Anda di halaman 1dari 33

Salah Asuhan

Pada suatu hari di sebuah lapangan tennis yang menunjukkan pukul lima
itu pun masih amat sunyi. Terdapat pohon-pohon ketapang di sekitarnya, disinari
oleh cahaya matahari yang mulai tenggelam. Setiap petang para penduduk Solok
yang terpandang itu pergi ke lapangan tennis untuk bermain. Baik orang tua,
anak-anak, laki-laki, ataupun perempuan dari Negara Barat dan Timur berkumpul
di sana untuk bermain dan saling mengenal satu sama lainnya. Namun, pada saat
itu belum ada orang yang bermain di lapangan tennis.
Terlihat ada dua orang anak muda berpakaian tennis dengan dua buah
raket tersender di dekat kursi sedang bercakap-cakap. Mereka adalah Hanafi dan
Corrie. Sambil bercakap-cakap, Corrie si gadis berdarah Belanda yang berparas
cantik itu menuangkan air teh ke dalam dua cangkir yang sudah ada di atas meja,
dan menambahkannya dengan gula. Sambil mengaduknya, ia pun berbicara
kepada pemuda di depannya itu, bahwa ia selalu menemuinya terlebih dahulu
sebelum menuju lapangan tennis. Hanafi pun membalasnya kalau setiap orang itu
harus menerima apa yang telah dia lakukan, dengan perbuatannya sendiri, asalkan
apa yang dilakukan itu tidak merugikan orang lain.
Hanafi dan Corrie sedikit memulai perdebatan. Corrie mengatakan bahwa
setiap perbuatan yang dilakukan ada batasnya, dan dari perbuatan itu telah
ditetapkanlah sebuah peraturan perundang-undangan yang apabila semua orang
mematuhinya maka akan tercipta masyarakat yang tentram dan damai. Hanafi
tidak setuju terhadap Corrie. Di Negara Arab, perempuan menutup auratnya,

namun berbeda dengan di Negara Amerika, baik pria maupun wanita berkeliaran
hanya menggunakan pakaian yang tidak sepantasnya dipandang oleh banyak
orang.
Corrie merasakan bahwa saat Hanafi mengatakan hal itu, ia seperti
dipermalukan. Hanafi adalah golongan Bumiputra, sedangkan Corrie berasal dari
golongan bangsa Eropa. Semua yang telah dikatakan oleh Hanafi hanyalah
menghina golongan Bumiputra saja, tidak dengan Corrie. Corrie menenangkan
Hanafi agar tidak salah paham. Dia tahu betul seperti apa sifat Hanafi itu. Sudah
sejak kecil mereka selalu bersama, mulai dari masa-masa mereka bersekolah.
Amarah Hanafi pun sedikit mereda. Apa yang sudah menjadi kenyataan tetaplah
menjadi kenyataan, perbedaan adat, bukanlah menjadi sebuah masalah, karena di
bangsa Eropa pergaulan antara pria dan wanita memang begitu bebas dan tidak
terikat. Berbeda dengan di Sumatera, pergaulan antara pria dan wanita sangat
dijaga dengan baik.
Hanafi mengambil sehelai surat kabar yang terletak di atas meja, seolaholah ia ingin membacanya. Corrie pun meraba tangannya sambil tersenyum
manis, seperti menyiratkan sebuah kalimat apakah surat kabar ini lebih penting
dari keberadaanku di sampingmu ini?. Sejenak Hanafi pun memandang gadis itu.
Corrie telah memikat hati Hanafi dengan kecantikannya. Di tempat itu, Hanafi
pun menggenggam tangan Corrie, dan mencium punggung tangannya. Tiba-tiba,
Corrie menarik kembali tangannya, dan memandang ke arah lapangan tennis.
Heran dengan tingkah laku Corrie yang berubah, Hanafi ikut memandangi apa
yang Corrie lihat.

Datanglah seorang Tuan dan Nyonya Brom, administrator Afdelingsbank.


Mereka mendekati kedua anak muda itu sambil membawa raket di tangan, lalu
menertawakan kedua anak muda itu. Wajah Corrie pun menjadi merah merona
karena malu telah tertangkap sedang berduaan dengan Hanafi oleh kedua orang
tuanya itu. Corrie pun datang kepada orang tuanya sambil mengucapkan sesuatu.
Hanafi pun menghormati orang tua Corrie dengan berjabat tangan.
Tiba- tiba datanglah beberapa orang secara berpasangan. Dengan gembira
Corrie menemui seorang gadis Bumiputra yang bernama Minah, yang datang
bersama Nyonya Bergen, guru sekolah. Permainan tennis itupun dimulai. Corrie
berpasangan dengan Hanafi. Ia merasakan bahwa apabila Hanafi menjadi lawan
mainnya maka dia tidak akan bisa berlatih dengan baik, karena memandangnya
dari arah yang berlawanan.
Setelah selesai bermain tennis, Hanafi mengantarkan Corrie pulang ke
rumah. Jarang sekali ia masuk ke dalam rumahnya. Hanafi tahu, meskipun ayah
Corrie mengizinkan ia untuk masuk, itu hanyalah untuk menunjukkan balas budi
saja. Pada kenyataannya, ayahnya Corrie tidak menyukai Hanafi, ia hanya
melakukannya karena Hanafi telah mengantarkan Corrie pulang ke rumah.
Pada saat itupun Hanafi masuk ke rumah Corrie, dan bertemu dengan
ayahnya Corrie, Tuan du Bussee. Keduanya saling berjabat tangan. Di sisi lain,
Hanafi merasa tidak tenang. Perasaannya mulai bimbang karena ia merasakan
bahwa Corrie telah membalas perasaan cintanya. Tapi, saat dimana Corrie
menarik tangannya dengan paksa pada kejadian sebelumnya, membuat ia merasa

tidak senang. Dalam hati, ia sudah berniat untuk mengatakan sesuatu kepada
Corrie.
Sebelum pulang, Hanafi mendekati Corrie dan mengajaknya untuk datang
ke rumahnya besok petang, tepatnya saat jam menunjukkan jam lima. Ia pun
hendak menceritakan sesuatu kepadanya. Corrie menunduk dan diam sambil
melihat bebatuan yang ada di halaman rumahnya. Hanafi kembali membujuk
Corrie. Beberapa saat kemudian, Corrie pun menerimanya untuk datang ke
rumahnya, namun bersama Aminah. Hanafi hanya ingin Corrie lah seorang diri
untuk datang ke rumahnya. Akhirnya Corrie pun setuju akan hal itu. Dengan hati
gembira, Hanafi menggenggam jari Corrie dengan kuat, membuat Corrie sedikit
marah, namun juga tersenyum.
Sementara itu, ayahnya Corrie, yaitu Tuan du Bussee, adalah orang
berbangsa Prancis yang telah pensiun dari jabatannya sebagai seorang arsitek. Ia
mengisi masa tuanya dengan bertapa. Ia juga suka berburu. Meskipun umurnya
sudah enam puluh tahun, ia masih suka menjelajahi alam. Ia selalu pulang dengan
membawa seekor binatang hasil buruannya itu. Tuan du Bussee sangat suka
berburu harimau. Apabila persediaan makanan masih tersedia, ia tidak akan
pulang dengan tangan kosong, dan akan mendapatkan hasil buruannya itu.
Hasil buruan seekor harimau itupun dikeringkan, kemudian kulit dan
tengkoraknya dimasukkan ke dalam peti untuk dikirim ke Paris supaya
dibersihkan. Jika selesai, hasilnya akan dikirim ke seluruh pulau Jawa dan ke
Eropa untuk dijual kembali.

