Anda di halaman 1dari 18

TITIK TITIK HITAM

Drama Satu Babak


1956
Karya: Nasyah Djamin

Para Pelaku: ADANG


HARTATI / ISTRI ADANG
TRISNO / ADIK ADANG
RAHAYU / ADIK HARTATI
IBU / IBU HARTATI + RAHAYU
DR. GUN

(Peristiwa terjadi di ruang depan rumah Adang. Dan sasran


penempatannya menunjukkan si penghuni memahami selera
moderen, sederhana dan bersih. Di dinding bergantungan
lukisan-lukisan. Di sebuah sudut kamar, terpampang sebuah
potret lukisan Hartati di atas standar. Lukisan ini baru selesai
muka dan lehernya, bagian lainnya baru merupakan sket saja.
Ketika itu malam baru tiba, di luar hujan turun. Ruangan
terbenam dalam suasana suram. Di sebuah dipan duduklah
ibu diam tunduk sebagai orang bersemadi. Suara langkah
Adang yang mondar mandir itu terasa kosong lengang. Ia
gelisah. Seketika Adang terhenti di depan pintu kamar Hartati
yang tertutup rapat, ada tergerak ia hendak membuka, tapi
demi ia sadar dan berpaling, matanya beradu dengan mata ibu
yang kini memperhatikannya. Pintu tak jadi dibukanya, Ia
mondar mandir lagi. Cekung kurus dan letih ia kelihatan
dengan jambangnya, kumis dan janggut yang tak cukur
beberapa hari itu, dan Ibu yang tidak tahan mendengar suara
langkahnya itu menegur).
IBU : Kenapa kau tidak pergi tidur dulu?
(Adang hanya tertegun sedikit, lalu mondar mandir lagi. Ibu
menuruti dengan mata ada terbayang kesalnya).
IBU : Jangan mondar mandir begitu, Adang!
ADANG : Apa kata Ibu?
IBU : Jangan mondar mandir, kubilang!
(Adang memandang ibu dengan tak senang. Ia meneruskan
langkah-langkahnya sebagai menantang).
IBU : Adang !
ADANG : Jadi aku mesti bagaimana.
IBU : Jangan seperti orang linglung. Berbuatlah apa-apa.
ADANG : Aku sedang berbuat apa-apa sekarang. (Ia mondar mandir
lagi dengan lebih tidak peduli).
IBU : Dengar Adang. Pergi kau tidur sekarang, atau pergilah
kemana saja, asal pergi dari sini. Bisa gila aku melihatmu
begitu!
ADANG : Apa salahnya aku monar mandir! (Tapi dengan kesal ia
duduk juga di kursi) Ibu benci melihatku, tidak?
(Tapi Ibu tidak mengacuhkannya)

1
ADANG : Aku perlu hadir di sini.
(Karena ibu diam saja, ia termangu sendiri. Tapi tak lama ia
bisa menahan gelisahnya. Dari dalam saku dikeluarkannya
sebelah pisau belati, seperti yang dipakai pandu-pandu.
Sejenak ia terkejut ngeri memandang benda itu, tapi
kemudian tersenyum hambar akhirnya. Pisau itu dimain-
mainkannya di telapak tangannya. Lalu akhirnya, dengan tak
disadarinya, benda itu dipakainya mengetok-ngetok daun
meja. Kian keras dan kian keras. Ibu memandangnya pula
dengan sengit)
IBU : Adang!
(Tiba-tiba Adang berhenti, tapi matanya memusuhi Ibu).
ADANG : (Sebagai pada diri sendiri) Bagus dan kuat pisau ini. Pisau
Waja asli. O, bila adalah aku punya keberanian sekuat baja
yang indah….
IBU : Tidak bisa kau berhenti!?
ADANG : (Berdiri dan memaukkan kembali pisau itu ke sakunya)
Bah, semua gerakku salah. Mondar mandir salah, Duduk
salah.
IBU : Pecah otakku mendengar ributmu. Pergilah dari sini kubilang.
ADANG : Kenapa ibu begitu benci padaku?
IBU : Janganlah berbuat rebut. Kau tahu tingkah lakumu
mengganggu.
ADANG : Mestikah aku keluar dari sini? Sedang tati terbaring di sana
sedang sekarat! (Menunjuk kea rah kamar Hartati)
IBU : O tahu kau rupanya!
ADANG : Aku suaminya. Aku perlu hadir di sini.
IBU : Ya, aku tahu, kau suaminya? Kau perlu hadir di sini
(Suaranya mengejek)
ADANG : Apa mau ibu sebetulnya? Tidakkah Ibu bisa merasakan apa
yang erkecamuk dalam dadku ini?
IBU : Perlu kau menunjukkan kemana-mana kemalanganmu!
ADANG : Diam! (Tapi ia tiba-tiba terkejut mendengar suara
bentakkannya sendiri, dan tertunduk) Kenapa sikap Ibu begitu
padaku?
IBU : Kau lupa aku ibu istrimu, Adang. Anakku yang terbaring di
sana. Lihatlah, mataku ini tidak bisa lagi mengeluarkan air
mata. Memang, kaulah suami yang baik, bisa menunjukkan
kesedihanmu.
ADANG : Sudah! Jangan terus mengejek begitu!
IBU : Sst! Jangan berteriak.
ADANG : (Sadar terdiam, kemudian katanya) Ingatlah, ini rumahku, dan
kalau Ibu merasa terganggu, jangan aku diusir-usir begitu.
Apa perlunya ibu menegur aku, biarpun aku memekik-mekik
atau meraung keras-keras di sini! Tak perlu ibu turut campur
dalam soal-soalku dengan istriku. (demi ia melihat Ibu
seolah-olah hendak berkata, ia mengangguk-angguk) Ya,
kasihmu memang besar pada anakmu. Tidak terharu
sedikitpun, tidak tertitik air mata setitikpun, sebagai tak ada
terjadi apa-apa. Ibu yang bagus kau ini, Ibu yang bagus!

