuk tega. Tega membunuh Zainuddin dan kemenakanmu sendiri seperti
ini! (menangis)

Datuk

: Biarlah kau menangis, ini juga demi kebaikanmu, Hayati. Tenangkan


pikiranmu. Hari ini kau bersedih, karena segala sesuatu kau pandang dengan mata
percintaan, bukan mata pertimbangan, suatu saat kau akan sadar bahwa keputusan
inilah yang paling baik. Aku tidak bermaksud membunuh, aku hanya ingin
meluruskan jalan hidupmu. Aku tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu
pahit dan getirnya hidup ini.
Hari itu, hati Zainuddin dan Hayati dirundung duka dan kesedihan yang amat sangat.

Cinta mereka yang tulus, harus terpisahkan karena perbedaan "kasta" antara keduanya. Keesokan
harinya, Zainuddin pun pergi meninggalkan Desa Batipuh, berangkat menuju Padang Panjang
dengtan langkah gontai. Setelah kira-kira setengah jam ia meninggalkan kampong yang permai
itu, di suatu pendakian ynag agak sunyi di tepi jalan menuju Padang Panjang, terlihat sesosok
perempuan sedang berdiri dan menatap lurus ke arahnya.
Zainuddin

: (terkejut) Hayati? Apa kau menungguku di sini?

Hayati

: Ya, itu benar. Aku memang sengaja menunggumu di sini Zainuddin. Keputusan
Mak Datuk dan pembicaraan yang tidak mengenakkan dari orang-orang di
kampung membuat kita terpaksa mengakhiri hubungan kasih sayang ini. Untuk
itulah aku ke sini untuk melepasmu pergi. Jarak akan memisahkan kita berdua,

namun jiwamu telah dekat dengan jiwaku. (memegang tangan Zainuddin) Cinta
bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis
sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam
perjuangan menempuh duri penghidupan. Berangkatlah, Zainuddin! Dan semoga
Tuhan memberkati kita berdua.
Zainuddin

: Hayati, sebelum bertemu denganmu, aku tak ubahnya orang putus asa yang
tidak tahu kemana kakiku akan melangkah, tapi timbul pengharapan itu saat
bertemu denganmu, gadis yang berhasil memjatuhkan hatiku. Engkaulah yang
sanggup menjadikanku seorang yang gagah berani, tetapi engkau pula yang
sanggup menjadikanku sengsara selamanya. Semuanya tergantung padamu
sekarang, Hayati.

Hayati

: Jiwaku telah diisi sepenuhnya oleh cinta kepadamu, Zainuddin. Aku selalu
berkata, biar Tuhan mendengarkan, bahwa hanya engkaulah yang akan menjadi
suamiku kelak. Ketahuilah, rasanya berat sekali untuk melepasmu beraangkat
pada hari ini, tapi apa yang bias kuperbuat selain bersabar. Tuhan telah
memberiku kesabaran, semoga kesabaran it uterus menyelimuti hatiku, menunggu
masanya kita akan menghadapi dunia ini dengan penuh kesyukuran suatu saat
nanti.

Zainuddin

: Berikan aku satu tanda mata darimu Hayati, agar aku yakin dan kuat untuk
menjalani kenyataan bahwa aku tidak bisa melihatmu setiap hari seperti dulu saat
aku masih bisa tinggal di Batipuh. Berikanlah, meskipun hanya satu barang yang
paling murah bagimu.

Hayati

: (melepaskan selendang di kepala dan mencaabut beberapa helai rambutnya)


Ini,, terimalah Zainuddin. Berangkatlah, aku harus segera pulang sebelum Mak
Datuk mengetahui pertemuan kita ini. (pergi)

Zainuddin

: Jaga dirimu baik-baik, Hayati. (mencium selendang Hayati)

Setelah pertemuan itu, Hayati sering berkirim surat dengan sahabatnya, Khadijah di
Padang Panjang, mencurahkan segenap kesedihannya semenjak berpisah dengan Zainuddin.
Khadijah mencoba menghibur kawan karibnya itu. Sebenarnya ia pun hendak menjodohkan
Hayati dengan Aziz, kakaknya.
Hayati

: (merenung, pandangannya menerawang)

Khadijah

: (datang diam-diam dan mengejutkan Hayati) "Hai Hayati!"

Hayati

: (terkejut) "Astaga! Jantungku hampir copot karenamu, Khadijah! Sejak kapan


kau datang? Aku rindu sekali padamu sahabatku."

Khadijah

: "Ah, tapi dari isi surat-surat yang kau kirimkan padaku, sepertinya ada orang lain
yang lebih kau rindukan. Aku benar, 'kan? Lalu saat tadi aku ke sini, kau sedang
melamun, Hayati. Tentu kau sedang melamunkan laki-laki itu."