Sepulangnya dari rumah, Hanafi bertemu dengan ibunya. Sejak kecil,


Hanafi sudah disekolahkan di Betawi. Setelah dewasa, ibunya memindahkannya
ke Solok. Ayahnya sudah lama meninggal. Ibunya memiliki perekonomian yang
terbilang cukup. Karena itulah Hanafi dapat menumpang di rumah orang Belanda,
bermaksud agar ia dapat menjadi orang yang pandai, melebihi kaum keluarganya
yang di kampong itu.
Setelah tamat SD, Hanafi bersekolah di HBS sampai 3 tahun. Ibunya
sudah mulai berumur, dan sangat merindukannya, karena itulah Hanafi putus
sekolah di sana. Dengan bantuan dari sahabat-sahabat ayahnya, dan atas
permintaan ibunya, Hanafi dapat menjadi klerk di kantor Assisten Residen Solok.
Dalam waktu yang cukup dekat, ia pun diangkat menjadi Komis.
Ibunya Hanafi adalah orang yang berasal dari kampung. Namun, karena
sangat sayang dan khawatir kepada anaknya, Hanafi, akhirnya ia meninggalkan
rumah gedang di Koto Anau, dan tinggal di Kota Solok bersama Hanafi. Ibunya
mengeluarkan uang untuk mendekorasi rumah yang ada di Solok itu sesuai
keinginan anaknya itu. Terlihat Hanafi tidak menghiraukan kesenangan ibunya.
Di setiap sudut rumah itu terdapat meja-meja kecil, vas bunga, dan lainlain. Semua itu adalah pemberian dari ibunya. Namun, Hanafi tidak begitu senang
atas perlakuan ibunya itu. Akhirnya, ibunya tidak berani lagi untuk mengubahubah keadaan di dalam rumahnya, melainkan ia membersihkan bagian ruang
dapur, tempat ia biasa menerima tamu yang datang. Seketika perasaan ibunya
mulai bimbang melihat anaknya itu, berpakaian Belanda, dan hanya bergaul

dengan orang-orang Belanda saja. Meskipun berbahasa Melayu, ketika berbicara


dengan ibunya, Hanafi akan menggunakan bahasa Riau. Namun, ibunya sangat
sedih, karena bagi Hanafi semua orang yang tidak pandai berbahasa Belanda
bukanlah siapa-siapanya, kecuali untuk ibunya. Namun, sesaat kemudian ketika
Hanafi sedang berbaring di sebuah sigaret, ibunya memulai perbincangan. Pada
akhirnya perbincangan itu diakhiri dengan tangisan ibunya. Kejadian ini sudah
terulang tiga kali. Ia tidak dapat membantah lagi atas ucapan yang telah
dilontarkan oleh anaknya itu. Hanafi kian lama seperti menjadi anak yang
durhaka. Ibunya sudah tidak dapat mengatakan apapun lagi, namun ia sangat
menyayangi anaknya, meskipun ia hanyalah orang biasa di kampung.
Malam hari pun tiba, namun Corrie tidak dapat tidur nyenyak. Hatinya
selalu bertanya-tanya apakah ia jatuh cinta terhadap Hanafi. Lalu dia mengingatingat apa yang sudah dikatakan baik olehnya maupun saat dia berbicara dengan
Hanafi. Anak Belanda dengan Orang Melayu itu tidak akan mungkin terjadi,
namun Orang Melayu memiliki hak yang sama dengan Orang Eropa. Lalu Corrie
pun membayangkan Hanafi. Hanafi tidak seperti kebanyakan golongan Bumiputra
saja, yang memiliki kulit hitam. Hanafi juga sepertinya benci pada bangsanya
sendiri, karena pelajaran, tingkah laku, perasaan, bahkan semuanya telah
terpengaruh oleh bangsa Barat. Jika saja ia tidak tinggal bersama ibunya, maka
tidak ada satupun orang yang akan mengetahui kalau Hanafi adalah orang
Melayu. Karena benci terhadap negaranya sendiri, maka Hanafi sangat menyukai
haknya disamakan dengan bangsa Eropa. Walaupun demikian, bukan berarti
Corrie mencintainya. Ia memandang Hanafi sebagai sahabatnya sejak kecil.

Pukul empat sore, Corrie sudah berhias di depan cermin. Ia mengenakan


baju biru laut, yaitu warna yang sangat disukainya. Teringat kembali olehnya
kalau Hanafi menyukai warna lila. Karena itu dia mengganti bajunya dengan
warna yang lain. Ketika melihat cermin kembali ia merasa terkejut. Mukanya
yang pucat seperti orang yang terkena anemia. Baju berwarna lila yang dipakainya
itu semakin menambah kepucatannya. Corrie berpikir kembali untuk apa dia
susah-susah mengenakan baju yang sebenarnya ia tidak inginkan itu, karena
hatinya tidaklah mencintai Hanafi. Pada akhirnya ia mengenakan baju berwarna
merah tua. Bukan bermaksud untuk terlihat seperti ia memang mencintai Hanafi,
namun karena hanya warna itulah yang cocok dengan kulitnya.
Jam masih menunjukkan jam setengah lima, namun rasanya waktu
berjalan lama sekali bagi Corrie. Ia mempunyai janji bertemu Hanafi pada jam
lima sore. Corrie tidak ingin Hanafi mengira kalau ia ingin sekali bertemu
dengannya. Sambil menunggu jam lima datang, Corrie berjalan mengelilingi
rumahnya. Ia melihat banyak lukisan binatang hasil buruan ayahnya itu, terpajang
di dinding rumahnya. Ia juga memasuki kantor ayahnya itu, membaca nama bukubuku yang ada, dan kembali lagi menuju kamarnya. Sekali lagi ia melihat dirinya
di cermin, lalu melihat arlojinya. Arlojinya sudah menunjukkan jam lima sore.
Corrie pun bergegas untuk berangkat ke rumah Hanafi.
Dalam perjalanan di sepanjang gang rumahnya, Corrie menghitung jemari
nya itu, seperti meramalkan sebuah kata apakah dia cinta atau tidak terhadap
Hanafi. Ramalan itu menunjukkan kata cinta. Namun, ia tidak menghiraukannya
karena itu hanya permainan kekanak-kanakan saja. Corrie pun bertemu ayahnya di

kebun, yang sedang terlihat lelah itu. Ia pamit kepada ayanhnya dan berjalan
keluar menuju jalan besar. Corrie berjalan lebih cepat dari biasanya.
Di lain sisi, Hanafi sedang memperbaiki susunan bunga di dalam vas yang
terletak di atas meja rumahnya itu. Seketika Hanafi melihat Corrie datang, ia
langsung berlari ke halaman rumahnya. Ternyata Corrie lebih dari menepati janji
yang diberikan oleh Hanafi, karena ia datang sepuluh menit lebih cepat dari jam
lima. Corrie terlihat sangat lelah, ia berjalan begitu cepat, khawatir dia tidak
menepati janjinya itu. Hanafi pun membimbing tangan Corrie untuk duduk di
kursi yang dibuat dari rotan itu, yang sudah ada hiasan indah di atas meja.
Ketika hendak duduk, Hanafi menggenggam tangan Corrie dengan lama
sambil memandangnya. Corrie menundukkan mukanya karena malu, hatinya
berdebar-debar, melihat Hanafi begitu dekat dengannya. Mungkin detak jantung
Corrie yang berdebar-debar akan terasa olehnya juga. Teringat kembali bahwa
Corrie tidak mencintai Hanafi. Lalu ia dengan berani menyuruh tuan rumah itu
untuk duduk di kursi rotan itu juga.
Berduaan dengan Corrie membuat Hanafi sedikit canggung. Hanafi
akhirnya pergi ke dapur sebentar, mebuatkan teh untuk Corrie. Setelah selesai
dibuat, ia menaruh gula ke dalamnya dan mengaduknya, dan memberikannya
kepada gadis cantik yang sedang duduk itu. Hanafi kembali masuk ke dalam
rumah, menuju kamarnya. Ia mengambil sebuah album yang berisi gambargambar perjalanannya dari Solok ke Padang.