2
IBU : Deritaku sudah sampai di puncak, Adang! Sudah kering
semua air mata ini!
ADANG : Derita! Semua ini adalah derita yang ibu bikin sendiri.
Dengan rancangan hati Ibu yang tidak punya perasaan itu!
IBU : Adang!
ADANG : (menepis udara dengan tangannya, menunjukkan kesalnya)
Tak usahlah Ibu cakap-cakap tentang derita. Yang ibu
kehendaki kehancuran hidupku. Kehancuran Tati. Tidak?
Itulah yang ingin ibu lihat. Lihatlah, lihat puas-puas hidup
kami yang sudah jadi puing ini. (Ibu sebagai orang kena
pukul oleh kata-kata Adang yang tidak memberinya
kesempatan membuka mulut) Begitu besar cintanya Ibu pada
anak? Dari dulu Ibulah yang kurang suka pada perkawinan
kami. Tapi cinta Tati dan aku lebih besar dan lebih kuat. Itu
yang mau Ibu hancurkan. Bila Ibu memang benci pada diriku,
kenapa tidak aku sendiri yang diracun? Sekali inilah baru aku
melihat seorang ibu yang sampai hati menghancurkan hidup
anaknya sendiri. Dan masih bisa berkata ia cinta pada
anaknya. Masih bisa berkata, deritanya sudah sampai
kepuncaknya! (lalu geramnya bertambah nyala melihat Ibu
yang diam menunduk sebagai tak mendengarkan itu) Puas?
Puas Ibu sekarang sudah! (suaranya begitu leking)
IBU : Sst! Adang!
ADANG : Jangan bikin aku seperti kucing!
IBU : Mestikah kau mengganggu Tati dengan teriakanmu?
ADANG : O, Ibu apa kau ini. Ibu apa!
IBU : Aku tidak mau dengar ocehanmu lagi.
ADANG : Cakap ibu sendirilah yang harus di jaga. Semua ini karena
cakap Ibu. Fitnah sana, fitnah sini
IBU : Adang !
ADANG : Bantahlah ibu tidak memfitnah selama ini! Selamanya mau
merasa benar.
IBU : (Dengan suara yang menahan sabar) Kau seorang yang buta.
Betul-betul buta, Adang!
ADANG : Diulangi lagi fitnah itu! Diulangi?
IBU : Aku tidak pernag memfitnah siapapun. Kaulah yang buta dan
tuli. Aku menyatakan kebenaran. Pikirmu tidak hancur hatiku
menyatakan kebenaran yang begitu pahit selama ini padamu,
pada Tati?
ADANG : Jangan ulangi lagi fitnahmu itu, kubilang.
IBU : Ya, fitnahkulah yang membuat Tati sekarang berhadapan
dengan maut. Tapi ketahuilah, kaulah yang membuatnya!
ADANG : Aku !!
IBU : Ya. Kau sendiri!
ADANG : (Tertawa pahit) Hah! Sekarang aku yang membuat fitnah.
IBU : Salahmu. Salahmu semua.
ADANG : Aku!? (tertawa pahit mengejek lagi) Aku tidak heran, orang
berdosa melemparkan tuduhan kepada orang lain. Memang
pencuri sendirilah yang meneriakkan orang lain jadi pencuri!
Bagaimana masuk akal! Aku!! (dan kemudian ia

3
menyambung dengan bangga) Ibu, tidakkah ibu sadar juga
bagaimana teguhnya cintaku pada Tati? Betapa besarnya
cinta Tati padaku?! Cobalah katakan, apa yang tidak aku
lakukan buat Tati. Demi Tuhan, bila nyawaku ini bisa
kuberikan pada Tati, bila bisa kurenggutkan dia dari maut!
(sebagai putus asa suaranya yang akhir ini)
IBU : Tak perlu sumpahmu itu. Hanya akan menambah berat
penderitaannya saja!
ADANG : Apa maksud Ibu.
IBU : Tati toh tidak menghendaki hidup ini lagi.
ADANG : Begitu? Penderitaan Tati yang bagaimana maksud Ibu.
IBU : Kau sendiri yang harus mengerti!
ADANG : Jangan main kata-kata lagi. Katakan, apa maksud Ibu.
IBU : Tidak Adang. Lebih baik tidak.
ADANG : Mau bikin fitnah lagi? (karena geramnya ia memegang bahu
Ibu dan menkoyak-koyaknya. Kemudian karena ibu tidak
melawan, hanya diam memandangnya, ia melepaskan)
IBU : (terhenyak di dipan kembali ditolakkan Adang) Adang !
Tidak meminta tenaga banyak untuk membunuh wanita setua
aku ini. Seandainyapun aku mati oleh tanganmu, kelopak
matamu itu tidak akan terbuka juga.
ADANG : Sudah ! Sudah !!(tapi tiba-tiba ia mendekati Ibu lagi dengan
geram) Coba katakana, apa maksud Ibu. Apa yang akan
menambah derita Tati. Aku mau tahu!
IBU : Jawablah sendiri. Kenapa kau akan mendengarkan fitnahku?
ADANG : Katakan! Aku mau tahu, kubilang.
IBU : (setelah memandang Adang sejurus) Baik. Hatiku ini bukan
dari batu. Mataku ini tidak buta, masih bisa melihat dengan
jernih. Rumah ini sudah hitam dengan kecemaran dan
kedosaan. Kau sudah berkali-kali kubilang, tapi kau pekakkan
telingamu. Tati juga sudah berkali-kali kubilang: hentikan
permainanmu itu! Kau menipu diri sendiri kau menipu
hidupmu! Lihatlah, aku tahu memang akan beginilah
akhirnya. Kehancuran, kebinasaan. Tapia pa yang dapat
kubuat? Sekarang…
ADANG : (memotong cakap) Begitu!? Memfitnah saja kerja ibu,
meracun setiap orang!
IBU : Adang, kapan kau bisa melihat!?
ADANG : Jangan bicara lagi, aku tak mau dengar. Tak mau dengar!
IBU : Begitu? Kau yang memaksa aku bicara. Begitu takut kau
berhadapan kebenaran!?
ADANG : Tidak cukup hatiku ini Ibu racun! Kebenaran! Sampai Hartati
juga Ibu racun, Ibu hasut-hasut mengatakannya menipu diri,
menipu hidup. Dengar orang tua ! Bila Tati sampai maut,
ketahuilah, itu adalah karena perbuatanmu. Tidak kurelakan
dosamu sampai mati. Kau! Kaulah yang menyiksanya sampai
begini ini. Kaulah yang berdosa!
IBU : Dosa itu adalah perbuatan kalian sendiri!
(Pintu Hartati tiba-tiba terbuka, Dr. Gun keluar merasa
terganggu. Pintu dikatupkannya kembali)

4
ADANG : Diam. Diam! O, celaka nanti kubuat.

II
Dr. GUN : Sst…! Tenanglah. Tenanglah!
(Adang dan Ibu sadar, dan keduanya terdiam. Tertebun. Tapi
lalu Adang memburu Dr. Gun, penuh dengan harapan dan
cemas)
ADANG : (memegang lengan Dr. Gun) Pak Dokter…?
Dr. GUN : Ia masih belum sadar. (dan pada Ibu) Ayu sudah datang? (Ibu
menggeleng) Tenang-tenanglah disini.
ADANG : Kenapa si Ayu!? Kenapa Tati segan melihat aku!
Dr. GUN : Sst…! Saya peringatkan Adang, tenang. Kalian bisa
membantu hanya dengan berlaku tenang dan sabar. Ya?
IBU : Pak Gun. Sembuhkanlah dia Dokter! (lama Ibu melihat biji
mata Dokter, kemudian suaranya sebagai tawakkal) Dia akan
mati, tidak Dokter?! Bilanglah. Bilang Pak Gun. (Dr. Gun
sebagai termangu saja)
ADANG : (memegang erat-erat lagi tangan Dr. Gun) Ya? Katakanlah
terus terang Pak Gun. Ya?! (dan ketika Dr. Gun masih diam
terus, suaranya seperti mengancam) Saya berhak
mengetahuinya. Saya suaminya!
Dr. GUN : Sst…! Sabar Adang. Tati masih bisa sembuh.
ADANG : Masih bisa? Bagaimana maksud Pak Dokter.
Dr. GUN : tenanglah dulu. Ya, dia masih bisa sembuh. Kalau dia sendiri
mau sembuh! Kalau dia sendiri ada kemauan mau hidup
kembali!
ADANG : Ia mesti sembuh. Mesti. Pak Gun Dokter, seorang Dokter!
Dr. GUN : Adang, saya mengerti peraaanmu, tapi kuasailah dirimu.
Segala kepintaransaya sebagai dokter hanya bisa berlaku, bila
dari Tati sendiri ada kemauan untuk hidup itu. Saya tidak
berdaya sekarang ini. Tati sama sekali tidak mau membantu .
Soal Tati bukan soal keruntuhan jasmani saja, tapi lebih
dalam, keruntuhan jiwa dan rohaninya! (Pak Gun terdiam
sejemak, lalu sambungnya) Saya hanya berharap pada Tuhan,
berharap pada turunnya sesuatu keajaiban dalam hal ini.
Sekarang tenangtenanglah hati, kita harapkan yang baik. (Dr.
Gun melangkah kea rah pintu kamar Hartati, tapi sebelum ia
membuka pintu, katanya) Beritahulah saja, bila Ayu datang.
(ia masuk)

