Anda di halaman 1dari 213

Obliviate

1
Prolog
“Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu.”
— Eyang Sapardi

***

Diksa bukan penyuka puisi tapi seseorang


yang pernah dia kenal adalah penggemar berat
penyair senior Indonesia dan Sapardi Djoko
Damono adalah salah satunya. Meski Diksa
enggan mengingatnya, baris-baris dalam bait
puisi tentang hujan yang turun di bulan Juni itu
terputar tanpa permisi dalam benaknya. Dipikir

2
lagi, puisi itu cukup cocok menggambarkan hari
ini.
Hari dimana pada sore yang mendung di awal
bulan Juni, Diksa terduduk sendiri di bangku
taman.
Di sekelilingnya, ada beberapa anak kecil yang
ditemani pengasuh atau orang tua mereka tengah
sibuk bermain. Celotehnya menyemarakkan
suasana, tapi tidak buat Diksa. Baginya, suara
anak-anak tersebut terdengar amat jauh, seperti
jerit yang dilontarkan pada kedalaman air. Tak
sedikit orang sempat menatap padanya, namun
Diksa mengabaikan mereka.
Matanya hanya menatap kosong pada
angkasa.
Diksa sering mendengar, konon katanya jiwa
orang yang telah mati tidak langsung pergi ke
akherat, melainkan menghabiskan empat puluh
hari pertama mengembara diantara orang hidup.
Seringnya, mereka bersama dengan keluarganya.

3
Diksa tidak tahu dia harus mempercayai itu atau
tidak, tapi jika itu benar, maka ini adalah hari
terakhir bagi jiwa seseorang yang baru saja
berpulang berada di dunia.
Jiwa milik salah satu teman terdekat yang
pernah Diksa miliki.
Dia masih seumur Diksa, baru duduk di kelas
satu sekolah menengah atas dan belum lagi
menginjak usia tujuh belas tahun. Kecelakaan
sepeda motor yang fatal merenggut nyawanya
empat puluh hari lalu. Segalanya terlalu
mengejutkan. Banyak orang khawatir padanya
sebab Diksa dan temannya itu sudah seperti
saudara.
Herannya, Diksa tidak menangis. Tidak ketika
dia mendengar kabar kematian itu. Tidak juga di
pemakaman. Matanya memandang dengan sorot
monoton, sementara tanah dikuburkan, jadi
penanda perpisahan abadi diantara mereka.
Diksa juga tidak bicara.

4
Dia hanya diam selama empat puluh hari
penuh.
Kedua orang tuanya khawatir, mencoba
membawanya menemui orang-orang professional
terkait bidang kejiwaan dan mereka berkata,
duka yang Diksa rasakan terlalu hebat. Dia butuh
waktu untuk menerima segalanya. Dia akan
bicara lagi jika dia sudah siap melakukannya.
Orang tuanya mencoba bersabar, membiarkan
Diksa melakukan apa yang dia inginkan,
termasuk mengunjungi taman ini setiap sore—
taman yang sering Diksa datangi bersama
temannya yang sudah almarhum itu sejak mereka
masih sepasang bocah berseragam merah-putih
yang gemar mempreteli komponen mobil
Tamiya.
Hujan rintik-rintik turun tak berapa lama
kemudian, membentuk selubung mirip tirai tipis.
Ia datang tanpa aba-aba, bikin orang-orang yang
semula memadati taman terpencar kemana-mana

5
buat mencari tempat berteduh. Diksa bergeming
di tempatnya berdiri, membiarkan titik-titik hujan
berjatuhan menimpanya.
Apakah langit sedang mencurahkan air mata
yang tak mampu dia tangiskan?
Diksa masih duduk di tengah taman sendirian,
terpaku pada langit yang sedang menangis
sampai tidak menyadari kehadiran sesosok anak
perempuan yang berjalan mendekat. Anak itu
mengernyit, menatap Diksa dengan heran
sejenak, lalu dia duduk di samping Diksa tanpa
bilang apa-apa. Payung besar tergenggam di
tangannya, cukup untuk menaungi mereka
berdua dari gerimis yang tidak deras.
Refleks, Diksa menoleh kala sadar ada payung
yang melindunginya, menemukan anak
perempuan berambut pendek seperti Dora
dengan poni tebal menutupi dahi. Dia
mengenakan seragam putih-biru. Tas punggung

6
bergambar Powerpuff Girls yang menurut Diksa
sangat norak tersandang di bahunya.
“Kak, bengong ya?”
Diksa tidak menjawab.
“Kata nyokap gue, kalau keseringan bengong
ntar ayam tetangga mati.”
Diksa masih tidak menyahut.
“Tapi tergantung sih, kalau tetangga kakak
nggak ada yang piara ayam ya mungkin nggak
apa-apa.”
Diksa tetap membisu.
Anak perempuan itu terlihat tak terpengaruh
dengan kesenyapan yang Diksa gulirkan.
Dia justru menyorongkan payungnya pada
Diksa. “Pegangin bentar.”
Diksa tidak bisa melakukan apa-apa selain
menurut, menonton bagaimana anak perempuan
itu menurunkan satu tali tas dari bahu, membuka
risleting tasnya untuk mengeluarkan sebuah CD
musik.

7
“Kak, suka Maliq & d’Essential nggak?”
Diksa memiringkan wajah. Dia ragu sejenak.
Butuh setengah menit baginya untuk menjawab
dengan suara lirih yang nyaris tidak terdengar.
“… Apa?”
Diksa heran, namun hanya bisa mengangkat
alis.
“Mau CD Maliq & d’Essential nggak?”
Diksa mengernyitkan dahi.
“Tadi sempat makan di KFC. Dapat gratisan,
tapi gue nggak suka Maliq & d’Essential. Sukanya
ST12. Bang Charlie udah paling bener, nggak ada
obat. Kalau kakak suka, nih buat kakak aja.
Daripada mubazir.”
“Hah?”
“Lagian kakak kelihatan kayak orang yang bisa
nyanyi.”
“…”

8
Anak perempuan itu menyipitkan mata,
meneliti wajah Diksa sejenak. “Kakak nih lagi
puasa ngomong atau sariawan?”
Diksa mendengus, balik menatap pada anak
perempuan itu, bikin iris mereka bertemu.
Mata anak perempuan itu berbeda dengan
mata kebanyakan orang yang Diksa tahu.
Warnanya hazel. Mirip seperti karamel yang
dicairkan.
Cantik sekali.
Mereka tetap duduk bersebelahan sampai
setidaknya setengah jam kemudian. Anak
perempuan itu menyerah mengajak Diksa bicara,
memilih menyibukkan diri memandang pada
hujan yang perlahan membasahi jalan. Dia baru
beranjak setelah hujan reda, melangkah bersama
payung besarnya tanpa mengatakan apa-apa,
meninggalkan Diksa bersama wadah berisi CD
Maliq & d’Essential di tangan.

9
Anak perempuan itu adalah alasan kenapa
Diksa kembali berbicara setelah empat puluh hari
penuh terbenam dalam sunyi.
Mereka tidak pernah bertemu lagi setelah hari
itu. Diksa juga tidak berusaha mencari tahu,
meski CD musik yang diberikan olehnya, entah
kenapa, masih Diksa simpan dengan apik di atas
meja belajarnya. Dia mendengarkan CD musik itu
sesekali. Lagunya bagus, walau terlalu cengeng
buat Diksa yang lebih gemar mendengarkan
musik dari band sejenis Avenged Sevenfold.
Tahun demi tahun berlalu. CD musik itu
tergeletak tanpa tersentuh di meja belajar Diksa.
Dia sendiri tidak tahu kenapa dia masih
menyimpannya. Padahal, dia bisa saja
membuangnya. CD musik itu bukan apa-apa,
hanya pemberian tak terduga dari anak
perempuan yang bahkan dia tidak tahu siapa
namanya.

10
Namun Diksa menyimpannya—bahkan hingga
dia kuliah, dia tetap membawanya saat pindah
dari rumahnya ke kost yang lebih dekat dari
kampus.
Terkadang, ketika membuka laci meja tempat
CD musik itu tersimpan, Diksa terpikir soal anak
perempuan itu.
Di mana dia sekarang?
Atau… apa dia masih hidup?
Diksa tak mengira bahwa semesta akan
menjawabnya di suatu hari yang lain. Bukan, hari
itu bukan hari lainnya di awal bulan Juni. Tidak
ada hujan, sengat panas matahari justru kejam
memanggang.
Waktu itu, kampus tempat Diksa kuliah tengah
mengadakan verifikasi data untuk calon
mahasiswa baru yang dinyatakan lolos seleksi
masuk. Seperti lazimnya tradisi yang telah
berlangsung sejak bertahun-tahun sebelumnya,
setiap departemen selalu membuka stand di

11
halaman muka gedung. Sejumlah senior akan
berada di sana, mendata mahasiswa baru
departemen mereka untuk berbagai
kepentingan—seringnya sih buat urusan ospek
jurusan. Kesempatan itu juga sering digunakan
para senior cowok buat cuci mata, mencari target
gebetan baru.
Diksa baru saja memakai jaket Himpunan
departemennya seraya melangkah dari parkiran
menuju halaman utama gedung saat paperbag
yang dibawa gadis yang berjalan di depannya
tiba-tiba saja robek. Isinya berhamburan ke atas
paving block. Gadis itu memekik secara refleks,
kerepotan mengumpulkan barang-barangnya
yang berceceran.
Diksa tidak punya niat tersembunyi, dia hanya
ingin membantu.
Cowok itu buru-buru ikut berjongkok dan
memungut barang-barang yang bisa dia jangkau.
Akan tetapi, gerak tangannya berhenti sewaktu

12
dia memungut gantungan kunci salah satu
karakter Powerpuff Girls. Diksa masih menatap
gantungan di tangannya kala suara gugup
seseorang terdengar.
“Makasih ya, Kak, udah bantuin.”
Spontan, Diksa mengangkat wajah hanya
untuk disambut oleh sepasang mata hazel yang
tengah memandang padanya.
Diksa membeku, tersihir seketika.
“Kak?”
Dia gelagapan. “Ah—hng—iya—ini…”
“Makasih ya.”
Diksa mengangguk, sementara gadis itu
beranjak, tersenyum sekali lagi pada Diksa
sebelum berlalu pergi seraya mendekap
paperbag yang telah tak utuh ke dadanya.
Hari itu tidak hujan dan hari itu bukan bulan
Juni.

13
Tapi hadirnya berhasil menjelma menjadi
mesin waktu yang membawa Diksa pada suatu
hari berhujan di bulan Juni.

14
Matahari Sore
“Waktu nonton Harry Potter,
ada satu mantra yang sangat
menarik buat gue. Obliviate.
Kenapa? Keren aja. Hanya
dengan satu kata simpel, lo
bisa dibuat lupa segalanya.”
— Kak Diksa

***

Siang itu panas. Matahari menyengat Bumi


seakan ingin memanggang segalanya jadi
arang. Teman-teman Diksa yang sama-sama
anggota Himpunan dan apesnya, harus

15
menjaga stand hari ini telah lelah menggerutu,
hanya duduk pasrah sambil mengipas badan
dengan benda apapun yang bisa menciptakan
angin.
Tapi gerahnya udara seolah tidak
berpengaruh pada Diksa yang kini malah sibuk
menyapukan pandangannya untuk menyisir
seantero halaman gedung kampus tempat
verifikasi data calon mahasiswa baru
dilakukan.
“Neraka bocor!” Dea, salah satu teman
Diksa berujar, sibuk mengipas tubuh dengan
sebuah buku tipis. Satu tangannya yang lain
memegang es krim. “Tahu gini, tahun kemaren
gue nggak ngajuin diri masuk Himpunan!”
“Terus mau jadi kupu-kupu doang gitu?
Kuliah abis itu langsung pulang? Wah,
mahasiswa macam apa anda?!” Ruly yang juga
sesama anggota himpunan lain menimpali.

16
Diksa mengabaikan obrolan mereka, fokus
mencari sampai kemudian, matanya berhenti
pada satu orang.
Orang itu.
Diksa masih menatapnya tanpa berkedip
saat Ruly mendadak menepuk pundaknya.
Cowok itu tersentak kaget, meski diam-diam
dia juga bersyukur. Tepukan Ruly di bahunya
membuatnya spontan menoleh, sehingga dia
tidak jadi kepergok sedang memperhatikan
cewek itu—yang sekarang tengah menatap
kepadanya.
Cewek itu tidak berasal dari departemen
yang sama dengan Diksa. Pita yang melekat di
lengan bajunya berbeda.
“Oy, lihat yang itu nggak?! Cakep yo…” Aam
ikut bicara, membuat wajah Diksa jadi kaku
seketika.
“Yang mana?”

17
“Noh!”
Ruly mengikuti arah yang ditunjuk Aam
dengan pandangan mata. “Oh iya… tajam juga
mata lo!”
“Urusan cewek mah gue kagak usah
ditanya, brur! Kira-kira jomblo nggak ya dia?
Kalau jomblo, pepet ah!”
“Sayang aja, dia bukan jurusan kita. Eh tapi
kampusnya deket nggak sih tuh dari kampus
kita? Lihat deh warna pitanya. Jurusan apa
yang pake pita warna hijau ya?”
“Selama sekampus mah ya nggak bakal
sejauh kayak di ujung dunia lah!” Aam
menyergah. “Mau samperin nggak? Minta
nomor teleponnya, siapa tahu aja dikasih.”
Diksa tidak bisa diam saja. Dia berdeham,
lalu bicara. “Jangan yang itu.”
Bukan hanya Ruly dan Aam, tapi Dea dan
beberapa anggota Himpunan lain yang juga

18
berjaga di stand kontan menolehkan kepala
pada Diksa.
“Apa, Pak Kahim?” Aam merasa perlu
memastikan ulang pendengarannya.
“Jangan yang itu.”
Diksa mengulang ucapannya dengan lebih
tegas, bikin teman-temannya tercengang.
Bukan apa-apa ya… soalnya barusan ini Diksa
loh yang bicara. Diksa yang selalu terkesan
secuek itu sama makhluk bernama perempuan.
Diksa yang mantannya bisa dihitung jari, tapi
semuanya berkualitas mumpuni. Diksa yang
tidak pernah agresif di depan gadis-gadis.
“Kenapa?” Ruly memancing.
“Jangan pepet yang itu.” Diksa kembali
menatap pada cewek itu—cewek yang belum
dia tahu namanya.
“Iya, emang kenapa?”
“Dia punya gue.”

19
Senyap, tidak ada yang bicara.
Diksa menghela napas, memperhatikan
bagaimana cewek itu terlihat kikuk seraya
masih memeluk paperbag ke dadanya. Dia
menoleh ke kiri dan ke kanan, agaknya
berusaha mencari mahasiswa baru yang
sejurusan dengannya—ditandai dengan warna
pita yang sama. Tapi kebingungannya tidak
berlangsung lama karena sesaat kemudian,
seorang senior yang mengenakan jaket
Himpunan menghampirinya, mengajaknya ke
stand departemennya.
Hari itu panas dan bukan bulan Juni.
Namun melihatnya membuat satu kata
berputar dalam otak Diksa, terus-menerus,
seperti residu inti nuklir yang terlepaskan ke
udara. Terpental tanpa henti. Nyaris abadi.
Juni.

20
*

“Namanya Sationa Mapala. Pake ep, cuma


hampura kan aing teh urang Sunda teu bisa
ngomong ep. Temen-temennya sering manggil
dia Sasa. Jiga merek mecin ya?”
Diksa baru memasukkan suapan pertama
lontong sayur yang jadi menu makan siangnya
yang terlambat ketika Ikhsan yang juga
juniornya di jurusan berkata santai seraya
menarik salah satu kursi dan duduk di
depannya. Tidak hanya sampai di sana, Ncan—
sapaan akrab Ikhsan—meraih gelas es teh
Diksa tanpa permisi, langsung menyedotnya
seperti minuman milik sendiri.
“Ncan!”
“Lagi aus ini, Kang. Amal dikit nggak apa-
apa, lah. Toh gue juga udah kasih info penting
soal maba yang mau lo pepet, iya kan?” Ncan

21
malah menaik-turunkan alisnya dengan tengil.
Perhatiannya berpindah pada lontong sayur
Diksa. “Enak tuh kayaknya…”
“Mau sekali atau dua kali?”
“Apanya?”
“Digaploknya.”
“Yaelah, galak amat sih Akang Kahim kita
nih! Mentang-mentang udah mau lengser!”
Ncan bersungut-sungut. “Terus nggak usah
pura-pura nggak tahu, Kang! Gue udah dengar,
katanya lo lagi ngejar anak FEB. Makanya
sekalian gue bantu, gue cariin tuh namanya.”
“Anak FEB—siapa yang bilang?!”
“Kang Aam.”
“Ember pecah sama mulutnya dia kayaknya
masih bagusan ember pecah.” Diksa menyindir
sinis sambil mengamankan gelas es teh dan
piring lontong sayurnya dari jangkauan tangan
Ncan.

22
“Kang, laper.”
“Beli sendiri!”
Ncan cemberut, tapi tidak lama sebab
matanya yang lebih tajam dari mata elang gesit
menangkap sosok seorang cewek yang
berjalan melintasi koridor bangunan kampus
mereka. Cewek itu menuju ke kantin. Wajahnya
asing dan gesturnya agak terlihat canggung.
Wajar saja, Ncan tahu jika cewek itu tidak
berasal dari departemen mereka.
“Rejeki anak soleh emang nggak kemana!”
Ncan berseru, lalu menepuk meja, membuat
Diksa kembali tersedak untuk yang kedua
kalinya.
“Wah, bajingan—”
“Kang, lihat tuh siapa yang kesini?”
“Nggak usah coba-coba mengalihkan ya—”
“Eta incess di hatinya Akang kesini tuh? Cie,
apa jangan-jangan Kang Ruly sama Kang Aam

23
yang kudet ya? Kata mereka Kang belum
ancang-ancang memulai pergerakan, tapi
orangnya udah kesini aja!”
“Apa-apaan—” Lidah Diksa kaku seketika
tatkala dia memutar arah tubuh dan melihat
seraut wajah yang akhir-akhir ini tidak mau
berhenti mengganggu tidurnya.
“Hiya, speechless—” Ncan tidak meneruskan
ucapannya karena Diksa telah berpaling seraya
melotot galak padanya, namun cowok itu
masih bisa menyambung santai. “—adalah
sontrek pelem Aladdin.”
Diksa tahu namanya Sationa Mafala, seperti
yang dibilang Ncan. Sejak pertama kali melihat
cewek itu di muka gedung untuk verifikasi data
mahasiswa baru, Diksa tak bisa menghilangkan
cewek itu dari pikirannya. Teman-temannya
memanggilnya Sasa, betul seperti apa yang
dibilang Ncan.

24
Namun dari awal, Diksa telah
mengaitkannya dengan satu kata; Juni.
Dia tidak mungkin salah. Bukan hanya dari
warna matanya atau gantungan kunci
Powerpuff Girls yang Diksa lihat tempo hari,
tapi juga melalui garis wajahnya, Diksa tahu
cewek itu adalah orang yang sama dengan
anak perempuan yang dulu menghampirinya di
taman kota dan memberikannya CD gratisan.
Juni memilih satu meja yang kosong,
menarik bangku dan duduk. Letaknya persis di
samping meja Diksa dan Ncan. Ncan sudah
bersiul ganjen, siap-siap memanfaatkan situasi
dan kondisi demi memuaskan perutnya yang
keroncongan.
“Kang, lontong enak tuh…”
“Ncan—”
Ncan menyeringai, beralih pada Juni. “Hey
geulis, bukan anak sini ya? Sendirian aja?”

25
Juni berhenti memainkan ponselnya,
menatap bergantian pada Ncan dan Diksa, lalu
mengangguk gugup. “Eh—hng—iya, Kak.
Kesini mau ketemu orang.”
“Oh… kitu. Saha sih emangnya?”
“Kak Oshe.”
Dahi Diksa berkerut saat Juni menyebut
nama salah satu mahasiswa sedepartemennya.
Mereka satu angkatan, namun Oshe tidak aktif
di Himpunan. Cowok itu cukup populer. Dia
pintar sehingga disukai mayoritas dosen.
Tampangnya juga di atas rata-rata. Diksa tidak
dekat dengannya, pernah beberapa kali
sekelas dan bahkan ditempatkan di kelompok
yang sama untuk tugas-tugas tertentu, tapi
mereka tidak pernah mengobrol layaknya
teman.
“Widih, mainnya sama Kang Oshe. Itu
namanya manjibrrrr alias mantap jiwa

26
browwwww.” Ncan manggut-manggut. “Tapi
sori nih kalau kepo, by the way and the
Ciwidey, boleh kenalan dulu nggak? Gue
Ikhsan, biasa dipanggil Ncan.”
“Sasa.”
“Sasa santan apa Sasa sambel apa Sasa
mecin?”
Diksa pura-pura batuk. “Jangan dikerjain.
Anak orang.”
“Yaiyalah atuh anak orang, kalau anak setan
juga Akang Kahim nggak mungkin naksir,
kan?”
Ncan bangsat, Diksa membatin.
Ncan mengabaikan pelototan Diksa,
kembali memusatkan perhatiannya pada Juni
yang kini kian salah tingkah. “Lo temenan
sama Kang Oshe atau gimana?”
“Kak Oshe dulu seniorku waktu SMA.”

