C. Tujuan Pembelajaran
Melalui metode kerja kelompok siswa dapat menunjukkan unsur-
unsur intrinsik novel 20-an dan 30-an
Melalui metode kerja kelompok siswa dapat mengidentifikasi
karakteristik (kebiasaan, adat, etika, dll) novel 20-an dan 30-an
Melalui metode kerja kelompok siswa dapat membandingkan
karasterikstik novel angkatan 20-an dan 30-an
D. Materi Ajar/Pokok
Karakteristik novel angkatan 20-an dan 30-an dapat kita bandingkan dengan novel masa kini. Novel
angkatan 20-an dan 30-an lahir dalam masyarakat lama, yaitu masyarakat yang masih sederhana dan
terikat dengan adat-istiadat. Karya sastra modern atau baru adalah sastra yang sudah dipengaruhi oleh
budaya barat atau asing. Kedua karya sastra itu dapat dibandingkan setelah membaca dan mencermati
isinya (Murniasih, 2009:153).
Karakteristik yang dimaksud meliputi unsur intrinsik dalam novel tersebut. Macam-macam unsur
instrinsik; tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, tema, dan amanat.
Adapun ciri novel angkatan 20 antara lain; a. Bertema adat kawin paksa, b. Unsur-unsur kedaerahan
masih menonjol, c. dipengaruhi oleh pola fikir dan adat dalam masyarakat, d. Nama-nama pelaku
umumnya masih nama asli/daerah, dan e. bersifat statis, dan monoton.
Sementara itu, ciri novel angkatan 30 antara lain; a. umumnya bertema emansipasi dan
nasionalisme, b. unsur budaya/daerah sudah mulai ditinggalkan, c. dipengaruhi oleh pola pikir budaya
modern, d. nama-nama pelaku sudah bersifat nasional, dan e. bersifat dinamis dan menghibur (Martanti,
2010:162).
Membandingkan karasteristik novel Angkatan 20-an (Balai Pustaka) dan Angkatan 30-an (Pujanggan
Baru), baca saksama sinopsis novel berikut.
Ringkasan Novel: Salah Asuhan
Hanafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia termasuk orang yang sangat
beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai tamat HBS. Ibunya yang sudah janda, memang berusaha
agar anaknya tidak segan-segan menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda walaupun utnuk
pembiayaannya ia harus meminta bantuan mamaknya, Sutan Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke
Solok dan bekerja sebagai klerek di kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi
komis.
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkikan Hanafi berhubungan erat dengan
Corrie De Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat
negerinya. Sikap, pemikiran dan cara hidupnya juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika
hubungannya dengan Corrie ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah bukan lagi sebagai orang
inlander (bangsa pribumi yang di jajah oleh Belanda). Oleh karena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia dapat berjumpa kembali
dengan sahabat dekatnya.
Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie terhadapnya juga dianggap
sebagai gayung bersambut kata terjawab. Maka, betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari
Corrie. Corrir mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk ukuran waktu itu,
tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. Timur tinggal timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat
ditumbuni jurang yang membatasi kedua bahagian itu (lihat halaman 59). Perasaan Corrie sendiri
sebenarnya mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya yang Indodan dengan sendirinya perilaku dan
sikap hidupnya juga berpijak pada kebudayaan baratserta Hanafi yang pribumi, yang tidak akan begitu
saja dapat melepaskan akar budaya leluhurnya.
Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertallian hubungannya
itu. Surat itu membuat Hafani patah semangat. Ia pun kemudian sakit. Ibunya berusaha menghibur agar
anak satu-satunya itu, sehat kembali. Di saat itu pula ibunya menyarankan agar Hanafi bersedia menikah
dengan Rapiah, anak mamaknya. Sutan Batuah. Ibunya menerangkan bahwa segala biaya selama ia
bersekolah di Betawi tidak lain karena berkat uluran tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat
mengerti dan ia menerima Rapiah sebagai istrinya.
Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan mulus. Hanafi tidak merasa
bahagia, meskipun dari hasil perkawinannya dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki
yang bernama Syafei. Hanafi beranggapan bahwa penyebabnya adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi
tempat segala kemarahan Hanafi. Meskipun Rapiah diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap
bersabar.
Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri di kebun. Ibunya
menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali kelakukan anaknya yang sudah lewat batas itu.
Namun, Hanafi justru menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor anjing gila
menggigit tangan Hanafi.
Dokter segera memeriksa gititan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter menyarankan agar Hanafi
berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya
ke Betawi itu sekaligus memberi kesempatan kepada untuk bertemu dengan Corrie.
Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan yang dialami Corrie, Hanafi
yang sedang berada di Betawi, justru menjadi penolong Corrie. Pertemuan itu sangat menggembirakan
keduanya. Corrie yang sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa sebenarnya bahwa ia
memerlukan sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil suatu keputusan. Ia bermaksud
tetap tinggal di Betawi, Untuk itu, ia telah pula mengurus kepindahan pekerjaannya. Setelah itu, ia
mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa Eropa. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera
menceraikan Rapiah, sekaligus meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalan lancar. Namun, kini justru Corrie yang menghadapi berbagai
persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya.
Akhirnya, dengan cara diam-diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi, tetap tinggal di Solok
bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.
Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang mereka bayangkan.
Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai menjauhi. Di satu pihak menggapnya Hanafi
besar kepala dan angkuh, tidak menghargai bangsanya sendiri. Di lain pikah, ia menganggap Corrie telah
menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi mempunyai status yang
jelas, tidak ke Barat tidak juga ke Timur. Inilah awal malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia. Corrie yang semua supel
dan lincah, kini menjadi nyonya pendiam. Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan
bengis, bahkan Hanafi selalu diluputi perasaan curiga dan selalu berprasangka buruk, lebih-lebih lagi
Corrie sering dikunjungi Tante Lien, soerang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanda diselidiki terlebih dahulu, Hanafi telah menuduh istrinya
berbuat serong, tentu sajaa, Corrie tidak mau dituduh dan diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka,
dengan ketepatan hati, Corrie minta diceraikan. Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup. Bagiku tidak
menjadi kepentingan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara (lihat halaman 183).
Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. Ia bekerja di sebuah panti asuhan.
Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah. Ia
menyesal dan mencoba menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie tetap pada pendiriannya. Perasaan
berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi, ditambah lagi, teman-temannya makin menjauhi.
Hanafi dipandang sebagai seorang suami yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan
demikian, barulah ia menyesal sejadi-jadinya. Ia juga ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.
Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu datang seorang temannya
yang mengatakan tentang pandangan orang terhadapnya. Ia sadar dan menyesal. Ia kembali bermaksud
minta maaf kepada Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. Ia pergi ke Semarang, namun rupanya,
pertemuamnnya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terkahir. Corrie terserang penyakit
kolera yang kronis. Sebelum mengehembuskan nafasnya yang terakhir, Corrie bersedia memaafkan
kesalahan Hanafi. Perasaan menyesal dan berdosa tetap membuat Hanafi sangat menderita. Batinnya
goncang, ia pun jatuh sakit.
Setelah sembuh Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. Ia ingin minta maaf kepada ibunya dan
Rapiah, istrinya. Di samping itu ia juga ingin melihat keadaan anaknya sekarang. Ia berharap agar anaknya
kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat. Dengan kebulatan hatinya, berangkatlah Hanafi kembali
tanah kelahirannya.