Anda di halaman 1dari 5

Mengucap Syukur

Ujian akhir semester telah usai, liburan pun tiba. Bagi Ayudia, liburan
adalah hari dimana untuk bermalas-malasan dengan berlebihan karena membayar
energi yang telah terpakai ketika belajar dan ujian, apalagi ini semester yang
sangat berat baginya. Akan tetapi, kali ini liburan baginya seperti neraka.
YA NERAKA.
Isi kepalanya terus berisik bagaikan suara-suara klakson yang tiada
henti. Tak hanya itu, Ayudia sering absen dari makan siang dan makan malam.
Dia mengurung diri sambil menatap langit-langit kamarnya. Ibunya tau karena dia
tak mengunci kamarnya, tapi… akhir-akhir ini dia mengunci kamarnya itu. Dia
keluar hanya untuk sarapan.
“Ayu… Ayu… makan lagi nak… Ibu sudah masak ikan kesukaanmu
nih… ”
“Kamu sudah 2 hari tidak sarapan… dan hanya di kamar, apa yang
kamu lakukan? Tolong buka kuncinya nak… ”
Mendengar ibunya berbicara dengan lirih, ia membuka pintu kamarnya.
Ibunya sedih melihat anak semata wayangnya itu pucat dan memiliki tatapan
kosong. Sebelumnya, Ayu keluar dengan mata bengkak, tidak tahu apa yang ia
tangisi.
“Ayo nak kita makan… ”
Ayudia mematuhi perintah ibunya dan berjalan menuju ruang makan.
Lauk kesukaan dia yang dibuat ibunya sangat harum hingga menyerbak seperti
parfum. Sudah lama baginya tidak makan lauk kesukaan, mungkin terakhir kali 2
tahun lalu. Ayudia makan dengan lahap agar ibunya tidak bersedih, dia juga
menambah porsi, sambil memasak lauk lain, ibu Ayudia menanyakan mengapa ia
akhir-akhir ini mengurung diri, apakah dirinya yang membuat Ayu sampai begitu,
apakah masalah pertemanan, apakah cemas karena nilai ujian akan keluar atau ada
hal yang lain.
“Tidak, tidak di antara semua itu”, saut Ayudia.
“Lalu, jika tidak, alasannya apa? jangan dipendam sendiri, mari saling
berbagi”, balas ibu Ayudia.
Ayudia hanya diam. Ia bingung mau menjelaskan bagaimana. Cukup
hanya ia saja yang tau perasaannya. Ibunya memandang Ayudia dengan heran.

“Gimana kalau Ayudia ikut relawan bareng Altha, tut? kan rame tuh,
terus juga pergi ke desa yang pemandangannya bagus, mungkin mood Ayudia
balik lagi. Sekalian dapat pengalaman”, ujar Devi.
Devi adalah teman dekat ibu Ayudia, mereka berteman sejak sekolah
menengah atas sampai sekarang, mungkin sudah 30 tahun. Astuti, ibu Ayudia
bercerita mengenai anak semata wayangnya itu kepada Devi dan Devi
menganjurkan Ayudia ikut relawan. Devi memiliki komunitas relawan yang sudah
amat terkenal dikalangan anak muda dan sudah berdiri sejak lama. Ia mendirikan
bersama suaminya ketika menikah dengan tujuan mengajak orang-orang
membantu pendidikan dan hal lainnya di desa yang jauh jangkauannya dari kota.
“Apa gapapa Ayudia ikut? dia kan ga ikut seleksi”, balas Astuti.
“Gapapa, mungkin dengan ikut ini mood dia akan balik lagi”, ujar Devi
“Oke baiklah dev, terima kasih telah membantu, akan kubujuk Ayudia”,
balas Astuti.
“Oh ya tut, itu berangkatnya senin minggu depan, jadi tolong
dikonfirmasikan langsung jika Ayudia setuju dan kegiatannya berlangsung
seminggu di desa Teja”, ungkap Devi.
“Oke dev, segera kukabarkan”, balas Astuti.
Astuti mengakhiri telepon Devi dan kemudian menuju kamar Ayudia.
Kali ini, Ayudia tidak mengunci pintu kamarnya dan Astuti menengok anaknya
itu sedang membaca buku dari penulis bernama Henry Manampiring.
“Nak, kamu mau ikut relawan ke desa Teja ga? Tante Devi nawarin nih,
senin minggu depan berangkatnya. Kamu pergi bareng anaknya tante Devi si
Altha, cuman seminggu doang kok”, ajak Astuti.
“Tapi kan Ayu ga ikut seleksi. Masak ayu ikut?”, jawab ayu
“Kata tante Devi sih gapapa, dia tiba-tiba kepikiran kamu karena
pemandangan desanya indah dan pasti kamu suka. Jadi, kamu ikut ga? Biar ibu
konfirmasi ke tante Devi”
“Hm… ”
“Hm.. Hm.. Mau ga? Lagian kamu 2 bulan liburnya”
“Hm… bareng kak Altha aja ya? Kak Dira ga ikut?”
“Iya, Altha aja”
“Hm… boleh deh… seminggu juga kan?”
“Iya, cuman seminggu Ayudia sayang. Oke, ibu telpon tante Devi dulu”
“Kayaknya seru juga apalagi di desa Teja”, ujar Ayudia.
Kak Altha sebagai ketua koordinator menertibkan mereka dan
mengabsen para anggota. Bus akan berangkat pada jam 8 dan perjalanan
menempuh 3 jam ke pusat kota desa Teja, desa Teja merupakan pulau yang
dimana nanti akan menyambung perjalanan menggunakan kapal dengan waktu
tempuh 3 jam.
6 jam perjalanan membuat mereka lelah, kini waktu untuk makan siang.
Setelah itu, mereka akan pergi ke rumah yang telah disewa untuk tempat tinggal
mereka. Mereka menyewa 2 rumah, 1 rumah untuk wanita dan 1 lagi untuk laki-
laki, walaupun begitu rumah yang disewa berdekatan. Tak hanya itu, mereka telah
mengunjungi kepala desa sebagai memberi kabar bahwa mereka telah sampai.
Kemudian, Ayudia berkenalan dengan salah satu relawan yang ikut, namanya
Dea. Tak disangka Dea masih muda, umurnya 17 tahun, dia baru lulus SMA dan
ikut karena penasaran bagaimana rasanya ikut kegiatan seperti ini. Mendengar
alasan Dea, dia merasa takjub karena dengan usia tergolong muda, dia berniat hati
ingin merasakan kegiatan ini.

