Anda di halaman 1dari 19

Identitas Buku·

 Judul Buku : Wadu Ntanda Rahi


 Pengarang : Alan Malingi
 Genre : Kesetiaan, Percintaan, dan Penantian
 Penerbit : CV. MAHANI PERSADA

Jl.Meninting Raya No. 47 Kekalik

Mataram-Nusa Tenggara Barat

 Tahun Terbit : Juli 2004 dan Juli 2007


 Tebal Buku : 273 Halaman
 ISBN : 979 – 98814 -0 – 4

 Sinopsis novel

“WADU NTANDA RAHI ( Batu Memandang Suami)’’

Dana Mbojo ( Bima / Dompu )

Pada zaman dahulu ada suatu legenda di dana mbojo kel. mangge maci, doro bedi . Disana
terdapat sebuah desa yang terdiri dari beberapa kepala keluarga dan penghasilan warga sekitar
dari hasil bertani ataupun berkebun . Di desa itu pula, hiduplah sepasang suami istri yang sudah
tua dan renta yang bekerja sebagai petani yang bernama ina Male dan Ompu Nggaro. Ina Male
dan Ompu Nggaro ini memiliki seorang putra yang bernama La Ngusu. La Ngusu merupakan
sosok laki-laki yang penuh dengan semangat, baik dan sangat menghormati orang tuanya. Dan di
ladang sebelah, ada seorang gadis sebatang kara yang diangkat dan dibesarkan oleh seorang
lelaki yang bernama ompu Wila, gadis tersebut bernama La Nggini.

Kecantikan dan kebaikan yang dimiliki oleh La Nggini ini membuat laki-laki didesanya
menginginkannya sebagai seorang istri, akan tetapi la nggini tidak pernah memberikan
kesempatan kepada lelaki yang ingin mendekatinya .

Pada suatu hari la ngusu sedang bekerja di sawah bersama ina male dan ompu nggaro, di tengah
pekerjaannya dia terhenti karna melihat sosok gadis yang cantik nan anggun yaitu La Nggini, La
Nggini yang datang ingin memberikan makan siang untuk Ina Male dan Ompu Nggaro juga tak
menyangka akan bertemu dengan La Ngusu. Sejak saat itulah benih-benih cinta tumbuh diantara
mereka. Setiap hari mereka bertemu dan mereka saling beradu kasih dengan melontarkan patu
mbojo.

 La Ngusu

Pai wara dou malao ese wura

Kadidiku kafero ntara diweha kai oi wunga rindi ai

Ti loaku maru sebala ai mamore


Bakawaraku pahumu di lingga pohu

( jika ada orang yang pergi kebulan )

( akan kutitip satu bintang tuk kuambil waktu tengah malam )

( sepanjang malam mata tak terpejam )

( mengingat wajahmu yang selalu terbayang ).

 La Nggini

Doro ma leme ku langka lima

Oi madei lampakai ndai dua

Batu ca’u ra ne’e ti bade doro mana’e

Be ra lao kai mode nci’I kaiba nawa mada

( Gunung menjulang tinggi akan kudaki)

( dalam air kulewati berdua)

( demi cintaku padamu tak perduli gunung dan rimba)

( dimapun kau pergi kekasihku aku turut serta)

 La Nggusu

Waraku siwe sabua, sampela kampo sabae

Ra loaku lamba ncora ao ba balumba

Balumba mana’e, batu ca’u ra ne’e

Balumba ma anco ndaima cua anca

( ada seorang gadis di kampung seberang)

( Kubertandang dihadang ombak )


( Ombak besar kuterjang megikuti kemauan cintaku)

( Ombak yang menggulung kita yang sedang bercumbu).

Setelah beberapa hari mengenal La Nggini, La Nggusu selalu memikirkan La Nggini dan ia
berniat untuk pergi bertandang ke rumah La Nggini di desa seberang. Saat kedatangan La Ngusu,
Ompu Wila menerima dengan baik kedatangan La Ngusu, dan La Ngusupun mengutarakan
keinginannya untuk mempersunting La Nggini. Akan tetapi , Ompu Wila memberikan syarat
yaitu harus menyerahkan beberapa ikat padi, buah-buahan dan mendirikan rumah. Dan La
Nggusu menyanggupin persyaratan yang diberikan.

Kemudian La Nggusu pun pulang dan dia menceritakan niatnya tersebut kepada kedua orang
tuanya dan orang tuanya pun setuju dengan niatnya itu, siiring berjalannya waktu persyaratan
yang di minta oleh Ompu Wila dapat di selesaikan oleh La Ngusu dan merekapun menikah.

Setelah menikah , mereka menempati rumah yang telah di buat oleh La Ngusu sebagai syarat
nikah dan merekapun meninggalkan orang tua mereka masing-masing. Setelah dua bulan
menikah La Nggusu merasa tidak ada perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Dia selalu pergi
melaut, ketika berada di tengah laut La Ngusu berniat untuk pergi merantau ke Goa ( makasar)
agar kehidupannya dengan La Nggini dapat lebih baik. setalah pulang melaut La Ngusu pun
menceritakan niatnya tersebut kepada istrinya, dan saat mendengar ke inginan suaminya itu La
Nggini tidak menyetujui keinginnya suaminya, setiap hari dia selalu memikirkan dan selalu
menangis karena hal itu. Kemudian La Ngusu selalu merayu dan meyakinkannya sehingga La
Nggini menyetujuinya.

Tibalah harinya dimana La Ngusu berangkat untuk merantau, dan orang tuanyapun kaget karena
baru mengetahui keinginan anaknya itu akan tetapi orang tua La Ngusu tidak bisa berbuat apa-
apa dan mereka memberikan restunya untuk La Ngusu begitupun dengan Ompu Wila.

Ketika kapal yang akan membawa La Ngusu akan segera berangkat, La Ngusu memberikan
Pasapu Monca kepada La Nggini.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahunpun berlalu, tak pernah ada kabar dari La Ngusu. Dan
musibah yang menimpa La Nggini datang berturut-turut. Ompu Wila meninggal saat bencana
melanda kampung mereka. Disusul lagi dengan kematian Ompu Nggaro .

Kini tinggallah dua sosok perempuan yang lemaah, demi menyambung hidup , La Nggini
bekerja di ladang tetangga dan sawah-sawah demi mendapatkan makanan. Siiring berjalannya
waktu, Ina Male sering sakit-sakitan dan Ina Male pun memiliki keinginan untuk bertemu
dengan anaknya. Tapi sebelum keinginannya tercapai Ina Male meninggal dunia.

La Nggini kini hanya tinggal sebatang kara, ia bekerja keras untuk menyambung hidupnya.
Suatu hari, ada seorang sahabat yang datang menawarkan La Nggini untuk bekerja di pelabuhan
menjaga warung yang ia miliki . la ngginipun menyetujuinya, ia berharap dengan bekerja di
pelabuhan ia bisa mendapatkan atau mendengar informasi tentang suaminya.
Setelah beberapa hari bekerjs di warung itu, ada kapal besar yang bersandar di pelabuhan
tersebut, kapal itu dari makasar. Setelah kapal bersandar, turunlah awak kapal dan pemilik dari
kapal tersebut untuk makan. La Ngginipun melayani awak-aawak serta juragan kapal. Tak di
sangka kecantikan La Nggini membuat juragan kapal jatuh hati. Diapun mencari tau siapa La
Nggini lewat sahabat La Nggini itu. Sahabatnyapun menyampaikan maksud juragan itu kepada
La Nggini akan tetapi La Nggini tidak menanggapinya. Karena tergiur aka harta yang di iming-
imingi oleh juragan tersebut, sahabatnya itu rela menjebak La Nggini dengan menfitnahnya telah
melakukan perbuatan yang terlarang dengan juragan kapal tersebut. Karena fitnah yang telah
disebarkan oleh sahabatnya itu, warga desapun marah dan menuduh akibat perbuatan la nggini
itulah yang menjadi penyebab dari bencana-bencana yang menimpa desa mereka. Karena tidak
tahan dengan hinaan, cacian dan fitnah dari orang kampung La Ngginipun pergi ke sebuah gunug
yang menghadap ke pantai.

Berminggu-minggu dia berada disana pendudukpun tau bahwa La Nggini tidak bersalah dan
semua itu hanya fitnah yang di lakukan oleh sahabtnya. Hal itu, membuat teman-teman suaminya
merasa kasihan padanya, dan merekapun menyampaikan keadaan la nggini, ina male, ompu
nggaro dan ompu wila yang hidup menderita setelah kepergian la ngusu. Merekapun
menceritakan bahwa iIna Male, OmpuNnggaro dan Ompu Wila telah meninggal. Mengdengar
cerita temannya itu, La Ngusupun begitu merasa bersalah dan ingin pulang ke kampung
halamannya. La ngusu pun mengutarakan niatnya kepada tuannya. Dan tuannyapun merasa
kasihan sehingga ia memberikan ijin ,

Setelah mendapat ijin La Ngusu ingin menghadiahi istrinya itu dengan membelikannya sebuah
kapal dan iapun pulang dengan menggunakan kapalnya sendiri. Di tengah laut, kapal yang
ditumpangi La Ngusu tenggelam , kabar itupun sampai ke telinga la nggini hingga membuatnya
begitu hancur dan terpuruk. Ia berdiri di situ dari subuh sampai fajar. dari duhur sampai isya. dari
hari ke hari. dari minggu ke minggu. dari bulan ke bulan. sampai tahun menjadi berbilang. Ia
tetap berdiri menunggu dan terus menunggu suaminya. Hingga disaat tubuhnya sudah mulai
lemah dan rapuh dia mengatakan jika aku tidak bisa bertemu dengan suamiku lebih baik aku
menjadi batu.

WADU NTADA RAHI

wara ku sabua hidi ngarana wadu ntada rahi


tapa ndiha ba dou di rasa ba ne’e na lao ta rahina

teka, teka na doro


ntada, ntada ka lao
ade na mala lai
ntada rahi ma lao

auku ncara ra kancaruna sampe ndadi kaina wadu


ede pa tangara kai ba dou wadu, wadu ma tanda rahi
teka, teka na doro
ntada, ntada ka lao
ade na mala lai
ntada rahi ma lao

Terjemahan:

BATU YANG MENATAP SUAMI

ada suatu tempat yang bernama batu yang menatap suami


di hadang oleh orang satu kampung karena ingin pergi ke suaminya

naik, naik kebukit


menatap, menatap termenung
hatinya yang sakit
melihat suami yang pergi

apakah salahnya, sampai dia menjadi batu


oleh karena itu di namakan oleh orang batu, batu yang menatap suami

naik, naik kebukit


menatap, menatap termenung
hatinya yang sakit
melihat suami yang pergi
Oi mambora

Setelah Indra Zamrut resmi menjadi raja, maka ia tinggal terpisah dengan adiknya Indra Komala.
Indra Zamrut tinggal di singgasana kerajaan. Sedangkan Indra Komala tinggal bersama Bicara
Mbojo Ncuhi Dorowuni. Hubungan kekeluargaan antara keduanya tidak mengalami perubahan
walau mereka berpisah dalam tugas dan wewenang. Tetapi kenyataan yang dihadapi bahwa Indra
Zamrut telah menjadi raja yang disanjung dan dihormati oleh rakyat.

Pada waktu senggang keduanya tidak lupa akan pekerjaan dan kebiasaan yang telah dilakukan
pada masa persiapan bersama Ncuhi Parewa. Indra Zamrut melanjutkan kebiasaan dan
hobinya dalam hal memancing. Hampir setiap tanjung di sepanjang teluk Bima menjadi tempat
berteduh raja Indra Zamrut.

Sedangkan Indra Komala melanjutkan berkebun dan berhuma. Hampir setiap gunung,
lembah dan ngarai ditapakinya. Dengan penuh ketabahan ia mengajar dan mendidik rakyat untuk
berladang dan berhuma. Ia termasuk sosok yang ulet dan gigih dalam bekerja di tanah ladang.

Akan tetapi pada suatu ketika, tiba-tiba saja Indra komala ingin memancing. Keinginan itu
disampaikan kepada Ncuhi Dorowuni.

“ Ayahanda, Saya ingin meminjam mata pancing kakakku raja Indra Zamrud.”

“ Kalau begitu pergilah ke istana dan pinjamlah pancing itu hanya untuk nanti malam. Besok
akan aku buatkan pancingmu.”

“ Aku takut.” Indra Komala menunduk.

“ Kenapa mesti takut. Kalian bersaudara. Kau harus memberanikan diri untuk memintanya dan
tidak mungkin kakakmu tidak meminjamkan pancing itu.” Ncuhi Dorowuni meyakinkan.

Maka malam itu Indra Komala memberanikan diri untuk menghadap saudaranya Indra Zamrut
untuk meminjam pancing beserta perlengkapannya. Permohonan Indra Komala dikabulkan dan
Indra Zamrut memberikan pancing itu. Tetapi Indra Zamrut menitip pesan.

“ Jaga dan rawatlah pancing ini, sebab ia adalah mata pencaharianku bersama ayah kita Ncuhi
Dara.”

“ Segala titah akan adinda laksanakan.”

Pada malam itu juga Indra Komala pergi melaut. Ia berteduh dan mangkal di Doro Tumpu.
Beberapa saat lamanya ia menunggu pancingnya di tempat itu, namun tiada satupun ikan yang
terjaring. Ia menjadi kesal dan tak sabar. Lalu berpindah ke arah sebelah barat. Tiada beberapa
saat lamanya ia melemparkan pancingnya, disambarlah oleh seekor ikan besar. Dan demkianlah
selanjutnya sehingga tertangkap beberapa ekor ikan. Indra Komala senang bukan kepalang.

Di tengah-tengah kegirangannya itu, tiba-tiba muncul seekor ikan yang sangat besar yang
menyambar lagi. Indra Komala berusaha sekuat tenaga untuk menariknya. Tetapi ikan itu tidak
bergerak mendekat. Dengan segala kekuatan dan tenaga dicoba lagi, namun benang pancing
yang putus. Ikan itu secepat kilat menghilang bersama mata pancing di mulutnya.

Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat kesenangan yang sedang dinikmati sirna
seketika. Bertukar rasa kecewa, bercampur rasa takut. Dan rasa itu semakin menjadi-jadi setelah
disadari dan diingat pesan kakaknya raja Indra Zamrut. Apalagi pancing itu adalah pancing
kesayangannya.

Indra Komala menangis tersedu-sedu. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berjalan pulang dan
menemui kakaknya raja Indra Zamrut yang pada saat itu berada di rumah Ncuhi Dara. Dalam
kepanikan itu Indra Komala menghadap dan melaporkan kejadian yang dialaminya. Raja Indra
Zamrut berang dan berkata :

“ Wahai adindaku Indra Komala, alangkah sedihnya hatiku mendengar berita ini. Engkau telah
mahfum bahwa pancing itu adalah pancing kesayanganku dan mata pencaharianku bersama
Ncuhi Dara. Kau harus mendapatkan pancing itu kembali. Kalau tidak kau harus menggantinya
dengan yang lebih bagus lagi atau kau tebus.”

Ternyata mata pancing itu disambar oleh raja ikan. Dengan segala kekuatan yang dimilikinya
indra komala mengunjungi istana raja ikan yang berada didasar laut yang berlokasi ditanjung
TORO RUI LONDE (Bima Toro = Tanjung Rui = Tulang = Londe = Ikan Bandeng ) Raja ikan
itu moncongnya bengkak . Indra komala mengobatinya dan tak lama kemudian ikan itupun
sembuh. Sedangkan mata pancing yang hilang itu dapat ditemukan lagi.

Meski demikian, masalah pancing tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Raja Indra Zamrut
merasa lega dan puas, tetapi sebaliknya tidak terjadi pada Indra Komala. Ia ingin membalas
kepada Raja Indra Zamrut agar merasakan pula beban dan kesulitan sebagaimana yang ia alami.
Untuk maksud tersebut disusunlah akal dan rencananya dengan Ncuhi Dorowuni untuk
menjebak raja Indra Zamrut. Indra Komala ingin membalas kedongkolannya.

Rencana dan siasat disusun sedemikian rupa agar raja tidak diberi kesempatan untuk mencermati
layaknya seperti seorang raja. Rencana dan siasat itu sangat pribadi dan menyentuh perasaan dua
bersaduara yang hidup di rantauan.

Apakah gerangan rencana dan siasat itu ?

Indra Komala berpura-pura sakit keras agar Indra Zamrut menjenguknya. Ncuhi Dorowuni
disuruh untuk menyampaikan berita sedih itu. Sedangkan Indra Komala menyiapkan sebakul biji
wijen yang diletakan pada lantai bambu yang sengaja dilepaskan ikatannya. Bila tersentuh
sedikit saja akan goyang dan biji wijen itu akan tumpah.

Dengan langkah tergopoh-gopoh Ncuhi Dorowuni dan napas terengah-engah disertai mimik
yang sengaja diatur sedemikian rupa menghadap raja Indra Zamrut untuk menyampaikan berita
duka itu.

Mendengar laporan itu, dan sesuai amanat yang disampaikan Ncuhi Dorowuni terlintas pikiran
raja Indra Zamrut bahwa Indra Komala akan meninggal dunia dan bermaksud menjenguknya.
Tanpa berpikir panjang, Indra Zamrut langsung melompat dari singgasananya dan menuju
tempat dimana Indra Komala tengah berbaring menahan sakit. Indra Komala berpura-pura tidak
menyambut kedatangan raja. Perhatiannya hanya tertuju pada perangkap yang dipasangnya.
Dalam keadaan tergesa-gesa, lantai bambu yang goyah tadi terinjak. Bakul wijen jatuh, lalu
tumpahlah seluruh isinya.
Tiba-tiba saja Indra Komala menyapa raja Indra Zamrut bahwa bakul itu jatuh dan isinya tumpah
seraya berkata :
“ Saya mohon agar kakanda raja mengumpulkan kembali seluruh biji wijen yang bertebaran di
tanah.”

Permintaan Indra Komala dipenuhi. Dengan segala kesaktian yang ada padanya, Indra Zamrut
memanggil semua jenis burung untuk membantu mengumpulkan biji wijen itu. Namun Indra
Komala masih meragukan bahwa semua biji wijen itu terkumpul semuanya. Ia yakin bahwa
masih ada satu atau dua biji wijen yang belum terkumpulkan. Lalu ia ingin membuktikan
keyakinannya itu dengan menyiramkan air pada tempat wijen yang tertumpah tadi. Ternyata ada
beberapa batang wijen yang tumbuh. Sambil menunjuk kepada batang wijen yang tumbuh tadi,
ia berkata:

“ Hai Saudaraku Raja Indra Zamrut, penghidupanku tinggal itu jua.”

Raja Indra Zamrut menjawab dan bersedia untuk kedua kalinya menggantikan wijen yang
tumbuh pada saat itu juga. Namun Indra Komala menolak. Ia menegaskan bahwa biji wijen yang
tumbuh tadilah yang diinginkannya. Dari penuturan Indra Komala, Indra Zamrut menjadi sadar
bahwa itu hanyalah sebuah jebakan. Kehilangan mata pancing dan sikap kerasnya adalah
penyebanya. Rupa-rupanya Indra Komala ingin membalas dendam.

Sejenak ia berpikir, bahwa pembalasannya tidak kepalang tanggung. Sesuatu hal yang tidak
mungkin dan mustahil terjadi untuk membijikan kembali biji wijen yang sudah tumbuh menjadi
batang. Betapapun saktinya Raja Indra Zamrut. Ibarat mengalirkan kembali air ke udik.
Tindakan balas dendam itu dinilainya tidak seimbang dan tidak jujur. Itulah yang terus menjadi
bahan pemikiran dan perenungannya.

Tanpa sepengetahuan Ncuhi Dorowuni, Indra Komala melangkahkan kaki kearah timur
wilayah Mbojo Na’e. Di sana tepatnya pada sebuah mata air, Indra Komala menenggelamkan
diri hingga mati dan menghilang. Raja Indra Zamrut mengabadikan tempat kejadian yang
menyedihkan itu dan untuk mengenang saudaranya Indra Komala , mata air itu diberi nama OI
MBO atau OI MBORA. Hingga kini tempat itu masih ada dan berada di OI MBO dalam
lingkungan kelurahan Kumbe Kecamatan Rasanae Timur Pemerintah Kota Bima. ( OI =
Air MBORA = Hilang ).
Kisah sepotong bamboo

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri setia bernama Ompu La Mpoa dan Wa’I La
Mpoa. Mereka hidup bahagia meskipun tidak dikaruniai anak keturunan. Mereka tinggal di sebuah
gubuk di tengah kebun yang sangat luas di pinggir pantai Malola sebelah selatan Dompu.
Setiap hari, Ompu La Mpoa bekerja di kebunnya dari pagi hingga petang. Beragam jenis umbi-
umbian, sayur-sayuran dan buah-buahan di tanam di kebun itu. ula yang tumbuh secara alami
seperti pohon mangga, jambu dan pohon asam. Sedangkan Wa’I La Mpoa tetap setia menemani
sang suami menyuguhkan makanan dan minuman dikala melepas lelah dari bekerja. Jika mereka
ingin makan ikan laut, maka tiap pagi keduanya menyiapkan kail dan jala untuk menangkap ikan.
Pada suatu malam ketika Ompu La Mpoa sedang duduk santai di balai-balai depan gubuknya, tiba-
tiba ia mendengar bunyi gendang, gong serta serunai di pinggir laut itu. Ompu La Mpoa memanggil
Wai’I La Mpoa yang sedang membakar Ubi.
“ Wa’I ……. Wa’I datanglah kemari ! “
“ Ada Apa Ompu ? ” Wa’I La Mpoa lari terbirit- birit.
“ Coba kau dengar, bunyi apakah gerangan yang sangat ramai di pinggir laut itu ?”
Wa’I La Mpoa mencoba mendengar secara seksama.
“ Barangkali ada orang yang berlayar di tengah laut yang memukul gendang dan gong itu, atau ada
perahu yang akan berlabuh.”
“ Jika memang betul, besok kita lihat.”
Keesokan harinya Ompu La Mpoa keluar dari kebunnya menuju tepi pantai untuk melihat apa betul
ada perahu yang berlabuh di sana. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu apapun. Ompu La Mpoa
semakin heran dan bingung. Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Bunyi apakah tadi malam itu ?
Apakah yang akan terjadi ? Atau apakah orang-orang yang ramai semalam sudah kembali ?
Pertanyaan demi pertanyaan terus hadir dalam benaknya. Perasaan takut dan cemas terus
menerawang.
Bunyi gendang dan gong itu hanya terdengar pada malam hari. Dan berlangsung selama beberapa
malam berturut-turut. Bunyian itu mengganggu pikiran keduanya. Mereka ingin tahu apa gerangan
yang sebenarnya terjadi. Setiap malam diintai dan diamati, namun tiada satupun yang tampak.
Bunyi-bunyian itu semakin riuh bertalu-talu dan tetap terdengar. Keanehan itu tetap menjadi tanda
tanya keduanya. Apakah bunyi itu dilakukan oleh manusia atau mahluk lain ?
Ompu dan Wa’I La Mpoa menghimpun keberanian untuk datang ke tempat itu sekali lagi. Tiada
satupun yang tampak. Sedangkan bunyian itu semakin jauh kedengarannya. Namun mereka tetap
tabah menunggu di tepi pantai dengan harapan mungkin akan ada sesuatu yang akan muncul.
Maka beberapa saat lamanya Ompu dan wa’I La Mpoa duduk di pinggir pantai itu, tidak juga terlihat
apa-apa melainkan hanya sepotong bambu yang terdampar di pinggir pantai itu. Ompu dan wa’i La
Mpoa tidak dapat menahan rasa kantuk. Wa'i La Mpoa mengajak Ompu La Mpoa untuk pulang,
namun mata Ompu La Mpoa selalu tertuju kepada sepotong bambu itu. Lalu ia berkata kepada
istrinya. " Tunggulah aku sebentar ." " Ompu mau kemana ?" Tanya Wa’I La Mpoa cemas. " Aku
akan mengambil bambu itu untuk bahan perkakas gubuk kita."
Bambu yang terdampar itu dibawa pulang dan diletakan begitu saja di pekarangan. Ompu
dan Wa’I La Mpoa tertidur untuk melepaskan kelelahan dan kekesalan. Bunyi-bunyian aneh selama
beberapa malam sebelumnya telah menyita waktu dan perhatian sehingga pekerjaan sehari-hari
terbengkalai. Dan kini sudah tidak terdengar lagi seiring dengan terdamparnya bambu itu.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika Ompu La Mpoa pulang dari pantai, Ia sangat lapar dan lelah.
Disuruhnya Wa’I La Mpoa untuk mengambil beberapa potong Ubi untuk dibakar. Di kala Ubi akan
dibakar, sepotongpun kayu bakar tidak ada. Yang ada hanyalah sepotong bambu yang dipungut dari
pantai. Karena kebutuhan akan kayu bakar, terpaksa bambu yang sedianya untuk bahan perkakas
gubuk dijadikan kayu bakar. Ompu La Mpoa mengambil parang untuk memotong bambu itu, namun
sebuah keanehan terjadi. Sebelum parangnya tertambat pada bambu itu, tiba-tiba terdengar suara
dari dalam.
“ Hai Ompu Jangan potong bambu ini. Kami ada di sini. Dan kami akan keluar sendiri.”
Ompu La Mpoa kaget. Bulu kuduknya merinding. Wajahnya pucat pasi. Lalu ia memanggil Wa’I La
Mpoa. Dan dengan langkah tergopoh-gopoh Wa’I La Mpoa menghampiri suaminya.
Belum habis keheranannya akan bunyian aneh itu, kini suami istri itu dikejutkan lagi oleh suara gaib
dari dalam bambu itu. Dalam keadaan keheranan bercampur takut, bambu itu pecah. Dan keluarlah
dua orang pemuda yang sangat baik parasnya dengan membawa dua buah gendang, satu gong
dan satu serunai bersama perlengkapannya.
“Wahai anak muda, Tuan hamba manusia, peri atau jin ?”