27
“Hoooo, gitu. Senior aja apa senior-sekalian-
partner-pedekate?”
“Ncan.” Diksa memperingatkan. Bukan apa-
apa, tapi rasanya tidak sopan saja jika Ncan
mengorek informasi pribadi semacam itu dari
Juni yang betul-betul baru saja dia kenal.
Yah, walaupun kalau mesti jujur, Diksa juga
kepingin tahu relasi antara Oshe dan Juni, dia
masih lebih berbudaya daripada Ncan yang
kelewat bar-bar.
“Senior aja.”
“Oh.” Ncan manggut-manggut, lalu menoleh
pada Diksa dan menaik-turunkan kedua alisnya
dengan sok ganteng. “Seneng teu, Kang? Masih
ada harapan—”
Diksa tidak membiarkan Ncan
menyelesaikan kata-katanya. Cowok itu
mencomot sepotong pisang goreng dari wadah
gorengan yang memang sengaja disediakan di

28
tiap meja, kemudian menyumpalkannya ke
mulut Ncan. Ncan merengut, namun tetap
mengunyah pisang yang bertengger di
mulutnya, membuatnya mirip kambing yang
sedang memamah-biak.
“Ngomong melulu. Tadi katanya lapar. Sana,
pesen lontong sayur!”
Ncan melepaskan sisa pisang goreng dari
mulutnya, tergerak untuk ngelunjak. “Sama es
jeruk ya, Kang?”
“Wah, kurang ajar.” Diksa berbisik dalam
nada rendah yang masih cukup keras buat bisa
didengar Ncan.
“Apa, Kang? Akang naksir sama—”
“IYE SANA PESEN!”
“Meuni bageur pisan ih Akang Kahim.
Tararengkyu loh muah!” Ncan berseru gembira
sembari beranjak buat memesan lontong sayur
dan es jeruk incarannya.

29
Diksa membuang napas, merasa agak rikuh
dan berusaha melupakan fakta jika Juni duduk
di dekatnya. Juni menyunggingkan senyum
salah tingkah yang kian terkesan awkward
sebab Diksa hanya menampilkan wajah kaku,
tak terlihat berusaha membalas keramahan
yang coba dia tunjukkan. Cewek itu menahan
diri supaya tidak memutar bola mata, pura-
pura memainkan ponsel.
Hari telah tiba pada garis batas pertukaran
siang menuju sore, membuat matahari turun
pelan-pelan ke ujung barat. Sorotnya cukup
intens, membuat Juni tanpa sadar mengerjap
beberapa kali dan menarik tisu untuk menyeka
keringat yang mulai bermunculan di sebelah
bagian leher dan wajahnya. Dia duduk tepat di
tempat yang terkena jatuhan sinar matahari
tanpa ternaungi bayang-bayang.

30
Diksa menatapnya sebentar, lantas tanpa
suara, menggeser kursinya untuk memosisikan
diri sedemikian rupa, sehingga kini tubuhnya
menjadi semacam tameng agar sengatan
matahari tidak langsung mengenai Juni.
Punggungnya terasa panas, namun Diksa tidak
peduli.
Juni menoleh, heran sebab secara tiba-tiba,
dia tidak lagi kepanasan. Keheranannya
berubah jadi kebingungan kala dia tersadar
Diksa telah menggeser duduknya. Tetapi Diksa
tidak memandangnya. Cowok itu duduk dan
makan dengan tenang, bersikap seakan-akan
Juni tidak ada.

Langit sudah redup dan lantunan shalawat


telah terdengar dari sejumlah masjid yang

31
berada di sekitar kampus ketika Diksa
melangkah menuju mobilnya. Parkiran sudah
sepi. Tinggal tersisa beberapa orang yang
sedang menghampiri kendaraan masing-
masing. Sekitar selusin sepeda motor masih
berjajar, milik mahasiswa yang masih punya
urusan di kampus. Diksa baru mengeluarkan
kunci mobil ketika dia mendengar seseorang
memanggilnya.
“Diksa!”
Refleks, dia menoleh. Orang yang
memanggilnya adalah Christy, teman satu
angkatannya. Tumben sekali cewek itu belum
pulang sampai sesore ini.
“Iya?”
“Lo masih di kontrakan lo yang dulu itu
nggak?”
“Masih. Kenapa?”

32
“Boleh nggak gue nebeng? Searah sama
kosan gue soalnya. Dari tadi order ojek online
nggak ada yang nge-pick up. Ngeri gue
sendirian di kampus jam-jam segini.”
“Oh, boleh kok.”
“Makasih!”
“Sip.” Diksa mengangguk, hingga dia
terpikir sesuatu yang lain. “Tumben nggak
balik bareng Oshe.”
Setahu Diksa, Christy itu salah satu sahabat
terdekat Oshe. Sejak mereka masih maba,
mereka sering kemana-mana bareng. Sudah
lazim melihat Christy dan Oshe pulang-pergi
kampus bersama. Mereka seperti kembar siam
yang tak terpisahkan. Sempat ada isu, katanya
Christy dan Oshe itu pacaran—yang keduanya
bantah habis-habisan.
“Dia lagi sibuk.”
“Sibuk?”

33
“Pedekate. Biasa, tahun ajaran baru. Banyak
maba. Kayak nggak tahu Oshe aja.”
“Oh, lagi pedekate ama maba?”
“Yoi.”
“Maba mana?”
“Wah, ternyata Kahim gue bisa kepo juga.
Ada apa nih?”
“Nanya doang.”
“Maba FEB kalau nggak salah. Cuma gue
nggak tahu siapa orangnya.”
“Oh.”
Ada gempa lokal berkekuatan tujuh skala
Richter terjadi dalam dada Diksa.

34
Cilor
“Mukanya galak, tapi kalau
udah kabita cilor ternyata
gemesin jiga bayi meong.”
— Dek Juni

***

Dulu, waktu masih SMA, Juni pernah


senaksir itu sama Oshe—yang mungkin
dianggap sangat mudah ditebak. Oshe adalah
salah satu senior paling terkenal di seantero
sekolah ketika Juni baru masuk. Dia jadi salah
satu panitia ospek sebagai perwakilan dari
OSIS. Oshe bukan ketua OSIS, juga bukan

35
pemegang jabatan inti. Dia malah tergolong
senior yang suka cari kesalahan peserta ospek
cuma buat ngomel, tapi dia juga sukses meraih
predikat sebagai penerima surat cinta paling
banyak—bahkan, surat bencinya pun
kebanyakan berisi pengakuan cinta berbalut
kebencian.
Eh… gimana, gimana?
Ya gitu. Bunyinya nggak jauh-jauh dari “saya
benci banget sama Kak Oshe karena tiap lihat
Kak Oshe, jantung saya tingkahnya jadi lebay
gitu. Pokoknya nggak suka!” atau “saya sebel
kalau diomelin Kak Oshe, karena bukannya
fokus memperbaiki kesalahan, saya justru
fokus pada ketampanan paling hakiki yang
pernah saya saksikan”.
Cringey banget. Harusnya Juni rada geli
gimana gitu ketika panitia ospek membacakan
beberapa surat cinta dan surat benci yang

36
Oshe terima. Tapi boro-boro kepikiran untuk
bergidik, Juni malah dibikin terpesona karena
sepanjang surat-surat itu dibacakan, Oshe
yang biasanya memasang ekspresi wajah
dingin ala kakak kelas untouchable yang tidak
bisa didekati sembarang orang malah tertawa
sampai matanya hampir hilang.
Tapi waktu itu, Juni tidak mengirim surat
apa-apa pada Oshe. Entah itu surat cinta,
apalagi surat benci. Bukan apa-apa, Oshe pasti
tahu dan Juni tak siap jadi bahan tertawaan
seniornya hingga satu semester ke depan.
Meskipun setelah ospek selesai, Oshe
nyamperin Juni di kantin, duduk santai di
sebelah cewek itu tanpa peduli pada mata-
mata siswa lain yang seperti mau loncat keluar
dan berujar separuh protes pada Juni.
“Lo nggak ngirim surat ke gue?” tanya Oshe
waktu itu.

37
“Surat apa?”
“Surat buat panitia ospek.”
“Aku ngirimnya ke senior yang lain.”
“Surat cinta dikirim ke siapa?”
“Kak Ijong.” Juni jawab jujur.
“Idih, jadi lo lebih memilih ngirim surat ke
si buluknya Pasar Senen itu daripada ke gue?”
Oshe manyun, sementara Juni cuma bisa
tertawa gugup. Habisnya, muka Oshe jadi
gemesin gitu kalau sedang cemberut.
Terus, seperti apa ceritanya sampai Juni
bisa sedekat itu sama Oshe?
Kakak sepupunya Juni dulu ada yang pernah
satu tempat les bahasa Inggris sama Oshe—
walau mereka baru saling tahu soal itu ketika
sudah berstatus senior-junior di SMA yang
sama. Awalnya sih, Oshe merasa Juni itu lucu
gara-gara sebuah kejadian di hari pertama
ospek.

38
Jadi, salah satu tugas siswa baru saat ospek
itu mengumpulkan sebanyak mungkin tanda
tangan dari panitia ospek dan anggota OSIS,
terutama untuk mereka yang memegang
jabatan inti. Seperti kebanyakan panitia ospek
di sekolah-sekolah lain, panitia ospek di SMA
Juni juga enggan membikin segalanya lebih
mudah. Kala jam istirahat tiba, mereka pasti
kompak menghilang, membuat siswa baru
mesti kerja ekstra hanya untuk mengumpulkan
tanda tangan.
Juni lagi nggak sengaja menyusuri koridor
di bagian paling pinggiran komplek bangunan
sekolahnya yang luas pas dia melihat Oshe.
Tuh cowok lagi duduk sendirian di bangku
koridor yang menghadap ke lapangan basket.
Di sekolah Juni ada dua lapangan basket. Satu
indoor dan satu outdoor. Seringnya, lapangan
indoor yang digunakan. Namanya anak jaman

39
sekarang ya, bukan cuma cewek yang takut
hitam, cowok juga bisa takut gosong. Selain itu
sih, konon ada desas-desus kalau lapangan
basket itu sarang hantu, soalnya letaknya di
area terpencil sekolah yang sering sepi.
Pantesan, nggak ada siapapun di sana
selain Oshe.
Tadinya Juni ragu, namun akhirnya dia
mencoba nekat. Dia jalan mendekati Oshe.
Belum lagi tiba di dekat cowok itu, Oshe sudah
menoleh. Alisnya terangkat, sementara
matanya terarah pada buku untuk tanda
tangan yang Juni pegang.
“Buset, nemu aja lo gue ada di mana.” Oshe
berdecak.
“Kak Oshe, boleh minta tanda tangannya?”
Juni berusaha menghalau gugup yang hendak
hinggap. Dilihat dari jauh, Oshe tuh ganteng.

40
Dilihat dari dekat? Gantengnya bertambah
seribu kali lipat.
Juni berasa jadi makhluk beda spesies.
Kalau Juni masih tergolong ke dalam sejenis
homo sapiens, maka Oshe pasti terkategori ke
dalam homo angeliens alias blasteran Bumi-
Khayangan.
Mungkin dia masih saudaraan sama
Nawang Wulan.
“Lo mau minta apa?” Oshe sengaja pengen
ngeledek, mau lihat gimana reaksi juniornya
yang kikuk. Secara gitu kan, dia termasuk
jajaran panitia ospek paling galak dan Juni
berani mendatangi dia sendirian.
“Tanda tangan, Kak. Buat tugas ospek.”
“Kalau gue nggak mau ngasih?”
“Hng…” Juni menggaruk belakang lehernya
dengan agak rikuh. “Kalau kakak nggak mau…
yaudah… nggak apa-apa.”

41
“Lo langsung nyerah gitu?”
“Saya nggak suka dipaksa.” Juni berkata.
“Juga nggak mau maksa orang. Emangnya
kakak seneng dipaksa?”
Oshe tidak langsung menjawab, justru
menunduk sedikit dan tertawa kecil. Juni
freezing di tempat. Dia selalu menyangka
kalau novel dan komik itu terlalu berlebihan
saat menggambarkan bagaimana ketampanan
seseorang bisa bikin yang melihat lupa dunia
meski hanya untuk sesaat. Ternyata itu benar.
Buktinya, Juni sampai menahan napas hanya
karena melihat Oshe tertawa.
“Yaudah sini.”
“Iya, Kak.”
“Santai aja, nggak usah gemetar. Gue
bukan malaikat pencabut nyawa.” Oshe meraih
pulpen dari tangan Juni dan menanda tangani
bukunya, tak lupa menulis nama dan

42
jabatannya dalam susunan kepanitiaan ospek
pada kolom yang telah disediakan. “Ada kertas
lain nggak?”
“Hng… sebentar, Kak.” Juni beralih pada
buku tulis selain buku untuk tanda tangan
yang memang selalu dia bawa. Dia membuka
buku itu di bagian tengah, kemudian
menyobeknya dan memberikannya pada Oshe.
“Ini, Kak.”
Oshe menulisi kertas itu dengan sesuatu
dan mengembalikannya pada Juni. “Nih.”
“Ini apa, Kak?”
“Nomor handphone sama PIN Blackberry
Messenger gue.”
“Hng—tapi—”
Oshe menatap Juni lekat dan Juni bertanya-
tanya, inikah rasanya ditatap langsung oleh
Prince Charming?
“Lo lucu. Cute. Gue suka.”

43
Juni bersyukur, jantungnya diciptakan
dengan baik dalam rahim ibu selama sembilan
bulan. Coba kalau buatan pabrikan China,
mungkin sudah rontok beserta onderdil
dalamnya itu jantung. Satu-satunya respon
yang bisa Juni berikan hanya mengangguk, lalu
berpamitan.
Terus saking gugupnya, Juni sampai cium
tangan Oshe macam siswa yang lagi pamitan
pulang sama gurunya.
Oshe jelas ngakak sampai batuk, namun
untungnya dia masih punya adab. Dia kasihan
melihat wajah Juni yang merah padam, jadi dia
berusaha menahan gelaknya dan membiarkan
Juni buru-buru meninggalkan tempat itu
dengan damai. Yah, meski habis Juni rada
jauh, Oshe lagi-lagi terbahak.
Peristiwa itu seperti menghapus barrier
diantara Oshe dan Juni. Nggak terhitung,

44
seberapa banyak siswa sekolahan yang iri
sama Juni karena bisa dekat dengan Oshe. Tapi
Juni sendiri tidak menganggapnya serius—atau
lebih tepatnya, mencoba untuk tidak
menganggapnya serius. Oshe tidak mungkin
naksir dia. Juni sadar banget, dia dan Oshe tuh
berada di dunia yang berbeda. Seenggaknya,
dari penampilan aja, Juni tahu mereka serasa
beda spesies. Ditambah lagi, selama jadi
senior Juni, tidak terhitung seberapa banyak
cewek yang Oshe kencani. Salah satunya tuh
pernah teman sekelas Juni sendiri.
Jadi jelas, Oshe pasti hanya menganggap
Juni sebagai junior sekaligus temannya.
Namun begitu, namanya juga cewek yang
tergolong ke dalam generasi yang hobinya
falling in love with people they can’t have, Juni
tetap pernah sesuka itu sama Oshe.

45
Siang ini, habis kelasnya di kampus selesai,
Juni sengaja mampir ke gedung Student
Center. Di kampusnya, gedung itu bukan
hanya difungsikan sebagai tempat pengaduan
terkait masalah akademik, tapi juga semacam
markas untuk sejumlah UKM yang ada di
kampus. Gedungnya besar, dengan jumlah
total lantai mencapai dua belas lantai. Itu
beralasan, mengingat kampus Juni punya UKM
yang beragam dan cukup banyak, mulai dari
yang umum seperti organisasi kebahasaan
bersifat internasional, Mapala sampai UKM
untuk kegiatan menyelam dan menembak.
Sejujurnya, Juni itu tipikal orang yang
mageran. Kalau disuruh milih ikut acara
organisasi mahasiswa atau rebahan di kosan,
tentu dia bakal lebih suka melakukan yang
kedua. Namun, Juni nggak punya nyali sebesar
itu untuk jadi kupu-kupu—alias mahasiswa

46
yang kerjaannya hanya sebatas kuliah-pulang
kuliah-pulang—sepanjang masa kuliahnya.
Soalnya kan katanya track record organisasi itu
perlu buat mengisi curriculum vitae biar nggak
sepi-sepi amat.
Gedung Student Center punya halaman
super luas yang bukan hanya bisa dijadikan
sebagai venue pameran mobil dadakan, tapi
juga tempat para pedagang berjualan. Kadang
kalau sudah masuk area Student Center, Juni
serasa masuk ke lokasi festival kuliner.
Makanan yang dijual juga beraneka ragam. Itu
beralasan, soalnya Student Center termasuk
gedung dengan aktivitas tersibuk di seantero
kampus. Setiap hari, pasti ada saja kegiatan.
Matahari masih bersinar terik, meski nggak
sepanas hari-hari kemarin. Juni sengaja
mampir ke gerobak abang penjual cilor. Buat
yang nggak tahu, cilor itu jajanan yang masih

47
sekeluarga dengan cilok atau cimol. Bedanya,
cilor adalah cilok atau cimol yang ditambahkan
telur.
Juni membeli lima tusuk cilor terakhir siap
goreng yang tersisa di gerobak abangnya
bertepatan dengan seseorang yang entah
datang dari mana, tahu-tahu sudah berada di
belakang Juni. Dia tinggi, bikin Juni yang
refleks menoleh langsung berasa liliput
disejajarkan dengan raksasa. Juni kaget, orang
itu juga.
Juni masih ingat dia. Itu kakak tingkat yang
membantunya memungut barang-barangnya
yang jatuh di pelataran gedung di hari
verifikasi data mahasiswa baru. Dari jaket
himpunan yang dia pakai, Juni tahu kakak itu
sejurusan dengan Oshe. Tebakannya terbukti
benar saat tempo hari dia datang ke

48
departemen Oshe dan bertemu kakak itu di
kantin.
Juni tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu
yang terasa awkward ketika dia berada di
dekat kakak tersebut.
Seharusnya tidak begitu kan, mengingat
mereka belum pernah kenal dan Juni tidak
merasa punya salah dengannya.
“Masih ada nggak, Bang?”
“Wah, Mas Diksa telat nih datangnya. Udah
keburu diborong semua sama si Mbak. Kecuali
Mas Diksa mau nunggu sekitar sejam lagi,
nanti anak saya dateng bawa cilor lainnya yang
udah digoreng.”
“Yaudah deh, Bang. Nanti aja pas saya udah
mau pulang.”
“Sip, Mas Diksa!”
Oh, jadi namanya Diksa, Juni membatin
tanpa sadar. Diksa meliriknya, lantas berjalan

49
pergi dan kembali masuk ke gedung Student
Center. Juni menunggu hingga cilor yang dia
beli selesai digoreng, kemudian usai
dimasukkan ke dalam plastik, Juni
menambahkan saus dan kecap banyak-banyak.
Kata Mama, saus cilor tuh nggak sehat. Tapi
gimana ya, yang nggak sehat memang bisa
seenak itu.
Habis jajan, Juni lanjut masuk ke gedung
Student Center. Niatnya dia mau daftar ke UKM
kampus yang berkecimpung di bidang
jurnalistik. Namanya Advertorial—tapi biasanya
mahasiswa kampus nyebutnya Advert aja.
Sebagai kampus swasta tempat para
mahasiswa tajir bersarang, tentu saja semua
UKM yang ada di kampus ini terkesan
ekslusif—makanya tuh kampus bisa bangun
gedung dua belas lantai cuma buat ‘kantor’
jajaran UKM tersebut.

50
Juni sudah mau masuk ke sekretariatnya
Advert waktu tiba-tiba, ada suara familiar yang
memanggilnya. Spontan, Juni menoleh.
Sejenak, dia hanya bisa bengong sambil
menggigit tusukkan lidi cilor yang tinggal terisi
setengah—soalnya setengahnya lagi sudah
berpulang ke perut Juni.
“Sati, lo ngapain di sini?” Oshe bertanya dan
yang pertama kali terlintas dalam benak Juni
adalah; Oshe ganteng banget pake kaus navy
lengan pendek.
“Hng—oh—mau daftar UKM, Kak.”
“Mau daftar Advert? Bagus dong! Gue juga
di Advert soalnya.”
Seseorang dalam kepala Juni langsung
sibuk meneriakkan serangkain ‘mayday,
mayday, abort the mission!’ berulang kali.
“Oh—hng—nggak, Kak.”
“Lah, terus mau daftar apa?”

51
Juni menggigit bibir sembari memutar otak.
Dia mengedarkan pandang ke sekeliling
hingga tatapannya terbentur pada neon sign
yang membentuk kata-kata Molto Vivace pada
pintu besar yang berseberangan dengan pintu
sekretariat Advert.
Juni tahu UKM apa itu. Mereka menyebutnya
Molto Vivace atau yang lebih sering disingkat
dengan Molvis. UKM itu adalah paduan suara
atau semacam choir kampus. Di lantai ini,
selain sekretariat Advert, hanya ada sekretariat
Molvis.
Juni tidak terpikir mau join choir kampus,
namun tentu saja dia tidak mungkin masuk ke
UKM di mana ada Oshe di dalamnya. Sudah
cukup perasaannya dibikin terombang-ambing
oleh Oshe semasa SMA. Dipikir lagi, jika dia
join Molvis, itu cukup masuk akal. Saat SMA,

52
Juni pernah ikut ekskul paduan suara sekolah
dan Oshe tahu itu.
“Aku mau ikut choir kampus, Kak.”
Oshe terlihat kecewa. “Oh. Gue kira lo mau
masuk Advert. Kan seru tuh, kita bisa hunting
berita bareng nantinya. Dana buat Advert gede
loh. Kita bisa aja cari materi sampai ke luar
kota—or even ke luar negeri.”
“Aku nggak jago jurnalistik, Kak.”
“Kan nanti gue ajarin.”
Justru itu yang mau gue hindarin. Diajarin
lo sama aja bunuh diri, Juni berbisik lagi
dalam hati. “Kayaknya choir lebih cocok buat
aku, Kak.”
“Hati-hati loh, Molvis sarangnya fuckboy.”
Yah… tapi kan rajanya fuckboy situ.
Juni nyengir. “Duluan ya, Kak.”
“Yoi.”

53
Juni buru-buru ngeloyor pergi dari hadapan
Oshe dan asal masuk aja ke sekretariat Molvis.
Ada meja penerima tamu tidak jauh dari pintu.
Kosong. Di atasnya, bertumpuk formulir
pendaftaran.
Juni terdiam kikuk di depan meja itu,
mencoba memanggil namun tidak nampak
adanya tanda-tanda kehidupan. By the way,
bentuknya sekretariat Molvis itu seperti area
tersendiri yang terdiri dari banyak ruang.
Mereka punya ruang teater, ruangan yang lebih
kecil buat diskusi atau rapat dan ruangan yang
lebih besar dengan panggung mini sebagai
tempat latihan.
Juni baru akan berbalik pergi dan
mengurungkan niat tatkala suara dari salah
satu ruangan menyentak telinganya.
Ada yang bernyanyi.

