Anda di halaman 1dari 230

Wrong

Marriage
.
.
.

Written by alfict
Sinopsis :

Dia membenciku. Dan aku tau itu. Karena bagaimanapun kehadiran ku dalam
kehidupannya menghancurkan seluruh harapannya yang ingin memiliki
seorang istri yang normal. Tidak seperti ku yang seorang pria dan terpaksa
harus menikah dengannya karena tuntutan kedua orang tua kami yang
mementingkan keuntungan perusahaan mereka.
Prolog

Aku menatap tidak percaya wanita paruh baya di depan ku setelah apa yang
baru saja dirinya katakan.

"Kita nggak punya pilihan lain, Wil. Ayunda sudah kabur entah kemana.
Sementara pernikahannya akan dilaksanakan dua hari lagi. Kamu harus
menggantikannya, apapun yang terjadi." ujar wanita itu yang berstatus
sebagai Ibuku.

Aku menggelengkan kepala kuat menolak permintaannya yang sangat tidak


masuk akal. Mana mungkin aku menikahi dan menggantikan Kakak ku
sementara mempelai yang akan dinikahinya adalah seorang pria yang
kelaminnya sama dengan milikku.

"Aku nggak bisa, Bu. Pernikahan itu nggak mungkin bisa aku yang gantiin.
Aku seorang pria, begitu juga calon mempelainya. Bagaimana mungkin
pernikahan ini terus berlanjut dengan aku sebagai gantinya?" ucapku
membela diriku agar terlepas dari percakapan yang membuatku terserang
sakit kepala seketika.

Ibuku terlihat tidak senang dengan apa yang baru saja aku katakan.
Tatapannya berubah dengan kilatan matanya yang menatapku dingin seolah
aku telah mengatakan hal yang salah dan harus memperbaikinya.
"Apa kamu sadar atas apa yang udah kamu ucapkan? Sadarlah, Wildan.
Kamu adalah beban di keluarga ini. Setidaknya dengan kamu menyetujui
pernikahan ini kamu membantu perusahan kedua orangtuamu agar semakin
maju. Lagipula kamu seorang gay, apa salahnya? Bukannya itu
menguntungkanmu?" ujar beliau yang sangat tepat mengenai hatiku.

Sebenarnya aku sudah terbiasa menerima kata-kata seperti itu. Entah apa
yang membuat Ayah dan Ibuku memandang ku sebelah mata. Selalu
menyebutku beban keluarga padahal selama ini yang ku lakukan adalah
menuruti permintaannya. Ya mungkin tidak semuanya, tapi aku tetap
menuruti apapun yang mereka inginkan.

Dan ya. Aku seorang gay. Aku memiliki ketertarikan terhadap seorang pria.
Aku menyadarinya saat salah satu temanku mencium ku akibat dirinya yang
kalah bermain dan menerima tantangan dari temannya yang lain. Awalnya
aku tidak merasakan apapun, tapi semakin aku memikirkan tentang ciuman
itu, semakin pula jantungku berdebar sampai akhirnya aku sadar kalau aku
berbeda dan memiliki ketertarikan yang menyimpang.

Soal Ibuku ataupun keluarga yang lain tau tentang aku yang seorang gay. Itu
karena suatu kecelakaan saat aku terpergok sedang menyewa seorang pria
untuk bercinta denganku dan semenjak saat itulah hari-hari ku berubah dan
penuh akan kepedihan. Sifat dan sikap keluarga ku berubah, memperlakukan
ku tidak adil dan mengekang ku agar selalu berada dalam pengawasan
mereka.
Aku tidak masalah dengan semua itu, karena aku sendiri sadar kalau aku
salah. Dan selalu menuruti apapun yang mereka katakan. Tapi untuk kali ini,
aku ingin sekali menolaknya karena permintaannya terlalu beresiko dan
pastinya akan berujung buruk.

"Aku nggak bisa, Bu." ucapku yang kembali mencoba menolak


permintaannya. Namun setelah aku mengucapkannya, pintu kamarku kembali
terbuka dan menampilkan sosok Ayahku dengan wajahnya yang menahan
amarah karena memang dari semalam seluruh orang dirumah panik akibat
hilangnya Ayunda yang kabur dari rumah.

"Tidak ada penolakan! Pernikahan akan terus berlanjut. Dan kau adalah
penggantinya Wildan. Keluarga Fahri dan Fahri sendiri sudah menyetujuinya.
Kau akan menikahinya dua hari lagi. Mau ataupun tidak mau. Persiapkan
dirimu, dan jangan sampai kau melarikan diri seperti Kakakmu yang tidak
berguna itu." ujar beliau yang ucapannya sama sekali tidak memerlukan
tanggapan karena semua ucapannya sudah telak dan tidak bisa di ganggu
gugat.

Ibu terlihat puas mendengarnya. Ia melebarkan senyumnya sebelum akhirnya


beliau berbalik dan berjalan mendekat ke arah Ayah untuk memeluknya
sebentar karena setelah itu Ibu kembali berkata untuk memperingati ku.

"Besok kamu akan pergi bersama Fahri untuk mengukur pakaian kalian.
Buatlah Fahri nyaman, jangan buat dirinya kecewa. Atau kamu akan
menyesalinya." ucapnya lalu mengikuti Ayah keluar dari kamarku.
Sementara aku yang ditinggal sendirian segera saja tumbang ke atas kasurku
menahan tangisku sebisa mungkin akan tidak keluar.
Sudah ratusan kali aku mengikuti apa perkataan mereka yang tidak adil. Tapi
baru kali ini lah aku merasakan beban yang sangat berat untuk ku bawa.
Menikahi Fahri? Itu sama saja dengan bunuh diri. Apakah mereka tidak ingat
saat pertama kali aku ketahuan gay? Dialah yang pertama kali memukuli ku,
menghina ku, bahkan mengurungku di gudang sekolah sampai pulang.

Aku sudah mengadukan semua itu pada Ayah dan Ibuku, tapi reaksi mereka
biasa saja. Menyuruhku untuk melupakannya karena keluarga Fahri sangat
berpengaruh dalam dunia bisnis mereka. Itu sangat menyakitkan, apalagi
perlakuan Fahri terjadi setiap harinya. Dan aku bersyukur saat aku sudah
lulus dan terbebas dari siksaannya. Tapi apa sekarang? Aku harus
menikahinya? Dunia pasti sedang bercanda.

•••

Waktu berlalu begitu cepat dan kini di hadapanku sudah berdiri sosok Fahri
dengan pakaiannya yang rapi dan menatapku dengan tatapan dingin yang
sangat menusuk sehingga membuatku merinding setiap kali mata kami
bertemu. Aku memutuskan untuk menunduk sambil berjalan mendekatinya.
Hari ini adalah hari untuk pergi mengukur baju pernikahan bersamanya dan
karena aku tidak bisa menolaknya, jadi disinilah aku berdiri di hadapan Fahri
yang entah sedang menatapku dengan ekspresi macam apa, yang jelas saat ini
jantungku sangat berdebar merasakan takut dengan pikiran buruk masa lalu.

"Masuklah." ucap Fahri singkat. Nadanya datar dan terkesan dingin.


Mendengar itu, aku memberanikan diri untuk mendongak menatapnya yang
kini sudah berjalan setengah memutar menuju kursi kemudi dan masuk ke
dalamnya. Aku hanya menatapinya tanpa berniat ikut masuk ke dalam mobil
mewah miliknya. Namun detik berikutnya aku terkesiap, terkejut dengan
bunyi klakson yang Fahri bunyikan dengan mata tajam menatapku.

Aku yang paham akan tatapan itu segera saja membuka pintu mobil yang
berada di sampingnya dan masuk ke dalamnya. Suasananya saat aku sudah
masuk sangat mencekam. Aku bisa merasakan seluruh bulu ku berdiri seakan
hal yang mengerikan kini sedang duduk di samping ku. Segala pikiran buruk
menghampiri ku, semua perbuatannya dimasa sekolah membuatku sangat
takut bahkan untuk mengeluarkan suara sedikit pun sehingga perjalanan
menuju butik sangat sunyi tanpa adanya percakapan di antara kami berdua.

"Wah calon pengantin sudah tiba. Mari-mari." sambut seorang wanita dengan
senyum ramah begitu aku dan Fahri masuk ke dalam butik yang terasa
nyaman saat memasukinya.

Aku belum pernah masuk ke dalam butik. Karena jika aku menginginkan
baju baru, aku selalu memesannya secara daring.

"Jangan bertingkah. Pilih setelanmu dan segeralah enyah dari pandanganku."


bisik Fahri dingin yang sangat menusuk hingga ulu hati ku.
Aku mengangguk pelan mendengarnya, lalu dengan susah payah
mengeluarkan senyum palsu ku pada wanita yang mengatur pakaian kami
dan berbicara beberapa kata dengannya sebelum akhirnya wanita itu
mengukur tubuhku dan bergantian dengan Fahri yang hanya diam tanpa
berbicara sedari tadi.

"Ukuran kalian sangat berbeda. Jika dilihat dengan ukuran pakaian ini,
bukankah sudah jelas kalau Tuan Fahri yang akan menjadi pihak atas. Bukan
begitu Tuan Wildan?" tanya wanita itu yang mengalihkan pandangannya ke
arahku karena dirinya tidak mendapatkan respon dari Fahri. Aku hanya
mengangguk canggung sambil tersenyum paksa menatapnya.

"Baiklah. Kalian bisa mencoba setelan yang ada disini. Kalau kalian merasa
cocok kami akan membuatkannya dengan desain yang sama menggunakan
ukuran tubuh kalian. Jadi silahkan diperhatikan baik-baik ya." ucap wanita itu
lalu kemudian minggir ke samping mempersilahkan aku dan Fahri masuk
lebih dalam sehingga kini aku bisa melihat dengan jelas koleksi pakaiannya
yang terlihat bagus dan menarik sampai membuatku bingung untuk memilih
yang mana.

Tapi sepertinya aku tidak memiliki hak memilih. Karena Fahri sudah
memberikanku satu setelan dan mendorongku dengan kuat menyuruhku
mengenakan pakaian itu di dalam ruang ganti. Aku tanpa membantah
langsung saja masuk ke dalamnya dan menatapi diriku yang terpantul dalam
cermin yang ada di hadapanku. Melihat wajahku yang terlihat jelas kalau saat
ini aku kurang tidur dari kedua kantung mata ku yang menghitam.
"Cepatlah! Aku tidak memiliki banyak waktu hanya untuk menunggumu
mencoba setelan itu." perintah Fahri dari luar membuatku sedikit terkejut dan
dengan cepat mengganti pakaian ku dengan setelan yang Fahri berikan. Dan
setelah selesai aku langsung keluar dengan maksud memperlihatkan
penampilan ku pada Fahri yang seharusnya tidak ku lakukan mengingat kalau
saat orang yang ku tanyai pendapatnya adalah orang yang paling tidak
menyukai ku di dunia ini.

"Apapun yang kau kenakan akan selalu buruk dimataku." ucapnya sambil
lalu melewati ku untuk masuk ke dalam ruang ganti. Kata-kata itu cukup
membuatku diam ditempat sambil merasakan hati yang terasa sakit dengan
ucapannya yang entah mengapa aku merasakannya padahal sudah jelas dia
bukanlah orang yang berpengaruh dalam hidupku, dan aku melakukan semua
ini karena aku tidak memiliki pilihan lain. Jadi mengapa aku merasakan sakit
itu?

Mempersiapkan baju pengantin hanya memakan waktu tidak lebih dari dua
puluh menit. Fahri memutuskan apa yang dia pilih dengan cepat karena tanpa
menanyai pendapatku dia sudah memberitahu kalau yang aku pakai tadi
adalah desain akhir yang dia inginkan. Aku yang hanya bisa menerima
apapun keputusannya hanya diam dan terus mengikutinya sampai akhirnya
Fahri menurunkan ku di depan halte bus yang sedang tidak ada siapapun
disana.

"Ku harap kau ingat kalau aku melakukan semua ini karena perintah Ayahku.
Jika bukan karena itu aku tidak akan sudi melakukannya. Awas saja kalau
kau kabur seperti yang Kakakmu lakukan. Aku tidak akan segan mengejarmu
dan membunuhmu dengan tanganku sendiri." ancamnya sebelum akhirnya ia
berlalu pergi meninggalkan ku. Sementara aku sendiri yang mendengar itu
menghembuskan napas lega karena sedari tadi aku terus bernapas dengan
hati-hat didekatnya, takut kalau aku bernapas leluasa akan mengganggunya.

Setelahnya aku berjalan dengan perasaan yang sedikit tenang. Memanggil


taksi yang lewat dan meminta supir untuk mengantar ku ke suatu tempat
dengan harapan bisa menenangkan hati dan pikiran ku karena besok adalah
hari besar yang tidak bisa ku lewatkan. Jadi aku butuh ketenangan untuk
menghadapinya. Karena mungkin setelah pernikahan itu aku tidak akan
memiliki cukup waktu untuk melakukannya. Aku tau pasti, kalau pernikahan
itu akan memberikanku kehidupan yang buruk dan tidak adil lainnya.

Ya. Mungkin itulah tujuan orangtuaku melahirkan ku ke dunia. Dan aku tidak
bisa melakukan apapun selain menuruti mereka. Karena jika tidak, bukan
hanya aku yang kena imbasnya tapi orang-orang yang sudah pernah
berhubungan denganku juga akan turut merasakannya. Dan aku tidak mau itu
terjadi, biarlah aku sendiri yang kena hukumannya karena aku sadar akulah
yang salah memilih untuk menetap pada ketertarikan ku yang menyimpang
ini.
Chapter 1

"Kau harus berperilaku layaknya seorang istri. Kau harus melayani apapun
yang Fahri inginkan. Membuatkannya makanan, menyiapkan segala
kebutuhannya, seperti yang Ibumu lakukan. Jika aku mendengar keluhan
sedikit saja darinya, kau pasti tau apa yang akan aku lakukan." peringat Ayah
saat mengantar ku untuk berjalan menuju altar yang saat ini sudah ada sosok
Fahri yang berdiri disana bersama sang pendeta.

Aku yang mendengar itu hanya diam dengan jantungku yang berdebar
kencang dan bergetar akibat rasa takut yang aku rasakan. Apalagi para tamu
undangan yang hadir menatapku dengan pandangan yang berbeda-beda dan
dari sini aku bisa mendengar beberapa dari mereka yang berbisik mengapa
seorang pria yang menjadi pasangan Fahri dan itu sangat menyiksaku.
Rasanya aku ingin sekali berbalik dan pergi jauh dari sini. Tapi aku tidak bisa
melakukannya, karena bagaimanapun ini sudah takdir yang tidak bisa
membantah apa yang kedua orang tuaku inginkan, apalagi ancaman yang
diberikannya adalah nyawa orang lain.

Aku yang tadinya menunduk kini berusaha mendongak menatap lurus ke


depan untuk melihat Fahri yang sama sekali tidak tertarik padaku yang
menatap ke arah lain dengan pelipisnya yang bergerak-gerak yang
menandakan kalau saat ini ia sedang menahan amarahnya.

"Pergilah." ucap Ayah melepaskan tanganku yang melingkar di lengannya.


Beliau mendorongku perlahan agar aku naik ke atas altar dan berdiri
berhadapan dengan Fahri yang saat ini terlihat menawan dengan setelan jas
pernikahan yang ia kenakan.

Tatanan rambut dan juga raut wajah membuatku terdiam beberapa saat
memandangi wajahnya, mengagumi betapa menawannya sosok Fahri saat ini.
Namun tatapannya yang tajam menusuk membuatku sadar dan langsung
berkedip untuk mengalihkan pandanganku ke arah yang lain.

"Baiklah. Dua mempelai sudah berada di atas altar. Sekarang kita mulai janji
suci pernikahan untuk kedua pasangan yang sebentar lagi akan menjadi
pasangan seumur hidup mereka." ucap Pendeta itu.

"Untuk kedua mempelai, silahkan saling berpegangan tangan dan ucapkan


janji suci yang dimulai dari sang mempelai pria." ucap Pendeta itu yang
membuatku bingung harus melakukan apa karena Fahri hanya diam sambil
memandangi dengan mata yang dingin dan menusuk. Melihatnya membuatku
bertambah takut dan bergemetar.

"Kedua mempelai?" tanya Pendeta yang ada di tengah-tengah kami. Aku mau
pun Fahri yang mendengar itu segera saja mengulurkan kedua tangan kami
masing-masing yang langsung disambut oleh Fahri yang mengambil
tanganku dan menggenggamnya erat bahkan sangat erat sehingga terasa sakit
merasakan genggamannya yang sangat kuat.

Aku meringis tanpa suara dan menahannya sebisa mungkin karena saat ini
Fahri sedang mengucapkan beberapa kata pernikahan yang sering ku dengar
di beberapa film.
"Saya berjanji, akan menerima engkau sebagai istriku yang sah dan satu-
satunya dari sekarang ini dan seterusnya, baik pada waktu senang atau susah,
baik pada waktu kaya atau miskin, pada waktu sehat ataupun sakit. Saya
berjanji, akan mencintai, mengasihi dan selalu hidup bersama-sama dengan
rukun dan damai dan hanya maut yang dapat menceraikan kita." ucapnya
yang terdengar sangat dipaksakan dengan tangannya yang semakin kuat
meremas tanganku yang ada dalam genggamnya.

"Baik, sekarang untuk mempelai wanita...maaf, maksud saya yang berperan


sebagai wanita. Silahkan ucapkan janji pernikahannya." ucap Pendeta itu.
Aku yang mendengarnya segera menarik napas dalam untuk menahan rasa
sakit yang ku rasakan sambil mengucapkan janji pernikahan yang sudah ku
hafalkan semalaman.

"Saya berjanji, akan menerima engkau sebagai suamiku yang sah dan satu-
satunya, dari sekarang ini dan seterusnya, baik pada waktu senang atau susah,
pada waktu kaya atau miskin, pada waktu sehat ataupun sakit. Saya berjanji,
akan mencintai dan selalu hidup bersama-sama dengan rukun dan damai dan
hanya maut yang dapat menceraikan kita." ucapku yang ku akhiri dengan
ringisan kecil merasa tidak tahan dengan kekuatan genggaman Fahri yang
bertambah kuat.

"Dengan kalian yang telah mengatakan janji pernikahan ini. Kalian secara
resmi telah sah menjadi pasangan suami-istri. Silahkan saling bertukar cincin
setelah itu kalian bisa berciuman." ujar sang Pendeta yang menyodorkan
kotak cincin ke arah Fahri yang meraihnya lalu mengarahkan cincin itu ke
arah jari manisku. Sementara aku yang sedang merasakan lega karena sudah
tidak merasakan sakit lagi, hanya diam sambil melihat cincin itu yang dengan
mudahnya masuk ke jari ku. Aku melihat cincin itu sekilas dan melirik ke
arah Fahri dengan tatapan yang sama, dingin yang menusuk.

Setelah itu sang Pendeta beralih ke arah ku dan menyodorkan kotak cincin
dan menyuruhku untuk melakukan hal yang sama seperti yang Fahri lakukan.
Aku mengambil cincin itu lalu mendongak sedikit untuk memperhatikan raut
wajah Fahri yang terlihat menahan amarah dengan pelipisnya yang bergerak-
gerak.

Melihat itu membuatku ragu. Tapi karena tekanan dari beberapa tamu
undangan yang hadir, aku pun memberanikan diri untuk meraih tangan Fahri
dan memasangkan cincin itu ke jarinya dengan gerakan. Setelah terpasang,
aku segera melepaskan tangan itu yang sayangnya tidak bisa ku lakukan
karena saat ini tangan Fahri yang memegang tangan ku dan menarik ku
cukup kuat sehingga aku yang tidak siap hampir menabrak dirinya.

Jantungku berdegup kencang, menyadari posisi dan jarak kami yang sangat
dekat. Apalagi saat ini wajah Fahri menunduk sedangkan aku mendongak
memperhatikan wajahnya yang kian mendekat sampai akhirnya bisa
kurasakan bibirku yang di lumat oleh bibirnya. Aku terkejut tentu saja, tapi
karena ciuman itu berlangsung dengan cepat dan kasar membuatku sadar
kalau ciuman ini adalah paksaan sehingga membuatku mau tidak mau
membalas ciuman itu agar para tamu yang hadir tidak curiga akan hubungan
ku dan Fahri yang sebenarnya.

Tapi sepertinya aku melakukan kesalahan besar. Karena entah aku yang
terbawa suasana, atau aku yang panik dan ketakutan sehingga aku
memasukkan lidah ku dalam mulut Fahri dan merasakan lidahnya disana. Itu
tidak berlangsung lama, karena detik berikutnya bisa kurasakan sakit pada
bibirku yang di gigit kuat oleh Fahri. Membuatku yang merasakannya
dengan cepat mendorong tubuhnya sedikit agar ciuman itu segera terputus.

Aku berusaha sebisa mungkin menahan rasa sakit yang kurasakan pada
lidahku. Mataku sudah berkaca-kaca karena aku yakin, Fahri pasti sengaja
melakukannya yang bisa dilihat dari ekspresi wajahnya yang kian
menakutkan dan tatapannya yang dingin menusuk tajam.

Syukurlah acara pernikahan itu sudah berakhir dengan tepukan para tamu
undangan yang terdengar di telingaku sehingga aku bisa pamit untuk pergi ke
toilet dengan niat memeriksa lidah ku yang masih terasa nyeri akibat gigitan
itu.

Dan aku sangat bersyukur, karena lidahku baik-baik saja dan tidak
mengeluarkan darah seperti yang aku bayangkan. Jadi aku bisa bernapas lega
sambil mencuci tangan yang baru saja ku gunakan untuk meraba lidahku tadi.
Setelah selesai, aku pun berniat keluar dari toilet tersebut yang sayangnya
harus ku urungkan niat tersebut ketika pintu toilet itu terbuka dan
menampilkan sosok Fahri yang kini mendekat ke arah ku dengan wajahnya
yang sangat menakutkan.

Baru saja aku ingin bertanya apa yang membuatnya kemari. Tapi sebelum
aku melakukannya, Fahri dengan cepat mengeluarkan air liurnya dan
meludahi ku yang tepat mengenai wajahku. Aku terkejut dan langsung
mundur beberapa langkah sampai akhirnya aku terpojok dengan punggungku
yang menempel pada dinding. Sementara Fahri semakin mendekat dengan
satu tangannya yang terkepal kuat sebelum akhirnya mengayunkan tangan itu
ke arahku dan menimbulkan suara yang sangat sehingga membuatku
menutup mata dengan cepat.

Suara pukulan yang Fahri lakukan memang sangat keras. Tapi aku tidak
merasakan apapun dan membuatku dengan cepat membuka mata untuk
melihat apa yang terjadi yang ternyata pukulan itu tidak mengenaiku,
melainkan mengenai tembok yang jaraknya sangat dekat dengan wajahku.
Menyadarinya membuatku sedikit lega, tapi sepertinya aku terlalu cepat
untuk merasakan itu. Karena saat ini Fahri masih ada di hadapanku dengan
wajah yang sangat dekat.

"Kalau saja kau tidak perlu lagi untuk tampil di acara. Aku pasti menghabisi
mu saat ini. Sadar akan posisimu. Jangan melewati batasmu. Manusia
menjijikan." ucapnya dengan suara yang berbisik tajam yang sangat tepat
mengenai hatiku.

"Harusnya kau merasa beruntung karena aku menciummu. Tapi bukan berarti
kau bisa memasukkan lidahmu itu kedalam mulutmu. Kau tau, aku sangat
ingin membunuhmu saat ini." lanjutnya yang kemudian di akhiri dengan
dirinya kembali meludahi wajahku. Aku yang merasakan itu bergetar dengan
kaki ku yang terasa lemas. Syukurlah Fahri segera keluar dari toilet setelah
meludahiku sehingga aku bisa mengeluarkan tangis ku yang tidak bisa ku
tahan lagi.

Aku menangis dalam diam. Tanpa suara yang ku keluarkan, karena aku tau,
jika aku melakukannya bukannya keadilan yang akan ku dapatkan.
Melainkan siksaan lainnya yang mungkin saja akan ku alami jika aku
melakukannya.
Ini menyakitkan. Aku merasa hancur dan tidak berguna. Tapi apa yang bisa
ku perbuat. Hidupku sudah diatur dengan takdir yang menyedihkan. Jadi aku
hanya menerimanya dan menjalani walaupun penuh luka yang ku dapatkan.
Chapter 2

Aku terbangun begitu merasakan hawa dingin yang menyentuh kulitku yang
rasanya menusuk dan membuat seluruh otot-otot ku terasa pegal.

Ah benar, aku lupa. Bukan hawa dingin yang menyebabkan ku merasakan


pegal pada seluruh tubuhku. Melainkan karena aku yang terus meringkuk
semalaman karena aku harus menyesuaikan tubuhku yang tidur di atas sofa
yang berukuran sedang.

Apartemen yang dipersiapkan oleh kedua orang tua ku maupun Fahri hanya
memiliki satu kamar tidur, sedangkan satu ruangan lainnya hanyalah gudang
yang tidak bisa ku gunakan untuk tidur. Aku tidak mungkin tidur satu kamar
dengan Fahri yang sudah jelas tidak menyukai ku. Bahkan saat pertama kali
aku menginjakkan kaki ke apartemen ini dirinya sudah memperingati ku dan
langsung mengunci pintu kamar, meninggalkan aku sendirian di ruang tengah
dengan koper yang berisi pakaian milikku.

Aku tidak masalah. Aku tidak akan protes apalagi membantah ucapannya,
lagi pula aku bisa tidur di sofa walaupun baru kali ini aku tidur disana. Yang
penting saat ini Fahri tidak merasa terganggu ataupun mengeluarkan kata-
kata dan perlakuan kasarnya padaku. Ya, selama itu tidak terjadi, aku tidak
mempersalahkan merasakan pegal-pegal setiap harinya.
Bunyi alarm yang berdering dari ponselku membuatku teralihkan dan segera
meraih ponsel itu untuk mematikan bunyi alarm yang kini sudah
menunjukkan pukul 4 pagi.

Benar. Sekarang statusku sudah menikah dan aku pengganti Ayunda yang
seharusnya berada disini. Aku berperan sebagai wanita dalam pernikahan
yang menguntungkan kedua perusahaan ini. Jadi aku harus lebih rajin dan
menyiapkan apapun yang biasa seorang istri lakukan kepada suaminya.
Termasuk bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan Fahri yang aku
sendiri tidak tau apa yang harus ku persiapkan untuknya.

Namun saat perkataan Ayah masuk ke dalam ingatanku yang mengatakan


kalau aku harus jadi lebih rajin seperti yang Ibuku lakukan setiap harinya
untuk melayani Ayah. Mengingatnya aku pun segera bangkit dari dudukku
setelah sebelumnya meregangkan otot-otot tubuhku lalu memperhatikan
kesekitar ku yang saat ini sangat terlihat cukup berantakan. Entahlah, padahal
seingat ku sebelum aku terlelap tidak ada sampah bungkus mi instan dan
beberapa kaleng soda bekas. Apa Fahri yang melakukannya? Kenapa aku
tidak mendengar apapun?

Tidak mau terlalu banyak berfikir dan membuang waktu. Aku pun segera
memunguti sampah-sampah itu dan mengumpulkannya menjadi satu untuk
ku buang ke tempat yang seharusnya. Setelah selesai, aku pun memutuskan
untuk mulai bersih-bersih di apartemen yang tidak terlalu luas ini yang ku
awali dengan menyapu, mengepel lantai, dan ku akhiri dengan pergi ke dapur
berniat ingin memasak sarapan untukku maupun Fahri. Syukurlah aku
memiliki keahlian memasak, jadi aku tidak kesulitan sama sekali selama
menyiapkan sarapan.
Aku tidak yakin makanan apa yang Fahri sukai. Aku bahkan tidak yakin
kalau Fahri akan memakannya. Tapi apapun itu aku sudah berusaha
menjalani peranku untuk menyiapkan sarapannya. Dan kini aku meletakkan
semua sarapan yang telah ku buat di atas meja makan beserta satu gelas kopi,
susu, dan juga teh. Aku membuat ketiga minuman itu agar Fahri bisa memilih
yang mana dia sukai. Karena aku tidak tau apapun tentangnya.

Setelah ku rasa semua yang harus kulakukan sudah selesai. Aku pun
memutuskan untuk membersihkan diriku saat melihat jam yang sudah hampir
menunjukkan pukul 7. Aku memang tidak memiliki pekerjaan apapun. Aku
seorang pengangguran dan selalu berada dirumah, itupun karena kedua orang
tua ku melarang ku untuk keluar dari rumah dengan alasan kalau aku akan
mempermalukan mereka setelah mereka tau kalau aku menyimpang.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mandi. Karena beberapa menit
kemudian aku segera keluar dari kamar mandi dengan tubuhku yang terasa
segar dengan hati ku yang lebih ringan dari hari kemarin saat pernikahan
yang penuh tekanan. Aku tersenyum kecil menertawai diriku sendiri yang
seperti robot yang diciptakan untuk mengikuti apapun perintah Ayah dan
Ibuku. Aku merasa seperti pecundang yang tidak bisa melakukan apapun
selain mengatakan iya dan menunduk pada orang yang lebih berkuasa.

"Mengapa kau tidak membangunkan ku?" suara Fahri yang membuatku


terkejut karena saat ini sosoknya berada di hadapanku dengan wajah dingin
dan tatapan matanya yang tajam.

"A-aku tidak tau kalau kau ingin di bangunkan." ucapku tergagap dengan
jantung yang berdegup kencang merasakan ketakutan yang seketika
menguasai diriku. Aku segera menundukkan kepala ku menghindari
tatapannya yang menakutkan.

"Tidak berguna." ucapnya dingin. Lalu dengan kuat menyenggol bahu ku


yang terasa sakit namun sebisa mungkin ku tahan agar tidak meringis ataupun
mengaduh sakit.

Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuatku bernapas lega dan dengan
cepat berjalan ke arah sofa untuk mengambil koperku yang ku taruh disana
dan mengambil satu pasang pakaian yang segera ku kenakan. Setelah selesai,
aku pun duduk beberapa menit untuk memijat kecil bahuku yang masih
merasakan tabrakan Fahri yang dengan sengaja menyenggol bahu ku tadi.
Tapi saat mengingat niatku yang ingin pergi setelah mandi, aku pun segera
berdiri dari dudukku dan berjalan ke arah meja makan untuk meletakan
catatan kecil disana.

Namun saat aku ingin meletakkan catatan itu, pintu kamar mandi terbuka dan
menampilkan sosok Fahri yang keluar dengan hanya menggunakan handuk
yang melilit di pinggangnya. Aku yang melihat itu terdiam beberapa saat
memperhatikan lekuk tubuhnya yang sempurna dengan otot-otot yang
terbentuk rapi di tubuhnya. Aku tidak menyangkalnya, tapi saat ini Fahri
terlihat sangat seksi dan memikat.

"Jika kau terus menatap tubuhku seperti kau ingin menyentuhnya. Aku tidak
akan segan untuk membuatmu buta." ucapnya mengancam. Membuatku yang
mendengarnya terperanjat dan langsung mengalihkan pandangan ku darinya
sambil memaki diriku sendiri yang tidak bisa menahan hasrat
menyimpangku.
"Buang makanan itu. Aku tidak akan mau memakannya." ucapnya lagi
sambil berlalu pergi untuk masuk ke dalam kamarnya.

Aku yang menyadari itu kembali mengambil napas lega karena sedari tadi
aku menahan napas merasakan takut akan sosoknya. Setelah itu aku beralih
menatap beberapa masakan sederhana yang ku buat di atas meja sambil
memikirkan apa yang Fahri katakan untuk membuang semua makanan itu.
Tapi karena aku tidak bisa melakukannya, aku pun memakan masakan ku
sendiri dan menyisahkan beberapa untuk ku makan nanti. Setelahnya aku
berjalan ke arah pintu kamar Fahri yang tertutup yang sayangnya pintu itu
segera terbuka dan menampilkan sosok Fahri yang sudah rapi dengan setelan
kerjanya yang tentu saja membuatku terkejut untuk kesekian kalinya.

Fahri menatapku datar yang membuatku gugup karena tatapan itu


berlangsung cukup lama.

"Apa yang kau lihat!" ucapnya yang lagi-lagi meninggalkan ku begitu saja
untuk keluar dari apartemen. Aku tidak heran akan hal itu, makanya aku
menghela napas dan menyerah untuk memberitahunya kalau aku ingin keluar
sebentar karena ingin berbelanja untuk mengisi kulkas yang saat ini isinya
hanya beberapa buah dan sayur yang tidak lengkap.

Ya...ku pikir aku tidak membutuhkan izinnya. Lagipula dia sedang bekerja
dan tidak mungkin juga Fahri perduli kemana aku pergi. Jadi dengan begitu
aku memutuskan untuk keluar dari apartemen dan mulai berjalan menuju
lantai dasar dengan niat pergi ke swalayan terdekat.
Tapi sayangnya tidak ada swalayan terdekat disini. Bahkan minimarket pun
tidak ada. Mereka semua jaraknya sangat jauh yang hanya sanggup ku
tempuh dengan menggunakan kendaraan, sedangkan aku sendiri tidak
memiliki kendaraan kepunyaan ku sendiri selama ini. Jadi aku menyerah dan
ingin kembali masuk ke dalam apartemen kalau saja sebuah mobil tidak
berhenti di hadapanku dengan kaca mobil yang perlahan terbuka dan
menampilkan sosok pria yang ku kenal.

"Yo, Wildan. Apa yang kau lakukan disini?" tanya pria itu yang bernama
Zaki. Temanku. Tidak, lebih tepatnya mantan partnerku. Aku dan dia sudah
pernah beberapa kali melakukan hubungan intim setelah mengetahui jati diri
masing-masing beberapa bulan yang lalu. Dan memutuskan untuk
mengakhiri hubungan kami begitu orang tua ku mengetahui identitasnya dan
mengancam ku menggunakan namanya.

