XI IA 1
2013/2014
Alkisah hiduplah seorang pemuda yang tinggal di kota Makassar, bernama Zainuddin.
Usianya kira-kira 19 tahun. Ia tinggal di kota ini bersama Mak Base, salah satu sanak saudara
ibunya. Mengapa ia bisa tinggal bersama Mak Base, bukan kedua orangtuanya? Nasib Zainuddin
memang tidak begitu mujur. Ketika masih kecil, ia sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Meski begitu, tumbuh sebagai anak yatim piatu tidak lantas membuatnya menjadi seorang laklaki yang tidak baik. Didikan Mak Base telah membuat Zainuddin menjadi orang yang gagah,
pemberani, dan berbudi baik. Sore itu, Zainuddin mendapati dirinya merasakan kerinduan yang
amat sangat saat melihat foto kedua orang tuanya. Ia hanya termenung di ruang keluarga,
menatap foto itu lekat-lekat.
(Setting : ruang keluarga, terdapat sebuah meja di tengah dan dikelilingi sofa. Zainuddin
duduk menghadap ke penonton)
Zainuddin
Mak Base
Zainuddin
: (tetap menatap foto di tangannya, mengelusnya perlahan) Ayah dan Ibu terlihat
bahagia sekali di foto ini Mak.
Mak Base
: Betapa tidak, foto itu diambil saat Habibah mengandungmu Zainuddin. Kau
anak pertamanya, buah cintanya dengan Sutan. Saat itu dia bilang dia sudah tidak
sabar akan menjadi ibu.
Zainuddin
Mak Base
: Tidak ada yang pernah bisa menebak kehendak Tuhan, Zainuddin. Mak pun tak
percaya Habibah akan meninggal di usianya yang masih terbilang muda.
Zainuddin
Mak Base
(Panggung gelap. Setting : tetap di ruang keluarga, Datuk Mantari dan Pendekar Sutan
berhadapan, suasana tegang. Diiringi suara Mak Base : Ketika nenekmu meninggal dunia,
ayahmu adalah pewaris tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara
perempuan. Menurut adat Minangkabau, yang akan mengurus warisan itu adalah ia dan Datuk
Mantari Labih, mamaknya. Mamak adalah sebutan untuk saudara laki-laki yang masih sesuku
dan dekat dengan pihak ibu. Saat itu Datuk Mantari telah zalim memakan warisan itu sendiri.
Hingga suatu malam terjadilah perdebatan antara Pandekar Sutan dan Datuk Mantari. Lampu
menyala kembali)
P.Sutan
: Aku tidak menggunakan warisan ini untuk hal yang aneh-aneh atau macammacam, Mak! Aku hanya menggadaikan beberapa sawah, karena aku hendak
mencari istri, pendamping hidupku kelak.
D. Mantari
P. Sutan
: Apa?! Mamak bilang aku anak muda yang tidak tahu malu? Bagaimana dengan
Mamak sendiri? Mamak juga pernah menggadaikan sawah bukan untuk
mengawinkan kemenakan, tapi mengawinkan anak mamak sendiri! Jangan kira
aku tak tahu soal itu, Mak!
D. Mantari
: Soal itu jangan disebut. Akulah Mamak di sini, aku yang berhak mengatur
semuanya, Sutan!
P. Sutan
: Tapi itu juga harta warisan ibuku, Mak! Sudah jelas pula, hukum zalim tak
boleh dilakukan.
D.Mantari
: (marah) Kau bilang aku apa? Zalim? Beraninya kau, Sutan! (mengambil keris
dari sakunya, menyerang Sutan)
P. Sutan
: (berkelit lalu menusukkan pisau belati di perut Datuk Mantari) Jangan pernah
coba melawanku soal permainan senjata, Mak. Mamak sendiri tahu Mamak tak
akan menang melawanku. Aku sudah muak dengan semua perlakuan Mamak,
terlebih soal warisan itu!
(Panggung gelap. Suara Mak Base : Setelah itu, Sutan sempat dibuang ke Cilacap
selama 15 tahun. Ia menjalani masa hukuman yang berat karena membunuh mamaknya sendiri.
Singkat cerita, habislah masa hukuman Sutan dan ia tinggal di Makassar. Ia tinggal menumpang
di rumah seorang tua keturunan bangsa Melayu. Budi pekerti Pandekar Sutan amat menarik
hatinya sehingga ia memutuskan untuk mengawinkan Sutan dengan anaknya yang masih
perawan, Daeng Habibah. Empat tahun Sutan bersama dengan istrinya yang setia hingga
akhirnya mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.. Lampu panggung dinyalakan kembali)
D. Habibah
P. Sutan
D. Habibah
: (tertawa) Ya, kau benar. Semoga dia juga akan menjadi pria yang gagah
sepertimu kelak.
P. Sutan
: Tapi kurasa, dia juga tidak akan setampan itu jika saja ibunya tidak secantik
dirimu, Habibah.
D. Habibah
: Ah, sudahlah, kau memang yang paling jago soal urusan rayu-merayu, Sutan.
P. Sutan
D. Habibah
: (tersenyum, menatap anaknya lagi) Akankah aku bisa melihat Zainuddin ketika
ia menjadi seorang pria yang sukses nantinya?
P. Sutan
: Apa maksudmu, Habibah? Tentu saja kau akan melihatnya tumbuh besar
menjadi pria yang sukses.
D. Habibah
: Entahlah, Kanda. Akhir-akhir ini, aku sering dihantui firasat buruk, seolah-olah
hidupku tidak lama lagi.
P. Sutan
: Jangan bicara seperti itu, adinda! Jangan pernah. (memegang pundak Habibah)
Kita akan melihatnya tumbuh besar bersama-sama. Yakinlah akan hal itu,
adinda.
D. Habibah
: Baiklah, Kanda.
(Setting diatur sebagai berikut: sebuah ranjang, Habibah tidur di atasnya, Mak Base
duduk di tepi ranjang. Suara Mak Base : Tak berapa lama kemudian, Habibah sakit keras. Ia
terbaring lemah di atas ranjang selama berhari-hari.)
D. Habibah
Mak Base
D. Habibah
Mak Base
D. Habibah
: (membelai Zainuddin) Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa menemanimu lebih
lama lagi.
P. Sutan
D. Habibah
P. Sutan
D. Habibah
: Maafkan aku, Kanda. Rasanya obat itu tidak akan ada gunanya lagi. Aku
merasa ajalku sudah semakin dekat. Maaf karena tidak bisa menemanimu lagi
untuk mengasuh Zainuddin. Rawat dan didik dia baik-baik, suamiku.
P. Sutan
: Kau harus kuat, Habibah. Soal Zainuddin, tenang saja, aku pasti akan
merawatnya baik-baik, aku berjanji padamu.