54
Ragu-ragu, Juni mengintip dari pintu yang
memang tengah terbuka. Ternyata, yang
sedang bernyanyi adalah Diksa. Dia
menyanyikan lagu yang Juni ketahui milik
Bazzi. Judulnya Mine.

I’m so fuckin’ happy you’re alive


Swear to God, I’m down if you’re down
all you gotta say is right
Girl, anything I can do just to make you feel
alright
Oh, I just had to let you know you’re fine

Running circles ‘round my mind


Even when it’s rainy all you ever do is shine
You on fire, you’re a star just like Mariah
Man, this feel incredible, I’ll turn you into a
bride
You’re mine

55
Diksa memutar balik arah badannya,
membuat matanya bertemu dengan mata Juni
yang masih berdiri di ambang pintu. Diksa
berhenti bernyanyi, yang terdengar hanya
musik instrumental yang jadi pengiring.
“Ma—maaf, Kak!” Juni berseru spontan,
takut bergerak sebab tatapan mata Diksa
serasa bidikan senapan penembak jitu. “Tadi
saya ke meja depan, tapi nggak ada orang dan
nggak sengaja denger suara kakak—tapi suara
kakak bagus banget, nggak bohong! Saya
berasa nonton konser!”
Diksa memiringkan wajah, berpikir sejenak
sebelum menarik salah satu ujung bibirnya,
mencipta seringai tipis yang berhasil bikin Juni
makin ketar-ketir.
“Konser ya?” Diksa melipat tangan di dada.
“Menurut kamu, ada konser gratisan?”

56
“Ada, Kak. Kalau konser amal, sih.”
Diksa malah menyipitkan matanya, memicu
keringat dingin bergerak menuruni punggung
Juni. Gimana ya, auranya Diksa ini
mengintimidasi banget sih, khas kakak tingkat
super perfeksionis yang galak. Berbeda jauh
dengan Oshe yang meski kelihatannya dingin,
tapi kalau diajak bercanda bisa koplak juga.
“Kamu ada perlu apa ke sini?”
“Mau daftar Molvis, Kak. Tapi nggak jadi
deh, kayaknya saya udah ditolak duluan.”
“Kenapa bilang gitu?”
“Suara saya jelek soalnya.”
“Kamu kira ini main-main?”
“Iya, Kak—eh maksudnya, nggak, Kak.
Ampun, Kak. Maaf.”
Juni tidak tahu bagaimana dalam hati, diam-
diam Diksa berupaya keras menahan agar
tawanya tidak terlepas.

57
“Kamu sudah di sini. Isi formulirnya. Soal
keterima nggak keterima, kita lihat nanti.”
Diksa akhirnya berujar usai mematikan music
player yang memainkan instrumen pengiring
lagu, menghapus semua suara yang sempat
jadi latar belakang pembicaraan mereka.
Juni tergugu, hanya bisa menurut pada
Diksa layaknya kerbau yang dicucuk
hidungnya. Diksa berjalan lebih dulu,
memimpin Juni menuju meja penerima tamu
dan memberikan selembar formulir beserta
pulpennya pada Juni.
“Ini saya isi, Kak?”
“Nggak. Dijadiin bungkus gorengan.”
“Ih, galak bener!” Juni nekat mencibir,
malah mati kutu ketika dilihatnya Diksa tidak
bereaksi.

58
Padahal kalau dia pakai jurus itu sama
Oshe, Oshe pasti minimalnya sudah tersenyum
sekarang.
“Berisik. Isi aja yang betul!”
“Iya.”
“Pake huruf kapital!”
“Iya, Kakak—haduh, bawel bang—” Juni
batal melanjutkan ucapannya saat dia
memandang pada Diksa dan cowok itu
memasang ekspresi mirip vampire yang siap
melahap mangsa. “—ampun, Kak. Maaf.”
“Minta maaf melulu, lebaran masih lama.”
“Kalau saya minta maaf ke kakaknya
nunggu lebaran, saya keburu tewas.”
“Kenapa tewas?”
“Mati berdiri, ketakutan karena dipelototin.”
Juni menukas asal. “Ini udah saya isi dan tanda
tangan ya, Kak.”
“Yaudah.”

59
“Oke, saya pulang ya, Kak?”
“Nggak usah pake pamitan. Kamu kira saya
bapak kamu?”
“Galaknya saingan sama bapak saya
soalnya.”
“Ck.”
“Yaudah. Pulang ya, Kak. Dah!”
“Itu cilor kamu ketinggalan.”
“Buat kakak aja. Tadi kan saya udah nonton
konser kakak dan kakak bilang nggak ada
konser yang gratis. Tuh bayarannya.”
“Kamu bayar saya pake cilor?”
“Kakak doyan cilor, kan?”
Diksa terdiam.
“Tenang, Kak, itu cilor masih suci! Sausnya
aja yang emang banyak. Tapi makin banyak
saus tuh makan enak, loh! Cobain deh!”
“Ck.”

60
Juni nyengir untuk menutupi
kegugupannya, lalu berbalik dan buru-buru
berjalan menuju pintu. Diksa diam saja,
mengamati punggung Juni hingga sosoknya
menghilang menuju belokan yang akan
membawanya ke tempat di mana lift berada.
Setelahnya, baru dia mengalihkan perhatian
pada tiga tusuk cilor dalam plastik yang
tergeletak di atas meja.
Perlahan, Diksa mengambilnya, menggigit
satu tusuk. Diksa tidak pernah makan cilor
menggunakan saus, apalagi sampai sebanyak
itu. Namun sore itu, dia berani berkata bahwa
cilor yang ditinggalkan Juni adalah cilor paling
enak yang pernah dia makan.

61
Meng
“Ternyata Meng juga suka
sama dia.”
— Kak Diksa

***

Tidak ada seorang pun yang menduga jika


tipe orang dengan muka stoic dan kelakuan
kaku seperti Diksa bisa punya afeksi lebih
untuk binatang peliharaan. Well, sebenarnya
nggak tepat menyebutnya sebagai binatang
peliharaan karena mindset kebanyakan orang
soal binatang peliharaan adalah hewan yang
dirawat di rumah dan diperlakukan selayaknya
anggota keluarga.

62
Dulu, ketika Diksa masih mahasiswa baru,
pada kunjungan pertamanya ke gedung
Student Center, dia datangi oleh seekor kucing
berbulu jingga. Kucing itu duduk di dekat
Diksa yang sedang bersila di teras luar Student
Center tanpa harus khawatir takut kotor
karena terasnya dilapisi oleh keramik berwarna
krem. Diksa sedang makan cilor waktu kucing
tersebut mendekat. Semula, dia mencoba
bergeser tapi kucing itu justru mengikutinya.
Sepasang mata lebar milik si kucing tertuju
pada cilor di tangan Diksa.
Hah, emang kucing doyan cilor? Diksa
berpikir waktu itu, agak ragu tapi lama-lama
jadi tidak tega. Akhirnya, dia berpindah ke
pelataran parkir yang diberi perkerasan
paving. Diksa memisahkan satu dari dua tusuk
cilor yang masih tersisa. Satu tusuk dia
pegang, satu lainnya dia lepaskan dari lidi dan

63
letakkan di atas plastik pembungkus—yang
kemudian ditaruhnya tepat di depan kucing
jingga tersebut.
Diksa ternganga takjub tatkala kucing itu
menyantap cilor yang Diksa berikan padanya.
Mereka akhirnya makan cilor sambil
bersebelahan. Sang kucing makan seraya
bertumpu pada keempat kakinya, sedangkan
Diksa berjongkok di dekatnya. Sejak hari itu,
mereka jadi teman akrab. Diksa memutuskan
menamainya Meng—tadinya mau dikasih nama
Cing, tapi kucing tersebut tidak pernah
menoleh juga dipanggil Cing, maunya
dipanggil Meng.
Besok-besoknya, Diksa tidak lagi berbagi
cilornya dengan Meng. Sebagai gantinya,
setiap hendak ke gedung Student Center—
yang mana pasti dilakukannya setidaknya tiga
kali dalam seminggu—Diksa selalu menyetok

64
beberapa bungkus makanan kucing kemasan
mini yang mudah ditemui di minimarket.
Seperti paham, Meng selalu menghampirinya.
Diksa jarang bicara, tapi ada ikatan batin
antara dia dan Meng yang tercipta dalam
waktu singkat. Meng seperti mengerti
perubahan suasana hati Diksa. Waktu Diksa
senang, dia akan langsung meminta makanan.
Ketika mood Diksa sedang buruk, kucing
berbulu jingga itu akan mengeong sampai
Diksa berjongkok, lalu menggesekkan
badannya di kaki Diksa, seperti ingin
bermanja-manja sekaligus menghibur cowok
itu.
Kenyataannya, usaha Meng memang
berhasil.
Siang ini, setelah semua kelas untuk
keseluruhan jadwal hariannya selesai, Diksa
menyempatkan diri memeriksa tasnya sebelum

65
bertolak ke gedung Student Center. Rutukan
pelan terlepas dari mulutnya saat dia tersadar
dia kehabisan stok makanan kucing. Jelas, itu
berarti dia harus mampir lebih dulu di
minimarket terdekat dari kampus. Tidak
mungkin dia datang menemui Meng dengan
tangan kosong—Diksa pernah melakukannya
satu kali, tepatnya beberapa bulan usai dia
mengenal Meng. Meng ngambek, menolak
muncul di depan Diksa selama beberapa hari
dan jujur saja, itu membuat Diksa merasa tidak
enak hati.
Semesta seperti tidak mendukung sebab
tampaknya minimarket sedang ramai-
ramainya, membikin Diksa harus mengantre
lebih lama hanya untuk sekedar membayar
beberapa bungkus makanan kucing kemasan
mini yang dia beli.

66
Dari minimarket, cowok itu meneruskan
gerak menuju gedung Student Center dengan
terburu-buru. Dia mencari Meng di beberapa
tempat yang selalu Meng gunakan buat
bersantai saat siang hari. Tidak butuh waktu
lama buat Diksa untuk menemukan kucing
berbulu jingga itu, tetapi kali ini, dia dapat
kejutan karena Meng tidak sedang sendirian.
Ada seorang gadis sedang berjongkok di
depannya dengan sebungkus makanan kucing
di tangan. Gadis itu mengajak Meng
mengobrol seperti anak kecil mengajak bicara
bonekanya. Dia mengeluarkan baby voice yang
terkesan manja, berhasil membuat Diksa
terperangah sekaligus gemas sendiri di saat
yang bersamaan.
Dari suaranya, Diksa sudah tahu kalau gadis
itu adalah Juni.

67
Seperti apa rasanya melihat Juni seakrab itu
sama binatang berkaki empat yang sudah
Diksa anggap seperti sahabatnya? Tidak
terdefinisikan.
Bagaimana hati Diksa mendengar Juni
bicara dengan Meng dalam baby voice paling
cute sepanjang masa? Ambyar.
Tetapi Diksa terlalu gengsi untuk
bergabung dengan Meng dan Juni. Perlahan
hingga hampir tanpa suara, cowok itu malah
mengambil langkah mundur seraya
memasukkan sebungkus makanan kucing ke
dalam saku jaketnya. Selama sisa hari itu, hati
Diksa terasa begitu lapang. Dia senang.
Keesokan harinya, Diksa kembali
mengunjungi gedung Student Center untuk
membantu Siri dan anak-anak Molvis yang lain
menyortir formulir pendaftaran anggota baru
sekaligus menyusun jadwal untuk interview

68
sebagai tindak lanjut dari seleksi
administrasi—teknisnya, semua mahasiswa
baru yang mendaftar sudah pasti lolos seleksi
administrasi. Tahap interview yang nanti akan
menentukan apakah mereka diterima atau
tidak berdasarkan pengetahuan tentang musik,
karakteristik suara yang dimiliki serta tujuan
pribadi yang mendorong mereka mendaftar.
Meng sedang nongkrong di atas pohon
waktu Diksa tiba. Tidak seperti biasanya, Meng
tak langsung turun dan bergerak cepat
menghampiri Diksa. Kucing itu malah terus
saja nangkring di dahan tempatnya bersantai.
Dia sempat memandang ke bawah pada Diksa,
dengan tatapan angkuh layaknya bangsawan
menatap orang jelata. Mustahil Meng tidak
menyadari kehadiran cowok itu.
“Meng?”
Meng tidak bereaksi.

69
“Meng, gue bawa makanan.” Diksa berujar,
kali ini sambil mengacungkan bungkus
makanan kucing di tangannya ke udara.
Meng malah mengerjapkan kedua matanya
seolah-olah dia adalah Cleopatra yang baru
kelar ekstensi bulu mata.
“Meng?”
Diksa akhirnya frustrasi sebab panggilannya
tidak disambut baik oleh Meng. Cowok itu
mendengkus, berjalan masuk ke gedung
Student Center dalam langkah lebar. Benaknya
dijejali oleh dongkol bercampur tanya. Dia
tahu persis bagaimana karakter Meng. Kucing
itu adalah makhluk yang akan menempatkan
kebutuhan perut di atas harga diri, apalagi
gengsi. Maka, kalau Meng sampai menolak
turun dan mendatanginya meski dia jelas-jelas
sudah menunjukkan makanan di tangannya,
pasti hanya ada satu kemungkinan.

70
Ada yang sudah memberi Meng makanan
hari ini.
Mungkin itu Juni.
Bisa jadi bukan.
Tetapi memikirkan kemungkinan bahwa
orang yang telah memberi Meng makanan hari
ini adalah Juni membuat Diksa agak senang
sekaligus sedikit sebal.
Sebal, soalnya Meng tidak adil dan pilih
kasih.
Senang… karena secara tidak langsung, itu
artinya Diksa dan Juni merawat satu anak bulu
yang sama, kan?
Hehehe.
“Tumben udah sampe.” Siri yang sedang
mencatat nama beserta nomor telepon
pendaftar ke dalam satu list di selembar kertas
berkomentar sejenak setelah Diksa masuk ke
sekretariat Molvis.

71
“Gue biasa dateng jam segini, kali.”
“Nggak, nggak, biasanya lo baru masuk
seenggaknya setengah jam dari sekarang.” Siri
mengalihkan tatapan dari kertas yang sedang
dia tulisi. Gadis itu menggeser kacamatanya
agak turun. “Kucing lo ke mana?”
“Kucing apaan?”
“Nggak usah ngeles, lo kan punya piaraan
di sini.”
“Nggak apa-apa. Kayaknya dia udah
kenyang hari ini. Jadi yaudah, gue langsung
masuk aja.” Diksa berujar sekenanya.
“Jelas udah kenyang, soalnya udah ada yang
kasih makan.”
“Siapa?”
Siri mengangkat bahu. “Nggak tahu. Nggak
kenal. Cewek rambut panjang, kayaknya maba.
Itu juga karena gue nggak sengaja lihat abis
beli tahu gejrot Mang Asep.”

72
“Oh, bagus deh.” Diksa ganti bertanya soal
daftar yang tengah Siri buat. “Gue bisa bantu
apa? Itu buat kelanjutan rekrutmen anak baru
kan?”
“Iya. Selow, buat daftar mah udah mau
kelar. Ntar aja, lo bantu gue atur schedule
interview sekaligus pembagian pesertanya.
Buat tanggal-tanggal segini, anak-anak baru
harusnya masih pada longgar lah jadwalnya.
Namanya juga baru masuk, paling kegiatannya
baru seputaran mengenal kampus sama kuliah
aja.” Siri menjelaskan. “Satu pengurus dapet
empat anak buat interview ya? Soalnya tahun
ini peminat Molvis meningkat hampir seratus
persen dibanding tahun kemarin.”
“Oke, lah.”
“Bisa kan lo?”
“Bisa.”

73
“Takutnya nggak bisa, kan lo orang sibuk di
departemen sama fakultas lo.” Siri mencibir
dengan nada bergurau terselip di suaranya.
“Nggak ada rencana mau nyalon jadi ketua BEM
Fakultas, Pak?”
“Nggak. Jadi Kahim aja sudah cukup
menguras pikiran dan tenaga. Gue mau
istirahat.”
“Wah, sayang banget, padahal anda jelas
sedang di puncak kepopuleran, entah itu
diantara mahasiswa seangkatan dan para
mahasiswa baru.” Siri terkekeh. “Kemarin pas
acara pendidikan karakter mahasiswa
sefakultas, maba banyak yang ngomongin lo,
tahu!”
“Ngomongin apa?”
“Pada ngomong lo cakep dan berwibawa.”
Diksa justru melengos.

74
“Deh, masa nggak seneng dibilang cakep
dan berwibawa ama adek-adek maba?”
“Nggak tertarik. Gue bukan banci tampil.”
“Maba sekarang cakep-cakep loh.” Siri
masih saja menggoda.
Buat apa cakep kalau bukan Juni orangnya,
Diksa membatin dalam hati, tetapi tidak
menyuarakannya keras-keras. Matanya
menyisir pada daftar yang kini Siri bagi ke
dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap
kelompok berisi empat orang dan satu
kelompok akan menjadi tanggung jawab satu
pengurus Molvis untuk di-interview.
“Lo bagian interview Kelompok A ya? Ini
udah gue bagi.”
Diksa mengangkat alis, membaca cepat
empat nama yang terdaftar dalam kelompok
yang Siri maksud. “Gue yang C aja deh, Ri.”
“Loh, kenapa?”

75
“Nggak apa-apa.”
“Nggak, nggak, lo biasanya terima-terima
aja kalau dikasih tugas.” Siri membaca nama-
nama yang dia kategorikan ke dalam
Kelompok C. “Jangan bilang kalau ada cewek
yang lo taksir di Kelompok C!”
Diksa hampir panik, tetapi berusaha
tenang. “Nggak kok!”
“Ananda atau Sationa nih cemewew lo?”
“Nggak! Sumpah!” Diksa sampai
mengacungkan dua jari ke udara.
Siri menyipitkan mata, memandang Diksa
sepenuh curiga hingga kemudian tawanya
pecah. “Nggak usah panik gitu, Pak. Kalau pun
lo naksir Ananda atau Sationa, gue nggak akan
ngelarang juga toh gue bukan emak lo apalagi
pacar lo. Asal jangan naksir sama Dimas atau
Abu aja. Bisa gonjang-ganjing nanti dunia

76
persilatan!” Siri menyebut dua nama lainnya
yang ada di Kelompok C.
Diksa cemberut.

***

Juni mendatangi gedung Student Center


dengan perasaan yang berbadai hari ini. Jujur,
dia sudah tahu bahwa semua mahasiswa yang
mendaftar ke UKM mana pun yang ada di
kampus pasti lulus seleksi via pengisian
formulir di awal dan tahap interview yang
nantinya akan menentukan apakah mereka
dapat diterima di UKM yang bersangkutan.
Tapi tetap saja, Juni gugup setengah mati.
Dalam hatinya, dia berharap bukan kakak cilor
yang akan menginterviewnya.
Sebelum masuk ke sekretariat gedung
Student Center, Juni menyempatkan diri

77
mengecek ulang informasi terkait jadwal dan
ruangan interview yang telah diterimanya lewat
chat WhatsApp. Sekretariat tidak ramai, hanya
ada seorang senior perempuan berkerudung
yang menjaga meja penerima tamu di depan.
Juni menjelaskan maksud kedatangannya dan
senior tersebut mengarahkannya ke sebuah
ruangan.
“Ditunggu ya. Kamu dapat giliran yang
diinterview pertama hari ini, jadi nggak apa-
apa bisa langsung nunggu aja di ruangan.
Kakak yang menginterview sebentar lagi tiba.
Mohon maaf ada keterlambatan, karena
kebetulan pengurus yang kedapatan
menginterview kamu tuh agak sibuk
orangnya.”
Juni mengangguk, tersenyum dengan agak
rikuh sebelum pintu ruangan ditutup tak lama

78
setelah dia duduk, membuatnya dikelilingi oleh
tembok dan kesenyapan.
Bosan menunggu, Juni tergerak membuka
aplikasi Twitter. Dia tidak aktif nge-twit sih,
tapi Twitter merupakan sarang kerecehan yang
ampuh menjadi moodbooster gratisan. Juni
tengah asyik scrolling timeline, me-retweet
sejumlah postingan yang menurutnya menarik
hingga dia berhenti scrolling gara-gara sebuah
tweet yang disemati video.
Juni penasaran akan isi video tersebut gara-
gara kata-kata dalam tweet yang dramatis. Dia
mengklik pilihan untuk unmute video, hanya
untuk disambut oleh desah ala-ala suara dalam
video porno sedetik setelahnya—bertepatan
dengan pintu ruangan yang dibuka. Refleks,
Juni menoleh, hanya untuk mendapati Diksa
berdiri di ambang pintu, freezing juga, sama
sepertinya.

79
Diksa shock, Juni apalagi.
“Kamu… ngapain?”
Juni menunjukkan layar ponselnya pada
Diksa dengan histeris. “Sumpah, saya nggak
nonton yang macem-macem, Kak! Suer! Ini
dikerjain anak Twitter nih kakak lihat aja kalau
nggak percaya!”
Suara desahan masih bergaung memenuhi
ruangan karena Juni tak cukup bisa cepat
berpikir dan membisukan suara video tersebut.
Diksa berdeham, wajahnya memerah
sedikit. “Kamu nggak perlu teriak seperti itu.
Mau kamu nonton yang aneh-aneh betulan pun
bukan hak saya untuk berkomentar. Tapi
alangkah baiknya kalau video itu kamu tutup
dulu. Nggak enak kalau suaranya terdengar
sampai ke luar. Nanti dikira kita lagi ngapa-
ngapain.”

80
Juni tengsin parah. “Ah—hng—oh ya—maaf,
Kak.”
Diksa menutup pintu dengan perlahan
sebelum berjalan menghampiri kursi yang
berada di depan Juni. Dia melepaskan tas yang
tersandang di bahu, menyandarkannya begitu
saja di kaki kursi. Juni menunggu seraya
menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha
menata harga dirinya yang sekarang bentuknya
sudah tidak karuan. Diksa meliriknya hati-hati,
berpura-pura sibuk membuka map yang
berisikan formulir data diri yang telah Juni isi.
“Bisa kita mulai?”
“Bisa, Kak.” Juni masih saja menunduk,
terlalu malu untuk memandang Diksa secara
langsung.
“Kalau bicara sama orang, orangnya
ditatap.”