Corrie merasa kagum dari gambar yang dilihatnya. Lalu, Corrie menaruh
secangkir teh itu ke atas meja dan mulai bertanya untuk apa Hanafi memintanya
untuk datang ke rumahnya. Hanafi merasa ingin menghabiskan waktunya bersama
dengan Corrie lebih lama lagi, karena hanya tinggal seminggu saja Corrie masih
berada di sana. Sudah lama juga Corrie merindukan teman-temannya di Belanda,
juga Kebun Binatang, Deca Park, dan Nieuw Zandvoort, juga Stafmuziek. Hanafi
bingung, kenapa Corrie sangat betah tinggal di negeri yang seperti di Solok ini.
Hanafi sendiri sebenarnya tidak merasa senang berada di Solok, namun atas
keinginan ibunya, ia akhirnya mau untuk berada di sana. Karena bagi Hanafi,
Solok sudah merupakan segalanya untuk dia. Tapi suatu saat juga akan menjadi
kota yang mati.
Hanafi memandangi Corrie sesaat. Hatinya sudah tidak tahan lagi. Secara
tidak disengaja ia memeluk pinggang Corrie, dan menciumnya dengan lembut.
Corrie pun akhirnya tidak sadarkan diri. Badannya terasa tersengat arus listrik atas
perlakuan dari Hanafi itu. Seolah-olah lupa apa yang ada di sekitarnya, Hanafi
terus memperlakukan Corrie seperti itu. Namun, tiba-tiba datanglah seorang
tukang pos menyampaikan posnya. Kedua anak muda itu terkejut, dan Hanafi
melepaskan kedua tangannya dari pinggang Corrie. Corrie baru ingat kalau hari
itu ada pos Betawi, maka dia berhendak ingin pulang. Pasti akan banyak surat dari
teman-temannya itu. Hanafi sangat sedih, karena belum sampai seperempat jam
sejak kedatangan Corrie. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Corrie pun berlari
menjauhi Hanafi.

10

Sesampainya di rumah, Corrie melihat beberapa surat dari temantemannya. Namun, ada yang janggal dari sebuah surat yang ia lihat. Ia tidak
pernah melihat tulisannya sama sekali, dan mengira mungkin saja itu surat
lamaran. Tebakan Corrie tidak meleset, ternyata benar dugaannya. Surat itu berisi
kalimat nona yang cantik untuknya. Ketika ia melihat siapa pengirimnya, dia
adalah Alfred Holstein, orang yang bekerja di KPM dengan rambut keriting.
Sebelumnya, Corrie sudah bertemu dengan Alfred selama dua kali, di dalam trem.
Corrie bermaksud untuk membalas suratnya, mengatakan kalau ia tidak ingin
memiliki suami, karena hidup bersuami-istri tidak menarik baginya.
Tidak tahu kenapa, Corrie merasa kalau ia harus putus dengan Hanafi.
Akhirnya ia menulis surat untuk Hanafi. Ia akan pergi ke Bukittinggi untuk
menemui temannya. Ia tidak tahu kapan akan kembali ke Solok. Surat itu pun
dikirim olehnya menuju pos untuk diterima Hanafi. Apabila surat itu telah sampai,
mungkin Corrie sudah berada di kereta api. Namun, surat itu sengaja dibuat
sedemikian rupa olehnya, agar Hanafi tidak membalas suratnya. Corrie
memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper, kemudian ia tidur.
Keesokan harinya, saat sedang makan, Corrie meminta izin kepada
ayahnya untuk mengunjungi sahabatnya, anak dari Asisten Residen Bukittinggi,
tanpa tahu berapa lama ia akan di sana. Ayahnya tidak membantah keinginan
anaknya itu, karena ia sangat sayang dengan Corrie, ia lebih memilih diam saja
saat itu dan menyetujuinya.

11

Sepulang dari kantor, Hanafi menerima surat yang dikirimkan oleh Corrie.
Surat itu terasa singkat baginya. Ditulis dengan sederhana sekali. Dia takut apabila
Corrie tidak kembali lagi ke Solok, melainkan ia malah meninggalkan Hanafi di
sana. Perasaan hati Hanafi pun mulai bimbang.
Setelah itu datanglah Hanafi ke rumah Tuan du Bussee. Ia ingin tahu apa
yang terjadi dengan Corrie. Seseorang bernama Simin berkata kalau koper-koper
itu adalah milik Nona Corrie. Tidak ada satupun darinya yang tertinggal di rumah
ayahnya itu. Saat itulah Hanafi mengetahui semuanya dengan jelas.
Sepulangnya ke rumah, Hanafi langsung membaringkan badannya di sofa,
sambil menangis tersedu-sedu. Dia amat sedih ditinggalkan oleh kekasihnya
sendiri. Ia tidak tahu berapa lama telah tertidur di sofa. Hari pun mulai senja, si
Buyung yang seekor kerbau, menyalakan lampu gasolin. Namun, tiba-tiba
terdengar teriakan dari telinga Hanafi. Minyak bensin itu tumpah dan terjatuh ke
alas tikar yang ada di bawah, dan api pun menyala. Si Buyung merasa panik dan
terus memadamkan api pada tikar itu dengan meniup-niupnya. Sudah banyak
orang berdatangan dari belakang untuk memberikan pertolongan. Hanya ibunya
Hanafi lah yang tidak kehilangan akal, dengan segera ia menutup keran bensin
yang ada di teng dan lama-lama api itu mulai padam.
Hanafi pun terbangun, melihat sesuatu di sekitarnya terbakar, namun
sudah padam. Ibunya sangat khawatir kepadanya. Ibunya sudah tahu dari si
Buyung kalau Nona Corrie sudah berangkat ke Betawi. Ibunya juga mengetahui
bahwa Hanafi sedang sangat merindukan gadis itu.

12

Ibunya Hanafi merasa yakin bahwa anaknya, Hanafi, sedang dipermainkan


oleh gadis itu karena tingkah laku Corrie. Namun, ibunya tidak ingin ikut campur
dengan urusan mereka, karena takut kalau Hanafi akan semakin berkata yang
tidak baik kepada ibunya nanti. Meskipun Corrie masih muda, Corrie tahu bahwa
ibunya Hanafi memandangnya dengan perasaan tidak menyenangkan, seperti
orang yang cemburu dengan kekasihnya. Corrie juga tidak ingin membuat
keduanya merasakan perasaan yang tidak akan baik kedepannya nanti. Karena
itulah dia lebih baik tidak mencintai Hanafi.
Hanafi kembali berbaring sofa sambil membayangkan kekasihnya. Ia
masih yakin kalau Corrie sungguh membalas cintanya. Dia tidak akan melepaskan
Corrie lagi apabila suatu saat nanti dia bertemu kembali. Hanafi merasakan bahwa
perbuatan Corrie itu karena atas larangan ayahnya ataupun dari teman-temannya
itu.
Datanglah seorang tukang pos ke rumah Hanafi mengantarkan surat
berwarna merah jambu itu. Tak disangka ternyata surat itu adalah surat dari Corrie
untuknya. Ketika ia melihat tanda tangan dari surat itu, dia merasa ada sesuatu
yang tidak beres. Hanafi sedikit tampak gelisah. Tanda tangannya bukanlah tulisan
Corrie, melainkan C. du Bussee. Ia berniat tidak ingin membaca surat dari Corrie
itu. Tapi, kabar baik ataupun buruk harus ia ketahui, mengingat itu adalah surat
dari kekasihnya. Dengan kebimbangan hati, ia mulai membuka dan mebaca surat
itu.