III
(Adang terhenyak ke dipan, mencabik-cabik rambut)
ADANG : Ayu, kenapa si Rahayu yang selalu ditanyakannya! Tidak
bisakah cintaku menolong Tati? (dank arena Ibu bisu saja, ia
jadi penasaran, dan suaranya sebagai berteriak) Ibu! Kenapa
si Ayu? Kenapa?
IBU : Si Ayu adiknya!
ADANG : Tapi itu mustahil. Ku suaminya, aku lebih rapat dengan dia.

5
IBU : (lama melihat Adang dengan rasa kasihan dan termangu.
Kemudian ia mendekati Adang dan meletakkan tangannya ke
bahu Adang, katanya lembut) Adang, sabarkanlah hatimu.
Kita berdua bernasib sama. Aku, ibunya sendiri juga segan
dia menerima.
(Adang hanya mengangkat kepalanya, memandang Ibu
dengan rasa yang masih mengandung benci)
IBU : Janganlah kita bertengkar sekarang ini. Lupakanlah bencimu
pada ibu, lupakan sejenak.
ADANG : Ibu sendiri yang harus tahu.
IBU : Adang. Hatiku ini sudah hancur, lebih hancur dari hatimu. O,
janganlah kita terus bertengkar. Bila memang sudah
ditakdirkan, ajal tati akan sampai, marilah kita beri ia
kepergian yang tenang.
ADANG : (bangkit) Dia tidak akan pergi.
IBU : (Kemudian) Engkau sudah seminggu tidak tidur-tidur. Kau
terlalu letih. Rebahkanlah dirimu agak sebentar ke dalam.
(Adang tidak menjawab, ia melangkah, dan di depan jendela
kekelaman malam. Hujan sudah reda, dan hatinya agak reda
juga. Lalu ia masuk kekamarnya, dan keluar sambil
mengenakan jas hujan)
IBU : Kemana kau Adang.
ADANG : Keluar, mencari hawa. Hujan sudah berhenti. (Diambang
pintu ia tertegun, dan berpaling pada ibu, katanya) Bu,
maafkanlah kata-kataku tadi.
IBU : (letih) Lupakanlah kejadian itu.
ADANG : (datang mendekati Ibu kembali) Kenapa si Ayu belum datang
juga? Seharusnya sudah tiba sekarang…. Sudah dua kali
tilgram kukirim (dan smbungannya seolah-olah pada dirinya
sendiri) Kenapa Ayu, si Ayu yang ditanyakannya?
IBU : Tak usah diberati pikiranmu lagi. Kita doakan dia lekas
datang.
ADANG : Ya, dua kali kutilgram. Juga Trisno…. Mereka datang di
gunung. (sejurus lamanya Adang sebagai berpikit, lalu
dengan tidak berkata sepatahpun ia pergi keluar).

IV
(Ibu melihatnya sampai hilang. Lalu seorang dirilah Ibu kini
dengan sepinya, menarik nafas. Dan tiba-tiba dikejutkan oleh
Dr. Gun yang keluar dari kamar Hartati).
IBU : Ada apa Pak Gun?
Dr. GUN : O tidak apa-apa. Terkejut? (senyum menenangkan Ibu) Saya
hanya ingin merokok sebatang. (lalu ia duduk di kursi)
IBU : Tapi Dokter, Tati Dokter tinggalkan sendiri
Dr. GUN : Suster Sulasmi menunggu di dalam, (menjulurkan kakinya)
IBU : Letih Pak Dokter?
Dr. GUN : Agak kejang rasanya tulang belulang saya. Adang sudah tidur
bu?
IBU : Dia keluar tadi.

6
Dr. GUN : (sambil mengeluarkan rokok dan memasangnya) Dia terlalu
memaksa diri. Saya takut ia nanti jatuh sakit.
IBU : Pak Gun juga memaksa diri.
Dr. GUN : O, Saya! Itu kewajiban saya. Dan lagi pula mendiang suami
ibu teman karib saya, sudah sebagai saudara kandung sendiri.
Ya, waktu ia meninggal ia masih berpesan pada saya: Gun,
lihat-lihatilah keluargaku! Tapi sekarang saya tidak berbuat
apa-apa untu menolong Tati.
IBU : Pak Dokter sudah berusaha habis-habisan. Akan saya
ambilkan Pak Gun teh panas sebentar? (lalu dengan tidak
menunggu jawaban dulu, Ibu terus ke belakang. Dr. Gun, kini
tertinggal sendirian mengepul-ngepulkan asap rokoknya, dan
matanya mengedari seluruh kamar. Pandangannya terpaku
pada lukisan potret Hartati di standar. Lamban ia berdiri, dan
asyik merenungi lukisan itu, hingga ia dikejutkan oleh suara
Ibu).
IBU : Silahkan Pak Gun. (Meletakkan mangkuk the di atas meja).
Dr. GUN : (Dr. Gun duduk kembali di tempatnya).
IBU : Itu potret Tati. Trisno yang melukisnya. Persisi ya, pak
Dokter?
Dr. GUN : Ya, seperti Tati sendiri.
IBU : Cuma di lukisan itu rambutnya tidak digelung. Ia lebih manis
bila bersanggul. Rambutnya begitu hitam, panjang, lemas dan
subut. Ya, tak tahulah kesukaan orang sekarang. Lucu rambut
model buntut kuda itu. Ada-ada saja selera orang sekarang
(Ibu tertawa, juga Dr. Gun ikut tertawa).
Dr. GUN : Sayang, tidak selesai lukisan itu. Kapan ia di lukis Trisno?
IBU : Itu sebulan yang lalu dimulainya. Dia melukis kapan hatinya
tergerak saja. Lagipun ia tak disini lagi tinggal.
(Keadaan sepi pula. Dr. Gun mengisap rokoknya sebagai
melamun melihat kepulan asap di udara)
IBU : Apa yang pak Gun pikirkan?
Dr. GUN : Hartati
IBU : Betul-betul tidak harapan lagi Dokter?
Dr. GUN : O, bukan itu. Tapi saya merasa begitu sunyi di rumah ini.
Sedang di lukisan itergambar wajah Tati yang begitu bahagia,
begitu gembira. Seolah-olah terdengar oleh saya gelak dan
tertawanya yang cemerlang. (ia tiba-tiba tertegun melihat Ibu
agak suram).
IBU : Apa yang Pak Dokter katakan itu benar. Rumah ini sepi dan
suram.
Dr. GUN : Ya. Suasana sepi begini membuat saya terkenang ke rumah
sendiri. Ingat pada anak-anak, pada Ibunya. Bila malam-
malam begini, ibunya repot mengurusi si Bengal-bengal itu,
repot menceritakan dongeng-dongeng si kancil, sampai mata
mereka tertidur. Pintar ibunya bercerita, harusnya istri saya
itu bisa menjadi seorang pengarang cerita-cerita dongeng
mashur. Ya, yah. Tapi kerepotannya, ialah kerepotan seorang
Ibu yang bahagia. Rindu saya. (Dr. Gun tertawa) rindu saya
pada suara rebut mereka.