"Aku tinggal disini sekarang, Zak." ucapku dengan sedikit menunduk untuk
melihat wajahnya.

"Benarkah? Sendirian?" tanyanya. Aku menggeleng pelan menjawabnya.

"Mengecewakan. Kalau kau sendirian kan aku berniat ingin berkunjung,


siapa tau kita bisa melakukannya lagi." ujarnya sambil terkekeh kecil. Aku
yang mendengar itu hanya tersenyum lalu kemudian mengingat niat awal ku
yang ingin pergi berbelanja.
"Oh iya. Bisakah kau menolongku? Aku butuh tumpangan untuk ke swalayan
ataupun minimarket terdekat yang jaraknya 4 km dari sini." ucapku yang
sudah melihat jaraknya dari ponselku.

"Tentu saja. Ayo naik, aku akan mengantarmu kemana pun yang kau
inginkan, karena kau adalah partner terbaik ku sejauh ini." ucapnya, yang
membuatku senang dan langsung berjalan beberapa langkah untuk membuka
pintu mobil satunya dan masuk kedalamnya untuk duduk tepat di samping
Zaki yang saat ini memajukan wajahnya ke arah ku.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Aku merindukan manisnya bibirmu, Wil. Bisakah kita ciuman sebentar?


Kau tidak memiliki siapapun kan setelah putus denganku?" ucapnya.

"Kurasa kita tidak sejauh itu mengatakan kata putus." ucapku yang
mengingat batasan hubungan kami yang hanya sebatas partner seks.

Zaki terlihat sadar, dan memundurkan kembali wajahnya untuk menatap


lurus ke depan.

"Kau benar. Hanya aku yang menganggap kita berpacaran dengan waktu
yang kita habiskan saat kita bersama." ujarnya yang terdengar kecewa.
"Tidak. Aku juga menganggap hubungan kita lebih dari itu. Tapi setelah
kedua orangtuaku mengetahui tentangmu, aku memutuskan untuk
melupakanmu. Dan lagipula aku sudah menikah sekarang. Jadi aku tidak bisa
bebas seperti dulu lagi. Ah, maksudku secuil kebebasan seperti dulu." ucapku
yang membuatnya menoleh padaku dengan tatapan bertanya.

"Kau sudah menikah? Kapan? Mengapa kau tidak mengundangku?" tanyanya


yabg membuatku menghela napas mendengarnya.

"Ceritanya panjang. Dan kau mungkin tidak akan percaya siapa yang ku
nikahi sekarang." ujarku.

"Memangnya siapa? Siapa yang berani menikahi Wildan ku?" balasnya


mendesakku dengan satu tangan yang menggenggam lengan ku.

Aku yang mendengar itu memilih untuk menggelengkan kepalaku


menjawabnya.

"Sebaiknya kau tidak mengetahuinya." ucapku sambil menundukkan


kepalaku. Namun aku kembali mendongak begitu merasakan sakit pada
lenganku yang disebabkan oleh Zaki yang meremas lenganku cukup kuat.

"Beritahu aku, Wil. Siapa yang berani menikahimu tanpa sepengetahuan ku."
ujarnya dengan tekanan di setiap katanya.
Aku meringis sakit sambil berusaha melepaskan genggaman Zaki pada
tanganku yang untungnya segera di lepaskan oleh Zaki yang paham akan
diriku yang kesakitan.

"Maaf. Aku terbawa suasana. Jika kau tidak ingin memberitahuku. Tidak apa,
aku menghargai privasimu." ucapnya yang membuatku bernapas lega karena
setelahnya Zaki mulai menjalankan mesin mobilnya menuju tempat yang ku
tuju.

Ya ku pikir Zaki hanya akan mengantarku sampai tujuan saja. Tapi ternyata
tidak, dia mengikutiku dan menemaniku berbelanja bahan makanan di
swalayan. Aku tidak tau mengapa dia melakukannya, yang jelas hal itu
membuatku lupa waktu dan asyik mengobrol dengannya hingga tidak terasa
hari sudah mulai gelap karena aku yang mampir kerumahnya untuk
berbincang dan mengenang masa lalu kami.

Dan karena itu pula. Aku tenggelam pada masa laluku bersama Zaki dan
akhirnya kembali melakukan hal yang tidak seharusnya kami lakukan lagi.
Melalukan hubungan intim itu dan melupakan waktu yang saat ini sudah
menunjukkan pukul 11 malam.

Entah apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Karena saat aku pulang,
Fahri sudah berada di atas sofa dan duduk disana dengan wajah memerah
dengan ekspresi menyeramkan dan tatapan mata tajam yang penuh akan
amarah.
Chapter 3

Aku yang awalnya merasa lemas karena mengantuk, langsung terjaga


sepenuhnya begitu mataku melihat aura menakutkan yang Fahri keluarkan
dengan ekspresi dan tatapan yang mengerikan sehingga membuat jantungku
memompa cepat sambil berjalan mundur sampai akhirnya punggungku
menabrak pintu yang sudah tertutup.

Perasaan takut itu semakin bertambah, apalagi melihat Fahri yang melangkah
cepat menghampiri dengan satu tangan yang terulur dan meraih wajahku
untuk mengangkat daguku yang terasa sakit karena dia melakukannya dengan
kuat, memaksa ku agar menatapnya secara langsung.

"Dari mana saja kau." ucapnya dingin dengan jarak wajahnya yang sangat
dekat dengan wajahku yang saat ini masih mendongak menatapnya. Dari
jarak ini, aku bisa dengan jelas mencium bau alkohol yang baru saja keluar
dari mulutnya.

"Jawab aku sialan!" marahnya yang membuatku seketika terpejam dengan


tubuhku yang bergetar menerima teriakan yang ia berikan.

"A-aku pergi berbelanja, Fahri." ucapku yang tentu saja yang tidak akan dia
percayai karena bahkan aku melupakan belanjaan ku di rumah Zaki.
"Sampai selarut ini? Belanja apa kau sampai membutuhkan waktu yang
sangat lama!" bentaknya lagi dan aku tidak menjawabnya karena kalau aku
mengatakan yang sebenarnya, aku yakin, Zaki akan kembali dijadikan alasan
kedua orang tua ku maupun Fahri untuk mengancamku nanti.

"Aku seharian pergi bekerja, dan kau malah pergi keluyuran hingga selarut
ini!? Kau pikir kau siapa! Seharusnya kau melayaniku bukannya pergi
kemanapun yang kau suka dan--" ucapannya terhenti dan membuatku
membuka sedikit mataku yang melihat sosok Fahri yang mengalihkan
pandangannya ke arah leherku.

"Pelacur sialan!" amuknya yang dengan cepat membenturkan kepala ku ke


pintu yang ada di belakangku. Aku yang merasakannya, meringis kesakitan
namun berusaha ku tahan agar tidak menangis apalagi saat ini Fahri meraih
rambutku dan menariknya sangat kuat.

Itu sangat menyakitkan dan berlangsung cukup lama karena Fahri menyeret
ku dengan tangannya yang menjambak rambutku lalu menghempaskan
tubuhku ke atas sofa yang menimbulkan suara keras antara dadaku dan sudut
sofa itu. Tidak sampai disitu. Saat ini bisa kurasakan kaki Fahri yang masih
mengenakan sepatu berada di atas punggung ku dan menginjak-injakan
kakinya disana dengan kuat yang membuat dadaku terbentur beberapa kali ke
sudut sofa.

Aku tidak bisa menahannya, itu terasa sangat menyakitkan. Dan kini sudah
bisa kurasakan air mataku yang mengalir deras dengan isakan yang ku
keluarkan sambil memohon agar Fahri menghentikan aksinya.
Tapi bukannya berhenti, Fahri malah semakin cepat menginjakkan kakinya di
punggungku dan aku terus merasakan sakit dengan dadaku yang terasa sesak
merasakan benturan itu beberapa kali sampai akhirnya Fahri berhenti dan
menarik kerah bajuku agar aku berbalik menghadapnya dengan kepalaku
yang kini bersandar pada sudut sofa. Pandanganku terlihat sedikit buram
karena mataku yang berair, tapi masih bisa kulihat dengan jelas kedua tangan
Fahri yang saat ini membuka sabuk yang melilit di pinggangnya.

Aku tidak tau apa yang akan dilakukannya, tapi setelah dia dengan kuat
merobek baju yang ku kenakan aku langsung menyadarinya, apalagi saat
kurasakan rasa sakit yang begitu mendalam merasakan sabuk dengan bahan
kulit itu mengenai kulit tubuhku. Membuatku menjerit kencang dengan
tubuhku yang mengejang merasakan sakit yang luar biasa. Bukan hanya
sekali. Fahri melakukannya berkali-kali dan aku terus menjerit sampai
akhirnya Fahri berhenti sejenak untuk mengatakan hal yang lebih
menyakitkan.

"Pelacur seperti sudah sepantasnya menerima ini. Lihatlah tanda-tanda yang


berbekas diseluruh tubuhmu. Masih merasa pantaskah kau hidup." ucapnya
yang di akhiri dengan meludahi wajahku. Setelahnya ia berlalu pergi masuk
ke dalam kamarnya dengan suara pintu yang tertutup dengan keras.

Sementara aku yang habis merasakan siksaan yang Fahri berikan, berusaha
menyeimbangkan diriku agar bisa duduk dengan benar. Setelahnya aku
melihat seluruh tubuhku yang memiliki bekas cambukkan yang hampir
terlihat di setiap inci tubuhku. Rasanya pedih dan membuatku meringis setiap
kali menyentuh bekas cambukkan itu disertai dengan isakan tangisku yang
tersisa sebelumnya akhirnya pandangan ku menggelap dengan tubuhku yang
terjatuh ke lantai yang terasa dingin.
•••

Aku membuka mataku perlahan mendengar suara berisik yang berasal dari
arah dapur. Sebenarnya aku tidak ingin bangun, aku masih lelah dan kantuk
dengan tubuhku yang terasa perih. Tapi suara bising itu terus berlanjut
seakan-akan seseorang sengaja melakukannya agar aku terbangun dari
tidurku.

Dan benar saja, saat aku sepenuhnya sadar dan bersusah payah berdiri untuk
melihat apa yang terjadi. Saat ini sosok Fahri sedang berada di meja makan
dengan satu tangannya yang memegang pisau dan membenturkan pisau itu
pada permukaan meja. Bukan hanya itu, ia bahkan dengan sengaja
menjatuhkan satu piring yang ada di atas meja sehingga saat ini piring itu
pecah menjadi beberapa bagian kecil di lantai.

"Bangun juga kau akhirnya. Cepat buatkan aku sesuatu, aku lapar." ucapnya
dengan ekspresi yang sama setiap kali aku melihatnya.

Aku yang mendengar itu berniat menghampirinya untuk melakukan apa yang
dia katakan. Tapi aku segera menghentikannya begitu merasakan sekujur
tubuh yang terasa sangat sakit dan terasa perih pada setiap bagian bekas
cambukkan yang Fahri berikan semalam.

"Apa kau tuli!? Ku bilang aku lapar, sialan!" teriaknya lagi yang membuatku
dengan cepat berjalan menghampirinya sehingga membuatku lupa akan
pecahan piring itu yang akhirnya pecahan itu mengenai kaki ku yang
menginjaknya.

"Argh." erangku merasakan serpihan yang menggores telapak kaki ku. Aku
berniat mengangkat kaki itu dan mengecek luka yang ku dapatkan, tapi aku
mengurungkannya begitu merasakan dorongan kuat yang Fahri berikan
sehingga membuatku terdorong cukup jauh dan berkahir dengan diriku yang
menabrak kulkas.

"Jangan menjadi tidak berguna. Kau istriku. Dan aku lapar. Bergunalah
sedikit untuk melayaniku, jalang." ucapnya yang sangat terasa menyakitkan
untuk ku dengar.

Aku berusaha mengabaikannya dan memilih untuk membuka pintu kulkas


yang baru kusadari kalau isi kulkas hanya ada sayur lalapan dan buah jeruk
saja. Aku yang sudah berbelanja kemarin melupakan semua barang belanjaan
ku di rumah Zaki. Jadi tidak ada pilihan selain memberitahu Fahri kalau tidak
ada bahan apapun yang bisa ku buat untuk menyiapkan sarapan untuknya.

"Jadi yang kau bilang kalau kau pergi berbelanja itu hanya alasan agar kau
bisa melacur dan meninggalkan bekas menjijikan di seluruh tubuhmu."
ucapnya, yang segera ku jawab dengan gelengan kepala yang kuat.

"Tidak, Fahri. Aku memang berbelanja kemarin. Hanya saja..."


"Kau melupakannya karena kau menggoda pria lain. Iya kan!?" bentaknya
yang kemudian berjalan mendekat ke arahku dan dengan cepat menendang
perutku sehingga membuat ku tersungkur jatuh ke lantai.

"Kau benar-benar tidak berguna." ucapnya dingin sebelum akhirnya dia pergi
meninggalkan ku yang kembali terisak merasakan sakit pada seluruh tubuhku
yang terasa remuk. Apalagi saat ku sadari telapak kaki ku yang meninggalkan
bercak darah di lantai akibat serpihan piring yang masih berserakan.

Aku sebisa mungkin menahan tangisku agar tidak pecah. Karena aku tau, jika
Fahri mendengarnya dia akan melakukan hal lainnya yang mungkin saja akan
membuat kondisi ku jadi lebih parah. Jadi dengan begitu, aku memilih untuk
menguatkan diri dan dengan perlahan bangkit dari posisiku. Dan itu berhasil
walaupun memakan waktu cukup lama bagiku untuk bisa membiasakan rasa
sakit yang terus terasa pada seluruh tubuhku. Setelahnya aku mulai
membersihkan semua kekacauan yang Fahri sebabkan sebelum akhirnya aku
membersihkan diri di kamar mandi dengan penuh ringisan rasa sakit setiap
kali air yang berjatuhan mengenai kulitku yang membekas akibat cambukkan
yang Fahri lakukan.

Aku menangis untuk kesekian kalinya. Air mataku mengalir bersamaan


dengan air yang membasahi seluruh tubuhku, aku menangisi nasibku,
menangisi takdirku yang harus berakhir seperti ini. Rasanya hari-hari ku tidak
akan berwarna seperti saat sebelum kedua orang tua ku mengetahui orientasi
seksual ku. Aku ingin kembali ke saat-saat itu, namun aku sadar itu adalah
hal yang mustahil untuk terjadi dalam hidupku. Jadi apapun itu, aku harus
menerima keadaanku saat ini walaupun setiap harinya harus menerima
kekejaman yang Fahri lakukan terhadapku.
Aku tidak masalah. Selama nyawa orang lain tidak menjadi ancamannya.
Aku tidak ingin orang yang ku kenal kehilangan nyawanya hanya karena aku
yang memikirkan diriku sendiri untuk memilih bebas dari semua ini. Jika aku
melakukannya, aku akan menyesal seumur hidupku di bandingkan menerima
semua penyiksaan ini.

Oleh karena itu, aku memantapkan hatiku untuk tetap bertahan. Dan mulai
membiasakan diriku untuk menerima beberapa hal yang mungkin akan Fahri
lakukan padaku kedepannya. Karena bagaimanapun, aku tidak bisa lari
darinya. Aku sudah terikat dengannya, dengan ikatan pernikahan yang sudah
kami lakukan dan lafalkan janji-janji suci yang tidak akan pernah aku ingkari
sampai kapanpun itu.
Chapter 4

Rasa sakit segera ku rasakan begitu sebuah tangan melayang ke pipiku dan
menyebabkan suara tamparan yang sangat keras.

Seluruh otot wajahku mengeras, menahan sakit tamparan itu yang masih bisa
kurasakan telapak tangan yang digunakan Ayahku untuk menamparku.

Itu benar.

Saat ini kedua orangtuaku berada di hadapanku dengan ekspresi wajah yang
penuh amarah menatapku dengan tatapan mereka yang mengerikan. Aku
tidak tau apa yang mereka lakukan disini. Tapi dari apa yang baru saja ku
dapatkan, sudah pasti kedatangan mereka berhubungan dengan Fahri.

"Aku sudah memperingati mu untuk menjadi seorang Istri yang sepenuhnya


melayani Fahri. Dan kurasa aku juga sudah bilang padamu kalau aku tidak
mau menerima apapun keluhan yang dikeluarkan Fahri tentangmu. Tapi, apa?
KAU BERHUBUNGAN SEKS DENGAN PRIA LAIN SEHARI SETELAH
PERNIKAHANMU!!!" ucap beliau dengan nada yang perlahan meninggi
yang disusul dengan tamparan berikutnya yang mengenai pipi ku yang
satunya.
"APA KAU GILA!? DIMANA AKAL SEHATMU!? AKU
MEMBIARKANMU MENGAMBIL ALIH TUGAS KAKAKMU AGAR
BISA MENGUNTUNGKAN KU! BUKAN MERUGIKAN KU!!
SEKARANG APA YANG AKAN KAU PERBUAT SETELAH FAHRI
MENUNTUTKU KARENA KAU BERSELINGKUH DENGAN PRIA
LAIN!?" teriak beliau. Aku tidak tau harus berbuat apa, selain mengeluarkan
air mataku, menangisi segala perbuatanku yang ku sadari salah.

Seharusnya aku tidak melakukan hubungan itu dengan Zaki. Harusnya aku
bisa mengendalikan diri, apalagi saat ini status ku sudah menjadi milik orang
lain. Tapi apa? Aku malah membuat kesalahan besar sehingga membuat
kedua orang tua ku marah dan terlibat masalah dengan Fahri yang belum ku
ketahui apa tuntutan yang Fahri berikan pada orangtuaku.

"JAWAB AKU!! APA YANG AKAN KAU LAKUKAN!?" bentaknya lagi.


Membuatku yang sedari tadi menunduk dengan air mata yang mengalir
segera bertindak dengan mengambil posisi berlutut dan langsung memeluk
salah satu kaki Ayahku.

"Maafkan aku, Yah. Maafkan aku." ucapku sambil terus terisak sehingga
membasahi celana yang Ayahku kenakan.

"Aku tidak mau mendengarmu meminta maaf! Yang aku inginkan adalah
rencanamu untuk memecahkan masalah ini! Aku tidak mau tau. Kau harus
mengurus semuanya sampai Fahri mengangkat tuntutannya pada ku!" ucap
beliau yang kemudian dengan kuat menghempaskan ku menggunakan
kakinya yang memberikan sedikit tendangan padaku.
Aku yang terhempas segera bangkit kembali dan hendak menghampiri Ibuku
yang sayangnya harus ku urungkan niat tersebut karena Ibuku berteriak
dengan sangat kencang.

"JANGAN SENTUH AKU! KAU MENJIJIKAN! AKU TIDAK AKAN


MENGGANGGAPMU ANAKKU LAGI!" teriaknya yang membuatku
merasa sakit dengan hatiku yang hancur. Rasanya sebalok kayu mengenai
kepala dengan beberapa puluh jarum yang menusuk-nusuk jantungku
mendengar ucapan itu.

"Bu..." panggil ku lirih.

"Jangan panggil aku Ibu. Mulai sekarang aku bukan Ibumu lagi! Ayo, Yah.
Aku tidak tahan melihatnya yang terus bertingkah." ujarnya dengan satu
tangan yang menarik lengan Ayah yang masih menatapku dengan tatapannya
yang tajam.

"Ingat perkataanku! Urus masalahmu dengan Fahri. Jangan membuat


masalah lainnya, dan meminta maaflah padanya." ucap Ayah sebelum
akhirnya berbalik untuk keluar dari apartemen. Meninggalkan ku yang sudah
tenggelam dalam tangisan yang sangat menyakitkan.

Aku tau, aku bukanlah anak yang mereka harapkan. Aku pun juga tidak
mengharapkan apapun kepada mereka. Aku hanya ingin mereka perduli
padaku, sedikit saja. Aku ingin mereka mendengar cerita ku. Penjelasan ku,
dan semua keluh kesah ku selama ini. Walaupun mereka tidak melakukan
apapun nantinya, setidaknya mereka mendengarkanku.
Tapi sepertinya keinginan itu tidak akan pernah terjadi. Setelah apa yang baru
saja terjadi, sekaligus apa yang tadi Ibu katakan membuatku bertambah
hancur. Aku memang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu. Tapi
aku tetap menyayanginya. Mencintainya sepenuh hati, karena bagaimanapun
dia lah yang sudah mau rela melahirkan ku ke dunia ini walaupun pada
akhirnya aku hanya menjadi beban baginya dan menimbulkan banyak
masalah.

Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan suara ku terasa serak karena tangisan


yang terus ku keluarkan sampai malam tiba. Membuat seluruh tubuhku lemas
dan tidak memiliki kekuatan bahkan untuk berdiri. Tapi begitu mendengar
bunyi pintu yang terbuka, membuatku berusaha sebisa mungkin untuk berdiri
saat melihat sosok Fahri yang sudah pulang dari kerjanya dengan tatapan
yang sama setiap kali dia melihatku.

"Apa yang kau lihat." ucapnya dingin. Mendengarnya membuatku segera


mengalihkan pandangan ku ke arah lain sambil mendudukkan diri ku ke atas
sofa.

"Masuk." ucap Fahri lagi yang membuatku bingung dan mendongak menatap
ke arahnya yang kini sudah ada satu pria lainnya yang berdiri di sampingnya.
Pria itu terlihat canggung dengan senyuman tipis yang ia keluarkan begitu
mata kami bertemu.

"Lakukan tugasmu dengan benar." tambah Fahri, lalu kemudian dirinya


berbalik untuk keluar dari apartemen. Hal itu membuatku heran dan berusaha
sebisa mungkin berdiri untuk memastikan kalau Fahri benar-benar keluar
dari apartemennya. Meninggalkan ku berdua dengan pria yang bahkan tidak
ku kenal.

Perasaan takut segera menghinggapi ku begitu pria itu berjalan mendekat


dengan langkah yang cepat menghampiri. Aku yang tadinya lemas, entah
bagaimana bisa langsung memiliki kekuatan untuk berdiri tegap dan mundur
beberapa langkah.

"Berpura-pura lah berteriak kesakitan." ucap pria itu yang jaraknya hanya dua
langkah saja dariku. Aku tang mendengar itu memandangnya bingung.

"Aku bilang untuk berpura-pura berteriak kesakitan." ucapnya yang


tangannya dengan cepat meraih rambutku dan menariknya cukup kuat
sehingga membuatku dengan cepat berteriak keras merasakan sakit yang pria
itu sebabkan.

Untungnya itu berlangsung cepat. Karena beberapa detik kemudian pria itu
melepaskan tarikannya pada rambutku setelah matanya melirik ponsel di
tangannya.

"Maafkan aku. Aku terpaksa. Habisnya kau ku suruh berpura-pura, kau hanya
diam saja." ucap pria itu yang bernapas lega sambil beralih duduk ke atas
sofa. Aku yang mendengarnya tentu saja bingung, tapi aku tidak berniat
bertanya apalagi mendekatinya.
"Tidak perlu takut. Aku tidak akan berbuat sesuatu yabg buruk padamu.
Duduklah, Fahri sudah pergi barusan." ucapnya yang menepuk-nepuk sofa di
sampingnya menyuruhku agar duduk disana.

Aku yang awalnya ragu, perlahan mendekat hingga akhirnya aku duduk tepat
di sampingnya yang tentunya ku beri jarak beberapa senti.

"Aku Liam. Teman Fahri. Aku tidak yakin kalau kau mengenalku. Tapi aku
menjadi salah satu tamu saat pernikahan kalian." ucapnya dengan satu tangan
yang terulur ke arah. Aku menyambut tangan itu dan menjabat tangannya
yang terasa lembut berbeda dengan ku yang kata orang lain terasa kasar.

"Kau pasti bingung apa aku lakukan disini. Aku pun juga tidak percaya. Tapi
itulah yang harus ku lakukan, karena jika tidak, bukan hanya pekerjaanku
yang hilang. Tapi juga status pertemanan ku dengan Fahri." ujarnya setelah
jabatan tangan kami terlepas. Dia mulai bercerita dengan nada yang normal
dan kepala yang sedikit menunduk menatap sepatunya.

"Aku kemari karena Fahri yang memaksaku. Aku tidak tau apa yang terjadi.
Tetapi sehari setelah pernikahan kalian dia terlihat kacau dan meminum
banyak alkohol karena provokasi teman-teman lainnya. Mereka mengejek
Fahri yang menikahi seorang pria. Fahri terlihat marah, dan
melampiaskannya dengan minum banyak alkohol. Bahkan dia tidak pergi
bekerja kemarin. Dia hanya bercerita betapa dirinya tidak menyukaimu yang
kini menjadi pasangan hidupnya." ucapnya dengan nada pelan sambil dirinya
yang kini sudah menoleh padaku.
"Aku bertanya-tanya apa yang terjadi. Mengapa dia menikahimu kalau dia
bahkan membencimu. Tapi aku tidak bisa bertanya langsung padanya,
apalagi memaksanya untuk menjawabku karena dia pasti akan memandangku
sebelah mata karena aku memiliki orientasi yang sama denganmu. Aku
seorang gay, dan aku sudah berterus terang padanya kalau aku menyukainya
sejak pertama kali bertemu. Tapi seperti yang kau tau, dia menolak ku
mentah-mentah dan menawariku menjadi temannya." ucapnya gue
membuatku berpikir keras dengan sedikit sekelebat bayangan hal-hal yang
selama ini Fahri lakukan padaku.

"Kau gay. Tapi Fahri tidak marah atau melakukan sesuatu yang buruk
padamu?" tanyaku heran dengan jantung yang mulai memompa cepat.

Liam mengangguk. "Dia tidak membenciku, dan kami sudah berteman sejak
pertama kali aku bekerja di perusahaan yang akan menjadi miliknya."
ujarnya.

"Jika memang begitu. L-lalu mengapa dia memperlakukan ku berbeda? Dia


membenciku, bahkan sering melakukan kekerasan pada ku sejak pertama kali
dia tau aku seorang gay. Dia yang merundungku di sekolah, jadi ku pikir dia
adalah salah satu manusia yang anti dengan perbedaan sepertiku maupun
dirimu." ucapku dengan jari-jari ku yang bergetar.

"Itulah yang membuatku heran. Aku pun terkejut saat tau bahwa kau lah
mempelainya. Dia mengaskan padaku kalau dia bukan gay, tapi dia malah
menikahi seorang gay. Aku bingung, tapi aku tidak bisa melakukan apapun
karena aku tidak punya hak untuk marah padanya." ujarnya yang bisa ku
pahami perasaannya yang pasti sangat kesal.
"Lalu...mengapa Fahri memaksamu datang kemari. Bahkan kau menyuruhku
untuk berpura-pura berteriak kesakitan." ucapku.

Liam terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.

"Dia menyuruhku untuk memperkosamu dengan penuh siksaan. Dia


memintaku melakukannya karena aku seorang gay. Sementara kemarin kau
tidur dengan pria lain, jadi ku pikir dia marah dan melampiaskannya dengan
membuatmu di perkosa. Tapi sayangnya aku tidak tertarik padamu, karena
aku juga berada di pihak bawah sepertimu." ujarnya yang entah harus merasa
lega atau tidak.

Aku yang sudah mendengar semua ceritanya sangat ingin sekali memberitahu
kalau perintah Fahri tidak mungkin untuk melampiaskan amarahnya padaku.
Dia sudah melampiaskannya semalam, membuat tubuhku penuh bekas luka
yang di sebabkan olehnya. Mengingatnya membuatku meringis sambil
menyentuh bagian tubuhku yang terasa perih.

Tapi aku segera menghentikan ringisan itu begitu pintu apartemen terbuka
dengan kasar dan menyebabkan bunyi yang keras akibat benturan antara
pintu dan dinding. Namun bukan itu yang menjadi pusat perhatian ku.
Melainkan sosok Fahri yang saat ini memiliki beberapa luka kecil di
wajahnya dengan sedikit darah yang keluar di sudut bibirnya. Bukan hanya
itu, bahkan saat ini satu tangannya mencengkram kuat kerah belakang baju
seorang pria yang membuatku terkejut bukan main melihat kalau pria yang di
pegang oleh Fahri adalah sosok Zaki yang saat ini terlihat lemas dengan
beberapa luka lebam di wajahnya.
"BAJINGAN." umpat Fahri kencang sebelum akhirnya ia menghempaskan
tubuh Zaki ke lantai lalu berjalan ke arah ku dengan tatapan yang mematikan
yang membuat jantungku berdetak cepat dan otak yang berputar memikirkan
apa yang akan Fahri lakukan selanjutnya.
Chapter 5

"Apa maksudmu memberitahunya kalau kau tinggal disini, sialan!" bentak


Fahri.

Saat ini satu tangannya sedang mencengkeram kuat leherku yang terasa sesak
sehingga membuatku sulit bernapas karena cengkeraman yang ia berikan
sangatlah kuat.

Matanya yang menatapku tajam dengan deru napas yang mengenai wajahku
membuatku sulit berpikir jernih selain berusaha melepaskan tangan Fahri
yang mencekik ku.

"The Fuck? Lepaskan, bro. Kau akan membunuhnya." ucap Liam. Satu
tangannya memegang tangan Fahri yang sayangnya dengan cepat
dihempaskan bahkan mendorong tubuh Liam hingga tersungkur jatuh.

"JAWAB AKU SIALAN! JAWAB AKU!!" teriak Fahri lagi. Aku yang
merasa sudah sangat sulit bernapas merasa lemas.

"Lawanmu adalah aku. Kau orang gila!" ucap Zaki yang entah sejak kapan
sudah berada dibelakang Fahri dan menarik kerah baju Fahri sehingga
membuat cengkeraman tangannya pada leherku terlepas.
Aku yang merasakan lega terjatuh duduk di atas sofa dengan suara batuk
yang ku keluarkan karena masih merasakan bekas tangan Fahri di leherku.

"Kau tidak apa?" tanya Liam yang duduk di sampingku. Aku menggeleng
pelan sambil melihat ke depanku yang saat ini terjadi perkelahian antara
Fahri dan Zaki yang saling melayangkan pukulan ke wajah satu sama lain.

"Begitulah. Lawan aku. Jangan menyiksa orang yang lemah. Kalau tidak
sama saja kau seorang pecundang." ucap Zaki dengan wajahnya yang saat ini
penuh luka yang jauh berbeda dengan Fahri yang hanya memiliki sedikit luka
di wajahnya.

"Kau tidak ada hubungannya denganku sialan! Enyahlah! Atau kau akan
menyesalinya." ancam Fahri dengan satu tangan yang terkepal kuat.

Zaki berdecih kecil. "Menyesalinya? Aku tidak pernah menyesali


perbuatanku yang membela Wildan. Kau ingat saat kita masih sekolah? Aku
lah yang selalu menyelamatkannya dari orang sepertimu. Aku
melindunginya, sampai aku sadar kalau aku juga tidak jauh berbeda dengan
Wildan yang tidak kau sukai pilihan hidupnya. Kau pikir kau siapa?" ujarnya,
yang membuatku teringat akan masa lalu ku yang kelam saat masih sekolah.

Tapi sayangnya kenangan itu membuatku lengah hingga akhirnya aku


mendongak setelah mendengar suara yang amat keras karena barusan Fahri
menendang sosok Zaki kuat hingga tubuhnya terpental cukup jauh dan
mengenai salah satu pot bunga yang kini sudah pecah.

Zaki meringis kesakitan. Dengan darah yang sudah hampir memenuhi


seluruh wajahnya. Aku yang melihatnya tentu saja dengan cepat
menghampirinya, aku membantunya untuk berdiri dan terus menanyakan
keadaanya. Namun sebuah tarikan yang sangat kuat membuatku melepaskan
pegangan ku pada Zaki dan membuatnya terjatuh kembali.

"Aku belum selesai denganmu, jalang." ucap Fahri tajam. Lalu detik
berikutnya ia menarik ku dan menyeretku keluar dari apartemen.

Ku pikir dia ingin melanjutkan percakapannya yang belum selesai di luar.


Tapi ternyata dia menyeretku tidak sampai di depan apartemen saja.
Melainkan ke basemen dan memaksaku masuk ke dalam mobilnya,
bersamaan dengan dirinya yang melepaskan genggaman tangannya yang kuat
pada lenganku.

"K-kita mau kemana, Fahri?" tanyaku setelah Fahri menjalankan mobilnya


dan melaju dengan kecepatan tinggi. Membuatku yang belum sempat
mengenakan sabuk pengaman berpegangan erat pada kursi yang ku duduki
dengan jantung yang memompa cepat.

Fahri tidak menjawabku. Dia sangat fokus mengendarai mobil dengan tangan
yang menggenggam erat setir yang terlihat jelas dari pandangan ku. Bukan
hanya itu, dia memukul klaskon dengan kuat saat ada kendaraan lain yang
menghalangi jalannya. Aku yang melihat itu merasa takut dan memilih diam
sampai akhirnya Fahri menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah
yang besar dan terlihat mewah.

Aku memperhatikan Fahri yang keluar dari mobil dan sedikit memutar
hingga akhirnya ia berdiri di samping pintu mobil di dekatku lalu
membukanya dengan cukup kasar. Setelah terbuka, Fahri dengan cepat
meraih lenganku dan menarik ku keluar dari dalam mobil. Aku meringis kecil
merasakan sakit akibat genggaman Fahri pada lenganku yang kuat dan
berlangsung cukup lama sampai akhirnya Fahri melepaskannya setelah dia
membawaku masuk ke dalam sebuah kamar yang cukup luas dengan ranjang
yang besar disana.

Fahri menghempaskan ku ke atas kasur itu. Membuatku heran dan ingin


berbalik untuk menanyakan maksud tujuannya. Tapi aku tidak bisa
melakukannya, karena Fahri menekan kepalaku sehingga sulit bagiku untuk
menoleh ke belakang dengan posisiku yang saat ini tengkurap.