Hayati

: "Aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi, Khadijah. Dia sudah pergi dari
desa ini. Ah, adat ini begitu kejam. Kenapa aku tidak terlahir di keluarga yang
biasa-biasa saja, agar aku bisa bersama Zainuddin..."

Khadijah

: "Mengapa kau berkata seperti itu, Hayati? Seharusnya kau bersyukur dilahirkan
di keluarga yang serba berkecukupan, terpandang pula. Tidak banyak orang di luar
sana seberuntung dirimu, Hayati."

Hayati

: "Tapi apalah artinya itu semua, jika hatiku terasa hampa seperti sekarang ini.
Remuk redam dan hancur berkeping-keping... Tak kuat rasanya aku menanggung
ini, Khadijah... " (Menutup mukanya dengan kedua tangan, hampir menangis)

Khadijah

: (merangkul Hayati) "Sudahlah Hayati, sudah. Jangan menangis lagi. Jangan


menaruh harapan terlalu banyak padanya. Untuk apa mencintainya bila ia tak
peduli lagi padamu? Buktinya sekarang dia malah pergi meninggalkanmu. Jika dia
memang benar-benar mencintaimu, tentu dia akan mempertahankan cintanya dan
tidak serta merta pergi meninggalkanmu di sini."

Hayati

: "Tapi tetap saja... Aku masih mencintainya, Khadijah."

Khadijah

: "Lupakan dia, Hayati. Aku tak sampai hati melihatmu bersedih karenanya. Dia
sudah meninggalkanmu. Jangan membuang percuma air matamu untuk laki-laki
seperti dia. Sudah, jangan bersedih lagi."

Hayati

: "Terima kasih, Khadijah. Kau baik sekali mau menghibur dan menemaniku."

Khadijah

: "Ah kau ini, aku sahabatmu, Hayati. Sudah sepantasnya aku melakukan itu
untukmu. Jangan bersedih lagi, ya?"

Hayati

: (memeluk Khadijah, suara dalam hati : Jujur saja sahabatku, aku tak tahu
apakah kesedihanku ini bisa terobati atau tidak.)
Melihat kesedihan Hayati, Khadijah semakin yakin untuk menjodohkan udanya, Aziz

dengan Hayati. Uda adalah sebutan kakak laki-laki dalam bahasa Minangkabau. Suatu hari ia
pun mengajak Aziz ke rumah Hayati.
Datuk

: Wah, jadi ini udamu, Khadijah? Tampan benar dia.

Aziz

: Ah, biasa saja, Datuk. Sebenarnya maksud saya datang ke sini untuk menemui
Hayati.

Khadijah

: Di mana Hayati sekarang, Datuk?

Datuk

: Dia ada di kamarnya.

Khadijah

: Baiklah, Datuk, aku akan memanggilnya. (pergi)

Datuk

: Bagaimana keadan orang tuamu di Padang Panjang, Aziz?

Aziz

: Baik-baik saja, Datuk. Datuk sendiri bagaimana? Sehat, bukan?

Datuk

: Sehat-sehat saja.

Aziz

: (mengamati foto-foto di atas meja) Ini Hayati? Lalu siapa perempuan di


sebelahnya? Apakah itu ibunya?

Datuk

: Ya, semua tebakanmu benar, Aziz.

Aziz

: Cantik sekali. Mirip dengan ibunya. Khadijah sering bercerita pada saya tentang
Hayati, dan mengatakan kalau Hayati cantik, budinya baik pula.

Khadijah

: (datang dengan menggandeng Hayati, lalu mereka duduk) Ini dia orang yang
ditunggu-tunggu. Hayati, perkenalkan, ini udaku, Uda Aziz. Uda-ku penasaran
sekali ingin bertemu denganmu Hayati.

Hayati

: (tersenyum tipis)

Aziz

: (terpesona) Memang benar apa yang dikatakan adikku. Kau cantik sekali,
Hayati.

Hayati

: Sudahlah, aku tidak pernah menganggap diriku cantik. Jangan dilebihlebihkan.

Aziz

: Tapi ini benar, aku jujur dan tanpa melebih-lebihkan.

Hayati

: Ah, kalau benar kiranya begitu, terima kasih atas pujiannya.

Datuk

: Kesan pertama yang baik. Aziz ini sudah pasti lebih baik dibandingkan
Zainuddin, Hayati.

Aziz

: Zainuddin? Siapa dia?