Mak Base
: Benar, Habibah. Soal Zainuddin tidak usah kau khawatirkan, aku akan
membantu Sutan untuk mengurusnya.
P. Sutan
D. Habibah
: Maafkan aku, kanda. Maaf Aku aku tidak bisa menemanimu lagi
(memejamkan mata)
P. Sutan
: Habibah! Habibah!
Mak Base
P. Sutan
Mak Base
: (mengelus punggung Sutan) Sudahlah Sutan Ikhlaskan dia. Jika kau tak
ikhlas tak akan tenang pula ia di sana. Apa kau mau itu terjadi? Soal Zainuddin
tidak usah khawatir, aku pasti membantumu untuk mengurusnya.
P. Sutan
Mak Base
P. Sutan
: (menatap Habibah) Adinda, aku berjanji akan menjaga anak kita sebaik
mungkin. Semoga Semoga kau tenang di sisi-Nya. (menutup badan Habibah
dengan selimut)
(Setting : masih di kamar yang sama. Suara Mak Base : Saat itu aku bisa merasakan
kehancuran hati Sutan. Dia selalu mengatakan Habibah adalah separuh jiwanya. Dia sering
termenung dan bersedih sendiri, dan aku tak kuasa melihatnya bermuram durja seperti itu.
Terkadang aku menyuruhnya untuk mencoba mencari istri lagi, tapi ia selalu menolak. Seringkali
aku mendapatinya merenung sendirian di kamar memandangi foto Habibah.)
Mak Base
P. Sutan
Mak Base
P. Sutan
: Tidak, Base. Tidak akan pernah. Tidak akan ada yang bisa menggantikan
Habibah.
Mak Base
P. Sutan
Mak Base
P. Sutan
: Entahlah. Aku memang rindu sekali dengan kampung halamanku. Amat sangat
rindu, terlepas dari kenyataan bahwa aku pernah dibuang dari sana karena biar
bagaimanapun di sanalah aku menghabiskan masa-masa kecilku. Tapi aku tak
tahu, berat rasanya hati ini meninggalkan pusara Habibah. Aku juga tidak tahu
bagaimana respon dari keluargaku nantinya, entah mereka akan suka dengan
kedatanganku atau tidak. Tidak, rasanya aku tidak akan pergi ke sana lagi, Base.
Biarlah aku menghabiskan sisa hidupku di sini.
Mak Base
: Baiklah kalau memang itu maumu, Sutan. Tapi ingatlah, jangan terlalu larut
dalam kesedihanmu. Banyak-banyaklah berdoa dan meminta pada Yang Kuasa
agar kau senantiasa diberikan ketabahan untuk menghadapi semuanya.
P. Sutan
Mak Base
: Mengapa tiba-tiba kau berkata seperti itu, Sutan? Soal Zainuddin, tentu aku
yang akan mengurusnya.
P. Sutan
Mak Base
P. Sutan
: (mengambil kunci dari sakunya) Ini, terimalah ini, Base. (menaruh kunci di
tangan Mak Base)
Mak Base
P. Sutan
: Mulai sekarang engkaulah yang berkuasa di sini, Base. Kunci ini biarlah
engkau yang memegangnya. Kunci yang berwarna putih ini adalah kunci lemari.
Di dalam lemari itu ada sebuah peti. Berjanjilah, kau tidak akan membuka peti itu
sebelum aku mati.
Mak Base
(Panggung gelap. Suara Mak Base : Itulah kata-kata terakhir yang kudengar darinya.
Ternyata firasat Sutan benar. Keesokan harinya, ia meninggal dunia saat sedang sembahyang di
atas tikarnya seperti biasa setiap malam, memohon tobat dan ampun atas segala dosanya.
Memang malang nasibmu Zainuddin, harus kehilangan orangtua di usia yang masih amat belia.
Setting diatur seperti adegan pertama di ruang tamu. Zainuddin dan Mak Base duduk di tempat
semula.)
Mak Base
Zainuddin
Mak Base
Zainuddin
Mak Base
Zainuddin
: Aku akan pergi ke sana, Mak. Sebenarnya sudah lama aku memikirkan ini.
Izinkanlah aku merantau ke sana, Mak.
Mak Base
: Apa kau yakin, Zainuddin? Kenapa kau tidak tinggal saja di sini bersama
Mak?
Zainuddin
: Sempit rasanya alamku, Mak jika aku masih saja diam di Makassar ini. Aku
ingin mencari ilmu ke Padang, kudengar di sana telah ada sekolah agama.
Lepaslah aku ke sana, Mak. Orang-orang berkata negeri Padang itu amatlah
indahnya, dan aku juga ingin melihat tanah asal ayahku. Izinkan aku pergi, Mak.
Seperti kata pepatah Anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah
buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut
palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan
layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang
Mak Base
: (sedih) Aku tak punya alasan untuk melarangmu jika memang itu yang kau
inginkan, Zainuddin. Tunggu di sini sebentar. (pergi ke belakang panggung,
datang membawa sebuah peti, mengeluarkan uang di dalamnya dan
memberikannya pada Zainuddin) Ini, terimalah ini, Udin. Ini hakmu, usaha dari
ayahmu.
Zainuddin
: Ah, kenapa Mak berikan padaku semuanya? Jangan Mak, Mak harus simpan
uang itu. Berikan aku ongkos berangkat saja. Sisa uang itu Mak simpan untuk
sehari-hari di sini.
Mak Base
Zainuddin
: Aku tak mau, Mak. Mak yang selama ini mengurusku, biarlah uang itu Mak
simpan saja. Satu yang kuminta, doakan agar aku sukses di sana, Mak.
Mak Base
: Pasti Zainuddin, pasti. Ingatlah, kelak ketika kau sudah sukses, Mak yakin
orangtuamu akan sangat bangga karena memiliki putra sehebat dirimu. Jaga diri
baik-baik, nak.
Zainuddin
Mak Base
Zainuddin
: (melepas pelukannya) Aku mengerti Mak. Aku akan berusaha sebaik mungkin.
Untuk Mak dan untuk kedua orangtuaku.
(Panggung gelap)
Keesokan paginya, Zainuddin pun berangkat menuju Desa Batipuh di Padang.
Sesampainya di sana ia pergi ke rumah Mande Jamilah, salah satu saudara perempuan ayahnya
yang masih sesuku dan dekat dengan pihak ayahnya.
(Setting : ruang keluarga. Jamilah dan suaminya duduk berhadapan. Dua cangkir kopi di
atas meja. Jamilah sedang menyulam. Suaminya minum kopi)
Zainuddin
Suami
Jamilah
Suami
: Ah, mungkin saja. Kalau begitu biar aku saja yang menemuinya. (berjalan ke
arah Zainuddin) Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?
Zainuddin
: Begini, Pak. Saya hendak bertanya, apakah benar ini rumah Mande Jamilah?
