Anda di halaman 1dari 12

Lembar Kerja Siswa 8

Standar Kompetensi 15.Memahami novel dari berbagai angkatan

A. Kompetensi Dasar 15.2 Membandingkan karakteristik novel angkatan 20-30 an


B. Indikator Pencapaian
Mampu menunjukkan unsur-unsur intrinsik novel 20-an dan 30-
an
Mampu mengidentifikasi karakteristik (kebiasaan, adat, etika, dll)
novel 20-an dan 30-an
Mampu membandingan karasterikstik novel angkatan 20-an dan
30-an

C. Tujuan Pembelajaran
Melalui metode kerja kelompok siswa dapat menunjukkan unsur-
unsur intrinsik novel 20-an dan 30-an
Melalui metode kerja kelompok siswa dapat mengidentifikasi
karakteristik (kebiasaan, adat, etika, dll) novel 20-an dan 30-an
Melalui metode kerja kelompok siswa dapat membandingkan
karasterikstik novel angkatan 20-an dan 30-an

D. Materi Ajar/Pokok
Karakteristik novel angkatan 20-an dan 30-an dapat kita bandingkan dengan novel masa kini. Novel
angkatan 20-an dan 30-an lahir dalam masyarakat lama, yaitu masyarakat yang masih sederhana dan
terikat dengan adat-istiadat. Karya sastra modern atau baru adalah sastra yang sudah dipengaruhi oleh
budaya barat atau asing. Kedua karya sastra itu dapat dibandingkan setelah membaca dan mencermati
isinya (Murniasih, 2009:153).
Karakteristik yang dimaksud meliputi unsur intrinsik dalam novel tersebut. Macam-macam unsur
instrinsik; tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, tema, dan amanat.
Adapun ciri novel angkatan 20 antara lain; a. Bertema adat kawin paksa, b. Unsur-unsur kedaerahan
masih menonjol, c. dipengaruhi oleh pola fikir dan adat dalam masyarakat, d. Nama-nama pelaku
umumnya masih nama asli/daerah, dan e. bersifat statis, dan monoton.
Sementara itu, ciri novel angkatan 30 antara lain; a. umumnya bertema emansipasi dan
nasionalisme, b. unsur budaya/daerah sudah mulai ditinggalkan, c. dipengaruhi oleh pola pikir budaya
modern, d. nama-nama pelaku sudah bersifat nasional, dan e. bersifat dinamis dan menghibur (Martanti,
2010:162).
Membandingkan karasteristik novel Angkatan 20-an (Balai Pustaka) dan Angkatan 30-an (Pujanggan
Baru), baca saksama sinopsis novel berikut.
Ringkasan Novel: Salah Asuhan

Pengarang: Abdul Muis (1886-17 Juli 1959)

Penertbit: Balai Pustaka

Tahun Terbit: 1928, Cetakan XIX, 1990

Hanafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia termasuk orang yang sangat
beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai tamat HBS. Ibunya yang sudah janda, memang berusaha
agar anaknya tidak segan-segan menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda walaupun utnuk
pembiayaannya ia harus meminta bantuan mamaknya, Sutan Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke
Solok dan bekerja sebagai klerek di kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi
komis.
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkikan Hanafi berhubungan erat dengan
Corrie De Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat
negerinya. Sikap, pemikiran dan cara hidupnya juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika
hubungannya dengan Corrie ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah bukan lagi sebagai orang
inlander (bangsa pribumi yang di jajah oleh Belanda). Oleh karena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia dapat berjumpa kembali
dengan sahabat dekatnya.

Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie terhadapnya juga dianggap
sebagai gayung bersambut kata terjawab. Maka, betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari
Corrie. Corrir mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk ukuran waktu itu,
tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. Timur tinggal timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat
ditumbuni jurang yang membatasi kedua bahagian itu (lihat halaman 59). Perasaan Corrie sendiri
sebenarnya mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya yang Indodan dengan sendirinya perilaku dan
sikap hidupnya juga berpijak pada kebudayaan baratserta Hanafi yang pribumi, yang tidak akan begitu
saja dapat melepaskan akar budaya leluhurnya.

Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertallian hubungannya
itu. Surat itu membuat Hafani patah semangat. Ia pun kemudian sakit. Ibunya berusaha menghibur agar
anak satu-satunya itu, sehat kembali. Di saat itu pula ibunya menyarankan agar Hanafi bersedia menikah
dengan Rapiah, anak mamaknya. Sutan Batuah. Ibunya menerangkan bahwa segala biaya selama ia
bersekolah di Betawi tidak lain karena berkat uluran tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat
mengerti dan ia menerima Rapiah sebagai istrinya.

Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan mulus. Hanafi tidak merasa
bahagia, meskipun dari hasil perkawinannya dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki
yang bernama Syafei. Hanafi beranggapan bahwa penyebabnya adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi
tempat segala kemarahan Hanafi. Meskipun Rapiah diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap
bersabar.

Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri di kebun. Ibunya
menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali kelakukan anaknya yang sudah lewat batas itu.
Namun, Hanafi justru menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor anjing gila
menggigit tangan Hanafi.

Dokter segera memeriksa gititan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter menyarankan agar Hanafi
berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya
ke Betawi itu sekaligus memberi kesempatan kepada untuk bertemu dengan Corrie.

Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan yang dialami Corrie, Hanafi
yang sedang berada di Betawi, justru menjadi penolong Corrie. Pertemuan itu sangat menggembirakan
keduanya. Corrie yang sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa sebenarnya bahwa ia
memerlukan sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil suatu keputusan. Ia bermaksud
tetap tinggal di Betawi, Untuk itu, ia telah pula mengurus kepindahan pekerjaannya. Setelah itu, ia
mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa Eropa. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera
menceraikan Rapiah, sekaligus meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.

Semua rencana Hanafi berjalan lancar. Namun, kini justru Corrie yang menghadapi berbagai
persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya.
Akhirnya, dengan cara diam-diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi, tetap tinggal di Solok
bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.

Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang mereka bayangkan.
Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai menjauhi. Di satu pihak menggapnya Hanafi
besar kepala dan angkuh, tidak menghargai bangsanya sendiri. Di lain pikah, ia menganggap Corrie telah
menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi mempunyai status yang
jelas, tidak ke Barat tidak juga ke Timur. Inilah awal malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia. Corrie yang semua supel
dan lincah, kini menjadi nyonya pendiam. Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan
bengis, bahkan Hanafi selalu diluputi perasaan curiga dan selalu berprasangka buruk, lebih-lebih lagi
Corrie sering dikunjungi Tante Lien, soerang mucikari.

Puncak bara api itu pun terjadi. Tanda diselidiki terlebih dahulu, Hanafi telah menuduh istrinya
berbuat serong, tentu sajaa, Corrie tidak mau dituduh dan diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka,
dengan ketepatan hati, Corrie minta diceraikan. Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup. Bagiku tidak
menjadi kepentingan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara (lihat halaman 183).
Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. Ia bekerja di sebuah panti asuhan.

Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya tidak bersalah. Ia
menyesal dan mencoba menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie tetap pada pendiriannya. Perasaan
berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi, ditambah lagi, teman-temannya makin menjauhi.
Hanafi dipandang sebagai seorang suami yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan
demikian, barulah ia menyesal sejadi-jadinya. Ia juga ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.

Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu datang seorang temannya
yang mengatakan tentang pandangan orang terhadapnya. Ia sadar dan menyesal. Ia kembali bermaksud
minta maaf kepada Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. Ia pergi ke Semarang, namun rupanya,
pertemuamnnya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terkahir. Corrie terserang penyakit
kolera yang kronis. Sebelum mengehembuskan nafasnya yang terakhir, Corrie bersedia memaafkan
kesalahan Hanafi. Perasaan menyesal dan berdosa tetap membuat Hanafi sangat menderita. Batinnya
goncang, ia pun jatuh sakit.

Setelah sembuh Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. Ia ingin minta maaf kepada ibunya dan
Rapiah, istrinya. Di samping itu ia juga ingin melihat keadaan anaknya sekarang. Ia berharap agar anaknya
kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat. Dengan kebulatan hatinya, berangkatlah Hanafi kembali
tanah kelahirannya.

Awan Sundiawan. September 21, 2012. http://awan965.wordpress.com/2012/09/21/ringkasan-novel-salah-


asuhan/. Diakses 25 Februari 2013.