Datuk

: Dia pernah berhubungan dengan Hayati dulu. Tapi sudah berakhir sekarang

Hayati

: Sudahlah, Mak Datuk. Jangan diungkit-ungkit lagi.

Aziz

: (melihat jam) Wah, sudah hampir terlambat. Hayati, maaf, sebenarnya aku ingin
mengobrol denganmu lebih lama, tapi ada urusan yang mesti kuselesaikan
sekarang. Khadijah, kau ingat rekan bisnis yang pernah kuceritakan waktu itu,
kan? Ayo temani uda menemuinya sekarang.

Khadijah

: Baik, Uda. Hayati, Datuk, kami permisi dulu.

Aziz

: Datuk, saya pamit dulu. Lain kali saya akan datng lagi kemari untuk
berkunjung. Sampai jumpa, Hayati.

Datuk

: Ya, Aziz, Khadijah. Berhati-hatilah di jalan. Semoga pekerjaan kalian sukses.

Hayati

: Sampai jumpa Khadijah, Uda Aziz. Hati-hati di jalan.

(Aziz dan Khadijah pergi)


Datuk

:Apa pendapatmu tentang Aziz, Hayati?

Hayati

: Yah, dia kelihatannya baik. Tapi aku baru mengenalnya hari ini, Mak Datuk.
Mengapa Mak Datuk sudah bertanya seperti itu?

Datuk

: Tidak apa-apa, hanya bertanya saja. Mak hanya ingin berpesan jangan terlalu
terpuruk karena sakit hatimu. Kedatangan Aziz ini cobalah beri dia kesempatan,
siapa tahu dia bisa membuatmu lupa akan kesedihanmu karena Zainuddin. Dia
jauh lebih baik daripada Zainuddin. Camkan ini baik-baik, Hayati.

Hayati

: (terdiam)
Hayati masih belum bisa melupakan Zainuddin. Tidak, tidak secepat itu. Kedatangan

Aziz belum bisa sepenuhnya menghilangkan perasaannya dulu kepada Zainuddin. Sejak hari
pertemuan mereka itu, Aziz seringkali berkirim surat dan mengunjungi Hayati. Mereka sering
bertemu atas prakarsa Khadijah, yang memang berniat untuk menjodohkan Aziz dan Hayati.
Perasaan Hayati tidak menentu. Dia masih mencintai Zainuddin, tapi dia harus mengakui kalau
Aziz adalah pria yang amat baik. Dia masih sempat berkirim surat dengan Zainuddin yang kini
tinggal di Padang Panjang. Ia juga mengatakan bahwa ia akan pergi ke sana dan tinggal
sementara bersama Khadijah karena mereka hendak menyaksikan pacuan kuda dan pasar malam.
Mereka memang bertemu dengan Zainuddin, tapi Hayati malah mendapat ejekan dari Khadijah.
Khadijah memandang remeh Zainuddin yang dianggapnya tidak pantas mendampingi Hayati.
Singkat cerita, karena merasa cukup memiliki harta peninggalan orang tuanya setelah
Mak Base meninggal, Zainuddin mengirimkan surat lamaran pada Hayati. Namun di saat yang
bersamaan, Hayati juga menerima surat lamaran dari Aziz.
Hayati

: Mengapa bisa jadi seperti ini? Apa yang harus kuperbuat sekarang Tuhanku,
hamba bingung Hamba benar-benar tidak ingin menyakiti hati siapapun
(putus asa)

Datuk

: (datang) Ada apa, Hayati? Surat apa itu di tanganmu? (mengambil surat dari
tangan Hayati) Ini surat lamaran, bukan? Dari dua orang? Dan Zainuddin masih
berani-beraninya mengirimkan surat lamaran padamu?

Hayati

: (terdiam, menutup mka dengan kedua tangan, terlihat bingung)

Datuk

: (nada memerintah) Terimalah lamaran Aziz. Turuti kata-kataku. Jangan coba


membantah. Hayati. Pernikahan kalian akan segera dilangsungkan. (membuang
kedua surat itu sembarangan dan pergi ke belakang panggung)

Hayati

: (menatap kepergian Datuk dengan raut sedih) Tapi tapi aku mencintai
Zainuddin. (menangis)
Akhirnya pernikahan itu pun dilangsungkan. Zainuddin pun menerima surat yang

menyatakan bahwa Hayati menolak lamarannya dan memutuskan untuk menikahdengan Aziz.
Karena amat frustasi dan sedih, Zainuddin pun jatuh sakit. Ia demam tinggi dan berkali-kali
menggigau menyebut-nyebut nama Hayati. Muluk, seorang temannya yang setia, merasa heran
sekaligus iba melihat kondisi Zainuddin saat itu.
(Zainuddin tidur dan menggigau)
Zainuddin

: (gemetaran) Hayati Hayati

Muluk

: (datang membawa baskom berisi air dan kompres) Lagi-lagi nama itu yang dia
sebut. Zainuddin, entah sampai berapa lama kau akan seperti ini. (memeras kain
untuk kompres dan meletakkannya di dahi Zainuddin)

Zainuddin

: (terbangun) Muluk terimakasih. (terbata-bata karena menggigil)

Muluk

: Aku jadi penasaran sebenarnya seperti apa orang yang sudah membuatmu jadi
seperti ini, Zainuddin. Kau terlihat merana dan begitu sengsara karena cinta.