Suami
Zainuddin
: Saya anak dari Pandekar Sutan. Bisa saya bicara dengannya, Pak?
Suami
Jamilah
: (terkejut) Apa? Pandekar Sutan? Pemuda di sana itu anaknya? Mau apa dia
kemari?
Suami
: Kau pernah bercerita bahwa Pandekar Sutan juga anggota keluargamu bukan?
Yang membunuh Datuk Mantari? Lalu ia diusir dari sini?
Jamilah
: Kau benar, suamiku. Itulah sebabnya aku heran mengapa anaknya datang
kemari mencari kita.
Suami
Jamilah
: Baiklah. (berjalan ke depan mencari Zainuddin) Kau bilang tadi kau adalah
anak dari Sutan?
Zainuddin
Jamilah
Zainuddin
Suami
Zainuddin
Jamilah
Zainuddin
: Begini, jika Mande berkenan, saya ingin menumpang tinggal di sini. Saya
hendak menuntut ilmu di sekolah agama di Padang ini, karena di Makassar sana
tidak ada sekolah agama. Bolehkah saya tinggal di sini?
Zainuddin
: Yasaya memang datang dari Makassar. Ibu saya orang Bugis, Habibah
namanya, tapi ayah saya berasal dari Padang, bukan? Di tempat inilah ia
dilahirkan.
Suami
Jamilah
Suami
: Mau bagaimana lagi. Aku tak mau dianggap sebagai bako atau sanak saudara
yang tidak bertanggung jawab dan suka menelantarkan kerabat sendiri. Baiklah
Zainuddin, kau boleh tinggal.
Zainuddin
Pada awalnya sambutan itu memang baik, dan betapa senangnya Zainuddin bisa
tingggal di negeri yang selama ini jadi idamannya. Namun lama-kelamaan ia merasa aneh.
Orang-orang di sana bukannya tidak menyukainya. Mereka suka, tapi berlain kulit dan isi.
Zainuddin sendiri merasa bahwa meskipun dia orang Minangkabau tulen, banyak yang masih
menganggapnya orang pendatang, masih dipandang sebagai orang Makassar. Setiap ditanya, ia
tak bisa mengatakan ia orang Padang. Di Padang menganut sistem matrilineal, mengikuti garis
keturunan ibunya. Sementara di Makassar menganut sistem patrilineal, mengikuti garis
keturunan ayah. Betapa malangnya ia, bagaikan orang tak bersuku. Ayahnya orang Padang,
namun ibunya orang Makassar. Dia tidak bisa diterima di kedua tempat itu sepenuhnya.
Saidah
: Jamilah, aku dengar pemuda yang datang dari Makassar itu sekarang tinggal di
rumahmu?
Jamilah
Saidah
: (terkejut) Apa? Pandekar Sutan? Dia yang pernah dibuang karena membunuh
Datuk Datuk siapa itu namanya? Ah, ya, Datuk Mantari? Dia yang membunuh
Datuk Mantari dulu, bukan?
Jamilah
Saidah
: Yah, mau bagaimana lagi. Ayah ibunya sudah meninggal, sepertinya hanya kau
dan suamimu keluarga terdekatnya kini.
Jamilah
Saidah
: Roda kehidupan selalu berputar. Siapa tahu dia akan sukses setelah menimba
ilmu di sini.
Jamilah
Jamilah
: Tentang Zainuddin.
Suami
Saidah
Suami
: Ah, sudah bisa ditebak. Makanya aku agak enggan sewaktu dia mengatakan
ingin tinggal di sini. Aku tahu dia pasti akan dibicarakan banyak orang karena
asal-usulnya yang tidak jelas.
Jamilah
Saidah
Suami
: Ya, biarkan saja dia tinggal di sini. Sudahlah, buat apa terlalu dipikirkan.
Saidah
Suami
Jamilah
Meskipun sering dibicarakan orang karena asal-usulnya yang tidak jelas, Zainuddin
tidak menyerah, ia selalu berusaha membantu orang lain. Jika ada orang ke sawah, ia akan
mengikutinya, dan membantu barang mencangkul dan sebagainya. Ia juga sering bergaul dengan
pemuda-pemuda di sana. Hingga pada suatu hari ia bertemu seorang gadis di Ekor Lubuk. Hari
itu hujan turun dengan deras, dan Zainuddin bertemu dengan gadis itu saat hendak pulang.
Hayati
: Mengapa hujan ini tak kunjung reda. Bagaimana aku akan pulang ke rumah?
(cemas)
Zainuddin
: (datang membawa payung, melihat Hayati) Maaf, tapi mengapa kau masih
diam di sini? Sudah hampir malam. Apakah kau menunggu hujan reda baru kau
akan pulang?
Hayati
: Seperti itulah. Sebenarnya aku hendak pulang sejak tadi. Tapi ada beberapa
urusan yang belum kuselesaikan. Aku khawatir mamak akan cemas menungguku
hingga tiba di rumah. Tapi hujan ini tak kunjung reda juga.
Zainuddin
Hayati
: Benarkah? Terima kasih. Tapi bagaimana dengan kau sendiri? Bagaimana kau
akan pulang nantinya?
Zainuddin
: Tak usah dipikirkan, aku ini laki-laki, soal itu gampang. Pukul 9 malam pun aku
sanggup untuk pulang sendiri bila nanti hujan ini reda. Berangkatlah dahulu,
gunakan payung ini.
Hayati
: (menerima payung) Terima kasih banyak. Ke mana payung ini harus kuantarkan
nantinya?
Zainuddin
Hayati
: Baiklah. Terima kasih banyak atas budi yang baik ini. (tersenyum, membuka
payung, berjalan ke belakang panggung)
Zainuddin
: (tersenyum menatap Hayati, diiringi suara dalam hati Aduhai, betapa cantiknya
gadis itu.)
Zainuddin akhirnya mengetahui bahwa gadis itu bernama Hayati, seorang kembang
desa yang terkenal karena parasnya yang begitu elok, terlebih lagi ia keturunan terhormat di
Desa Batipuh itu. Beruntung nasib Zainuddin karena permohonannya terkabul. Ia bertemu lagi
dengan gadis cantik yang telah memikat hatinya itu.
Hayati
Zainuddin
: Ah, tidak usah seperti itu, aku hanya melakukan apa yang orang lain akan
lakukan kemarin. Bagaimana bisa aku yang seorang laki-laki pulang dengan
payung sementara ada perempuan di sana yang cemas menanti redanya hujan?
Hayati
: Bagaimanapun juga aku tetap ingin berterima kasih padamu karena sudah
menolongku kemarin. Hmm, kau Zainuddin, bukan? Aku sering mendengar
tentangmu. Namaku Hayati. (tersenyum)
Zainuddin
: Aku sudah tahu . Kembang desa, gadis yang tercantik di Desa Batipuh ini.