81
“I—iya, maaf, Kak.” Juni jadi kikuk, langsung
mengangkat wajah dan terperangah sejenak
ketika matanya menemukan mata Diksa yang
sedang menatap lurus padanya. “Saya masih
malu tau, Kak.”
“Sudah saya bilang, mau kamu nonton video
aneh-aneh pun itu bukan urusan saya.” Diksa
berdecak. “Jadi nama kamu Sationa Mafala ya?”
“Iya, Kak. Panggil Sati aja bisa, kok.”
“Saya nggak nanya.”
Juni menelan saliva, merasa salah bicara
lagi. “Ampun, Kak.”
“Nggak usah minta ampun, saya bukan
Tuhan.”
“Eh—iya, maaf, Kak.”
Dalam hati, sebetulnya Diksa ingin tertawa
melihat kegugupan Juni yang begitu kentara.
Namun tentu saja, dia harus menjaga citra dan
tetap terlihat professional. Maka, Diksa masih

82
mempertahankan wajah dinginnya yang tanpa
ekspresi. Matanya membaca isi formulir Juni,
lanjut menanyainya pertanyaan-pertanyaan
klasik yang kerap ditanyakan pada calon
anggota baru sebuah organisasi dan sedikit tes
untuk mengetahui pengetahuan Juni soal
musik serta range vokalnya. Dalam waktu
singkat, mudah bagi Diksa menerka jika Juni
pasti pernah bergabung di organisasi atau
ekstrakurikuler sekolah yang berhubungan
dengan dunia musik atau paduan suara
sebelumnya.
“Oke, kamu diterima.”
Juni mengerjap, tampak kaget bukan
kepalang. “Saya beneran diterima, Kak?”
“Iya.”
“Nggak salah, nih?!”
“Kamu mau saya tolak?”

83
“Nggak gitu, Kak.” Juni menggaruk
lehernya, sempat tampak bingung. “Cuma saya
nggak nyangka aja diterima sih. Soalnya saya
iseng—”
“Iseng daftar doang, maksud kamu?” Diksa
memotong.
Juni melongo, lalu menepuk pelan bibirnya
sendiri. “Yah… keceplosan, Kak.”
“Ada-ada aja.”
“Tapi ini beneran diterima ya, Kak?”
“Kamu mau mundur? Bisa aja sih saya
cancel dan anggap kamu nggak diterima.”
“Eits—jangan! Nggak apa-apa, saya cuma
mau memastikan doang, kok!” Juni buru-buru
menukas, lalu nyengir. “Saya minta maaf, Kak.”
“Maaf buat apa lagi?”
“Kakak nggak sebel sama saya, kan?”
“Atas dasar apa kamu berpikir begitu?”

84
Buset, pertanyaannya udah macam
pertanyaan penguji skripsi aja, Juni membatin
dalam hati, walau di depan Diksa dia berlagak
sok manis. “Soalnya nggak tahu kenapa…
kakak kayaknya sensi sama saya. Meski begitu,
saya ngerasa kakak orang baik. Jadi sekiranya
saya ada salah, maaf ya, Kak. Saya jangan
ditindas ya, Kak.”
“Kamu yakin amat bilang saya orang baik,
emangnya kamu kenal saya?”
“Kenal. Nama kakak tuh Kak Diksa, kan?”
“Kamu tahu saya gimana sehari-hari?”
“Nggak, sih.”
“Kalau gitu namanya nggak kenal, tapi
cuma tahu.” Diksa berujar jutek, sekalipun
dalam hatinya dia kepingin bilang; makanya
ayo dekat, biar nggak cuma sekedar tahu.
“Soalnya kalau kakak nggak baik, kakak
nggak akan bantuin mungutin barang-barang

85
saya yang jatuh waktu hari verifikasi
mahasiswa baru.”
Sekarang ganti Diksa yang kehabisan kata-
kata. Pertemuan mereka hari itu amat singkat
dan Juni kelihatannya sedang terburu-buru.
Bakal sangat wajar jika Juni tidak
mengingatnya.
Tetapi di luar ekspektasi Diksa, Juni ingat.
“Kakak ingat saya nggak? Saya maba yang
kakak bantu waktu barang-barangnya jatuh di
dekat parkiran.”
Diksa membalas dengan suara serak.
“Nggak.”
“Yah…” Juni tampak kecewa, tapi kemudian
senyum cerahnya terkembang lagi.
“Seenggaknya, sekarang Kak Diksa udah tahu.”
“Iya.” Diksa menjawab, pendek saja.
“Jangan dendam sama saya ya, Kak? Kan
udah minta maaf barusan.”

86
“Iya.”
“Hehehe.”
“Sekarang, mending kamu keluar.”
“Eh… saya diusir?”
“Iya.”
“Loh, katanya nggak mau dendam sama
saya, Kak… kok, diusir?”
“Saya mau kamu keluar karena saya harus
interview calon anggota baru selain kamu.
Bukan karena saya punya dendam sama kamu.”
Pipi Juni sontak merona. “Oh—hng—maaf,
Kak.”
“Minta maaf melulu. Lebaran masih lama!”
“Eh ya, maaf, Kak!”
“Sana keluar!”
“Iya, Kak! Pamit dulu, Kak!” Juni jadi salah
tingkah dan di tengah-tengah kebingungannya
harus berbuat apa, dia malah meraih tangan

87
Diksa, menempelkan punggung tangan cowok
itu ke dahinya. “Makasih buat hari ini, Kak!”
Diksa hanya bisa mengantar keluarnya Juni
dari ruangan itu dengan decakan, meski
setelah sosok Juni benar-benar lenyap, dia
berhasil dibikin tertegun di tempatnya duduk,
mata terarah lurus pada tangannya yang baru
disentuh Juni sementara benaknya memutar
ulang rentetan percakapan yang baru saja
terjadi.
Juni… menyebutnya orang baik.
Juni… mengingatnya.
Seumur hidupnya, jarang sekali Diksa
merasa sesenang itu.

***

Keseluruhan interview yang mesti Diksa


lakukan selesai sekitar sejam kemudian. Dua

88
orang diterima, dua orang lainnya belum
berkesempatan bergabung dengan Molto
Vivace. Usai menyelesaikan tugasnya, Diksa
membereskan seluruh berkas kembali ke
dalam map, lantas meraih tasnya yang
teronggok di lantai dan berjalan ke luar
ruangan. Delia dan Siri menyambutnya, sedang
ngerumpi di dekat meja penerima tamu.
“Mana hasilnya?” Siri langsung memburu.
Diksa mengulurkan map. “Dua diterima,
dua ditolak.”
“Oh, jadi cemewew lo tuh si Sationa?”
Diksa refleks melotot pada Siri. “Maksud lo
apa?”
“Dua yang diterima itu Abu sama Sationa.
Lo nggak mungkin naksir Abu. Ananda jelas
tereliminasi karena dia nggak diterima.”
“Ngaco!” Diksa membantah. “Nggak usah
nyebarin gosip yang aneh-aneh! Pertama, gue

89
melakukan interview secara professional.
Kedua, mereka yang diterima juga diterima
secara professional tanpa adanya sentimen
pribadi. Ketiga, gue nggak naksir sama siapa-
siapa!”
Pastinya, buat fakta yang ketiga itu, Diksa
berdusta.
“Uwww… maca cih?” Siri makin gencar
mengejek Diksa.
“Terserah lo deh mau bilang apa!” Diksa
memutar bola matanya, lalu melirik sekilas
arloji yang melingkari pergelangan tangan
kanan. “Udah sore. Gue cabut duluan.”
“Hati-hati, Pak Kahim!” Delia berujar.
“Soon-to-be mantan Kahim, maksudnya.” Siri
mengoreksi. “Bentar lagi lengser kan lo?”
“Iya.”
“Yaudah, hati-hati di jalan!”
“Sip.”

90
Petang telah menjelang. Langit sudah redup
dan semburat jingga telah membentuk
kumpulan bercak acak di langit. Diksa
menghela napas, memenuhi dadanya dengan
embus udara sejuk. Gedung Student Center
kelihatan sepi. Biasanya memang begitu.
Tempat tersebut akan kembali ramai setelah
malam, entah karena rapat UKM atau
organisasi—atau tempat berkumpulnya
mahasiswa yang akan mengerjakan tugas
kelompok bersama. Aktivitas di gedung
Student Center diizinkan berlangsung sampai
batas maksimal pukul sepuluh malam. Lewat
dari pukul sepuluh malam, satpam gedung
akan melakukan sweeping dan mensterilkan
gedung dari kegiatan apa pun.
Di parkiran, Diksa disambut oleh
pemandangan tidak terduga. Meng ada di
sana, sedang duduk di depan Juni yang

91
berjongkok. Lagi-lagi, Juni bicara
menggunakan baby voice pada Meng.
Sebungkus makanan kucing terpegang di
tangan Juni, telah kosong tanpa isi yang
tersisa.
Meng pilih kasih, Diksa berpikir dalam hati,
agak dongkol walau di saat yang sama, dia
senang melihat Juni akrab dengan anak bulu
peliharaannya.
“Besok aku dateng lagi, Cing, tapi kamu
nggak boleh ngumpet kayak tadi siang ya?”
Juni bicara pada Meng, yang dibalas kucing itu
dengan ngeong lirih.
Diksa berdeham. “Namanya Meng.”
Juni tersentak kaget, nyaris terlompat dari
tempatnya. Gadis itu menoleh, hanya mampu
memaksakan tawa saat dilihatnya Diksa
melangkah mendekat. “Hah, apa, Kak?”
“Namanya Meng, bukan Cing.”

92
“Tapi dipanggil ‘Cing’ juga dia nengok,
kok!”
“Namanya Meng.”
“Oh, oke.”
Meng menggesekkan badannya dengan
manja di kaki Juni, membuat Diksa diam-diam
bersuara masih sebatas dalam benak.
Bahkan Meng aja suka sama dia…
Kebersamaan Diksa dan Juni tidak
berlangsung lama sebab perhatian mereka
terbuyarkan oleh suara klakson sepeda motor.
Tanpa dikomando, kepala Diksa dan Juni
tertoleh bersamaan ke satu arah. Oshe ada di
sana bersama motor Ninja merahnya. Dia
mengenakan jaket bomber yang membuatnya
terkesan macho, juga helm full face berwarna
merah terang. Oshe membuka helmnya,
menampilkan wajah tampan yang dibingkai
rambut agak berantakan.

93
“Sati!”
“Kak Oshe?”
“Oit, bener lo ternyata!” Oshe tertawa seraya
masih duduk di atas jok motornya. “Mau balik
bareng nggak?”
Juni tampak ragu sejenak sebelum
melontarkan tanya. “Ngerepotin nggak?”
“Ah, lo nih! Kayak sama siapa aja!”
“Beneran aku tuh!”
“Udah, buruan ke sini! Udah sore!”
Juni tersenyum lebar, berpaling pada Diksa
yang kini menatap masam. Tampangnya
seperti ikan yang kebanyakan digarami lalu
dibiarkan terjemur berhari-hari alias kering dan
asin. “Duluan ya, Kak! Dadah, Meng!”
“Hati-hati.” Buat lo aja, buat Oshe mah
nggak.
“Sip, Kak! Kak Diksa juga hati-hati!”

94
“Juni!” Oshe memanggil, suaranya keras dan
bikin Diksa dongkol setengah mati.
“SIAP, KAKAK!”
Juni berlari menghampiri sepeda motor
Oshe. Cowok jangkung itu balik mengulurkan
satu helm lainnya pada Juni, lantas menunggu
hingga Juni naik ke boncengan belakang
sepeda motornya. Diksa tetap di sana,
memandang kepergian Oshe dan Juni dengan
sorot mata penuh kebekuan.
Dia masih berharap jika bukan Juni yang
tengah jadi target pedekate Oshe.
Tapi menilik dari ekspresi wajah Oshe saat
Juni naik ke boncengan sepeda motornya,
sepertinya harap Diksa terlalu muluk untuk
jadi kenyataan.

95
Liputan Advert
“Manusia tuh ya… memang
suka cari perkara buat
nyakitin diri sendiri. Kayak…
semakin ditolak, justru
semakin ingin mendekat.
Padahal mah logikanya ya
cari aja yang lain gitu yang
nggak nolak.”
— Kak Oshe

***

Malam minggu ini, Oshe tidak punya


rencana nyepik salah satu dari sekian banyak
cewek di asrama putri kontak ponselnya. Dia

96
juga terlalu malas untuk nongkrong di luar.
Beberapa temannya yang lain seperti Cahyo
sudah siap-siap mau ngapel sejak sore, sempat
dibikin bengong sembari terheran-heran kala
dilihatnya Oshe masih saja asyik main DOTA di
kamar. Meski mukanya cool layaknya lelaki
dingin yang tidak tertarik pada perempuan,
diantara teman-temannya, Oshe adalah yang
paling rajin ganti gandengan. Benar-benar
bukan Oshe jika dia sampai menyia-nyiakan
malam minggu yang cerah bersih dari guyuran
hujan.
Tapi memang begitulah adanya.
Cahyo tidak bisa diajak nongki-nongki ala
bro-bro, begitu juga Kai yang lagi gencar
melancarkan aksi untuk balikan dengan
mantan terindahnya. Mayoritas teman-
temannya yang lain sama sibuknya atau sudah
punya janji sendiri. Akhirnya, Oshe malah

97
menghubungi salah satu rekannya sesama
anak Advertorial.
Namanya Johnny. Dia satu tahun di bawah
Oshe, tapi sekolahnya kecepetan, jadi di
kampus, dia tetap seangkatan dengan Oshe
atau Cahyo. Johnny ini adalah sebenar-
benarnya orang ekstrovert. Energinya seperti
tidak pernah habis. Emosinya terkendali
dengan baik dan walau ada banyak yang
menganggapnya senior idaman di kampus,
Johnny hanya sesekali pacaran. Entahlah,
sepertinya dia lebih sayang sama kameranya.
Oshe iseng nge-chat Johnny.

Oshe:
Dimana lu?
Johnny:
Sekre.
Oshe:

98
Buset, rajin amat malam minggu di Sekre.
Johnny:
Rabu-kamis ini tanggal merah. Mau nyiapin
liputan.
Oshe:
Oh, siapa aja?
Johnny:
Gue, Tirta, Kanya.
Oshe:
Masih lama di Sekre?
Johnny:
Mayan. Ngapa?
Oshe:
Mau ke sana.
Johnny:
Lah, keabisan stok betina apa gimana dah?

Oshe tidak membalas chat Johnny,


langsung bertolak menuju Sekre Advertorial.

99
Kebetulan, tempat tinggal Oshe berada tidak
jauh dari gedung Student Center. Karenanya,
tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di
sana.
Gedung Student Center tidak seramai
biasanya waktu Oshe sampai dan itu wajar.
Menyedihkan amat, mesti menghabiskan
malam minggu ngerjain proker UKM. Seakan-
akan tidak ada makhluk perempuan yang bisa
disambangi, atau teman yang bisa diajak
nongkrong di kafe sambil haha-hihi. Tapi yah,
Johnny termasuk salah satu kaum
menyedihkan itu—dimana menyematkan istilah
menyedihkan padanya juga dirasa tidak tepat
sebab Johnny termasuk satu dari segelintir
orang yang single gara-gara pilihan pribadi,
bukan karena tidak ada yang berminat
mengencani. Atau boleh jadi, jika kameranya
bisa menjelma jadi manusia, mungkin Johnny

100
telah lama jatuh cinta dan menikahi
kameranya.
“Buset, beneran kesini?”
“Kaki gue napak, tandanya gue bukan
setan.”
Johnny berdecak, berhenti mengetik pada
macbook yang menyala di depannya. “Iya,
bukan setan, tapi kelakuannya lebih parah dari
setan. Tumben amat gabut di malam minggu.
Apa stok cewek satu kampus udah abis lo
ajakin jalan semua?”
“Lagi malas sama cewek.”
“Oh, ada niatan mau melebarkan sayap dan
bikin asrama putra?” Johnny meledek.
Oshe mendengus, memungut kertas bekas
yang teronggok tak jauh dari kakinya,
meremasnya sampai jadi bola dan
melemparnya pada Johnny yang gesit

101
menghindar. Tawa renyahnya bergema
memenuhi ruangan.
“Tapi gue serius, tumben amat lo kemari di
waktu-waktu begini. Lo nggak mulai naksir
gue, kan?”
“Nggak, walau kalau gue cewek, udah gue
kejar-kejar lo sampai ke ujung dunia.” Oshe
mencibir, lalu membuat suaranya jadi
terdengar centil dan tinggi secara sedemikian
rupa. “Kak Johnny, the aesthetic boyfriend,
suka fotografi, tinggi, senyumnya manis,
perhatian, nggak fuckboy dan pelukannya
hangat kayak kencing bayi.”
“Emang udah pernah dikencingin bayi?”
“Belom, tapi pernah nyelup ke kolam renang
balita. Sumpah, hangatnya beda sensasinya.
Lo mesti coba.” Oshe tergelak. “Mau liputan
apa, emangnya?”

102
“Biasalah, buat rubrik bagian wisata
kuliner.”
Output dari Advertorial adalah majalah
kampus, juga konten digital dalam bentuk
video dan foto-foto yang diunggah di website
pribadi mereka. Majalah kampus ini digarap
dengan sangat modern dan mengikuti
perkembangan jaman, serta apa yang lagi tren
di kalangan anak muda dengan desain dan
tampilan super masa kini. Advertorial adalah
salah satu unit kegiatan mahasiswa paling
bergengsi di kampus, yang mana output
majalah dan isi websitenya bisa bersaing
dengan produk-produk sejenis untuk kalangan
umum. Kucuran dana yang tidak sedikit dari
pihak kampus membuat mereka bisa bebas
ingin mewawancara siapapun atau melakukan
liputan kemana pun tanpa mengkhawatirkan
perkara iklan di website dan majalah—tapi

103
tawaran iklan yang masuk terus membanjir
dan itu kian menegaskan Advertorial sebagai
salah satu UKM yang prestisius.
“Buat ngisi rubrik dan video?”
“Jelas. Konten mukbang hari gini selalu
rame, bro.”
“Pantes ngajaknya Kanya.” Kanya adalah
salah satu anggota Advertorial yang punya
penampilan sedap dipandang dan di saat yang
sama, juga dikenal sebagai selebriti online di
sejumlah platform sosial-media.
“—dan Tirta.”
“Kalau itu baru omong kosong. Muka boleh
ganteng, tapi alergi disorot kamera.” Oshe
mengejek.
“Emangnya lo nggak?”
“Gue sih nggak alergi, cuma malas terkenal
aja.”

104
“Iya, soalnya kalau lo terkenal, nanti korban-
korban lo pada bersatu dan bikin akun
Instagram korbankakoshe.” Johnny balik
meledek. “Bentar lagi gue selesai nih. Cuma
tinggal nyusun time-table aja. Hotel dan
transport udah clear. Abis ngirim time-table ke
Tirta sama Kanya, gue mau cabut.”
“Mau ke mana lo?”
“Balik kayaknya, mau nerusin nonton ulang
Naruto.”
“Halah, wibu bau bawang!” Oshe berseru.
“Makan dulu lah. Cari tempat yang asyik.”
“Yaudah.”
Johnny lanjut fokus pada layar macbooknya,
kembali mengetik. Oshe mengeluarkan ponsel,
bermaksud membunuh waktu dengan main
game cacing. Tak lama, ponsel Johnny
berdering. Cowok itu berhenti mengetik untuk
menjawabnya. Semula, ekspresi wajahnya

105
masih santai, tapi lama-kelamaan, Oshe
melihat ada kerut muncul diantara kedua
alisnya.
“Wait—oh God, really? Ah, no, no don’t
worry. It’s okay. Really, it’s okay. Gue bakal
minta bantuan anggota Advert yang lain kok.
Nggak usah terlalu dipikirin, Nya. Recover
super soon for both of you. Okay. Goodnight,
Kanya.”
Oshe memburu Johnny dengan tanya saat
teleponnya sudah ditutup. “Kenapa?”
“Lo tahu kan Kanya sama Tirta sejurusan?”
“Iya. Terus kenapa?”
“Sore ini mereka balik bareng, naik
motornya Tirta. Ada kecelakaan di jalan.
Motornya keserempet sama motor lain. Dua-
duanya luka. Untungnya nggak sampai
mengancam nyawa. Kanya baik-baik aja, tapi
Tirta kayaknya butuh dirawat inap. Nggak

106
mungkin mereka bisa tetap bertugas buat
liputan nanti.”
“… diundur aja nggak bisa?”
“Nggak ada waktu lagi, She. Ini artikelnya
kudu naik hari Rabu minggu depan. Selama
weekend gue bakal sibuk sama kegiatan di
kampus.”
“Cari backup kalau gitu.”
“Masalahnya, udah pada sibuk sama bagian
masing-masing. Bagian lo sama Sean udah
kelar?”
“Udah, sih.” Liputan yang mesti Oshe dan
Sean lakukan sudah lama usai sebab untuk
tanggal merah di minggu ini, Sean sudah ada
rencana untuk pulang ke rumahnya. Dia juga
tidak suka menunda pekerjaan, jadi dia
memaksa Oshe melakukan liputan sejak jauh-
jauh hari. “Tapi Sean kayaknya nggak bisa nge-
backup. Dia ada acara keluarga minggu ini.”