Zainuddin

: Dia benar-benar tega.. Dia yang membuat semangatku hidup kembali dulu, tapi
dia pula yang membuatku menjadi sengsara seperti sekarang ini.

Muluk

: Ah, betapa kasihannya dirimu, Zainuddin. Pemuda tampan dan gagah macam
kau ini ada pula yang tega menolak. Tabahkan hatimu, Zainuddin. Ingatlah, karma
selalu berjalan. Akan selalu ada hasil dari tiap perbuatan kita.
Beberapa hari kemudian, keadaan Zainuddin sudah leih baik karena bantuan dari

Muluk. Awalnya, Muluk adalah orang yang suka berjudi dan menyabung ayam. Namun mereka
bertem dan sepakat untuk bersahabat sehidup semati. Bahkan Muluk rela untuk bertobat, dan ia
akan selalu mengikuti kemanapun Zainuddin pergi. Di suatu siang Muluk datang ke kediaman
Zainuddin.
Muluk

: (menepuk pundak Zainuddin) Zainuddin! Bagaimana kabarmu?

Zainuddin

: Yah, masih sama, begini-begini saja. Ada apa, Muluk?

Muluk

: Aku sering melihat tulisan-tulisan di kamarmu. Itu kau sendiri yang


menulisnya?

Zainuddin

: Ya, itu benar. Lalu kenapa?

Muluk

: Tulisan-tulisanmu itu bagus, Zainuddin. Mengapa tak kau coba untuk


mengirimkannya ke tempat penerbitan? Siapa tahu kau akan menjadi penulis
terkenal nantinya!

Zainuddin

: Aku tidak mau bermimpi dan berangan-angan terlalu tinggi sekarang ini,
Muluk. Rasa sakit saat jatuh setelah melambung tinggi begitu perih.

Muluk

: Inilah yang menghambat orang-orang untuk sukses. Kenapa tak kau coba saja
dulu? Daripada kau terpuruk sendirian di sini memikirkannya? Inilah
kesempatanmu untuk bangkit, Zainuddin! Buka lembaran baru. Mulailah hidup
dengan semangat baru, Zainuddin.

Zainuddin

: (berpikir) Mungkin, kau ada benarnya juga.

Muluk

: Tentu saja! Maka dari itulah aku kemari, aku hendak mengajakmu pergi
merantau ke Jakarta. Aku punya kenalan yang bekerja di penerbitan. Kirimkan
saja tulisan-tulisanmu ke sana. Bagaimana? Kau akan ikut denganku, bukan?

Zainuddin

: Ya ya, kau benar, Muluk. Inilah saatnya aku memulai semua dari awal. Aku
akan pergi ke Jakarta.

Berangkatlah kedua bersahabat itu ke Jakarta keesokan harinya. Zainuddin pun menulis
dan menulis lagi, mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hingga akhirnya, buah dari kerja
kerasnya pun tiba
Muluk

: Zainuddin, hai sobat! Wah, tidak salah dulu aku memaksamu untuk ikut
merantau! Akhirnya, buku-bukumu terbit dan terjual laris! (merangkul dan
menepuk punggung Zainuddin keras-keras)

Zainuddin

: Ini semua berkat dukunganmu, Muluk! Terima kasih banyak!

Muluk

: Hahaha aku hanya mencoba menolongmu, Zainuddin. Aku tidak tega


melihatmu terus terpuruk. Hanya itu satu-satunya cara yang terpikirkan olehku
waktu itu. Bisa kta lihat apa yang terjadi sekarang Kau berhasil, Zainuddin!

Zainuddin

: Bayangkan jika saat itu aku menolak tawaranmu. Ah, tidak bisa kubayangkan
sudah jadi apa aku sekarang. Semakin terpuruk, bahkan bisa-bisa aku akan binasa
sendiri. Kau memang penyelamatku, Muluk!