7
IBU : Pak Dokter, apa yang hendak Pak Dokter tanyakan pada
saya?
Dr. GUN : (Setelah diam sebentar) Ibu, pernah Tati berkata apa-apa pada
ibu?
IBU : Tentang apa Pak Gun.
Dr. GUN : Ya… Atau apa Adang sendiri? (Kemudian ia cepat
menambah dengan) sudah lima tahun Tati dan Adang kawin,
tidak Bu? (Ibu mengangguk tak mengerti dan Dr. Gun
memandang Ibu tenang-tenang) Jadi, dia tidak pernah berkata
apa-apa?
IBU : Bilanglah apa yang Pak Dokter katakana.
Dr. GUN : (Setelah diam sebentar) Hartati dalam mengandung satu
bulan.
IBU : Dia tak pernah mengatakannya. Kenapa sekarang baru Pak
Gun katakana.
Dr. GUN : Saya sangka Ibu atau Adang sudah tahu.
IBU : Kami belum tahu menahu. Kenapa dia tidak berkata.
Dr. GUN : O ya. Itu soal biasa. Mungkin tati akanmengatakan pada
waktu yang tepat. (Diam sebentar, lalu tiba-tiba) Mereka cinta
mencintai?
IBU : Ya, mereka kawin juga karena cinta mencintai.
Dr. GUN : Baik itu. Tapi heran, nampaknya ada sesuatu yang membuat
mereka jauh menjauhi.
IBU : Tapi belum pernah sekalipun saya ketahui mereka bertengkar.
Tati selalu gembira hidupnya di samping Adang. Hanya yang
kurang pada Adang, ialah dia selalu meninggalkan Tati
sendiri di rumah. Sudah berkali-kali Adang beritahu jangan
bersikap begitu. Terlalu sering dia dinas keluar kota, terlalu
sering.
Dr. GUN : Sudah lazim laki-laki harus dinas keluar kota untuk
melakukan tugasnya. Saya sendiri kadang-kadang tidak
banyak waktu terluang berkumpul dengan keluarga.
IBU : Soal pak Dokter lain. Tapi Tati kadang-kadang ditinggalkan
Adang, berhari-hari, malah berminggu-minggu lamanya.
Seorang istri tidak bisa sering-sering ditinggal begitu.
Dr. GUN : Adang bukan potongan orang nakal, tidak Bu?
IBU : Tidak, dia bukan potongan orang nakal. Malah terlalu lembut
dan rapuh untuk berkelakuan nakal. Tapi, mana saya tahu
kelakuanya di luar rumah!
Dr. GUN : (Diam termangu)
IBU : Pak Dokter. Kenapa bertanya sampai-sampai hal yang begitu?
Dr. GUN : Maaf Bu. Bukan maksud saya mencampuri hal rumah tangga
orang lain. Tapi ini mengenai pasien saya: Tati. Saya terpikir-
pikir, kenapa ia begitu bersikeras tidak mau membantu saya.
Habis upaya saya. Sudah saya coba berkata padanya:”Tati,
hiduplah. Beri isi kandunganmu itu hidup!” Tapi ia tetap
berkata:”Terima kasih Pak Gun, jangan bersusah payah” Dia
melengoskan kepalanya ke dinding, matanya dikatupkannya
dengan pilu. Tidak mau peduli lagi ia pada apapun. Apa yang
dapat saya buat lagi? Nampaknya ia terlalu malangm terlalu

8
celaka. Sudahlah Bu, maafkan kelancangan saya yang
terlanjur tadi.
IBU : Lupakanlah. Saya tidak apa-apa.
Dr. GUN : Kita doakan saja si Ayu lekas datang. Kemana sebetulnya
dia?
IBU : Saya sendiri kurang tahu pak Gun. Pergi pindah dari rumah
ini, juga tidak meminta diri pada saya. Saya hanya dapat
beritanya saja. Katanya ia mencari pondokan lain yang dekat
dengan kantor pekerjaannya. Itu sepuluh hari yang lalu. Ada
sekali saya menemuinya ke tempat barunya itu, tapi ia tak di
rumah. (Sesudah diam sejurus) Sehari sesudah Ayu pergi,
Trisno juga pindah dari sini.
Dr. GUN : Mereka akan kawin?
IBU : Ayu dan Trisno? Dari siapa Pak Gun Dapat kabar?
Dr. GUN : Adang pernahmengatakan.
IBU : Tak tahulah saya. Anak-anak sekarang berbuat sesuka hatinya
saja. Orang tua sudah tidak diajak berunding lagi. Tak ada
yang disegani dan dihormati lagi. Saya tak mengerti. (tertawa
pahit) Mungkin sayalah yang sudah terlalu kolot, tidak bisa
mengerti jiwa dan kemauan anak-anak sekarang. Di rumah ini
Ayu tidak kurang apa-apa. Saya tidak melarang dia dalam
pergaulannya sehri-hari, saya tidak mencampuri hidupnya.
Tapi ia penuh dengan pikiran-pikiran merdeka, tidak mau
diikat dan ditentukan orang lain. Pak Gun, hati saya ini
hancur sudah memikirkan Ayu. Hancur karena saya tidak bisa
berbuat apa-apa. Sudah terlepas sama sekali ia dari saya. Ia
terlalu keras kepala, keras hati. O, bila terjadi lagi seperti dua
tahun yang lalu….
Dr. GUN : Jangan diingat itu lagi Ibu.
IBU : …..dan sekarang Tati pula. Ibunya terlalu kotor baginya,
untuk dekat-dekatnya dalam keadaannya yang begini.
Dr. GUN : Ibu!.
IBU : Maafkan Dokter.
Dr. GUN : Tati berada dalam krisis. Bila ia dapat mengatasi yang sekali
ini, ia akan selamat. (ia terdiam malu pada kelemahannya
sendiri, lalu berdiri. Tapi tepat di depan lukisan Hartati ia
tertegun lagi memandang. Pelan sebagai pada diri sendiri ia
menyambung) Aku tidak mengenal Tati yang dulu lagi,
sekarang. Kalau ada dialah sekarang!
IBU : Siapa Pak Dokter?
Dr. GUN : Ayu.
IBU : Ya, Si Ayu.
(Dr. Gun masih terus terpaku di depan lukisan Hartati,
kemudian katanya sebagai pada diri sendiri)
Dr. GUN : Ada yang putus dalam diri Tati sekarang ini. Seperti rantai
kehilangan matanya. Dia tidak mau menyambungnya
kembali. Itulah sulitnya. Sebagai ia sudah berserah diri, hanya
menanti… (kemudian ia cepat menyambung, demi matanya
beradu dengan mata ibu) Kita nantikan si Ayu, si Ayulah
yang dinantikan oleh Tati. (dan sambil hendak membuka

9
pintu kamar Hartati) Suruhlah dia masuk ke dalam kalau
datang.
(Dr. Gun masuk ke kamar Tati. Ibu termangu lagi seorang
diri. Dan ia dikejutkan kembali oleh suara Dokter Gun yang
keluar pula dari kamar Hartati)
Dr. GUN : Ibu. Dia menanyakan Ibu.
(Ibu tersintak, bergegas hendak masuk, tapi ditahan Dr. Gun
dengan lembut).
Dr. GUN : Lapang-lapangkan hati ibu. (ibu mengangguk dan masuk).