107
“Damn it.”
“Nggak bisa kita berdua aja apa, Jo?”
Johnny menggeleng. “Gue tahu lo punya
tampang yang camera-friendly, tapi cara lo
ngomong tuh nggak ada seru-serunya, She.
Keliatan kayak malas-malasan gitu. Boro-boro
ngiler dan napsu kepengen makan makanan
yang lo tunjukkin, penonton yang cewek
kayaknya bakal lebih napsu sama lonya dan
yang cowok-cowok bakal lebih kepengen
ngambil baskom terdekat buat nabok muka
lo.”
“Hahaha, lucu.” Oshe tidak terkesan. “Tapi
ini beneran anak Advert nggak ada yang bisa
nge-backup?”
“Nggak. Duh.” Johnny mulai gusar.
“Bentar…” Oshe berpikir sejenak hingga
sebuah ide mendadak melintas dalam

108
pikirannya. “Kalau… gue minta bantuan anak
di luar Advert boleh nggak?”
“What?”
“Minta tolong anak yang bukan anggota
Advert.”
Johnny menggaruk pelipisnya yang tidak
gatal, agak rikuh. “Bisa aja, sih… tapi
emangnya lo mau minta bantuan siapa? Kita
harus cabut Rabu besok, loh.”
“Ada, adek kelas gue jaman SMA. Anaknya
baik dan bisa ngomong di depan kamera—
maksud gue, cara dia berbahasa kalau
ngomong tuh nggak kaku gitu. Terus anaknya
cakep juga, Jo. Apa sih tuh kalau kata lo…
hng… camera-friendly?”
“Bukan gebetan lo, kan?”
“Maunya sih gue jadiin gebetan gue.”
Johnny keselek. “Dianya nggak mau?”

109
Oshe tersenyum kecut. “Nggak, kayaknya.
Tiap ada di dekat gue, dia flat aja. Kalau gue
ceritain cewek lain, responnya santai nggak
ada tanda-tanda jealous.”
“Wah gila, ternyata cowok kayak lo bisa
tertolak juga.”
“Sampah, memang.” Oshe berdecak,
membuka aplikasi chat dan mengirim chat
pada Juni. “Dah, tinggal tunggu dia balas aja.”
“Kalau dia nggak bisa gimana?”
“Pasti bisa.”
“Yakin amat.”
“Feeling gue nggak pernah salah, Jo. Pasti
dia bisa.”

***

“Rendy, tonggooooooooo!”

110
Habis kelas terakhir hari itu selesai, Juni
buru-buru ngibrit untuk mengejar langkah
Rendy yang juga teman sekelasnya. Bisa
dibilang, Rendy itu salah satu teman pertama
Juni sejak masuk kampus. Banyak yang bilang
Rendy tuh jutek dan mulutnya pedes kayak
kerupuk jablay bantet, tapi Juni happy-happy
aja temenan sama Rendy. Mungkin karena Juni
juga bukan tipe orang yang suka basa-basi dan
sering bingung sendiri kalau dimanisin cowok.
Kalau diperlakukan nyolot kan enak, Juni bisa
balik nyolot. Rendy pun bisa cepat akrab sama
Juni karena Juni bukan tipe cewek menye-
menye yang kalau di-gas dikit langsung baper.
Rendy tidak menoleh, hanya saja dia tak
langsung memasang helmnya meski kini sudah
duduk di atas jok motornya. Juni berdiri di
parkiran, tepat di sebelahnya. Matanya
memandang Rendy penuh pengharapan.

111
“Apaan?”
“Mau nebeng, dong! Gue pulang sendiri
sore ini.”
“Dih, nggak mau, gue mau jemput Nakia!”
“Nakia tuh sodaranya Nokia apa gimana?”
“Nakia, anak departemen sebelah!” Rendy
mendengus. “Nih, lo kalau ke departemen
sebelah terus nanya siapa mahasiswi paling
cakep di sana, orang-orang pasti bakal
langsung nyebut nama dia!”
“Mau tuh ama lo?”
“Jangan salah, dia yang ngejar-ngejar gue.”
Rendy menukas, kelewat percaya diri.
“Pret.” Juni manyun. “Terus gue gimana
dong baliknya? Yang lain udah pada ada
tebengan.”
“Naik ojek sih jangan kayak manusia purba
yang baru dicairin.”
“Takut diculik.”

112
“Nggak ada gunanya nyulik lo.”
“Kata siapa?! Organ manusia tuh mahal loh
di pasar gelap.”
“Organ manusia yang sehat.” Rendy
membalas, tetap tidak mau kalah. “Organ lo
kan isinya ayam geprek sama boba semua.”
“Rendy, ih jahat…”
“Mohon maaf banget ini mah, tapi gue udah
janji mau jemput Nakia.”
“Jadi lo lebih pilih Nakia daripada gue?”
“Iya, kan gue naksirnya sama Nakia.”
“Rendy, jujur amat sih…”
“Dah, makanya cari pacar.” Rendy tertawa
sembari memasang helmnya dan
mengancingkannya tepat di bawah dagu. Juni
masih merengut saat gelak Rendy kian keras.
Cowok itu mengulurkan tangan, mengacak
pelan rambut di puncak kepala Juni selayaknya
tengah mem-puk-puk kepala anak anjing.

113
“Jangan ngambek, Sa. Tambah jelek, nanti
makin kecil kesempatan punya pacar.”
“Huf.”
“Oke, gue minta maaf, tapi sore ini naik
ojek aja ya? Nanti kalau udah dapet driver,
screenshoot dan kirim ke gue. Jadi misal lo
diculik, gue bisa buru-buru lapor polisi.”
“Jahat!”
“Hahaha… sorry. Duluan, Sasa!” Renjun
menekan tombol starter pada motornya. Mesin
menggerung seketika dan sepeda motor itu
pun melaju, meninggalkan Juni sendirian di
area parkir kampus yang sepi.
Cewek itu mendengus, membuang napas
pelan, tanpa sengaja meniup sejumput rambut
yang ada di keningnya.
Dia bermaksud membuka apliasi ojek
onlinenya saat suara motor lain yang
memasuki area parkir kampus menarik

114
perhatiannya. Juni menengadah, tersekat
seketika tatkala mendapati suara itu datang
dari sepeda motor yang dikendarai Oshe.
Cowok itu mengenakan helm dengan kaca
tertutup, tapi dari postur badan dan motornya,
Juni bisa dengan mudah mengenali sosoknya.
Tanpa sadar, Juni meneguk saliva.
“Pas-pasan bener…” Oshe berkata sambil
membuka helmnya, bikin Juni terpana
beberapa lama. Dari dulu, Juni sudah tahu
kalau Oshe masuk klasifikasi Makhluk Tuhan
Paling Seksi seperti yang disebut-sebut dalam
lagu milik Mulan Jameela itu, namun hingga
sekarang, dia masih saja sering dibuat kaget.
Sore ini, Oshe terlihat sesegar bintang iklan
shampo walau rambutnya agak berantakan
karena habis pakai helm. “Lah, kok malah
bengong, Sa?”

115
Juni mengerjap. “Hng… Kak Oshe kenapa
ada di sini?”
“Emang nggak boleh?”
Juni gelagapan. “Oh—hm—bukan gitu
maksudku—tapi—”
Oshe tertawa, sempurna memutus kata-kata
Juni yang memang sudah terbata-bata.
“Bercanda. Santai dong, kayak sama siapa aja.
Gue kesini karena mau lihat lo.”
Manusia yang gini-gini nih yang paling
bahaya. Tampang dan kepopulerannya bikin
Juni sadar diri, mengerti kalau selamanya,
Oshe hanya akan jadi sebatas utopia yang tak
terjangkau baginya. Maka alangkah baiknya
kalau Oshe tetap berada di puncaknya, nggak
coba-coba turun dan menyapa rakyat jelata
yang nggak selevel dengannya. Kalau gini kan,
Juni bisa berharap yang macam-macam.
“Aku punya utang ya sama Kak Oshe?”

116
“Lah, kok mikirnya gitu?”
“Soalnya kayak nggak biasa aja kakak
nyamperin aku ke kampusku.”
“Kemarin-kemarin lo main ke kampus gue.”
“Hng… itu kan beda.”
“Buat gue sama aja.” Oshe terkekeh. “By the
way, udah dapet cowok belum di kampus?”
Pipi Juni memanas, kontan dirambati oleh
rona semerah saus tomat. “… aku kan ke
kampus buat belajar, Kak, bukan buat cari
cowok.”
“Asik dong, kalau gitu gue nggak jadi patah
hati.”
“Kak Oshe!”
“Iya, Sasa?”
“Jangan suka kayak gitu!” Juni melipat
tangan di dada. “Bukan Kak Oshe banget, geli
dengernya.”

117
Oshe tertawa, walau ada yang menohok
dalam dadanya. Sesungguhnya, dia lebih suka
jika reaksi Juni hadir dalam bentuk tersipu
malu seperti kebanyakan cewek. Namun Juni
justru bersikap demikian.
Hanya saja, rahasia kecil yang tidak Oshe
ketahui; sebenarnya Juni juga sedang mati-
matian mencoba mengendalikan frekuensi
detak jantungnya.
“Mau pulang bareng gue nggak?”
“Hng…”
“Udah makin sore loh. Dengar-dengar sih,
kampus lo ini salah satu yang paling angker
kalau udah menjelang malam. Konon katanya,
dulu ada mahasiswi stress yang gantung diri
di—”
“Setop!” Juni memotong kata-kata jahil Oshe
dengan gusar, mengepalkan tangan dan
membuat gerakan seakan ingin meninju Oshe

118
saat dilihatnya tawa Oshe malah makin keras.
“Kak Oshe, nggak lucu!”
“Emang, yang lucu kan muka lo!”
“Kak Oshe—”
Juni terkesiap ketika Oshe menangkap
kepalan tangannya, kemudian tatapan matanya
berubah serius. “Kenapa lo nggak balas chat
gue?”
“Hah… emangnya Kak Oshe nge-chat?”
“Iya. Malam minggu kemarin. Ini udah
Senin. Jangankan dibalas, di-read aja nggak.”
“Oh, maaf…” Juni jadi tidak enak hati.
“Kayaknya chatnya ketimbun sama groupchat
kelompok dan groupchat angkatan. Belum lagi
pesan broadcast dari OA.”
“Makanya dipaku dong.”
“Apanya?”
“Chat dari gue. Dipaku.”
“Hah?”

119
Oshe berdecak, malah mengulurkan
tangannya. “Mana sini, pinjam HP lo.”
“… buat apa, Kak?”
“Ngasih tahu apa yang dimaksud maku
chat.”
Ragu-ragu, Juni menyerahkan ponsel yang
tergenggam di tangannya pada Oshe. Dia tidak
pernah mengunci layarnya, merasa tidak ada
rahasia di sana. Oshe tergelak lagi waktu
melihat wallpaper ponsel Juni yang ternyata
adalah gambar karakter Baby Shark.
“Kenapa ketawa-ketawa?” Juni jadi malu
dibuatnya.
“Nope. It’s just you’re too cute.” Jari-jari
Oshe bergerak cekatan di atas layar ponsel,
beralih membuka aplikasi chat dan mem-pin
chat yang datang darinya, menjadikan chat itu
selalu berada di urutan teratas. “Parah banget
lo, chat dari gue dicuekin! Tapi sekarang

120
nggak lagi. See?” Oshe menunjukkan layar
ponsel pada Juni. “Sekarang, nggak peduli
siapapun yang nge-chat lo, chat gue akan
selalu berada di paling atas.”
“Hng… emang Kak Oshe nge-chat apa?”
“Ah ya, soal itu… ini tentang Advertorial
dan gue butuh bantuan lo.”
“Bantuan… apa?”
Oshe pun menjelaskan situasi yang tengah
dihadapi oleh Advertorial pada Juni. Mulai dari
Tirta dan Kanya yang mengalami kecelakaan
tidak terduga, kebingungan Johnny, deadline
artikel dan konten video yang sudah di depan
mata serta maksud Oshe meminta Juni menjadi
pengganti Kanya.
“Aku mana bisa kayak gitu, Kak!” Juni
spontan bereaksi.
“Nggak usah merendah! Gue tahu lo bisa.
Dulu di sekolah, lo pernah juara lomba story-

121
telling kan? Ngebawain konten mukbang pasti
nggak bakal susah buat lo.”
“Tapi mukbang kan beda sama story-telling,
Kak!” Juni membantah.
“Woiya, yang bilang sama emang siapa?”
Oshe mengangkat salah satu alis. “Story-telling
jelas lebih susah daripada mukbang. Nanti lo
tuh cuma perlu makan, terus komen-komen
atau gambarin dikit lah rasanya. Nanti gue
kirimin videonya Nex Carlos dah biar lo ada
referensi.”
“Kakak!”
“Iya, adek?”
Mulut Juni maju lebih panjang sesenti. “Iya,
emang bawainnya gampang, tapi aku takut
gugup di depan kamera!”
“Soal itu nggak usah khawatir.”
“Nggak usah khawatir gimana?”
“Lo nggak akan sendirian, ada gue.”

122
Pyarrrrrrrrrr…
Juni tahu, maksud Oshe ngomong begitu
tuh masih wajar alias dianya aja yang baper
kalau sampai bergetar hanya karena satu
kalimat singkat semacam itu. Tapi gimana ya,
ini yang barusan ngomong tuh Oshe. Seorang
Oshe, yang pernah Juni taksir berat jaman
sekolah. Kakak ganteng yang asyik dan baik,
yang sayangnya tidak akan pernah tergapai
oleh ubi Cilembu kayak Juni.
“Sa, lo denger gue nggak?”
“… denger.”
“Mau ya?”
“Tapi—”
“Please, mau? Gue nggak tahu harus minta
bantuan ke siapa lagi kalau bukan lo. Cuma lo
yang gue percaya.”
Bahaya cowok ganteng yang mulutnya
manis memang bisa lebih laten daripada

123
kombinasi satu kilo Ajinomoto dan Royco
dalam semangkuk sayur bayam.
Oshe menang, sebab Juni tidak kuasa
menolak.

124
Pengagum Rahasia
“Oh, jadi ini rasanya
cemburu, padahal memiliki
aja nggak.”
— Kak Diksa

***

“Juni!”
Butuh tiga kali berseru bagi Diksa untuk
membuat Juni menghentikan langkah dan
menoleh dengan alis terangkat heran. Hari ini
hari Senin. Pertemuan lanjutan untuk prosedur
teknis proses rekrutmen anggota baru Molvis
dilakukan. Sebenarnya, ini hanya formalitas
untuk mendapatkan data pribadi anggota yang

125
lebih lengkap, sih. Biasanya, Diksa ogah
datang untuk urusan-urusan yang menurutnya
kurang membutuhkan kehadirannya, namun
sekarang jelas berbeda. Hehehe.
“Kakak manggil saya?” Juni menunjuk
dirinya sendiri, tampak bingung.
Diksa meneruskan berjalan dengan salah
satu tangan terjejal ke saku celana. “Iya.”
“Nama saya Sasa, Kak. Bukan Juni.”
“Saya mau panggilnya Juni. Mulut-mulut
saya, suka-suka saya dong!”
“Ye, tapi kan yang punya nama dan yang
kakak panggil tuh saya!” Juni melipat tangan di
dada. “Lagian nama saya nggak ada juni-
juninya sama sekali, tau!”
“Saya mau panggilnya Juni.”
“Kenapa emangnya?”
Sebab kita pertama kali ketemu pada suatu
hari yang mendung di bulan Juni.

126
“Kependekan dari junior. Lo kan junior
gue.”
“Yaudah lah, terserah kakak aja!” Juni
menyerah, memilih membiarkan Diksa
memanggilnya semau cowok itu. “Kenapa
kakak manggil saya?”
“Kamis ini, Siri ulang tahun. Rencananya
anak-anak Molvis mau ngasih kejutan sekalian
bawain tumpeng ke kosannya. Lo bisa ikut
nggak?”
“Kamis ini, Kak?”
Diksa mengangguk.
Juni jadi tidak enak hati, karena jelas ini
berarti salah satu event penting pertama
diantara para anggota Molvis, meskipun
terhitung tidak resmi. Dia memang datang ke
sekretariat Molvis hari itu untuk menghindari
Oshe, tapi berhubung dia sudah diterima,
tentu dia tidak boleh setengah hati, kan?

127
“Kenapa?” Nada suara Diksa berubah
menyelidik ketika dia bertanya lagi, jelas
mampu melihat perubahan airmuka Juni yang
kentara.
“Rabu dan Kamis ini saya ada acara, Kak.
Beneran.”
“Acara apa?”
Juni berasa diinterogasi bokap, namun dia
juga tidak paham kenapa dia malah menjawab
dengan penuh kepatuhan. “Kakak tahu kakak-
kakak yang kemarin jemput saya di depan sini
nggak?”
Oshe, Diksa membatin. “Tahu. Dia satu
departemen sama saya.”
“Kalau gitu, tahu dong kalau Kak Oshe tuh
anak Advertorial?”
Diksa berusaha mati-matian menahan diri
supaya tidak mendengus. “Tahu.”

128
“Nah!” Juni menjentikkan jarinya.
“Advertorial ada liputan khusus buat konten
pojok kulinernya ke luar kota hari Rabu dan
Kamis nanti. Mumpung tanggal merah,
katanya. Kak Oshe bilang, dua orang yang
bertugas liputan tuh mendadak nggak bisa
lanjut bertugas soalnya kecelakaan motor
malam Minggu kemarin. Kak Oshe ngegantiin
lalu minta bantuanku.”
“Terus lo terima?”
Juni mengangguk.
“Liputannya dua hari dan ke luar kota?”
Diksa mengerutkan dahi. “Berarti nginep
dong?”
“Iya.”
Alarm tanda bahaya langsung berdering
keras dalam kepala Diksa. Bukan apa-apa ya,
tapi Oshe itu dikenal di kampus karena
reputasinya sebagai cowok ganteng yang

129
meski kelihatan dingin, punya segudang
nomor cewek dalam daftar kontak ponselnya.
Mendengar soal Oshe yang katanya sedang
pedekate dengan mahasiswi bara FEB dari
Christy saja sudah cukup bikin Diksa resah,
apalagi mengetahui fakta jika Juni bakal pergi
ke luar kota selama berhari-hari bersama
cowok itu.
“Lo sama Oshe doang?”
“Nggak, kan sama Kak Johnny juga.”
“Emang lo kenal Johnny?” Diksa terus saja
mendesak.
“Nggak, tapi kata Kak Oshe, Kak Johnny
orangnya baik, terus nanti aku dikenalin.” Juni
terkekeh, tapi tak lama dia menyadari airmuka
Diksa yang tampak cemas bercampur gusar.
“Kenapa, Kak? Apa ada aturan Molto Vivace
yang nggak membolehkan aku bantuin urusan
Advertorial?”

130
Diksa ingin bilang ‘iya’, tapi aturan itu tidak
pernah ada. Tentu saja, dia tidak bisa tiba-tiba
mencipta aturan fiktif hanya untuk
keuntungannya sendiri. “Nggak ada, tapi—”
“Tapi?” Juni mengangkat alis.
“Nggak apa-apa.” Diksa mengembuskan
napas, berusaha menata perasaannya. “Hati-
hati aja. Lo bakal keluar kota. Lo cewek sendiri.
Lo bakal nginep.”
“Aku percaya sama Kak Oshe, kok.”
“Nggak ada laki-laki yang bisa lo percaya,
terutama kalau urusannya udah ke luar kota
dan nginep.”
“Tapi kan aku kenal Kak Oshe dari aku
masih sekolah, Kak.” Juni sendiri tidak paham
kenapa dia merasa harus menjawab begitu.
“Nggak ngaruh. Intinya, lo harus hati-hati.
Jangan pake baju yang aneh-aneh. Jangan lupa

131
kunci pintu kamar. Jangan berduaan sama laki-
laki di satu ruangan yang sama.”
“Nanti yang ketiganya setan ya?” Juni jadi
merasa geli sendiri, soalnya dia tidak
menyangka Diksa yang kelihatannya segalak
itu bisa secerewet mama-mama saat akan
melepas anaknya pergi study tour sekolah ke
luar kota.
“Itu tau.”
“Siap, Kak!”
“Siap apa?”
“Nanti nggak boleh pake baju yang aneh-
aneh. Nggak boleh lupa kunci pintu kamar.
Nggak boleh berduaan sama laki-laki di satu
ruangan yang sama.”
“Yaudah.”
“Saya dimaafin kan nih, Kak, walau nggak
ikut ngasih kejutan ulang tahun untuk Kak
Siri?”

132
“Dimaafin tapi setengah doang.”
“Lah, kok gitu?!” Juni tersentak.
“Setengah maaf laginya dikasih kalau lo
udah balik dari luar kota dalam keadaan baik-
baik aja, nggak gompel sana-sini, nggak rusak,
nggak lecet, nggak luka.”
“Yeu, dikira saya barang pecah belah?!”
Diksa hanya memutar bola matanya.
“Tapi kakak kok peduli sampai segitunya
sih sama saya?” Niatnya Juni hanya bergurau,
tapi itu sukses bikin wajah Diksa memerah dan
Juni jadi bingung sendiri. “Kakak mukanya
merah amat! Kenapa? Sakit?” lalu dengan
sotoynya, Juni berjinjit buat menempelkan
tangannya ke dahi Diksa.
Diksa tersentak layaknya orang baru kena
api. Buru-buru, dia menyingkirkan tangan Juni
dari keningnya. “Gue nggak apa-apa!”

133
“Biasa aja dong, Kak.” Juni manyun. “Tangan
saya bersih kok, lagian yang ditempelin kan
tangan kanan, bukan tangan cebok!”
“Intinya gitu.” Diksa berdecak, berbalik
untuk memunggungi Juni supaya Juni tidak
bisa melihat wajahnya. “Lo baru dimaafin
setengah.”
“Iya, Kakak. By the way, Kak Siri sukanya
apa? Siapa tahu bisa aku bawain oleh-oleh.”
“Kalau mau bawain Siri oleh-oleh, lo harus
bawain semuanya oleh-oleh. Itu baru namanya
adil.”
“Yah, tekor dong saya kalau gitu caranya!”
“Yaudah, nggak usah bawa oleh-oleh aja
sekalian.” Diksa berdecak. “Udahlah. Ngomong
melulu. Gue mau pulang!”
Juni menggaruk kepalanya yang tidak gatal
sembari bergumam lirih agar tidak terdengar
oleh Diksa. “Lah, yang ngelarang dia pulang

134
juga siape? Perasaan dia yang dari tadi
omongannya kagak abis-abis…”

***

Pada hari yang telah ditentukan, sesuai


rencana Oshe dan Johnny sejak awal, mereka
menjemput Juni di kos-nya pagi-pagi sekali,
sebelum jam tujuh. Oshe sudah bilang agar
Juni tidak perlu sarapan sebab nanti mereka
bakal sarapan bareng di restoran enak yang
kebetulan akan mereka lewati. Juni sudah
menunggu di teras ketika mobil yang
dikemudikan Johnny tiba. Dia membawa koper
berukuran sedang berisi baju ganti dan
perlengkapan lainnya serta segenap perintilan
keperempuanan yang nantinya dia perlukan.