Muluk

: Haha, sudahlah, itulah gunanya sahabat, Zainuddin. Kau juga yang bisa
membuatku tobat dan berhenti berjudi dan menyabung ayam. Sekarang ini, aku
pengikut setiamu! Hahaha

Zainuddin

: Hahaha ada-ada saja kau ini, Muluk.

Muluk

: Oh ya, kudengar aka nada pementasan drama berdasarkan cerita yang kau tulis
itu?

Zainuddin

: Ya, pementasan itu di Surabaya. Aku pun rencananya akan pindah ke sana. Kau
harus ikut pula denganku, Muluk.

Muluk

: Siap, bos! Semoga pementasan itu sukses, kawan!

Zainuddin

: Semoga Terima kasih, Muluk!

Sementara itu, di sisi lain, hubungan rumah tangga Aziz dan Hayati mulanya berjalan
baik. Pekerjaan Aziz menuntutnya untuk pindah ke Surabaya, dan Hayati pun ikut serta ke sana
untuk menemani suaminya. Suatu hari mereka mendapat undangan untuk menonton pementasan
drama yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau Z. dari situlah awal mula
pertemuan mereka setelah sekian lama
(Zainuddin sedang berbicara dengan Muluk, Aziz dan Hayati datang dari sisi lain
panggung, Aziz menggandeng Hayati)
Aziz

: (menepuk undak Zainuddin) Maaf, bukankah kau Tuan Shabir? Penulis dan
sutradara dari drama tadi, kan?

Zainuddin

: (berbalik, terkejut) Ehm, ya itu benar. Nama saya Zainuddin. (mengulurkan


tangan)

Hayati

: (terkejut)

Aziz

: (menyambut uluran tangannya) Namaku Aziz dan ini istriku, Hayati.

Zainuddin

: (terdiam, menatap Hayati)

Hayati

: (menatap Zainuddin dengan pandangan ragu-ragu dan enggan)

Aziz

: Ada apa dengan kalian berdua? Tuan Zainuddin Oh, aku mengerti sekarang!
Jadi kau, kau Zainuddin, pendatang dari Makassar yang sempat tinggal di Desa
Batipuh, bukan? Jadi kau pasti sudah mengenal istriku ini.

Zainuddin

: Ya itu memang benar. Apakah anda menikmati pertunjukan tadi?

Aziz

: Ya, pertunjukannya sangat bagus! Istriku ini sangat terpukau dibuatnya. (nada
menyindir sambil melirik Hayati)

Hayati

: Pertunjukan yang sangat bagus.

Aziz

: Acara pertunjukan dramamu sukses besar! Selamat, Zainuddin!

Zainuddin

: Terima kasih atas pujiannya. Maaf, aku harus pergi, ada urusan di belakang
panggung yang belum selesai. (pergi. Suara dalam hati : Tuhan, maaf karena

aku sudah berbohong. Pertahanan diriku seakan roboh karena melihatnya lagi,
terlebih saat ini dia sudah bersama orang lain., menoleh sekilas kepada Hayati)
Pertemuan itu singkat saja, namun membangkitkan sejuta kenangan di masa lalu antara
Hayati dan Zainuddin. Hubungan Aziz dan Zainuddin sebenarnya baik-baik saja. Mereka tidak
lantas bermusuhan karena sama-sama memperebutkan Hayati. Namun saat tinggal di Surabaya,
justru hubungan rumah tangga Aziz dan Hayati menjadi tidak begitu baik, karena Aziz mulai
sering berjudi, mabuk-mabukan, dan pergi dengan perempuan-perempuan jalang.
Bandar judi

: Rokok, kawan? Kau tidak terlihat begitu baik akhir-akhir ini. (menyodorkan
rokok)

Aziz

: (mengambil rokok itu, menyalakan dan menghisapnya) Istriku bertemu lagi


dengan cinta pertamanya. Membuatku muak! Aku jadi malas berdiam di rumah.
Sepertinya mereka masih saling mencintai.

Bandar judi

: Buat apa kau pikirkan? Banyak wanita-wanita yang bisa membuatmu merasa
lebih baik di sini. Atau kita berjudi, kawan! Ayo bersenang-senang! Ayolah Aziz,
kita main judi lagi! Hartamu kan masih banyak! Tidak ada salahnya bersenangsenang sedikit. Lupakan saja tentang istrimu dan segala tetek bengek tentang cinta
pertamanya!

Aziz

: Kau menantangku? Baiklah. Aku terima! Persetan dengan masalah-masalah itu!


