Anda di halaman 1dari 2

Resensi Novel La Barka

La Barka (1975) Karya Sastra La Barka merupakan salah satu novel terbaik Nh. Dini, diterbitkan
tahun 1975 oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, dan tebal 205 halaman. Tahun 1976 novel itu
mengalami cetakan kedua. Tahun 2000 penerbitannya dilakukan oleh Grasindo, Jakarta dan pada
tahun 2010 diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU), Jakarta. Keseluruhan cerita
disajikan dalam lima bab yang masing-masing diberi judul sesuai dengan nama tokoh cerita,
yaitu Bab Pertama "Monique", Bab Kedua "Francine", Bab Ketiga "Sophie", Bab Keempat
"Yvonne", dan Bab Kelima "Christine". Novel itu berbicara tentang kehidupan para istri yang
telah bercerai. Mereka dapat menerima percintaan yang tulus atau hidup bebas antara laki-laki
dan perempuan, dalam status apa saja, dalam batas-batas tertentu dan kedewasaan yang mapan
berdasarkan pemikiran yang logis sehingga mereka mampu mengatasi segala norma dan segala
tabu. Nh. Dini menyatakan bahwa La Barka mengungkapkan perasaan-perasaan wanita dari
sudut pandang wanita. Dalam karya-karya sebelumnya dunia atau perasaan wanita selalu
dideskripsikan oleh laki-laki, misalnya ketokohan Sitti Nurbaya dalam novel Sitti Nurbaya
diceritakan lewat tanggapan penulis laki-laki, dalam hal ini Marah Rusli. Bagi pembaca tertentu
hal itu merupakan kejujuran, sedangkan bagi pembaca lain merupakan aib karena memaparkan
rahasia kewanitaan. Namun, bagi Dini tidak ada rahasia antara lelaki dan perempuan. Keduanya
diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi. Satu dan lainnya diciptakan untuk menjadi teman
masing-masing. Novel ini mengisahkan Rina, orang Indonesia, sedang menumpang di rumah
temannya, Monique, di Prancis Selatan. Rumah itu bernama La Barka dekat dusun Trans-en-
Provence. Kedatangan Rina bersama anaknya yang masih kecil di sana bertujuan untuk berlibur
sambil menanti penyelesaian urusan perceraiannya dengan suaminya, seorang insinyur Prancis.
Selama beberapa minggu tinggal di La Barka, ia telah sempat berkenalan dengan beberapa orang
Prancis. Rumah Monique ternyata merupakan pusat pertemuan bagi teman-teman dan keluarga
yang berkunjung sebentar atau menginap beberapa waktu lamanya. Di tempat itu Rina bertemu
dengan Jaques, Francine (suami Rene), Sophie, Yvonne dengan anak-anaknya, Christine, dan
Robert. Semuanya bercerita tentang kegagalan perkawinan masing-masing yang dicatat secara
rajin oleh Rina dalam buku hariannya. Buku harian itu berisi kisah tentang Rina sendiri serta
semua tokoh yang dikenal Rina di La Barka. Catatan itu ditujukan kepada kekasihnya yang
sedang berada di Saigon. Sejak masih berada di Indonesia, Rina telah mengangan-angankan
untuk mengikuti garis hidup sendiri dan ia merasa tertarik kepada semangat hidup yang riang.
Sekalipun terdidik sebagai anak yatim piatu di biara Katolik, ia menginginkan kesenangan yang
lebih bebas daripada yang diperolehnya dalam lingkungan gereja. Akan tetapi, sebaliknya, ia
belum dapat meninggalkan ikatan adat dan susila yang masih umum berlaku pada kaum
perempuan di tanah airnya. Suasana budaya Jawa masih berpengaruh besar pada sikap dan
pandangannya. Perkawinannya kandas setelah tiga tahun berjalan ketika anaknya lahir.
Suaminya mulai tidak setia kepadanya dan memperlakukannya semaunya yang dipaparkannya
dengan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh. Di La Barka Rina menanti putusan
perceraiannya dan menanti suaminya itu pulang ke Prancis dari tugasnya sebagai wartawan di
Saigon. Perkawinan yang tidak membawa kebahagiaan itu telah mengubah sikap Rina, yang
mulai naif dan percaya kepada sifat jujur manusia, menjadi praktis dan seadanya. Sikap
menerima apa adanya ditunjukkannya ketika mendengar berita bahwa suaminya, yang tak pernah
disebutkan namanya, tidak menjumpainya ketika telah sampai di Prancis. Bahkan, ada berita
bahwa suaminya itu telah direbut oleh Sophie, kawannya sendiri. Dengan adanya perubahan
sikap suaminya seperti itu, Rina menyerahkan diri kepada Robert, seorang mahasiswa, yang
mengingatkannya akan sifat-sifat kekasihnya, tetapi delapan tahun lebih muda daripada
suaminya. Ia anak seorang wanita kenalannya dan menjadi sahabat Christine. Jakob Sumardjo
(1979) berpendapat bahwa novel itu memotret terlalu banyak. Sulit membedakan mana yang
dipentingkan dan mana yang tidak. Semua bagian digambarkan sama bobotnya. Dengan
demikian, komposisi cerita mengesankan kedataran yang monoton. "Kanvas Dini" dalam novel
itu terlalu penuh berdesakan. Semua kejadian dan watak yang masuk dalam novelnya dilukiskan
selengkap mungkin. Jakob Sumardjo menyimpulkan bahwa La Barka merupakan lambang
perkawinan yang hancur dan sekaligus lambang harapan penyembuhan trauma perkawinan.
Subagio Sastrowardoyo (1989) dalam bukunya yang berjudul Pengarang Modern sebagai
Manusia Perbatasan berpendapat bahwa novel La Barka lahir dari kesukaan serta kecakapan
bergunjing. Selanjutnya, Sastrowardoyo menduga bahwa semua perulangan serta kesejajaran
peristiwa yang mungkin bisa menjemukan selera yang sebenarnya bisa dihindari oleh penulisnya
merupakan kesengajaan untuk mencapai tingkat realisme yang tinggi. Corak realisme khas yang
hendak dicapai Dini adalah dengan mempergunakan alur cerita yang tidak terarah kepada tujuan
atau simpulan pikiran yang pokok, seperti hidup yang nyata, yang mengalir dari berbagai
kejadian pada masa lalu dan berkembang ke hari depan yang tidak kita ketahui bagaimana
kesudahannya.

Anda mungkin juga menyukai