Hayati
Zainuddin
Hayati
Zainuddin
Hayati pun pulang dengan rasa penasaran yang menyelimuti hatinya. Penasaran dengan
apa isi surat yang ditulis Zainuddin untuknya. Setibanya di rumah, Hayati masuk ke kamarnya,
dan membaca surat dari Zainuddin.
Suara Zainuddin : Hayati, gemetar rasanya tanganku saat menulis surat ini. Hatiku memaksa
untuk menulis, namun aku bingung akan memulainya dari mana. Sudah hampir
setahun aku tinggal di negeri Padang ini, tanah kelahiran ayahku. Aku sangat
ingin kembali ke sini karena di saat di Makassar, aku dipandang sebagai orang
Padang, bukannya orang Bugis, dan aku selalu merasa kesepian. Berulang kali
aku menanggung perasaan ini, namun tak tahu kepada siapa aku harus mengadu.
Ketika tinggal di sini, aku juga merasakan kesepian dan sedih karena orang-orang
malah menganggapku sebagai orang Makassar, pendatang baru, bukannya orang
asli Padang. Bahkan bakoku tidak mengakuiku. Terimalah pengaduan ini, Hayati.
Ayahku telah mati, dan ibuku pula. Bakoku tidak mengakui aku keluarganya.
Dalam pergaulan, aku disisihkan orang. Aku percaya dengan Yang Maha Kuasa,
dibalik semua kesulitan dan masalah ini akan ada jalan terang dan hikmahnya. Di
dalam khayalku, dalam gelap gulita malam, awan bersibak, dan terlihat satu
bintang, bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu adalah
kau sendiri, Hayati. Aku sendiri tidak tahu mengapa hatiku bisa berkata begitu.
Aku mengirim surat ini bukannya meminta balasan darimu, karena aku tahu diri,
aku hanya orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim piatu. Sudikah
engkau menjadi sahabatku, Hayati? Meskipun bagaimana, percayalah hatiku baik,
hati yang bersih karena senantiasa dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya
ke dunia.
Zainuddin
Hayati
: Kasihan sekali Zainuddin tapi apa yang bisa kuperbuat untuk menolongnya,
aku ini kan hanyalah perempun biasa. Kenapa pria sebaik dirimu harus
menghadapi nasib seburuk ini, Zainuddin?
Hari-hari selanjutnya, Hayati dan Zainuddin pun sering bertemu dan berbalas surat. Dari
situlah asal mulanya mereka saling jatuh cinta, Namun, kedekatan Zainuddin dengan Hayati
telah menjadi desas-desus di Desa Batipuh. Banyak orang yang membicarakan kedekatan
mereka, dan banyak pula yang mencela karena Zainuddin yang tidak bersuku dianggap tidak
pantas berhubungan dengan Hayati.
(Setting : Jamilah duduk di kursi, menyulam)
Saidah
Jamilah
: Ada apa? Kenapa pula kau membawa-bawa keranjang belanjaan? Baru datang
dari pasar?
Saidah
: Iya, aku baru datang dari pasar. Aduh, ini benar-benar gawat, Jamilah.
Jamilah
Saidah
Jamilah
Saidah
: Kau pasti sudah tahu kan soal hubungan Zainuddin dan Hayati?
Jamilah
: Bagaimana mungkin aku tidak tahu, setiap hari orang-rang di kampung sini
yang berpapasan denganku selalu menanyakan hal itu. Tapi aku tidak pernah
menjawab apapun karena Zainuddin tidak pernah bercerita apa-apa padaku soal
Hayati.
Saidah
: Nah, hubungan mereka ternyata tidak disetujui banyak orang. Kau tahu sendiri
Zainuddin dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Masalahnya, tadi aku
mendengar segerombolan anak muda berencana menyerangnya besok malam.
Awalnya aku mengira aku salah dengar, tapi aku sengaja berlama-lama di dagang
sayur agar bisa mendengar percakapan mereka lebih lanjut. Mereka akan
menyerang Zainuddin besok beramai-ramai. Kau tahu kumpulan si Amin bukan?
Jamilah
: Amin? Astaga, bukankah hampir semua pemuda di kampung ini tunduk pada
Amin? Kalau dia sudah murka dan mengerahkan pasukannya, bisa gawat ini!
Saidah
Jamilah
Kabar mengenai hubungan Hayati dan Zainuddin pun terdengar sampai ke telinga Mak
Datuk, saudara ibu Hayati yang telah mengurus Hayati dari kecil sejak ibunya meninggal.Maka
pada suatu hari, Mak Datuk pergi untuk menemui Zainuddin.
Datuk
Zainuddin
: Tapi kami saling mencintai, Engku. Mengapa Engku bicara seperti itu? Sampai
membawa nama adat dan turunan?
Datuk
: Hayati adalah orang bersuku, terhormat, dia bukan sembarang orang yang bisa
seenaknya kau jadikan istri. Serba salah posisiku sekarang ini, Zainuddin. Aku
dikatakan sebagai mamak yang tak pandai mengatur kemenakan. Jika ku
mencintainya, demi kebaikan Hayati, pergilah dari Desa Batipuh ini segera.
Zainuddin
: Tapi itu artinya sama saja Engku merenggut jantung dari dada saya. Saya tak
bisa meninggalkannnya, Engku.
Datuk
: Engkau seorang laki-laki, Zainuddin.m Sakitmu hari ini, bisa terobati besok
atau lusa. Tapi seorang perempuan seorang perempuan akan binasa kalau
tersakiti hatinya.
Zainuddin
: Tidak Engku, hati laki-lakilah yang kerap remuk lama. Perempuan dapat segera
melupakan kehidupnya di zaman muda.
Datuk
: Aku mohon dengan sangat segera tinggalkan Desa Batipuh ini, Zainuddin!
Demi Hayati! Jangan pernah bermimpi kau akan bisa mmemperistrinya. Ingatlah,
kau dan dia berasal dari kaum yang berbeda. Camkan kata-kataku ini, Zainuddin!
(pergi)
Zainuddin
Jamilah
: Sebaiknya kau segera pergi Zainuddin. Pergilah dari Desa Batipuh ini.
Pembicaraan orang tentangmu semakin hari semakin tak mengenakkan saja.
Pergilah! Tinggallah di Padang Panjang. Tadi aku mendengar banyak pemuda
yang ingin berbuat jahat padamu.
Zainuddin
Hayati
Datuk
: Kau tentu sudah tahu bagaimana perkataan orang tentang hubunganmu dan
Zainuddin. Banyak orang yang mengatakan hal-hal negatif tentang hubungan
kalian. Aku tak mau jika nama keluarga kita sampai tercoreng karenanya. Kita
orang terpandang, Hayati. Aku tidak menyetujui hubungan kalian.