Hanya membuat pikiranku semakin tak karuan! Ayo, kau mau taruhan berapa?
(Diiringi narasi : Dan mereka pun mulai berjudi. Setelah sekian lama, ternyata Aziz

kalah. Padahal ia bertaruh banyak, karena si Bandar judi terus menentangnya untuk bertaruh
lebih banyak lagi.)
Bandar judi

: Kau kalah, Aziz! Hahaha! Tapi tak apa-apa, kawan. Mungkin hari ini bukan
hari keberuntunganmu.

Aziz

: Ah, sial! Tapi sudahlah, ambil saja uang itu! Angap saja aku bersedekah
padamu!

Bandar judi

: Terserah apa katamu lah, Aziz.

(Perempuan Jalang masuk)


Perempuan

: Wah, wah, anda kalah, Tuan?

Aziz

: Ya.

Perempuan

: (mengelus pipi Aziz) Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Kalah sekali-sekali tak
akan membuatmu bangkrut.

Aziz

: Aih, kemarilah, duduk di sini. (tergoda)

Perempuan

: (duduk di sebelah Aziz) Lebih baik bersenang-senang denganku saja. Kalau


main judi terus bersamanya, kalau kalah dan kehilangan uang tentu kau akan
menyesal. Tapi bersamaku, meski kau kehilangan beberapa rupiah, kau tidak akan
menyesal, Tuan. (menggoda)

Aziz

: Istriku di rumah tidak akan suka melihat ini, Nona. (tersenyum)

Perempuan

: Ah, tapi aku sudah sering melihatmu di sini. Kawan-kawanku banyak yang kau
tiduri juga, kan? Kalau tidak salah, kau juga sedang ada masalah dengan istrimu
itu, kan? Ayolah, Tuan mengaku saja kalau itu benar. Tidak usah pedulikan
istrimu. Ada aku di sini. (mengedip, mengamit lengan Aziz)

Aziz

: Kau benar-benar pandai menggoda, Nona. (mengelus pipi Perempuan)


Kawan, aku bersenng-senang dulu dengannya. Lihat saja besok, aku akan
menang melawanmu!

Bandar judi

: Silahkan saja, Tuan, silahkan. (tersenyum)

(Aziz merangkul Perempuan dan pergi)


Begitulah perangai Aziz. Suka berjudi, bermain dengan wanita-wanita, hingga akhirnya
pekerjaannya terbengkalai. Aziz pun bangkrut. Di saat susah seperti itu, Aziz dan Hayati pergi ke
rumah Zainuddin untuk menumpang tinggal.
Zainuddin

: Sebenarnya ada keperluan apa kalian kemari malam-malam? Bahkan membawa


banyak barang seperti ini.

Aziz

: Begini, Zainuddin, kawanku. Aku langsung ke inti permasalahannya saja. Aku


bangkrut. Kalau boleh, kami ingin tinggal di sini untuk sementara. Aku tidak
mempunyai saudara di Surabaya ini, Zainuddin. Jadi terpaksa aku ke sini untuk
meminta bantuanmu. Maaf merepotkan.

Zainuddin

: Ah, begitu. Tidak, tidak apa-apa, Aziz. Di sini masih ada kamar ksong. Kalian
bisa menempatinya. Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.

Aziz

: Terima kasih Zainuddin. Kau memang pemuda yang amat baik.

Hayati

: Terima kasih. (tersenyum kepada Zainuddin)

Zainuddin

: Yaa Ini memang kewajiban kta sebagai hamba Tuhan, saling tolong
menolong. Bukankah begitu? Ayo, akan kuantar kalian ke kamar. Kalian pasti
capek membawa barang sebanyak itu. Istirahatlah dahulu. (bangun dari tempat
duduk)

Aziz

: Baiklah, Zainuddin. Sekali lagi, terima kasih.


Kehadiran Hayati dan Aziz di rumahnya membuat Zainuddin jarang pulang. Ia sering

menginap di tempat Muluk, sahabatnya. Sementara itu, hubungan Aziz dan Hayati semakin
buruk. Mereka acap kali bertengkar, terutama karena kebiasaan Aziz yang suka mabukmabukkan dan pulang mal am meskipun ia sudah bangkrut sekarang. Hayati tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia sudah menegur, namun Aziz akan melawannya.
Hayati

: Mengapa kau jadi seperti ini sekarang suamiku? Mengapa kau sering kali
pulang malam dan dalam keadaan mabuk?

Aziz

: Ah, peduli apa kau soal diriku?! Bukankah kau juga sudah jarang
memperhatikanku? Membaca buku terus! Tak pernah lagi peduli padaku!

Hayati

: Tapi tidak begini caranya, sadarlah Aziz! Kita sudah bangkrut! Jangan suka
berfoya-foya lagi di luar! Apa kau tidak malu dengan Zainuddin?