135
Oshe membantu membawakan koper Juni
untuk meletakkannya di bagasi, sedangkan
Johnny ikut turun buat berkenalan.
“Halo, kamu pasti yang namanya Sationa ya?
Saya Johnny.”
“Dipanggil Sasa aja juga bisa kok, Kak.” Juni
tersenyum sopan. “Salam kenal, Kak Johnny.”
“Oshe bilang, dulu lo pernah menang lomba
story-telling ya? Berarti jago dong kalau
menceritakan sesuatu di depan orang banyak.”
“Kak Oshe suka berlebihan emang!” Juni
tertawa gugup, tapi relaks kembali ketika Oshe
muncul usai menutup bagasi dan menjitak
pelan puncak kepalanya.
“Nggak usah sok merendah untuk meroket
ya lo!” Oshe berdecak. “Udahlah, kelar dulu
basa-basinya, nanti bisa dilanjut pas sarapan!”
Mereka pun meneruskan perjalanan,
sempat berhenti untuk sarapan bersama di

136
warung soto yang jadi favorit Johnny. Juni
sempat kaget sebab saat datang, mangkuk
soto miliknya bersih dari bawang goreng. Agak
mengherankan, karena Johnny yang memesan
buat mereka bertiga. Juni ragu cowok
jangkung itu sudah tahu soal kebiasaannya
yang tidak suka makan bawang goreng.
“Kok kakak tahu sih aku nggak suka
bawang goreng?” Juni iseng bertanya, soalnya
sudah terlanjur kepo juga. Dia berupaya agar
pertanyaannya tidak terdengar terlalu serius
dengan melontarkannya sambil tertawa
sekaligus meraih sendok dari wadah yang
berada di bagian tengah meja.
“Ada yang ngasih tahu.”
“Siapa?”
“Gue.” Oshe membalas.
“Kak Oshe masih inget?” Dulu waktu mereka
masih sekolah dan Oshe masih kakak kelasnya

137
yang terkenal di jagad raya sekolah karena
tampang tampannya, Oshe pernah beberapa
kali memergoki Juni memisahkan bawang
goreng dari soto, lontong sayur hingga nasi
uduknya kalau-kalau dia lupa memberi tahu
pada penjual makanan tersebut untuk tidak
menaburkan bawang goreng.
“Gue inget semua tentang lo.”
Ini tuh yang dinamakan baper segan,
santuy tak mau… Juni membatin dalam hati.
“Dia cewek keberapa yang lo sepikin kayak
gitu?” Johnny menukas jahil.
“Kalau hoki, mungkin yang ke-99.” Juni
membalas dengan wajah masam seraya meraih
sepotong kerupuk rambak dan menggigitnya.
Untung kerupuknya nggak anyep seperti
perasaannya saat ini.
“Bagus lah, jadi pelengkap.”
“Pelengkap doang?” Johnny memancing.

138
Oshe mendengus. “Bisa diem nggak?”
“Hehehe.”
Juni pura-pura sibuk dengan sotonya. Selain
karena dia tidak paham makna sesungguhnya
dari obrolan Johnny dan Oshe, juga karena dia
ogah dibuat kelimpungan sendiri oleh
celetukan-celetukan tidak bertanggung jawab
yang dikeluarkan oleh Oshe. Usai sarapan,
perjalanan kembali berlanjut. Sepanjang jalan,
Johnny dan Oshe mengobrol. Terkadang,
melibatkan Juni. Tetapi Juni sendiri juga lebih
banyak diam, fokus membuang pandang ke
luar jendela.
Waktu dua jam berkendara telah terlewati
tatkala Oshe meminta Johnny menghentikan
mobil di rest area terdekat karena dia ingin ke
toilet.
“Lo nggak mau ke toilet?” Oshe bertanya
pada Juni.

139
Juni menggeleng. “Nggak. Tadi kan aku
udah ke toilet waktu kita makan di warung
soto.”
“Lo?” Oshe berpaling pada Johnny.
“Ah, gue mah gampang, ngocor di mana
juga jadi.”
“Betul-betul manusia purba yang hidup
dalam masyarakat madani.” Oshe berdecak.
“Yaudah, tunggu sini.”
“Eits, She, tunggu!”
Oshe batal menutup pintu mobil kursi
penumpang di bagian depan. “Apa?”
“Kalau udah pipis, jangan lupa disiram.”
“Bangsat!” Oshe memaki, tapi tidak
mendebat Johnny lebih jauh soalnya dia juga
sudah beneran kebelet.
Hanya perlu beberapa detik untuk bikin
Johnny dan Juni terjebak hanya berdua saja di
dalam mobil. Johnny bersiul santai, ikut

140
bersenandung mengikuti lagu yang dialunkan
oleh pemutar musik bersuara rendah. Dia
membuka sedikit kaca mobil bagian
pengemudi sembari mengeluarkan kotak rokok
dari saku jaketnya. Tapi kemudian matanya
jatuh pada rear-view mirror, tersadar Juni
masih berada di kursi belakang. Otomatis,
Johnny batal mengeluarkan rokok, malah
memasukkannya lagi. Agaknya, Juni menyadari
itu.
“Kalau mau ngerokok, ngerokok aja, Kak.
Aku nggak apa-apa, kok.”
“Nggak deh.”
“Jangan gitu, akunya malah nggak enak.
Lagian kan asapnya juga langsung ke luar
jendela.” Juni malah merasa tidak enak hati.
“Nanti ada yang marah kalau gue
ngerokok.”

141
“Kak Oshe? Alah, Kak Oshe juga pernah
berapa kali ngerokok pas ada aku, kok.”
“Bukan Oshe.”
“Terus siapa?” Juni jadi heran.
“Ada, deh.” Johnny justru sok main rahasia-
rahasiaan, lantas menanyakan sesuatu yang
sama sekali berbeda. “Sa, boleh nanya nggak?”
“Mm… asal bukan integral sih nggak apa-
apa, Kak.”
“Ah, you’re funny, maybe that’s why he
likes you.”
“Hah?”
Johnny menggeleng. “Nggak, nggak apa-
apa. Mau nanya aja, lo kenal sama Diksa
nggak?”
“Hah?”
“Diksa Gama Yudhistira. Seangkatan dan
sedepartemen sama Oshe. Bentar lagi jadi
mantan kahim dia, udah mau lengser.”

142
“Oh, Kak Diksa tuh kahim?!”
“Lah, lo nggak tahu?”
Juni menggeleng. “Waktu itu sempet
ketemu sih secara nggak sengaja. Aku lagi
mau verifikasi data dan paperbag punyaku
robek. Isinya berantakan di parkiran, terus
dibantuin sama Kak Diksa. Dia juga seniorku di
Molvis.”
“Lo anak Molvis?”
“Baru diterima kok, Kak.”
“Berarti suara lo enak didenger dong
hahaha.” Johnny tertawa. “Pengen deh gue
suruh nyanyi, tapi nggak ah, takut ada yang
marah.”
“Kak Oshe nggak bakal marah.”
“Yang gue maksud tuh bukan Oshe.” Johnny
terlihat geli, tapi kentara sekali menikmati
karena dia mengetahui sesuatu yang tidak Juni
ketahui. “Dekat nggak sama Diksa?”

143
“Biasa aja, sih.”
“Biasa aja gimana?”
“Kita beberapa kali ngobrol. Kak Diksa
kelihatannya galak, jadi sengaja aku canda-
candain aja. Katanya tuh orang galak, kalau
kita seriusin bisa makin galak.” Juni tersenyum
sedikit. “Tapi ini kenapa tiba-tiba nanyain Kak
Diksa ya? Apa hubungannya sama aku atau Kak
Johnny atau Kak Oshe?”
“Nggak apa-apa. Nanya doang. Diksa juga
teman gue soalnya.”
“Wah, beneran?!”
“Iya. Dulu pernah sekelas pas kelas satu
SMA.”
“Sohib kental dong?”
“Bisa dibilang begitu, walau nggak kental-
kental amat soalnya kita lebih sering cekcok
daripada rukun.” Johnny membenarkan,
separuh bergurau.

144
Percakapan diantara mereka terhenti
sewaktu ponsel Johnny mendadak meraung.
Cowok itu mengeluarkan ponselnya, membaca
sekilas nama kontak penelepon yang tertera
sebelum bergerak keluar dari mobil. Dia
sengaja mencari tempat yang agak jauh,
memastikan Juni tidak bisa mendengarnya.
Setelah itu, barulah dia mengangkat telepon
yang masuk. Itu Diksa.
“Lagi di mana lo?”
“Weits, santuy Pak Kahim!” Johnny
mengejek seraya menahan tawa. “Lagi di rest
area. Oshe beser kayaknya, kebanyakan
minum es cendol.”
“Gue nggak nanyain Oshe. Dia gimana?”
“Sehat, sentosa, Puji Tuhan luar biasa!”
Johnny menjawab dengan tidak serius, makin
senang kala didengarnya Diksa mendengus di
seberang sana. “Udah makan, udah ngemil,

145
tidak sedang menahan pipis. Tadi gue hampir
nyebat di deket dia.”
“HEH!”
“Tapi nggak jadi soalnya gue inget gimana
seremnya lo pas murka.”
“Bagus.”
“Lo naksir ya sama dia?”
“Bukan urusan lo.”
“Sayangnya, dia kelihatannya nggak naksir
sama lo. Ketika gue tanya deket apa nggak
sama lo, katanya nggak.”
“Emang nggak deket.”
“Hah, gue kira kalian udah ce-es ampe-ampe
lo ngewanti-wanti gue buat jagain dia baik-baik
dari segala marabahaya dan buaya selama kita
di luar kota!” Johnny jadi heboh sendiri karena
seingatnya, Diksa jarang sekali tampak
sepeduli itu pada perempuan, apalagi yang ini

146
statusnya adik tingkat dan masih mahasiswa
baru.
“Nggak usah ngorek-ngorek informasi.
Pokoknya, jagain dia.”
“Iye.”
“Jagain dia baik-baik. Inget loh!”
“IYE IH!”
“Yaudah.”
“Cuma gitu doang—what—” Johnny
mengerjap saat Diksa mematikan telepon
tanpa unggah-ungguh terlebih dahulu. Dia
menurunkan ponselnya dari telinga, menatap
kesal pada layar yang kini gelap. “Emang
beneran nggak ada akhlaknya ya ini orang!”
Namun Johnny tidak diberi waktu lebih lama
karena dari kejauhan, dia melihat Oshe sedang
berjalan menuju mobil bersama sekantung
plastik snack yang sudah pasti baru
dijemputnya dari minimarket yang memang

147
berada tidak jauh dari toilet umum. Tergesa-
gesa, Johnny kembali ke mobil.
“Ngapain lo tadi keluar?” Oshe bertanya
sambil masuk ke mobil dan duduk usai dia
membuka pintu.
“Nerima telepon.”
“Telepon siapa?”
“Kanya.” Johnny sengaja berbohong soalnya
ya kali berterus terang?! Bisa gonjang-ganjing
nanti dunia pertaekwondoan.
“Oh.” Oshe hanya membalas sekenanya, lalu
mengaduk-aduk isi kantung plastik dan baru
berhenti setelah jemarinya menemukan satu
strip vitamin. Cowok jangkung itu
memberikannya pada Juni yang duduk di
belakang. “Nih, buat lo!”
“Apaan?”
“Tepung terigu.” Oshe menukas seraya
memutar bola mata.

148
“Ih, Kak Oshe mah suka gitu!” Juni protes.
“Lagian, udah tahu itu vitamin, kok masih
ditanya.” Oshe berdecak. “Minum deh.
Perjalanan masih sekitar dua jam lagi, itu juga
kalau nggak macet. Gue nggak mau lo nggak
enak badan karena kurang fit atau kecapean,
apalagi sampai sakit.”
“Iya, iya.”
Johnny tidak turut serta bicara. Hanya saja,
matanya mengamati semuanya. Ini menarik,
begitu pikirnya. Dia tahu Oshe itu orang yang
seperti apa. Dia juga mengerti bagaimana
karakter seorang Diksa.
Akan tetapi, dia tidak pernah menduga jika
akan datang hari dimana keduanya menyukai
gadis yang sama.
Setidaknya, begitulah dugaan sementara
Johnny untuk saat ini.

149
Roti Bakar
“Roti bakar cokelat-keju bisa
seenak ini. Efek dingin apa
karena yang nemenin beli
ya?”
— Dek Juni

***

Fakta tentang Diksa yang meminta Johnny


menjaga Juni sekaligus mengawasi tingkah-
laku Oshe selama mereka bertiga melakukan
liputan Advertorial di luar kota tetap jadi
rahasia, sebab Diksa sudah mewanti-wanti
pada Johnny jika skandal diantara mereka
sampai bocor, maka reward yang Diksa

150
janjikan akan dibatalkan. Untung saja, Johnny
tergolong orang yang bisa dipercaya. Coba
saja kalau Ikhsan yang ada di posisi Johnny,
sudah pasti keesokan harinya kehebohan telah
menjangkiti penjuru kampus seperti wabah
penyakit.
Namun yah, Johnny tidak bilang apa-apa
soal Oshe yang menurutnya menyimpan
perasaan pada Juni. Terlebih lagi, rasa yang
Johnny maksud adalah sesuatu yang tak
disangkanya bisa ditemukan pada diri seorang
Oshe dengan reputasi yang… begitu lah. Oshe
tampaknya menyayangi Juni dengn tulus. Tapi
siapalah Johnny ikut campur pada urusan
asmara orang lain? Dia mah cukup tahu aja,
terus memilih jadi penonton. Soalnya apa ya…
di mana-mana juga masih lebih seru jadi
penikmat ketubiran daripada pelaku
pertubiran.

151
Segalanya berjalan sebagaimana yang
sudah Johnny dan Oshe targetkan. Artikel dan
konten video Advertorial berhasil naik tepat
waktu. Juni senang bisa membantu, walau
kemudian dia dipusingkan oleh lonjakan
followers akun media sosialnya yang
meningkat drastis. Mayoritas cowok menjadi
pengikut akunnya karena merasa dia cantik
dan menyegarkan mata—terus sikap Juni yang
santai, asyik tapi tetap sopan di depan kamera
juga berhasil memikat hati para pria. Ahaide,
dangdut pisan. Sedangkan alasan sebagian
besar followes baru Juni yang cewek-cewek
berbeda lagi. Mereka bertanya-tanya, siapa
kiranya rakyat Bumi yang dengan
beruntungnya mendapatkan usapan di sudut
bibir dari sesosok makhluk yang meski bredi
alias brengsek-dikit seperti Oshe.

152
By the way, iya, pas mereka filming untuk
konten video mukbang, sempat ada noda
makanan yang tertinggal di sudut bibir Juni.
Lalu dengan refleksnya, Oshe menarik sehelai
tisu dari kotak di atas meja. Dia membersihkan
noda itu tanpa aba-aba, bikin Juni terperangah
dan selama sesaat, mereka serasa berada
dalam ftv yang mana mereka lah pemeran
utamanya.
Dikarenakan Johnny tidak suka semua
orang rukun-rukun saja, tentu dia tidak
memotong bagian video yang itu—malah
sengaja memberikan backsound dan efek slow-
motion sedemikian rupa untuk mengarahkan
fokus penonton.
Memang, selain jago fotografi, Johnny juga
berbakat melakukan evil-editing.
Juni kelimpungan, sampai akhirnya dia
memutuskan untuk menutup akun

153
Instagramnya. Khalayak ramai kecewa. Cowok-
cowok merasa kurang bahan penyegaran
timeline. Cewek-cewek kesal karena upaya
kepo-kepo-berujung-stalking mereka seperti
dipersulit.
Diksa termasuk yang dibuat kesal soal akun
Juni yang mendadak hilang. Gimana ya…
anggota komunitas tsundere-malu-malu-
kucing-tapi-napsu-serakus-anjing macam dia
tentu jadi kehilangan sumber untuk tahu info
terbaru tentang Juni. Enaknya, Juni tuh bukan
tipe orang yang suka pasang gembok di akun
media sosialnya. Jadi Diksa bisa lancar mencari
info teranyar layaknya sedan yang meluncur di
jalan bebas hambatan.
Tapi dipikir lagi, ada baiknya juga Juni
tutup akun. Biar para buaya kampus nggak
punya tempat ngepoin Juni. Cukup Diksa aja
yang naksir sama dia, yang lain jangan.

154
Senangnya, akhir pekan ini seluruh anggota
Molvis akan cabut ke luar kota buat
melaksanakan makrab rutin tahunan. Makrab
ini merupakan kependekan dari istilah malam
keakraban, yang digunakan untuk menyebut
sesi orientasi mahasiswa baru oleh senior.
Departemen, himpunan mahasiswa maupun
UKM biasanya melakukan acara semacam ini
untuk menjalin keakraban antara senior
dengan anggota baru yang umumnya adalah
junior-junior. Dan tidak, rangkaian kegiatan
yang dilakukan (seharusnya) tak seperti ospek.
Apa yah, makrab itu untuk seru-seruan dan
membantu bonding saja. Soalnya, untuk bisa
berkoordinasi dengan baik dalam suatu
organisasi, tentu diperlukan kekompakan dan
hubungan yang baik antar anggotanya.
Biasanya, Diksa sering skip dari acara-acara
seperti itu. Dia tidak terlalu suka kehilangan

155
privasi dengan berbagi kamar bersama
beberapa orang sekaligus. Tapi untuk makrab
tahun ini, dia mengikutinya dengan senang
hati. Jawabannya? Oh ya jelas, Juni.
“Lo beneran naksir sama anak baru itu ya?!”
Siri bahkan sampai bisa menyadari perubahan
suasana hati Diksa yang jadi kian riang seiring
dengan makin dekatnya akhir pekan. “Siapa
tuh namanya? Sationa kan kalau nggak salah?”
“Apaan sih?!”
“Nggak usah coba-coba bohong sama gue
ye lu, Marmut!” Siri berseru. “Dari awal liat data
tuh anak, gue udah nyadar gerak-gerik lo
emang nggak wajar!”
“Nggak wajar gimana?”
“Itu lah, kayak buaya mau mencari mangsa.”
“Gue bukan buaya!”

156
“Oiya, lupa. Lo mah masih biawak, lagi
dalam perjalanan jati diri untuk menjadi
buaya.”
“Hahahaha lucu….” Diksa tertawa garing.
Dia tidak peduli sih ya. Semua orang bebas
berkata apa. Satu yang jelas, melihat Juni lebih
lama saja sudah bisa membuat hatinya terasa
ringan.
Inikah yang namanya cinta oh inikah cinta
seperti lirik lagu legendaris yang bahkan Diksa
tidak tahu siapa penyanyinya itu?
Boleh jadi.

***

Mereka berangkat ke luar kota menuju villa


yang telah disewa untuk tiga malam
menggunakan bus, dikarenakan anggota
Molvis ada cukup banyak. Villa yang disewa

157
juga cukup besar, memiliki kolam renang luas
di bagian tengahnya dan berada diantara pusat
keramaian. Di malam hari, suka ada banyak
pedagang kaki lima mangkal di seberangnya.
Tidak heran, sebab di sekitar villa tersebut
juga terdapat beberapa hotel, baik yang
berbintang empat maupun yang sekelas hotel
budget.
Hari pertama sih kegiatan mereka nggak
jauh-jauh di sekitar villa. Pada ngumpul dekat
kolam renang terus bakar-bakaran, bikin ayam
bakar dan minumnya nggak jauh-jauh dari
soda atau teh dalam karton ukuran seliter.
Kalau ditambahin terompet sama kembang api,
pasti udah jadi malam perayaan tahun baru
ala-ala. Juni lebih banyak ngumpul sama anak-
anak cewek, bergantian mengisi pitcher yang
cepat banget kosongnya atau memastikan nasi

158
sudah masak. Anak-anak cowok termasuk
Diksa alih profesi jadi tukang sate malam ini.
Sembari makan, mereka mengobrol
mengelilingi api unggun lalu memainkan
sedikit games. Siri sempat memaksa Diksa
tampil ke depan untuk bernyanyi, sebetulnya.
Dari sekian banyak anggota Molvis, Diksa
adalah satu dari beberapa yang bisa saja jadi
penyanyi solo jika dia mau. Saat bernyanyi,
suaranya bagus dan terkontrol. Tapi Diksa
menolak, malah sok sibuk menggigiti daging
dari tusuk satenya.
Mereka membubarkan diri menuju kamar
tidur yang telah ditentukan menjelang malam.
Beberapa senior memutuskan nongkrong dulu
di depan, sekalian memastikan tidak ada junior
mereka yang keluar dari villa lalu berceceran
kemana-mana. Diksa sedang duduk bersama
Hanif sambil merokok saat dia melihat

159
beberapa cewek berjalan menuju pelataran
depan villa hanya dengan mengenakan piyama.
“Lah, mau ngapain tuh ciwi-ciwi?” Hanif
bereaksi, lalu menoleh pada Diksa. “Itu bukan
sih yang kata Siri junior kesayangan lo?”
“Nggak usah ngada-ngada!” Diksa
mendengus, tapi dia buru-buru mematikan
rokoknya kala dia melihat bahwa memang
benar, Juni termasuk salah satu diantara
mereka. Tampaknya, cewek-cewek itu tidak
menyadari keberadaan Diksa dan Hanif.
Mereka memang nongkrong di tempat yang
agak tertutupi bayang-bayang sih. Selain itu,
bagian depan villa juga sepi sebab hanya Hanif
dan Diksa yang berjaga di sana.
“Tapi ini beneran nggak apa-apa, Sa?”
“Nggak apa-apa!” Juni berujar dengan
sepenuh keyakinan. “Lagian mamang roti
bakarnya juga deket kan di seberang villa ini!