Aku sedikit memberontak dan beberapa kali memohon maaf agar Fahri
melepaskan ku. Tapi itu tidak berguna sama sekali, karena Fahri semakin
menekan kepalaku sehingga kini menempel di atas kasur dengan posisi
kepala ku yang miring dan hanya bisa menatap ke sisi samping ku saja.
Sementara punggungku ikut di tekan olehnya menggunakan tangan satunya.

"Aku yakin si bodoh itu belum melakukannya. Jadi aku akan


menggantikannya." ucap Fahri datar dengan perkataan yang membuatku
heran akan maksudnya.
Tapi saat aku merasakan celana ku yang di buka paksa, aku sadar dan
memahami maksud perbuatannya. Aku segera memberontak kuat dan
berteriak kencang meminta Fahri agar melepaskan ku. Namun Fahri tidak
mendengarkan, ia tetap melanjutkan aksinya sampai akhirnya kurasakan
diriku yang sudah telanjang sebagian.

"Cih. Bahkan tanda itu sampai disini. Harusnya ku bunuh saja laki-laki sialan
itu tadi." ucapnya yang disambut dengan pukulan yang keras yang bisa
kurasakan pada bokongku. Aku berteriak mengaduh sakit tapi itu malah
membuat Fahri melakukannya berulang kali.

"Sebaiknya kau tidak melawan, kalau kau tidak mau merasakan hal yang
lebih menyakitkan dari ini." tambahnya yang membuatku seketika diam
dengan bibir terbungkam dan air mata yang menetes membasah seprai yang
menyelimuti kasur, merasakan sakit pada bokongku karena Fahri masih
memukulinya bahkan sekali-sekali menamparnya kuat.

Aku tidak melihatnya, tapi ku yakin saat ini kulit bokongku memerah karena
terus ku rasakan tamparan yang Fahri berikan sampai akhirnya ia
menghentikan aksinya dan membuat ku sedikit lega dengan tangisan yang
masih terus berlanjut ku lakukan.

Tapi sepertinya aku salah. Karena Fahri masih tetap menahan kepala ku.
Tidak, maksudku kedua tangan ku dan membuatku sepenuhnya tengkurap
tanpa bisa melakukan apapun walau saat ini aku merasakan sebuah benda
keras dan besar perlahan masuk ke dalam lubang ku.
Rasanya sangat menyakitkan. Dan membuatku seketika berteriak sangat
kencang yang sayangnya dibungkam oleh Fahri yang menutupi mulutku
dengan satu tangannya besar. Sementara benda keras itu memaksa masuk
hingga akhirnya bisa kurasakan bagian bawahku yang terasa penuh dengan
benda besar sekaligus panjang yang bisa kurasakan didalam.

"Kau pasti menyukai ini kan? Kau mendambakan penisku merajam


lubangmu, makanya kau memancingku dengan bercinta dengan orang lain."
ucapnya tepat di telingaku, dengan suara yang berbisik tajam.

"Baiklah. Kau menang. Kini aku akan menuruti apa keinginanmu." lanjutnya,
yang kemudian bisa kurasakan benda besar yang ternyata penis milik Fahri
bergerak dengan gerakan yang sangat cepat memaju-mundurkan penis itu dan
membuat ku meronta-ronta merasakan sakit yang luar biasa.

Aku terus berusaha teriak. Tapi Fahri masih tetap membungkam ku hingga
hampir sepuluh menit lamanya, baru dirinya melepaskan bungkamnya dan
sedikit mengangkat tubuhnya yang sebelumnya menindih punggung ku.

"Aku mohon, Fahri. Hentikan. Aku minta maaf. Aku tidak akan
melakukannya lagi. Aku berjanji." ucapku yang di barengi dengan isakan
tangis beserta cengkraman kuat pada selimut yang saat ini ku genggam
dengan maksud meredam rasa sakit yang kurasakan.

Fahri tidak membalas ucapanku. Dia malah menekan punggungku kuat


sehingga sulit bagiku untuk mengangkat tubuhku sebelum akhirnya
kurasakan pinggulnya yang bergerak cepat memasukkan penisnya lebih
dalam dan membuatku tidak berdaya yang hanya bisa menerima
perbuatannya dalam tangis merasakan sakit dan perih pada bagian bawahku.

Aku tidak bisa menahannya, karena ini pertama kalinya bagiku merasakan
penis pria yang sebesar ini. Aku tidak menduganya, apalagi sampai
memasuki lubangku. Aku tidak kuat, karena sedari tadi hanya sakit yang
kurasakan tanpa adanya rasa nikmat yang biasanya ku rasakan saat bermain
dengan Zaki. Tapi ini, membuatku sulit menggerakan tubuhku dengan napas
ku yang terasa sesak ditambah rasa sakit yang terus menyerangku.

Aku tidak kuat untuk menahannya lagi hingga akhirnya aku merasakan
pandanganku yang memudar dan mulai menggelap dengan kepala ku yang
sepenuhnya jatuh di atas kasur dengan mata yang terpejam.
Chapter 6

Aku membuka mataku begitu merasakan tubuhku yang menggigil dan juga
suhu tubuhku yang terasa panas. Aku pernah mengalaminya, dan itu sudah
dipastikan kalau aku terkena demam.

Dengan tubuhku yang terasa lemas, aku berusaha membalikkan posisi


tubuhku menjadi telentang setelah sebelumnya tengkurap dengan posisi yang
sama persis seperti yang Fahri lakukan kemarin.

Aku ingat betul setiap detail yang dia lakukan terhadapku, memasukan benda
miliknya ke bawahku yang membuatku tidak sadarkan diri hingga akhirnya
aku terkena demam seperti ini.

Aku melampiaskan semua yang kurasakan dengan tangisan ku. Tapi aku
tidak bisa melakukannya, air mata ku enggan keluar karena lelah. Tubuhku
yang lemas membuatku sulit untuk merasakan sedih akibat menggigil yang
kurasakan. Jadi aku memilih menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut
dan mulai menutup mataku mencoba beristirahat walaupun saat ini bisa
dengan jelas ku rasakan sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela
kamar.

Hanya dalam dalam beberapa menit saja aku memejamkan mata. Karena
menit berikutnya suara pintu yang terbuka dengan kasar membuatku perlahan
membuka mata walau aku tau kalau itu adalah perbuatan Fahri yang saat ini
berjalan mendekat ke arahku.

Aku yang berharap agar dia mengabaikan ku hari ini saja, harus menelan
bulat-bulat harapan itu karena Fahri dengan cepat menyibak selimut yang ku
gunakan sehingga kini tubuhku kembali terlihat dengan bagian bawahku yang
tidak tertutupi apapun.

"Bangun. Ayah dan Ibu ku akan berkunjung untuk melihatmu." ucapnya


datar. Aku hanya menatapnya dengan napas ku yang terasa hangat ku
keluarkan.

"Bersikaplah yang benar. Jangan mengadu apapun pada mereka. Jika kau
melakukannya, aku akan pastikan kalau kau mendapatkan hal yang lebih dari
apa yang ku lakukan kemarin." ujarnya sebelum akhirnya berbalik untuk
keluar dari kamar. Aku yang mendengarnya hanya bernapas lega dan kembali
menutup mataku karena merasa amat lelah.

Dan sepertinya itu pilihan yang buruk. Karena entah sudah berapa lama aku
menutup mata, kini bisa kurasakan air yang mengenai sebagian tubuhku yang
terasa sangat dingin dan membuatku langsung terjaga dengan posisi duduk
mencari tau apa yang terjadi.

"Aku menyuruhmu untuk bersiap, sialan! Bukan bermalas-malasan!"


ucapnya dengan nada yang cukup tinggi. Setelah itu dia melemparkan gayung
yang ada di tangannya ke sembarang arah.
"Tidak bisa ku percaya, kedua orang tuaku memiliki minat pada orang yang
tidak berguna sepertimu." tambahnya yang kemudian pergi meninggalkan ku
sendirian yang saat ini kedinginan dengan tubuhku yang menggigil.

Tidak mau mengalami hal yang sama. Aku pun mulai beranjak dari atas kasur
dan mulai berjalan ke arah pintu yang ku yakini kalau di sana adalah tempat
kamar mandi berada. Dan benar saja, saat aku masuk ke dalamnya aku sedikit
terkagum melihat betapa luas dan mewahnya kamar mandi yang ku masuki
ini. Aku tidak pandai dalam mendeskripsikan apa yang kulihat dengan kata-
kata, tapi yang jelas aku kagum melihat semua yang ada di dalam ruangan
ini, terlihat sangat lengkap dan terawat.

Ya awalnya aku teralihkan dengan tatanan kamar mandi itu. Sebelum


akhirnya aku kembali merasakan lemas dan sadar kalau saat ini aku tidak
enak badan. Apalagi saat mata ku menatap cermin besar yang jaraknya tidak
jauh dari ku, membuatku mendekat untuk melihat lebih jelas tubuh yang
terpantul disana. Namun saat aku hendak melakukannya aku merasakan perih
yang luar biasa di bagian bawahku saat aku melangkah mendekati cermin itu.

Aku tidak tau apa yang terjadi. Tapi saat menyentuh bagian itu, aku
merasakan cairan yang cukup lengket yang ternyata campuran antara sperma
dan darah yang menjadi satu. Aku yang melihat itu merasa jijik sekaligus
ngeri. Bokongku terasa perih dan kini bisa ku lihat kulit bokongku yang
memerah dan sedikit kebiruan akibat pukulan yang Fahri berikan kemarin.
Rasanya mengenyut yang terasa menusuk bokong ku perlahan-lahan. Walau
aku masih bisa menahannya, tapi hatiku tidak.
Aku terlalu hancur untuk menatap tubuhku yang saat ini penuh dengan luka.
Dimulai dari bekas cambukkan Fahri, hingga dengan luka yang di
tinggalkannya pada bagian bawahku. Aku tidak tau apa yang akan dia
lakukan selanjutnya. Apa aku akan mati dengan siksaan dan tidak pernah
menemukan apa itu kebahagiaan?

Entahlah. Aku tidak bisa membuat pilihan selain menerima semuanya dan
menjalani hidupku bersama Fahri.

Hampir 30 menit lamanya bagiku untuk membersihkan diri. Aku sangat


kesulitan, karena setiap kali air mengenai kulitku membuatku meringis dan
menghindari air yang menetes. Namun walau begitu, sebisa mungkin ku
usahakan untuk tetap membersihkan tubuhku dan menahan setiap rasa sakit
yang kurasakan saat memakai sabun ataupun alat pembersih lainnya.

Syukurlah kegiatan itu segera berlalu, dan kini aku sudah duduk di atas sofa
besar dengan pemandangan sekitar yang terlihat mewah dengan beberapa
benda yang berkilap. Aku belum mengetahui saat ini aku sedang berada
dimana, tapi saat mataku melihat ke sebuah foto Fahri yang mengenakan
setelan rapi dengan jas hitam dan kemeja putih, serta dasi kupu-kupu yang
terletak di tengah lehernya membuatnya terlihat sangat menarik walaupun di
foto itu tidak ada ekspresi apapun yang dikeluarkannya. Melihatnya
membuatku berspekulasi kalau rumah mewah nan megah ini adalah rumah
miliknya.

Aku kurang yakin ini rumah pribadinya atau milik kedua orang tuanya. Tapi
begitu kedua orang tua Fahri datang dan bilang mereka habis pergi jauh,
sudah bisa di pastikan kalau memang benar rumah ini adalah rumah
pribadinya.

"Wah. Kau terlihat lebih tampan, Nak. Apa pernikahanmu membuatmu


bahagia?" tanya Ibu Fahri saat Fahri menyambut kedatangannya dengan
memeluk tubuh Ibunya. Aku yang mendengar itu entah kenapa merasa
terintimidasi karena takut kalau aku salah mengucapkan kalimat yang
nantinya membuat Fahri marah.

"Ya, begitulah." ucap Fahri singkat lalu beralih memeluk Ayahnya.


Setelahnya dia memberi ku ruang untuk melakukan hal yang sama sepertinya.
Aku memeluk kedua orang tua Fahri dan menahan ringisan ku agar tidak
keluar karena kedua orang tuanya menepuk-nepuk bahuku yang masih sedikit
terluka disana.

"Tapi mengapa menantu Ibu terlihat lebih kurus. Apa kau sedang diet?" tanya
Ibu Fahri. Aku tersenyum kecil dan sedikit melirik ke arah Fahri yang
menatapku datar. Aku tidak tau maksud tatapan itu, tapi ku pikir aku harus
sedikit membual agar dia tidak menahan marah padaku.

"Tidak, Bu. Aku hanya sedikit kurang bernafsu makan saja. Mari, Bu.
Duduk." ucapku, lalu mempersilakan mereka untuk duduk di sofa yang
berlawanan arah dengan tempat duduk dan Fahri.

"Apa yang kau lakukan? Pergi buat sesuatu di dapur." bisik Fahri tepat di
telingaku. Membuatku terkesiap dan segera berdiri dari duduk ku.
"Aku akan membuatkan Ayah dan Ibu minum." ucapku dengan senyuman
paksa yang ku berikan. Setelahnya aku berjalan ke arah dapur yang harus ku
cari letaknya yang memakan waktu cukup lama sampai akhirnya aku
menemukan letak dapurnya yang ternyata letaknya tidak jauh dari ruang
tamu. Aku saja yang bodoh mencarinya sampai ke belakang rumah.

Aku yang merasa lemas berusaha sebisa mungkin menguatkan diri ku agar
bisa berdiri tegap. Apalagi bagian bawahku masih terasa sakit, membuatku
dengan cepat membuat minuman apapun yang tersedia disana. Setelahnya
aku mengangkat nampan yang berisi minuman hangat untuk Ayah dan Ibu
Fahri.

Namun saat aku berbalik, sosok Ibu Fahri tiba-tiba muncul dan membuatku
sedikit terkejut yang untungnya tidak menyebabkan nampan yang ku bawa
jatuh. Dengan jantung yang sempat berdetak kencang, aku pun berusaha
menenangkannya sambil memasang senyum hangat menatap Ibu mertuaku.

"Berhenti tersenyum seperti orang bodoh, kau pelacur!" teriak beliau yang
membuat ku tercengang dan menatap sosoknya tidak percaya. Tapi bukan itu
saja yang membuatku terkejut, melainkan perbuatan beliau yang sengaja
menjatuhkan nampan yang ku bawa sehingga membuat gelas yang berisi
minuman di atasnya pecah dan membuat serpihan kaca berserakan di lantai.

"I-ibu. Apa yang kau lakukan?" ucapku dengan kedua tangan bergetar
menatap sosoknya yang menatapku dengan pandangan yang menakutkan.
"Jangan panggil aku, Ibu! Aku tidak sudi kata itu keluar dari orang kotor
sepertimu. Kau pikir aku tidak tau mengapa Fahri membawamu pindah
kerumahnya sendiri?" ucapnya yang maju selangkah untuk kemudian
melayangkan satu tamparan pada wajahku yang terasa menyakitkan.

"Dasar manusia tidak tau diuntung! Seharusnya kau merasa bersyukur karena
Fahri mau menikahimu! Karena sedari awal aku tidak menyukaimu, dan
sikap baikku kepadamu hanya terjadi di hadapan Fahri. Tapi setelah ku
selidiki apa yang membuat kalian pindah. Aku tidak bisa menahannya lagi.
Rasanya aku ingin membunuhmu saat ini juga, kau pelacur ulung!!"
teriaknya yang kemudian bisa ku rasakan kembali tamparan itu pada
wajahku. Tidak sampai disitu, beliau mendorong tubuhku kuat sehingga
membuatku tersungkur jatuh dengan satu telapak tanganku yang mengenai
serpihan kaca dan kini mengeluarkan darah yang mengalir.

Aku meringis kesakitan dan mengelap darahku agar tidak mengenai lantai
dengan keramik yang terlihat mewah. Aku sebisa mungkin menahan semua
rasa sakit ku. Karena aku sadar, ternyata Ibu Fahri tidak jauh berbeda dengan
Fahri. Jadi sudah pasti kalau beliau melihat ku menangis, beliau akan
menambah rasa sakit pada tubuhku.

"Ada apa ini?" tanya Fahri yang datang dengan mata yang menatapku
terlebih dahulu, lalu ke arah Ibunya.

"Apa yang kau lakukan, Bu?" tanyanya.


Ibu Fahri terlihat tidak perduli dan menatapku dengan pandangan acuh
sebelum akhirnya menjawab dengan kedua tangan yang ia lipat di dada.

"Ibu memberinya pelajaran karena telah membuatmu direndahkan oleh orang


macam dia. Ibu sudah tidak tahan lagi, Fahri." ujar beliau.

"Apa maksudmu dengan dia yang merendahkan ku?" tanya Fahri lagi.

"Dia sudah berselingkuh dibelakangmu Fahri. Sehari setelah pernikahanmu!


Kau tau itu kan?" ucap beliau dengan kedua tangan yang kini memegang
lengan Fahri.

"Lalu mengapa kau membuatnya terluka seperti ini? Apa hubungannya


denganmu?" ucap Fahri dengan nada tertahan dengan tatapan dingin yang
menusuk menatap Ibunya.

"I-ibu ingin memberinya pelajaran agar tidak melakukan hal yang sama,
Nak." ujarnya dengan suara gugup yang terdengar jelas. Aku yang sedari tadi
mendengarkan ingin membuka suara, yang sayangnya ku urungkan karena
Fahri kembali berujar.

"Keluar, Bu. Sebaiknya kau pulang." ujar Fahri. Sangat dingin. Bahkan kedua
tangan Ibunya ia tepis kuat pada lengannya.
"Tapi, Nak..."

"AKU BILANG KELUAR! KELUAR! AKU TIDAK INGIN MELIHATMU


SAAT INI!" teriak Fahri yang membuatku sangat terkejut dan mundur sedikit
sehingga telapak tangan ku yang satunya ikut terkena serpihan kaca.

Ibunya terlihat tergagap, ingin mengeluarkan suara yang sulit untuk ia


utarakan. Tapi walau begitu, beliau masih bisa mengeluarkannya dalam
waktu beberapa detik kemudian.

"M-mengapa kau membelanya? Bukankah kau membencinya?" tanya Ibu


Fahri.

"Aku tidak membelanya. Tapi aku tidak suka dengan siapapun yang
mencampuri urusanku! HANYA AKU YANG BOLEH MENYIKSANYA!
BUKAN KAU! DIA ISTRIKU! JADI JANGAN PERNAH
MENYENTUHNYA APALAGI SAMPAI MELUKAINYA TANPA
SEPENGETAHUAN KU! TIDAK PERDULI KAU IBUKU, AKU TETAP
MENENTANGNYA! Jadi keluar! Sebelum aku sendiri yang menyeretmu
keluar." ujar Fahri dengan penuh amarah, namun walau begitu dia
mengakhiri kalimatnya dengan nada yang sangat datar.

Sementara Ibu Fahri yang menerima bentakan itu terlihat bergetar. Ia berjalan
dengan perlahan keluar dari arah dapur sampai akhirnya sosok beliau tidak
terlihat lagi dan kini hanya tinggal aku dan Fahri yang tersisa diruangan ini.
Aku yang ikut merasakan takut, segera menunduk begitu pandangan kami
bertemu.

"Bereskan kekacauan ini. Aku tidak ingin melihat sedikitpun bercak daramu
disini." ucapnya. Sebelum akhirnya ikut pergi dan membuatku bernapas lega
setelah sedari tadi merasakan atmosfir yang sangat menegangkan antara Fahri
dan Ibunya yang bertengkar.
Chapter 7

Pada akhirnya aku jatuh sakit sepenuhnya.

Aku hanya bisa terbaring lemah di atas kasur dengan selang infus yang
menempel di lengan kiri ku. Aku tidak apa yang terjadi, karena yang terakhir
kali ku ingat, aku membersihkan kekacauan yang disebabkan Ibu Fahri lalu
setelahnya aku tidak sadarkan diri.

Ini bukan dirumah sakit. Ini masih di tempat yang sama saat Fahri
memasukkan miliknya pada bagian bawahku. Namun entah mengapa ada
selang infus di lenganku dengan beberapa obat yang terlihat di meja nakas
saat aku mengambil posisi duduk dan bersandar.

Dan aku mendapatkan jawabannya begitu pintu kamar terbuka dan


menampilkan sosok pria dewasa dengan kacamata yang bertengger di
hidungnya.

"Oh. Kau sudah sadar." ucap pria itu yang mengenakan kemeja biru dengan
celana chino berwarna krem.

Aku memasang senyum tipis untuk menjawabnya.


"Bagaiman perasaanmu? Apa kau merasa baikan?" tanyanya yang kini sudah
berdiri disampingku.

"Aku baik. Kau...siapa?" tanya ku dengan suara serak yang ku keluarkan.


Pria itu yang mendengar ku segera meraih gelas yang berisi air minum dan
menyodorkannya ke arahku. Aku menerimanya dan meminumnya perlahan.

"Aku Dokter khusus yang di panggil untuk merawatmu. Dan kau sudah
hampir tiga hari tidak sadarkan diri." ujarnya yang membuatku sedikit
terkejut mendengar kata 'hampir tiga hari' dari mulutnya. Namun lebih dari
itu aku penasaran bagaimana bisa Dokter itu merawatku.

Mungkinkah Fahri yang memanggilnya?

"Ya. Yang kau pikirkan itu benar. Fahri yang memanggilku kemari untuk
merawatmu. Dan aku terkejut melihat kondisimu yang sangat kacau. Apa kau
mengalami semacam perundungan?" tanya Dokter itu. Yang dengan cepat
menggelengkan kepalaku menjawabnya. Aku tidak bisa jujur padanya karena
itu akan membuat reputasi Fahri buruk.

Dokter itu terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya kembali berkata.

"Jika bukan perundungan. Apa kau mengalami pemerkosaan? Bercinta


dengan kasar? Atau kau semacam masokis yang menyukai hal-hal yang
melukaimu untuk bercumbu?" ujar Dokter itu yang bahkan tidak ku pahami
jalan pikirannya.

"Oh maaf. Aku pasti menyinggung privasimu. Aku akan mengambilkan


bubur untuk kau makan. Dan habiskan lah air itu, karena kau benar-benar
kekurangan cairan." ucapnya sambil menunjuk gelas yang baru beberapa
detik yang lalu ku letakkan di atas meja.

Aku mengangguk dan di balas dengan senyuman ramah olehnya yang


kemudian berbalik untuk keluar dari kamar untuk melakukan apa yang dia
ucapkan tadi. Sementara aku mengikuti apa perintahnya untuk menghabiskan
air putih di dalam gelas. Setelahnya aku hanya diam sambil menatap kosong
ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Pikiran ku melayang yang lagi-lagi
memikirkan nasibku yang begitu malang.

Tapi aku segera teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Mengingat kata-
kata Fahri yang seakan membelaku dari Ibunya. Aku tau, itu mungkin hanya
perasaanku saja. Karena dalam kalimatnya dia tetap terasa kejam. Dia ingin
kalau hanya dirinya lah yang boleh melukaiku. Sedangkan setiap kali dia
melukaiku itu terasa sangat kejam bahkan meninggalkan jejak yang sampai
saat ini belum juga hilang.

Dan yang lebih membuatku terkejut adalah sikap Ibu Fahri yang 180 derajat
berubah. Aku mengira dirinya berbeda dengan Fahri maupun kedua
orangtuaku, karena sedari awal dia mendukungku dan menyemangati ku saat
pernikahan hendak berlangsung. Aku tidak percaya kalau ternyata
perbuatannya hanyalah sandiwara. Aku kecewa dan merasa dunia benar-
benar membenci diriku.
Seharusnya aku bisa lebih kuat menghadapi semua ini. Karena ini sudah
berlangsung cukup lama. Tapi entah kenapa setiap kali Fahri menyentuh dan
memukuliku rasanya sangat menyakitkan. Aku tidak bisa menahannya,
apalagi amarah Fahri sangat di luar kendali. Dengan matanya yang tajam dan
ekspresi yang datar dengan kata-kata yang menyakitkan. Itu semua sulit ku
tahan, berbeda dengan orang tuaku yang terang-terangan.

Pintu kamar kembali terbuka. Dan bukan pria yang katanya Dokter itu yang
datang, melainkan sosok Fahri yang hanya memandangi ku saja lalu
kemudian kembali menutup pintu dan pergi entah kemana. Membuatku heran
dan terdiam sambil berkedip beberapa kali menatap pintu itu yang sampai
akhirnya terbuka dan kini sosok Dokter lah yang datang.

"Ada apa? Kau sangat menungguiku?" tanyanya yang menyadari kalau aku
terus menatapinya hingga akhirnya dia duduk di tepi kasur dengan nampan
yang diatasnya ada mangkuk berisi bubur dan juga segelas air.

"Makanlah. Habis itu minum obatmu. Selama kau tidak sadarkan diri, aku
terus memaksa mu menelan obat itu dan memasukkannya secara langsung ke
dalam mulutmu." ujarnya yang kemudian menyerahkan nampan itu ke
pangkuanku. Aku tersenyum cukup lebar dan mengucapkan terima kasih
padanya. Ya setidaknya ada orang yang memperhatikan ku, walaupun itu
hanya tugas yang memang harus mereka lakukan.

Perhatian itu ku dapatkan selama hampir seminggu lamanya. Dan kini aku
sudah mulai pulih dengan tubuhku yang bisa leluasa ku gerakkan kembali
walaupun masih ada rasa nyeri di beberapa bagian.
Dokter yang ku ketahui bernama Timo, sudah kembali ke tugas umumnya
dan tidak merawatku lagi seperti hari-hari kemarin. Aku mengucapkan
banyak terima kasih padanya, tapi dia malah menyuruhku agar
menyampaikan terima kasih itu pada Fahri. Karena bagaimanapun dia lah
yang memanggil Dokter Timo dan membayarnya full dimuka.

Aku meragukan hal itu. Maksudku bukan kebenaran akan fakta yang Dokter
Timo katakan. Tapi aku ragu kalau aku harus mengucapkan rasa terima
kasihku secara langsung pada Fahri. Aku sudah lama tidak melihatnya.
Terakhir kali ku ketahui sosoknya pada saat dia memandangi tanpa
mengucapkan apapun. Jadi aku merasa canggung sekaligus takut.

Tapi sepertinya aku harus melakukannya karena saat aku keluar kamar dan
menuju ruang tengah. Sosok Fahri muncul yang datang dari arah pintu utama
dengan setelan kerjanya yang terlihat cukup berantakan dengan dasi yang
longgar dan satu kancing yang terbuka.

Aku yang menyadarinya segera menunduk. Dan menggeser posisiku sedikit


demi sedikit sehingga kini kaki ku menyentuh sofa dan tidak bisa bergeser
lagi.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya yang ku sadari kalau saat ini dirinya
berdiri di hadapan ku dengan sepatunya yang bisa ku lihat jelas karena aku
masih menunduk.
"A-aku menunggumu." ucapku dengan sedikit nada gugup.

"Menungguku?" tanyanya dengan nada datar yang tentu saja menjadi ciri
khasnya.

Aku mengangguk kecil.

"Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau sudah mau memanggil
seorang Dokter untuk merawatku. Aku tau kalau aku mungkin tidak berguna
untukmu dan tidak pantas berbicara seperti ini padamu. Tapi aku tetap
merasa berhutang budi padamu." ucapku yang akhirnya mengucapkan
kalimat yang sudah ku hafalkan beberapa jam yang lalu.

"Jadi kau ingin menebusnya?" ujarnya. Aku sedikit mendongak namun


segera ku urungkan dan kembali menunduk sambil mengangguk kecil.

"Dengan apa kau menebusnya."

"A-aku akan mengganti semua biaya yang kau keluarkan untuk membayar
Dokter Timo. Aku akan mencari pekerjaan paruh waktu untuk menebusnya.
Aku akan mencari pekerjaan dengan gaji yang besar." ucapku yang kini
perlahan mendongak menatap matanya. Terlihat dingin dan mencekam
membuatku mengalihkan pandanganku dan melihat ke arah dasinya.
"Tidak perlu mencari. Kau sudah bekerja besok. Kau akan menjadi bawahan
sekretaris ku. Bekerjalah dan bayar semua hutangmu." ucapnya lalu
kemudian berlalu pergi meninggalkan ku yang terdiam sambil menatapinya
yang menaiki anak tangga menuju lantai atas.

Setelah sosoknya sudah tidak terlihat, aku bernapas lega. Mendudukkan diri
ku di atas sofa memikirkan berbagai macam pertanyaan yang muncul karena
sosok Fahri yang terlihat cukup berbeda dari sebelumnya.

Ia masih mengeluarkan nada datar dan dingin. Tapi bisa ku rasakan sedikit
ketenangan dalam nada suaranya. Tidak seperti yang kuingat, setiap nada
ucapannya sangat tersirat kemarahan di dalamnya. Jadi itu membuatku cukup
heran walaupun ku yakin saat ini dia sedang kelelahan oleh karena itu dia
terlihat mengabaikan ku dan tidak mengeluarkan kata-kata kasarnya.

Ya setidaknya itu berlangsung cukup lama. Karena pada malam hari ketika
aku tertidur, Aku merasakan sesuatu yang besar memaksa masuk ke dalam
lubang bagian bawahku yang terasa sangat menyakitkan sehingga
membuatku langsung terjaga dan hendak mengetahui apa yang terjadi.

Namun sayangnya aku tidak bisa melakukanya. Karena sebuah kekuatan


besar mendorong kepala ku sehingga kini kepala ku menempel di kasur dan
tidak bisa melakukan apa-apa karena bisa kurasakan kalau sesuatu yang besar
menimpa punggung ku yang bersamaan dengan benda besar itu masuk
sepenuhnya ke dalam lubangku.
Aku mengerang kesakitan, tapi sebuah tangan langsung membungkam ku
yang di sambut dengan benda keras yang ada di dalam lubangku bergerak
dengan gerakan yang cukup cepat. Itu menyakitkan karena baru dua hari lalu
ku rasakan lubang bawah ku membaik dan sekarang harus robek kembali
dengan kondisi yang sama.

"Ku rasa ini yang cocok untukmu membayar hutangmu. Menjadi pemuas
napsu ku saat aku menginginkanya." bisik Fahri dengan suara yang terengah-
engah di telingaku.

Aku yang mendengar itu tidak bisa membalasnya. Karena selain mulutku
yang masih di bungkam. Aku juga sibuk mendesah karena kini aku
merasakan nikmat yang luar biasa kala benda keras milik Fahri menyentuh
bagian prostat ku yang terasa sangat nikmat.
Chapter 8

Fahri bersungguh-sungguh atas ucapannya kemarin. Dia benar-benar


membawaku ke perusahaan yang dipimpinnya dan membuatku kerja disana.

Belum sepenuhnya bekerja. Aku masih membutuhkan waktu untuk mengenal


berbagai ruangan dan hal apa saja yang harus ku lakukan selama bekerja
disini nanti.

Aku di pandu langsung oleh Liam, dia adalah kepala departemen bagian yang
entah apa namanya yang jelas posisinya cukup berpengaruh di perusahaan
ini.

"Kau akan menjadi bawahan Sekretaris Abi nanti. Jadi ku rasa kau harus
mengakrabkan diri dengannya." ucap Liam begitu kami berhenti di kantin
perusahaan untuk beristirahat sejenak setelah hampir dua jam lamanya
mengelilingi gedung dengan 12 lantai ini.

"Kau benar. Tapi sedari awal aku datang kemari, aku belum melihat
sosoknya. Begitu juga Fahri. Aku datang kesini menggunakan jasa online."
ucapku dan kembali menyesap minuman yang Liam belikan untukku.

"Tentu saja. Mereka sedang mengadakan rapat diperusahaan bawahan."


"Perusahaan bawahan?" tanyaku bingung.

"Ya itu semacam kerja sama antar perusahaan. Tapi 70 persen saham
perusahaan itu adalah milik Fahri. Jadi ya itu termasuk perusahaannya
walaupun tidak sepenuhnya." jelasnya. Aku yang mendengar itu mengangguk
kecil walaupun aku sendiri belum terlalu paham dengan dunia bisnis seperti
ini.

Yang ku pikirkan saat ini adalah bekerja dan membayar semua hutang ku
pada Fahri. Karena walaupun dia menawarkan agar tubuhku yang
membayarnya, aku tetap merasa itu bukanlah hal yang tepat. Jadi aku tetap
akan bekerja dan menghasilkan banyak uang.

"Baiklah. Sepertinya sudah saatnya bagimu untuk melihat ruangan kerjamu


sendiri." ujar Liam. Ia berdiri dari duduknya setelah menghabisi kopi dalam
cangkir di atas meja.

"Aku punya ruangan sendiri?"

"Tentu sa-... Ah, tidak. Maksudku ruanganmu bersama Sekretaris Abi."


ucapnya. Aku mengangguk paham lalu kemudian ikut berdiri dan
mengikutinya menuju ruangan Sekretaris Abi yang ternyata berada di lantai
paling atas. Lantai yang dimana hanya pegawai dengan jabatan yang tinggi
saja yang bisa berada di lantai ini.
Begitupun dengan Fahri. Ruangannya terletak di tengah-tengah antara
ruangan lainnya. Terlihat luas dengan dua pintu yang menutupi ruangan itu.
Dan yang membuatku terkejut adalah kala pintu itu terbuka dan menampilkan
sosok Fahri yang kini menatapku bergantian dengan Liam yang
menghentikan langkahnya yang segera saja membuatku menabrak bahunya
yang lumayan lebar.

Melihat Fahri yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang sama seperti
yang selalu dia keluarkan, membuat jantungku memompa cepat dengan rasa
takut merasakan kehadirannya yang kian dekat. Apalagi saat ingatan tentang
semalam yang melintas jelas dalam otakku, membuatku kembali merasakan
sakit pada bagian bawahku padahal sedari tadi aku sudah melupakan rasa
sakit itu.