Hayati
: (sedih) Cinta kami ini suci Mak Datuk. Aku mencitai Zainuddin tulus dari
hatiku.
Datuk
Hayati
Datuk
Hayati
: Tapi bukanlah dia juga keturunan Minangkabau? Di hadapan Yang Kuasa saja,
aku yakin Zainuddin dan kita itu sama, kita semua sama-sama manusia, Mak
Datuk.
Datuk
: Jangan membantah dan mencoba mencari alasan, Hayti! Jangan membawabawa nama Yang Kuasa. Tahu apa kau ini soal hidup? Sekarang ini mencari suami
harus yang jelas asal-usulnya, pencaharian dan adatnya. Jangan pernah kau
samakan Zainuddin dengan kaum kita!
Hayati
: Mak Datuk tega. Tega membunuh Zainuddin dan kemenakanmu sendiri seperti
ini! (menangis)
Datuk
Cinta mereka yang tulus, harus terpisahkan karena perbedaan "kasta" antara keduanya. Keesokan
harinya, Zainuddin pun pergi meninggalkan Desa Batipuh, berangkat menuju Padang Panjang
dengtan langkah gontai. Setelah kira-kira setengah jam ia meninggalkan kampong yang permai
itu, di suatu pendakian ynag agak sunyi di tepi jalan menuju Padang Panjang, terlihat sesosok
perempuan sedang berdiri dan menatap lurus ke arahnya.
Zainuddin
Hayati
: Ya, itu benar. Aku memang sengaja menunggumu di sini Zainuddin. Keputusan
Mak Datuk dan pembicaraan yang tidak mengenakkan dari orang-orang di
kampung membuat kita terpaksa mengakhiri hubungan kasih sayang ini. Untuk
itulah aku ke sini untuk melepasmu pergi. Jarak akan memisahkan kita berdua,
namun jiwamu telah dekat dengan jiwaku. (memegang tangan Zainuddin) Cinta
bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis
sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam
perjuangan menempuh duri penghidupan. Berangkatlah, Zainuddin! Dan semoga
Tuhan memberkati kita berdua.
Zainuddin
: Hayati, sebelum bertemu denganmu, aku tak ubahnya orang putus asa yang
tidak tahu kemana kakiku akan melangkah, tapi timbul pengharapan itu saat
bertemu denganmu, gadis yang berhasil memjatuhkan hatiku. Engkaulah yang
sanggup menjadikanku seorang yang gagah berani, tetapi engkau pula yang
sanggup menjadikanku sengsara selamanya. Semuanya tergantung padamu
sekarang, Hayati.
Hayati
: Jiwaku telah diisi sepenuhnya oleh cinta kepadamu, Zainuddin. Aku selalu
berkata, biar Tuhan mendengarkan, bahwa hanya engkaulah yang akan menjadi
suamiku kelak. Ketahuilah, rasanya berat sekali untuk melepasmu beraangkat
pada hari ini, tapi apa yang bias kuperbuat selain bersabar. Tuhan telah
memberiku kesabaran, semoga kesabaran it uterus menyelimuti hatiku, menunggu
masanya kita akan menghadapi dunia ini dengan penuh kesyukuran suatu saat
nanti.
Zainuddin
: Berikan aku satu tanda mata darimu Hayati, agar aku yakin dan kuat untuk
menjalani kenyataan bahwa aku tidak bisa melihatmu setiap hari seperti dulu saat
aku masih bisa tinggal di Batipuh. Berikanlah, meskipun hanya satu barang yang
paling murah bagimu.
Hayati
Zainuddin
Setelah pertemuan itu, Hayati sering berkirim surat dengan sahabatnya, Khadijah di
Padang Panjang, mencurahkan segenap kesedihannya semenjak berpisah dengan Zainuddin.
Khadijah mencoba menghibur kawan karibnya itu. Sebenarnya ia pun hendak menjodohkan
Hayati dengan Aziz, kakaknya.
Hayati
Khadijah
Hayati
Khadijah
: "Ah, tapi dari isi surat-surat yang kau kirimkan padaku, sepertinya ada orang lain
yang lebih kau rindukan. Aku benar, 'kan? Lalu saat tadi aku ke sini, kau sedang
melamun, Hayati. Tentu kau sedang melamunkan laki-laki itu."
Hayati
: "Aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi, Khadijah. Dia sudah pergi dari
desa ini. Ah, adat ini begitu kejam. Kenapa aku tidak terlahir di keluarga yang
biasa-biasa saja, agar aku bisa bersama Zainuddin..."
Khadijah
: "Mengapa kau berkata seperti itu, Hayati? Seharusnya kau bersyukur dilahirkan
di keluarga yang serba berkecukupan, terpandang pula. Tidak banyak orang di luar
sana seberuntung dirimu, Hayati."
Hayati
: "Tapi apalah artinya itu semua, jika hatiku terasa hampa seperti sekarang ini.
Remuk redam dan hancur berkeping-keping... Tak kuat rasanya aku menanggung
ini, Khadijah... " (Menutup mukanya dengan kedua tangan, hampir menangis)
Khadijah
Hayati
Khadijah
: "Lupakan dia, Hayati. Aku tak sampai hati melihatmu bersedih karenanya. Dia
sudah meninggalkanmu. Jangan membuang percuma air matamu untuk laki-laki
seperti dia. Sudah, jangan bersedih lagi."
Hayati
: "Terima kasih, Khadijah. Kau baik sekali mau menghibur dan menemaniku."
Khadijah
: "Ah kau ini, aku sahabatmu, Hayati. Sudah sepantasnya aku melakukan itu
untukmu. Jangan bersedih lagi, ya?"
Hayati
: (memeluk Khadijah, suara dalam hati : Jujur saja sahabatku, aku tak tahu
apakah kesedihanku ini bisa terobati atau tidak.)
Melihat kesedihan Hayati, Khadijah semakin yakin untuk menjodohkan udanya, Aziz
dengan Hayati. Uda adalah sebutan kakak laki-laki dalam bahasa Minangkabau. Suatu hari ia
pun mengajak Aziz ke rumah Hayati.
Datuk
Aziz
: Ah, biasa saja, Datuk. Sebenarnya maksud saya datang ke sini untuk menemui
Hayati.
Khadijah
Datuk
Khadijah
Datuk
Aziz
Datuk
: Sehat-sehat saja.
Aziz
Datuk
Aziz
: Cantik sekali. Mirip dengan ibunya. Khadijah sering bercerita pada saya tentang
Hayati, dan mengatakan kalau Hayati cantik, budinya baik pula.
Khadijah
: (datang dengan menggandeng Hayati, lalu mereka duduk) Ini dia orang yang
ditunggu-tunggu. Hayati, perkenalkan, ini udaku, Uda Aziz. Uda-ku penasaran
sekali ingin bertemu denganmu Hayati.