13

Dari surat itu Corrie menceritakan kisah mereka berdua sejak kecil. Corrie
menganggap Hanafi sebagai saudara yang lebih tua. Sudah berapa kali mereka
selalu membicarakan perkawinan antara nona Belanda dengan orang Melayu.
Setiap mereka membicarakannya, Hanafi selalu saja naik darah. Corrie
mengatakan kalau mereka tidak bisa bersama, karena orang dari Belanda tidak
akan pernah bisa bersatu dengan orang Melayu. Barat tinggalah Barat, begitu juga
dengan Timur. Jika Hanafi menikahi Corrie, maka Hanafi harus meninggalkan
negerinya sendiri, baik keluarganya, maupun ibunya. Corrie mengetahui kalau
Hanafi tidak mempedulikan hal itu. Corrie tidak ingin Hanafi menjadi pria yang
tidak berbakti. Untuk itulah ia menasihati Hanafi agar yang seperti itu tidak
terjadi, karena Hanafi masih memiliki tanggung jawab kepada negerinya, baik
kepada keluarganya, dan terutama pada ibunya. Corrie menyuruh Hanafi untuk
bersyukur atas apa yang Tuhan berikan. Mungkin di suatu saat nanti mereka akan
bertemu kembali, entah itu kapan.
Malam pun akhirnya tiba, namun Hanafi tidak tertidur juga. Perasaan
rindu dan cintanya kepada Corrie, seakan-akan hilang menjadi rasa dendam dan
benci. Akhirnya dia mengerti, kalau Corrie sudah mempermainkan hatinya,
seolah-olah ia hanya memperlakukan Hanafi seperti itu untuk menghibur hatinya
saja. Bahkan, saat surat yang disampaikan Corrie saja, Corrie mengatakan kalau
Hanafi sudah membawa bahaya bagi kehormatan Nona C. du Bussee itu. Padahal,
yang mebuat Hanafi menjadi seperti ini adalah karena tingkah laku Corrie.
Dua tahun pun terlewatkan, dan Hanafi telah menikah dengan Rapiah.
Sebelumnya, pernikahan itu seharusnya tidak terjadi karena hampir batal

14

dikarenakan perselisihan antara pihak kaum laki-laki dengan kaum perempuan.


Dalam dua tahun itu, Hanafi memandang Rapiah sebagai istri yang mungki
diberikan kepadanya. Namun, perkataan Hanafi kepada Rapiah tidak enak
didengar oleh istrinya. Ia mengatakan kepadanya dengan kata misbruik yang
berarti mengisap darah sebagai lintah. Betapa hina bodohnya ia di sisi suaminya,
yang sebenarnya tidak sejodoh dengannya.
Ibunya Rapiah hanya sanggup sebulan saja menemani Rapiah di rumah
Hanafi, setelah itu ia kembali pulang ke Bonjol. Perasaan sedihlah yang
disembunyikan ibunya Rapiah selama ia berada di rumah Hanafi. Jika ia ingin
bertemu dengan anaknya maka ia akan pergi ke Solok, dengan membawa
makanan yang cukup untuk Rapiah selama sebulan.
Ibunya Hanafi sudah tidak tahan lagi melihat anaknya yang seperti itu, ia
merasa lebih dekat dengan Rapiah dibandingkan dengan anaknya sendiri, Hanafi.
Tapi, perbuatan yang tidak baik dari Hanafi kepada Rapiah semakin menjadi,
karena mengira kalau Rapiah telah mengadu kepada ibunya.
Hanafi dan Rapiah memiliki anak yang hampir berumur satu tahun. Dapur
dan anaknya itu bagaikan dunia satu-satunya bagi Rapiah. Ketika Hanafi sedang
tidak di rumah, melainkan di kantor, Rapiah terbiasa berbicara di rumah, dengan
ibunya Hanafi. Namun, saat Hanafi sudah pulang, mulut Rapiah seakan kembali
terbungkam. Bukan perasaan benci yang ada pada Rapiah kepadanya, melainkan
rasa takut.

15

Ketika teman-teman Hanafi dari bangsa Eropa itu datang ke rumahnya,


mereka hanya makan dan minum saja, tanpa berjumpa dengan istri

Hanafi,

Rapiah. Memang, karena hidangan mereka selalu terpenuhi. Anaknya pun tidak
mereka lihat. Bahkan Hanafi tidak mempedulikan anaknya, karena baginya anak
itu hanyalah anaknya Rapiah saja, bukan anaknya juga.
Nyonya Assisten Residen, sahabat dari Hanafi, tidak tahan lagi melihat
perlakuan Hanafi terhadap istrinya. Akhirnya memberanikan diri. Ia merasa
bahwa Hanafi yang sudah beristri itu tidak menjalankan kewajibannya sebagai
seorang suami. Ia mengatakan kalau Theori dan Filosofie yang selalu
diucapkan oleh Hanafi hanyalah untuk memperkuat perkataan yang telah
diucapkannya, agar tidak ada bantahan apapun. Dia juga mengatakan kalau Hanafi
memperlakukan perempuan yang sabar dan lilah juga tidak berdaya itu dengan
tidak baik. Ia juga mengatakan kalau Hanafi tahu betul bagaimana adat Belanda,
tetapi bukanlah seperti ini terhadap istri.
Hanafi tersentak kaget, mendengar kata-kata yang dikeluarkan oleh
sahabatnya sendiri. Hanafi mulai berkata-kata dengan sahabatnya itu dengan
perasaan malu. Ia menyampaikan pada sahabatnya itu kalau perkawinan ini adalah
kawin paksa. Perempuan itu pun membentaknya, bukan sebagai Nyonya Assisten
Residen, tetapi sebagai sahabatnya. Sahabatnya itu memang tidak tahu apa yang
terjadi sebelum Hanafi menikah, namun, sudah menjadi kewajiban bagi seorang
suami untuk mengasihi istrinya, apalagi keduanya sudah memiliki seorang anak.
Seperti hikayat dalam Seribu Satu Malam, kata sahabatnya itu.

16

Setelah sahabatnya berkata seperti itu di depan banyak orang ketika


sedang bermain tennis, mereka terdiam. Perkataan sahabatnya itu berhasil
membuat teman-temannya dari bangsa Eropa itu tidak pernah berkunjung lagi ke
rumah Hanafi. Di tempat bermain tennis itu pun Hanafi tidak dihiraukan lagi oleh
mereka. Akhirnya, hanya dua sampai tiga orang sajalah yang menjadi sahabatnya.
Sahabatnya itu juga merupakan orang-orang yang dijauhi oleh orang-orang di
Solok.
Kejadian yang telah lewat itu, makin membuat Hanafi benci pada Rapiah.
Ia menuduh Rapiah sudah berbuat fitnah kepada sahabatnya yang merupakan
Nyonya Assisten Residen itu, hingga menyebabkan ia kehilangan sahabatnya.
Setiap hari asalkan Hanafi melepaskan amarahnya, ia sudah cukup melepaskan
rasa sakit hatinya juga pada Rapiah. Namun, Rapiah hanya tunduk sambil
menangis saja, seperti insaf terhadap dirinya sendiri.
Ibunya Hanafi semakin tidak suka atas perlakuan Hanafi kepada Rapiah.
Tapi, mau bagaimana lagi. Jika ibunya ikut campur, Hanafi akan semakin durhaka
terhadap ibunya sendiri. Bahkan semakin lama Hanafi tidak menganggap Rapiah
sebagai istrinya, melainkan sebagai babu yang telah diberikan untuknya.
Matahari mulai tenggelam, Hanafi tidak bermain lagi dengan ketiga orang
sahabatnya itu, karena mereka telah tersisih dari permainan. Kedua sahabatnya itu
adalah nona pos dan seorang guru dengan nyonyanya. Karena memiliki nasib
sama, makin kariblah persahabatan diantara mereka.