Syukurlah Fahri tidak melakukan apapun. Dia hanya lewat dengan tatapan
lurus ke depan dan badan yang tegap berjalan dengan penuh wibawa.

Menyadari hal itu membuatku bernapas lega sambil mengelus dada ku agar
tidak berdetak kencang lagi dan fokus pada tujuanku yang kini melihat Liam
yang sudah berjalan cukup jauh dari jarak ku.

"Apa sesuatu terjadi pada kalian?" tanya Liam begitu dia membuka satu pintu
yang menampilkan ruangan yang luas dengan beberapa rak dan dua meja
dengan arah yang berlawanan.

"Maksudmu?" tanyaku.
"Ya... tadi Fahri tidak marah padamu. Padahal sudah jelas kalau tidak
membungkuk menyapanya. Setiap pegawai disini harus patuh dan sopan
yang tentu saja akan memberi salam maupun hormat padanya dengan cara
membungkukkan badan." jelas Liam, yang membuatku ikut berpikir keras
mengapa Fahri tidak memarahi ku seperti yang Liam katakan.

"Tidak usah dipikirkan. Mungkin saja dia memaklumimu karena ini hari
pertamamu bekerja." ucapnya. Aku tersenyum lebar menanggapinya.

"Disana. Mejamu ada disana, sedangkan ini adalah mejanya Sekretaris Abi.
Dia mungkin sedang berada di suatu tempat di gedung ini. Melihat Fahri
yang baru saja keluar dari ruangannya, itu berarti Sekretaris Abi masih
berada di gedung ini juga." ucapnya.

Aku yang mendengarnya langsung berjalan mendekat ke arah yang katanya


adalah meja milikku. Terlihat bagus dan rapi dengan beberapa benda yang
tersedia di atasnya, termasuk laptop dan beberapa hal lainnya.

"Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. Hubungi aku kalau kau sudah
mendapat bimbingan singkat dari Sekretaris Abi. Ini bukan perintah dari
Fahri, tapi aku menaruh simpati padamu setelah kejadian beberapa hari yang
lalu." ujar Liam dengan satu tangan yang menepuk bahuku. Ia tersenyum
cukup lebar yang ku balas dengan senyuman yang sama sebelum akhirnya ia
berbalik untuk keluar dari ruangan ini.
Aku yang tidak tau harus melakukan apa. Memilih untuk menduduki kursi
yang ada di balik meja milikku dan menatapi semua benda yang ada disana.
Aku tidak menyentuhnya dan hanya memperhatikan saja, sampai akhirnya
pintu ruangan terbuka menampilkan seorang pria yang berjalan masuk dan
langsung mengambil tempat duduk di kursi dengan meja yang bertuliskan
nama Sekretaris Abi disana.

Dia tidak menyadari keberadaan ku. Terlihat dari dirinya yang langsung
membuka laptop yang ada diatas meja dan mengetikan sesuatu di papan
ketiknya. Aku bingung, antara menyapanya atau mungkin diam saja
menunggunya. Tapi karena ini adalah hari pertamaku bekerja, aku
memutuskan untuk berdiri dari dudukku dan berjalan mendekat ke arahnya.

"Eehh...maaf. Dengan Sekretaris Abi?" ujarku pelan sambil sedikit


menunduk memperhatikan matanya yang perlahan bergerak menatapku.

"Benar. Ada apa?" tanyanya.

"A-aku Wildan. Yang mulai bekerja hari ini sebagai bawahanmu." ucapku
yang kemudian menunduk karena nada suara yang dikeluarkan Sekretaris Abi
terdengar sedang menahan amarah.

"Aku tau. Kembalilah ke tempatmu. Aku sedang sibuk." ucapnya yang


kemudian kembali fokus menatap layar laptop di depannya dengan jari-jari
tangannya yang cepat menekan tombol-tombol disana.
Sementara aku yang mendengar itu segera berbalik dan memutuskan untuk
keluar dari ruangan berniat menghubungi Liam karena ku pikir Sekretaris
Abi sedang sibuk dan aku tidak tau harus melakukan apa. Tidak mungkin kan
aku hanya diam saja disana sambil memperhatikannya yang fokus pada
laptopnya?

Namun saat aku hendak menghubungi Liam. Satu tanganku ditarik kuat dan
menyeretku untuk masuk ke dalam ruangan yang segera dikunci rapat begitu
aku dan juga orang yang menarik ku sudah masuk ke dalamnya.

Aku ingin berteriak dan meminta untuk melepaskan tanganku. Tapi begitu
tau kalau orang itu adalah Fahri, aku mengurungkannya. Dan malah kini
seluruh tubuhku membeku dengan jantungku yang berdebar melihat
wajahnya yang datar dengan tatapannya yang dingin.

"A-apa yang kau--"

"Aku menginginkannya." singkatnya memotong ucapanku.

"Sekarang?" ucapku dengan mata yang sedikit melebar menatapnya. Aku


paham betul apa maksudnya karena dia sendiri sudah memberitahu ku
semalam. Tapi aku tidak mengira kalau dia menginginkannya sekarang.
Ditempat kerja, tepat di ruangannya.

Fahri tidak menjawab pertanyaan ku yang berarti kalau dia memang ingin
melakukannya sekarang.
"T-tapi saat ini aku sedang bekerja." ucapku mencari alasan agar bisa
menolaknya. Bagaimanapun aku tidak mau orang-orang yang bekerja di
gedung ini mendengar ataupun mengetahui hubungan ku dengan Fahri yang
sangat rumit untuk dijelaskan.

Mungkin Fahri tidak masalah jika ketahuan. Dia punya segalanya dan bisa
mengatasinya. Bagaimana denganku? Aku tidak berdaya yang sudah pasti
akan membuatku bertambah kesulitan menjalani kehidupan.

Tapi karena memang pada dasarnya hidupku tidak memiliki pilihan. Jadi aku
hanya bisa menuruti keinginan Fahri dan melakukan apapun yang Fahri
inginkan termasuk membelakanginya dengan tubuhku yang sepenuhnya
telanjang.

Aku tidak tau mengapa Fahri menyukai posisi yang seperti ini. Menahan
kepala ku, dan tidak membiarkan ku melihat wajahnya. Melihat ekspresi
yang dikeluarkannya. Aku penasaran, tapi aku tidak bisa berbuat banyak
selain melayani nafsunya dan merasakan benda keras yang panjang
memasuki lubangku dengan rasa sakit yang kurasakan pada awalnya. Hingga
akhirnya mulai ku rasakan rasa nikmat kala gerakan pinggul Fahri kian cepat
dengan bunyi benturan antara bongkahan bokong ku dengan
selangkangannya.

"Emmhh." erangku dengan sedikit desahan merasakan benda milik Fahri


yang terus menyerang prostatku. Namun detik berikutnya Fahri
membungkam mulutku sehingga membuatku mendesah tertahan.
"Jangan." ucapnya yang melarangku mengeluarkan suara desahanku.

Aku menurutinya dan memilih diam walaupun sangat sulit karena rasa
nikmat itu membuatku menggelinjang dengan gerakkan yang Fahri lakukan.
Aku berusaha sebisa mungkin untuk menahannya bahkan seluruh tubuhku
sudah basah dengan keringat yang mengalir deras merasakan panas akan hal
yang saat ini kami lakukan.

Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu yang menembak masuk lebih dalam
yang terasa kental dan lengket disana. Cairan itu memaksa masuk sampai
kemudian kurasakan benda keras milik Fahri melemas dan perlahan keluar
dari lubangku yang kini terasa lega dan tidak penuh seperti tadi.

Seluruh tubuhku terasa lemas. Karena aku terus bertahan dengan posisi yang
sama hampir satu jam lamanya. Kepala ku terasa pegal begitu juga dengan
punggungku yang di tekan oleh Fahri tadi. Tapi itu semua segera hilang
begitu ketukan pintu terdengar dan membuatku langsung terjaga yang dengan
cepat meraih semua pakaianku untuk ku kenakan kembali.

Dan setelah selesai mengenakannya. Aku baru menyadari satu hal, kalau
sosok Fahri sudah tidak ada di ruangan ini dan entah pergi kemana. Yang
jelas ketukan pintu itu terus terdengar dan membuatku tidak memiliki pilihan
lain selain membuka pintunya yang saat ini menampilkan sosok Sekretaris
Abi yang menatap ku dengan pandangan bertanya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya dengan mata yang memicing
menatapku curiga. Dia bahkan memandangi ku dari atas sampai bawah yang
akhirnya ia mengulurkan satu tangannya untuk meraih keras bajuku dan
menariknya kebawah sehingga menyebabkan beberapa kancing kemeja ku
terbuka dan memperlihatkan leher dan bahuku yang terekspos olehnya.

Aku tidak tau apa yang dilakukannya, tapi saat ucapannya terdengar di
telinga ku. Aku tau kalau orang yang membenciku kembali bertambah satu
orang.

"Cih, ternyata kau seorang pelacur." itulah ucapannya. Terdengar sangat


dingin yang lalu dengan kasar mendorong tubuhku menjauh keluar dari
ruangan itu dan menutup pintunya rapat.
Chapter 9

"Ku dengar pegawai baru yang saat ini bekerja sebagai bawahan Pak Abi
adalah seorang yang hanya lulusan SMA." ujar seseorang di belakangku.

Saat ini aku sedang berada di kantin. Menyantap makan siang ku setelah
beberapa jam membersihkan ruangan Pak Abi karena katanya Cleaning
Servis sedang berlibur hari ini.

"Benarkah? Bagaimana bisa seseorang dengan hanya bermodalkan ijazah


SMA menempati posisi itu? Aku saja yang lulusan S1 hanya menjadi seorang
karyawan biasa." ujar seseorang lagi dengan suara yang berbeda.
Mendengarnya membuatku melirik ke belakang dan mendapati beberapa
orang pria dan wanita yang duduk di satu meja menyantap makanan mereka
masing-masing.

Aku yang menyadari kalau yang mereka bicarakan adalah diriku sendiri
merasa tidak enak karena ucapan mereka benar adanya. Aku hanyalah lulusan
SMA. Kedua orang tua ku tidak memberiku izin untuk melanjutkan sekolah
ku ke jenjang yang lebih tinggi. Pengalaman bekerja ku hampir tidak ada,
bahkan baru kali ini aku bekerja. Setiap hari yang ku lakukan hanya dirumah
dan hanya sesekali pergi keluar. Jadi yang mereka bicarakan memanglah
pantas.
"Jangankan kau. Aku yang sudah hampir 7 tahun mengabdi di perusahaan ini,
belum juga mendapatkan promosi. Padahal sudah ada rumor yang menyebar
kalau aku yang akan menempatinya. Tapi ternyata rumor itu tetaplah rumor."
ucap seorang wanita yang diakhiri dengan helaan napas membuatku yang
mendengarnya menghentikan aksi ku yang ingin menyuapkan makan siang
ku.

"Ya. Kurasa memang seharusnya kau yang menempati posisi itu. Kau tidak
lihat suasana hati Pak Abi beberapa hari ini? Dia selalu kesal dan marah-
marah pada kita. Sepertinya dia juga tidak setuju dengan keputusan Pak Fahri
yang menjadikan pegawai baru itu sebagai bawahannya Pak Abi." ucap salah
satu dari mereka. Membuatku tersudut dan menghentikan makan siang ku
untuk berniat beranjak dari sana. Namun satu suara membuatku urung
melakukannya.

"Tentu saja aku tidak setuju. Pegawai baru yang kalian bicarakan masuk
bukan karena ijazah ataupun keahliannya dalam bekerja. Melainkan dirinya
adalah seorang pelacur yang menjilat atasan kita." ucapnya yang membuatku
segera menoleh dan mendapati sosok Pak Abi yang kini juga sedang
menatapku dengan tatapan datarnya.

Aku ingin marah dan mengelak dari semua ucapannya barusan. Tapi kurasa
ucapan Pak Abi tidak sepenuhnya salah. Karena jika Fahri menganggapku
sebagai pelacur. Tidak ada bedanya dengan orang lain yang menyebutku juga
begitu. Walaupun saat ini aku baru melakukan hubungan seks dengan dua
pria saja. Zaki dan terakhir Fahri.
"Benarkah!?" ucap mereka bersamaan. Merasa tidak percaya dengan ucapan
Pak Abi yang kini sudah mengalihkan pandangannya dari ku dan ikut duduk
diantara orang-orang yang membicarakan ku tadi.

"Tentu saja. Kau tau, aku sangat tidak betah dengan keberadaannya
diruangan ku. Makanya aku selalu pergi kalau dia ada di dalamnya." ujarnya
yang kini ku dapatkan jawaban mengapa sosoknya tidak pernah hadir kala
aku menungguinya agar bisa mengetahui apa pekerjaan ku sebenarnya.

Dan itu membuatku sadar, kalau kehadiran ku saat ini adalah merusak apa
yang sudah seharusnya terjadi di perusahaan ini. Aku sudah merebut posisi
orang yang lebih layak dan pantas dari pada aku yang tidak mengetahui apa-
apa. Dan lebih parahnya lagi aku membuat Pak Abi tidak nyaman sehingga
sangat jarang kehadirannya di ruangan itu.

Aku merasa bersalah dengan semua hal yang baru saja ku dengar. Jadi
dengan begitu aku beranjak dari sana dan berjalan ke arah lift dengan niat
menemui Fahri untuk memintanya menurunkan jabatan ku ke pekerjaan yang
lebih layak dengan keahlian ku.

"Hai, Wil. Sudah selesai makan siangnya?" sapa Liam saat kami berpapasan
ketika pintu lift terbuka. Aku tersenyum dan mengangguk kecil, setelahnya
aku langsung masuk dan menekan tombol yang ada disana dengan tujuan ke
ruangan Fahri yang memakan waktu beberapa menit sampai akhirnya aku
sampai di depan ruangannya dan mengetuk pintu itu beberapa kali hingga ku
dengar suara Fahri yang menyuruhku masuk.
"Ada apa?" tanya Fahri dengan mata yang fokus membaca lembaran kertas
yang ada di atas mejanya.

Dia memang tidak menatap ku. Namun entah mengapa aura menakutkan
sangat jelas terasa keluar dari dirinya.

"A-aku ingin mengundurkan diri." ucapku, sangat pelan dengan kepala yang
menunduk menatap kedua sepatu yang kebesaran.

Tidak ada reaksi ataupun balasan dari Fahri. Ruangan yang luas ini pun terasa
sunyi yang hanya terdengar suara kertas yang membuka lembaran baru.

"Fahri..." panggilku sangat kecil. Sebenarnya aku sangat takut, tapi jika aku
tidak melakukanya aku benar-benar akan menjadi penghalang usaha orang
lain. Aku bekerja disini karena pengaruh Fahri. Aku yang tidak
berpengalaman sudah seharusnya tidak mengisi posisi itu.

"Aku sudah mempekerjakanmu. Harusnya kau bersyukur! Bukannya


meminta untuk berhenti. Kau baru seminggu bekerja disini! Jadi hentikan
omong kosongmu dan keluar dari ruanganku!" ucap Fahri dengan nada tinggi
yang membuatku bergidik kaget karena suaranya yang muncul tiba-tiba.

"Tapi.."
"Keluar." dinginnya. Membuatku tidak memiliki pilihan lain selain menuruti
ucapannya untuk keluar dari ruangannya. Namun sebelum itu aku
menghentikan langkahku kala Fahri kembali berkata.

"Jangan salah mengartikan perbuatanku. Aku memberi pekerjaan dan sedikit


melunak bukan berarti aku tidak membencimu lagi. Aku masih tidak
menyukaimu. Jadi jangan lewati batasmu. Dan berhentilah menjadi manusia
lemah hanya karena ucapan yang tidak berguna." ujarnya sebelum akhirnya
aku membuka pintu ruangan itu untuk keluar dari sana.

Fahri benar. Aku sempat berfikir kalau mungkin dirinya sedikit berubah
setelah beberapa hari terakhir tidak ada penyiksaan apapun yang di
lakukannya.

Bahkan dia mengabaikan ku dan tidak menginginkan hubungan seks itu lagi,
ya mungkin belum. Tapi setidaknya itu membuatku berharap kalau Fahri
sudah sedikit menerimaku dalam kehidupannya. Dan sepertinya harapan itu
tidak akan pernah terwujud yang untungnya Fahri menyadarkan ku akan
posisi ku dengannya.

Aku menundukkan kepala ku sambil berjalan menjauh dari ruangan itu dan
masuk ke dalam ruangan ku yang ternyata sudah ada sosok Pak Abi disana.
Matanya menatapku yang membuat ku merasa di kuliti akibat tatapannya
yang sangat mengintimidasi.

"Melacur lagi, huh?" ujarnya yang berjalan mendekat ke arah ku yang


berhenti dan terdiam ditempat.
Aku tidak merasa takut padanya. Tapi aku diam karena aku menghormatinya
sebagai atasanku. Lagipula ucapannya tidaklah benar seharusnya aku tidak
mengambil pusing dengan tindakannya, siapa tau yang dia lakukan beberapa
hari ini untuk melatihku walaupun aku tidak yakin dengan itu.

Pak Abi mengulurkan tangannya dan melakukan hal yang sama seperti yang
terkahir kali ia lakukan. Menarik kerah kemeja ku dan menyebabkan tiga
buah kancing terlepas sehingga kini leher dan bahu ku terbuka
memperlihatkan beberapa luka yang masih membekas disana. Luka itu bekas
cambukkan Fahri, tapi mungkin Pak Abi menilainya salah sehingga dia
kembali memaki ku dengan ucapannya yang menyakitkan.

"Kau benar-benar seorang pelacur. Apa kau sangat membutuhkan pekerjaan


ini?" ucapnya dengan satu tangan yang mendorong bahuku dan membuatku
mundur satu langkah.

Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan. Aku memang membutuhkan


pekerjaan ini. Tapi aku juga tidak ingin mengambil hak orang lain yang
seharusnya menempati posisi pekerjaan ku. Aku memang membutuhkan
pekerjaan, namun bukan ini yang aku inginkan. Aku ingin sesuatu yang
sederhana tanpa adanya kesalahpahaman dan membuat orang lain
membenciku.

"Baik. Kalau kau memang sangat membutuhkannya. Berarti kau tidak


masalah kan jika kau melayani ku dan menjilat ku juga? Kau membutuhkan
nasihatku agar kau tidak di pecat. Jika kau tidak ingin hal itu terjadi, maka
perlakuan aku seperti kau melakukannya dengannya." ujarnya yang dengan
cepat menyambar kepalaku dan memaksaku menunduk dengan sedikit
membungkuk ke arah selangkangan miliknya.

Aku yang menerima hal itu berusaha menolaknya. Aku mendorong tubuhnya
sekuat tenaga, tapi kekuatannya lebih besar daripada kekuatanku sehingga
tidak ada pilihan lain bagi ku selain pasrah saat wajahku menempel pada
bagian tengah selangkangannya dan merasakan benda kecil yang perlahan
membesar disana.

Pak Abi tak hanya menempelkan wajahku disana, tapi ia juga


menggesekkannya sehingga benda itu terasa jelas di bibirku yang ku tutup
rapat menghindari hal-hal yang tidak ku inginkan.

"Ayo perlakukan aku seperti apa yang kau perbuat pada atasanku, jalang.
Isap itu, sampai aku puas." ucapnya dengan kedua tangan yang menekan
kepala ku sehingga membuatku merasakan benda miliknya yang menempel
erat pada kedua mataku.

Aku kesal dan ingin marah pada diriku sendiri. Disaat-saat seperti ini aku
hanya bisa pasrah tanpa adanya perlawanan. Orang-orang yang menindas ku
selalu mengancam ku dengan hal yang tidak ku inginkan, membuatku tidak
berdaya dan akhirnya menerima apapun yang mereka inginkan.

Pak Abi memundurkan sedikit kepalaku untuk memberinya waktu membuka


ikat pinggang yang ia kenakan untuk membuka resleting celananya dan
kemudian mengeluarkan benda keras dengan ukuran yang cukup panjang kini
tepat berada di hadapanku.
Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengalihkan pandangan ku dari benda
itu. Terasa menjijikan bahkan untuk ku lihat, apalagi saat Pak Abi memaksa
ku untuk memasukkan benda itu ke dalam mulutku. Membuatku mual dan
tidak bisa berlama-lama membiarkan benda itu berada di dalam mulutku.

"Ayo jalang. Puaskan aku! Atau aku akan mengadu pada atasanku kalau
pekerjaanmu tidak becus!" ancamnya sambil dengan menepuk-nepuk benda
miliknya ke wajahku.

Aku menggeleng dan mendongak menatapnya dengan tatapan memohon agar


ia menghentikan semua ini. Tapi bukannya berhenti, dia malah memberiku
sebuah tamparan yang amat keras dan sangat menyakitkan.

"Jangan coba-coba untuk menatapku seperti itu. Kau menjijikan. Cepat


masukkan milikku ke dalam mulutmu!" marahnya yang kemudian memaksa
masuk benda miliknya ke dalam mulutku yang tidak ku tutup lagi karena
dirinya terus memukuli bibirku agar terbuka.

Pak Abi memasukkan benda itu sangat dalam pada mulutku, membuatku
tidak tahan dan rasa ingin muntah menghentikan pergerakannya yang tadinya
bergerak cukup cepat.

Aku ingin mengeluarkan seluruh isi perutku. Namun sebelum aku


melakukannya, aku merasakan punggung ku yang di tendang kuat sehingga
membuatku tersungkur ke lantai dengan posisi ku yang tengkurap dan
muntahan isi perutku yang keluar berceceran di atas lantai.

"BERENGSEK! KAU PIKIR APA YANG KAU LAKUKAN, SIALAN!"


suara Fahri yang terdengar menggelegar ke seluruh isi ruangan.

Aku yang mendengarnya segera berbalik dan mengambil posisi duduk


walaupun saat ini punggung ku terasa sakit akibat tendangan yang baru saja
Fahri berikan.

"D-dia merayu ku, Pak. Dia ingin agar aku memberikan ulasan yang baik
tentangnya padamu. Makanya dia menawari ku untuk tidur dengannya." ujar
Pak Abi yang membuatku tidak habis pikir dengan kebohongan yang baru
saja dia katakan.

Aku menggeleng kuat kala Fahri menatapku dengan kedua mata yang merah
menyala dan napas yang memburu membuatku merasakan takut sehingga
sulit untuk ku berkata dan menjelaskan situasi yang sebenarnya.

"KAU JALANG SIALAN!!" teriaknya yang disambut dengan kakinya yang


menginjak kaki kananku yang terasa sangat menyakitkan.

Aku mengerang sakit dengan air mata yang langsung mengalir begitu injakan
yang kedua kalinya kembali ku rasakan.
"KEMARI KAU!" bentaknya yang dengan cepat meraih rambutku dan
menariknya kuat yang langsung saja membuatku berteriak kesakitan karena
tarikan itu sangat kuat apalagi Fahri melakukannya cukup lama sampai
akhirnya dia membawa ku masuk ke dalam ruangannya dan menghempaskan
tubuhku yang kembali tersungkur ke lantai.

"Apa kau kehilangan akal sehatmu!? Baru saja ku peringatkan, tapi kau
malah dengan mudahnya merayu Sekretaris ku untuk melakukan hal hina
seperti itu!" bentaknya dengan jari yang menunjuk ke arahku.

"Tidak Fahri. Aku tidak merayunya." ucapku dibarengi isakan tangisku yang
sedari tadi pecah.

"Kau pikir aku bodoh? Sekretaris ku sudah memiliki Istri, dia sudah
MENIKAH!! Mana mungkin dia mau melakukan itu kalau kau tidak
merayunya! Kau itu memang pelacur! Seorang jalang yang melakukan
hubungan intim pada siapa saja yang menguntungkanmu. Kau itu sampah."
ucapnya yang kembali dengan kata-katanya yang menyakitkan.

"Kau dengar? Kau itu sampah! SAMPAH!!!!!" amuknya yang kemudian


kembali kurasakan rasa sakit begitu sebuah benda padat yang terlempar tepat
mengenai keningku.

Rasanya sangat sakit dan membuatku pusing dengan darah yang mengalir
dan menetes melalui hidungku. Aku awalnya panik, namun perlahan
pandangan ku menggelap dengan kepala ku yang terasa sangat pusing hingga
akhirnya aku tidak tau apa yang terjadi setelah sempat ku dengar suara Liam
yang berteriak menyebut nama Fahri dengan sangat lantang.
Chapter 10

Jadi benar kau seorang gay hah!?" teriak Fahri setelah dirinya berhasil
mendorongku hingga tersungkur jatuh ke lantai. Mata yang menatapku
dengan tatapan yang mengerikan disertai setiap kata yang dia ucapkan
dengan nada yang tinggi.

Aku menggeleng kuat namun pada akhirnya aku menunduk kala beberapa
pasang mata yang di berikan oleh beberapa pria yang ada di belakang Fahri
menatapku seakan menyuruhku untuk mengatakan hal yang jujur.

"Maaf. Aku memang seorang gay." ucapku pelan. Yang entah mengapa
malah meminta maaf padahal aku tidak merasa bersalah atas apapun pada
Fahri yang sebenarnya terlihat tampan dengan rambutnya yang tertata rapi
dengan baju seragam yang ia keluarkan dan dua kancing yang terbuka
memperlihatkan sedikit bagian dadanya.

"Sudah ku duga! Pantas saja kau terus memandangi ku kala aku sedang
berganti baju. Kau pasti menikmatinya kan? Kau pasti menginginkan ku
untuk memasuki dirimu yang menjijikan itu kan?" ujarnya dengan berbagai
pertanyaan mendesak seraya dirinya yang perlahan mendekat dan
menyudutkan ku.

"Pegangi dia!" perintah Fahri menyuruh beberapa temannya yang seperti


bawahannya untuk mendekat ke arah ku dan memegangi kedua tangan dan
kaki ku dengan sangat kuat. Aku yang memberontak tidak membuahkan hasil
apapun karena saat ini aku sendirian dan mereka ada berlima.

Aku berteriak minta tolong berharap ada seseorang yang muncul untuk
menolong ku. Namun hingga tenggorokan ku terasa sakit tidak ada siapapun
yang datang dan membuat Fahri yang memperhatikanku sedari tadi
tersenyum miring.

"Tidak akan ada yang menolongmu. Tempat ini sangat jauh dari pemukiman
orang-orang. Dan aku akan membuatmu mengingatku seumur hidupmu atas
penyiksaan ini. Kau tau. Kau mungkin beruntung karena kau adalah yang
pertama yang menikmati penis ku ini." ucapnya yang kini sudah membuka
ikat pinggang yang di kenakannya disusul dengan celana begitu juga
dalamannya sehingga kini mencuat benda panjang yang cukup besar yang
telah mengeras.

Aku awalnya tidak paham dengan apa yang dilakukannya. Tapi begitu ia
memberi perintah pada bawahannya untuk melucuti seluruh pakaian ku dan
membuatku tidak mengenakan apapun. Aku menyadarinya, kalau saat ini
Fahri mencoba melakukan sesuatu yang bahkan aku sendiri belum siap
melakukannya. Aku baru menyadari kalau aku gay baru beberapa minggu ini
dan aku masih takut-takut untuk menunjukkan sampai akhirnya aku
menerima pernyataan cinta seorang pria yang sudah kuliah yang sayangnya
pada saat itu juga Fahri melihatku berciuman dengan pria itu.

Membuatku ketahuan dan berita kalau aku gay menyebar cepat ke seluruh
penjuru sekolah. Bahkan sampai ke telinga orang tuaku. Membuatku di
kurung dan dimarahi habis-habisan, perlakuan mereka menjadi berbeda
terhadapku. Tidak memperdulikan ku lagi dan yang lebih parah, mereka
pernah melakukan percobaan untuk melenyapkan ku dari dunia ini.

Dan sepertinya hal itu terjadi lagi kala benda keras milik Fahri memaksa
masuk lubangku yang terasa sakit sehingga aku mengerang sangat keras dan
berteriak meminta agar Fahri mengeluarkan penisnya dari sana. Tapi
bukannya ia mengeluarkan benda itu, Fahri malah memasukkannya lebih
dalam hingga bisa kurasakan kalau benda miliknya masuk sepenuhnya ke
dalam lubangku.

Tidak hanya itu. Fahri bahkan dengan gerakan cepat memaju-mundurkan


pinggulnya untuk menggerakan benda itu lebih cepat dan membuatku terus
berteriak kesakitan merasakannya. Rasanya sangat sakit, bahkan saat ini aku
yakin lubangku berdarah kala aku merasakan sebuah cairan yang mengalir
disana karena bagaimanapun ini pertama kalinya bagi ku untuk
merasakannya jadi sudah pasti cairan darah itu keluar dan membuat
lubangku melebar dan terasa sobek merasakan tiap gerakan yang Fahri
lakukan.

Aku menangis dengan napasku yang memburu dan tubuh ku yang lelah
akibat rontakan yang aku lakukan sedari tadi. Kini aku tak berdaya. Aku
merasa lemas hingga akhirnya aku tidak mengetahui apa yang terjadi
setelahnya saat semua pandangan ku menghitam dan tidak suara yang bisa
ku dengan lagi.

.
.

Aku membuka mata ku dan segera mengambil posisi duduk saat merasakan
sesak yang menyiksaku tadi.

Tubuhku penuh keringat dengan napasku yang memburu memperhatikan


sekitarku yang terlihat tidak asing dengan aroma obat yang sangat kental
sehingga membuatku sadar kalau saat ini aku sedang berada di atas bangsal
rumah sakit.

Perasaan lega langsung menghampiri hatiku begitu juga dengan pernapasan


ku yang kembali normal menyadari kalau beberapa saat yang lalu yang ku
lihat hanyalah sebuah mimpi buruk yang sayangnya hal itu memang pernah
terjadi padaku.

Sebenarnya aku baru mengingatnya karena mimpi itu baru saja ku alami. Aku
sendiri pun heran mengapa aku bisa melupakan kejadian mengerikan itu
disaat pertama kali Fahri memulai penyiksaan ku dengan hal yang
membuatku trauma untuk beberapa waktu dan terjatuh sakit hampir 3 minggu
lamanya.

Entahlah. Mungkin dulu aku bertekad untuk melupakan semua itu sehingga
aku tidak mengingatnya sampai akhirnya mimpi itu tiba. Rasanya benar-
benar membuatku berdenyut pada bagian bawahku mengingat semua mimpi
tadi. Tapi syukurlah semua itu sudah berlalu walaupun tidak ada perubahan
sama sekali setelah beberapa tahun ini. Aku tetap berada dalam jangkauan
Fahri dan terus mendapatkan siksaannya seperti yang ia janjikan pada saat
kelulusan.
Ya. Semua penyiksaan dulu membuat rasa suka ku padanya menghilang
begitu saja. Aku dulu memang menyukainya selalu menatapi dirinya yang
terlihat sangat sempurna dengan wajah tampannya. Dan kurasa aku
menyesali perasaan itu saat semua penyiksaan yang dilakukannya membekas
dalam hati ku sehingga sulit bagiku untuk melupakan semua penyiksaan itu.

Jika saja Fahri tidak melakukanya. Menyiksaku dan menyebarkan bahkan


memberitahu orang tua ku tentang jati diriku. Pasti kehidupanku lebih baik
dan ku yakin lebih sempurna dari saat ini. Namun semuanya sudah terjadi,
dan aku harus terus menghadapinya walaupun dengan perlahan nyawaku
yang menjadi taruhannya.

"Wildan? Syukurlah, Ya Tuhan. Kau sudah sadar." ucap seseorang yang


entah dari mana ia tiba sehingga membuatku sedikit terkejut dari lamunanku
barusan.

Orang itu Liam. Dia dengan setelan kerja yang sama seperti yang terakhir
kali kulihat sebelum aku tidak sadarkan diri. Dia mendekat dan mengulurkan
satu tangannya untuk menyentuh dahi ku yang baru ku sadari terasa nyeri
begitu tangannya menyentuhnya.

Ah benar. Aku ingat sekarang mengapa aku berada dirumah sakit. Aku
terluka akibat kebohongan yang diucapkan Abi sehingga membuat Fahri
marah dan melukaiku dengan benda padat yang ia lempar dan mendarat tepat
di dahi ku. Aku tidak ingat betul apa yang terjadi setelahnya, tapi aku yakin
yang membawaku kerumah sakit saat ini adalah Liam.
"Terima kasih, Liam. Kau sudah membawa ku kerumah sakit untuk diobati."
ucapku tulus saat dirinya duduk di satu kursi yang ada di samping bangsal
tempat ku duduk.

"Tidak. Aku yang minta maaf sudah datang terlambat sehingga kau
mendapatkan amukan Fahri. Aku harusnya menyadarinya lebih cepat saat
karyawan lain membicarakan pegawai baru yang tidak memadai. Dan saat ku
tanya ternyata mereka mendapatkan info itu dari Sekretaris Abi. Tidak,
maksud ku Abi. Makanya aku bergegas untuk menemuimu. Dan aku
terlambat." ucap Liam menjelaskan.

"Tetap saja. Aku berterima kasih padamu. Jika bukan kau yang membawa ku
kesini, aku mungkin tidak bisa duduk seperti ini sekarang." ucapku padanya.

"Baiklah. Jadi, apa sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi?
Maksudku, Abi bersikeras mengatakan kalau kau yang menggodanya agar
mendapat ulasan yang bagus. Tapi ku rasa itu tidak benar. Aku cukup
mengenalmu walaupun aku masih menyimpan iri padamu." ujarnya yang
segera saja membuatku ingat akan perbuatan Abi padaku.

Aku mengalihkan pandanganku dari Liam dan menunduk menatap selimut


tipis yang menyelimuti sebagian tubuhku.