Hayati
: (tersenyum tipis)
Aziz
: (terpesona) Memang benar apa yang dikatakan adikku. Kau cantik sekali,
Hayati.
Hayati
Aziz
Hayati
Datuk
: Kesan pertama yang baik. Aziz ini sudah pasti lebih baik dibandingkan
Zainuddin, Hayati.
Aziz
Datuk
: Dia pernah berhubungan dengan Hayati dulu. Tapi sudah berakhir sekarang
Hayati
Aziz
: (melihat jam) Wah, sudah hampir terlambat. Hayati, maaf, sebenarnya aku ingin
mengobrol denganmu lebih lama, tapi ada urusan yang mesti kuselesaikan
sekarang. Khadijah, kau ingat rekan bisnis yang pernah kuceritakan waktu itu,
kan? Ayo temani uda menemuinya sekarang.
Khadijah
Aziz
: Datuk, saya pamit dulu. Lain kali saya akan datng lagi kemari untuk
berkunjung. Sampai jumpa, Hayati.
Datuk
Hayati
Hayati
: Yah, dia kelihatannya baik. Tapi aku baru mengenalnya hari ini, Mak Datuk.
Mengapa Mak Datuk sudah bertanya seperti itu?
Datuk
: Tidak apa-apa, hanya bertanya saja. Mak hanya ingin berpesan jangan terlalu
terpuruk karena sakit hatimu. Kedatangan Aziz ini cobalah beri dia kesempatan,
siapa tahu dia bisa membuatmu lupa akan kesedihanmu karena Zainuddin. Dia
jauh lebih baik daripada Zainuddin. Camkan ini baik-baik, Hayati.
Hayati
: (terdiam)
Hayati masih belum bisa melupakan Zainuddin. Tidak, tidak secepat itu. Kedatangan
Aziz belum bisa sepenuhnya menghilangkan perasaannya dulu kepada Zainuddin. Sejak hari
pertemuan mereka itu, Aziz seringkali berkirim surat dan mengunjungi Hayati. Mereka sering
bertemu atas prakarsa Khadijah, yang memang berniat untuk menjodohkan Aziz dan Hayati.
Perasaan Hayati tidak menentu. Dia masih mencintai Zainuddin, tapi dia harus mengakui kalau
Aziz adalah pria yang amat baik. Dia masih sempat berkirim surat dengan Zainuddin yang kini
tinggal di Padang Panjang. Ia juga mengatakan bahwa ia akan pergi ke sana dan tinggal
sementara bersama Khadijah karena mereka hendak menyaksikan pacuan kuda dan pasar malam.
Mereka memang bertemu dengan Zainuddin, tapi Hayati malah mendapat ejekan dari Khadijah.
Khadijah memandang remeh Zainuddin yang dianggapnya tidak pantas mendampingi Hayati.
Singkat cerita, karena merasa cukup memiliki harta peninggalan orang tuanya setelah
Mak Base meninggal, Zainuddin mengirimkan surat lamaran pada Hayati. Namun di saat yang
bersamaan, Hayati juga menerima surat lamaran dari Aziz.
Hayati
: Mengapa bisa jadi seperti ini? Apa yang harus kuperbuat sekarang Tuhanku,
hamba bingung Hamba benar-benar tidak ingin menyakiti hati siapapun
(putus asa)
Datuk
: (datang) Ada apa, Hayati? Surat apa itu di tanganmu? (mengambil surat dari
tangan Hayati) Ini surat lamaran, bukan? Dari dua orang? Dan Zainuddin masih
berani-beraninya mengirimkan surat lamaran padamu?
Hayati
Datuk
Hayati
: (menatap kepergian Datuk dengan raut sedih) Tapi tapi aku mencintai
Zainuddin. (menangis)
Akhirnya pernikahan itu pun dilangsungkan. Zainuddin pun menerima surat yang
menyatakan bahwa Hayati menolak lamarannya dan memutuskan untuk menikahdengan Aziz.
Karena amat frustasi dan sedih, Zainuddin pun jatuh sakit. Ia demam tinggi dan berkali-kali
menggigau menyebut-nyebut nama Hayati. Muluk, seorang temannya yang setia, merasa heran
sekaligus iba melihat kondisi Zainuddin saat itu.
(Zainuddin tidur dan menggigau)
Zainuddin
Muluk
: (datang membawa baskom berisi air dan kompres) Lagi-lagi nama itu yang dia
sebut. Zainuddin, entah sampai berapa lama kau akan seperti ini. (memeras kain
untuk kompres dan meletakkannya di dahi Zainuddin)
Zainuddin
Muluk
: Aku jadi penasaran sebenarnya seperti apa orang yang sudah membuatmu jadi
seperti ini, Zainuddin. Kau terlihat merana dan begitu sengsara karena cinta.
Zainuddin
: Dia benar-benar tega.. Dia yang membuat semangatku hidup kembali dulu, tapi
dia pula yang membuatku menjadi sengsara seperti sekarang ini.
Muluk
: Ah, betapa kasihannya dirimu, Zainuddin. Pemuda tampan dan gagah macam
kau ini ada pula yang tega menolak. Tabahkan hatimu, Zainuddin. Ingatlah, karma
selalu berjalan. Akan selalu ada hasil dari tiap perbuatan kita.
Beberapa hari kemudian, keadaan Zainuddin sudah leih baik karena bantuan dari
Muluk. Awalnya, Muluk adalah orang yang suka berjudi dan menyabung ayam. Namun mereka
bertem dan sepakat untuk bersahabat sehidup semati. Bahkan Muluk rela untuk bertobat, dan ia
akan selalu mengikuti kemanapun Zainuddin pergi. Di suatu siang Muluk datang ke kediaman
Zainuddin.
Muluk
Zainuddin
Muluk
Zainuddin
Muluk
Zainuddin
: Aku tidak mau bermimpi dan berangan-angan terlalu tinggi sekarang ini,
Muluk. Rasa sakit saat jatuh setelah melambung tinggi begitu perih.
Muluk
: Inilah yang menghambat orang-orang untuk sukses. Kenapa tak kau coba saja
dulu? Daripada kau terpuruk sendirian di sini memikirkannya? Inilah
kesempatanmu untuk bangkit, Zainuddin! Buka lembaran baru. Mulailah hidup
dengan semangat baru, Zainuddin.
Zainuddin
Muluk
: Tentu saja! Maka dari itulah aku kemari, aku hendak mengajakmu pergi
merantau ke Jakarta. Aku punya kenalan yang bekerja di penerbitan. Kirimkan
saja tulisan-tulisanmu ke sana. Bagaimana? Kau akan ikut denganku, bukan?
Zainuddin
: Ya ya, kau benar, Muluk. Inilah saatnya aku memulai semua dari awal. Aku
akan pergi ke Jakarta.