160
Tinggal nyeberang aja kita tuh! Terus masa iya
bakal ada yang jaga? Ini makrab dan kita udah
mahasiswa. Dikiranya darmawisata sekolahan?”
“Yaudah kalau gitu!”
Mereka bergerak mendekati pagar sambil
mengobrol lagi dengan suara rendah karena
waktu tengah merambat menuju dinihari. Juni
berada di depan, nyaris mencapai pagar saat
Diksa menghampirinya dalam langkah-langkah
lebar. Cowok itu berhenti di dekat Juni,
membikin terkesiap beberapa anak cewek
lainnya.
Diksa mengabaikan respon mereka.
Wajahnya dingin saat dia menjejalkan kedua
tangan ke saku jaket biru gelap yang dia pakai.
“Mau ke mana?”
Juni tersentak, spontan menoleh hanya
untuk dibuat terperangah kaget beberapa
lama. Teman-teman ceweknya punya respon

161
berbeda. Kepanikan luar biasa mewarnai wajah
mereka. Bukan apa-apa, ini baru hari pertama
makrab, tapi Diksa telah mencatatkan
pencapaian sebagai senior paling ditakuti gara-
gara mukanya yang dingin, sikapnya yang
diam dan celetukannya yang sering terlalu
pedas.
Tetapi Juni paham bahwa buat menghadapi
orang galak, dia harus jadi manusia santuy.
“Mau beli roti bakar di seberang, Kak.”
“Kamu tau nggak sekarang jam berapa?”
Sisi slengean Juni tidak bisa tinggal diam.
“Kurang tau, Kak. Soalnya lagi nggak pake jam
nih. Tapi udah malam sih kayaknya, soalnya
nggak ada matahari.”
“Udah tau aturan jam malamnya?”
Pada poin ini, kasarnya, teman-teman Juni
telah berlindung di balik punggung Juni.

162
“Udah, tapi kan saya laper, Kak. Makan
malam tadi mah kurang. Hehehe.”
“Saya nggak mau dengar alasan ya.”
Juni cemberut, sebab tingkah tengilnya
tidak direspon baik oleh Diksa. Dia menyerah,
sebab diam-diam dia juga cemas bakal
membawa masalah kepada teman-temannya.
Akhirnya, Juni memutar langkah. Tapi dia
belum lagi sempat bergerak saat suara Diksa
menyela.
“Mau ke mana kamu?”
“Balik ke dalam, Kak.”
“Oh, jadi sekarang udah nggak laper?”
“Masih, tapi kan kakak bilang tadi, ada
aturan jam malemnya.”
“Yaudah.”
“Yaudah kalau gitu, Kak.”
Diksa berdeham. “Maksud saya, yaudah sini
saya temenin beli roti bakarnya.”

163
Teman-temannya Juni saling berpandangan
yang jika diterjemahkan, bisa bermakna;
inikah saatnya kita bilang ‘icikiwirrrrrr’?
Juni speechless, tapi terus happy soalnya dia
merasa siasatnya menjadi manusia santuy
berhasil. Mereka pun lanjut membeli roti
bakar, dengan catatan, yang beli roti bakar Juni
aja. Teman-temannya Juni menunggu di depan
villa, di bawah pengawasan Hanif yang
langsung gencar tebar pesona. Kapan lagi gitu,
brur? Lagian namanya juga usaha. Siapa tahu,
iseng-iseng berhadiah. Berawal dari makrab,
berakhir di atas kasur—haha nggak deng,
maksudnya bermula dari makrab, berlabuh di
pelaminan.
Hasek.
“Ini bukan siasat kakak aja kan
sebenarnya?” Juni bertanya saat dia dan Diksa

164
melangkah menyusuri tepi jalan hanya berdua
saja.
“Siasat gimana—eit, itu ada lubang, jalannya
lihat-lihat—haduh, bisa jantungan gue jalan
sama lo.” Diksa memutar bola mata. “Bisa
nyeberang nggak?”
“Bisa lah!”
“Kirain. Banyak cewek yang panikan terus
nggak bisa nyeberang kalau udah mau lewatin
jalan besar soalnya.”
“Sebenarnya mah yang bener tuh banyak
cewek yang sok panikan biar diseberangin
sambil digandeng tangannya. Gitu.”
“Lo mau digandeng?”
“Sama kakak? Nggak deh, makasih!” Juni
menolak mentah-mentah. “By the way, tadi
perasaan udah saya-kamu deh ngomongnya,
kok sekarang jadi lo-gue lagi sih?!”
“Tadi banyak orang.”

165
“Dih, pencitraan.”
“Suka-suka gue lah, kan gue yang manggil!”
Diksa berseru jutek. “Jadi pacar gue dulu kalau
mau pake saya-kamu-an.”
“Dih, nggak gitu lah! Kalau pacaran mah
bukan saya-kamu, tapi ayang-mbep!”
“Emang lo mau jadi pacar gue?”
“Nggak.”
“Yaudah.”
Sibuk cekcok, tanpa sadar mereka telah tiba
di gerobak penjual roti bakar yang mereka
tuju. Mamang roti bakarnya adalah seorang
lelaki setengah baya berlogat sunda yang
gemar bercanda. juni mengatakan jenis roti
bakar apa yang mau dia pesan, dilanjut si
mamang yang kontan cekatan
membuatkannya.
Diksa dan Juni menunggu seraya duduk di
bangku plastik. Sayangnya, bangku plastik

166
yang Juni duduki telah gompal di bagian kaki.
Cewek itu belum lagi lima menit duduk di sana
ketika bangkunya meleyot, bikin Juni nyaris
jatuh dan tersungkur di tanah.
“Aih, hampura, Neng Geulis. Emang eta
bangku teh udah menyedihkan pisan. Mau
mamang cariin bangku lain nteu? Nanti
mamang pinjem bangkunya si Pardi tukang
jagung bakar eta tah—”
“Eh, nggak usah, Pak.” Juni jadi tidak enak
hati dan lagipula, sebentar lagi pesanan roti
bakarnya selesai dibuat.
“Duduk sini.” Diksa beranjak, memberikan
kursinya pada Juni.
“Nggak usah, Kak—”
“Du-duk.”
Juni kicep, akhirnya menurut karena nggak
enak juga dong kalau mereka mesti debat di
depan tukang roti bakar beserta para

167
jajarannya alias mamang-mamang pedagang
makanan lainnya. Juni duduk, sedangkan Diksa
berdiri di sebelahnya. Dalam posisi tersebut,
perbedaan tinggi badan mereka jadi terlihat
lebih jelas.
“Neng Geulis hoki pisan nih punya pacar
meuni jentelmen jiga si Aa.”
Juni tersenyum sedikit, agak malu hingga
ponselnya tiba-tiba berbunyi, menjeritkan
notifikasi chat WhatsApp baru yang ternyata
datang dari ibunya. Juni jadi terlalu sibuk
membalas pesan itu hingga tidak sadar bahwa
Diksa tak membantah kata-kata mamang
penjual roti bakar itu.

168
Baby Shark
“Katanya, cemburu itu tanda
sayang. Karena itu… coba
sekali aja… cukup sekali…
tunjukkin ke gue kalau lo
cemburu.”
— Kak Oshe
***

Rangkaian acara makrab untuk para


anggota Molto Vivace berjalan lancar. Hari
kedua diisi dengan aneka permainan dan
lomba-lomba untuk seru-seruan. Juni sih
senang-senang aja, meski sepanjang acara, dia
berusaha menghindari Diksa. Nggak tahu

169
kenapa ya, setelah kemarin malam, situasinya
jadi kerasa awkward—atau mungkin, hanya
Juni saja yang begitu. Habisnya, Diksa bukan
hanya bayarin roti bakar pesanan Juni (yang
sumpah, jumlahnya sepertinya bisa ngasih
makan satu RT) tapi juga sebelum Juni balik
masuk ke villa, Diksa sempat memanggil.
“Oy!”
“Iya, Kak?”
“Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan dan baca
doa sebelum tidur.”
“Siap, Kak! Ada lagi?”
“Jangan coba-coba menyelinap ke luar lagi.”
“Siap, Kak! Ada lagi?”
“Jangan mimpiin gue.”
“Kak Diksa—”
“Hoh?”
“Tolong munduran, soalnya kakak ge-ernya
kelewatan.”

170
“Siapa tahu.” Diksa berdecak, sengaja buang
muka saat lanjut bicara supaya Juni tidak bisa
melihat ekspresi wajahnya. “Lo baper karena
gue temenin beli roti bakar.”
Juni nggak menyangka kalau seorang Diksa
Gama Yudhistira yang dikenal sejutek itu
diantara anak-anak Molvis, yang katanya salah
satu kahim paling strict di himpunan
mahasiswa departemennya bisa bercanda
receh dan tahu akan eksistensi kata baper. Juni
ingat, dia tergagap, lalu buru-buru masuk
diiringi lambaian awkward ke arah Diksa.
Jika mengikuti rundown yang telah dibuat,
mereka akan pulang dan meninggalkan villa
selepas jam makan siang. Waktu makan siang,
Juni sengaja mepet-mepet teman-teman
ceweknya. Bukannya kepedean apa gimana ya,
dia hanya khawatir saja jika dia sampai
sendirian, Diksa akan mendadak

171
menghampirinya. Juni sendiri tidak tahu
kenapa dia merasa mesti melakukan itu. Tapi
daripada terjebak dalam situasi awkward yang
tidak disukainya, Juni lebih memilih cari aman.
Habis makan siang, semua orang ribet
mengambil koper atau tas punggung mereka
dari dalam villa untuk dipindahkan ke bagasi
bus. Juni termasuk salah satu diantaranya.
Mana lagi dia sempat sibuk mencari bobby pin
untuk menjepit rambut di tepi wajahnya biar
tidak jatuh menyentuh alis dan tepi mata. Juni
lupa meletakkan kotak berisi bobby pin
miliknya, jadi mau tidak mau dia mesti
membongkar koper.
“Sa, cepetan! Udah mulai diabsenin tuh
sama Kak Hanif! Lo juga belom drop bagasi!”
salah satu teman Juni memperingatkan.
“Iya—iya—bentar—” Juni batal langsung
memasang bobby pin ke rambutnya, malah

172
menutup kembali koper dan cepat-cepat
berlari keluar sambil menyeretnya. Dia terlalu
terburu-buru, membuatnya tidak fokus ketika
melangkah. Situasi diperparah oleh ujung
sepatunya yang tiba-tiba tersangkut ke
cekungan perkerasan paving block yang tidak
rata. Juni tersandung, hampir tersungkur tapi
untungnya cepat berpegangan pada gagang
kopernya. Sebagai gantinya, malah kotak berisi
bobby pin di tangannya yang lain yang jatuh.
Kotak itu terbuka, isinya berceceran begitu
saja.
“Yah… jatuh… huhuhu…” Juni spontan
berseru, membikin sejumlah senior cowok
menoleh padanya. Suara Juni yang terdengar
cute dan manja berhasil memicu tawa mereka.
“Anjrit, Sasa!” Teman Juni berseru lagi,
lantas merendahkan suaranya ketika dia
meneruskan ucapannya sembari membantu

173
Juni mengumpulkan jepit yang tercecer. “Lo nih
ya, makin buru-buru makin ada aja
masalahnya! By the way, sampe dilihatin Kak
Diksa tuh! Jangan nengok ke orangnya tapi ya,
nanti—”
Terlambat, Juni justru langsung menoleh ke
satu arah dan…
Dia mendapati Diksa tengah menatapnya
dengan senyum tertahan.
Juni bertanya-tanya, apakah ini efek dari
sebotol air Le Minerale yang dipegang oleh
Diksa atau memang seniornya itu punya
senyum yang manis?
Haduh… apa sih yang sebenarnya tengah
dia pikirkan?
“Kak Diksa kayaknya naksir lo ya…”
“Yaudah.”
“Yaudah apa?”

174
“Yaudah, biarin.” Juni berusaha cuek,
kembali beranjak setelah semua jepitnya
terkumpulkan dengan rapi di dalm kotak.
“Kok biarin?”
“Masa mau gue larang? Lagian nih ya, gue
tuh anaknya emang mudah ditaksir.”
“Idih, najong! Tapi ya terserah sih. Asal
jangan naksir balik aja lo-nya. Kalau bisa.”
“Emang kenapa?”
“dia tuh terkenal galak, sadis dan udah
nggak kehitung tuh barisan sakit hati anak
praktikum yang dia bikin mewek cirambay di
mata kuliah yang dia asdosin di
departemennya! Jadi pacar dia mah sama aja
minta dimaki setiap hari!”
“Dih, sotoy!”
“Ehhh… nggak percaya!” Begitulah gosip,
makin digosok makin sip. “Dia tuh saking
galaknya ya… cewek-cewek udah sieun duluan

175
sebelum nge-fans. Boro-boro jadi pacar, baru
lihat-lihatan aja udah dipelototin berasa mau
disedot ubun-ubunnya.”
Juni terdiam, namun tergerak untuk kembali
melihat ke arah Diksa.
Dan ternyata… cowok itu masih
menatapnya.

***

Bus sempat berhenti di rest-area karena


seperti biasa, banyak diantara mereka yang
perlu ke toilet. Ada juga yang butuh keluar
sejenak dari bus buat menghirup udara segar
atau jajan es Milo yang nggak beda jauh dari
mi instan, lebih enak kalau dibikinin daripada
bikin sendiri. Tadinya sih Juni mau stay aja di
dalam bus, soalnya masih rada malu pasca
kepergok hampir jatuh di pelataran depan villa

176
gara-gara buru-buru lari sembari menyeret
koper. Tapi menjelang akhir, kok ya tiba-tiba
kebelet mau ke toilet.
Sempat mau ditahan, tapi sebagai insan
yang sudah pernah terjebak macet dalam
kondisi kebelet pipis di Cibubur, Juni tidak bisa
mengambil risiko.
“Mau kemana lo?” Teresa, temannya
bertanya saat melihat Juni berjalan menuju
pintu bus.
“Toilet.”
“Dari tadi orang mah!”
“Kerasanya baru sekarang!”
Teresa hanya berdecak, tidak berkomentar
lebih jauh sebab Juni juga sudah berlari keluar
dari pintu bus. Juni berusaha cepat-cepat,
soalnya dia sempat melihat ke arah tempat
para pedagang yang jual jajanan dan tempat
itu telah mulai sepi. Orang-orang yang tadinya

177
ke toilet juga telah kembali. Juni tahu, kecil
kemungkinan dia bakal ditinggal di rest area,
tapi bukan tidak mungkin kan itu terjadi?
Juni kian ketar-ketir setelah dia balik dari
toilet dan kondisi rest area telah bersih dari
batang hidung anak-anak Molvis. Dia
mengedarkan pandang ke sekeliling, berusaha
mengingat-ingat pelat nomor busnya ketika
sebuah suara terdengar menegurnya.
“Kalau mau ke toilet tuh dari tadi!”
Spontan, Juni menoleh dan disambut oleh
sosok Diksa yang sedang bersandar di tembok
tak jauh dari tempatnya berdiri. Satu tangan
cowok itu terjejal ke saku celana, sementara
tangannya yang lain memegang sebuah cup
berisi es Milo.
“Yah… kan baru kerasanya sekarang, Kak!”
“Kalau ketinggalan gimana?”
“Ya ketinggalan.”

178
“Udah, buru ayo ke bus!”
“Kakak ngapain ke sini? Mau ke toilet juga?
Kalau iya, nggak apa-apa biar gantian saya
tungguin nih!”
Diksa berdecak, menarik punggungnya dari
tembok dan malah menyodorkan minuman di
tangannya pada Juni. “Nih.”
“Apaan nih, Kak?”
“Es Milo.”
“Hah?”
“Buat lo.”
“…”
“Kalau nggak mau yaudah.”
“Siapa yang bilang nggak mau?! Sini!” Juni
jadi ikutan nge-gas kan gara-gara di-gas
melulu. Dia menerima minuman yang Diksa
berikan. “Ini nggak dikasih obat bius kan,
Kak?”
“Lo kira gue cowok apaan?”

179
“Cowok galak?”
Diksa mendengus. “Heran, deh. Kalau ke
kamar mandi tuh cari teman. Jadi seenggaknya
kalau ketinggalan ya lo nggak sendirian amat
gitu. Hampir aja tadi kita cabut tanpa lo.”
“Teresa tahu saya ke kamar mandi kok,
Kak!”
“Iya, tapi anaknya keasikan dengerin musik,
nggak ngeh kalau kita mau berangkat.”
“Terus yang ngeh saya belom masuk bus
siapa, Kak?”
“Gue.”
Juni kicep, refleks langkahnya jadi
melambat, membuat Diksa berada di depannya
hanya dengan mengayunkan beberapa langkah
saja. Diksa menyadari itu. Dia berhenti,
menoleh ke belakang, pada Juni.
“Nggak usah baper.”
“SIAPA YANG BAPER?!”

180
Padahal yah, dikit sih ada.

***

Satu yang patut disyukuri adalah perjalanan


pulang tidak diwarnai oleh drama kemacetan.
Mereka kembali diturunkan di titik kumpul,
yaitu halaman depan gedung Student Center.
Tak butuh waktu lama, anak-anak Molvis
pulang ke kos atau rumah masing-masing. Ada
yang bersama teman atau menggunakan jasa
ojek online. Juni termasuk yang hendak
mengambil opsi kedua. Dia baru saja
mengeluarkan ponselnya dan berniat
membuka aplikasi ojek onlinenya saat lagi-lagi
suara Diksa terdengar, berhasil membuat
terkejut.

181
“Kak, bisa nggak sih kalau muncul tuh ada
tanda-tandanya gitu?! Jantungan saya dikagetin
melulu!”
Diksa mengabaikan protes Juni. “Balik sama
siapa lo?”
“Dijemput.”
“Dijemput siapa?”
“Nggak tahu nih kan belum pesen.”
“Nggak usah.”
Juni berhenti menarikan jari-jarinya di layar
ponsel. “Nggak usah gimana?”
“Abang drivernya diganti gue. Gimana?”
“Oh, kakak nyambi nge-gojek juga nih
maksudnya?” Juni manggut-manggut. “Nggak
apa-apa, sih. Bentar, saya lihat tarifnya dulu di
aplikasi—”
Diksa mendengus. “Gue nggak nyambi jadi
driver online. Maksud gue, lo balik bareng gue
aja. Gue bawa mobil kemaren, sengaja gue

182
parkir inap di sini soalnya di kontrakan gue
juga nggak akan ada yang make.”
“Ohhhh… ngobrol dong biar saya nggak
salah pengertian!”
“Udah ngobrol dari tadi. Lo-nya aja yang
lemot.” Diksa membalas pedas. “Lo balik gue
yang nganter, gimana?”
“Kalau saya nolak gimana tuh, Kak?”
“Nggak apa-apa.”
Juni manyun. “Udah gitu doang, Kak?”
“Maksud gue ya nggak apa-apa, kan tinggal
gue tanya lagi sampai lo bilang iya.”
“Wah, nge-gasnya bar-bar. Saya suka, saya
suka.” Juni bertepuk tangan dengan dramatis.
“Tapi kosan saya rada masuk-masuk gitu, Kak.
Nggak apa-apa?”
“Udah, ayo! Keburu sore nantinya!”
Juni pun tergopoh mengikuti Diksa menuju
lokasi di mana mobil cowok itu terparkir.

183
Mobil Diksa rapi dan wangi. Juni tahu Diksa
merokok, tapi bahkan asbaknya pun bersih.
Ada sedikit jejak aroma tembakau menempel
pada bagian kulit jok mobil, tapi tidak
menganggu. Rasanya malah menyenangkan,
Juni seperti dilempar ke tempat yang lama dia
rindukan.
Sepanjang jalan, suasananya sepi. Juni kira,
Diksa akan mengajaknya mengobrol atau
mengajaknya bertengkar, tidak apa-apa deh.
Tapi Diksa justru diam dengan mata
memandang lurus ke arah jalan. Pada suatu
waktu, Juni meliriknya, bertepatan dengan
Diksa yang juga melirik ke arah Juni. Super
awkward, Juni sampai merinding dibuatnya.
“Sepi banget, Kak…”
“Gue nggak suka ada suara berisik waktu
nyetir.”

184
Nyolot banget, Juni membatin dalam hati.
“Oke, siaaaaapppp…”
Agaknya, Diksa bisa membaca perubahan
ekspresi wajah Juni sebab tak lama, dia
bertanya lagi. “Kamu mau dengar lagu?”
“Boleh. Abisnya sepi banget.”
“Suka lagu apa?”
“Baby Shark.” Juni asal saja jawab,
maksudnya bercanda sih, sekalian mencoba
mencairkan suasana yang terlampau kaku.
Tapi Diksa menganggapnya serius.
Ketika mobil berhenti karena ada kereta api
yang mau lewat, Diksa meraih ponselnya. Dia
membuka aplikasi Youtube, mencari video
Baby Shark yang dimaksud Juni dan
membuatkan playlist on-loop. Tak bisa
ditampik lagi, sepanjang jalan kenangan, lagu
baby shark-ddu-ddu-ddu-ddu jadi soundtrack
resmi mereka. Juni sampai speechless.

185
Diksa tenang saja, lanjut menyetir.
Begitu tiba di depan kosnya, Juni turun.
Diksa ikut turun untuk membantu
mengeluarkan koper cewek itu dari bagasi.
Setelahnya, Juni tampak seperti mau langsung
berjalan menuju pagar depan tanpa bilang apa-
apa, selayaknya dia betulan barusan naik taksi
online, bukannya nebeng mobil Diksa. Diksa
cemberut, melangkah masuk kembali ke dalam
mobil. Dia sudah mau pundung ketika tiba-tiba
Juni berbalik dan mengetuk jendela mobilnya.
Juni tersenyum saat Diksa menurunkan kaca
jendela mobilnya. “Makasih ya, Kak. Sering-
sering boleh banget.”
Diksa terperangah, bingung harus bereaksi
seperti apa walau jauh di dalam dadanya,
jantungnya serasa hampir meledak. Akhirnya,
dia hanya mampu mengangkat jempol ke atas
dengan wajah datar. Juni tertawa, berjalan

186
mundur dan melambaikan tangan sementara
Diksa melajukan mobilnya untuk memutar
arah.
Diksa mungkin tampak jutek dan kata-
katanya bisa sepedas itu, namun Juni merasa,
cowok itu sangat baik.
Dia baru saja bermaksud bergerak masuk
ke kosnya bersama koper di tangan kanan
sewaktu ponselnya tiba-tiba bergetar tanda ada
chat baru yang masuk. Juni batal melangkah,
malah merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel
untuk mengecek pesan yang barusan dia
terima. Ternyata itu dari Oshe.
Dari Oshe!
Pelan-pelan, Juni menarikan jarinya di atas
layar, mau membuka pesan itu. Nggak tahu
kenapa ya, dia masih saja deg-deg-an setiap
kali Oshe menelepon atau mengiriminya chat.
Padahal sering juga isinya tidak penting,

187
seperti dad jokes yang sudah terlampau sering
dipakai hingga meme terbaru Chef Arnold dari
ajang Masterchef Indonesia yang tengah jadi
tontonan persidangan para pemula oleh para
professional favorit rakyat sejagat Indonesia
Raya itu.