"Aku tidak yakin. Kau mungkin tidak akan percaya kalau semua yang
disebutkan Sekretaris Abi itu salah. Dia melecehkan ku dan mengancamku
kalau ia akan mengadu pada Fahri kalau pekerjaanku tidak becus. Dia
menyebutku pelacur karena setiap kali aku keluar dari ruangan Fahri dia
menemukan jejak yang Fahri tinggalkan pada tubuhku." jelasku dengan nada
pelan dan sebisa mungkin menahan tangisku mengingat semua kejadian itu.

"Kalian melakukannya di kantor?" tanya Liam terkesan tidak percaya.

"Lupakan. Maksudku, kalian kan pasangan sah. Mengapa kau tidak mengaku
kalau kau Suaminya Fahri? Lihat, kau bahkan mengenakan cincin
pernikahanmu." ujarnya, membuatku menatap jariku yang terdapat sebuah
cincin pernikahan yang hingga saat ini belum ku lepaskan. Berbeda dengan
Fahri yang tidak pernah mengenakannya setelah acara pernikahan itu
berakhir.

"Apa kau pikir dia akan percaya? Sekretaris Abi bahkan tidak menyukaiku
karena status pendidikan ku. Bagaimana mungkin dia bisa percaya kalau aku
suaminya Fahri yang bahkan Fahri sendiri tidak mengakui ku?"

"Kau benar. Dan berhentilah menyebutnya Sekretaris. Jabatannya saat ini di


tangguhkan oleh Fahri." ungkap Liam.

"Mengapa?"

"Percaya atau tidak. Fahri melakukannya dengan alasan kalau Abi sudah
berani menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya. Dan ku yakin pasti
suasana di kantor sangat ricuh dengan kemarahan Fahri yang membabi buta.
Dia mengumpulkan seluruh pegawainya dan menanyai mereka tentang
kebenaran atas tuduhan palsumu. Dan ya. Semua itu terungkap sangat cepat."
ujarnya menceritakan yang terjadi di kantor.

Sementara aku sendiri yang mendengar itu merasa sedih karena sudah pasti
kekacauan itu disebabkan oleh ku dan membuat pekerja yang tidak bersalah
terkena imbas dari kemarahan Fahri.

"Lalu apa yang terjadi dengannya?" tanyaku.

"Aku tidak tau. Tapi sepertinya akan dikenai tindak pidana atas pelecehan
seksual terhadapmu. Sudahlah. Berhenti membicarakan sampah sepertinya.
Kau sendiri bagaimana? Apa dahimu baik-baik saja?" ujarnya. Aku
mengangguk kecil menjawabnya.

"Aku tidak apa. Hanya luka kecil." ucapku.

"Luka kecil? Luka itu membuatmu tidak sadarkan diri selama dua jam." aku
terkekeh mendengarnya.

"Tidak apa. Aku sudah biasa. Kau sendiri bagaimana? Kau tidak ada
kesibukan lain?" tanyaku. Liam menggeleng.
"Tidak. Fahri memutuskan untuk mengambil cuti perusahaan dua hari ini
sebagai pembersihan karyawan. Dan hari berikutnya perekrutan pegawai
baru. Jadi ya, aku punya banyak waktu." jelasnya.

Aku yang mendengar itu ingin berkata kalau aku minta maaf atas apa yang
telah terjadi. Tapi aku tidak sempat mengatakannya karena pintu ruangan
terbuka dan menampilkan sosok pria yang tidak asing lagi bagiku.

Dia Dokter Timo yang saat ini berjalan dengan senyuman ramahnya
menghampiri ku.

"Dokter Timo? Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku saat dirinya sudah
berada di samping Liam.

"Apa lagi? Aku kan seorang Dokter. Dan ini Rumah Sakit." ujarnya. Aku
yang mendengar itu merasa bodoh seketika.

"Aku ada sesuatu yang harus ku sampaikan padamu." ucapnya dengan


perubahan nada bicara yang berbeda dari sebelumnya.

"Apa itu?" tanyaku. Dokter Timo tidak langsung menjawab, ia melirik ke


arah Liam yang segera saja ku pahami akan maksudnya.
"Tidak apa. Dia temanku." ucapku yang membuatnya menghembuskan
napas.

"Baiklah. Aku mempunyai kabar yang entah buruk atau baik bagimu. Tapi
selamat, saat ini kau bertanggung jawab atas nyawa yang sedang
berkembang di dalam perutmu. Tepatnya di dalam janinmu. Dan ya, kau
hamil." ujar Dokter Timo dengan kalimat yang sangat lancar untuk ia
ucapkan. Sementara aku yang mendengarnya dengan jelas hanya terdiam
dengan otakku yang berputar cepat memikirkan kemungkinan hal yang baru
saja di ucapkannya.

"Tunggu sebentar. Kau bilang apa? Dia hamil? Kau tidak salah? Dia seorang
pria." ucap Liam yang berdiri dari duduknya.

"Aku tau. Tapi itulah kenyataannya. Aku akan memberitahumu lebih lanjut.
Tapi untuk sekarang istirahatlah dahulu. Kau sangat kekurangan energi dan
kelelahan. Aku akan menemuimu lagi nanti." ucap Dokter Timo sebelum
akhirnya berbalik dan pergi meninggalkanku dan juga Liam yang hanya
terdiam dengan pemikiran kami masing-masing.

I-ini tidak mungkin kan?

A-aku.....hamil.

Bagaimana mungkin?
Chapter 11

"Jadi, aku benar-benar sedang hamil?" tanyaku dengan nada suara yang
lemah menatap Dokter Timo yang saat ini duduk di tempat Liam
sebelumnya. Liam sudah pergi pulang kerumahnya.

"Tentu saja. Kau pikir aku bercanda? Aku juga awalnya tidak percaya. Tapi
semua bukti dan tes yang telah diberlakukan membuktikan kalau kau benar-
benar sedang mengandung saat ini. Sekarang seisi Rumah Sakit heboh
dengan adanya kabar ini." ujarnya membuatku menghela napas.

Sebenarnya aku sangat panik. Tapi aku tidak bisa mengeluarkan kepanikan
ku saat ini. Selain karena tubuhku yang merasa lelah, aku juga disuruh tenang
oleh Dokter Timo setelah dirinya mengetahui keadaan ku. Keadaan yang ku
maksud adalah aku tidak memiliki siapapun untuk mendiskusikan ini.
Termasuk kedua orangtuaku.

"Tapi bagaimana bisa?" tanyaku.

Dokter Timo tidak langsung menjawab, ia memperhatikan beberapa lembar


kertas yang ada ditangannya dan membacanya perlahan sebelum akhirnya dia
mendongak dan menatapku dengan helaan napasnya yang terdengar sama
lelahnya sepertiku.
"Sebenarnya aku sulit menjelaskan hal ini padamu. Tapi sepertinya saat kau
masih bayi. Kau menjadi percobaan sebagai pria penerima cangkok rahim di
dalam tubuhnya. Aku tidak tau itu benar atau tidak. Tapi itulah yang bisa ku
perkirakan. Kau lihat bekas luka yang ada di bagian perutmu? Itu luka bekas
operasi besar. Dan lebih parahnya lagi, ini bukan pertama kalinya bagimu
mengandung." ucapnya yang tentu saja membuatku terkejut dan menatapnya
tidak percaya.

"Apa maksudmu, Dokter?" tanyaku yang sebisa mungkin ku tahan agar tidak
terbawa emosi karena seperti kata Dokter Timo, aku tidak boleh banyak
mengeluarkan energi setelah apa yang menimpa ku beberapa jam yang lalu.
Janinku masih sangat rapuh dan bisa menimbulkan masalah nantinya.

"Kau sungguh tidak mengingat apapun?" tanyanya, yang segera saja ku


gelengan kepalaku menjawabnya.

"Aku tidak tau apa yang membuatmu tidak mengingatnya. Tapi dari yang ku
perkirakan, kau pernah mengandung dan mengalami keguguran beberapa
tahun yang lalu. Ada bekas luka pada rahimmu yang menandakan keguguran
itu. Aku tidak yakin kapan pastinya. Tapi ya, itulah kenyataannya. Ini bukan
kali pertamamu mengandung seorang bayi." ucapnya menjelaskan. Aku yang
mendengarnya hanya bisa terkejut untuk kesekian kalinya dan memendam
keterkejutan itu dalam diam memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Aku ini apa? Mengapa aku bisa mengalami hal aneh seperti ini?
Aku seorang pria. Bagaimana bisa aku mengandung? Dan apa itu, ini bukan
pertama kalinya bagiku? Tapi...mengapa aku tidak mengingat apapun tentang
itu. Apa yang terjadi sebenarnya?

"Aku tau ini mengejutkan. Aku juga sebenarnya enggan mengatakan ini
langsung padamu. Tapi karena kau tidak memiliki siapapun, aku terpaksa
melakukannya. Kecuali kau mau kalau aku memberitahu suamimu, Fahri."
ujar Dokter Timo yang segera saja menyadarkan ku dari lamunanku.

Aku menggeleng kuat. "Tidak. Jangan memberitahunya. Setidaknya untuk


saat ini." ucapku cepat.

"Mengapa? Dia adalah Ayah dari janin itu kan?" tanyanya. Aku menunduk
perlahan mendengarnya.

"A-aku tidak yakin tentang itu. Tapi satu hal yang pasti. Aku melakukan
hubungan seks menggunakan pengaman dengan pria lain. Sementara bersama
Fahri. Dia tidak menggunakannya." ucapku dengan suara yang sangat pelan.

"Berarti sudah pasti kalau itu anaknya Fahri. Lalu apa yang membuatmu
tidak yakin?"

"Kami melakukannya baru-baru ini. Itu tidak mungkinkan kalau


pembuahannya secepat ini? Aku...aku meragukannya. Jadi tolong, jangan
katakan apapun pada Fahri." ujarku yang kemudian meraih tangan Dokter
Timo dan menatapnya penuh harap agar dirinya menyetujui keinginan ku.
Dokter Timo terlihat ragu. Pupil matanya yang ada di balik kacamata
bergerak-gerak menatapku mencari jawaban atas keinginan ku. Setelahnya ia
menghela napas dan melepaskan tanganku pada tangannya.

"Baiklah. Tapi cepat atau lambat kau pasti akan ketahuan. Tubuhmu akan
mudah lelah dan ya, perutmu akan semakin membesar. Aku tidak akan ikut
campur dengan urusan rumah tangga kalian. Aku hanya berharap kau
memilih pilihan dengan bijak. Memikirkannya matang-matang dan tidak
gegabah. Kau tau, luka-luka yang kau dapatkan kala aku merawatmu itu
sangat tidak wajar. Ku harap kau tidak mendapatkannya lagi. Sekarang
istirahatlah lagi. Setelah itu kau boleh pulang membawa resep obat dan buku
panduan kehamilanmu." ujarnya dengan nada yang tenang dan membuat ku
nyaman mendengarnya.

Aku tersenyum lebar merasakan lega pada hatiku yang kemudian memeluk
Dokter Timo erat.

"Terima kasih, Dokter. Kau orang pertama yang memperdulikan ku. Aku
sungguh-sungguh berterima kasih padamu." ucapku tulus.

Dokter Timo membalas pelukanku.

"Iya. Jagalah dirimu baik-baik. Aku ingin melihat nyawa yang ada di dalam
tubuhmu tumbuh menjadi seseorang yang hebat." ujarnya yang hanya ku
angguki kecil sebelum akhirnya aku melepaskan pelukan ku padanya.
Setelahnya Dokter Timo pamit dan meninggalkan ku sendiri yang termenung
memikirkan nasibku ke depannya sambil mengelus perutku yang masih rata.
Aku tau ini bukanlah keajaiban. Kehamilan dan rahim ku adalah murni akan
campur tangan manusia yang tega membuatku menjadi orang aneh seperti ini.

Tapi apapun itu. Aku bertekad untuk melindungi nyawa yang ada dalam
perutku dan merawatnya setelah dilahirkan. Aku tidak perduli rintangan
seberat apapun yang menantiku. Dan walaupun masih ada keraguan akan
siapa Ayah dari anak ini, aku akan tetap teguh merawatnya dan
membesarkannya semampuku.

•••

Aku diperbolehkan pulang saat malam tiba. Perasaan takut segera saja
menghantuiku kala kaki ku melangkah masuk ke dalam rumah yang besarnya
bagaikan istana itu.

Mataku tak henti-hentinya menatap kesana kemari mengawasi setiap sudut


takut akan keberadaan Fahri yang mungkin akan memarahiku karena pulang
selarut ini tanpa mengabarinya. Tapi sampai akhirnya aku tiba didepan pintu
kamarku, sosok Fahri belum juga muncul sehingga membuatku bernapas lega
dan mulai masuk ke dalam kamar.
Langkah ku yang tadinya berjalan perlahan. Kini mulai santai dan
mendudukkan diri ku ke atas kasur sebelum akhirnya berbaring sambil
menatap langit-langit kamarku yang gelap karena aku memang tidak
menyalakan lampu kamar.

Ini sudah pukul delapan. Tapi Fahri tidak ada dirumah. Sebenarnya aku tidak
tau pasti jam pulangnya kapan. Karena hampir setiap harinya aku mengurung
diri di kamar saat semua pekerjaan rumah sudah kulakukan. Dan sepertinya
Fahri tidak akan pulang malam ini. Entahlah mengapa, tapi yang jelas aku
menungguinya hingga waktu menunjukkan pukul tengah malam.

Aku yang sudah tidak sanggup terjaga. Akhirnya memutuskan memejamkan


mataku untuk tidur. Karena seperti saran Dokter Timo, aku harus banyak
beristirahat dan tidak terlibat banyak emosi yang bisa membahayakan
janinku.

Aku tidak tau pasti bagaimana kedepannya jika kehamilan ku sudah


menginjak masa melahirkan. Aku juga lupa menanyakannya. Tapi yasudah
lah. Aku juga bakal tau nanti saat tiba waktunya. Jadi saat ini aku berusaha
melelapkan diriku untuk tertidur pulas.

Awalnya memang begitu. Sampai beberapa jam kemudian aku merasa sebuah
tangan yang melingkari tubuhku dan bisa ku rasakan sesuatu yang hangat
menempel pada punggung ku sampai akhirnya aku merasakan hembusan
napas yang hangat menyentuh puncak kepala ku.
Aku sadar apa yang terjadi dan aku membuka mataku menatap tangan Fahri
yang ada di hadapanku lalu kemudian aku mulai bergerak karena merasa
tidak nyaman dengan posisi saat ini.

"Diamlah. Biarkan seperti ini sampai aku terlelap. Aku sangat lelah." ucap
Fahri lalu mempererat pelukannya sehingga membuatku sulit melepaskannya.
Jadi aku hanya bisa diam sambil terus merasakan hembusan napasnya di atas
kepala.

"Aku tidak akan meminta maaf. Karena kau memang salah. Kau hanya diam
tanpa melawan. Jadi kau tetap salah. Sekarang tidurlah." ucapnya sebelum
akhirnya napasnya terdengar teratur dengan tangannya yang memelukku
melemah dan bisa dengan mudah bagiku untuk melepaskannya.

Setelahnya aku berbalik dan memandangi wajah Fahri yang samar akibat
kamar ku yang gelap dan hanya disinari lampu tidur saja.

Tidak ada ekspresi datar maupun dingin di wajahnya. Hanya ekspresi damai
dengan napas teratur dan matanya yang terpejam. Lihatlah, bahkan saat
terlelap pun dirinya terlihat sempurna. Lekuk wajahnya yang terpahat rapi
dengan kulit wajah yang mulus yang rasanya ingin sekali ku elus kulit itu.

Namun aku sadar. Aku tidak berhak melakukannya dan akhirnya


mengurungkan keinginan ku untuk beranjak bangun dari posisiku. Setelah itu
aku berjalan keluar dari kamarku menuju sofa besar yang terletak di ruang
tengah. Mendudukkan diri ku sebentar disana hingga akhirnya rasa kantuk
kembali menyerang ku dan aku memutuskan untuk tidur di atas sofa tersebut.
Tidak terjadi apa-apa pada awalnya. Aku tertidur lelap dan tidak mengalami
mimpi apapun. Hingga akhirnya kurasakan tubuhku yang terangkat dan di
letakkan kembali dengan alas bawahku yang terasa empuk.

Kali ini aku tidak terjaga. Aku membiarkannya dan melanjutkan tidurku yang
semakin dalam menuju alam bawah sadarku.
Chapter 12

Aku kesiangan.

Aku yang biasanya bangun pagi kini merasa panik dengan diriku yang
bergegas bangun dari tidurku dan masuk ke dalam kamar mandi untuk
membersihkan diri yang hanya memakan waktu tidak sampai sepuluh menit.

Mengenakan pakaian seadanya, aku pun segera keluar dari kamar dan
berjalan dengan langkah cepat menuju dapur berharap tidak terjadi sesuatu
yang buruk karena aku lalai dalam tugasku yang seharusnya menyiapkan
sarapan untuk Fahri.

Namun saat aku tiba di dapur, aku terdiam. Karena semua pemikiran buruk
yang tadi sempat ku khawatirkan tidak terjadi. Dapur ini kosong dengan letak
dan posisi yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tidak piring
ataupun gelas kotor di atas meja. Bahkan ditempat lain pun tidak ada.

Aku yang menyadarinya menatap heran dan segera beranjak dari sana untuk
pergi ke ruang tengah. Awalnya aku pikir Fahri mungkin berada disana, tapi
aku salah karena tidak ada Fahri ataupun tanda-tanda keberadaannya disana.
Saat ini jam belum menunjukkan pukul 8 dan seharusnya Fahri belum
berangkat bekerja di jam segini jadi aku bingung namun juga sedikit lega
karena sejujurnya aku merasa lelah, padahal sedari tadi yang ku lakukan
hanya berjalan saja.
Menyerah karena tak kunjung menemui keberadaan Fahri. Aku pun memilih
untuk duduk di sofa beristirahat sambil mengelus perutku yang entah
mengapa merasa tidak enak yang dengan perlahan menimbulkan rasa mual
yang begitu besar sehingga membuatku kembali berdiri dan berlari cukup
cepat memasuki kamarku dan memuntahkan isi perutku ke dalam lubang wc
yang isinya hanya berupa air yang terasa pahit dan menyakitkan.

Tidak hanya sekali. Tapi mual itu datang berkali-kali sehingga membuatku
muntah dan akhirnya aku lemas karena seluruh isi perutku keluar semua.
Mual itu pun perlahan menghilang digantikan dengan rasa lapar yang begitu
besar yang membuatku kini kembali berada di dapur memperhatikan isi
dalam kulkas memikirkan untuk memasak makanan sehat seperti yang
Dokter Timo sarankan.

Aku memilih semua bahan yang ku perlukan dan memulai mengolah semua
bahan itu. Namun sebelum aku melakukannya, bunyi bel yang nyaring
membuatku urung dan melepaskan semua peralatan masak ku yang kemudian
beranjak dari sana untuk memastikan siapa yang memencet bel untuk kedua
kalinya.

"Liam? Ada apa? Apa kau kau kemari mencari Fahri? Dia sedang tidak ada
dirumah." ucapku saat mengetahui kalau yang memencet bel itu adalah Liam.

Liam tersenyum tipis menanggapinya.


"Aku tau. Makanya aku kemari. Aku mendapat perintah dari Fahri untuk
menemanimu selama dirinya berada di luar kota selama tiga hari. Tidak
menginap tentu saja. Aku hanya menemanimu sampai kau terlelap di malam
harinya." ujarnya. Aku yang mendengar itu hanya mengangguk lalu
mempersilahkan dirinya masuk untuk mengikutiku yang membawanya ke
ruang tengah.

"Duduk, Liam." ujarku padanya.

"Kau mau minum apa?" tanya ku.

"Tidak usah. Aku kemari bukan bertamu. Tapi sebagai temanmu. Duduklah,
aku membawakan sarapan sehat untukmu dan juga calon bayimu." ujar Liam
dengan nada yang sedikit ragu di akhir kalimatnya.

"Kau pasti belum mempercayai kenyataan yang ku alami ya? Aku juga. Tapi
aku harus mulai membiasakannya. Apalagi aku harus sebisa mungkin
berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa di depan Fahri." ujarku lalu
kemudian melihat isi yang ada di dalam plastik yang Liam bawa.

"Kau menyembunyikan fakta itu dari Fahri?" ujarnya terdengar tidak


percaya. Aku menggeleng kecil menjawabnya.

"Mengapa? Itu anaknya kan?" tanyanya lagi.


"Aku tidak yakin, Liam. Aku memang tidur dengannya. Tapi baru beberapa
minggu yang lalu, dan aku tiba-tiba hamil. Apakah itu mungkin?" ujarku lagi
dan mengeluarkan kotak makanan yang berisi bubur ayam didalmnya.

"Kau yakin ini makanan sehat nya?" tanyaku ragu.

Liam mengedikkan bahunya pelan. "Aku tidak tahu. Tapi Ibuku


menyarankan itu." ujarnya.

"Tapi serius. Kau benar-benar tidak yakin kalau itu anak Fahri? Lalu jika
memang terbukti bukan, apa yang akan kau lakukan? Fahri pasti akan marah
besar jika mengetahuinya." tambahnya.

"Entahlah. Tapi satu hal yang pasti, aku berhubungan tanpa pengaman hanya
dengan dirinya." ucapku lalu mulai menyuapkan bubur itu ke dalam mulutku
dengan lahap.

"Bodoh. Kalau begitu, bayi yang kau kandung sudah pasti anaknya."
ucapnya.

"Dokter Timo juga berkata begitu. Sudahlah, aku tidak mau memikirkan hal
yang berat. Kau hanya membeli buburnya satu? Bagaimana denganmu?"
ujarku yang baru menyadarinya.
"Aku sudah kenyang."

"Kan bisa untukku kalau kau tidak mau." ujarku yang kemudian kembali
menyuapkan bubur itu.

"Baiklah. Aku akan memesannya lagi." pasrah Liam yang berdiri dari
duduknya yang segera saja ku tahan.

"Tidak-tidak. Ini cukup. Terima kasih atas makanannya." ucapku tulus.


Setelahnya aku fokus menghabiskan bubur itu sambil menunggu Liam yang
mengambilkan ku minum dari dapur.

Namun belum juga Liam kembali dengan gelas air minum. Suara bel rumah
kembali berbunyi dan membuatku segera berdiri dari duduk ku untuk
membukakan pintu yang ternyata kedua orang tuaku yang saat datang dengan
tatapan yang mematikan menatapku. Melihatnya membuatku sadar kalau
sesuatu yang buruk sudah sampai ke telinga mereka. Tapi walau begitu aku
masih berusaha menyapa mereka dengan ramah dan mempersilahkan mereka
masuk dan duduk di sofa yang sama seperti sofa yang di duduki Liam.

Aku yang tadi sempat merasakan sedikit kedamaian saat kehadiran Liam.
Kini perasaan itu sudah menghilang dan digantikan dengan perasaan cemas
sekaligus takut menatap kedua orangtuaku yang terlihat siap melakukan hal
kejam padaku. Namun sebelum itu terjadi, sosok Liam sudah kembali dengan
segelas air putih di tangannya.
"Maaf, sedikit tersesat tadi. Ini." ujarnya yang kemudian menyodorkan gelas
itu padaku yang segera saja ku minum dengan cepat air yang ada di
dalamnya. Setelahnya aku meletakkan gelas itu sambil mendengar suara
Liam yang menyapa kedua orangtuaku.

Namun bukannya menyapa balik. Kedua orangtuaku malah menatap Liam


tidak suka lalu berkata dengan nada yang sangat meremehkan.

"Apa yang pria ini lakukan dirumah menantuku?" ujar Ibu dengan mata yang
tak henti-hentinya menatap Liam.

"Dia..."

"Apa kau mencoba bermajn dibelakang Fahri kau anak, sialan!?" marah Ayah
tiba-tiba yang memotong ucapanku yang ingin menjelaskan.

"Bajingan! Apa kau tidak jera dengan apa yang sudah kau lakukan terkahir
kali? Kau ingin membuat aku dan istriku kembali digugat!?" marahnya lagi.

Aku yang mendengar itu hanya diam. Karena aku tau aku tidak bisa
menyanggah ucapan mereka. Apapun penjelasaan ku akan selalu salah di
mata mereka, jadi memilih diam sampai akhirnya aku merasakan rasa sakit
pada wajah bagian kiriku.
Rasanya sangat sakit dan terasa membekas disana. Tamparan yang Ayah
berikan terlalu kuat bahkan sempat membuat kepala ku pusing menerimanya.

"Itu untuk kau yang sudah menyebabkan masalah di perusahaan Fahri! Kau
membuat semua orang dipecat begitu juga dengan sepupu sendiri. Kau
menyebarkan berita kotor dan membuat Fahri murka. Kau benar-benar
manusia tidak tau diuntung!" ujar beliau dengan nada tinggi yang
dikeluarkannya pada setiap katanya.

Setelah itu kembali kurasakan rasa sakit yang sama pada bagian wajahku
yang lainnya. Itu membuatku meringis sakit dengan air mata yang menetes
yang segera ku usap kuat.

"Itu untuk kau yang berniat selingkuh lagi! Kau pikir dengan tidak ada Fahri
dirumah kau bisa seenaknya memanggil pria lain kesini!? Dasar pelacur! Aku
menyesal telah membesarkanmu!!" ucap beliau yang di akhiri dengan air
liurnya yang tepat mengenai wajahku.

Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku kini menangis dalam diam karena
merasa sakit dan juga malu karena masih ada Liam yang memperhatikan
perbuatan Ayah padaku tadi.

"Maafkan aku, Pak. Tapi saya pikir perbuatan Anda pada anak Anda sungguh
berlebihan. Seoang Ayah tidak seharusnya melakukan hal itu pada anaknya."
ucap Liam yang menahan tangan Ayah yang tadinya ingin kembali
menamparku.
Ayah dengan kuat menarik tangannya kembali dari genggaman tangan Liam.

"Dia bukan anakku sialan! Anakku tidak mungkin tidak berguna seperti dia!
Berhentilah kau ikut campur. Ini urusan ku dengannya! Pergi kau sana!" ucap
Ayah mengusir Liam dengan sedikit mendorong tubuhnya menjauh

Liam yang menerima itu kembali mendekat, lalu dengan cepat tangannya
meraih tanganku dan menarikku cukup kuat sehingga kini aku sudah berdiri
tegap disampingnya.

"Aku akan pergi. Tapi bersamanya. Aku tidak bisa membiarkan temanku
disiksa dengan orang tua seperti kalian. Kalian itu gila, ku harap kalian cepat
sadar atas yang sudah kalian lakukan. Ayo, Wil. Kau akan menginap
dirumahku hari ini." ucapnya yang kemudian mulai menarikku perlahan dan
menjauh dari posisi kedua orangtuaku berada. Namun langkah berikutnya
Liam berhenti dan menoleh kebelakang.

"Dan asal kalian tau. Menanantumu lah yang menyuruhku untuk menemani
temanku ini. Jadi seharusnya aku yang berhak mengusir kalian. Tapi tidak
masalah. Aku sedikit alergi dengan rumah mewah seperti ini." ucapnya yang
entah mengapa terdengar sangat keren ditelingaku.

Setelah itu Liam kembali berbalik dan menarikku untuk mengikutinya masuk
ke dalam mobilnya. Aku tidak tau apa yang dia lakukan. Tapi yang jelas dia
sudah membantuku keluar dari kesulitan yang kedua orangtuaku berikan.
Aku tidak tau harus membalas perbuatannya dengan apa, tapi untuk saat ini
aku hanya bisa mengatakan terima kasih padanya sebanyak mungkin yang
aku bisa.
Chapter 13

Sudah dua hari semenjak kejadian saat orang tuaku datang ke rumah Fahri.
Dan seperti kata Liam, dia sungguh-sungguh mengajak ku menginap
dirumahnya yang bahkan ku gunakan kasurnya untuk tidur. Sementara
dirinya sendiri tidur di lantai menggunakan kasur lantai yang tentu saja tidak
senyaman di atas ranjangnya.

Aku sangat berterima kasih padanya karena sudah banyak membantuku. Dan
aku sendiri mengucapkan terima kasihku dengan mengerjakan pekerjaan
rumahnya yang sederhana dan tidak terlalu besar seperti rumah kedua orang
tuaku.

Seluruh keluarga Liam sangat ramah. Dimulai dari kedua orangtuanya,


saudaranya, dan bahkan sampai sepupunya yang kemarin hadir.

Mereka semua menerima dengan baik dengan perilaku yang sangat ramah.
Memperlakukanku layaknya keluarga mereka sendiri. Dan saat pertama kali
aku datang ke rumahnya, aku baru sadar kalau nama Liam adalah nama orang
asing karena keturunannya, lebih tepatnya Ayah Liam berkewarganegaraan
asing.

Pantas saja wajah Liam terlihat tampan dengan kulitnya yang sangat putih.
"Sejauh ini...Fahri masih belum menghubungi ku tentang kepulangannya.
Apa sesuatu terjadi di antara kalian sebelum dirinya pergi?" tanya Liam yang
tadinya memperhatikan layar tv kini menoleh ke arahku yang sedari tadi
hanya diam dengan lamunanku.

"Sesuatu yang terjadi?" tanyaku kembali. Liam mengangguk.

"Aku tidak bermaksud ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian. Tapi,
apa benar sebelumnya kalau kau hanyalah sebagai pengganti dari mempelai
wanita sesungguhnya? Oke lupakan. Yang ingin aku tanyakan, apa Fahri
benar-benar membuatmu kesulitan. Ah tidak. Maafkan aku. Lupakan saja
semua pertanyaan ku tadi." ujarnya yang terlihat frustasi yang akhirnya
kembali menatap layar tv yang ada di hadapan kami.

Aku yang melihatnya terkekeh kecil. Aku ingin membalas dan menjawab
semua pertanyaan tadi. Tapi aku tidak bisa melakukannya kala aku
merasakan mual dan membuatku langsung berdiri dari duduk ku bergegas
berlari ke kamar mandi.

Ini terjadi lagi. Aku selalu mengalami mual merasa tidak enak badan setiap
kali pagi hari menyapa. Aku sudah bertanya pada Dokter Timo dan dia
mengatakan kalau itu hal yang wajar bagi seseorang yang mengandung. Aku
memakluminya tapi ini benar-benar mengganggu ku, aku kesulitan makan
dengan tubuhku yang terasa lemas.
"Morning sick lagi?" tanya Liam yang ada dibelakang ku. Aku yang saat ini
membungkuk menghadap toilet hanya mengangguk sambil menunggu
keluarnya isi perutku akibat mual.

"Tidak apa. Keluarkan lah, setelah ini kita akan pergi makan. Apapun yang
kau inginkan aku akan menurutinya." ucap Liam yang kemudian bisa
kurasakan elusan tangannya pada tengkukku.

Awalnya ku pikir ucapan Liam hanya ingin membuatku tenang. Tapi dia
benar-benar melakukannya. Liam membawaku ke sebuah restoran sederhana
dengan berbagai menu yang bisa saja ku bayar dengan tabunganku yang
tersisa.

"Maaf. Hanya tempat yang seperti ini yang bisa ku traktir untukmu. Aku
tidak sekaya dan semapan Fahri yang bisa saja membawamu makan ke
negara lain." ujarnya saat kami sudah duduk di dalam restoran itu.

Aku menggeleng kecil menjawabnya.

"Apa yang kau katakan? Aku tidak memikirkan harta. Bagiku ini sudah
cukup. Dan tujuan kita untuk makan, bukannya pamer kekayaan. Sudahlah,
pesankan aku makanan. Nanti akan ku ganti berapapun biayanya. Bukan
berarti aku pamer ya. Aku akan menggantikannya dengan uang tabungan ku."
ucapku yang membuat Liam berkerut.
"Aku mengajakmu kemari untuk mentraktirmu. Jadi jangan khawatirkan
masalah uang. Lagipula aku mendapat upah dengan mengawasimu selama
tidak ada Fahri." ucapnya diiringi kekehan kecil sebelum akhirnya Liam
memanggil pelayan dan memesan beberapa makanan sehat untukku.

"Tapi sungguh. Apa terjadi sesuatu diantara kalian berdua?" tanya Liam yang
kembali menanyakan hal yang sama.

"Terjadi sesuatu semacam apa maksudmu?"

"Ya... pertama kali aku melihat kalian, kondisi kalian tidak baik-baik saja.
Fahri menyuruh ku memperkosa mu, dan pada akhirnya mencekikmu hingga
terjadi perkelahian antara temanmu dan Fahri. Lalu sekarang Fahri terlihat
sangat perduli padamu. Pasti sesuatu sudah terjadi di antara kalian kan."
ucapnya.

"Fahri perduli padaku?" tanyaku bingung. Selama ini yang ku terima dari
Fahri adalah kekejamannya yang menyiksaku. Mana mungkin dirinya
memperdulikan aku yang bahkan tidak pernah dianggap olehnya.

Liam mengangguk. "Semua yang terjadi di perusahaan adalah salah satu


bentuk dirinya perduli. Dan sekarang dia memintaku untuk menjagamu.
Bukannya itu sudah jelas?" ujarnya yang sejujurnya membuatku tertawa
sedih dalam hati.
Semua yang di sebutkan Liam bukanlah keperdulian. Itu hanya semacam
metode agar aku tidak kabur dan bisa menjadi ancaman untuknya. Dan soal
Fahri yang meminta Liam mengawasiku sudah pasti dia takut kalau-kalau
aku melarikan diri.

Aku ingin saja melakukannya. Tapi sampai kapanpun ancaman itu tetap
berlaku yang tentu saja tidak bisa ku hindari ancaman itu.

"Aku pasti sudah menyinggung privasimu ya? Maafkan aku. Lupakan


percakapan kita tadi. Dan makanlah." ujar Liam dengan suara yang pelan
sambil mendorong piring yang berisi makanan pesanan yang baru saja tiba.