Berangkatlah kedua bersahabat itu ke Jakarta keesokan harinya. Zainuddin pun menulis
dan menulis lagi, mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hingga akhirnya, buah dari kerja
kerasnya pun tiba
Muluk
: Zainuddin, hai sobat! Wah, tidak salah dulu aku memaksamu untuk ikut
merantau! Akhirnya, buku-bukumu terbit dan terjual laris! (merangkul dan
menepuk punggung Zainuddin keras-keras)
Zainuddin
Muluk
Zainuddin
: Bayangkan jika saat itu aku menolak tawaranmu. Ah, tidak bisa kubayangkan
sudah jadi apa aku sekarang. Semakin terpuruk, bahkan bisa-bisa aku akan binasa
sendiri. Kau memang penyelamatku, Muluk!
Muluk
: Haha, sudahlah, itulah gunanya sahabat, Zainuddin. Kau juga yang bisa
membuatku tobat dan berhenti berjudi dan menyabung ayam. Sekarang ini, aku
pengikut setiamu! Hahaha
Zainuddin
Muluk
: Oh ya, kudengar aka nada pementasan drama berdasarkan cerita yang kau tulis
itu?
Zainuddin
: Ya, pementasan itu di Surabaya. Aku pun rencananya akan pindah ke sana. Kau
harus ikut pula denganku, Muluk.
Muluk
Zainuddin
Sementara itu, di sisi lain, hubungan rumah tangga Aziz dan Hayati mulanya berjalan
baik. Pekerjaan Aziz menuntutnya untuk pindah ke Surabaya, dan Hayati pun ikut serta ke sana
untuk menemani suaminya. Suatu hari mereka mendapat undangan untuk menonton pementasan
drama yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau Z. dari situlah awal mula
pertemuan mereka setelah sekian lama
(Zainuddin sedang berbicara dengan Muluk, Aziz dan Hayati datang dari sisi lain
panggung, Aziz menggandeng Hayati)
Aziz
: (menepuk undak Zainuddin) Maaf, bukankah kau Tuan Shabir? Penulis dan
sutradara dari drama tadi, kan?
Zainuddin
Hayati
: (terkejut)
Aziz
Zainuddin
Hayati
Aziz
: Ada apa dengan kalian berdua? Tuan Zainuddin Oh, aku mengerti sekarang!
Jadi kau, kau Zainuddin, pendatang dari Makassar yang sempat tinggal di Desa
Batipuh, bukan? Jadi kau pasti sudah mengenal istriku ini.
Zainuddin
Aziz
: Ya, pertunjukannya sangat bagus! Istriku ini sangat terpukau dibuatnya. (nada
menyindir sambil melirik Hayati)
Hayati
Aziz
Zainuddin
: Terima kasih atas pujiannya. Maaf, aku harus pergi, ada urusan di belakang
panggung yang belum selesai. (pergi. Suara dalam hati : Tuhan, maaf karena
aku sudah berbohong. Pertahanan diriku seakan roboh karena melihatnya lagi,
terlebih saat ini dia sudah bersama orang lain., menoleh sekilas kepada Hayati)
Pertemuan itu singkat saja, namun membangkitkan sejuta kenangan di masa lalu antara
Hayati dan Zainuddin. Hubungan Aziz dan Zainuddin sebenarnya baik-baik saja. Mereka tidak
lantas bermusuhan karena sama-sama memperebutkan Hayati. Namun saat tinggal di Surabaya,
justru hubungan rumah tangga Aziz dan Hayati menjadi tidak begitu baik, karena Aziz mulai
sering berjudi, mabuk-mabukan, dan pergi dengan perempuan-perempuan jalang.
Bandar judi
: Rokok, kawan? Kau tidak terlihat begitu baik akhir-akhir ini. (menyodorkan
rokok)
Aziz
Bandar judi
: Buat apa kau pikirkan? Banyak wanita-wanita yang bisa membuatmu merasa
lebih baik di sini. Atau kita berjudi, kawan! Ayo bersenang-senang! Ayolah Aziz,
kita main judi lagi! Hartamu kan masih banyak! Tidak ada salahnya bersenangsenang sedikit. Lupakan saja tentang istrimu dan segala tetek bengek tentang cinta
pertamanya!
Aziz
kalah. Padahal ia bertaruh banyak, karena si Bandar judi terus menentangnya untuk bertaruh
lebih banyak lagi.)
Bandar judi
: Kau kalah, Aziz! Hahaha! Tapi tak apa-apa, kawan. Mungkin hari ini bukan
hari keberuntunganmu.
Aziz
: Ah, sial! Tapi sudahlah, ambil saja uang itu! Angap saja aku bersedekah
padamu!
Bandar judi
Aziz
: Ya.
Perempuan
: (mengelus pipi Aziz) Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Kalah sekali-sekali tak
akan membuatmu bangkrut.
Aziz
Perempuan
Aziz
Perempuan
: Ah, tapi aku sudah sering melihatmu di sini. Kawan-kawanku banyak yang kau
tiduri juga, kan? Kalau tidak salah, kau juga sedang ada masalah dengan istrimu
itu, kan? Ayolah, Tuan mengaku saja kalau itu benar. Tidak usah pedulikan
istrimu. Ada aku di sini. (mengedip, mengamit lengan Aziz)
Aziz
Bandar judi
Aziz
Zainuddin
: Ah, begitu. Tidak, tidak apa-apa, Aziz. Di sini masih ada kamar ksong. Kalian
bisa menempatinya. Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.
Aziz
Hayati
Zainuddin
: Yaa Ini memang kewajiban kta sebagai hamba Tuhan, saling tolong
menolong. Bukankah begitu? Ayo, akan kuantar kalian ke kamar. Kalian pasti
capek membawa barang sebanyak itu. Istirahatlah dahulu. (bangun dari tempat
duduk)
Aziz
menginap di tempat Muluk, sahabatnya. Sementara itu, hubungan Aziz dan Hayati semakin
buruk. Mereka acap kali bertengkar, terutama karena kebiasaan Aziz yang suka mabukmabukkan dan pulang mal am meskipun ia sudah bangkrut sekarang. Hayati tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia sudah menegur, namun Aziz akan melawannya.
Hayati
: Mengapa kau jadi seperti ini sekarang suamiku? Mengapa kau sering kali
pulang malam dan dalam keadaan mabuk?
Aziz
: Ah, peduli apa kau soal diriku?! Bukankah kau juga sudah jarang
memperhatikanku? Membaca buku terus! Tak pernah lagi peduli padaku!
Hayati
: Tapi tidak begini caranya, sadarlah Aziz! Kita sudah bangkrut! Jangan suka
berfoya-foya lagi di luar! Apa kau tidak malu dengan Zainuddin?