V
(Dr. Gun memasang rokok sebatang lagi, tapi dalam
kesabarannya menanti, matanya terpancang kembali pada
lukisan Hartati yang belum selesai itu. Dan dalam salah satu
detik-detik memperhatikan lukisan itulah, Rahayu masuk
dengan tenang. Beberapa jurus ia melihat Dr. Gun begitu, di
ambang pintu. Mantelnya basah. Rambutnya yang pendek
bergelombang itu, agak kusut terburai dibasahi rinai hujan).
RAHAYU : (masih diambang pintu) Pak Dokter.
Dr. GUN : Ha. Kau Ayu. (mendapatkannya dengan mata bersinar)
RAHAYU : Bagaimana Tati, Pak Gun?
Dr. GUN : Sabarlah Ayu. Tanggalkan dulu mantelmu ini. (menolong
membukanya) Basah mantelmu, kau juga agak basah.
Duduklah dulu (dan menggantungkan mantel ke gantungan
baju) Bapa sangka kau tidak akan datang-datang.
RAHAYU : Pak Gun, Tati…
Dr. GUN : Ibumu sedang di dalam (mengangguk kea rah pintu kamar
Tati, Rahayu hendak masuk ke kamar Hartati, di tahan oleh
Dr. Gun)
Dr. GUN : Jangan masuk dulu Ayu. Baru sebentar ini Tati menanyakan
Ibumu, lebih baik jangan dikejuti dia dulu. Sejak ia sakit, dia
hanya mau melihat saya dan suster Sulasmi dekat-dekatnya.
RAHAYU : Pak Gun. Ia tidak akan…, tidak akan pergi, Pak?
Dr. GUN : Kita masih punya harapan. Duduklah, tenangkan hatimu.
RAHAYU : (duduk) Aku tidak menyangka, Pak Gun. Tati yang
mempunyai watak keras hati dan pantang mundur begitu!
Payah penyakitnya Dokter?
Dr. GUN : (Mengangguk) Orang yang berwatak keras seperti dia bisa
hancur luluh sekaligus, bila terkena sekali tepat-tepat. Patah
seperti patah baja.
RAHAYU : Patah!
Dr. GUN : Ya, patah. Sesuatu telah mematahkannya di dalam, dan dia
sendiri mau tinggal dalam kepatahannya itu berbenam dalam
keruntuhannya. Dan wataknya yang keras itu kini sebagai
dikerahkannya sepenuhnya untuk kebinasaan diri sendiri.
RAHAYU : Sejak kapan ia begitu, Pak Gun?
Dr. GUN : (tidak langsung menjawab. Ia memandang Rahayu sebagai
mengajak, lalu katanya) Kau tidak tinggal disini lagi, Ayu?
RAHAYU : Tidak. Sejak sepuluh hari yang lalu. (Tapi tiba-tiba ia
menatap Dr. Gun dengan curiga) Tapi, Pak dokter!!!

10
Dr. GUN : Ya?
RAHAYU : Bapak mau mengatakan, bahwa kepindahan saya dari rumah
ini, yang menyebabkan Tati jatuh sakit!?
Dr. GUN : Saya tidak bilang begitu.
RAHAYU : Mata Pak Dokter bilang begitu!
Dr. GUN : Kau gelisah karena terlalu letih Ayu. (keduanya terdiam
sebentar lalu Dr. Gun menyambung) yang hendak sya
katakana, ialah hatimu sudah jauh betul dari rumah ini.
RAHAYU : (Masih berperasaan tidak senang) Itu soalku sendiri.
Dr. GUN : Hargakanlah sedikit Ibumu, Ayu.
RAHAYU : Aku tetap menghargakannya. Dan aku toh merdeka
menempuh jalan hidupku sendiri yang kuanggap baik buatku?
Dr. GUN : Tentu. Tentu!
RAHAYU : Dan apa salahnya aku berani hidup sendiri di atas kakiku,
meninggalkan ketiak Ibuku?
Dr. GUN : Tentu. Tentu! Saya juga tidak bilang kau salah.
RAHAYU : (Suara menantang) Bapak Gun masih memandang aku seperti
anak-anak. Tidak, Pak Dokter. Aku bukan Ayu 10 tahun yang
lalu, yang menangis bila melihat jarum suntik Dokter. Aku
sudah dewasa. Pak Gun lupa itu!
Dr. GUN : (tersenyum) Berapa umurmu sekarang Ayu?
RAHAYU : Aku? Dua puluh dua!
RAHAYU : (Merasa dianak kecilkan) Pak Gun! (berdiri geram
menghentak lantai dengan kakinya). Aku bukan anak-anak
lagi! Aku kecewa melihat Pak Gun, kecewa. Pak Dokter
masih memandang perempuan seperti makhluk yang harus
dilindungi seperti anak kecil! Bah, aku sanggup berdiri
sendiri, aku tahu apa yang kulakukan. Dengan kesadaran!
Mau Pak Dokter, aku jangan tinggalkan pelukan orang tua.
Jadi anak manis di rumah, tidak perlu payah-payah, semua
akan diatur oleh orang tua! Begitu? Ya, akulah contoh anak
yang tidak membalas guna pada orang tua, tidak? (tertawa
sinis)
Dr. GUN : Ayu, saya juga tidak bilang kau salah berani hidup merdeka
begitu.
RAHAYU : Janganlah ambil sikap yang merendahkan! (tegang diam
seketika suasana, kemudian kata Rahayu agak tenang)
Katakanlah, apa sebetulnya yang hendak Pak Gun bilang.
Dr. GUN : Kau sayang pada Tati?
RAHAYU : (agak tercengang) Kenapa bertanya begitu.
Dr. GUN : Sayang pada Ibumu?
RAHAYU : Lucu! Aku sayang pada mereka berdua dengan caraku
sendiri.
Dr. GUN : Bila kau sayang pada ibumu, hormatilah dia. Sudah terlalu
makan hati ia karenakelakuan-kelakuanmu. Sudah terlalu
hancur dia melihat nasibmu yang malang, melihat keadaan
yang menimpa Hartati.
RAHAYU : Pak Dokter. Simpanlah nasihat-nasihat bapak itu, aku tak
perlu. Dan kalau ada maksud Bapak mau mengatakan
sesuatu, katakanlah terus terang, tak usah berputar-putar.