Aku tersenyum simpul menatapnya lalu kemudian mulai menyuapkan


makanan itu ke dalam mulutku sambil terus memikirkan percakapan kami
tadi, karena setelah hampir semua makanan yang ada di atas meja habis aku
maupun Liam tidak berbicara apapun sampai akhirnya ponsel milik Liam
berbunyi yang membuatnya pamit untuk mengangkat telpon itu di luar.

Butuh waktu beberapa menit bagi Liam untuk berbicara lewat telepon. Dan
setelah selesai, Liam kembali masuk dengan ekspresi wajah yang sulit untuk
ku baca.

"Siapa yang menelepon?" tanyaku.

Liam tidak menjawabnya, dia malah berjalan ke arahku lalu mengambil


tanganku untuk ia genggam dan menariknya pelan.
"Ayo, aku akan mengantarmu pulang. Fahri sudah tiba dirumahnya. Dan dia
mencarimu." ujar Liam yang membuatku sedikit terkejut namun masih bisa
ku kendalikan dengan mengikuti arah tarikannya yang menuntunku menuju
mobilnya.

"Kau bilang Fahri akan pergi tiga hari." ujarku begitu sudah masuk ke dalam
mobil begitu juga Liam.

"Memang. Tapi entahlah." Liam mengedikkan bahunya lalu kemudian mulai


menyalakan mesin mobilnya untuk ia jalankan menuju rumah Fahri yang
jaraknya cukup jauh dari sini.

Dan benar saja. Sosok Fahri sudah menungguku kala aku masuk ke dalam
rumah dan berhenti melangkah saat melihat Fahri yang duduk di sofa ruang
tengah.

Aku sendirian. Liam langsung pamit pulang dengan alasan kalau dia masih
sulit melihatku secara langsung bersama dengan Fahri. Dia masih memiliki
perasaan suka terhadap Fahri jadi aku memakluminya dan membiarkannya
pulang. Tapi sepertinya aku menyesalinya, harusnya aku memintanya
menemaniku sehingga dirinya bisa menjelaskan saat Fahri melontarkan
pertanyaan dengan nada yang dingin dan tatapan matanya yang tajam.

"Apa yang kau lakukan dirumah Liam?" tanyanya.


Aku yang merasakan hawa yang menusuk merasa gugup dan menatap ke
sembarang arah menghindari tatapannya.

"A-aku menginap dirumahnya, Fahri." ujarku yang memilih jujur.

"Ini rumahmu. Mengapa kau menginap." ujarnya lagi dengan nada yang sama
seperti sebelumnya.

Aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak mungkin mengatakan kalau dua hari
yang lalu kedua orang tua ku datang dan membuat kekacauan dirumah.
Terlebih lagi aku juga merasa tidak nyaman berada dirumah sebesar ini
sendirian. Jadi aku hanya bisa diam sampai akhirnya aku mendengar suara
benda jatuh yang berasal dari meja yang Fahri tendang dengan kuat.

"Aku bilang, mengapa kau menginap dirumahnya, sialan!" ucapnya yang


sudah mengeluarkan suara tingginya yang membuatku takut karena suaranya
yang menggelegar.

Aku segera menunduk takut dengan tubuhku yang bergetar memikirkan


segala kemungkinan yang terjadi saat Fahri sudah berdiri dari duduknya yang
kini berjalan ke arah ku.

"Aku menyuruhmu untuk menjawabnya. Bukan diam saja seperti orang


bodoh." ujarnya lagi dengan nada yang kembali dingin saat tubuhnya sudah
berada dihadapan ku.
Aku hendak menjawabnya. Namun aku segera mengurungkannya begitu
merasakan hangat dari tubuh Fahri yang mendekap tubuhku dan memeluk ku
cukup erat. Bukan hanya itu, aku bahkan merasa geli kala hidung Fahri yang
bernapas di dekat leherku. Menghirup aroma leherku sebelum akhirnya dia
berkata yang membuatku termenung kaku mendengarnya.

"Aku merindukanmu. Istriku." ucapnya.

Suaranya terdengar hangat dan tulus sehingga membuatku sulit untuk


mencerna perkataannya sebelum akhirnya aku merasa berat karena seluruh
tubuh Fahri yang lemas dan menaruh berat tubuhnya padaku. Dan saat itu
juga aku sadar. Kalau Fahri baru saja tertidur lelap dalam pelukannya saat
aku mendengar hembusan napasnya yang teratur yang menandakan
ucapannya barusan adalah bentuk kelelahan akan pekerjaan yang mungkin
mengerahkan seluruh tenaganya.

Menyadarinya membuatku merasa lega kalau ucapannya tadi bukanlah dari


hatinya, namun dari pikiran dan tubuhnya yang lelah sehingga berbicara
melantur.

Tapi entah kenapa aku merasa berdebar saat mendengarnya. Dan aku segera
menepisnya, karena bagaimanapun aku tidak bisa menyimpan perasaan
untuknya yang sudah membuat masa depanku hancur dan tidak memiliki
harapan.
Ya. Ku harap aku tidak menaruh merasa perasaan lagi padanya seperti dulu.
Karena jika aku melakukannya, entah nasib dan takdir seperti apa yang akan
menantiku di masa mendatang.
Chapter 14

"Coba kau lihat." ujar Fahri dengan satu tangan yang menunjuk ke arah
langit.

Aku mengikuti arah telunjuknya dan menatap heran karena tidak menemui
apapun disana.

"Apa?" tanyaku.

"Langit hari ini sangat cerah. Secerah wajahmu yang menggemaskan. Dan
lihatlah awan-awan itu. Mereka sama indahnya dengan dirimu yang
sempurna di mataku." ucapnya yang sudah tidak menunjuk lagi namun kini
dirinya menunduk untuk menatapku dengan senyuman hangat yang membuat
jantungku berdegup sangat kencang.

Wajahku terasa panas, tersipu malu dengan semua ucapan yang Fahri
lontarkan barusan.

"Kau sungguh-sungguh membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku sangat malu


sekarang." ucapku sambil memalingkan wajahku darinya.
Saat ini waktu sudah menunjukkan tengah hari. Tidak terlalu terik karena
banyak sekali awan yang terhampar di langit yang cerah. Dan Fahri
mengajak ku kemari setelah pulang sekolah. Sehingga pakaian yang kami
kenakan masih seragam sekolah yang seharusnya sudah di lepaskan.

"Kau tidak perlu berkata. Wajahmu mengatakan segalanya." ucapnya lalu


merangkul ku dan menaruh kepala ku di dadanya, membuatku bersandar
disana menatapi beberapa orang yang juga sedang berduaan di bawah
pohon rindang yang sangat nyaman untuk ku rasakan.

"Aku mencintaimu, Wil. Dan akan selalu mencintaimu." ujar Fahri yang kini
bisa kurasakan kecupan pada puncak kepala ku yang membuat hatiku terasa
hangat.

Setelahnya aku mendongak. Menatap dalam kedua mata Fahri dan


memperhatikan setiap lekuk wajahnya sebelum akhirnya aku mengucapkan
balasan atas perkataannya.

"Aku juga mencintaimu Fahri. Lebih dari apapun." ucapku tulus yang lalu ku
majukan wajahku untuk menempelkan bibirku pada bibirnya. Menciumnya
dengan gerakan perlahan namun semakin lama semakin cepat dengan
ciuman kami yang terasa mendebarkan.

Namun saat rasa mual menyerangku aku segera melepaskannya lalu


membuka mataku yang tadi sempat terpejam.
.

Dan ternyata semua itu hanya mimpi.

Aku terbangun dengan perutku yang benar-benar terasa tidak enak yang
membuatku bergegas pergi ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi
dalam perutku. Rasanya benar-benar menyakitkan dan membuatku lemas
setiap kali pagi hari menyapa. Namun karena aku sudah mulai terbiasa, aku
hanya melakukan hal yang seperlunya lalu kembali ke kasurku dengan
pikiran yang melayang memikirkan mimpi yang baru saja ku alami.

Apa yang baru saja ku mimpikan? Mimpi itu sangat aneh dan tidak wajar.
Bagaimana bisa aku memimpikan Fahri yang bahkan aku sendiri tidak pernah
menginginkannya? Terlebih lagi mimpi itu sangat kotor dengan aku yang
menciumnya yang tentu saja kalau itu terjadi di kehidupan nyata, aku akan
menerima akibatnya yang pastinya akan aku sesali nanti.

Namun walau begitu. Mimpi itu terasa nyata. Bahkan getarannya masih bisa
ku rasakan. Jantungku yang berdebar sangat kencang yang entah mengapa itu
bisa terjadi. Tapi mungkin karena ritual pagi ku--mual dan muntah makanya
jantungku berdetak cepat.

Tidak ingin terlalu lama berlarut dalam lamunanku. Aku pun hendak beranjak
dari dudukku untuk memulai pekerjaanku seperti biasanya. Namun aku harus
mengurungkannya, begitu ada kedua tangan yang melingkari tubuhku dan
memelukku erat dengan bahu ku yang terasa berat akibat kepala Fahri yang
bersandar disana.

Aku terkejut tentu saja. Tapi aku menahannya karena sadar kalau saat ini
yang mengejutkanku adalah Fahri. Ia masih terpejam dengan napas yang
teratur. Namun walau begitu dia masih bisa berbicara dengan nada yang
berbisik.

"Apa kau sakit?" tanyanya yang membutuhkan beberapa detik bagiku untuk
menjawabnya.

"A-aku tidak." ucapku gugup.

Bagaimana tidak? Aku baru saja bermimpi berciuman dengannya. Dan


sekarang dirinya memelukku yang ternyata sedari tadi berada dan bahkan
tidur di kasur yang sama denganku. Apa mungkin aku masih bermimpi saat
ini?

Tidak. Aku tidak mungkin bermimpi. Ritual pagi ku masih terasa


menyakitkan, itu membuktikan kalau saat ini bukanlah mimpi lagi. Tapi...
bagaimana bisa Fahri berada di kamarku?

"Sayang...." ucap Fahri lirih.


Aku yang mendengarnya membesarkan mata ku sedikit menatap dirinya yang
sudah membuka mata menatapku.

"Aku lapar~" tambahnya yang membuat ekspresi yang baru pertama kali ku
lihat. Dia mengeluarkan ekspresi memelas yang terlihat sangat
menggemaskan untuk ku lihat.

Otakku saat ini bekerja sangat keras. Memikirkan segala kemungkinan atas
apa yang terjadi pada Fahri sekarang. Apa dia mabuk? Kurasa tidak. Tidak
ada bau alkohol pada dirinya.

Kelelahan?

Aku kurang yakin akan hal itu. Karena Fahri terlihat sangat segar dengan
senyuman tipis yang ia keluarkan ke arahku. Membuat jantungku kembali
berdetak hebat apalagi saat Fahri memajukan wajahnya hingga bibirnya
menyentuh bibirku dan melumatnya pelan dengan waktu yang cukup lama.
Dan setelah ia melepaskannya, matanya terlihat lebih hidup dengan
senyuman pada bibirnya yang kian melebar.

"Aku sayang padamu, istriku." ucapnya yang di akhiri dengan kecupan pada
bibirku.

Aku yang menerima semua perlakuannya hanya diam menatap bingung


dirinya yang saat ini bersikap aneh yang bahkan sekalipun belum pernah ku
lihat tingkahnya yang seperti ini. Dia terlihat seperti orang yang berbeda dari
Fahri yang ku kenal.

Apa yang terjadi? Bagaimana dirinya bisa berubah seperti ini?

"Mengapa kau diam saja? Kau tidak mau mengecup pipi ku juga?" ucapnya
dengan nada suara yang ia buat lucu dan bibir yang ia majukan tanda dirinya
bersedih.

Jujur. Ini terasa mengerikan. Aku sekarang merasa takut dengan perubahan
drastis sikapnya, sehingga aku memilih untuk melepaskan diriku dari
pelukannya dan berdiri menghadapnya yang menatapku bingung.

"Maaf. A-aku akan ke dapur untuk membuatkan sarapan." ucapku cepat dan
segera melangkah keluar dari kamar untuk pergi ke dapur.

Setelah sampai, aku mengatur nafasku yang memburu begitu juga berusaha
untuk menenangkan jantungku yang untungnya perlahan kembali berdetak
dengan normal. Aku bersyukur kalau kejadian barusan tidak membuatku
melakukan hal aneh akan perubahan sikapnya.

Tadi itu membuatku benar-benar kebingungan. Bagaimana bisa seseorang


seperti Fahri yang sudah ku lihat ekspresinya yang datar dan dingin begitu
juga dengan tatapan matanya yang tajam berubah menjadi sosok yang terlihat
menggemaskan? Dengan wajah tampannya yang sehabis tidur dan membuat
suara yang hampir saja membuatku melewati batas untuk menyentuhnya.
Untung saja aku bisa menahan diri dan pergi dari sana. Kalau tidak, aku
mungkin akan melakukan apa yang Fahri katakan untuk mengecup pipinya
tadi.

Aku menggelengkan kepalaku cepat, lalu berjalan ke arah keran untuk


mencuci wajahku agar pikiranku tentang Fahri menghilang. Dan setelah ku
rasa cukup. Aku pun mulai apa yang ku katakan pada Fahri tadi,
membuatkannya sarapan karena saat ini matahari sudah mulai terang
menandakan siang hari akan segera tiba.

Awalnya aku sangat sibuk dengan pekerjaan memasakku. Tapi begitu sebuah
tangan menelusup masuk ke pinggang ku dan melingkarinya membuatku
mematung dengan pergerakan tanganku yang tadinya sedang memotong
beberapa bahan untuk ku masukkan kedalam wadah yang sudah ada di atas
kompor.

"Kau buatkan aku sarapan apa?" tanya Fahri dengan nada yang sungguh
berbeda dari biasanya.

Kepalanya yang bersandar bahuku membuatku kembali merasa jantungku


yang memompa cepat dengan wajahku yang terasa panas, apalagi saat
kurasakan sebuah kecupan mata tengkukku yang terasa geli sehingga
membuatku melepaskan pisau yang ku pegang untuk melepaskan pelukannya
pada pinggang ku lalu berbalik dan berusaha menatapnya yang sulit untuk ku
lakukan.
"Maafkan aku, Fahri. Aku..aku tidak terbiasa dengan ini. Bisakah kau
berhenti melakukannya? Aku lebih nyaman jika kau bersikap seperti
beberapa hari yang lalu." ucapku jujur yang pada akhirnya menunduk karena
tidak sanggup menatap matanya.

Dari sini bisa ku dengar Fahri yang menghembuskan napas perlahan diiringi
dengan kedua tangannya yang memegang wajahku untuk membuatku
mendongak menatapnya.

"Dengar. Kau istriku, Wil. Dan kita masih dalam status pengantin baru.
Bukannya itu wajar kalau aku melakukan hal romantis seperti ini. Aku ingin
menyayangimu seperti seorang suami pada umumnya. Kau tidak
menyukainya?" ujarnya dengan nada yang terdengar sedih begitu juga
ekspresi wajahnya.

Aku menggeleng pelan.

"Tidak. Aku merasa aneh kau melakukannya. Maksudku...selama ini kau


tidak pernah melakukannya. Kau selalu menindas ku dan membuatku dalam
kesulitan. Aku mungkin bisa menahan semua itu. Tapi jika kau tiba-tiba
seperti ini, aku sangat butuh waktu untuk memikirkannya." ucapku yang
berusaha mengalihkan pandanganku darinya.

"Maafkan aku. Aku sudah menyulitkanmu selama ini. Tapi aku ingin berubah
sekarang, aku menyadari betapa berharganya dirimu bagiku. Aku
menyayangimu. Tolong maafkan aku, dan terima perasaanku." ujarnya yang
sayangnya terdengar sangat tulus sehingga ucapan itu tepat mengenai hatiku.
Tapi pikiran tetap menolaknya. Setelah semua yang telah dia perbuat aku
tidak mungkin langsung luluh begitu saja padanya. Lagipula aku tidak
memiliki perasaan apapun padanya. Harusnya aku tidak bingung seperti ini,
kecuali aku masih menyimpan perasaan itu yang tidak kusadari masih
terpendam di lubuk hati ku.

Entahlah. Aku tidak memutuskannya sekarang. Jadi aku melepaskan


tangannya pada wajahku dan mengucapkan kata maaf sebelum akhirnya aku
beranjak dari sana dan masuk ke dalam kamarku yang tidak lupa ku kunci
pintunya.

Namun saat teringat kalau kompor yang belum ku matikan. Aku kembali
membuka pintu kamarku dan bergegas ke arah dapur yang mana masih ada
sosok Fahri disana. Dia dengan tatapannya yang penuh harap tersenyum
cukup lebar melihat kehadiranku.

"Apa kau berubah pikiran? Kau sudah memaafkanku?" ujarnya.

Aku tidak menjawabnya dan melanjutkan niatku untuk mematikan kompor


lalu berbalik kembali masuk ke dalam kamarku, mengabaikan Fahri yang
memanggil-manggil namaku yang tidak ku sahut satupun panggilannya.
Mungkin aku sudah melakukan hal yang salah. Tapi aku benar-benar butuh
waktu untuk memikirkannya.
Memikirkan sikap dan sifat Fahri yang berubah drastis yang mana tadinya ia
sangat kejam dan penuh penyiksaan. Kini dirinya terlihat sangat penyabar
dan penug kasih sayang.

Ini...

Ini membingungkan.
Chapter 15

Ku pikir perubahan sikap Fahri hanya berlangsung beberapa saat. Ternyata


aku salah. Fahri masih dengan sikapnya yang berubah yang saat ini sedang
menatapku yang baru saja selesai mandi dan kini tengah mengenakan baju.

Aku sudah beberapa kali mengusirnya tadi, tapi dia enggan dan menolaknya
membuatku hanya bisa diam karena aku takut kalau-kalau dia kembali
berubah menjadi Fahri yang dulu.

"Apa seluruh lukamu itu aku yang melakukannya?" tanyanya dengan nada
yang bingung yang tentu saja membuatku berbalik dan memandangnya
heran.

"Kau masih bertanya?" ujarku padanya.

Fahri berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arahku.

"Aku tidak mengingatnya. Apa aku sekejam itu?" tanyanya lagi, dengan
kedua tangan yang mengelus punggungku pelan.

Aku mengangguk lalu kemudian berbalik dan mendongak menatapnya.


"Apa kau lupa ingatan setelah berpergian kemarin? Atau ini salah satu trikmu
untuk menjebakku?" tanyaku padanya. Fahri menggeleng pelan.

"Aku benar-benar tidak mengingat perbuatanku sebelumnya. Yang aku ingat


aku pergi bekerja dan aku mengalami sedikit kecelakaan yang membuat
kepala ku terbentur setir mobil. Setelah itu yang ku ingat kita sudah menikah,
dan aku segera pulang karena merindukanmu." ujarnya yang tentu saja belum
ku percayai sepenuhnya.

Aku tidak membalas ucapannya, karena setelah Fahri berucap dia menarik
tubuhku dan mendekap ku erat sehingga bisa ku rasakan detak jantungnya
yang berdegup kencang. Tidak jauh berbeda dengan jantung ku, setiap
sentuhan yang Fahri berikan sangat berefek padaku. Aku tidak tau mengapa,
tapi aku menyukainya.

"Maafkan aku karena aku tidak bisa mengingatnya. Tapi apapun itu kau bisa
membalasku dan aku akan menuruti apapun keinginanmu." ucapnya dengan
satu tangan yang mengelus kepala ku lembut.

Aku yang mendengarkan itu hanya diam, sampai akhirnya aku mengingat
percakapanku dengannya di dapur beberapa saat yang lalu. Aku melepaskan
pelukan itu dan mundur satu langkah menjauh darinya.

"Perkataanmu barusan tidak masuk akal dengan apa yang sudah kau katakan
saat didapur." ucapku. Fahri memandang ku bingung.
"Apa maksudmu?"

"Saat didapur kau bilang kau ingin berubah dan kau meminta maaf karena
perbuatanmu yang kejam. Bukankah itu berarti kau mengingatnya? Tapi
barusan kau bilang kau lupa semuanya. Jadi itu sangat tidak masuk akal. Aku
tau kau membenciku. Tapi setidaknya jika kau memang ingin melakukan
sesuatu padaku, lakukan seperti biasanya. Jangan melibatkan perasaan ku.
Karena sejujurnya aku merasa jijik menyimpan perasaan untukmu. Aku tidak
menginginkannya. Aku membencinya." jelasku yang dengan suara yang
perlahan menjadi pelan karena tenggorokan ku terasa penuh akibat menahan
tangis.

Aku menunduk berusaha menahan air mata ku yang hendak jatuh mengingat
semua yang telah Fahri lakukan dan dia dengan mudahnya meminta maaf
dengan dalih lupa ingatan? Itu tidak masuk akal. Aku lebih memilih dia terus
menyiksa tubuhku dari pada harus melibatkan hatiku yang tidak ingin
terjebak perasaan seperti dulu lagi.

"Tidak, Wil. Bukan begitu." Fahri kembali mendekapku. Kini pelukannya


lebih erat dengan aku yang sudah menumpahkan air mataku di dadanya
merasakan satu tangannya yang besar mengelus kepala ku lembut.

"Aku sungguh tidak mengingatnya. Saat didapur aku hanya ingin


mempercepat pembicaraan kita dan aku hanya menganggap mu sedang
bergurau. Tapi setelah melihat beberapa bekas luka di tubuhmu, aku sadar
kalau kau sungguh-sungguh terluka. Dan yang menyakitkannya, aku tidak
mengingat kalau aku lah yang menaruh bekas luka itu padamu. Maafkan aku.
Aku mohon maafkan aku." ujarnya dengan suara yang tertahan di barengi
kecupan bibirnya pada kepalaku yang ia lakukan beberapa kali.

Aku yang mendengarnya menangis bertambah deras. Menangisi kebodohan


ku yang pada akhirnya aku jatuh dengan kata-kata yang baru saja Fahri
lontarkan. Hatiku berdetak sangat cepat dan aku tidak bisa menahannya. Aku
menyukai debaran itu. Rasanya seperti aku hidup lagi ketika pertama kali aku
menaruh perasaan pada Fahri.

Namun aku juga merasa jijik pada diriku. Aku sudah menetapkan hatiku
untuk tidak jatuh hati pada Fahri lagi. Tapi aku malah mengingkarinya
dengan aku yang membalas pelukan Fahri erat dan menaruh semua
tangisanku di pelukannya.

Setelah memakan waktu beberapa menit yang hanya digunakan dengan aku
yang menangis, akhirnya aku melepaskan pelukan itu dan mendongak untuk
menatap Fahri yang matanya berair.

"A-apa yang membuatmu menangis?" tanyaku dengan sesekali terdengar


isakkan tangisku yang tersisa.

"Aku tidak mengingatnya. Tapi aku bisa merasakan apa yang kau rasakan.
Tangisanmu terdengar memilukan." ujarnya yang kini tangannya beralih oada
wajahku dan mengusap sisa air mata yang ada di bawah mataku.
"Aku tidak suka mendengarmu menangis. Tapi aku mengerti. Kau sudah
melalui masa-masa yang sangat sulit. Aku memang tidak mengingatnya,
namun ku harap kau melakukan sesuatu padaku agar aku merasa lebih baik
karena sudah membuatmu seperti ini." ujarnya yang diakhiri dengan kecupan
bibirnya pada keningku.

Aku memikirkan sebentar ucapannya. Lalu kemudian aku menghirup napas


dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Apa aku sungguh boleh melakukannya?" tanyaku padanya. Fahri tanpa ragu
mengangguk. Aku yang melihatnya segera melakukan apa yang sudah ada
dalam pikiran ku.

Berjinjit kecil untuk menyamai tinggiku pada Fahri dan menaruh kedua
tanganku pada wajahku lalu kemudian memajukan wajahku untuk
menempelkan bibirku pada bibirnya. Menciumnya lembut dan melumatnya
secara perlahan.

Rasanya sangat mendebarkan. Terlebih lagi, aku merasa bagai dalam mimpi
melakukan hal ini dengan Fahri yang tidak memberontak dan malah
membalas lumatanku hingga membuat ciuman itu yang awalnya gerakannya
perlahan kini menjadi cepat dan menuntut.

Aku tidak tau keberanian ini datang darimana, karena setelahnya aku
mendorong tubuh Fahri hingga jatuh ke atas kasur dan membuatnya terbaring
dengan tubuh yang telentang. Dia menatap ku bingung, namun aku menjawab
tatapan bingung itu dengan mendekat dan ikut naik ke atas kasur. Bukan
hanya itu, aku bahkan duduk di atas tubuhnya. Lalu setelahnya aku sedikit
membungkuk untuk kembali melumat bibirnya.

Benar. Mungkin saat ini aku sudah berlagak seperti pelacur yang
sesungguhnya. Aku melumat bibir seseorang yang sudah menyiksaku dan
membuatku dalam masa sulit selama beberapa tahun. Aku bahkan
memasukkan bibirku ke dalamnya, berusaha mendominasi dalam permainan
bibir ini.

Namun pada akhirnya aku kalah. Fahri lebih pandai memainkan bibirnya
hingga kini dia lah yang memimpin permainan itu dengan dirinya berada di
atasku. Tidak menindihku, dia menggunakan kedua tangannya untuk
menopang berat tubuhnya agar tidak menindih tubuhku.

"Aku tidak ingat kalau nakal seperti ini." ucapnya dengan tersenyum
menggodaku yang sayangnya tidak ku anggap senyuman itu sebagai godaan.

"A-aku sudah lama menginginkannya. Kau memang melakukannya, tapi


sangat kasar dan membuatku tersiksa. Dan kini aku ingin kau melakukannya
dengan lembut dan membuatku menikmatinya." ujarku mengatakan hal yang
sebenarnya.

Itu benar. Fahri benar. Aku memang selalu menginginkan dirinya memasuki
ku. Tapi cara yang dia lakukan bukanlah yang aku inginkan sehingga aku
menolaknya. Dan sekarang setelah dia mengklaim dirinya lupa ingatan, aku
ingin menggunakannya agar aku bisa merasakannya.
Terdengar mengerikan. Tapi itulah satu-satunya yang bisa ku inginkan. Aku
tidak mungkin meminta agar tidak terlibat lagi dengannya. Aku sudah tidak
memiliki tempat tujuan, aku pun tidak bekerja. Jika aku meminta lepas
darinya. Nasib mu tidak ada jauh beda dengan aku yang selalu bersamanya.

Terlebih lagi setelah semua perkataannya dan perbuatannya beberapa saat


yang lalu. Membuatku mengingat betapa indahnya perasaanku padanya
dahulu. Saat aku selalu memandanginya. Berkhayal tentangnya. Dan
mengharapkannya yang selalu berada disisiku.

"Maafkan aku. Kali ini aku berjanji untuk melakukannya dengan sangat
lembut dan membuatmu menikmatinya." ucap Fahri dengan nada yang sangat
lembut.

"Ya. Lakukanlah." ujarku.

"Dan jangan lupa untuk menggunakan pengaman." tambahku yang teringat


kalau aku saat ini sedang berisi. Fahri menaikkan kedua alisnya bingung lalu
bertanya.

"Mengapa? Kita kan pasangan sah." ujarnya. Aku awalnya ragu untuk
mengucapkannya. Tapi pada akhirnya aku membeberkannya sehingga
membuatnya terkejut dengan dua mata yang terbuka lebar.
"Aku sedang mengandung, Fahri. Aku hamil." ucapku yang merubah suasana
menjadi hening dengan keterdiaman Fahri yang menatap ku dengan ekspresi
terkejutnya yang baru pertama kali ini ku lihat.

•••
Chapter 16

Saat ini aku sedang berada di Rumah Sakit.

Fahri memaksaku untuk ikut dengannya mengunjungi Dokter Timo untuk


memeriksa kebenaran atas ucapan ku beberapa jam yang lalu dan
membuatnya membatalkan keinginanku yang ingin bercumbu dengannya.

Entahlah. Aku tidak tau harus menjelaskannya seperti apa. Yang jelas, Fahri
terlihat bahagia dengan bibir yang tidak berhenti untuk tersenyum setelah
mendengar penjelasanku akan kehamilanku tadi. Dia terus memelukku dan
mengelus perutku yang masih rata. Ya itu hanya beberapa saat, sampai
akhirnya Fahri ingin melihat janin itu yang tentu saja belum terlalu terlihat di
layar USG yang saat ini ku jalani.

"Kau lihat? Bagian kecil yang bergerak itu adalah janinnya. Dia anakmu."
ucap Dokter Timo menunjukkan bagian kecil di monitor pada Fahri yang
matanya berkaca-kaca menatapnya lalu mengalihkan pandangannya ke
arahku.

"Aku tidak percaya. Aku akan menjadi seorang Ayah." ucapnya dengan suara
haru yang kemudian membungkuk untuk mencium perutku lembut. Dia
mengelus perutku lalu kemudian berkata.
"Terima kasih, Wil. Kau telah memberikan ku sebuah keajaiban dan
tanggung jawab untuk darah daging ku sendiri. A-aku aku bahagia." ujarnya.
Ia beralih dari perutku untuk mengecup bibirku pelan. Aku menerimanya dan
melumat bibirnya perlahan.

Ya. Saat ini aku sudah cukup melupakan sosok Fahri yang dulu. Aku mulai
menerima Fahri yang sekarang walaupun nanti pada akhirnya aku menyesali
keputusan ini. Aku sudah memikirkannya matang-matang, dan ku pikir ini
adalah pilihan yang terbaik. Bagaimanapun Fahri adalah pasangan sah ku,
dan aku ingin menikmati hari-hari ku dengannya dengan kebahagian. Seperti
yang ku harapkan selama ini.

Mataku teralihkan kala Dokter Timo berdesis dan membuat ku menoleh


padanya. Aku yang paham akan maksudnya, segera melepaskan ciuman itu
dan tersenyum hangat menatap Fahri yang juga tersenyum padaku.
Senyuman terlihat indah, sehingga membuat jantungku berdebar kencang
melihat ekspresi wajahnya yang benar-benar baru bagiku.

"Maaf. Tapi ada yang harus ku diskusikan dengan Wildan. Apa kau
keberatan menunggu diluar?" tanya Dokter pada Fahri.

Fahri berpikir sebentar. "Sebenarnya keberatan. Tapi karena kau seorang


Dokter. Baiklah." ucapnya.

"Aku tunggu diluar ya." pamit Fahri sebelum akhirnya berjalan keluar dari
ruangan ini.
Menyadari kepergian Fahri. Aku pun segera menatap Dokter Timo yang juga
berganti posisinya untuk menempati posisi berdiri Fahri.

"Sepertinya aku tidak perlu bertanya. Kau pasti paham maksud ku." ucapnya
yang tentu saja ku pahami. Apalagi kalau bukan masalah Fahri.

Aku menahan suaraku sebentar untuk menutup kembali perutku yang terbuka
lalu mengambil posisi duduk untuk menatap Dokter Timo lebih jelas.
Setelahnya aku mengedikkan bahu ku pelan.

"Itu terjadi begitu saja. Dia bilang mengalami kecelakaan kecil saat
perjalanan bisnisnya. Lalu semua ingatannya hilang, termasuk semua
perbuatannya padaku dulu. Aku tau itu membingungkan. Aku juga sulit
menerimanya, namun selama itu membuatku bahagia. Aku tidak keberatan."
ucapku menjelaskan.

"Apa kau memerlukan ku untuk memeriksanya?" tawarnya.

"Maksudmu?"

"Ya, siapa tau dia mengalami cidera pada otaknya sehingga mengalami lupa
ingatan. Tapi sepengetahuan ku jika orang lupa ingatan, itu juga bisa berarti
dia melupakan dirinya sendiri. Termasuk dirimu. Apa kau tidak
mencurigainya?" aku menggeleng pelan menjawabnya.
"Dia sudah menjelaskannya. Kalau setelah kepalanya terbentur, dia hanya
mengingat tentang ku dan pernikahan kami saja. Selebihnya tidak ada
penjelasan lain yang di berikan Fahri. Aku tidak menuntutnya, karena kondisi
saat ini tentu saja menguntungkan ku yang sudah lama menginginkan ini
terjadi. Kau lihat sendiri kan bagaimana reaksinya barusan?" ujarku. Dokter
Timo mengangguk.

"Aku hanya khawatir padamu. Tapi jika kau tidak masalah. Baiklah, kau bisa
melakukan apapun sesuai keputusanmu. Aku hanya seorang kenalan yang
tentu saja tidak bisa menganggu gugat keputusan itu." ujarnya. Aku
tersenyum mendengarnya.

Dokter Timo ikut tersenyum lalu mengulurkan satu tangannya untuk


mengelus kepala ku lembut.

"Baiklah. Kalau begitu pemeriksaannya selesai. Kau sudah bisa keluar untuk
menemui suamimu. Dan ingatlah untuk selalu bahagia. Jangan lupa juga
untuk kontrol kemari tentang kehamilanmu. Kau manusia langka kau tau."
aku terkekeh kecil mendengar nasihatnya, lalu kemudian aku turun dari
ranjang rumah sakit untuk memeluk Dokter Timo sebentar.

"Terima kasih sudah memberikan ku perhatian. Kau benar-benar sudah


banyak membantuku, Dok. Aku tidak akan pernah melupakannya." ucapku
yang ku akhiri dengan senyuman lebar menatapnya.
Dokter Timo mengangguk. "Ya. Aku paham akan kondisimu. Jadi ya, aku
melakukan apa yang harus ku lakukan. Sudahlah, sebaiknya kau cepat keluar.
Kau dengar kan, Fahri sudah mengetuk-ngetuk pintunya." ujarnya.