17

Pada petang hari, keempat sahabat itu duduk di kebun Hanafi, tempat dulu
Hanafi menerima kedatangan Corrie dahulu. Mereka berniat untuk membuat club
tennis kelas satu, dengan membawa beberapa orang bumiputra yang terpelajar.
Hanafi malah tidak menghiraukan mereka, hatinya merasakan sesak mengingat
masa yang terlah terlewatkan dahulu, saat ia bersama dengan kekasihnya, Corrie.
Tergambarlah kenangan-kenangan dirinya dengan Corrie pada saat itu. Di rumah,
Hanafi tidak memiliki seorang sahabat. Kebanyakan orang sangat memerlukan
sahabat untuk mencurahkan isi hatinya , baik sedih ataupun senang. Sahabat itu
pun adalah Corrie di masa lalunya. Namun, setelah Corrie enyah dari
pergaulannya, ia menjadi sendiri, dan bertemu dengan Suze.
Setelah berbincang-bincang dengan ketiga orang sahabatnya itu, ia pun
berniat menghidangkan secangkir teh untuk masing-masing sahabatnya itu.
Hanafi kemudian memanggil si Buyung, tidak ada yang menyahut. Lalu ia
memanggil Rapiah, namun keadaan itu tetap sunyi. Dengan cepat Hanafi berdiri
dari kursi menuju rumahnya, dan masuk ke dapur. Ternyata di sana terdapat
ibunya dan Rapiah sedang asyik memasak.
Hanafi membelalakan matanya kepada istrinya itu. Rapiah sedang
meremas kelapa sambil melihat suaminya dengan tersenyum. Ia bilang si Buyung
sedang jalan-jalan bersama Syafei dan suara suaminya tidak terdengar sampai ke
dapur. Ketika akan menghidangkan teh, akhirnya gula pun habis. Hanafi
menyuruh si Buyung untuk membeli gula. Syafei pun menangis, Rapiah pun
masuk ke dalam rumah hendak mengambil suatu barang. Ketika ia sudah
mendapatkannya, terdengarlah suara anaknya, Syafei, yang sedang menangis

18

sedang dibawa oleh Hanafi kepada ketiga orang sahabatnya itu. Kata-kata hinaan
kepada istrinya itupun semakin menjadi saat ia ingin mengambil anaknya itu. Ia
kembali ke dapur dengan tangis yang amat menyedihkan. Akhirnya ketiga sahabat
Hanafi pun pulang, dan Hanafi kembali menghempaskan tubuhnya dengan malas
ke kursi, serta menarik napas panjang.
Ibunya Hanafi hanya melihat perlakuan Hanafi dari jendela rumah.
Dengan lama ia memandang anaknya, yang tidur dengan santainya seperti tidak
ada apa-apa yang terjadi. Air mata ibunya sudah kering, namun terlihat matanya
itu masih bengkak. Dengan berani, ibunya lalu menghampiri anaknya itu.
Ibunya berkata kepada Hanafi apakah Hanafi tidak menyesal atas apa yang
telah ia perbuat selama ini, namun Hanafi memutarbalikkan fakta kepada ibunya.
Seharusnya ibunya lah yang menyesal karena telah memberikan istri itu
kepadanya. Akhirnya, air mata pun kembali turun dari mata ibunya. Ibunya
menyangka kalau Hanafi menyesal atas perbuatannya tadi, namun tidak. Hanafi
terus menyalahkan ibunya, yang meracuni hatinya, yang membuatnya kehilangan
sahabat-sahabatnya, dan yang selalu ikut campur dalam rumah tangganya. Ibunya
mengucapkan kalimat Istighfar. Ternyata Hanafi sudah jauh dari yang ia kira. Ia
tidak pernah mengajarkan Hanafi untuk menjadi orang yang seperti ini nantinya,
menjadi anak yang durhaka.
Tiba-tiba Hanafi terkejut, menarik tangan yang tergantung di kursi itu
dengan cepat. Tangannya digigit oleh seekor anjing. Akhirnya anjing itu
melepasakan tangan Hanafi, dan kabur karena banyak orang mengejarnya dengan

19

pemukul, palu, dan lain-lain. Dengan wajah pucat, Hanafi memandang lukanya
itu. Ketiga jarinya mengeluarkan darah.
Dokter pun segera dipanggil ke rumah Hanafi. Dokter itu menyarankan
supaya Hanafi segera dibawa ke Betawi dengan segera. Ternyata anjing itu telah
menggigit tiga orang korban siang ini, termasuk Hanafi. Akhirnya keesokan
Minggunya Hanafi berangkat ke Betawi.
Selama dua tahun itu juga pun, Nona Corrie pun sudah banyak berubah.
Belum setahun ia meninggalkan ayahnya untuk melanjutkan sekolah, telah
meninggal. Tadinya, ia hendak berangkat ke Solok untuk berziarah ke kuburan
ayahnya. Tapi ia tidak kuat untuk melihat kuburan ayahnya sendiri di sana.
Karena itu ia meminta bantuan kepada Tuan Assisten Residen Solok agar kuburan
ayahnya dapat diperbaiki tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Weeskamer
Padang mengatakan kalau barang-barang peninggalan Tuan du Bussee akan
dilelang, rumahnya akan dijual, sedangkan uangnya akan disimpan oleh
Weeskamer, sampai tiba saatnya Corrie berumur dua puluh satu tahun. Di bawah
umur tersebut, ia dapat menerima uangnya untuk berbelanja untuk kehidupan
sehari-hari dalam asrama.
Corrie sebenarnya tidak senang dengan kehidupan sekolah yang seperti
itu, karena hidup diperintah-rintah sudah membuatnya cukup muak, sehingga
menimbulkan bantahan dalam hatinya. Jika dia ingin, sebenarnya dia bisa saja
keluar dari sekolah dan asrama.

20

Sementara itu, Corrie merasa kalau ia semestinya harus menikah, agar dia
dapat melepaskan diri dari segala aturan-aturan yang mengikat dirinya itu. Namun
ia bingung dengan siapa ia akan menikah. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba
timbul kenangan-kenangan saat ia bersama dengan Hanafi. Sebenarnya, ayahnya
tidak melarang Corrie untuk menikah dengan Hanafi. Namun, ia juga tidak akan
mau tahu atas apa yang nanti akan terjadi. Lagipula, untuk apa dia mengenangngenang kembali Hanafi, karena Hanafi telah mempunyai istri. Dalam hati Corrie
yakin bahwa ia tidak akan memiliki suami seumur hidupnya.
Makin hari, Corrie kian semakin malas untuk bersekolah. Hanya tinggal
satu tahun lagi ia berumur dua puluh satu tahun. Namun, karena masih setahun
lagi, terpaksa ia harus tetap bersekolah dan tinggal di asrama. Semua ini tidak
akan terjadi apabila ayahnya masih hidup. Ia pasti akan menamatkan sekolahnya,
karena ia sangat mencintai ayahnya.
Pada suatu malam ia pulang dengan mengambil jalan Gambir. Sebulan lagi
ia akan pindah dan berpisah dari asrama bersama teman-temannya. Akan semakin
sepi kehidupannya itu. Meskipun ia belum berpisah dengan teman-temannya
sekarang, pasti ada saatnya dia akan berpisah dengan mereka, pikirnya. Sesaat
setelah ia menempuh jalan menuju Gambir Selatan, tanpa melihat sekelilingnya ia
pun tertabrak mobil dan lalu terjatuh.

Saat ia terjatuh, pemuda itu menaiki

mobilnya lalu kabur. Belum beberapa meter ia sempat kabur, ada seorang tuan
yang memaksanya untuk turun, lalu meminta maaf kepada gadis yang terjatuh itu.
Ia tidak akan segan-segan membuat seorang pemuda itu untuk memenggal
kepalanya sebagai gantinya.