11
(tertawa pahit sambil berkata lagi) Jadi toh Pak Gun
menganggap akulah yang membawa bencana di rumah ini.
Karena kepindahanku, Tati binasa, hati Ibu hancur? Semua
karena aku. Tidak begitu, tidak?
Dr. GUN : (menahan hati) Ayu!
RAHAYU : Aku bukan anak kecil lagi.
Dr. GUN : Dengarkan dulu.
RAHAYU : Ingat aku sudah dewasa, aku sudah… sudah… (melihat Dr.
Gun hanya mengangguk-angguk dengan pandangan yang
tajam dan mengejek, tiba-tiba Rahayu terhenti).
Dr. GUN : Ya ?
RAHAYU : (dengan suara menantang) Ya! Pak Dokter belum lupa
rupanya. Ya, aku sudah seorang perempuan! Perempuan!
Nah, itu! (Tertawa pahit mengejek) Dua tahun yang lalu itu,
tidak? Masih ingat Dokter Gun? Itu yang Dokter maksud
bukan?
Dr. GUN : Buat apa disinggung-singgung yang lalu Ayu.
RAHAYU : Ya, Aku bukan gadis lagi. Supaya Dokter jangan lupa. (demi
melihat muka Dokter Gun yang kurang merasa enak itu, ia
meneruskan) Alla! Lihatlah! Takutnya lagi Dr. Gun pada
perbuatannya sendiri.
Dr. GUN : Kuharap kau menutup mulutmu itu Ayu!
RAHAYU : (makin naik perangsangnya) aku harus berterima kasih,
berterima kasih, pada Dokter Gun. Bencana itu telah Dokter
hindarkan dari badanku ini. (sambil menepuk perutnya) Dua
tahun yang lalu itu, tidak? Aku datang pada Dokter Gun
dengan air mata bercucuran, minta bibit yang mulai hidup di
perutku ini, digugurkan! Tidak?
Dr. GUN : Tidak mau diam kau, Ayu!
RAHAYU : (sebagai orang kemasukan) Dan bibit nyawa itu Dokter
gugurkan dengan rahasia. Rahasia antara kita berdua saja! O,
aku masih budak kecil, waktu itu, masih hijau.
Dr. GUN : (lemas sebagai orang kena pukul) Kalau tidak karena
mendiang ayahmu tidak akan saya lakukan perbuatan itu. Itu
kau tahu, dan saya tidak kasihan padamu!
RAHAYU : Toh dasarnya kasihan. Kasihan untuk menolong kehormatan
nama, kehormatan keluarga bapakku.
Dr. GUN : Kau tahu aku telah melakukan pelanggaran yang besar?
RAHAYU : Apalah artinya pelanggaran untuk kebaikan dan
membersihkan kehormatan diri Dokter! Membunuh
sekalipun, seperti yang aku lakukan, seperti yang kita lakukan
berdua itu!
Dr. GUN : Sudah ! Sudah ! Kau tidak perlu berterima kasih padaku.
RAHAYU : Dokter, Dokter! Kusangka mulanya, Dokter lakukan itu
karena kasihan padaku. Atau karena mengerti aku. Manusia
mau berbuat pelanggaran karena dua sebab itu, tidak!
Dr. GUN : Saya tidak mau dengar lagi.
RAHAYU : Ya? Jadi toh tidak berdasarkan kedua sebb itu? Dokter Gun,
kau tidak pernah berkata terus terang. Tapi tindakanmu,

12
pandang matamu, semuanya menunjukkan Tuan melihat saya
ini sebagai seorang yang kotor, seorang perempuan jalang.
Dr. GUN : Ayu!
RAHAYU : Berterus teranglah.
Dr. GUN : Rupanya kau senang dengan dosa dan kejatuhanmu sendiri,
ya! Saya tidak mengerti apa yang kau banggakan dengan itu
RAHAYU : Katakanlah kau memandangku tidak lebih dan tidak kurang
dari seorang jalang!
Dr. GUN : Itu soalmu sendiri. Kau merdeka menganggap dirimu
bagaimana kau suka.
RAHAYU : (menggeleng) Kusangka Tuan mengerti aku selama ini.
Dr. GUN : Saya tidak mengerti. Saya tidak tahu apa maumu dengar
nona. Saya tidak keberatan pada wanita-wanita yang merdeka
seperti kau ini, berani membina dan bertujuan hidup sendiri.
Tapi kau lupa kemerdekaan bukan berarti bebas, atau berbuat
sesuka hatimu. Kemerdekaan berarti, harus berani memikiul
tanggung jawab konsekwensi kemerdekaan itu sendiri.
RAHAYU : (tertawa mengejek) Perlukah Dokter berkuliah tentang
kemerdekaan padaku? Aku tahu dengan sadar, apa yang
kukehendaki, aku sadar apa yang kulakukan, aku sadar apa
yang kupilih.
Dr. GUN : Kau mencampur baurkan kemerdekaan dengan tidak
beraturan. Kau lupa kemerdekaan punya batas-batas, tidak
bisa lepas dari hukum-hukumnya sendiri.
RAHAYU : Dokter, Dokter! Kesadaran itulah yang perlu, kesadaran.
Sudah kubilang berkali-kali. Waktu kau menolong aku dua
tahun yang lalu. Tidak ada kesadaranmu.
Dr. GUN : Ya. Kesadaran! (tertawa mengejek) Dengan kesadaran kau
lakukan dosamu dengan laki-laki waktu itu?
RAHAYU : Ya. Dengan sadar!
Dr. GUN : Begitu? Dan setelah kau ditinggalkannya, kau datang padaku,
minta aku jadi sekutumu, membunuh nyawa di
kandunganmu?
RAHAYU : Dokter, dosa pembunuhan itu dosa kita berdua. Tidak kau
tahu itu? (tertawa)
Dr. GUN : Ya. Apa maumu sebetulnya sekarang?
RAHAYU : (tertawa lagi) Tidak apa-apa. Lihatlah takutnya dokter Gun
lagi. Ya, sekarang Dokter tahu, kita berdua adalah pelanggar
hokum, pelanggar segalanya. Kita sama-sama pembunuh.
Dr. GUN : Bila kau hendak membongkar ini di depan pengadilan
silahkan.
RAHAYU : O, tidak, tidak. Kenapa aku menghianati Pak Dokter? Kita toh
sudah dewasa, tidak? Nah pandanglah aku dengan kacamata
moralmu yang baik itu! Kita sama-sama hitam.
Dr. GUN : Cukup sekali itu aku jadi pembunuh. Jangan kau harap aku
akan mau begitu bodoh lagi seperti dulu!
RAHAYU : Aku juga tidak bodoh akan datang pada Dokter lagi. Lebih
baik aku bunuh diri.
Dr. GUN : Percaya nona.
RAHAYU : Kau tidak percaya? Tidak percaya?