Aku mengerti karena aku memang mendengar ketukan pintu itu yang segera
saja ku hampiri dan mendapati sosok Fahri yang tersenyum hangat padaku.
Melihatnya membuatku lagi-lagi berdebar. Ini sangat jarang, maksudku, dia
tidak pernah melakukannya. Tersenyum seperti itu, karena biasanya ia selalu
memasang wajah datar dengan tatapannya yang mematikan.

Tapi lihatlah sekarang. Fahri sangat berbeda dengan ekspresi ramah yang
dikeluarkan dengan tatapan yang meluluhkan untuk ku lihat.

"Jadi...apa kita sudah bisa memanggil satu sama lain dengan sebutan Ayah-
Ibu?" tanyanya sambil dengan berjalan menuju keluar gedung rumah sakit.

Aku menoleh ke arahnya dengan satu alis yang ku angkat.

"Aku seorang pria, Fahri. Tidak mungkin sebutan ku Ibu." ucapku.

"Tapi kau mengandung. Bukankah kau sama saja seperti seorang Ibu?" aku
menggeleng kecil menjawabnya. Rasanya ingin sekali ku jelaskan kalau
kehamilan ku bukanlah murni atas mukjizat yang maha kuasa. Aku adalah
bahan eksperimen manusia gila yang membuatku memiliki rahim yang bisa
membuatku mengandung seperti ini.
Tapi aku menahannya karena aku masih meragukan perubahan Fahri yang
sangat drastis. Aku masih belum mempercayainya untuk menceritakan
kebenaran tentangku. Jadi aku menyimpannya sambil terus tersenyum
menatapnya yang terlihat sangat tampan.

"Apa ada sesuatu yang kau inginkan? Untuk merayakan kebahagiaan ku saat
ini. Tentu saja aku tidak akan mengabulkan permintaanmu seperti yang
sebelumnya." ujar Fahri saat kami sudah masuk ke dalam mobilnya.

Aku berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab.

"Ada hal yang selalu ku inginkan dari dulu saat aku masih remaja."

"Apa itu?"

"Aku selalu ingin memiliki kekasih secara romantis. Berpacaran, dan


berpergian untuk bermesraan. Tapi sepertinya itu sulit untuk dilakukan,
mengingat sekarang aku sudah tidak lagi remaja." ujarku mengutarakan
keinginanku yang tentu saja sulit untuk Fahri kabulkan.

Aku segera menatap ke sampingku begitu merasakan tanganku yang diremas


pelan oleh Fahri yang tersenyum hangat padaku.
"Mungkin kau sudah tidak remaja lagi. Tapi perasaannya akan tetap sama.
Maksudku, kita bisa bermesraan seperti layaknya orang pacaran. Apa kau
menginginkanya?" tanyanya. Aku yang mendengarnya tentu saja
mengangguk semangat.

"Baiklah. Kalau begitu persiapkan jantungmu, karena setiap hal yang akan
kita lakukan hari ini akan sangat mendebarkan." ujarnya terdengar pasti, lalu
kemudian mulai menyalakan mesin mobilnya untuk menjalankan mobilnya
menjauh dari parkiran rumah sakit.

Sementara aku yang baru saja merasakan kehangatan atas sikap Fahri yang
terlihat sangat perduli, menghirup napas dalam lalu menghembuskannya
perlahan.

Ya. Biarkanlah aku menikmati semua ini untuk sementara. Walau aku tau
suatu saat nanti kehangatan ini akan berubah karena Fahri yang lupa ingatan
mungkin akan mengingat semuanya lagi. Aku tidak masalah, asalkan aku
pernah merasakan kehangatan itu meski tidak bertahan lama.

•••
Chapter 17

Aku tidak menyangka saat Fahri bilang kalau ia ingin aku merasakan rasanya
pacaran itu adalah berada di dalam sebuah ruangan besar dengan suhu yang
cukup dingin diiringi oleh suara yang menggema setiap kali layar besar di
hadapan kami menampilkan adegan yang menyeramkan.

Itu benar. Saat ini aku dan Fahri sedang berada di dalam bioskop dengan film
bergenre horor yang tentu saja menyebabkan beberapa teriakan penonton
yang menganggu.

"Mengapa harus film horor?" tanyaku yang heran akan pilihan film yang
Fahri pilih. Dia bisa saja memilih film romantis untuk mewujudkan
keinginanku.

"Ya karena ku pikir kau akan ketakutan dan akan memelukku setiap kali
adegan menyeramkan muncul. Tapi sepertinya aku salah. Kau sama sekali
tidak ketakutan." ucapnya terdengar sedih.

Tentu saja. Film horor tidak ada apa-apanya dibandingkan perbuatanmu


padaku. Itu lebih menyeramkan daripada film horor yang saat ini tayang.
Ekspresi yang datar yang kau keluarkan membuat seluruh bulu pada tubuhku
merinding, apalagi setiap tatapan yang kau berikan padaku membuat
jantungku berdegup kencang merasa takut akan apa yang kau lakukan
selanjutnya.
Aku ingin sekali mengatakan itu semua. Namun aku menyadari kalau itu
percuma, mengingat Fahri yang sedang dalam mode lupa ingatan membuatku
urung melakukannya.

"Ya. Kurasa tidak buruk. Aku mungkin tidak ketakutan. Tapi suara penonton
lainnya bisa mengalihkan kita untuk melakukan ini." ujarku yang kemudian
meraih tangannya untuk ku genggam erat.

Tangannya sangat besar dan terasa sangat pas bagi tangan ku yang di
genggamnya. Dan ya, ini pertama kalinya ku rasakan menggenggam
tangannya secara langsung.

Aku tersenyum melihat wajahnya yang samar dan hanya disinari oleh
pantulan layar bioskop. Fahri membalas senyuman ku, sebelum akhirnya ia
memajukan tubuhnya ke arahku yang bisa ku pahami apa yang ingin lakukan
sehingga aku menutup mataku merasakan bibirnya yang menyentuh bibirku.

Fahri mulai menggerakkan bibirnya. Melumat bibirku yang terasa menyengat


bahkan sampai perutku yang kini mulai terasa menggelitik setiap kali
lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutku. Aku membiarkannya, sehingga
kini lidah kami saling bertemu dan menggerakkannya secara bersamaan.

Dan karena itu pula lah ciuman kami perlahan menjadi lebih cepat dan terasa
panas. Bahkan pendingin ruangan tidak berfungsi sehingga membuatku
cukup berkeringat sambil dengan satu tanganku yang menekan tengkuk Fahri
agar dirinya memperdalam ciuman kami.

Namun saat teriakan penoton yang dilakukan secara bersamaan. Membuatku


terkejut yang dengan cepat sadar kalau saat ini bukanlah tempat yang tepat
untukku maupun Fahri melakukannya. Aku melepaskan ciuman itu dan
segera menunduk sambil memperbaiki posisi duduk ku yang tadinya
menyamping.

Fahri mendesah kecewa. "Kenapa berhenti?" bisiknya kecil. Aku dengan


cepat menepuk bahunya pelan lalu berganti berbisik padanya.

"Kita sedang ditempat umum." ujarku.

"Lalu? Bukankah itu yang kau inginkan? Bermesraan ditempat umum? Kau
selalu mendambakannya kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk kecil.

"Memang. Tapi kondisi kita berbeda. Dan tentu saja sulit bagi mereka yang
tidak memahami hubungan semacam ini. Sudahlah. Aku ingin keluar saja,
filmnya tidak menyenangkan." ucapku yang kemudian berdiri dari dudukku
dan berjalan perlahan mencari jalan keluar ruangan yang diikuti Fahri dari
belakangku.

"Apa kau marah padaku?" tanya Fahri saat kami sudah berada diluar gedung
bioskop. Dirinya menahan tanganku sehingga membuatku menoleh padanya
dan mendapati wajahnya yang terlihat sedih dengan dia yang mempautkan
bibirnya.

Bagaimana mungkin?

Saat ini Fahri terlihat sangat menggemaskan dengan ekspresi wajahnya yang
sekarang. Ini benar-benar tidak masuk akal. Aku memang tidak pernah
melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu. Tapi serius, aku tidak menduga
kalau wajahnya akan terlihat sangat imut yang ingin sekali ku elus wajah itu.

Aku segera menggelengkan kepala ku menyadarkan diriku agar tidak


melewati batas. Mungkin aku sedikit memanfaatkan kondisi Fahri yang tidak
ingat apapun. Tapi walau begitu aku tidak ingin melewati batasku untuk
menyentuhnya semauku. Yang saat dirumah itu pun karena Fahri yang
menawarkannya. Bagaimanapun Fahri pernah mengatakan kalau aku harus
mengingat posisiku dalam kehidupannya. Jadi aku harus sadar akan
kondisiku sendiri.

"Tidak. Hanya saja aku tidak terlalu menyukai film horor. Bukan karena aku
takut. Tapi memang aku tidak menyukainya." ucapku menjelaskan lalu
mencoba menarik tanganku dari genggamannya.

"Begitu ya...kalau begitu, aku akan mewujudkannya dengan cara dewasa."


tukasnya. Aku yang mendengarnya menaikkan satu alisku menatapnya.

"Maksudmu?"
"Ayo. Biar ku tunjukkan apa maksudku." ujarnya yang tidak menjawabku
dan malah kembali meraih tanganku untuk ia tarik dan memaksaku masuk ke
dalam mobilnya. Setelahnya dia ikut masuk ke dalam dan menjalankan
mobilnya yang ternyata menuju suatu tempat yang tidak ku pahami tulisan
apa yang ada di logo tempat itu. Namun aku tau kalau tempat Fahri
membawaku adalah sebuah restoran.

"Apa kita akan makan?" tanyaku ragu saat sudah keluar dari dalam mobil,
begitu juga dengan Fahri yang sudah berdiri di sampingku.

"Ya. Makan malam romantis lebih tepatnya." ucapnya dengan senyuman


lebar di wajahnya.

"Ah...jadi ini maksudmu dengan cara dewasa." ujarku sambil


menganggukkan kepalaku.

"Iya. Apa kau sudah pernah mendengarnya? Ku pikir ini cara yang terbaik
agar kau terkesan, karena seingatku beberapa film romantis sering
melakukannya. Apa kau mau masuk? Aku sudah memesan atas namamu dan
aku." ucapnya.

"Kapan kau melakukannya?"

"Saat perjalanan kemari."


"Aku tidak melihatnya. Jangan membodohiku Fahri."

"Aku tidak. Mungkin saat itu kau sedang melihat ke arah lain. Aku
memesannya lewat pesan teks." jelasnya yang pada akhirnya aku setujui saja
karena tidak ingin berdebat lagi dengannya.

"Ayo, istriku. Kita habiskan malam ini dengan keromantisan hubungan kita."
ucapnya lengan yang ia ajukan di sampingku menyuruhku agar melingkari
lengan itu seakan-akan kami adalah pasangan yang harmonis.

Aku terkekeh kecil saat menyadarinya. Namun aku tetap melingkari lenganku
itu dan tersenyum simpul menatap orang-orang yang mulai memandang aneh
kepada kami.

Ya...untuk saat ini mungkin aku akan mengabaikan pendapat orang lain
tentang diriku. Selama Fahri tidak keberatan dengannya, kurasa itu tidak
masalah. Lagi pula kami hanya saling bergandengan bukankah itu wajar
untuk seorang pasangan sah seperti kami?

Aku tau hubungan kami berbeda dari yang seharusnya. Tapi bisakah untuk
kali ini aku mengabaikan fakta itu. Ya..kurasa aku bisa melakukannya. Oleh
karena itu aku dengan berani membalas menatap orang-orang yang
memandang kami dan memberikan mereka senyuman tipis agar mereka tau
kalau aku bahkan tidak perduli dengan pendapat mereka. Jadi dengan begitu
aku bisa dengan mudah melalui mereka sampai akhirnya kami sampai di
meja pesanan yang Fahri ucapkan tadi.

Dan saat aku duduk di salah satu kursi yang Fahri keluarkan. Aku baru
menyadari kalau restoran ini sangat mewah, nuansanya benar-benar
membuatku terperangah dengan pernak-pernik dibeberapa bagian restoran
ini. Entahlah aku tidak bisa menjelaskannya begitu rinci, karena ini pertama
kalinya bagiku merasakannya yang tentu saja mendapat respon kekehan dari
Fahri yang memperlihatkanku.

"Maaf. Pasti aku kelihatan norak." ujarku sambil menunduk menatap meja.
Fahri tertawa kecil mendengarnya.

"Tidak. Aku hanya menyukai ekspresi wajahmu saat menatap ke sekeliling.


Kau menggemaskan." ujarnya. Aku kembali mendongak menatapnya.

"Aku tidak menggemaskan Fahri. Jika memang benar, banyak orang yang
akan menyukai ku. Namun sampai sekarang pun belum pernah ku temui
orang-orang yang benar-benar menyukaiku." ucapku.

Fahri menaikkan kedua alisnya menatapku. "Bagaimana denganku? Aku


sungguh-sungguh menyukaimu. Bahkan mencintaimu." ucapnya dengan
penuh percaya diri. Aku yang mendengarnya tertawa kecil dalam hati.

Jika dirimu yang sebenarnya dihadapan ku, sangat mustahil bagimu untuk
mengucapkan itu. Tapi karena kondisi saat ini berbeda ucapannya barusan
cukup mengenai perasaan ku yang menghangat yang sayangnya harus
digantikan dengan perasaan malu kala menyadari pakaianku yang sangat
sederhana berbeda dengan beberapa orang tamu yang menekan setelan jas.

"Ada apa? Kau terlihat gelisah." tanya Fahri yang memutuskan pindah kursi
yang tadinya duduk dihadapan ku dan kini ia berada disampingku.

"Aku pasti membuatmu malu ya?" tanyaku pelan.

"Maksudmu?"

"Pakaianku. Aku mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Berbeda


dengan tamu-tamu lainnya."

Fahri yang mendengar ucapanku bernapas lega.

"Kupikir ada apa. Tenanglah. Kita kesini untuk makan. Lagipula pakaian kita
tidak jauh berbeda? Mengapa harus malu? Sudahlah, ayo kita memesan."
ujarnya lalu memanggil pelayan untuk memesankan pesanan kami berdua.

Aku tidak begitu mengerti dengan menu yang tersedia, jadi aku hanya
mengikuti Fahri dan menyantap makanan yang dia pesankan. Dan itu enak,
sayangnya aku tidak menemukan keromantisan yang Fahri ucapkan. Aku
tidak tau apa yang salah, tapi sepertinya memang itulah bawaan sikapnya dan
aku memahaminya.

Tapi sepertinya aku salah. Karena setelah makan malam, Fahri membawaku
ke suatu tempat yang sangat indah yang tepatnya berada di atas bukit dan
memperlihatkan keindahan lampu-lampu kota yang bersinar.

Angin malam yang sejuk membuatku menghirup napas dalam-dalam


menikmati semua keindahan yang memanjakan mataku.

Tidak banyak orang disini karena hanya beberapa orang saja yang juga
sedang berpacaran yang lebih tepatnya berbuat mesum di dalam kegelapan.
Aku tidak memperdulikan mereka dan memilih untuk berbalik untuk menatap
Fahri yang sedari tadi menatap ku.

"Kau menyukainya?" tanya Fahri. Aku tersenyum lembut lalu kemudian


menjawab.

"Ya. Aku sangat menyukainya. Harusnya kau bawa aku kesini lebih awal."
ujarku lalu menaruh kedua tanganku mengalungi lehernya.

"Aku ingin. Tapi di waktu seperti ini lah yang tepat. Karena disini sangat
tentram dan terasa mendebarkan untuk kita bermesraan. Apa aku benar?"
ujarnya yang hanya ku jawab dengan anggukan kepala.
Fahri tersenyum sangat hangat padaku sebelum akhirnya ia memajukan
wajahnya dan mencium bibirku dengan lumayan yang lembut yang
membuatku terlena dan akhirnya terpejam menikmati ciuman itu yang terasa
mendebarkan.

Seluruh tubuhku rasanya melayang dengan jantungku yang berdegup sangat


kencang sehingga aku enggan melepaskan ciuman ini begitu saja. Aku ingin
menikmatinya, selama yang aku inginkan.

Diiringi degan semilir angin yang berhembus menyejukkan aku


memperdalam ciuman itu dan melumat bibirnya yang juga haus akan bibirku.

Momen ini akan aku selalu kenang. Kapanpun itu, dan apapun yang terjadi
nantinya. Ini adalah yang terbaik sejauh ini dalam hidupku. Dan aku tidak
akan pernah melupakannya bagaimanapun keadaannya.

•••
Chapter 18

Hari-hari berlanjut dengan penuh kebahagiaan dan itu sudah berjalan hampir
satu bulan lamanya.

Dan kini aku berharap kalau semua ini akan terus berlanjut selamanya karena
bagaimanapun aku menyukainya.

Menyukai perubahan sifat dan sikap Fahri yang peduli padaku. Selalu
memperhatikan ku, dan terus mengucapkan kata-kata sayang padaku. Itu
sangat berarti pada perasaan ku yang mulai luluh padanya. Aku mulai
menerima keadaanya dan sedikit melupakan seluruh perbuatannya di masa
lalu.

Dan kini aku juga busa merasakan rasanya memiliki seorang suami yang sah.
Memasakkan makanan untuknya, menyiapkan keperluan bekerjanya. Dan
lain sebagainya yang membuatku menikmati hidupku mulai sekarang.

Aku juga mulai menemukan cahaya kehidupan yang selama ini ku impikan
dengan janin dalam perutku yang sudah berkembang, aku selalu bersyukur
dan berterima kasih atas semua yang telah terjadi akhir-akhir ini. Tidak ada
lagi kesengsaraan yang ku alami. Semuanya berjalan sangat mulus sesuai
dengan yang ku harapkan sejak lama.
Apa mungkin semua ini hanya hayalan ku saja? Atau ini bunga tidur ku? Jika
itu memang benar, aku mohon jangan bangunkan aku. Aku rela untuk tertidur
selamanya jika mimpiku seperti ini. Aku tidak akan kuat jika semua yang ku
alami sekarang ini hilang dan kembali merasakan malangnya hidupku.

Dan jika memang ini semua nyata ku harap ini akan berlangsung selamanya.
Dan ku harap ini adalah akhir yang bahagia yang selama ini ku idamkan.

"Bagaimana, apa aku terlihat menawan mengenakan dasi ini?" tanya Fahri
saat selesai ku pasang dasi pada kerah bajunya.

Aku mengangguk dan tersenyum hangat.

"Tentu saja. Kau terlihat sangat menawan dan berwibawa." ujarku jujur. Kini
giliran Fahri yang tersenyum lalu menaruh satu tangannya di atas kepala ku
untuk mengusap rambutku lembut.

Setelahnya ia mengecup kening ku, hidungku, kedua mataku, dan berakhir di


bibirku.

"Aku sangat menyayangimu kau tau." ucapnya.


"Iya aku tau. Aku juga menyayangimu. Sudah berangkatlah, nanti kau
terlambat. Kau kan bos besarnya, jika bos besar sepertimu terlambat
bagaimana dengan bawahannya?" ucapku mengingatkannya.

"Iya-iya. Kalau begitu aku berangkat dulu ya. Kau juga jangan terlalu banyak
beraktivitas. Perbanyaklah istirahat dan tunggu Dokter Timo tiba." ujarnya
yang sudah kesekian kalinya ku dengar.

Aku terkekeh kecil mendengarnya lalu kemudian mendorong tubuhnya


menjauh. Namun Fahri menolaknya, untuk mengecup lembut perutku yang
tentu saja masih rata.

"Aku harus berpamitan pada bayiku dulu baru aku bisa berangkat." ucapnya
yang kemudian tersenyum ke arahku. Aku menggeleng kecil melihatnya, lalu
kembali mendorongnya agar segera pergi bekerja. Dan dia melakukannya
dengan masuk ke dalam mobilnya lalu menjalankannya menuju ke tempat
kerjanya.

Menyadari sosoknya yang sudah pergi, aku pun menguap merasa kantuk
yang tiba-tiba menyerangku. Entahlah, padahal aku tidak bergadang dan
melakukan aktifitas berlebih. Tapi aku merasa lelah dan perlu beristirahat.
Mungkinkah ini gejala untuk usia kehamilanku yang satu bulan? Sama
halnya seperti gejala pagi hari waktu itu?

Aku tidak tau. Yang jelas aku tidak boleh tidur dulu dan menunggu Dokter
Timo datang untuk menemaniku. Namun sebelum itu aku membersihkan
diriku dulu lalu menyiapkan beberapa hidangan agar Dokter Timo bisa
menyantapnya dan tidak merasa bosan saat menemaniku seperti sebelum-
sebelumnya.

Dan setelah selesai aku pun beristirahat di sofa menunggu Dokter Timo yang
tiba beberapa puluh menit kemudian. Dia tersenyum kala aku menyambutnya
dan memberiku pelukan singkat sebagai sapaannya.

"Apa kau menungguku?" tanyanya. Aku mengangguk kecil lalu


menyuruhnya masuk dan duduk di sofa.

"Tidak seperti biasanya. Apa kau tidak mengantuk lagi hari ini?" kini aku
menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu.

"Sebenarnya mengantuk. Namun setelah mandi rasa kantuk itu hilang.


Bagaimana denganmu, apa ada kabar baik lainnya tentang kandunganku?"

"Oh iya. Kalau menginginkan sesuatu seperti minuman dan makanan, kau
bisa mencarinya di dapur. Anggap saja rumahmu sendiri." tambahku.

"Aku memang sudah menganggapnya saat pertama kali menginjakkan kaki


ku kerumah ini. Jadi tidak perlu mengkhawatirkan ku. Yang aku khawatirkan
saat ini adalah tentangmu, Wil." ujar Dokter Timo yang entah mengapa nada
bicaranya berubah menjadi serius dan mencekam.
Aku menatapnya beberapa saat merasakan jantung yang perlahan berdetak
kencang merasa ragu untuk mendengarkan kekhawatiran yang Dokter Timo
maksudkan.

"Ten-tentangku?" tanyaku dengan nada yang gugup. Dokter Timo


mengangguk kecil lalu mempersempit jarak duduknya padaku.

"Setelah beberapa penelitian di Rumah Sakit. Aku maupun Dokter lainnya


menemukan kesulitan untuk mencari cara agar persalinanmu lancar.
Sebenarnya kami sudah memutuskannya, tapi itu tetap mengkhawatirkan
karena bisa saja cara itu bisa membahayakanmu. Apalagi rahimmu sangat
rapuh akibat bekas keguguran atas kehamilanmu sebelumnya. Jadi aku
maupun Dokter yang lainnya sangat khawatir dan kami masih mencari cara
yang terbaik untukmu dan juga janin dalam perutmu." jelas Dokter Fahri.

Sementara aku yang mendengarnya terdiam beberapa saat mencerna semua


ucapannya sampai akhirnya aku mendapatkan kesimpulan atas ucapan Dokter
Timo tadi.

"Apa itu berarti ada kemungkinan aku akan mati?" tanyaku dengan perasaan
ku yang terasa hampa seketika. Begitu juga dengan otakku yang terasa
kosong menerima fakta yang baru saja ku dengar.

Dokter Timo menggeleng kuat.


"Kami masih mencari solusinya. Lagipula masa kehamilanmu masih lama.
Masih banyak waktu bagi kami memutuskan pilihan yang tepat. Jadi kau
tidak perlu khawatir. Aku memberitahumu kabar ini agar kau lebih berhati-
hati dan menjaga kehamilanmu dengan baik, agar nanti semuanya berjalan
lancar." ujarnya yang hanya ku tanggapi dengan keterdiaman ku menatap
meja kecil di hadapanku.

"Hei." panggil Dokter Timo dengan tepukan pada bahuku yang membuatku
tersadar dan mendongak menatapnya.

"Jangan kau pikirkan, oke? Aku mengatakan semua itu agar kau lebih
menjaga dirimu, bukan menambah beban pikiranmu. Semua akan baik-baik
saja. Percayalah." ucapnya. Dengan satu tangan yang mengelus punggungku
berusaha membuatku tenang dan menganggap kabar yang ia sampaikan
hanyalah lelucon biasa.

Tapi hingga malam menjelang dan Dokter Timo sudah pulang. Aku masih
belum melupakannya, aku yang tetap pada lamunanku memikirkan semua
ucapannya yang terngiang-ngiang dalam otakku membuatku lupa waktu dan
tidak melakukan apapun sampai akhirnya suara mobil Fahri terdengar yang
membuatku tersadar akan lamunanku dan segera berdiri untuk berjalan
menuju pintu utama dengan niat menyambut kepulangannya.

Namun sepertinya aku menyesalinya. Harusnya setelah aku mendengar kabar


dari Dokter Timo aku pergi dari sini dan melarikan diri. Karena saat
pemandangan Fahri yang ramah dan penuh kasih sayang sudah tiada.
Wajahnya yang datar dengan tatapannya yang tajam sekaligus dingin kembali
hadir. Ia menatapku dengan penuh amarah sampai akhirnya ku rasakan
tangannya yang mencekik leher ku kuat. Membuatku kesulitan bernapas dan
memukul-mukul tangannya agar menghentikan aksinya.

"Fahrrk" ucapku dengan suara yang tidak jelas memanggil namanya.

Fahri tidak mendengarkan, dia tetap melakukan dengan suara yang ia


keluarkan terdengar sangat dingin dan mencekam.

"Kau pasti menikmatinya, huh. Kau sudah memanfaatkan ku sejauh ini tanpa
berniat membuatku mengingat semuanya kembali. Kau memang jalang yang
memanfaatkan segala kemungkinan. Manusia tidak tahu diri!" ucapnya yang
diakhiri dengan mendorong tubuhku kuat hingga aku mundur beberapa
langkah sebelum akhirnya aku tersungkur jatuh ke lantai.

Perasaan takut yang sempat ku pendam beberapa minggu ini kembali muncul,
membuatku takut menatapnya dengan jantungku yang berdegup kencang
begitu juga seluruh tubuhku yang bergemetar karena masih bisa merasakan
cekikannya pada leherku.

Namun mengingat semua perlakuannya akhir-akhir ini, membuatku berani


untuk mendongak menatapnya.

"Fa..Fahri..apa yang terjadi?" tanya ku susah payah.


"Apa yang terjadi? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu. Apa kau kecewa
karena aku sudah kembali seperti aku yang sebelumnya? Cih!" ucapnya yang
kemudian bisa ku rasakan rasa sakit pada wajah bagian kananku saat kakinya
menendang cukup kuat wajahku.

Aku meringis kesakitan sambil terus berusaha menahan air mataku agar tidak
keluar. Karena aku tau, jika aku melakukannya, keadaannya akan semakin
parah. Namun sayangnya aku tidak menahannya lebih lama kala kembali
kurasakan sakit pada salah satu pahaku akibat Fahri yang menginjaknya
sangat kuat yang pada akhirnya membuatku menjerit kesakitan.

"Sakit, Fahri.. sakit.. ku mohon hentikan." ucapku sambil memegangi


kakinya yang menginjak pahaku. Namun bukannya rasa sakit itu berkurang,
Fahri malah menambahnya dengan menjambak rambutku kuat, membuatku
bertambah menjerit kesakitan dengan air mata yang sudah deras mengalir di
wajahku.

"Sakit? Ini tidak seberapa dengan rasa jijik yang ku rasakan mengingat saat-
saat bersamamu kala aku bukan menjadi diriku sendiri. Rasanya aku ingin
membunuhmu karena rasa jijik ku yang terlalu besar." ucapnya lalu
kemudian ia menggunakan lututnya untuk mengenai daguku yang terasa
sangat menyakitkan dan pada akhirnya membuatku terjatuh di lantai dengan
posisi setengah tengkurap.

Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi saat ini aku melihat darah yang mengalir
di lantai yang berasal dari mulutku. Darah itu membuatku lemas dengan
pandangan ku yang mengabur dan hendak tidak sadarkan diri.
Namun sebelum itu terjadi, aku mendengar suara seorang wanita yang
tertawa keras yang kini berdiri di depan wajahku. Aku tidak begitu jelas
mendengar apa yang wanita itu katakan. Tapi satu hal yang aku tau pasti
tentang wanita itu.

Dia adalah Ibu Fahri, yang saat ini menaruh satu kakinya pada wajahku
sebelum akhirnya aku tidak melihat apapun lagi karena semua pandangan ku
menghitam tidak sadarkan diri.

•••
Chapter 19

Aku membuka mataku dengan berat karena mendengar suara wanita yang
mendesah sangat kencang yang membuatku terganggu dan pada akhirnya
tersadar dari diriku yang tidak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama aku terbaring lemah. Tidak, aku tidak dalam posisi
berbaring saat ini. Aku baru menyadari kalau aku dalam kondisi duduk
dengan kedua tangan ku yang mengangkat dan teriak oleh tali yang ada di
atasku.

Aku merasa panik dan langsung memberontak agar ikatan tali itu melepaskan
kedua tanganku. Namun semuanya nihil karena tali itu terikat sangat kuat di
tambah lagi seluruh tubuh terasa sakit apalagi pada bagian wajahku,
membuatku kehabisan tenaga dan akhirnya menyerah untuk memberontak.

Suara desahan itu kembali mengalihkan diriku yang memicing untuk


memastikan apa yang saat ini sedang terjadi karena ruangan ini sangat samar
dan hanya disinari cahaya temaram yang berasa dari atas meja nakas.

Aku tau dari mana suara itu berasal namun aku baru menyadari kalau
desahan itu karena seorang wanita yang saat ini sedang menaikkan-turunkan
pinggulnya di atas kasur yang bisa ku lihat jelas bongkahan bokongnya yang
besar.
Melihatnya tentu saja aku paham apa yang saat ini ku lihat. Desahan yang
wanita keluarkan, disertai suara benturan antara kulitnya dengan kulit
seorang pria yang ada dibawahnya, tentu aku tau apa semua itu.

Dan itu membuat hatiku terasa sakit kala suara Fahri menyapa meminta
wanita itu agar mempercepat gerakannya untuk memuaskan dirinya yang
suaranya terdengar serak dan penuh nafsu. Rasanya sangat menyakitkan,
bagaikan jantungku ditusuk ratusan jarum yang menancap begitu cepat.

Air mataku mengalir sangat deras menangisi semua perbuatan Fahri saat ini.
Aku yang baru beberapa minggu ini merasakan kebahagiaan bersamanya
harus segera hilang begitu seluruh ingatannya kembali.

Aku tidak tau pasti apa yang membuatnya mengingat semuanya. Tapi begitu
aku ingat terkahir kali Ibunya datang, aku yakin kalau pasti semua ini ulah
Ibunya. Aku tidak menuduhnya tapi aku yakin itu benar.

Namun semuanya sudah terjadi dan aku tidak bisa melakukan apapun selain
menyaksikan semua percumbuan antara Fahri dan juga wanita yang tidak ku
kenal hingga akhirnya permainan mereka berakhir dengan wanita itu yang
keluar dari kamar yang baru ku sadari ternyata kamarku sendiri dan Fahri
yang bangkit dari kasur dan berjalan ke arahku dengan tubuhnya yang
telanjang.

"Apa? Apa kau menginginkan penisku juga?" ujarnya dengan suara yang
dingin sama persis seperti terakhir kali aku mendengarnya.
"Baik. Emutlah ini." ucapnya yang kemudian memajukan benda miliknya
yang masih mengeras ke arah mulutku. Aku menolaknya dan menutup rapat
mulutku sambil memalingkan wajahku darinya.

"Apa ini? Kau tidak mau. Kau kan seorang pelacur. Bagaimana mungkin kau
tidak menginginkannya. Isap ini." Fahri kembali berusaha memasukkan
benda itu ke mulutku yang tertutup.

Aku tetap bersikeras menolaknya dan menggeleng kuat agar Fahri


menghentikan aksinya. Tapi yang ku dapat adalah tamparan keras darinya
menyuruhku agar membuka mulutku.

"Aku bilang hisap ya hisap bajingan!" marahnya membuatku membuka


mulutku yang segera saja penuh oleh benda milik Fahri yang besar.

Rasa mual segera menyerangku kala merasakan benda milik Fahri yang
memaksa masuk ke dalam tenggorokan ku. Aku ingin mengeluarkannya, tapi
Fahri tidak membiarkan ku melakukannya. Ia mendorong masuk benda itu
hingga akhirnya membuatku terbatuk dengan air liur yang berceceran
kemana-mana dan itu membuat Fahri murka yang kemudian bisa kurasakan
pukulannya pada wajahku.

"Berani sekali kau memuntahkannya! Cepat jilat semua itu!" perintahnya


yang segera saja ku laksanakan, aku menjilat semua air liurku yang keluar
pada benda miliknya yang membuatku ingin kembali muntah akibat mual.
Namun sebisa mungkin ku tahan agar Fahri tidak mengamuk lagi.

Setelah selesai ku bersihkan dan menjilat kembali air liur ku sendiri. Fahri
memasukkan kembali benda miliknya yang kini ia tidak terlalu memaksa
masuk dan bergerak secara perlahan. Namun walau begitu aku tetap tidak
menikmatinya. Hatiku terlalu hancur untuk bahkan menikmati penis
miliknya, aku kesulitan menghirup napas merasakan sakit pada bagian
dadaku yang menyadari semua impianku hancur lebur begitu saja.

Aku terbangun dari mimpi indahku, dan kini aku terjatuh setelah melambung
tinggi beberapa minggu. Aku mungkin sudah memperkirakan Fahri akan
mengingat kembali. Tapi ku pikir Fahri akan memikirkan kembali diriku
setelah waktu yang kami lalui beberapa hari ini. Ternyata ia tidak
menganggap semua momen itu sebagai kenangan indahnya. Ia tetap
menganggapku pelacur yang bisa ia siksa sesukanya.

Memikirkannya membuatku cukup marah hingga tanpa sadar aku


menggunakan gigiku untuk menggigit penis Fahri yang segera saja ku dengar
erangannya yang mengejutkan ku yang baru sadar atas kesalahan yang telah
ku perbuat.