Keesokan harinya
Altha, Ayudia, Dea dan 3 lainnya dapat tugas untuk mengajarkan
bahasa Inggris di satu kelas sekolah dasar, dikarenakan di desa belum ada
pelajaran bahasa Inggris. Kelas dibuka oleh Altha, dia banyak mengajar adik-adik
dengan nyanyian dari dasar yaitu cara pengucapan alfabet bahasa Inggris.
Kemudian teman lainnya memberi kosakata dasar yang sering digunakan sehari-
hari. Sedangkan, Ayudia mengajak mereka bermain dengan kosakata bahasa
Inggris. Altha melihat Ayudia yang sudah banyak bicara, Altha melihatnya
bagaikan guru muda yang sudah lama tidak bertemu murid-muridnya. Tidak
sekedar bermain games sambil belajar, Ayudia menyiapkan hadiah cemilan bagi
siswa-siswi yang dapat menjawab pertanyaannya.
Di sore hari, mereka bermain bersama anak-anak desa di lapangan.
Mereka bermain petak umpet, lompat tali dan tarik tambang. Ayudia dan teman
relawan lainnya juga anak-anak desa sangat antusias bermain, mereka tidak ingin
kalah. Selain itu, ada juga teman relawan bermain bulutangkis bersama anak-anak
desa lainnya dan ada juga bermain sepak bola.
Hari terus berlanjut dengan kegiatan yang sama sampai hari ke empat,
mereka mengunjungi panti asuhan di desa tersebut. Ayudia tak menyangka bahwa
disana ada sebuah panti asuhan. Mereka mengajar anak-anak bahasa Inggris dan
membaca kisah Nabi untuk mereka. Seperti biasa, teman-teman relawan selalu
menyelipkan permainan setelah belajar dan yang banyak menang akan mendapat
hadiah. Tidak hanya yang menang, anak-anak panti lainnya juga diberikan buku,
makanan dan pakaian. Setelah kegiatan belajar mengajar selesai, waktu bagi
relawan bermain bersama mereka, ada yang bermain sepak bola, ada yang
mewarnai dan ada yang bermain petak umpet. Semantara itu, Ayudia duduk di
pondok kayu di pinggir lapangan sambil melihat para anak-anak panti dan relawan
bermain sepak bola dan Altha yang sedang memotret kegiatan mereka melihat
Ayudia dan menghampirinya, lalu bertanya mengapa ia sebelumnya mengurung
diri di kamar dan tak berbicara apapun kepada ibunya.
“Ah itu… sepertinya ibu bercerita ke tante Devi”
“Ya… Dan mama kakak yang memberi saran untuk mengajak kamu
ikut kegiatan ini… jadi apakah kamu sudah membaik?”
“Jika ditanya sudah membaik atau belum, mungkin setengah karena di
pikiran masih terngiang”
“Maaf, jika aku bicara seperti ini, apa kamu sedang punya masalah
bersama keluarga?”
“Tidak kak”, jawab Ayudia sambil tersenyum dan ia melanjutkan,
“Aku hanya mendengar pembicaraan yang membuat aku berpikir yang
tidak-tidak, aku mendengar tanteku menghadiri pernikahan temannya dan ternyata
temannya itu menikah dengan ayahku, sedangkan dia tidak pernah menemuiku,
apakah ia tidak ingat atau bagaimana?”, ujar Ayudia, kali ini ia berbicara sambil
menangis.
Memang sulit jika membicarakan mengenai keluarga. Altha yang tak
tega melihat ia menangis, memeluk Ayudia. Altha tidak tau tau menanggapi
seperti apa, ia tidak pernah merasakan seperti Ayudia, ia hanya bisa memeluk
Ayudia dengan harapan Ayudia akan tenang. Altha tau kalau hal seperti itu tidak
mudah diungkapkan apalagi kepada ibunya, Ayudia nampaknya sudah
memendam lama perasaan itu dan mungkin ada yang lain sampai ia menangis
seperti itu.
“Tapi setelah melihat mereka rasanya aku lega karena masih memiliki
ibu dan keluarga. Walaupun begitu, senang bisa melihat mereka tersenyum dan
tertawa bersama, mereka sudah seperti saudara satu sama lain”, ujar Ayudia
sambil tersenyum melihat anak-anak panti bermain sepak bola tepat di
hadapannya.
1 hari sebelum kepulangan mereka, mereka mengunjungi air terjun di
desa tersebut dan beberapa pun ada yang berenang.
Keesokannya pun, mereka berpamitan kepada warga desa dan anak-
anak, anak-anak yang mereka ajarkan pun menunggu sampai mereka benar-benar
pergi
5 bulan sejak ikut kegiatan relawan tersebut, Ayudia tiap 2 minggu
sekali memberi sedekah ke panti asuhan. Setiap kali dia merasa hal yang
dilakukannya buruk dan tak ada kebahagiaan apapun, ia selalu mengingat bahwa
kunci dari semuanya adalah bersyukur.

Anda mungkin juga menyukai