Sinopsis Anak Perawan Di Sarang Penyamun


History Maker, Minggu, 27 Februari 2011. http://angelyourlife.blogspot.com/. Diakses 25 Februari 2013
Seorang saudagar kaya bernama Haji Sahak akan pergi berdagang ke Palembang. Dari Pagar Alam
ke Palembang itu, Haji Sahak membawa puluhan kerbau dan beberapa macam barang dagangan lainnya.
Istri dan anak perawannya juga ikut pergi bersamanya ke Palembang.
Di tengah-tengah perjalanan, rombongan Haji Sahak dihadang oleh segerombolan perampok yang di
pimpin Medasing. Haji Sahak, dan istrinya yang bernama Nyai Hajjah Andun, beserta rombongan dibunuh
oleh perampok itu. Akan tetapi, Sayu, anak perawan Haji Sahak itu tidak mereka bunuh. Kemudian Sayu
ikut dibawa ke sarang penyamun itu.
Suatu hari Samad, anak buah Medasing yang tugasnya sebagai pengintai datang ke sarang
penyamun. Maksud kedatanganya adalah untuk meminta bagian dari hasil perampokan Medasing. Namun
selama Samad berada di sarang penyamun itu, ia langsung jatuh hati pada Sayu yang memang sangat
cantik. Secara diam-diam dia berniat membawa Sayu lari dari Sarang penyamun itu. Dan niatnya itu ia
bisikan kepada Sayu secara diam-diam. Samad berjanji pada Sayu bahwa dia akan mengembalikan Sayu
kepada orang tuanya.
Awalnya Sayu terbujuk oleh rayuan dan janji-janji Samad itu. Dalam dirinya sudah memutuskan
untuk ikut lari bersama Samad. Akan tetapi sebelum niat untuk kabur terlaksana, Sayu mulai menangkap
gelagat tidak baik dari Samad. Dia mulai ragu dan tidak percaya dengan janji-janji Samad itu. Dihari yang
mereka sepakati untuk lari tersebut, Sayu dengan tegas menolak ajakan Samad. Walaupun dengan berat
hati untuk sementara dia akan tetap tinggal di sarang penyamun itu.
Setelah berhasil merampok keluarga saudagar Haji Sahak, rupanya dalam perampokan-
perampokan Medasing dan kawan selanjutnya sering mengalami kegagalan. Kegagalan perapokan yang
mereka lakukan sebenarnya disebabkan karena rencana mereka selalu dibocorkan oleh Samad. Samad
selalu membocorkan rencana Medasing kepada Saudagar dan pedagang kaya yang akan mereka rampok.
Itu sebabnya, setiap kali mereka menyerang para pedagang atau saudagar yang lewat, mereka pasti
mendapat perlawanan yang luar biasa. Para saudagar dan pedagang sudah menunggu Medasing dan
kawan-kawannya. Akibatnya anak buah Medasing banyak yang meninggal ataupun terluka parah. Lama-
kelamaan anak buah Medasing hanya tersisa seorang saja, yaitu Sanip. Betapa hancur hati Medasing
menerima kenyataan pahit ini. Malah hatinya semakin pilu, ketika dalam perampokan yang terakhir kali,
Sanip orang yang paling dia sayangi itu meninggal. Medasing sendiri terluka parah. Namun bisa
menyelamatkan diri.
Setelah Sanip meninggal dunia, di sarang penyamun itu hanya tinggal Sayu dan Medasing saja.
Sewaktu Medasing terlupa parah, Sayu bingung sekali. Persediaan mereka makin menipis. Dengan penuh
rasa kekhawatiran dan rasa takut, Sayu mendekati Medasing. Dia tidak sampai hati melihatnya dalam
keadaan parah. Hati nuraninya tergerak ingin mencoba merawat luka-luka yang diderita oleh Medasing.
Awalnya Sayu sangat takut dengan Medasing. Antara perasaan ingin menolong dengan perasaan
takut berkcamuk dalam hati Sayu, akan tetapi perasaan takut dan benci itu, akhirnya kalah juga oleh
perasaannya yang ingin menolong. Dia memberanikan diri mendekati Medasing. Dengan takut-takut dan
gemetaran dia mengobati Medasing. Mula-mula mereka berdua tidak banyak biacara, namun lama
kelamaan antara Sayu dan Medasing menjadi akrab. Medasing suka membicarakan pengalaman
hidupnya. Dari cerita Medasing tentang bagaimana ia sebelum menjadi seorang penyamun yang sangat
ditakuti sekarang ini, Medasing bukanlah keturunan seorang penyamun. Medasing keturunan orang baik-
baik.
Dulu Medasing anak seorang saudagar kaya. Ayah Medasing yang kaya itu dirampok secara oleh
segerombolan penjahat. Kedua orang tuanya dibantai dan dibunuh oleh gerombolan penjahat itu. Dia
sendiri, karena masih kecil sekali, tidak dibunuh oleh gerombolan tersebut. Medasing lalu dibawa ke
sarang gerombolan. Karena pimpinan penyamun itu tidak punya anak, Medasing begitu disayanginya. Dia
lalu diangkat oleh kepala penyamun itu sebagai anaknya. Setelah ayah angkatnya meninggal dunia, pucuk
pimpinan gerombolan penyamun langsung dipegang Medasing. Jadi gerombolan perampok yang dia
pimpin sekarang ini adalah gerombolan penyamun warisan dari ayah angkatnya. Medasing sendiri tak
pernah bercita-cita ingin menjadi penyamun, apalagi menjadi pimpinan perampok. Mendengar cerita itu
hati Sayu menjadi luluh juga. Rasa benci dan dendam pada Medasing lama kelamaan menjadi luntur.
Kemudian dengan penuh kesabaran dan penuh kasih sayang yang tulus, Sayu merawatnya sampai
sembuh.
Persediaan makanan dalam hutan sudah habis. Sayu sangat khawatir akan keadaan itu. Itulah
sebabnya dia mencoba mengajak Medasing agar bersedia keluar dari persembunyiannya. dan akhirnya
mereka keluar dari hutan menuju kota Pagar Alam. Sesampainya di kota Pagar Alam, keduanya langsung
menuju ke rumah Sayu. Tapi sampai di rumahnya, Sayu sangat terkejut, sebab rumah itu sekarang bukan
milik mereka lagi, tapi sudah menjadi milik orang lain. Menurut penuturan penghuni baru itu, ibunya
sekarang tinggal di pinggiran kampung. Mendengar itu, kedua orang ini langsung pergi menuju ke tempat
Nyai Haji Andun. Ternyata Nyai Haji Andun tidak meninggal sewaktu diserang Medasing dan kawan
perampoknya. Dia hanya terluka parah dan berhasil sembuh. Sekarang dia tinggal sendirian di ujung
kampong dengan keadaan sakit keras. Disaat ibunya sedang kritis, Medasing dan Sayu muncul
dihadapannya. Betapa bahagianya Nyai Haji Andun bertemu dengan anak perawan yang sangat
dirindukannya itu. Dan rupanya itulah pertemuan terakhir mereka. Menyaksikan kenyataan itu hati Sayu