21

Tuan tersebut menggiring pemuda itu mendekati Corrie, yang sudah


berdiri kembali, sambil memeriksa mobilnya itu. Sesudah itu ia melihat lukanya
yang terdapat di lutut. Dia pun dengan segera membiarkan Tuan itu menghentikan
perlakuannya pada pemuda itu, karena Corrie lah yang salah mengambil jalan,
tanpa memberikan lampu sen. Tuan itu sangat khawatir kalau ada apa-apa yang
terjadi pada gadis cantik itu.
Seketika, tuan tersebut membuka topinya sambil membungkukkan
badannya untuk memberi hormat. Tersentak karena kaget, Corrie melihat bahwa
ternyata tuan itu adalah Hanafi, kekasihnya dulu. Corrie merasa sedikit canggung
saat bertemu dengannya lagi. Kemudian ia melihat pemuda yang telah
menabraknya itu dengan mengucapkan terima kasih dengan tersenyum. Mungkin
pertemuannya dengan Hanafi sudah menjadi takdir Allah. Akhirnya pemuda itu
meminta maaf dan lalu pergi meninggalkan kedua orang itu.
Setelah kepergian pemuda itu, Hanafi dan Corrie pun duduk di bangku,
dan menceritakan bagaimana Hanafi bisa datang ke Betawi. Dari cara bicaranya,
sepertinya Corrie sedang bahagia. Dia sangat senang bertemu dengan sahabatnya
yang sudah hilang selama dua tahun ini. Corrie sedikit bingung, ketika Hanafi
datang ke Betawi karena digigit oleh anjing. Ternyata karena itulah ia datang
untuk berobat di Institut Pasteur, sejak tiga hari yang lalu.
Hanafi tidak mengucapkan apapun kepada Corrie. Ia memandang ke arah
Deca Park, yang disinari oleh lampu jalan itu. Sebenarnya, ia juga merasa ingin
bertemu dengan Corrie karena ia telah kehilangan ayahnya itu. Hanafi telah

22

menerima undangan dari Juffrouw C. du Bussee itu. Corrie pun mengatakan pada
Hanafi bahwa yang sudah berlalu biarlah berlalu, tidak akan terulang kembali.
Mereka telah mengakui kesalahan mereka masing-masing. Hanafi mengatakan
padanya kalau perasaan yang dulu darinya adalah perasaan cinta kepadanya, lebih
dari sekedar sahabat. Namun, ia menyadari jika itu akan memutus
persahabatannya dengan Corrie, sehingga ia lebih memilih untuk menyerah saja.
Perjodohan antara kedua manusia itu adalah bukan atas kehendak dari
mereka, melainkan atas kekuasaan-Nya. Hanafi sangat mencintai Corrie,
meskipun perasaan itu sungguh besar dan suci, bukan berarti Corrie juga
mencintai Hanafi. Cinta Hanafi yang besar kepada Corrie seharusnya tidak
memaksa Hanafi untuk meminta sesuatu yang besar padanya. Corrie belum dapat
memberikan perasaannya kepada Hanafi.
Hanafi termenung mendengar apa yang telah diucapkan oleh Corrie. Dia
pun mengerti, ternyata persahabatannya dengan Corrie sangatlah berharga
dibandingkan dengan rasa cintanya yang tidak terbalaskan itu. Corrie pun amat
sedih karena persahabatannya lenyap hanya karena cinta. Ia pun juga merasakan
kesepian di sana, karena ia akan berpisah dengan teman-teman asramanya dalam
waktu yang dekat. Meskipun Hanafi tidak mengetahui kalau Corrie merasakan
kesepian, Corrie tetap tersenyum. Hanafi menyarankan Corrie untuk mencari
pekerjaan. Corrie pun menyetujuinya. Tetapi, ada yang dapat menyebabkan
kenapa orang itu mati, yaitu karena bosan dengan kehidupan yang telah
dijalankannya. Seperti Hanafi yang telah menjalani hidup selama dua tahun itu
dengan kawin paksa. Mereka pun akhirnya berpisah di tempat itu.

23

Keesokan harinya, seperempat jam lamanya Hanafi menantikan Corrie di


Pintu Air. Tidak lama, datanglah seseorang yang dinanti-nantinya dari Gang Pasar
Baru, yaitu Corrie. Mereka akan jalan-jalan ke suatu tempat melewati Gunung
Sari, Jambatan Merah, hingga ke Jakarta. Corrie merasa khawatir ketika melewati
Jalan Jakarta, karena terlalu sunyi. Ia sudah sering melewati jalan itu pada siang
hari, namun jika malam hari datang akan beda keadaannya. Hanafi pun membuat
Corrie agar tidak khawatir akan hal itu, dulu memang di sana kurang aman, akan
tetapi sekarang sudah ada pos polisi di Jambatan Merah, dan polisi itu selalu
berkeliling menjaga wilayah tersebut.
Di lain sisi, yaitu di rumahnya Hanafi, yang berada di Solok itu sunyi sepi.
Siang atau malam pintu rumahnya tidak pernah terbuka, dan tidak ada lampu yang
menyala. Dari jalan raya terlihat kalau rumah itu seperti rumah yang ditinggal.
Seolah-olah bukan Hanafi saja yang keluar, namun seisi rumahnya juga terasa
seperti pergi meninggalkan rumah tersebut. Orang-orang yang menjadi sahabat
Hanafi pun tidak pernah datang ke rumahnya, karena Hanafi tidak ada, dan
mereka hanya mencari Hanafi saja, sedangkan orang di rumah selain dirinya
hanyalah untuk menyediakan hidangan belaka kepada sahabatnya itu.
Ibunya Hanafi dan Rapiah sedang asyik di dapur, dengan anaknya, Syafei,
yang tertidur nyenyak. Hari itu adalah hari Kamis, dan Rapiah sedang
menjalankan puasa sunnahnya. Ibunya Hanafi menyediakan makanan yang
banyak itu untuknya, agar dia tidak kurang makan. Rapiah yang sebagai istrinya
Hanafi merasa sedih mengingat Hanafi, sang suami, yang tidak pulang-pulang. Ia
khawatir apa yang telah menimpa suaminya itu sehingga tidak pulang ke rumah

24

selama sebulan. Di teras rumahnya, ia bernyanyi dan berpantun-pantun. Biasanya


sekitar jam enam sore tukang pos akan lewat rumahnya. Namun, sudah lewat
tujuh malam, ia tak kunjung datang. Seketika terdapat tukang pos yang datang
untuk menemui ibunya. Namun, Rapiah lah yang menghampirinya. Dilihatnya lah
surat itu ternyata bukan untuk istrinya, melainkan untuk ibunya. Surat dari Hanafi
itu hanya bisa diambil keesokan harinya setelah ibunya menandatangani surat itu.
Rapiah semakin khawatir takut akan kejadian buruk menimpa Hanafi. Akhirnya,
Rapiah dan ibunya Hanafi berniat untuk datang ke kantor pos keesokan harinya.
Keesokan harinya, setelah merapikan meja makan, bergegaslah ia dengan
ibunya Hanafi untuk pergi ke kantor pos. Ibunya Hanafi menyuruh agar Rapiah
saja yang pergi ke kantor pos. Namun, Rapiah menolaknya, karena surat itu harus
ditandatangani oleh ibunya Hanafi. Setelah ibunya menandatangani surat itu,
Rapiah dan mertuanya itu pulang ke rumah, menunggu surat dari Hanafi datang.
Surat pun datang dari tukang pos, Rapiah mengambil surat itu. Bersama dengan
ibunya, sambil duduk Rapiah membuka dan membacanya secara perlahan.
Surat itu membuat Rapiah terluka, karena isinya adalah Hanafi
memulangkan kembali Rapiah kepada ibunya, karena ibunyalah yang memberikan
Rapiah kepada Hanafi. Rapiah pun menangis dengan air mata yang cukup deras
itu.
Hanafi pun kini sudah menjadi seperti tuan saja. Apa boleh buat, ibunya
tidak akan menyumpahinya atas perbuatannya itu. Ibunya merelakan atas apa
yang telah ia berikan kepada Hanafi hingga ia dapat sepandai ini, mulai dari