Aziz

: Kenapa kau bawa-bawa Zainuddin dalam masalah ini? Jangan mengira aku tak
tahu, Hayati. Zainuddin cinta pertamamu! Apa aku salah bemain dengan wanita
lain sementara kau pun masih mencintainya?!

Hayati

: Aku sudah melupakannya, Aziz.

Aziz

: Bohong besar! Perempuan munafik! (menampar Hayati) Jangan pernah cobacoba untuk melarang atau menegurku lagi! Kau ini perempuan, tugasmu melayani
suaminya! Bukan menegur atau membantah! (pergi)

Hayati

: (memegang pipinya, menangis) Mengapa rumah tanggaku jadi seperti ini?

(Zainuddin datang)
Zainuddin

: Apa yang terjadi di sini?

Hayati

: Aziz Aziz pergi, Zainuddin. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dia
sering mabuk-mabukkan, aku hanya mencoba menegur, tapi dia selalu marah
padaku.

Zainuddin

: Masuklah ke kamarmu. Istirahat saja di dalam. Aku juga lelah. Jangan kau
tambah lagi penat ini. (pergi)

Hayati

: (menangis terisak-isak, suara dalam hati : Kenapa sikapmu begitu dingin,


Zainuddin? Apa kau sudah melupakan semua tentang kita dulu?)
Sikap Zainuddin itu membuat Hayati kian sedih. Suaminya pergi meninggalkannya

entah kemana, dan setelah beberapa hari tak pulang, barulah ia tahu bahwa Aziz telah meninggal
karena menenggak racun di sebuah hotel di Banyuwangi. Malang benar nasibnya. Zainuddin pun
bersikap acuh tak acuh padanya. Zainuddin belum mampu mengobati sakit hatinya karena Hayati
dulu menolak lamarannya. Tapi tidak pernah ada perempuan lain yang singgah di hatinya selain
Hayati. Muluk sering mempertanyakan mengapa sikap Zainuddin begitu dingin pada Hayati, tapi
Zainuddin tidak pernah mau membahas dan menjawab pertanyaannya. Tapi Muluk tahu benar
bahwa Zainuddin masih mencintai Hayati. Jika rasa itu sudah hilang tentunya bukan suatu
masalah bila bertemu dengannya lagi, kan? Suatu hari, Muluk mengunjungi rumah Zainuddin.

Dia tak menemukan orang yang dicarinya, tapi malah menemukan Hayati yang sedang
menangis.
Muluk

: Hayati? Ada apa? Kenapa menangis?

Hayati

: Aku adalah perempuan paling malang sedunia. Suami meninggalkanku, bahkan


sekarang Zainuddin sudah berubah, aku memang tinggal di rumahnya, tapi kalau
sikapnya seperti itu aku jadi merasa bersalah Kenapa dia seperti itu? Mungkin
aku sudah menykiti hatinya waktu itu, tapi dengan sikapnya yang seperti ini dia
juga sama saja menyakitiku. Sebenarnya pernikahan itu bukanlah kehendaku. Aku
dipaksa oleh Mak Datuk untuk memilih Aziz. Padahal saat itu aku masih
mencintai Zainuddin. Apa yang harus kuperbuat, Muluk? Aku hanya seorang
perempuan, hanya bisa menangis dalam keadaan seperti ini.

Muluk

: Sebenarnya, aku ragu akan menceritakan ini padamu atau tidak Hayati. Tapi
melihat keadaanmu seperti ini

Hayati

: Apa Muluk? Apa yang ingin kau ceritakan? Ceritakanlah. Kuharap cerita ini
bukannya menambah kesedihanku.

Muluk

: Ah, aku jadi semakin ragu. Aku tidak tahu apa cerita ini layak disebut kabar
baik atau malah kabar buruk.

Hayati

: Sudahlah, Muluk. Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?

Muluk

: Begini Hayati, selama ini Zainuddin sering menginap di tempatku, dia memang
tidak pernah bercerita apapun, tapi aku sudah bersamnya sejak dia terpuruk. Dari
situ aku bisa tahu, betapa besar cintanya padamu. Dulu saat kau menolaknya, ia
sakit keras, dan seringkali menggigau memanggil-manggil namamu Hayati.
Sampai sekarang, aku tahu dia masih mencintaimu. Bagaimanapun sikapnya
padamu, percayalah, Zainuddin sebenarnya masih mencintaimu.

Hayati

: Tapi sikapnya selalu dingin padaku, kalau dia masih cinta, mengapa dia
bersikap begitu?

Muluk

: Mungkin Zainuddin masih merasa kecewa dan sakit hati karena penolakanmu
dulu.