hancur, Medasing sendiri juga hancur hatinya. Kenyataan telah menyadarkan dirinya betapa kejamnya dia
selama ini. Dia begitu menyesal. Dia sangat malu dan berdosa kepada Sayu dan keluarganya.
Sejak itu Medasing berubah total hidupnya. Dia menjadi seorang hartawan yang sangat penyayang
pada siapa saja. Lima belas tahun kemudian Medasing berangkat ke tanah suci. Kembalinya dari tanah
suci, ramai orang-orang kampong menyambut kedatangannya dan Medasing mengubah namanya menjadi
Haji Karim. Suatu malam, ketika Haji Karim sedang duduk termenung sambil mengenang masa lalunya
yang kelam, tiba-tiba pintu rumahnya ada yang mengetuk. Ternyata orang yang mengetuk pintu itu adalah
Samad. Haji Karim masih kenal dengan Samad sebab Samad adalah anak buahnya sendiri yang selalau ia
beri tugas sebagai pengintai para saudagar yang sedang lewat sebelum dirampok. Haji karim yang tidak
lain adalah Medasing itu, mengajak Samad agar bersedia hidup bersamanya. Waktu itu Samad memang
tinggal di rumah Haji Karim dan istrinya yaitu Sayu. Namun paginya secara diam-diam Samad
meninggalkan rumah Haji Karim. Dia pergi entah kemana, sementara Haji Karim dan keluarganya hidup
tenteram dan damai di kampung.
Unsur-unsur yang terdapat dalam novel Salah Asuhan adalah.
1) Tema adalah perbedaan adat istiadat dengan perkawinan antarbangsa. Pendidikan Hanafi yang
mampu bersekolah di sekolah Belanda dan adapun istrinya Rafiah hanya seorang perempuan
kampung tidak mengeyam pendidikan sibagai dirinya. Ia merasa lebih dari keluarga dan
masyarakatnya. Hal ini terlihat pada kutipan.
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkikan Hanafi berhubungan erat dengan
Corrie De Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan
adat negerinya. Sikap, pemikiran dan cara hidupnya juga sudah kebarat-baratan.
2) Alur novel ini adalah alur maju. Peristiwa satu dengan peristiwa berikutnya terjadi berdasarkan urutan
waktu. Ketika Hanafi mula-mula sekolah, hidup di perantauan, hingga ia kembali ke kampung
halamannya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Seorang saudagar kaya bernama Haji Sahak akan pergi berdagang ke Palembang. Dari Pagar Alam
ke Palembang itu, Haji Sahak membawa puluhan kerbau dan beberapa macam barang dagangan
lainnya. Istri dan anak perawannya juga ikut pergi bersamanya ke Palembang.
Pada bagian akhir cerita dikisahkan tentang kepulangan Hanafi seperti kutipan berikut.
Ia berharap agar anaknya kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang sesat. Dengan kebulatan hatinya,
berangkatlah Hanafi kembali tanah kelahirannya.
3) Sudut pandang
Sudut pandang pengarang adalah diaan. Pengarang berada di luar cerita, serba tahu, dan berdiri
sebagai pengamat. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertallian
hubnungannya itu. Surat itu membuat Hafani patah semangat. Ia pun kemudian sakit. Ibunya
berusaha menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat kembali.
4) Tokoh dan penokohan
Tokoh utama novel ini adalah Hanafi. Ia seorang yang berpendidikan tinggi makanya pandangannya
juga berbeda dengan masyarakat umumnya, seperti kutipan berikut.
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkikan Hanafi berhubungan erat dengan
Corrie De Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan
adat negerinya. Sikap, pemikiran dan cara hidupnya juga sudah kebarat-baratan.
5) Amanat
Amanat novel ini adalah penyesalan datang setelah melakukan kesalahan, seperti kutipan berikut.
Sejak itu Medasing berubah total hidupnya. Dia menjadi seorang hartawan yang sangat
penyayang pada siapa saja. Lima belas tahun kemudian Medasing berangkat ke tanah suci.
6) Latar meliputi latar tempat, waktu, dan suasana.
Latar tempat meliputi Betawi (Jakarta). Hal ini sperti kutipan berikut.
Sesungguhnya, ia termasuk orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai
tamat HBS.
Latar waktu pada sinopsis ini kurang jelas.
Latar suasana pada ini tegang. Hal ini terdapat pada waktu Corry hendak minta cerai kepada Hanafi,
seperti kutipan berikut.
Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan pertallian hubungannya
itu. Surat itu membuat Hafani patah semangat. Ia pun kemudian sakit.
Unsur-unsur yang terdapat dalam novel Anak Perawan Di Sarang Penyamun
1) Tema adalah perubahan sikap orang yang dari buruk menjadi baik. Ia merasa lebih dari keluarga dan
masyarakatnya. Hal ini terlihat pada kutipan.
Sejak itu Medasing berubah total hidupnya. Dia menjadi seorang hartawan yang sangat
penyayang pada siapa saja. Lima belas tahun kemudian Medasing berangkat ke tanah suci.
Kembalinya dari tanah suci, ramai orang-orang kampong menyambut kedatangannya dan
Medasing mengubah namanya menjadi Haji Karim.
2) Alur novel ini adalah alur maju. Peristiwa satu dengan peristiwa berikutnya terjadi berdasarkan urutan
waktu. Cerita diawali dengan Medasing merampok keluarga Haji Sahak. Hal ini terlihat pada kutipan
berikut.
Di tengah-tengah perjalanan, rombongan Haji Sahak dihadang oleh segerombolan perampok
yang di pimpin Medasing. Haji Sahak, dan istrinya yang bernama Nyai Hajjah Andun, beserta
rombongan dibunuh oleh perampok itu. Akan tetapi, Sayu, anak perawan Haji Sahak itu tidak
mereka bunuh. Kemudian Sayu ikut dibawa ke sarang penyamun itu.
Pada bagian akhir cerita dikisahkan tentang kepulangan Hanafi seperti kutipan berikut.
Waktu itu Samad memang tinggal di rumah Haji Karim dan istrinya yaitu Sayu. Namun paginya
secara diam-diam Samad meninggalkan rumah Haji Karim. Dia pergi entah kemana, sementara
Haji Karim dan keluarganya hidup tenteram dan damai di kampung.
3) Sudut pandang
Sudut pandang pengarang adalah diaan. Pengarang berada di luar cerita, serba tahu, dan berdiri
sebagai pengamat. Hal ini sesuai dengan kutipan berikut.
Menyaksikan kenyataan itu hati Sayu hancur, Medasing sendiri juga hancur hatinya. Kenyataan