From: Kak Oshe


Sa, lusa habis maghrib bisa ke tempat gue? Si
Cahyo syukuran, baru beli mobil baru die.

188
Yourman
“Nggak perlu jadi Superman.
Cukup jadi Yourman.”
— Kak Diksa
***

Tidak ada alasan buat Juni untuk menolak


karena dia juga kenal baik dengan Cahyo. Well,
dia bisa kenal Cahyo juga karena Oshe, sih.
Walau sudah lulus sekolah, Oshe tetap
menjaga komunikasi dengan Juni. Tidak
jarang, cowok itu menelepon Juni
menggunakan fitur video call ketika dia sedang
bosan. Pada saat-saat seperti itula, Cahyo
kerap nongol. Juni masih ingat, waktu itu dia
pertama kali ‘berkenalan’ dengan Cahyo saat

189
Oshe mesti pergi ke depan sejenak,
meninggalkan laptopnya yang menyala buat
mengambil pesanan go-food.
Seseorang tiba-tiba masuk ke kamar Oshe
tanpa mengetuk sambil menggaruk perut di
balik kaus singlet yang dia kenakan. “Oy,
dajjal, punya korekan kuping yang besi nggak?
Ini tai kuping gue udah keras kayaknya, nggak
mempan lagi pake cotton bud!”
Terus cowok itu keliling-keliling kamar
Oshe sambil memanggil. “Shee… Oshee—woy,
jangan molor di kamar mandi lo—et nggak ada
orangnya…”
Lantas Cahyo menoleh, langsung
bertatapan dengan Juni via video call. Muka
Juni yang memenuhi layar laptop bikin Cahyo
terperangah, tidak jauh berbeda dengan Juni
yang juga kontan meneguk ludah. Cahyo
menghampiri meja tempat di mana laptop

190
Oshe tergeletak, melambai di depan
kameranya.
“Hellauuuuuu…”
Juni melambaikan tangan dengan kikuk ke
kamera. “Halo…”
“Weits, lagi video call ama Oshe ya?”
“Iya.”
“Oshe-nya mana?”
“Tadi sih lagi ngambil pesanan go-food
katanya, Kak.”
“Dasar begundal pemalas!” Cahyo berseru,
namun kemudian dia tersenyum manis pada
Juni. “Nama gue Cahyo. Lo siapa?”
“Sationa. Tapi biasa dipanggil Sasa.”
“Mmm… pacarnya Oshe?”
“Buk—”
“EMANG BENERAN NGGAK ADA ADABNYA
YA LO JADI MANUSIA!” Juni belum sempat
menjawab kata-kata Cahyo saat Oshe muncul

191
secara dramatis di ambang pintu kamarnya.
“Ngapain lo di sini?!”
“Minjem korek kuping besi dong!”
“Kagak ada!”
“Bohong, dicari aja belom!”
“Nggak ada!” Oshe meletakkan plastik
makanannya di atas meja seraya mendorong
Cahyo menjauh dari depan laptop. “Sa, lo
nggak apa-apa, kan? Lo nggak diapa-apain
sama ni penjahat kelamin bersuara Doraemon,
kan?!”
“HEH!” Cahyo protes.
“Daripada gue sebut bersuara Suneo,
mending gue bersuara Doraemon, kan?!” Oshe
jadi super nyolot.
“Idih, sensi amat! By the way, ceweknya
anak mana tuh? Kok gue nggak pernah lihat di
kampus!?”
“Bukan urusan lo!”

192
“Pacar lo beneran nih? Terus Sindy mau
dikemanain?”
“BUKAN URUSAN LO!”
“Kalau bukan cewek lo, mending buat gue,
She!”
“KELUARRRRRRRRRR!!”
Jadi ya begitulah awal mula mereka
kemudian bisa saling kenal. Cahyo tuh
orangnya berpembawaan menyenangkan
meski bakat playboynya lebih gede daripada
Oshe. Kalau Oshe tuh playboy dingin, kalau
Cahyo playboy knalpot bajaj. Kerjaannya nge-
gas melulu, nggak kira-kira. Tapi Juni merasa,
bisa jadi itu karena Cahyo memang dari
sananya ramah. Kelihatannya, dia punya teman
yang banyak.
Maka dari itu, menolak undangan Oshe
sejujurnya lebih mudah daripada menolak
undangan Cahyo.

193
Oshe dan Cahyo sempat menawari
menjemput Juni, tapi Juni menolak. Dia
memilih datang sendiri selepas petang. Cahyo
bilang, acaranya akan santai saja, lebih mirip
acara makan-makan dilanjut minum-minum
dan sebat-sebat buat anak cowok. Mobil yang
jadi bintang malam itu pun sudah nangkring
manja di pelataran depan, dihiasi peta dan
plastik pembungkus joknya belum dilepas.
Setahu Juni, Cahyo memang anak orang kaya.
Tapi dia memilih mandiri dengan membuat
brand kaos. Bisnisnya bisa berjalan dengan
baik karena karakternya yang supel, juga
followers akun media sosialnya yang bejibun.
Sudah bukan rahasia umum jika Cahyo kerap
bekerja sama dengan brand-brand besar untuk
promosi event tertentu dan dibayar untuk itu.
Apa ya kalau jaman sekarang mungkin Cahyo

194
bisa disebut seleb dunia maya atau influencer
dan sejenisnya gitu kali ya.
“Sasa!”
Juni menoleh saat mendengar suara Oshe
memanggilnya. Cewek itu tersenyum, yang
sayangnya segera lenyap sewaktu melihat
sesosok gadis yang mengikuti langkah Oshe.
Gadis itu cantik. Rambutnya tergerai sampai ke
punggung, agak berombak di bagian ujung.
Kuku-kuku jemarinya dihias sedemikian rupa
hingga Juni berani bertaruh, dia pasti nggak
pernah makan nasi padang pakai tangan.
Senyumnya manis dan terkesan tulus, tapi
entah kenapa berhasil mencipta sesuatu yang
tak nyaman dalam dada Juni.
“Oh, hai, Kak!”
“Ke sini sendirian?”
“Sama abang ojek, tapi abangnya udah
pulang.” Juni mencoba bergurau.

195
Terus-terang, dia sudah mendengar soal
Oshe yang kerap jalan dengan banyak cewek
sejak tahun pertama cowok itu jadi mahasiswa.
Namun Juni tidak pernah terlalu
memikirkannya, sebab dia tidak pernah betul-
betul melihatnya. Sekarang, segalanya
berbeda. Tatkala Oshe melingkarkan
lengannya di bahu cewek itu, jantung Juni
serasa turun ke perut. Ada gumpalan aneh
yang menyumbat tenggorokannya,
membikinnya tak kuasa berkata-kata.
“Kenalin, ini Sierra. Sierra, ini Sationa. Biasa
dipanggil Sasa sih. Dia temanku.”
“Halo. Sierra.”
“Sasa.”
“Waktu lo bilang lo bakal datang sendirian,
sebenarnya gue nggak expect kalau lo memang
betul-betul akan muncul sendirian. Cahyo sok
ngide mau bikin games yang harus diikutin

196
couple. Tapi dianya juga udah bawa ceweknya.
Lo mau gue cariin partner, Sa? Soalnya gue
udah sama Sierra.”
Juni tidak tahu apakah ini hanya
perasaannya saja tapi Oshe seperti
memberikan penekanan yang berlebihan saat
dia menyebut dirinya akan berpasangan
dengan Sierra.
“Oh, nggak apa-apa. Aku juga nggak minat
ikut game sih, Kak.” Juni nyengir. “Aku ke sini
buat Kak Cahyo aja terus sekalian numpang
makan. Lumayan, namanya juga anak kos.”
Ujarnya lagi, membuat Sierra tertawa. Juni ikut
tertawa, berhasil membuat Oshe terperangah
selama sesaat.
Sekarang, ganti Oshe yang merasa ada
gemuruh terjadi dalam dadanya. Sebetulnya,
dia sengaja meminta Sierra datang malam ini.
Sengaja juga memperkenalkannya pada Juni

197
sembari merangkulnya. Kata orang, cemburu
itu tanda sayang. Dia bertanya-tanya, akankah
Juni, setidaknya meski hanya sedikit, tak peduli
sesedikit apa pun itu, cemburu saat dia
berdekatan dengan cewek lain seperti
sekarang?
Namun tampaknya tidak. Juni justru tertawa
seperti tanpa beban. Dan itu membuat Oshe
muak. Sebab dia seperti diingatkan bahwa
perasaannya masih saja bertepuk sebelah
tangan. Bertahun-tahun berlalu. Bertahun-
tahun telah lewat, dan dia masih saja
semenyedihkan ini.
Masih Oshe yang berusaha menemukan
pengganti sosok yang tak bisa dia gapai dalam
diri cewek-cewek yang mengejar perhatiannya.
Apakah memang lazimnya seseorang selalu
jatuh hati pada orang yang justru tidak bisa dia
miliki?

198
“Bisa sama gue. Itu juga kalau dia mau. Dia
kan anaknya mageran.”
Oshe tersentak, refleks menatap ke satu
arah saat ada orang lainnya yang ikut angkat
bicara. Diksa ada di sana, berjalan mendekati
mereka dengan satu tangan terjejal ke dalam
saku jaket. Juni mengerjap, jelas terkejut.
Pertama, dia tidak menerka Diksa juga akan
ada di sana. Kedua, Diksa kelihatan jauh lebih
tampan dari biasanya malam ini. Dia
mengenakan setelan monokrom dan jaket
denim berwarna gelap. Tatapannya masih
menusuk seperti biasanya, namun entah
kenapa, hadirnya berhasil membuat Juni
merasa tenang.
“Kak Diksa ke sini juga?!”
“Cahyo juga teman gue.”
“Hah, kenal di mana?!”
“Dia temannya Johnny.”

199
Juni ternganga. “Kak Diksa kenal Kak
Johnny?”
Diksa memutar bola matanya, kemudian
tanpa malu-malu, menutup mulut Juni yang
terbuka dengan telapak tangannya.
Tindakannya membuat Oshe mengangkat alis,
sementara Sierra hanya bungkam sembari
memandang segan.
“Gue nggak tahu kalian sedekat ini…”
“Emang dekat.” Diksa menyambar sebelum
Juni sempat menjawab, lantas dia meraih bahu
Juni, merangkulnya seperti bagaimana Oshe
merangkul Sierra. “Yaudah, duluan ya. Lo juga,
udah dibilang berangkatnya bareng gue aja,
kok malah ngotot mau berangkat sama tukang
ojek!”
Oshe terdiam, hanya mampu menyaksikan
Juni dan Diksa yang bergerak menjauh dengan
tangan yang perlahan terkepal.

200
Apa yang sesungguhnya dia lewatkan?
Lucunya, ketika Oshe berusaha menghadapi
segala macam prasangka dan dugaan yang
memenuhi benak, Juni juga berupaya keras
menata perasaannya sendiri. Dia menurut pada
Diksa, membiarkan cowok itu membawanya
menembus keramaian menuju bangku di pojok
halaman tempat tinggal Cahyo dan Oshe yang
lebih sepi. Teman-teman Cahyo tidak terhitung
banyaknya, hingga acara syukuran ini jadi
mirip acara hajatan. Di bagian tengah halaman
yang luas, terdapat meja panjang tempat
hidangan nantinya akan dijajarkan dan
siapapun berhak mengambil makanan sepuas
yang dimau. Cahyo sendiri tidak kelihatannya.
Katanya sih masih sibuk mengurusi pesanan
sejumlah hidangan hits yang belum datang.
Konon, Cahyo bahkan mengorder ratusan

201
gelas kopi dari kedai kopi yang sedang nge-
tren itu.
“Sini, duduk dulu.” Diksa membawa Juni ke
salah satu bangku, membiarkannya duduk
lebih dulu sebelum dia sendiri ikut duduk di
sebelah cewek itu. “Tarik napas… embuskan…
jangan jantungan dulu.”
“Apaan?!”
“Tuh kan, nge-gas.”
“Lagian kakak apa-apaan?!” Juni mendengus
seraya melotot pada Diksa yang malam ini,
kelihatan tidak sejutek biasanya. “Emangnya
aku mau lahiran?!”
“Yang bilang lo mau lahiran tuh siapa? Itu
adalah cara-cara simpel untuk mengendalikan
stress, tau! Apalagi sekarang lo lagi shock!”
“Sok tahu!”
“Harusnya lo lihat muka lo gimana tadi
waktu si Oshe ngerangkul tuh cewek tiba-tiba.

202
Udah kayak mau nangis. Untung aja gue
datang, kalau nggak, bisa-bisa ngenes banget
lo di sana!” Diksa menukas, bikin Juni
bungkam sebab dia sadar apa yang dibilang
Diksa itu benar. “Lo naksir sama Oshe ya?”
“Nggak!”
“Iya juga nggak apa-apa.”
“Kak!”
“Cuma kalau bisa, jangan naksir sama orang
kayak gitu lama-lama. Adanya sakit hati
sendiri.”
“Namanya naksir orang, apalagi bertepuk
sebelah tangan, maka sebentar mau lama juga
tetap aja sakit!” Juni menggerutu.
“Makanya, naksir sama yang nggak
bertepuk sebelah tangan, dong!”
“Siapa? Tiang listrik kali yang naksir saya.”
“Ada, dan dia bukan tiang listrik.”
“Siapa?”

203
Gue. Diksa menjawab, tetapi hanya dalam
hati. “Pokoknya ada. Dan dia manusia. Cowok
dari lahir. Dia naksir lo dan ada di belahan
Bumi ini.”
“Tapi jelas bukan kakak. Ada. Tapi bukan
kakak. Iya, kan? Kakak mau ngomong gitu,
kan?”
“Lah, kok gitu responnya?!”
“Itu tuh jokes Tumblr jaman old.” Juni
memutar bola matanya. “Saya tuh udah sering
dengar kalau Kak Oshe playboy, tapi baru tadi
lihat dia bisa semepet itu sama cewek. Mana
ceweknya cakep banget lagi.”
“Lo juga cakep.”
“Masa?!”
“Tapi masih kalah cakep emang sama cewek
yang tadi.”
“Bangsat memang!” Juni merutuk, bikin
Diksa mati-matian menahan tawanya yang

204
hampir pecah. “Cowok tuh memang gitu ya?
Sukanya sama yang cakep banget. Jarang tuh
cewek cakep di-friendzone. Adanya juga dia
yang friendzone-in orang. Coba cewek jelek.
Mau cowoknya udah nyaman sekalipun, tetap
dijadiin temen doang sampe jaman jebot!
Cuma disamperin kalau ada maunya doang!”
“Gue nggak kayak gitu.”
“Nggak tahu sih, saya kan nggak
berpengalaman dekat sama Kak Diksa.” Juni
mendengus lagi. “Tapi makasih ya udah tiba-
tiba muncul tadi. Walau saya kaget juga. Kak
Diksa tuh kayak hantu tau. Ada dimana-mana.
Muncul nggak pake pertanda.”
“Lo kira gue hujan yang kalau mau turun
mesti ngasih pertanda dulu?”
“Setidaknya nggak mendadak gitu, saya kan
jadi kaget terus.”

205
“Halah.” Diksa mencibir. “Tapi berarti benar
ya kata-kata gue tadi?”
“Kata-kata yang mana?”
“Lo naksir Oshe.”
“Dikit.”
“Kayaknya banyak.”
“Dikit aja. Tapi awet. Kayak hujan rintik-
rintik pagi-pagi. Keliatannya nggak deras, tapi
terus bertahan sampai seharian. Dipikir lagi,
kayaknya mending naksir sekalian banyak aja.
Jadi cuma meluap-luap sekali, habis itu
berhenti.”
“Kalau gitu caranya, lo butuh pawang
hujan.”
“Hahaha lucu, Kak!”
“Gue serius.” Diksa menyentakkan kepala.
“Cari orang baru kek. Apa gimana. Daripada lo
keliatan semenyedihkan itu suka sama fakboi
yang ceweknya ada di setiap tikungan.”

206
“Hah, emangnya cewek Kak Oshe ada di
setiap tikungan?!”
“Minimal dua malah kayaknya di tiap
tikungan.”
“Sinting!” Juni berseru. “Semua cowok
ganteng gitu ya kayaknya? Kakak gitu juga
nggak?!”
“Menurut lo, gue ganteng?”
“Ganteng.”
“Kok nggak naksir gue?”
“DIKIRA SAYA BISA NAKSIR CUMA KARENA
GANTENG DOA—” Teriakan Juni terinterupsi
saat Diksa lagi-lagi membekap mulutnya
dengan tangan sebelum suara cewek itu
menarik perhatian yang lain. Tetapi seperti
tidak bisa lebih dramatis lagi, Oshe sempat
mendengar seruan itu. Kepalanya langsung
tertoleh, hanya untuk mendapati tangan Diksa

207
tengah melekat di wajah Juni dan mereka
sedang berada dalam posisi yang begitu dekat.
Oshe buang muka, merasa ada yang
membara dalam dadanya.
Sementara itu, mata Diksa dan Juni saling
berpandangan. Agak sedikit lebih lama dari
seharusnya. Agak sedikit lebih dekat dari
semestinya. Juni merasa pipinya menghangat,
begitu pun Diksa yang berdeham canggung
seraya menarik tangannya.
“Hng—Kak, bawa earphone nggak?! Pinjem
dong, mau dengerin lagu!” Juni berusaha
mengalihkan pembicaraan.
Diksa cepat merogoh saku jaketnya,
mengeluarkan ponsel yang telah disemati
earphone. “Nih.”
“Oh, Kak Diksa suka dengerin lagu juga?”
“Gue manusia. Tentu gue juga bisa dengerin
lagu.”

208
“Mana coba lihat! Mau tau, Kak Diksa
seringnya dengerin lagu apa—” Sebelum Diksa
bisa bicara, Juni telah antusias meraih ponsel
cowok itu. Diksa terperangah, namun
kemudian perlahan tersenyum lembut. Dia
senang, karena tampaknya kini mood Juni
sudah lebih baik pasca kekagetannya gara-gara
Oshe dan Sierra tadi.
“Kakak masih dengerin lagu di pemutar
musik—hah, kok cuma ada satu lagu doang?!”
“Gue juga dengerin lagu di Spotify, tapi ada
saatnya gue hanya mau dengerin satu lagu.”
“Lagu ini?”
“Iya, lagu itu.”
Satu-satunya lagu yang ada di sana adalah
lagi dari Maliq & d’Essentials yang berjudul
Untitled. Lagu itu seperti familiar buat Juni,
tapi dia tidak ingat persisnya kenapa.

209
“Lagu ini… rasanya kayak lagu lama
banget.”
“Lo suka dengerin lagu ini?”
“Pernah. Cuma sekali dan udah lama
banget. Saya kurang suka.”
“Gue suka lagu itu. Banget.”
“Kenapa?”
Diksa menyimpan senyum penuh rahasia di
mata Juni. “Karena seseorang.”
Tepat seperti titik untuk kata-kata Diksa,
musik dari perangkat sound system di teras
mengalunkan sebuah lagu yang mampu
didengar oleh mereka yang berada di halaman.
Juni dan Diksa tahu lagu apa itu. Judulnya One
Call Away milik Charlie Puth.
“Ini pasti sengaja Kak Cahyo muternya lagu-
lagu yang kayak gini. Mentang-mentang nanti
gamesnya ada couple-couplenya.”

210
I’m only one call away
I’ll be there to save the day
Superman got nothing on me
I’m only one call away

“Emang lagu ini kenapa?” Diksa bertanya.


“Romantis. Masa kakak nggak dengerin
liriknya?!” Juni tertawa kecil. “Lucu juga kalau
punya pacar yanng cuma one call away.
Superman aja kalah sama dia katanya. Itu
artinya, dia akan selalu ada buat ceweknya
bahkan dalam situasi apa pun. Ceweknya
hanya perlu memanggil atau menelepon dia.
Cute.”
“Gue sih nggak minat jadi Superman.”
“Kak Diksa kan emang bukan Superman.”
“Maksud gue, sekalipun gue bisa memilih,
gue nggak akan mau jadi Superman.”
“Karena Kak Diksa lebih suka Spiderman?”

211
“NGGAK GITU JUGA, JUNI!”
“Ya abis gimana dong? Anyway, saya masih
nggak ngerti loh kenapa Kak Diksa panggil
saya Juni!”
“Maunya gue gitu.” Diksa mengabaikan rasa
penasaran Juni. “Bukan karena gue lebih suka
Spiderman atau superhero lainnya. Daripada
jadi Superman, gue lebih tertarik jadi
Yourman.”
“… what?”
“I don’t want to be Superman. All I want is
to be Yourman.”
“Kak—”
“Tadi gue bilang, ada yang naksir lo.
Memang ada. Dia manusia. Dia cowok beneran.
Dan sepertinya dia ganteng. At least,
seseorang bilang begitu. Tadi gue juga bilang,
kalau lo nggak mau sakit hati, lo harus coba
memberi perasaan kepada orang yang nggak

212
membiarkan rasa lo itu bertepuk sebelah
tangan.”
“… iya. Terus… intinya?”
“Gue bisa jadi orang itu.”
“Hah?”
“Gue bisa jadi orang yang nggak akan
membiarkan perasaan lo bertepuk sebelah
tangan.”

BERSAMBUNG KE OBLIVIATE PT. 2

213

Anda mungkin juga menyukai