25

mengasuh, hingga menyekolahkannya. Akhirnya ibunya sudah sadar, bahwa


anaknya itu telah keluar dari pergaulan mereka, orang-orang Melayu. Ibunya
hanya dapat mendoakan agar Hanafi dapat bahagia hingga ia menjadi orang sesuai
dengan apa yang Hanafi cita-citakan.
Semenjak kejadian itu, tiga bulan sudah berlalu. Suatu petang datang dan
Hanafi pun membawa kabar gembira kepada Corrie, bahwa ia telah dinyatakan
sebagai golongan dari bangsa Eropa, dan telah diakui haknya itu. Karena Hanafi
telah menjadi sama haknya dengan Corrie, maka ia dapat menikahi kekasihnya
itu, mereka pun bertunangan. Dalam waktu yang dekat pun mereka akhirnya
menikah menjadi suami istri yang sah.
Dua tahun pun telah berlalu. Bagi keluarga di Sumatera Barat, Hanafi
sudah dipandang keluar dari kaum. Ia telah menjadi Olando, yaitu sudah
bernyonya. Hanafi berasa bahwa dirinya telah masuk sebagai golongan orang
Barat, ia berharap dapat bergaul dengan mereka. Namun, pengharapan itu sia-sia
karena sekalipun temannya di kantor, hanya mengenal namanya saja.
Hari demi hari, sepertinya hubungan tali perikatan kedua suami-istri itu
mulai melonggar. Sebenarnya, Corrie hanya setengah hati menerima Hanafi
sebagai suaminya, itupun karena kasihan padanya. Rasa cinta Corrie kepada
Hanafi kini hanyalah karena kasihan terhadapnya saja. Hanafi yang menyadari hal
itu bertanya kepada Corrie apakah dia menyesali pernikahannya itu. Sepertinya
Hanafi selalu tergesa-gesa akan rasa cintanya itu. Corrie yang tidak nyaman
itupun meminta Hanafi untuk meninggalkannya sendiri.

26

Keesokan paginya, Tante Lien, seorang peramal, datang ke rumah Corrie


untuk menemuinya. Ia selalu datang saat Hanafi berada di kantor, tempat
kerjanya. Ia datang untuk bersenda gurau dengan Corrie. Beberapa saat kemudian
ia bermain tebak kartu bersama Corrie. Corrie tidak mempercayai ramalanramalan kartu seperti itu. Ia mengucapkan bahwa kartu dapat berbohong.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Lima
menit lagi Hanafi, akan pulang. Corrie menyuruh Tante Lien agar jangan sampai
bertemu dengan Hanafi. Mendengar itu, Tante Lien segera keluar dan tiba-tiba
juga saat itu Hanafi masuk.
Hanafi pulang dengan wajah yang tidak biasanya. Biasanya, Corrie hanya
melihat Hanafi dengan muka yang kusut setiap pulang dari kantor, tapi yang ini
lain. Hanafi datang dengan membawa mukanya yang merah padam dan sedikit
gemetar dalam tubuhnya.
Di meja makan, setelah menyuap beberapa sendok, Hanafi memulai
pembicaraan. Hanafi mengatakan kalau ia baru saja menemui seseorang yang
keluar dari rumahnya tadi. Corrie pun mengangguk, membenarkan kata-kata yang
Hanafi ucapkan tadi. Kedatangannya itu membuat Hanafi merasa penasaran.
Corrie bilang kalau Tante Lien mengunjunginya seminggu sekali hanya untuk
bersenda gurau dengannya. Hanafi pun membelalakan matanya itu, ternyata
seorang Mevrouw Han telah menjadi sahabat yang karib dengan Tante Lien.
Hanafi pun memberitahukan pekerjaan yang dilakukan oleh Tante Lien itu, ia
pandai sekali memikat hati istri-istri orang.

27

Tidak dihiraukannya pekerjaan apa yang dilakukan oleh Tante Lien, Corrie
memberitahukan pada Hanafi kalau ia tidak pernah melakukan hal yang semenamena di rumahnya. Namun, Hanafi tidak menyukai orang itu keluar masuk
rumahnya. Corrie yang tidak mau ambil pusing itu menenangkan seorang Hanafi
untuk tidak khawatir, karena Tante Lien hanya datang saat Hanafi masih berada di
kantor saja. Hanafi yang mendengar perkataan istrinya itu menasehatinya. Sudah
patutlah bagi suami untuk melarang atau memperbolehkan orang-orang masuk
atau tidak ke rumahnya, itu juga untuk menjaga istrinya tercinta. Namun, Corrie
pun dengan cepat menolak kata-kata yang telah diucapkan oleh sang suami,
karena kata-katanya bersifat egois di telinganya. Ia membenarkan bahwa rumah
itu adalah rumah mereka berdua, bukan hanya rumah Corrie atau Hanafi saja.
Intinya, Corrie ingin disamakan haknya dengan suaminya itu. Hanafi pun beranjak
pergi melihat ruang tamu, ternyata banyak sekali bekas rokok penuh dengan
kerabu berlian itu.
Sesaat ketika Corrie menelan nasi beberapa sendok, ia mendengar Hanafi
membentaknya. Rupanya Corrie telah menerima tamu-tamu yang kaya raya.
Hanafi juga menuduhnya telah melakukan sesuatu yang hina di rumahnya. Sering
sekali Hanafi dan Corrie berselisih saat itu. Hanafi pun akhirnya menuduh Corrie
telah berzina, dengan orang lain. Corrie pun tersentak mendengar perkataan yang
diucapkan Hanafi. Ia meminta Hanafi untuk mencabut tuduhannya itu. Corrie
merasa kesal dan tidak senang atas apa yang dikatakan suaminya. Ia pun bergegas
ke kamarnya dan berbaring di sofa, sambil menangis tersedu.

28

Keesokan paginya, seperti biasa, Hanafi pergi ke Kantor. Namun, untuk


kali ini tidak ada satupun kata yang keluar dari kedua pasangan suami-istri itu.
Ketika Hanafi hendak pergi ke kantor, Corrie menulis surat dan meninggalkannya
di atas meja untuknya, lalu ia keluar dari rumah Hanafi.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul tiga lewat lima sore, Hanafi tiba di
rumahnya. Ia melihat sebuah surat yang ada di atas meja. Ia membukanya, dan
membacanya perlahan, sambil merasakan perasaan yang sedih. Corrie
meninggalkannya. Pada akhirnya mereka pun bercerai, dan memulai kehidupan
baru.
Corrie masih bingung kemana ia akan pergi. Seorang supir taxi itu
menanyakannya secara berulang-ulang. Seketika melihat sekitar, ia melihat ada
tulisan yang terpampang khusus rumah tumpangan untuk perempuan. Corrie
merasa tertarik untuk menempatinya.
Tidak lama pun, ia diantarkan oleh seorang nyonya tua, yang membawa
Corrie menuju rumah sewaan itu. Terdapat dua kamar, satu buat tempat tidur dan
satu yang lainnya untuk tempat bersantai. Ia akhirnya bertemu dengan dua orang
yang juga menyewa di rumah itu. Awalnya dia ragu mereka akan menjadi
sahabatnya, namun pada akhirnya mereka berdua menerima kedatangan Corrie,
meski sedikit terpaksa.
Di pagi harinya, Rapiah duduk termenung di dekat jendela kamarnya,
sambil memandang pemandangan disekitarnya. Syafei, anaknya, masih tidur

29

nyenyak di tempat tidurnya. Untung saja, Syafei masih belum berumur, sehingga
ia tidak tahu apa yang didendamkan oleh ibunya.
Di lain sisi, Hanafi yang menerima semua itupun pada akhirnya mendapat
tumpangan dari seorang yang berbangsa Belanda, yaitu sahabat sekawannya yang
bekerja. Ia sudah menerima Hanafi dengan baik di rumahnya itu. Namun,
sepertinya kedatangan Hanafi tidak diterima dengan sepenuh hati oleh seseorang.
Akhirnya, dia juga merasakan tidak enak kepada sahabatnya sendiri.
Tidak tahu mengapa, ia berbagi cerita dengan sahabatnya itu, mulau saat
dia diasuh oleh ibunya sejak kecil, bertemu dengan Corrie yang pertama kali,
hingga perjalanan hidupnya yang sampai sekarang ini. Sahabatnya sedikit merasa
tidak enak mendengar cerita saat ia terbutakan oleh cintanya itu, sehingga berbuat
durhaka terhadap ibunya. Akhirnya setelah mereka selesai curhat, Hanafi pun
sempat akan pulang, dan terlebih dahulu berpamitan pada sahabatnya itu, sambil
mengucapkan terima kasih karena telah membuatnya merasa kalau ia telah
melakukan banyak kesalahannya. Hatinya yang beku itu akhirnya luluh juga. Ia
harap ia dapat berubah menjadi orang yang tidak egois dan semena-mena terhadap
orang-orang itu.
Malamnya, Hanafi tidak bisa tidur, mengingat atas apa yang telah
dilakukannya terhadap Corrie, Rapiah, maupun ibunya sendiri. Hatinya semakin
merasakan insaf atas drinya sendiri. Semakin ia memikirkan ibunya, timbullah
rasa adab dan cinta kepada ibunya itu. Ia juga mengingat Rapiah, seorang istri
yang sabar dan yakin kepadanya. Ia juga mengingat Corrie, yang ternyata lebih