Aziz
: Kenapa kau bawa-bawa Zainuddin dalam masalah ini? Jangan mengira aku tak
tahu, Hayati. Zainuddin cinta pertamamu! Apa aku salah bemain dengan wanita
lain sementara kau pun masih mencintainya?!
Hayati
Aziz
: Bohong besar! Perempuan munafik! (menampar Hayati) Jangan pernah cobacoba untuk melarang atau menegurku lagi! Kau ini perempuan, tugasmu melayani
suaminya! Bukan menegur atau membantah! (pergi)
Hayati
(Zainuddin datang)
Zainuddin
Hayati
: Aziz Aziz pergi, Zainuddin. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dia
sering mabuk-mabukkan, aku hanya mencoba menegur, tapi dia selalu marah
padaku.
Zainuddin
: Masuklah ke kamarmu. Istirahat saja di dalam. Aku juga lelah. Jangan kau
tambah lagi penat ini. (pergi)
Hayati
entah kemana, dan setelah beberapa hari tak pulang, barulah ia tahu bahwa Aziz telah meninggal
karena menenggak racun di sebuah hotel di Banyuwangi. Malang benar nasibnya. Zainuddin pun
bersikap acuh tak acuh padanya. Zainuddin belum mampu mengobati sakit hatinya karena Hayati
dulu menolak lamarannya. Tapi tidak pernah ada perempuan lain yang singgah di hatinya selain
Hayati. Muluk sering mempertanyakan mengapa sikap Zainuddin begitu dingin pada Hayati, tapi
Zainuddin tidak pernah mau membahas dan menjawab pertanyaannya. Tapi Muluk tahu benar
bahwa Zainuddin masih mencintai Hayati. Jika rasa itu sudah hilang tentunya bukan suatu
masalah bila bertemu dengannya lagi, kan? Suatu hari, Muluk mengunjungi rumah Zainuddin.
Dia tak menemukan orang yang dicarinya, tapi malah menemukan Hayati yang sedang
menangis.
Muluk
Hayati
Muluk
: Sebenarnya, aku ragu akan menceritakan ini padamu atau tidak Hayati. Tapi
melihat keadaanmu seperti ini
Hayati
: Apa Muluk? Apa yang ingin kau ceritakan? Ceritakanlah. Kuharap cerita ini
bukannya menambah kesedihanku.
Muluk
: Ah, aku jadi semakin ragu. Aku tidak tahu apa cerita ini layak disebut kabar
baik atau malah kabar buruk.
Hayati
Muluk
: Begini Hayati, selama ini Zainuddin sering menginap di tempatku, dia memang
tidak pernah bercerita apapun, tapi aku sudah bersamnya sejak dia terpuruk. Dari
situ aku bisa tahu, betapa besar cintanya padamu. Dulu saat kau menolaknya, ia
sakit keras, dan seringkali menggigau memanggil-manggil namamu Hayati.
Sampai sekarang, aku tahu dia masih mencintaimu. Bagaimanapun sikapnya
padamu, percayalah, Zainuddin sebenarnya masih mencintaimu.
Hayati
: Tapi sikapnya selalu dingin padaku, kalau dia masih cinta, mengapa dia
bersikap begitu?
Muluk
: Mungkin Zainuddin masih merasa kecewa dan sakit hati karena penolakanmu
dulu.
Hayati
: Aku akan mencari kebenarannya. Jika dia memang masih mencintaiku, aku
akan mencoba untuk bertahan. Aku pun masih mencintai Zainuddin.
Tak perlu waktu lama bagi hayati untuk menemukan kebenarannya. Suatu hari, saat ia
sedang membersihkan ruang kerja Zinuddin, ia menemukan foto dirinya sendiri di laci meja
tempat Zainuddin biasanya menulis.
Hayati
Zainuddin
: (masuk) Hayati, terima kasih sudah membersihkan kamarku tapi kau. Apa
yang kau lakukan?! Mengapa kau sembarangan membuka laci mejaku?
(mendekat ke arah Hayati dan merampas fotonya)
Hayati
: Aku ingin kau jujur sekarang Zainuddin. Apa kau masih mencintaiku?
Zainuddin
: (menunduk, terdiam)
Hayati
Zainuddin
: Apa itu semua masih ada artinya? Kau yang menolakku dulu, Hayati! Kau
menikah dengan Aziz, mengingkari janji kita!
Hayati
Zainuddin
Hayati
(Zainuddin datang)
Zainuddin
: (meletakkan selembar tiket) Keadaan akan semakin buruk bila kau terus diam
di sini. Besok pagi berangkatlah ke Padang. Kembali ke rumahmu. Besok pagi,
akan ada kapal berangkat dari sini ke Padang. Kapal Van Der Wijck. Pulanglah ke
rumahmu. (pergi)
Hayati
: Kau benar-benar tega Zainuddin. Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan,
aku akan pergi dari sini.
Maka keesokan paginya, Hayati pulang ke Padang dengan kapal Van Der Wijck, kapal
buatan Belanda yang termahsyur pada saat itu. Tepat saat kepergian Hayati, Zainuddin merasa
menyesal karena telah menyuruhnya pergi. Akhirnya dia pun bergegas mnyusul Hayati ke
Padang. Sayang seribu sayang, kapal Van Der Wijck tenggelam dalam perjalanannya menuju
Padang. Hayati bisa diselamatkan, namun tubuhnya penuh luka, terbaring lemah di atas tempat
tidurnya. Zainuddin yang baru tiba di Padang dan mendengar kabar tentang Hayati langsung
menuju rumah Hayati.
Zainuddin
: Hayati Maafkan aku, Hayati, maafkan atas semua sikap dinginku padamu.
Aku menyesal Hayati, aku menyesal telah menyuruhmu pulang. (memegang
tangan Hayati erat-erat, mencium tangannya)
Hayati
Zainuddin
: (meletakkan tangan Hayati ke dadanya) Kau bisa rasakan itu bukan? Kenapa
kau masih bertanya? Sejak dulu hati ini selalu jadi milikmu Hayati. Bahkan
sampai detik inipun. Bertahanlah Hayati, kumohon bertahanlah
Hayati
: (tersenyum) Aku juga mencintaimu, Zainuddin. Tapi aku terlalu sakit, aku
tidak bisa bertahan lagi Zainuddin
Zainuddin
Hayati
Zainuddin
Kembang desa di Batipuh itu telah pergi. Seluruh warga kampong berduka kehilangan
anak gadis terbaik mereka. Kepergian gadis itu bagai menghancurkan pertahanan diri seorang
Zainuddin. Ia hancur, binasa, tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kehancuran dan
kepedihan hatinya. Tak lama berselang, Zainuddin pun jatuh sakit. Sesuai isi surat wasiatnya, ia
dimakamkan di sebelah pusara Hayati. Cinta kedua insan manusia yang terhalang oleh adat itu
pun kekal dalam keabadian.