telah menyadarkan dirinya betapa kejamnya dia selama ini. Dia begitu menyesal. Dia sangat malu
dan berdosa kepada Sayu dan keluarganya.
4) Tokoh dan penokohan
Tokoh utama novel ini adalah Medasing. Ia seorang yang penyamun (perampok) yang begis, seperti
kutipan berikut.
Di tengah-tengah perjalanan, rombongan Haji Sahak dihadang oleh segerombolan perampok
yang di pimpin Medasing. Haji Sahak, dan istrinya yang bernama Nyai Hajjah Andun, beserta
rombongan dibunuh oleh perampok itu. Akan tetapi, Sayu, anak perawan Haji Sahak itu tidak
mereka bunuh. Kemudian Sayu ikut dibawa ke sarang penyamun itu..
5) Amanat
Amanat novel ini adalah sejahat-jahatnya orang pada akhirnya ia sadar apa yang ia lakukan itu selama
ini salah,dan bertaubatlah dalam perbuatan yang sangat kejam itu menjadi berbuat baik, seperti
kutipan berikut.
Ia ingin minta maaf kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu ia juga ingin melihat
keadaan anaknya sekarang. Ia berharap agar anaknya kelak tidak mengikuti jejak ayahnya yang
sesat.
6) Latar meliputi latar tempat, waktu, dan suasana.
Latar tempat meliputi Betawi (Jakarta), hutan. Hal ini sperti kutipan berikut.
Seorang saudagar kaya bernama Haji Sahak akan pergi berdagang ke Palembang. Dari Pagar
Alam ke Palembang itu, Haji Sahak membawa puluhan kerbau dan beberapa macam barang
dagangan lainnya.
Persediaan makanan dalam hutan sudah habis. Sayu sangat khawatir akan keadaan itu. Itulah
sebabnya dia mencoba mengajak Medasing agar bersedia keluar dari persembunyiannya. dan
akhirnya mereka keluar dari hutan menuju kota Pagar Alam.
Latar waktu pada sinopsis ini kurang jelas.
Latar suasana pada ini tegang. Hal ini terdapat pada waktu Corry hendak minta cerai kepada Hanafi,
seperti kutipan berikut.
Medasing sendiri tak pernah bercita-cita ingin menjadi penyamun, apalagi menjadi pimpinan
perampok. Mendengar cerita itu hati Sayu menjadi luluh juga. Rasa benci dan dendam pada
Medasing lama kelamaan menjadi luntur. Kemudian dengan penuh kesabaran dan penuh kasih
sayang yang tulus, Sayu merawatnya sampai sembuh.
E. Sumber belajar, Media Pembelajaran
Fauzan, Ahmad. 23 November 2012. Analisis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick.
http://analisisnovel-kapalvanderwijck.blogspot.com/2011/09/analisis-novel-tenggelamnya-kapal-
van.html. Diakses 3 Maret 2013.
History Maker, Minggu, 27 Februari 2011. Resensi Anak Perawan di Sarang Penyamun dan Biografi
Sutan Takdir Alisyahbana. http://angelyourlife.blogspot.com/. Diakses 25 Februari 2013
Martanti dan Suptatiwi. 2010. Kreatif Berbahasa Indonesia Kelas IX. Jakarta: Pusat Perbukuan
Depdiknas.
Murniasiah, Tri Retno dan Sunardi. 2010. Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas IX. Jakarta: Pusat
Perbukuan Depdiknas.
Joni. 10/24/2011 09:27:00 PM. Ringkasan Siti Nurbaya.
http://bagongmendem.blogspot.com/2011/10/ringkasan-siti-nurbaya-unsur-intrinsik.html. Diakses
3 Maret 2013.
Sundiawan, Awan. September 21, 2012. Ringsan Novel Salah Asuhan.
http://awan965.wordpress.com/2012/09/21/ringkasan-novel-salah-asuhan/. Diakses 25 Februari
2013.
Kegiatan 1
Bacalah sinopsis novel Siti Nurbaya karya Sutan Takdir Ali Syahbana dan Tenggelamnya Kapal
Van De Wick
Sinopsis novel Siti Nurbaya
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 271 halaman
Pelaku : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan Sultan Mahmud.
Sinopsis
Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal
dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan
Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang
mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti
kakak dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang
bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang bernama
Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke
Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah
Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka itu
mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta.
Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus
sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia
mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda
Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko
Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak
sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas
hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak
berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon
kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih
semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian,
tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya
yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.Karena
Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-
barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti
Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah
ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian
yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di
Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai
orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari
Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman
sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena
ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari
kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua
asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta
kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah
Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, karena mendengar kata-kata yang pedas
dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri.
Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk
Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri
menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk
Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan
bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh
para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat
kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-
hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung
Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan
pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas.
Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang,
larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu.
Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan
Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam
pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam
mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke
rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani
mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam
pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya
yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah
untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta,
berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan
diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak
pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya
itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki
tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik
kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar
Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal
maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke
Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih.
Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari
tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak
membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima
dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak
sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-
lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan
dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan
kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah
Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal
dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali,
pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam
keadaan payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan
Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas
perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti
Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar
orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak
lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan
dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada
yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang.
Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya
perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada
kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk
menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang
berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan,
berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang
ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu.
Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar
Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi
racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu
terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu,
terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan
kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca
telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu
dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang,
untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke
kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh
Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta
berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah
dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-
gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian
menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan
Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid
Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui
surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai
dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan
mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan
kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja
pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya
memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum
terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk
sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih
oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat
membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah
di atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian
Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka
Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama
Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah
datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di
Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang
dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari
kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan
anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti
Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud
Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul
Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang,
dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti
yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa
hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di
kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti
Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-
masing telah menjadi dokter san opzichter.
Arifin, aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan? kata Syamsul Bahri kepada
sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala
mereka itu pulang dari rumah tempatnya membayar makan.
Penglihatan apa, Sam? tanya Arifin.
Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa
maksudnya?
Cobalah ceritakan, kata Arifin pula.
Sebagai biasa, kata Samsu, pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira pukul dua belas, dengan tiada
kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti apa yang membangunkan.
Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja tulisku, sesuatu bayang-bayang putih, berdiri di belakang
kursiku. Sangatlah terperanjat aku, ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri atau
penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,
Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih? kata Arifin.
Itulah sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan
tetapi, tatkala telah nyata benar kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih kelihatan
juga.
Barangkali pemandangan tiada benar, kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.
Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.
Barangkali engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan dan hantu; jadi segala yang
kau lihat, rupanya sebagai setan, sehut Arifin pula.
Engkau tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian. Lagipula, tatkala baru saja kubuka
mataku, telah kelihatan bayang-bayang yang putih itu olehku. Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut,
jika tiada bermimpi yang dahsyat!
Bagaimana bentuknya? tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki, sahut Samsu, serta memakai pakaian sutra
putih yang jarang.
Sebagai manusia? tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada waktu itu pukul dua siang dan
orang penuh di jalan besar, Hih! Seram buluku mendengar ceritamu.
Sesungguhnya, jawab Samsu. Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku, berdebar juga hatiku dan
sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang hendak kuperbuat. Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula
suaraku tak hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, badan dan kaki berat rasanya. Dibiarkan saja,
takut kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku
sebagai terkena air dingin.
Sudah itu? tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya.
Nurbaya? tanya Arifin dengan heran.
Ya, tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun hatiku masih khawatir, dapatkah
juga kuberanikan diriku, akan mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya, Siapa ini?
Dan apa jawabnya? tanya Arifin dengan lekas.
Tak apa-apa. Ia diam saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.
Kemudian? tanya Arifin pula.
Kemudian melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah itu, hendak kudekati dia.
Tetapi tatkala itu juga hilanglah bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada kuketahui.
Betul berani engkau, kata Arifin.
Tatkala itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau dicekiknya aku dari belakang.
Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu kupasanglah lampu dan kuambil pistolku dari dalam lemari. Ketika itu
barulah berani aku memaksa aku kesana kemari, ke bawah tempat tidur, ke bawah mwja dan ke belakang
lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan, sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.
Jika aku bertemu yang denikian, tentulah aku menjerit minta tolong, kalau masih dapat, berteriak. Kalau tidak
tentulah aku akan kaku di sana juga, karena ketakutan.
Setelah kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari luar dan kutaruh pistolku
dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi sesudah itu tiadalah aku dapat tidur lagi; pertama karena takut akan
didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan penglihatan yang ajaib itu. Apakah itu adalah takdir!
Itulah setan atau hantu!
Tetapi kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi hantu itu, bukankah kata
orang yang sudah mati, kata orang? jawab Arifin.
Sesungguhnya, seumur hidupku, baru kali itu aku melihat bayang-bayang yang demikian, jawab Samsu, yang
sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah mati.Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu.
Sungguh ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu dengan penglihatan yang
serupa itu; takut dapat celaka.
Karena tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya dan Ibuku. Negri dan kampung halamanku kita,
serta timbulah hasrat yang amat dalam hatiku, hendak pulang meneui mereka sekalian dan menyesallah aku,
tiada dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belun pernah keinginan hatiku
hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah
kurasai, sejak kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki kuatir hatiku dan makin
terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan dia seorang diri, kembali kedalam mulut harimau itu.
Terkadang-kadang khawatir hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat celaka.
Ah, masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia di sini. Jika tada, baik kau jemput saja; perkaranya
tentulah selesai, jawab Arifin.
Maksudku demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan datang ini belum juga sampai kemari, tentulah akan
kujemput sendiri ke Padang.
Dengan bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter Jawa, lalu terus menuju bilik
masing-masing. Sejurus kemudian daripada itu, datanglahseorang opas pos membawa dua helai surat kawat,
untuk Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Syamsul Bahri, lalu ditunjukan oleh Arifin bilik
sahabatnya ini.
Tatkala Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak menanyakan surat kawat apakah yang
ditarimanya tadi sua dekali, kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada sangkanya, Samsu
tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya, karena kurang tidur semalam. Oleh sebab ia tiada hendak
mengganggu sahabatnya itu, ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
Maksud Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak pergi tidur; jendelanya pun
telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat itu, ditutupnyalah pula pintunya, karena hendak membaca kabar itu
seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat kawat itu sangat memberi khawatir hatinya.
Dari siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya? katanya dalam hati. O, barangkali dari Nurbaya,
memberitahu ia akan datang kemari.
Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula? Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan tangan yang gemetar. Setelah
dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan, tiada kabar darinya, sebab kedua surat itulah yang membawa
kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia sadarkan dirinya pula, adalah halnya
seperti seorang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak berair lagi
matanya. Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat
kepada ayahnya.
Sinopsis Tenggelamnya Kapal Van De Wick
Di wilayah Mengkasar, di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah
bentuk Mengkasar. Di sanalah hidup seorang pemuda berumur 19 tahun. Pemuda itu bernama Zainuddin. Saat
ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya
bukanlah Mengkasar.
Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) 30 tahun lampau, seorang pemuda bergelar Pendekar
Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak
bersaudara perempuan, maka harta bendanya diurus oleh mamaknya. Datuk Mantari labih hanya bisa
menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari,
ketika Pendekar Sutan ingin menikah namun tak diizinkan menggunakan hartanya tersebut, terjadilah
pertengkaran yang membuat Datuk Mantari labih menemui ajalnya. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu ia baru
berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia
sampai di Tanah Mengkasar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan Daeng
Habibah, putri seorang penyebar agama Islam keturunan Melayu. Empat tahun kemudian, lahirlah Zainuddin.
Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia
diasuh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri
asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.
Sampai di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sanan, ia begitu
gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harpakan.
Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di
negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di padang, dan saat itulah ia
bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup
di sana. Berawal dari surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta.
Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang. Karena
keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin
dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin
pergi meninggalkan Batipuh.
Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia
dan terus berkiriman surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya
bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin.
Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz, kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan
Hayati.
Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim
surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnyarombongan dari pihak Aziz
yang juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya
ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab.
Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang
yang bejat moralnya. Hayati juga merasakan kegetiran. Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya.
Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit.
Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai
menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter Z. Zainuddin dan
Muluk pindah ke Surabaya, dan ia pun akhirnya menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan
yang dermawan.
Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi
dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang.
Mereka diusir dari kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah di
rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya
untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi.
Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati,
yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali.
Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada
Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayat
pulang ke kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah
membaca surat Hayati yang bertulis aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam
mengenang engkau. Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat sedang bersiap-siap, tersiar
kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung syok, dan langsung pergi ke Tuban
bersama Muluk untuk mencari Hayati.
Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbarng lemah sambil
memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan
kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.
Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata
Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan dengan pusara Hayati.
Kegiatan 2
Secara berkelompok jawab pertanyaan dibawah ini!
1. Tentukan unsur-unsur Siti Nurbaya dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick
2. Deskripsikan kebiasaan, adat, etika novel Siti Nurbaya dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick
3. Bandingkan salah unsur intrinsik Siti Nurbaya dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick!

Anda mungkin juga menyukai