13
Dr. GUN : Percaya! Kau akan lakukanitu dengan sadar.
RAHAYU : Mau melihat buktinya?
Dr. GUN : (lebih menghina) Orang seperti kau ini? Yang begitu cinta
pada dunia, yang begitu cinta pada diri sendiri? Hah, kau
hanya bisa berkata, bahwa kau berbuat dengan sadar, memilih
dengan sadar, tapi tidak berani memikul akibat perbuatanmu
yang merdeka itu.
(Tiba-tiba Rahayu yang tidak bisa mengendalikan, kepanasan
hati, telah menmpar Dr. Gun. Ia sendiri terkejut karena
perbuatannya itu, sejurus kemudian keduanya berpandangan
bercampur kejut dan heran, lalu tiba-tiba pula Rahayu
tersedu-sedu membelakangi Dokter Gun. Suasana jadi
bingung karena letusan yang tidak terduga itu. Dan Dr. Gun
membiarkan Rahayu agak rega. Kemudian ia mendekati
Rahayu, katanya)
Dr. GUN : (meletakkan tangannya ke bahu Rahayu) Ayu, kita berdua
sudah berlaku seperti orang bodoh. (Rahayu masih tersedu
juga) Kita lupakan kejadian ini, ya? Kita terlalu egoistis
mempertengkarkan diri sendiri.
(Rahayu merenggutkan bahunya dari tangan Dr. Gun, ia
membalik, dan sambil mengais airmata habis-habis, ia
menegakkan kepalanya menantang mata Dr. Gun).
RAHAYU : Dengar pak Dokter! Kuceritakan apa yang belum Bapa
ketahui! Pemuda itu tidak melemparkan aku seperti sampah.
Dia dan aku sadar, waktu kami melakukan perbuatan kami,
sehingga nyawa itu tumbuh di kandunganku. Oh bila memang
satu kesalahan, perbuatanku menyerahkan diriku padanya,
dan dia menyerahkan dirinya padaku, sebelum kawin, sudah
hampir akan kawin. Aku tidak menyesal telah berbuat
demikian. (sejenak Rahayu terdiam, kemudian sambungnya
dengan suara terharu) Pak Gun, mula-mula aku menolak
permintaannya itu, aku menjabarkannya supaya menunggu
sampai kami kawin. Ia tidak mendesak, tapi wajahnya itu.
Sebagai aku melihat pada wajahnya, bahwa sesuatu akan
terjadi. Dan aku menyerah, memberikan sebagian diriku,
keseluruhan jiwa dan tubuhku. Lalu, tiba-tiba, sebulan
kemudian datang kecelakaan itu. Kepalanya jatuh. Ia gugr!
Dr. GUN : Kau tidak pernah membilang ceritamu ini.
RAHAYU : Kenapa aku akan menceritakannya pada orang lain di dunia
ini? Soal itu soal antara aku dan dia, dan alam. Mengertikah
Pak Dokter sekarang kenapa aku harus berterima kasih ata
pertolongan Pak Gun? Kenapa kita berdua jadi pembunuh
nyawa yang tak berdosa yang tak boleh lahir itu? Siapa yang
percaya padaku? Aku harus membunuh sebagian diriku yang
diberikannya padaku. Manusia tidak mau melihat nama dan
kehormatan. Bapaku dan keluargaku ternoda karena
kelakuanku. Teganya aku menghancurkan hidup anak sebgai
yang kukandung. Dan aku akan menghancurkan lebih dulu,
sebelum ia berbentuk, sebelum ia lahir ke bumi sebelum ia
bisa berpikir.

14
Dr. GUN : Ya. Aku mengerti apa yang kau derita Selma ini.
RAHAYU : Sudahlah, sekarang Pak Gun tahu.
(Rahayu mengambil mantelnya dan hendak mengenakannya).
Dr. GUN : Ayu.
RAHAYU : Aku pergi sekarang.
Dr. GUN : Kau tidak bisa pergi begitu saja.
RAHAYU : Tidak diperlukan aku lagi di sini, Pak Gun.
Dr. GUN : Jangan tinggalkan tati, Ayu. Dia perlu padamu.
RAHAYU : Aku?
Dr. GUN : Ya, kau. Bibirnya hanya menyebut-nyebut namamu. Ibunya
dan suaminya tidak dipedulikannya. Hanya kau sendiri.
RAHAYU : Aku?
Dr. GUN : Kupikir kaulah orang yang dipercayainya. Saya tidak bisa
menolongnya lagi. Kaulah yang bisa menariknya dari
kepatahannya. Berikanlah ia semangat hidup kembali, dan ia
akan bisa mengatasi krisis ini.
RAHAYU : (Menggeleng) Aku tidak yakin bisa menolongnya.
Dr. GUN : Ini harapan kita yang terakhir, Ayu.
RAHAYU : Dia akan benci melihat saya.
Dr. GUN : Hilangkanlah perasaanmu itu. Kau harus yakin. (Rahayu
tertegun dan diam)
Dr. GUN : Apa yang kau ragukan?
RAHAYU : Pak Gun tidak tahu apa yang terjadi antara saya dan Tati.
Dr. GUN : Yang sudah-sudah jangan dipikir lagi.
RAHAYU : Aku bisa melupakannya. Tapi Tati! Pak Gun, hatinya penuh
benci padaku. Tidak bisa ia memaafkan aku. (Setelah diam ia
menyambung lagi) Kami bertengkar, Pak Gun. Itulah maka
aku pergi dari rumah ini. Begitu kasar ia menghina aku,
hatiku penuh benci meluap-luap dan ia kutempeleng. Rumah
ini seperti neraka bagiku, karena dia. Dia yang berwatak kera
hati, pantang mundur. Dia tidak mau kalah, aku yang harus
selalu kalah.
Dr. GUN : Perkelahian begitu tidak akan menerbitkan dendam yang
sebesar kau sangka Ayu.
RAHAYU : Ini bukan perkelahian kecil. Pak Gun. Tati dank u berkelahi
karena memperebutkan seseorang (memandang Dr. Gun) Tak
usahlah aku menyebut-nyebutnama. Selalu aku yang harus
kalah oleh Tati. Dan perkatannya, begitu menusuk hatiku
(tertawa pahit). Ayu, Ayu katanya. Cobalah rebut dia, kau toh
sudah berpengalaman dua tahun yang lalu dengan
kejalanganmu! Pak Gun, aku toh jalang, seorang jalang,
tidak?
Dr. GUN : Ayu! Jangan ucapkan kata itu lagi.
RAHAYU : Maafkan Pak Gun. (Kemudian menyambung) Tati tidak mau
melepakannya. O, bila tidak kukuasai diriku waktu itu, bisa
aku membunuhnya. (diam pula sejenak, dan kemudian
dengan menggeleng ia berkata) Kini ia jatuh dan patah. Aku
yang mematahkannya! Benci aku pada diriku, aku muak
dengan kemenanganku. Pak Gun, bisa aku memberikan

15
padanya kemauan untuk hidup itu lagi? Sesudah ia
kupatahkan?
Dr. GUN : Kau harus berusaha untuk Tati.
RAHAYU : Aku tidak bisa melihat matanya Pak Gun.
Dr. GUN : Kau tidak berani?
(Lama Rahayu tidak menjawab, dan menjauhi pandangan Dr.
Gun)
Dr. GUN : Ayu. Hadapilah dengan hati besar dan terbuka wajah Tati.
Yang penting sekarang ini, ialah kewajibanmu untuk
mengembalikan kepercayaan hidup bagi Tati.

VI
(Pintu kamar Hartati terbuka dn Ibu keluar mendapatkan Dr.
Gun).
IBU : Pak Gun. Ia tak sadarkan diri lagi.
Dr. GUN : (Memandang Ibu, kemudian memandang lagi pada Rahayu)
Mau kau Ayu?
RAHAYU : (Mengangguk pelan) Ya. Aku berjanji.
(Dr. Gun masuk kamar Hartati. Ibu memandangi Rahayu
yang tertunduk).
IBU : Kapan kau datang.
RAHAYU : Baru saja.
IBU : (Mengajak ke atas dipan, dan mengai matanya) Ibu pikir kau
sudah tak ingat rumah ini lagi.
RAHAYU : Aku datang dengan kereta penghabisan. Tilgram kami terima
di tempat kami menginap. Sudah tiga hari terletak di situ.
(Diam keadaan seperti kehabisan bicara Ibu dan anak).
IBU : Tati menanyakan kau lagi.
RAHAYU : Aku aknan masuk sekarang. (Ia melangkah ke kamar Hartati,
tapi ibu berkata).
IBU : Ayu. Kesini dulu.
(Rahayu mendekat dan menanti dengan sabar apa yang
hendak dikatakan Ibu).
IBU : Tidak ada lagi harapan untuk Tati.
RAHAYU : Kenapa Ibu berkata begitu?
IBU : Ibu sudah tahu. Dia sudah bertekad tidak mau hidup lagi.
Hendaknya Tuhan mengampunkan kesalahan-kesalahannya.
RAHAYU : Ibu bicara seolah-olah dia sudah pergi.
IBU : Tak ada yang bisa menolong, dia sudah memilih. Sejak ia
jatuh sakit malam-malam hujan lebat itu, pergi mencari kau,
mencari Trisno, ia sudah memilih. Kau mengerti apa
maksudku? (Dan demi melihat Rahayu tidak menjawab, ia
mengulangi) Kau mengerti maksudku, Ayu? Barulag
Rahayumengangguk dan Ibu menyambung lagi). Memang
begitu akhirnya, salah satu harus binasa. (Kemudian) Mana
dia?
RAHAYU : Mengantar koper-koper ke rumah. Nanti dia menyusul.
IBU : Kemana saja kalian berdua selama ini.
RAHAYU : Ke gunung.

16
IBU : Ke gunung. Berdua-duaan saja. Seperti laki istri. Pantas
perbuatanmu itu!
RAHAYU : Dia perlu rawatan, perlu teman.
IBU : Dia bukan muhrimmu, bukan suamimu.
RAHAYU : Ibu, Dia perlu hawa segar di gunung.
IBU : Buat apa kau ikut dengan dia. Dia bisa pergi sendiri. Dia
bukan adikmu, bukan kakakmu, bukan saudaramu…!
RAHAYU : Dia manusia Ibu. Dan aku cinta padanya.
IBU : Hah, cinta! Peturutkanlah hatimu yang tak bertepi, Ayu.
Perempuan ditakdirkan menjadi Ibu di bumi ini dan menjaga
kehormatan ke ibuanya itu. (Menggeleng-gelengkan kepala).
Cinta, bah cinta! Mau kau ulangi kejadian dua tahun yang
lalu. Kau sudah tak ingat lagi perbuatanmu? Itu cinta yang
kau maksud?
RAHAYU : Ibu, aku tahu apa yang kukehendaki. Bilapun akan terjadi lagi
seperti dulu, aku akan… (Tiba-tiba diam).
IBU : Akan mengapa kau?
(Rahayu tidak menjawab).
IBU : Akan mengapa kau. Bunuh diri?
RAHAYU : (Nekad) Ya. Bunuh diri.
IBU : Seperti Tati? Gampangnya kau menyebut itu lagi, sebagai
bukan apa-apa! Itukah jalan lepas? Itukah kebenaran?
RAHAYU : Aku tak tahu, tak tahu.
IBU : Ayu. Bunuh diri memang jalan yang paling gampang untuk
menghindarkan segala tanggung jawab. Kejatuhan dan
dosamu tidak akan bisa dibersihkan dengan jalan itu.
RAHAYU : Sekali ini aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Dia tidak
akan kulepas. Tidak akan kulepas!
IBU : Ya. Biarpun akan mengorbankan orang lain. (Menahan
Rahayu yang hendak berkata) janganlah bantah. Dengarkan!
Aku heran, kenapa kalian sekaran begini. Siapakah yang
salah disini? Aku? Sebagai ibu? Bapamu? Atau
pendidikanmu yang terlalu tinggi? Dari kecil kalian berdua
tanamkan kepercayaan pada agama, pada tuhan, tapi
semuanya itu kini sedikitpun tidak ada tinggal.
RAHAYU : Baik ibu, aku yang salah.
IBU : Kau keras kepala Ayu! (Setelah diam tegang, Ibu
meneruskan) Apa yang kau percayai lagi? Pikiranmu?
Kebenaran dirimu sendiri?
RAHAYU : Sudahlah Ibu. Aku tidak mau menyakiti hati Ibu.
IBU : Kau sudah menyakiti hatiku. Sudah hancur hati ini.
RAHAYU : Aku tidak mau bertengkar dengan Ibu soal itu.
(Rahayu membelakangi Ibu dan hendak masuk kamar Hartati,
dilihati Ibu dengan sayu)
IBU : Ayu, kesini dulu!
RAHAYU : Bila Ibu hanya akan mengeluarkan sesalan-sesalan lagi….
IBU : (Letih) tidak. Duduklah dekat ibu sini.
(Rahayu duduk di sisi Ibu di dipan, tapi lama keduanya
berdiam diri. Ibu memandang lantai, dan Rahayu kaku
membatasi diri. Kemudian barulah ibu mengangkat

17
kepalanya, seperti mengguncangkan segala beban dari
bahunya. Keras-keras ia mengais air matanya. Lalu mata
mereka beradu. Ibu masih tak dapat berkata. Hiba dan putus
asa kelihatannya).
RAHAYU : Kenapa Ibu menangis?
IBU : (Memegang jari Rahayu) Tidak.
RAHAYU : (Cair lembut) Apa yang hendak ibu katakana.
IBU : (Membarut-barut jari Rahayu) Tak tahu lagi Ibu apa yang
hendak dikatakan. Kau sudah besar begini, sudah dewasa.
Dan aku sudah tua. Aku sadar kau tidak ada hak lagi atas diri
dan hidupmu. Kita sudah jauh terpisah dan hidup sebagai
orang asing.
RAHAYU : Aku masih cinta pada Ibu. Kita tidak kehilangan. Antara kita
masih ada saling mengerti dan saling mencinta.
IBU : Ya, ibu sudah bisa tentram sekarang. Lucu, sebelum ini Ibu
juga tahu, aku kehilangan kau berdua: Tati dan Ayu.
Kesadaran itu menyayat hati ibu. Tapi sekarang tidak lagi.
Karena kau sendirilah yang berhak memilih dan menentukan
hidupmu sendiri. Ya, kita sudah terpisah, tapi janganlah kita
berpisah dengan hati yang benci membenci. Itulah yang
hendak ibu katakana.
RAHAYU : Aku tidak pernah benci pada Ibu.
IBU : Ibu tahu. Aku Ibumu, kau anakku. Kita punya hidup sendiri-
sendiri. Sekarang kita berhadapan sebagai kawan dengan
kawan, sebagai manusia dengan manusia. Kita tetap
berbaikan, ya?
RAHAYU : Ibu, maafkan segala perbuatanku yang pernah melukai hati
Ibu.
IBU : (Tertawa sambil mengusutkan rambut Rahayu) Gila kau.
(Kemudian) pergilah pada Tati sekarang.
RAHAYU : (Mendekap Ibu tiba-tiba) Hatimu hati malaikat Bu. (Sejenak
mereka berpelukan dengan mesranya, kemudian ibu
melepaskan raihan lengan Rahayu pelan-pelan) Bu! Aku
sengaja merenggutkan dia dari Tati. Karena aku cinta
padanya, karena aku tidak bisa melihat Tati…. O,
mengertikah ibu maksudku? TApi Tati patah….
IBU : Ibu Mengerti. Masuklah menemui Tati.

Yogyakarta, Februari 2007


Diketik ulang oleh studio teater PPPG Kesenian Yogyakarta

18

Anda mungkin juga menyukai