Hayati

: Aku akan mencari kebenarannya. Jika dia memang masih mencintaiku, aku
akan mencoba untuk bertahan. Aku pun masih mencintai Zainuddin.
Tak perlu waktu lama bagi hayati untuk menemukan kebenarannya. Suatu hari, saat ia

sedang membersihkan ruang kerja Zinuddin, ia menemukan foto dirinya sendiri di laci meja
tempat Zainuddin biasanya menulis.
Hayati

: (mengambil foto) Ini, bukankah ini

Zainuddin

: (masuk) Hayati, terima kasih sudah membersihkan kamarku tapi kau. Apa
yang kau lakukan?! Mengapa kau sembarangan membuka laci mejaku?
(mendekat ke arah Hayati dan merampas fotonya)

Hayati

: Aku ingin kau jujur sekarang Zainuddin. Apa kau masih mencintaiku?

Zainuddin

: (menunduk, terdiam)

Hayati

`: Jawab aku, Zainuddin! Jawab! Kenapa kau malah diam saja?

Zainuddin

: Apa itu semua masih ada artinya? Kau yang menolakku dulu, Hayati! Kau
menikah dengan Aziz, mengingkari janji kita!

Hayati

: Aku masih mencintaimu, Zainuddin. Sekarang semuanya terserah padamu. Aku


ingin tinggal di sini bersamamu, Zainuddin Kasihanilah aku, yang terus ditimpa
kemalangan seperti ini.

Zainuddin

: Kau yang mengkhianatiku, Hayati. Sekarang semuanya percuma. Nasi sudah


jadi bubur. (pergi)

Hayati

: Zainuddin Mengapa kau tak jujur padaku, Zainuddin? Aku masih


mencintaimu (menangis)

(Zainuddin datang)

Zainuddin

: (meletakkan selembar tiket) Keadaan akan semakin buruk bila kau terus diam
di sini. Besok pagi berangkatlah ke Padang. Kembali ke rumahmu. Besok pagi,
akan ada kapal berangkat dari sini ke Padang. Kapal Van Der Wijck. Pulanglah ke
rumahmu. (pergi)

Hayati

: Kau benar-benar tega Zainuddin. Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan,
aku akan pergi dari sini.
Maka keesokan paginya, Hayati pulang ke Padang dengan kapal Van Der Wijck, kapal

buatan Belanda yang termahsyur pada saat itu. Tepat saat kepergian Hayati, Zainuddin merasa
menyesal karena telah menyuruhnya pergi. Akhirnya dia pun bergegas mnyusul Hayati ke
Padang. Sayang seribu sayang, kapal Van Der Wijck tenggelam dalam perjalanannya menuju
Padang. Hayati bisa diselamatkan, namun tubuhnya penuh luka, terbaring lemah di atas tempat
tidurnya. Zainuddin yang baru tiba di Padang dan mendengar kabar tentang Hayati langsung
menuju rumah Hayati.
Zainuddin

: Hayati Maafkan aku, Hayati, maafkan atas semua sikap dinginku padamu.
Aku menyesal Hayati, aku menyesal telah menyuruhmu pulang. (memegang
tangan Hayati erat-erat, mencium tangannya)

Hayati

: Zainuddin Apa kaumasihmencintaiku?

Zainuddin

: (meletakkan tangan Hayati ke dadanya) Kau bisa rasakan itu bukan? Kenapa
kau masih bertanya? Sejak dulu hati ini selalu jadi milikmu Hayati. Bahkan
sampai detik inipun. Bertahanlah Hayati, kumohon bertahanlah

Hayati

: (tersenyum) Aku juga mencintaimu, Zainuddin. Tapi aku terlalu sakit, aku
tidak bisa bertahan lagi Zainuddin

Zainuddin

: (membaca syahadat Islam sambil terus memegang tangan Hayati)

Hayati

: (mengikuti bacaan syahadat Zainuddin dengan terbata-bata, lalu pelan-pelan


menutup matanya)

Zainuddin

: Hayati (menangis, memeluk Hayati)

Kembang desa di Batipuh itu telah pergi. Seluruh warga kampong berduka kehilangan
anak gadis terbaik mereka. Kepergian gadis itu bagai menghancurkan pertahanan diri seorang
Zainuddin. Ia hancur, binasa, tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kehancuran dan
kepedihan hatinya. Tak lama berselang, Zainuddin pun jatuh sakit. Sesuai isi surat wasiatnya, ia
dimakamkan di sebelah pusara Hayati. Cinta kedua insan manusia yang terhalang oleh adat itu
pun kekal dalam keabadian.

Anda mungkin juga menyukai