30

banyak menyakiti hatinya itu. Hanafi sadar bahwa Rapiah bagaikan intan yang
belum digosok, lain halnya dengan Corrie, intan yang sudah sering digosokgosok, sudah tidak ternilai lagi dimatanya. Lama sekali ia menangis karena masih
ada rasa cinta pada Corrie, karena rasa cintanya telah tumbuh sejak ia masih SD.
Tiba-tiba ada kabar tidak enak datang dari Corrie, Hanafi pun segera
menemui Corrie. Ternyata Corrie berada di rumah sakit. Ia sangat ingin menemui
Corrie, namun tidak diizinkan oleh seorang dokter dan suster itu. Namun pada
akhirnya, karena merasa kasihan, dokter itupun dengan menyampaikannya kepada
suster tersebut, memberitahukan kalau Hanafi boleh menemui Corrie di kamar 4B.
Masuklah Hanafi secara perlahan, ia pun duduk di samping Corrie yang sedang
berbaring. Corrie pun sedikit membukakan matanya, dan tersenyum sambil
memegang tangan Hanafi. Corrie mulai mengusapkan kepala Hanafi, dengan
senyum yang amat sedih, sambil mengucapkan selamat tinggal. Ia telah
memaafkan segala perbuatan Hanafi kepadanya. Hanafi merasa gelisah melihat
Corrie yang seperti itu. Hendak mengucapkan beberapa kata, tiba-tiba Corrie pun
tertidur. Hanafi segera memanggil seorang suster, sambil mencium-cium tangan
istrinya itu. Corrie pun terbangun lagi sesaat, mengatakan selamat tinggal kepada
Hanafi, untuk yang terakhir kalinya. Hanafi merasakan kesedihan bercampur
dengan amarah atas kepergian istrinya tercinta itu. Untuk apakah lagi dia hidup di
dunia ini jika bukan karena Corrie. Ia terus memanggil-manggil suster itu.
Namun, tuhan telah berkehendak, Corrie sudah tiada. Hanya kenangannyalah saja
ang akan teringat di hati orang-orangnya itu.

31

Empat belas hari lamanya ia di rumah sakit, tiga harinya adalah karena
pingsan melepas istrinya yang sudah meninggal itu. Setelah empat belas hari itu
juga ia sudah boleh pulang dari masa pengobatannya. Ia pun berziarah ke kuburan
Corrie untuk melihat kekasihnya yang terakhir kalinya. Kemudian ia kembali ke
Betawi
Sesampainya di Betawi, ia menjual rumahnya, termasuk lemari-lemari
buku dengan koleksi bukunya. Pakaian yang ada di rumahnya ia bawa, selain itu
ia tinggalkan. Semua sudah dipikirkan oleh Hanafi, hanya bagi diri sendirinya
terasa bahwa ia tidak dapat mengubah lagi semua yang sudah terjadi, semua yang
telah ia lakukan. Karena asuhannya sudahlah salah sejak awal.
Sesampainya ia di Padang, Hanafi sengaja memilih rumah makan Belanda
yang sederhana, bukan untuk menghemat uang, melainkan karena ia sudah enggan
bergaul dengan banyak orang. Sehabis makan, ia pergi dari tempat yang ramai
tersebut, menuju tempat yang lebih sepi. Hanafi tinggal sendiri sambil termenung,
bahwa dulu ia sangat enggan untuk mengunjungi rumah kerabatnya sendiri, yaitu
orang-orang kampung. Hanafi juga merasa menyesal telah memperlakukan
Rapiah seperti itu dahulu. Nyata sekali bagi Hanafi kalau sekarang Rapiah
mungkin tidak mengingat dan hendak kembali lagi padanya.
Rapiah dan Corrie, itulah yang terpikir dalam benak Hanafi. Keduanya
sama-sama berhati mulia, sama-sama tinggi derajat. Hanya saja Corrie, berasal
dari Barat, sedangkan Rapiah, berasal dari Timur. Masing-masing dari mereka
memiliki sifat tersendiri. Hanafi menyangka bahwa dengan ia bersatu pada adat

32

orang Barat, akan senanglah hidupnya itu. Namun, tidak lupa juga Hanafi, bahwa
sifat ketimur-timurannya itu terkandung di dalam batinnya, yang tidak akan
pernah hilang karena asuhan ibunya. Terasalah olehnya bahwa pelajaran dan
asuhan Baratnya itu seolah-olah hanya menjadi kulit tipis yang belum dapat
membuat orang Belanda senang dalam hidup bersuami-istri.
Terhadap Rapah, Hanafi mengakui kesalahannya. Sebagai orang Timur,
tidak mungkin seorang Rapiah akan mendapatkan bimbingan dari suaminya,
Hanafi, yang seperti orang kebarat-baratan itu. Hanafi berasa bahwa diantara
kedua istrinya itu, tidak ada yang memiliki kekurangan, baik dalam budi maupun
derajatnya, juga meski tentang mencintai suami sekalipun. Entah sudah berapa
lama ia termenung memikirkan betapa beruntungnya dia. Tidak sadarkan diri,
ketika ia bangun, ia sudah berada di meja makan rumahnya. Kemudian ia pergi ke
tempat tidurnya menunggu hari esok.
Sekitar pukul tujuh pagi keesokan harinya, ibunya Hanafi datan ke rumah
makan Belantung mendapatkan anaknya itu. Akhirnya, ibunya membawanya
pulang ke Solok. Keadaan Hanafi pun semakin memburuk, ia terlihat menjadi
orang yang suram sekali. Malamnya, Hanafi dan ibunya itu menginap di rumah
Mamaknya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Koto Anau.
Tibalah Hanafi dengan ibunya di Koto Anau, keadaan Hanafi tidak
berubah. Sesampainya di rumah, ia berbaring di tempat tidur dengan sangat pucat.
Dalam seminggu itupun banyak sekali orang berkunjung untuk menemuinya.

33

Beberapa minggu berlalu, ibunya Hanafi pun memanggil dokter. Waktu


hendak berpulang, ibunya Hanafi telah berunding dengan dokter itu. Hanafi
mengalami penyakit di perutnya itu yang jarang sekali ditemukan obatnya. Dokter
itupun akhirnya keluar dari rumahnya. Ibunya Hanafi mendekati Hanafi dengan
hati yang sangat sedih. Hanafi pun berkata lembut pada ibunya. Ia memohon
kepada ibunya untuk mengampuni segala dosa dari perbuatan-perbuatannya
kepada ibunya itu. Ia juga meminta untuk menjaga anaknya, Syafei, agar tidak
menjadi seperti dirinya nanti kelak. Ibunya Hanafi pun sudah lama memaafkan
dosa-dosa anaknya itu, bahkan ia selalu memaafkannya. Ibunya menyuruh Hanafi
untuk mengenang nama Allah dan rasul-Nya. Hanafi memandang dengan sedih
kepada ibunya, sambil mengucapkan kalimat Tahlil. Setelah beberapa saat, Hanafi
pun telah menghadap kepada-Nya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai