Anda di halaman 1dari 3

Lelaki yang Mencintai Puisi

Cerpen Karkono Supadi Putra

Pagi berhias gerimis yang perlahan mereda. Shofia mengamati lelaki di depan
rumah dari balik jendela di lantai dua. Tirai putih melindunginya agar tidak terlihat dari luar.
Lelaki yang tinggal di rumah seberang itu berhasil mencuri perhatian Shofia. Lelaki itu
tengah bercanda dengan kedua anaknya di taman depan rumahnya yang asri, di sebuah sudut
perumahan kawasan selatan Jakarta.
Sudah lima hari Shofia menempati rumah berlantai dua bercat putih itu, seorang
diri. Rumah itu milik Dony, seorang bos sebuah Production House. Dony yang meminta
Shofia untuk tinggal di rumah miliknya yang selama ini kosong. Alasannya sederhana, agar
Shofia bisa fokus menulis hingga target penyelesaian skenario sinetron kejar tayang itu
tercapai.
Semua kebutuhan Shofia selalu dipenuhi Dony. Meskipun rumah itu sebelumnya
kosong, tetapi tetap terawat dan fasilitasnya pun lengkap. Tiap dua hari sekali Dony
mengirim pembantu untuk membersihkan rumah. Jika ada perlu apa-apa, Shofia tinggal
telepon Dony dan semua akan beres. Shofia sendiri yang meminta agar dia sendirian saja di
rumah itu tanpa ada yang menemani, supaya bisa fokus dan nyaman menulis. Praktis,
kegiatan Shofia sehari-hari hanya terpekur di depan komputer.
Rumah yang ditempati Shofia berada di sebuah perumahan yang nyaman dan
tenang. Kebetulan juga, posisi rumah itu ada di ujung jalan yang sisi kanan dan belakangnya
adalah taman. Hanya deretan samping kiri dan deretan depannya yang ada rumah. Para
penghuni perumahan itu sibuk dengan urusan masing-masing, tidak banyak ikut campur
urusan orang lain. Sejauh ini, hanya Pak RT setempat yang tahu-manahu keberadaan Shofia
sebab sebelum menempati rumah itu, Dony sudah lapor perihal kedatangan Shofia.
Depan rumah persis, dihuni oleh keluarga muda dengan dua orang anak yang masih
kecil, sekira usia enam tahun dan tiga tahun. Dari meja komputer tempatnya bekerja, Shofia
dengan leluasa mengamati sebagian besar aktivitas keluarga itu. Dan entah, lelaki itu
senantiasa membuat jantung Shofia berdegup. Sering, Shofia memergoki lelaki itu seperti
tengah menulis di dalam kamarnya di lantai satu. Kadang, dalam benak Shofia lelaki itu
tampak tengah menulis puisi lalu membacakannya untuk kedua anaknya.
Di usianya yang sudah berkepala tiga, Shofia merasa baru kali ini benar-benar
mengagumi sosok lelaki. Kekaguman itu bukan pada fisik. Shofia sudah sering menjumpa
lelaki dengan paras rupawan. Bahkan, beberapa juga ada yang sudah ke rumah Shofia untuk
meminang. Namun, hati Shofia belum pernah bergetar dan karenanya hingga kini dia masih
betah melajang. Bagaimana lelaki itu memperlakukan istri dan kedua anaknya adalah hal
yang membuat hati Shofia berdegub. Keseluruhan yang ada pada lelaki itu baginya adalah
puisi. Tatapan mata yang teduh adalah puisi yang tak pernah usai Shofia tulis. Atau
senyuman mahal nan manis itu adalah puncak dari segala puisi. Terkadang, angan Shofia
berkelana, ingin segera memiliki sosok suami dan anak. Seringkali Shofia menepis angan itu
dan kembali memainkan jemari lentiknya pada tuts keyboard, merangkai cerita.
*
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Shofia sudah keluar rumah.
Pagi itu dia meniatkan untuk jalan-jalan mengelilingi kawasan perumahan yang
cukup luas. Perumahan itu sejatinya berada di tengah kota, tetapi didesain seperti laiknya di
sebuah kebun dan taman nan luas yang bebas dari hiruk pikuk dan kepulan asap kendaraan.
Jalan-jalan cukup lebar dan di sana-sini ada sudut taman bunga. Pohon-pohon rindang dan
rumput menghijau berkolaborasi mencipta suasana indah nan tenang.
Saat berlari-lari kecil sekadar melemaskan otot yang tegang, mendadak Shofia
berpapasan dengan lelaki depan rumah yang bahkan belum Shofia ketahui namanya itu.
Lelaki dengan sarung dan peci itu berjalan menggandeng anak lelakinya. Sepertinya usai
dari masjid yang berada di salah satu sudut perumahan. Melihat Shofia, lelaki itu sekadar
melempar senyum sembari menganggukkan kepala dan kembali berjalan bercengkerama
dengan anaknya. Shofia hanya menganggukan kepala. Kembali, Shofia merasakan getaran
jauh di lubuk hatinya. Kali ini dia seperti terjebak pada pusaran yang jauh lebih deras dan
siap menenggelamkannya. Bahkan, saking salah tingkah, pandangannya serasa kabur dan
hampir dia terhuyung masuk selokan. Shofia buru-buru mempercepat langkah dan segera
kembali ke rumah.
Shofia menyeruput kopi buatannya sendiri. Dia duduk di sofa sembari masih
memikirkan sejatinya apa yang terjadi pada dirinya. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?
Shofia masih bergulat dengan kecamuk hatinya. Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Tanpa sadar, Sofia menuliskan kata-kata itu pada layar komputernya.
*
“Kamu baru seminggu tinggal di rumah itu, Shofia. Kenapa kamu minta kembali ke
rumahmu lagi? Nanti kalau kamu telat menyusun skenario lagi sebab kamu akan disibukkan
dengan kegiatan di lingkungan rumahmu bagaimana? Sebenarnya ada apa? Kamu takut
sendirian di situ? Atau perlu saya kirim pembantu saya untuk menemani kamu?” suara Dony
dengan perantara telepon. Sore itu Shofia menghubungi Dony. Entah, terkadang terlintas
dalam benak shofia untuk tidak tinggal lagi di rumah itu. Bukan sebab takut sendirian, lebih
kepada takut jika hatinya senantiasa berdegub dan Shofia gagal untuk meredamnya. Namun,
belum sempat Shofia menjawab pertanyaan Dony via telepon, bel rumah berbunyi. “Pak
Dony, lupakan kata-kata saya tadi, saya hanya bergurau. Sudah dulu ya, saya baik-baik saja
kok.”
Shofia buru-buru menutup telepon, menyambar jilbab kaos lalu memakainya, dan
tergesa membuka pintu.
“Assalamu’alaikum, Mbak. Ini saya tadi kebetulan membuat rainbow cake dan
masih sisa banyak. Maaf, mungkin Mbak berkenan untuk…” Shofia seperti tak begitu jelas
mendengar barisan kata-kata wanita itu selanjutnya. Sosok wanita cantik berjilbab merah
muda berdiri di depan rumah sambil membawa piring dengan di atasnya ada rainbow cake
yang ditutup tisu tipis. Di sampingnya ada anak perempuan kecil nan lucu dengan jilbab
warna warninya. Perempuan ini adalah istri lelaki itu. Ah, betapa kekaguman Shofia pada
keluarga itu kian bertambah. Bukankah seyogianya Shofia yang bertandang ke rumah itu
sebagai seorang pendatang, minimal sekadar memperkenalkan diri. Namun, hal itu belum
jua Shofia lakukan dan bahkan perempuan ini yang justru ke rumah dan membawakan
makanan. Rasa, haruskan engkau diberi nama?
“Wa’alaikumsalam…. Wah, terima kasih sekali. Mari masuk dulu, Mbak. Adek…
ayo masuk….”
Dan sejak saat itu, Shofia menjadi akrab dengan perempuan yang belakangan dia
ketahui bernama Alia yang tidak lain adalah istri Rahman, lelaki yang hingga kini masih
Shofia kagumi itu. Shofia tidak jarang bertandang ke rumah Alia untuk sekadar belajar
memasak, mencoba resep-resep baru yang dia dapat dari internet. Itu Shofia lakukan lebih
sering saat Rahman tidak di rumah, pergi bekerja. Ah, Shofia selalu mencium aroma puisi
dari dalam rumah Alia. Di mana-mana seperti ada puisi. Dan itu bagi Shofia sungguh
menyiksa. Shofia sangat menyukai puisi, terlebih pada sosok lelaki yang selalu berpuisi.
Dan itu adalah siksa sebab Shofia hanya mampu menyimpan perasaan sukanya.
Alia sesekali juga ke rumah di mana Shofia tinggal. Usia mereka yang tidak terpaut
jauh membuat keduanya mudah akrab dan nyambung bercerita apa saja, termasuk soal
jodoh. Pada Alia, Shofia nyaman bercerita tentang banyak hal yang sebelumnya jarang dia
bagi. Di mata Shofia, Alia adalah sosok perempuan hebat yang mempunyai wawasan luas,
cerdas, pandai merawat dan mendidik anak-anaknya, serta setia dengan suaminya.
“Salah satu alasan saya dulu menerima pinangan Mas Rahman adalah sebab setahu
saya, Mas Rahman berhati lembut. Tutur katanya santun berirama, serupa puisi,” mendengar
penuturan Alia, hati Shofia seperti meleleh. Dia juga mendamba lelaki seperti itu,
*
Sebulan sudah Shofia tinggal di rumah itu. Tanpa dia sadari, ada banyak hal yang
berubah dalam dirinya. Interaksi dengan Alia, setidaknya mampu mengubah cara pandang
Shofia dalam memaknai hidup, utamanya tentang pernikahan. Gambaran keluarga Alia dan
Rahman yang setiap hari tersaji di hadapan Shofia, berhasil kembali menguatkan niat
hatinya untuk berkeluarga, bahwa hidup sendirian dengan kebebasan yang ada, rasanya
belumlah lengkap dan ada sisi-sisi hampa yang sejatinya sejauh ini berusaha dia tepis.
“Dia Haris, adik Mas Rahman. Baru pulang dari Australia menyelesaikan S2-nya.
Masih lajang lho… Kalau Mbak Shofia berkenan, bisa saya bantu mengenalkan…” bisik
Alia sambil mengedipkan mata ke arah Shofia. Seketika, Shofia mengarahkan pandang pada
sosok dua lelaki yang tengah berbincang di teras rumah Alia. Selalu, hati shofia berdegub.
Secara fisik Rahman dan Haris seolah bak pinang dibelah dua, hanya kulit Haris lebih putih.
Senyum mengembang di bibir Shofia. Mata beningnya menatap pada bunga mawar
yang mekar di taman. Lalu beralih pada wajah Alia.
“Mengenalkan?” tanya Shofia menggantung.
“Siapa tahu kalian berjodoh, Mbak. Jodoh memang sudah diatur, kita hanya bisa
berikhtiar. Kalau Mbak Shofia bisa menjadi istri Haris, kita akan jadi satu keluarga besar,
hehe.”
Tawa Alia dan Shofia berderai.
“Oiya, Haris mengambil Master of Art dalam bidang puisi di Latrobe University
Mbak. Kayaknya bakal cocok dengan Mbak Shofia yang seorang penulis skenario deh…”
Lalu, Shofia serasa terbang ke negeri yang hanya ada bahgia bertahta di sana.
*

Anda mungkin juga menyukai