“ Anda berdua siapa dan darimana ?” Wa’I La Mpoa menyambung.
“ Kami adalah putera Sang Bima. Kami datang kemari dititahkan oleh Ayahanda. Nama saya Indra
Zamrud dan inilah adik saya yang bernama Indra Komala. Kami datang hendak bertemu dengan
Bapak kami Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara yang menjadi wakil Raja di sini.”.
“ Jika tuan tidak keberatan, sudilah kiranya tuan menginap dulu di gubuk kami sebelum menemui
Ncuhi Parewa dan Ncuhi Dara.” Wa’I La Mpoa menawarkan mereka untuk menginap.
“ Dengan senang hati kami menerima tawaran Ompu dan Wa’i.” Indra Komala menerima ajakan itu.
Beberapa hari kemudian Ompu La Mpoa pergi ke tampat Ncuhi Parewa yang tidak jauh letaknya
dari tempat itu. Kepergian Ompu La Mpoa tentunya tidak lain adalah untuk melaporkan tentang
kedatangan putera Sang Bima.
“ Mohon maaf tuan, hamba datang untuk melaporkan kedatangan dua orang putera sang Bima yang
bernama Indra Zamrut dan Indra Komala.”
“ Dimana mereka sekarang ? ” Ncuhi Parewa penasaran.
“ Untuk sementara mereka menginap di gubuk kami.”
“ Baiklah ! Saya akan menjemput mereka.”
Tak lama kemudian, bergegaslah Ncuhi Parewa, para pengawal dan seluruh rakyat
menjemput Indra Zamrut dan Indra Komala. Setibanya di kebun Ompu La Mpoa, Ncuhi Parewa
memberi hormat kepada kedua putra Sang Bima itu. Mereka saling berpelukan. Tak lupa pula Ncuhi
Parewa menanyakan tentang keadaan Sang Bima.
Ncuhi Parewa mengajak mereka untuk menginap di tempatnya sebelum menemui Ncuhi Dara.
Ajakan itu diterima pula oleh Indra Zamrut dan Indra Komala. Dengan penuh suka cita mereka
berjalan beriringan mendaki bukit dan menuruni lembah, bahkan menyeberangi sungai. Ikut
pula dalam rombongan itu Ompu dan Wa’I La Mpoa bersama gendang, gong dan serunai beserta
seluruh perlengkapannya.
Dengan penuh ketabahan serta kasih sayang Ncuhi Parewa membina dan mendidik Indra Zamrut
dan Indra Komala untuk beberapa bulan lamanya. Hal itu ditujukan untuk mempersiapkan keduanya
yang akan menjadi pemimpin Dana Mbojo kelak. Kegiatan sehari-hari mereka adalah berladang dan
berhuma. Setiap empat belas hari bulan mereka diajak menuju teluk Bima untuk memancing. Dan
sekaligus melihat-lihat keadaan negeri dimana Ncuhi Dara melaksanakan pemerintahan. Jalur yang
kerap mereka lalui adalah darikediaman Ncuhi Parewa, berjalan turun lembah Samili, terus melalui
daratan yang berada di Talabiu, kemudian mendaki gunung Londa dan selanjutnya turun di Lawata.
Setelah persiapan dianggap selesai dan cukup, Ncuhi Parewa melaporkan kedatangan kedua
putera Sang Bima itu. Berita disebarluaskan ke seluruh negeri. Ncuhi padolo, Ncuhi Dorowuni dan
Ncuhi Banggapupa dikumpulkan di istana. Akhirnya semua Ncuhi setuju. Mereka sepakat untuk
mengangkat Indra Zamrut untuk menjadi raja. Dari Mbojo sepakat menjemput Indra Zamrut dan
Indra Komala di Gunung Parewa Monta.
“ Hai Bapak Ncuhi Dara, kedatanganmu ini apakah kehendakmu dan niatmu ?” Secara bersama-
sama Indra Zamrut dan Indra Komala bertanya kepada Ncuhi Dara.
“ Ya tuanku syah alam, kedatangan hamba tidak lain adalah untuk menyerahkan diri kepada Sri
Paduka tuan berdua. Dan Hamba sekalian telah bersepakat dan semufakat dalam
mempersembahkan dan mempersilahkan Sri Paduka Tuanku berdua untuk pergi ke Istana.”
Mendengar jawaban Ncuhi Dara yang bertindak atas nama Dari Mbojo, hilanglah keraguan antara
keduanya. Mereka yakin bahwa Dari Mbojo dan seluruh rakyat tetap berpegang teguh pada ikrarnya
dulu di hadapan Sang Bima. Dari Mbojo tidak menghianati amanat.
Indra Zamrut dan Indra Komala bergegas berangkat ke Bima diiringi para Dari Mbojo dan seluruh
rakyat. Rombongan berangkat pada malam hari. Ncuhi Dorowuni diperintahkan untuk berangkat
mendahului, agar mempunyai kesempatan mengadakan persiapan penyambutan bersama rakyat di
depan istana Ncuhi Dara.
Setibanya di istana Ncuhi Dara, rombongan disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat. Ncuhi
Dorowuni dalam kedudukannya selaku Bicara Mbojo(Perdana Menteri) menyerahkan seperangkat
tempat sirih pinang( TA UA) kepada Indra Zamrut dan Indra Komala. Penyerahan TA UA adalah
upacara simbolik penyerahan kembali kekuasaan sebagai lambang keramahan dan ketulusan hati.
Sejak penyerahan itu, kekuasaan perwalian yang diemban Ncuhi Dara dikembalikan kepada putera
Sang Bima. Dan keselamatan Indra Zamrut dan Indra Komala menjadi tanggung jawab Ncuhi Dara,
Ncuhi Dorowuni dan Dari Mbojo.
Indra Zamrut menyerahkan sebilah keris berhulu besi dan satu azimat yang menjadi tanda dan
mengukuhkan sumpah masing-masing turunan selama-lamanya. Lalu Indra Zamrut mengangkat
Ompu La Mpoa menjadi DARI GENDA (Orang yang mengurus dan ahli di bidang Gendang dan alat
musik tradisional) dan menetap di istana sebagai ungkapan terima kasih dan balas jasa kepada
suami istri yang telah menolongnya.
Legenda La Hila
Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita. Kulitnya putih
bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan.
Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi keramas atau
mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo) serta tujuh belah kelapa atau
tiga setengah butir. Manakala sang putri mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang
untuk menjemurnya.

Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika
kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan seberang. Banyak
pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan berujung pada keributan di
antara mereka.

Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk
menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana paman
dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju bersembunyi. Dia minta
paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta
supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.

Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya
mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah
kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat menenun saja di
situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh
dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah. Disaat
bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang berteriak tidak tampak. Bunyi
teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja
pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman dan
bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak cucu”.

Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia
menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas
Donggo.

Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila.
Masyarakat setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun
rumah.

Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.

Share this:

 Twitter
 Facebook

Memuat...

This entry was posted on 2 Januari 2009 at 1:27 PM and is filed under Destination Alternative, History, Lepas with
tags Bima, Cerita
Rakyat, Dompu, Education, History, InfoGue, Legenda, LintasBerita, Opini, Pariwisata, Top, Travel Tips, Wordpress.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from
your own site.
Legenda La Hila
Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita. Kulitnya putih
bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan.
Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi keramas atau
mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo) serta tujuh belah kelapa atau
tiga setengah butir. Manakala sang putri mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang
untuk menjemurnya.

Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika
kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan seberang. Banyak
pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan berujung pada keributan di
antara mereka.

Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk
menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana paman
dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju bersembunyi. Dia minta
paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta
supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.

Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya
mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah
kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat menenun saja di
situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh
dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah. Disaat
bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang berteriak tidak tampak. Bunyi
teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja
pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman dan
bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak cucu”.

Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia
menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas
Donggo.

Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila.
Masyarakat setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun
rumah.

Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.

Share this:

 Twitter
 Facebook

Memuat...

This entry was posted on 2 Januari 2009 at 1:27 PM and is filed under Destination Alternative, History, Lepas with
tags Bima, Cerita
Rakyat, Dompu, Education, History, InfoGue, Legenda, LintasBerita, Opini, Pariwisata, Top, Travel Tips, Wordpress.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from
your own site.

Legenda La Hila
Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita. Kulitnya putih
bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan.
Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi keramas atau
mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo) serta tujuh belah kelapa atau
tiga setengah butir. Manakala sang putri mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang
untuk menjemurnya.

Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika
kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan seberang. Banyak
pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan berujung pada keributan di
antara mereka.

Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk
menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana paman
dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju bersembunyi. Dia minta
paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta
supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.

Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya
mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah
kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat menenun saja di
situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh
dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah. Disaat
bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang berteriak tidak tampak. Bunyi
teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja
pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman dan
bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak cucu”.

Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia
menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas
Donggo.

Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila.
Masyarakat setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun
rumah.

Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.

Share this:

 Twitter
 Facebook

Memuat...

This entry was posted on 2 Januari 2009 at 1:27 PM and is filed under Destination Alternative, History, Lepas with
tags Bima, Cerita
Rakyat, Dompu, Education, History, InfoGue, Legenda, LintasBerita, Opini, Pariwisata, Top, Travel Tips, Wordpress.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from
your own site.
Ada sebuah legenda yang menceritakan tentang kesetiaan seorang istri kepada sang suaminya
akhirnya menjadi batu, cerita ini berasal dari Dana Mbojo (Dompu / Bima) ~ Cerita legenda
Wadu Ntanda Rahi diyakini banyak terdapat di seluruh pelosok Mbojo. Masyarakat Sanggar
meyakini bahwa di sanalah tempat cerita Wadu Ntanda Rahi itu. Namun Inti atau hakikat
ceritanya hanyalah satu yaitu tentang kesetiaan seorang istri dalam mengarungi bahtera hidup
berumah tangga. Ia menjadi batu karena ingin mengabdikan cinta dan kesetiaannnya kepada sang
Suami yang telah merantau dan tenggelam di lautan luas Pada suatu hari seorang istri yang
sangat menyayangi sang suami, pergi keatas bukit gunung untuk melihat suaminya yang pergi
berlayar… Tapi sebelum dia pergi ke atas bukit banyak orang-orang di tempatnya itu yang
melarang dia untuk keatas sana namun dia tidak mendengarka nasehat dari orang-orang itu,
malah menjalankan keinginannya itu untuk melihat suaminya walaupun banyak orang yang
melarang, dia tidak perduli dengan semua itu………

~ Akhirya dia kesana denga keinginan yang tinggi karena semua ini yang dia lakukan adalah
sebagai tanda pengabdian dan kesetiaan terhadap sang suami…. Setelah nyampe di atas bukit
gunung dia berdiri dengan lelah, cemas, bahkan melamun sambil memikir dan melihat kearah
tempat sang suaminya berlayar … Akhirya seorang istri itu berubah menjadi batu hingga sampai
sekarang ini, entah apa kesalahan dan dosa yang dia perbuat sehingga dia bisa berubah menjadi
batu … Mulai waktu itulah orang-orang disekitar itu memberi nama kepada batu tadi dengan
Wadu Ntanda Rahi ( Batu Memandang Suami)

wadu: batu

ntada: melihat/memandang

rahi: suami

dana: tanah/daerah

mbojo: Bima

Bima adalah salah satu Kabupaten diujung timur Pulau Sumbawa Propnsi Nusa Tenggara Barat.
[caption id="attachment_100630" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi from
google.com"][/caption]

Sumber : http://ademataho.multiply.com/journal/item/334

Cerita Rakyat Bima “Wadu Ntanda Rahi”


APRIL 5, 2017 / NURULHIDAYAHSLIFE

Pada zaman dahulu, konon cerita disebuah desa di Bima (Mbojo), hiduplah sepasang
suami istri yang saling mencintai, terlebih sang istri yang begitu setia pada suaminya.
Mereka hidup bahagia dalam kesederhanaan.

Once upon a time, there was a story of a village in Bima (Mbojo), there lived a couple
of a husband and a wife who was loves each other, moreover the wife was so faithful.
They lived happily in simplicity.
Demi mencari kehidupan yang lebih baik. Pada suatu hari sang suami ingin pergi
melaut dan meminta ijin pada istrinya namun sang istri memiliki firasat buruk dan
melarang suaminya pergi. Sayangnya, sang suami tidak mendengarkan nasehat
istrinya dan tetap ingin pergi melaut. Setelah beberapa saat, suaminya bergegas kelaut
dan melewati bukit-bukit yang berada dekat tempat tinggal bersama istrinya.
Semenjak kepergiannya, sang istri tak pernah berhenti menangis. Entah mengapa ia
merasa sangat sedih dan ia pun memutuskan untuk menyusul suaminya dengan
menggendong anaknya melewati sebuah bukit.

For a better life, one day the husband wanted to go for fishing and he asked for the
permission from his wife, however the wife have had bad felling and she didn’t give
the permission to go. Unfortunately, the husband didn’t listen to the suggestion from
his wife and he insisted to go. After a while the husband went to the sea and walked
through the hills near from his house. Since the time he went, the wife never stopped
to cry. She didn’t know why she felt so sad and the wife decided to follow her husband
while was carrying out her baby, walked through the hill.
Dari atas bukit sang istri bisa melihat suaminya, tapi lama kelamaan suaminya tidak
terlihat lagi. Sang istri terus memanggil nama sang suami, tapi sang suami tidak
kunjung kembali. Sang istri memutuskan untuk tetap menunggu sang suami
dibukit, dan sang suami tidak kunjung kembali. Sang istri pun terus menangis
meratapi kepergian suaminya seakan ia tak rela untuk kehilangan suami yang sangat
di cintainya itu. Sang istri selalu menangis dan tak pernah beranjak dari bukit itu.
Konon cerita sang istri yang menangis tersebut menjelma berubah menjadi batu yang
sedang menangis meratapi suaminya sehingga masyarakat Bima memanggilnya
“Wadu Ntanda Rahi”.

From the top of the hill the wife could see her husband, but through the time the
husband was disappeared. The wife always called her husband’s name but the
husband didn’t come back yet. The wife decided to wait for her husband on the top of
the hill, and the husband also didn’t come back. The wife always cried to bewail for
her husband, she didn’t acquiesce in the losing of her lovely husband. The wife always
cried and never moved from the hill. According to the story, the crying wife was
reincarnated into a stone which was crying while watching out for the husband,
therefore Bimanese society called it “Wadu Ntanda Rahi”.
Sekarang wadu ntanda rahi telah dijadikan cagar alam.
Now “Wadu Ntanda Rahi” already becomes the pledge of the nature.

Anda mungkin juga menyukai