Fahri terlihat sangat marah.

Dia meraih rambutku dan meremasnya sangat kuat sebelum akhirnya ia


membenturkan kepalaku ke dinding dengan kuat beberapa kali. Rasanya
sangat sakit, aku bisa merasa pusing saat ke sepuluh kalinya Fahri
membenturkan kepala ku kesana.

"Berani-beraninya jalang sepertimu bertingkah! Apa kau berpikir kalau aku


baik padamu karena masih membiarkanmu hidup? Kalau kau berpikir
demikian. Kau sudah berpikir hal yang salah." ucapnya lalu kemudian Fahri
menggunakan lututnya untuk memukuli ku yang sangat tepat mengenai
wajahku dan melakukannya beberapa kali.

Itu sangat sakit, apalagi bisa ku rasakan tulang hidungku yang patah karena
lutut Fahri yang terus mengarah kesana sehingga kini darah mengalir deras
dan menetes ke lantai saat Fahri selesai melakukannya dan aku menunduk
berusaha menahan sakit yang tentu saja tidak bisa ku lakukan.

Aku menangis tersedu melihat semua darah yang mengalir pada hidungku
yang membuatku enggan mendongak walaupun Fahri memaksaku untuk
menatapnya.

"Tatap aku, sialan!" teriaknya lalu ku rasakan kakinya yang melayang


mengenai kepalaku.

Tidak merasakannya dua kali, aku pun mendongak menatap wajahnya yang
terlihat samar namun bisa kurasakan kemarahan yang mendalam pada
dirinya.
"Dengarkan aku baik-baik, jalang. Apa kau saat ini masih ingin hidup? Apa
kau ingin kembali berada dalam pengawasan ku dan melayaniku seperti
sebelumnya? Katakan yang sebenarnya, maka aku akan memikirkannya."
ucapnya yang memberiku penawaran.

Aku yang mendengar itu ingin sekali menjawab tidak. Aku sudah tidak tahan
dengan semua ini aku berharap aku segera mati dan terbebas dari siksaanku,
dari kejamnya dunia ini padaku. Namun aku tidak bisa mengatakannya kala
aku teringat akan satu nyawa yang saat ini sedang berkembang dalam
perutku. Aku sudah berjanji untuk membuatnya melihat dunia walaupun
sesulit apapun rintangannya. Dan dialah satu-satunya alasan ku ingin tetap
hidup.

Oleh karena itu aku menjawabnya dengan anggukan kecil dan berkata dengan
suara yang amat pelan.

"Ma-maafkan aku...biarkan aku hidup, ku mohon." ucapku lalu menunduk


karena sudah tidak tahan menahan berat kepalaku apalagi dalam kondisi
tanganku yang masih terikat.

Suara tertawaan yang mengerikan tidak membuatku teralihkan. Aku tetap


menunduk sambil menunggu perkataan Fahri selanjutnya. Namun
perkataannya yang berikutnya membuatku menggeleng kuat karena itu sangat
sulit untuk ku turuti.
"Jika kau ingin tetap hidup. Gugurkan kandunganmu. Itulah caramu agar
tetap ingin berada di dunia ini." ucapnya yang membuat seluruh tubuhku
menegang menatapnya tidak percaya.

"Akh..a-aku tidak bissah melakukannya. Aku tidak ingin menggugurkannya,


Fahri. Aku ingin melahirkannya, membesarkannya, makanya aku masih ingin
hidup di dunia ini. Setidaknya dia lah alasan ku ingin hidup." ucapku
menjelaskan alasanku yang menolak penawarannya.

Fahri dengan tegas membalas.

"Aku tidak perduli bajingan! Jika kau ingin hidup. Bunuh anak sialan dalam
perutmu itu sebagai pertukaran nyawamu! Jika tidak, maka kau yang akan ku
bunuh yang tentu saja membunuh anak dalam perutmu itu." ujarnya yang
membuatku terdiam beberapa saat kehabisan pikiran untuk membalasnya.

Aku sangat takut dan bergemetar. Tapi aku harus bisa menjawabnya agar aku
maupun calon anakku tetap selamat sesuai janjiku.

"I-ini juga anakmu, Fahri. Aku mohon, biarkan aku membuatnya melihat
dunia. Aku berjanji tidak akan membuatmu kesulitan. Aku tidak akan pernah
memintamu untuk bertanggung jawab atasnya. Aku hanya ingin kau
membiarkanku dan calon anakku untuk tetap hidup. Itu saja. Aku mohon
padamu Fahri, kabulkan permintaanku." ucapku dengan suara yang tersedu-
sedu akibat tangis.
"Aku bilang aku tidak perduli, ya aku tidak perduli, sialan!" amuknya yang
kemudian melayangkan satu tendangan yang kuat yang tepat mengenai
bagian perutku. Membuatku terkejut karena merasakan sakit dan nyeri pada
bagian dalam perutku.

Namun sayangnya Fahri tidak melakukannya sekali. Tapi dia menendang


perutku berkali-kali dengan mulut yang terus berkata-kata.

"Aku sudah menyuruhmu untuk menggugurkannya dengan cara yang baik-


baik. Tapi kau menolaknya. Kalau begitu biar aku yang menggugurkannya
dengan cepat dan membunuh calon anakmu dengan cara yang
menyenangkan." ucapnya yang terus saja memberikan tendangan itu pada
perutku.

Aku yang merasakannya tidak sanggup berkata-kata lagi. Aku hanya diam
dalam tangisanku yang mengeras, air mataku bertambah deras yang mengalir
sangat lancar di wajahku. Aku tidak bisa melakukan apapun. Aku tidak bisa
menghindari karena kedua tanganku yang terikat. Jad aku hanya bisa pasrah
hingga pada akhirnya kembali tidak sadarkan diri karena sakit yang luar biasa
pada bagian perutku.

Dan kali ini aku sangat berharap kalau aku tidak akan membuka kedua
mataku lagi. Aku sangat berharap semua ini berakhir dan aku sudah pergi
untuk selamanya dari dunia ini. Dunia yang kejam dan tidak pernah berpihak
padaku.
Tidak ada alasan lagi bagiku untuk hidup. Satu-satunya harapanku sudah di
musnahkan oleh Fahri. Jadi aku rela jika memang aku sudah tidak akan
membuka mataku untuk melihat dunia yang hanya diisi oleh Fahri dan
kekejaman. Aku tidak kuat, aku tidak tahan. Dan aku....

.....menyerah pada hidupku sendiri. Dan itu semua karena iblis yang
berwujud manusia bernama Fahri. Sehingga tidak ada satupun cahaya
kehidupan bagiku untuk menikmatinya, dan kini aku memilih untuk
meninggalkannya.

Untuk selamanya.

•••
Chapter 20

Pada akhirnya aku kembali membuka mata dengan kondisiku yang sangat
parah.

Seluruh tubuhku terasa sakit dan sulit untuk di gerakkan. Yang bisa ku
lakukan hanya menangis hingga mendengar suara pintu yang terbuka yang
baru kusadari kalau saat ini aku sedang berada di bangsal rumah sakit saat
mencium bau khas obat-obatan yang menyengat.

Aku berpikir kalau yang membuka pintu adalah Fahri, jadi aku memutuskan
untuk memejamkan mataku menghindari dirinya yang mungkin saja akan
melontarkan kata-kata yang menyakitkan. Namun perkiraan ku salah, yang
datang adalah Dokter Timo yang menyapa ku dan menanyai keadaanku.

"Aku tau kau sudah sadar. Bangunlah, Fahri tidak akan kemari setelah ku
katakan kau masih dalam keadaan koma." ucapnya yang membuatku sedikit
lega sehingga aku membuka kedua mataku menatapnya yang tersenyum pilu.

"Aku tidak mengerti apa yang terjadi padamu. Tapi aku sangat prihatin
padamu, Wil. Kau sudah ku anggap sebagai adikku sendiri. Aku selalu
memperhatikanmu. Namun baru beberapa jam aku meninggalkanmu kau
sudah terluka parah seperti ini. Apa kau sungguh tidak ingin
mengatakannya?" ucapnya yang kini matanya mulai berkaca-kaca.
Melihatnya membuatku sedih dan kembali mengingat hatiku yang hancur
lebur atas perbuatan Fahri padaku. Aku menangis sejadi-jadinya dan
mengeluarkan seluruh air mataku yang tentu saja tanpa suara.

Dokter Timo mengelus rambutku lembut lalu kemudian ikut menangis


bersamaku yang memakan waktu cukup lama sampai akhirnya tangisan itu
berhenti dengan kami yang hanya diam satu sama lain.

Aku mengangkat satu tangan ku untuk meraba perutku yang rata dan terasa
sangat nyeri saat aku menyentuhnya akibat tendangan yang Fahri lakukan
padaku.

"Dia sudah tiada, Wil." ucap Dokter Timo yang mengerti akan maksudku.

Aku yang mendengarnya perlahan kembali mengeluarkan air mata dengan


tanganku yang ku genggam kuat.

"Kau mengalami keguguran untuk yang kedua kalinya. Rahimmu rusak dan
terpaksa kami angkat demi menyelamatkan nyawamu. Semua bekas luka dan
lebam yang ada di sekitar perutmu adalah salah satu akibat mengapa hal itu
terjadi. Dan aku yakin ini semua ulah Fahri. Aku benar kan?" ujar Dokter
Timo yang tidak perlu ku jawab lagi. Karena aku tidak ingin mengatakan
apapun karena merasa marah pada diriku sendiri yang pada akhirnya aku
berteriak sangat kencang dan memberontak kuat mengabaikan seluruh rasa
sakit yang ku rasakan.
Aku melepas selang infus pada lenganku lalu mengacaukan semua yang ada
di sana. Aku berteriak histeris seperti orang gila karena merasa tidak lagi
berguna untuk hidup.

"KENAPA!? KENAPA AKU MASIH HIDUP!!? HARUSNYA AKU


MATI! MATI!" teriak ku untuk kesekian kalinya.

Dokter Timo sudah memelukku erat berusaha menenangkan ku yang tentu


saja tidak berpengaruh. Aku malah melepaskan pelukannya dan memegang
kerah bajunya untuk menatap tepat pada matanya.

"MENGAPA KAU MENYELAMATKAN KU!? HARUSNYA KAU


MEMBIARKANKU MATI! AKU TIDAK INGIN HIDUP KEMBALI!
HIDUPKU SANGAT MENYEDIHKAN DAN PENUH PENDERITAAN.
AKU SUDAH TENANG DENGAN HARAPAN PENUH KALAU AKU
TIDAK AKAN MEMBUKA MATA LAGI! AKU...akuu..tidak punya alasan
lagi untuk hidup. Aku ingin mengakhirinya, Dok! Aku tidak kuat! Aku
menyerah!" teriakku lalu memeluknya dan menenggelamkan wajahku di
dadanya. Menangis sejadi-jadinya walaupun rasa lemas ku rasakan.

Dokter Timo membalas pelukanku erat dan terus mengelus rambutku sambil
beberapa kali mengatakan ungkapan tenang dengan nada yang bergetar akibat
tangis yang ia tahan.

"Tenanglah, Wil. Tenanglah. Kau masih pantas untuk hidup. Kau bisa
menjadikanku alasanmu untuk tetap berada di dunia ini. Pikirkan tentangmu,
mimpimu, dan semua pengorbananmu selama ini. Bertahanlah, aku yakin
suatu saat kebahagiaan sempurnamu akan terwujud." ucapnya yang segera
saja ku sambut dengan gelengan kepala ku.

"Aku sudah tidak punya mimpi lagi. Semua yang kuinginkan sudah sirna.
Semua yang ku harapkan telah hancur. Tidak ada lagi yang kuinginkan di
dunia ini. Aku tidak ingin merasakan sakit itu lagi. Aku lelah, Dok." ucap ku
sambil terus terisak.

"Aku tau, aku tau. Maafkan, aku. Aku mohon bersabarlah. Aku tau kau kuat.
Kau manusia hebat yang pernah ku temui selama ini. Jadi ku yakin kau bisa
melaluinya. Bertahanlah hingga semua lukamu pulih. Setelah itu aku akan
membawamu pergi sejauh mungkin yang bahkan Fahri sendiri pun tidak akan
pernah bisa menemuimu lagi. Jadi bersabarlah, oke." ujarnya yang entah
mengapa perlahan membuatku merasa tenang saat merasakan kecupan pada
puncak kepalaku hingga akhirnya rasa lemasku sudah pada puncaknya dan
aku kembali tidak sadarkan diri di pelukan Dokter Timo yang entah apa
selanjutnya yang akan terjadi.

Yang jelas saat aku membuka mata ku kembali, aku sudah berada di tempat
yang berbeda dengan tubuhku yang terasa lebih sehat dari yang ku ingat
sebelumnya.

Ruangan yang saat ini ku tempati sangatlah berbeda dari yang ku ingat.
Sebenarnya aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya
merasa lemas dan berusaha bangkit dari posisi tidurku untuk duduk tegak
menatap kesekitarku yang ku sadari bahwa ruangan ini adalah sebuah kamar
yang luas dan juga begitu besar.
Beberapa peralatan yang ada pun terlihat mewah dan mahal. Membuatku
perlahan berpikir kalau aku kembali ke rumah Fahri dan aku mulai panik
dengan napasku yang memburu. Aku kembali memberontak dengan kedua
tangan yang mencengkeram kuat rambutku sambil berteriak menahan sakit
yang menyerang kepalaku.

Seluruh bayangan perbuatan Fahri kembali terngiang-ngiang dalam


pikiranku. Setiap rasa sakit atas perbuatannya kembali bisa ku rasakan
sehingga tak kuasa ku tahan tangisku yang sudah pecah membanjiri kulit
wajahku. Aku menjerit kesakitan dengan kedua tangan ku yang berusaha
melindungi seluruh tubuhku dari semua perbuatan Fahri yang masih
membayangiku.

Itu berlangsung cukup lama. Bahkan aku sempat melepaskan selang infus ku
dan berlarian ke seluruh ruangan mencari jalan keluar karena dalam
bayanganku, Fahri sedang mengejarku dengan suaranya yang memanggilku.
Apalagi saat suara pintu yang berderit diiringi langkah kaki yang cepat dan
mengarah padaku membuatku dengan cepat berteriak kuat yang
menggunakan punggung tanganku untuk melindungi wajahku takut akan
pukulan yang di berikan Fahri.

"Ku mohon, jangan mendekat. Jangan mendekat. Ku mohon maafkan aku,


Fahri. Maafkan aku." ucapku dengan nada suara yang ketakutan. Sambil terus
melindungi wajahku dengan diriku yang sudah berjongkok dan bersandar
pada dinding.

Namun bukannya sebuah pukulan yang ku terima, melainkan sebuah pelukan


yang terasa hangat yang tetap saja membuatku memberontak sangat kuat.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriakku dan berusaha melepaskan tangannya
yang memelukku.

"Hey, Wildan! Wildan! Ini aku. Sadarlah! Aku Dokter Timo." ucap suara itu
yang masih belum berpengaruh padaku yang tetap memberontak hingga
akhirnya pelukannya bertambah kuat sehingga membuatku tidak bisa
bergerak lagi dan hanya menatap satu sosok pria yang menatapku dengan
penampilan yang berbeda.

Dia Dokter Timo.

Benar, Dokter Timo. Aku bisa mengenalinya dari tatapannya yang


menatapku iba begitu juga dengan matanya yang terlihat berkaca-kaca.
Menyadarinya membuatku sadar dan langsung memeluknya erat dengan
tangisan ku yang pecah.

Aku menangis sangat kencang dan enggan melepaskan pelukanku padanya.


Aku merasa sangat ketakutan, semua hal yang terbayang oleh ku terasa
sangat nyata. Suara Fahri, perbuatannya hingga rasa sakit itu. Membuat
jantungku terasa sesak dengan napas yang memburu.

"Tenanglah, tenang. Aku disini, jangan takut. Aku disini." ucap Dokter Timo
hangat dengan tangan yang membalas pelukanku disertai elusan tangannya
pada kepalaku.
Perbuatannya membuatku perlahan menjadi tenang karena merasakan hangat
dan terlindungi atas apa yang Dokter Timo lakukan. Aku merasa seperti aku
memiliki seorang Ayah yang siap melindungiku saat aku terancam.

Benar. Aku memang memilikinya, namun aku tidak ingat perasaan hangat
saat aku bersamanya maupun bersama Ibuku. Kedua orang tuaku terasa sama
dinginnya dengan Fahri. Mereka tidak menganggapku dan hanya
memanfaatkan ku. Jadi jangan salahkan aku jika aku akan sangat lama
melepaskan pelukan ini hingga akhirnya aku merasa semuanya aman.

Dokter Timo menuntun ku untuk kembali pada kasur yang tadi sempat ku
gunakan dan mendudukkan ku disana. Lalu setelahnya ia berjalan sedikit
menuju meja nakas untuk mengambil segelas penuh air putih dan
menyodorkan gelas itu padaku.

Aku yang mengerti maksudnya, segera menerima gelas itu dan menenggak
habis isi air yang ada di dalamnya. Rasanya sangat menyejukkan,
tenggorokan ku yang tadinya terasa kering akibat teriakan yang ku lakukan
kini kembali terasa segar dengan aku yang sudah merasa tenang begitu juga
dengan detak jantungku.

Aku menghirup napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan saat


Dokter Timo kembali memasukkan selang infus itu pada lenganku yang
cukup terasa sakit untuk ku rasakan. Namun setelahnya aku baik-baik saja
menatap sosok Dokter Timo yang sedikit memutar dan duduk di kursi kecil
tepat disampingku.
"Terima kasih, Dokter." ucapku tulus.

"Kau sudah menyadarkan ku dari halusinasi ku tadi. Jika tidak, mungkin aku
akan berakhir menjadi orang gila." tambahku menjelaskan alasannya.

Dokter Timo tersenyum padaku yang mana senyuman itu sangat jelas sekali
sebuah senyuman paksa yang membuatku menundukkan kepala ku dan
mengalihkan pandangan ku darinya.

"Aku pasti sangat menyulitkanmu ya." ucapku pelan.

Tidak ada balasan apapun dari Dokter yang membuatku sedikit merasa sedih
karena berpikir kalau mungkin Dokter Timo sangat tersiksa dengan kehadiran
ku dalam kehidupannya. Namun rasa sedih itu segera menghilang begitu satu
tangannya yang meremas lembut lenganku yang membuatku menatap ke
arahnya yang memasang senyum yang kini terlihat tulus.

"Aku tidak kesulitan sama sekali. Aku hanya mengkhawatirkanmu saja, Wil.
Setelah beberapa waktu ini. Apa kau mengingat semua hal yang sudah
terjadi?" tanyanya. Aku yang mendengarnya segera saja memutar otakku
untuk mengingat segala hal yang sudah ku alami selama ini.

Rasanya benar-benar menyakitkan. Apalagi kala aku mengingat perihal aku


yang telah kehilangan calon bayiku yang malang, membuatku tanpa sadar
menyentuh perutku dengan satu tetes air mata yang jatuh mengenai tanganku.
"Baik. Kau sudah mengingat semuanya, Wil. Dan itu berarti kau baik-baik
saja. Aku sangat ketakutan saat melihatmu tadi. Kau diluar kendali setelah
mendapatkan diagnosis kalau kau mengidap trauma sedang atas semua yang
sudah kau alami. Aku tidak akan menanyakannya, tapi ku harap kau
membiarkan semua itu berlalu tanpa harus kau melupakannya." ucap Dokter
Timo dengan tangannya yang menyingkap tangan ku yang tadi memegangi
perutku.

Aku menggeleng kuat. "Tidak, Dok. Aku sangat ingin melupakannya. Aku
tidak bisa membiarkan hal itu berlalu begitu saja. Karena aku tidak kuat
menahan rasa sakitnya. Bisakah kau membuatku melupakan semuanya?"
ucapku yang kini menggunakan kedua tanganku untuk menggenggam
tangannya dan memandangnya dengan tatapan penuh harap.

Jujur saja, saat ini aku merasa sangat lemas. Tapi aku berusaha kuat agar
tidak kembali membuat Dokter Timo repot untuk mengurusiku.

"Tidak bisa, Wil. Aku tidak memiliki keahlian itu. Tapi jika kau ingin
berusaha, kau bisa melakukannya. Karena kini kita sudah berada sangat jauh
dari jangkauan orang yang sudah membuatmu seperti ini." ucapnya.

"Maksudmu?" tanyaku bingung, dengan suara yang sedikit serak tentunya.


"Apa kau ingin melihat sesuatu yang belum pernah kau lihat?" tanyanya yang
tentu saja membuatku bertambah penasaran dan akhirnya hanya mengangguk
mengiyakan.

Dokter Timo tersenyum cerah. "Baiklah, tunggu sebentar. Aku ingin


mempersiapkanmu agar kau bisa keluar dari ruangan ini." ujarnya.

Aku menyetujuinya lalu kemudian memperhatikannya yang sibuk dengan


semua alat yang membantuku agar cairan impusku bisa dibawa kemana pun
termasuk keluar dari ruangan ini. Dan setelah selesai, Dokter Timo pun
membantuku berdiri untuk berjalan keluar dari ruangan ini yang baru ku
sadari ternyata saat ini aku berada di apartemen miliknya yang sangat luas.

Bukan hanya itu, aku bahkan terkejut saat Dokter Timo membawa ku keluar
dari apartemennya dan melihat hamparan putih yang luas di hadapanku, lebih
tepatnya di bawahku dengan beberapa butir kecil yang berjatuhan dari atas
langit.

Itu benar. Hamparan yang ku maksud adalah salju tebal yang menutupi
seluruh jalanan. Pantas saja Dokter Timo mempersiapkan ku pakaian yang
sangat tebal karena diluar tengah hujan salju yang membuatku cukup
kedinginan karena ini pertama kali bagiku merasakannya.

"Bagaimana, aku benarkan. Ini pertama kalinya bagimu melihatnya." ujar


Dokter Timo disampingku. Aku menoleh padanya dan tersenyum.
"Kau benar. Ini pertama kalinya bagi ku. Dan aku menyukainya. Tapi...
bagaimana mungkin salju bisa terjadi di negara kita?" ucapku bingung.

"Ceritanya panjang. Dan ini bukan negaramu. Saat ini kita berada di negara
asalku. Aku membawamu kemari saat kau masih koma dan ku pindah
rawatkan kemari. Apa kau keberatan dengan itu? Aku hanya ingin menepati
janjiku untuk membawamu pergi jauh." ucapnya menjelaskan.

Aku yang mendengarkan hanya mengangguk kecil.

"Apa kau yakin dia tidak akan mengetahui keberadaan ku?" tanyaku pelan.

"Tentu saja. Di Rumah Sakit tidak ada informasi apapun tentang ku. Kenalan
ku tidak banyak dan semua dari mereka tidak mengetahui tempat asalku. Jadi
semua terjamin. Kau bisa tenang dan memulihkan dirimu disini. Dan aku
akan memberikan perhatian ku seratus persen padamu." ujar Dokter Timo
yang terdengar sangat menenangkan.

"Melihat dari musim saat ini. Pasti aku sudah sangat lama tidak sadarkan diri.
Dan selama itu pula tidak ada tanda-tanda darinya?" tanyaku yang ingin
memastikan. Dokter Timo dengan pasti menganggukkan kepalanya. Aku
yang melihatnya segera saja memeluk tubuhnya menggunakan satu tanganku
yang bebas.

"Terima kasih banyak, Dokter. Aku sungguh-sungguh berterima kasih


padamu. Kau sangat baik padaku. Entah bagaimana aku bisa membalas
semua kebaikanmu ini. Aku...aku tidak tau harus berbuat apa lagi jika tiada
dirimu." ucapku tulus.

Dokter Timo membalas pelukanku dan menepuk-nepuk punggung ku pelan.

"Tidak perlu. Aku melakukannya dengan tulus. Aku benar-benar


menganggapmu sebagai adikku. Rasa sayangku padamu sangat besar,
makanya aku rela melakukan semua ini. Jadi ku mohon, pulihkan dirimu dan
berbahagialah setelahnya." ucapnya yang benar-benar sangat pas mengenai
hatiku.

Rasanya sangat hangat dan membuatku berandai-andai kalau saja kehidupan


ku tidak sesulit ini. Apakah aku akan bertemu pada Dokter Timo yang berhati
besar? Ku rasa tidak. Aku tidak ingin bersyukur karena nasib ku buruk
sehingga bisa dipertemukan dengannya. Tapi aku juga sangat berterima kasih
karena dipertemukan oleh orang sepertinya yang menerimaku apa adanya.

Dan aku berjanji akan menuruti semua perkataannya. Dia menganggapku


seorang Adik? Kalau begitu aku akan menganggapnya sebagai Kakak ku.
Kakak tersayangku. Aku akan menyayanginya seumur hidupku melebihi
diriku sendiri.

Untuk saat ini biarkan aku bermanja padanya. Menempelinya menikmati


hangat suhu tubuhnya yang membungkus tubuhku di musim dingin bersalju
seperti ini. Dan aku harap aku akan menjalani hari-hari yang seperti ini.
Melupakan semuanya, dan hidup bahagia.
Selamanya....

••••
Chapter 21

[ Author POV ]

•••

Seisi rumah sakit terlihat sangat kacau. Membuat beberapa pasien yang
sedang dirawat terganggu oleh ulah Fahri yang murka menyuruh beberapa
puluh orang untuk menggeledah rumah sakit tempat dirinya menaruh Wildan
untuk diobati.

Wajahnya mengeras dengan tatapannya yang mematikan setiap kali orang


suruhannya melaporkan kalau tidak ada tanda-tanda dari Wilda maupun
Dokter Timo yang sudah ia cari hampir dua jam lamanya.

Hari sudah malam, dengan jarum jam yang menunjukkan pukul 11 tepat.
Membuat kepala Rumah Sakit menghembuskan napas lelah karena Fahri
masih belum ingin menyudahi pencarian yang tentu saja sia-sia. Sementara
Fahri sendiri melihat kepala Rumah Sakit itu segera menghampirinya dengan
aura yang menakutkan dan langkah yang sangat cepat menyambar kerah baju
Kepala Pemilik Rumah Sakit itu.

"Katakan dimana." ucap Fahri dengan nada suara yang tertahan namun masih
jelas terdengar kalau ia sedang mengontrol amarahnya.
Kepala Rumah Sakit itu terlihat ketakutan dan mengangkat kedua tangannya
lalu menggelengkan kepalanya kuat.

"Saya tidak tau. Semua yang bertentangan dengan pasien Wildan, Dokter
Timo yang mengurusnya. Dan sekarang Dokter Timo juga menghilang tanpa
jejak. Bukankah itu sudah jelas kalau saat ini mereka sudah tidak ada di
rumah sakit ini?" ucapnya yang memberanikan diri mengisyaratkan agar
Fahri menghentikan aksi penggeledahannya.

"Aku tau sialan! Yang aku tanya, dimana alamat lengkap Dokter bajingan itu!
Katakan sekarang juga, atau aku akan menghancurkan seluruh isi rumah sakit
ini." ancam Fahri yang tentu saja membuat seisi rumah sakit terkesiap
mendengarnya. Begitu juga dengan kepala Rumah Sakit itu yang rasa
takutnya bertambah dengan kedua tangannya yang bergemetar.

"T-tidak ada informasi apapun tentangnya. Saya mohon maaf, tapi Dokter itu
benar-benar misterius di Rumah Sakit ini." jawabnya.

"Lalu mengapa kau memperkerjakan orang semacamnya kau manusia tidak


berguna!" teriak Fahri. Ia mendorong tubuh pria itu hingga membuatnya
tersungkur jatuh ke lantai. Setelahnya ia mengalihkan pandangannya ke
semua orang suruhannya yang sedari tadi memperhatikan Fahri.
"Apa yang kalian lihat!? Cepat cari informasi tentangnya!" perintahnya lalu
dengan napas yang memburu ia berjalan menjauh dari kerumunan untuk
keluar dari area Rumah Sakit dan masuk ke dalam mobilnya.

Namun saat ia hendak menyalakan mesin mobilnya. Seorang wanita


mengetuk kaca mobilnya dengan gerakan yang cepat dan cukup kuat.
Membuat Fahri risih lalu membuka kaca mobilnya yang ternyata
menampilkan sosok wanita yang tentu saja dia kenal.

"Kau?" ucap Fahri dengan kedua alis yang hampir bertaut. Tidak lupa dengan
matanya yang menyipit tajam menatap wanita itu yang ternyata adalah
Ayunda. Kakak Perempuan dari Wildan.

"Ya. Ini aku. Keluar kau!" ucap Ayunda yang ikut berkata dengan nada yang
cukup tinggi. Raut wajahnya terlihat penuh amarah menatap Fahri, lalu
kemudian ia menarik kerah bajunya untuk mendekatkan wajahnya pada Fahri
yang tentu saja terkejut akan perbuatan Ayunda padanya.

Seingatnya Ayunda ada wanita yang cukup bermartabat dengan gaya yang
elegan dan selalu terlihat menawan. Namun kali ini dirinya dipenuhi amarah
dengan tatapan tajamnya yang ia berikan pada Fahri yang kebingungan.

Ayunda melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Fahri lalu


menunggunya keluar dari dalam mobil. Setelah itu, Ayunda dengan cepat
meraih tangan Fahri dan menariknya menjauh dari area parkir.
Fahri ingin menarik tangannya kembali. Namun ia juga penasaran apa yang
terjadi. Apa yang membuat Ayunda kembali setelah melarikan diri saat
perjodohan mereka? Dan mengapa sikapnya berbeda dari yang Fahri ingat?

Entahlah, Fahri hanya perlu menunggu sampai akhirnya Ayunda


menyuruhnya masuk ke dalam sebuah mobil berwarna di hadapannya. Tidak
mau membuang waktu lebih banyak, Fahri pun menurutinya dan masuk ke
dalamnya. Disusul Ayunda yang duduk di kursi dekat setir mobil.

"Apa yang kau inginkan? Cepat katakan. Aku tidak memiliki banyak waktu
untuk wanita sepertimu." ucap Fahri. Dengan nada dingin tentunya.

Ayunda menyipitkan matanya. "Sudah ku duga masih belum sadar. Tapi aku
tidak perduli. Dimana Wildan? Aku ingin bertemu dengannya. Dia yang
menggantikan ku untuk menikahimu kan?" ujarnya.

"Apa keperluanmu untuk menemuinya?" tanya Fahri.

"Aku ingin meminta maaf padanya. Dan menjelaskan semua kebenaran yang
ada, yang selama ini telah disembunyikan." jawab Ayunda. Pandangannya
teralihkan menatap kemudi di depannya.

"Langsung pada intinya. Jangan bertele-tele. Aku tidak suka berlama-lama


berbicara denganmu." balas Fahri yang sejujurnya ia juga penasaran akan
maksud dari perkataan Ayunda.
"Bisakah kau berhenti bersikap dingin dan menyebalkan? Ini bukan dirimu
yang sebenarnya kau tau. Kau seharusnya ingat saat kau sudah menikah
bersama Wildan. Karena memang dirinya yang seharusnya bersanding
denganmu setelah perjodohan kalian sedari kecil. Tepatnya saat kalian di
adopsi." ucap Ayunda yang pada akhirnya memulai maksud sebenarnya ia
kembali kemari.

Fahri sendiri sempat merasakan jantungnya yang hampir berhenti saat


mendengar kalimat terakhir yang Ayunda katakan. Namun ia berusaha
mengontrolnya dan tetap memberikan ekspresi datarnya menatap Ayunda.

"Aku tau kau bingung. Aku akan menjelaskannya satu persatu. Dimulai
dengan kebenaran tentang kedua orangtuamu dan juga Wildan. Orang tua
yang selama ini kau panggil Ayah dan Ibu bukanlah orang tua kandungmu,
Fahri. Begitu juga dengan Wildan. Dia bukan anak kandung Ibuku dan juga
bukan Adik kandungku. Kalian berdua adalah anak adopsi yang dirawat oleh
mereka atas perintah Kakekku."

"Ayahku dan Ibu angkatmu adalah dua bersaudara. Kakekku menyuruh


Ayahku untuk merawat Wildan dan membesarkannya, sementara Bibi dapat
tugas untuk merawatmu untuk dibesarkan juga. Kalian dia adopsi sedari bayi,
Kakek mengadopsi kalian dari para gadis yang hamil di luar nikah dan
memutuskan untuk membesarkan kalian karena Ayah dan Bibi tak kunjung
memberikan cucu seorang laki-laki." cerita Ayunda yang menjeda sebentar
untuk memperhatikan raut wajah Fahri yang terlihat bingung namun tetap
mendengarkan.
"Dan saat itu kalian langsung dijodohkan dan di pastikan akan menikah untuk
hidup bersama setelah pendidikan kalian selesai. Namun Kakek meninggal
saat kalian baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama. Dan semuanya
berubah. Sikapmu, sikap Wildan, begitu juga aku berubah karena sesuatu
yang kejam telah diperbuat oleh orang dewasa semacam Ayah dan Bibi.
Mereka mencuci pikiran kita dan membuat kita seakan-akan tidak saling
kenal satu sama lain. Membuatmu membenci Wildan sehingga kalian tidak
bisa menikah untuk selamanya."

"Itu mereka lakukan demi mendapatkan harta warisan yang Kakek miliki.
Karena jika kalian menikah dan memiliki anak, seluruh harta warisan itu
akan di wariskan padamu dan Wildan sepenuhnya. Mereka tidak
menerimanya karena bagaimanapun kalian tidak memiliki darah keturunan
Kakek. Jadi mereka melakukan hal kejam seperti itu dan membuatmu lupa
segala hal termasuk hubunganmu yang sangat dekat dengan Wildan. Kalian
sudah berpasangan saat kalian kecil, kalian selalu bermesraan dan
membuatku iri. Kalian selalu bersama dan melakukan hal-hal selayaknya
orang pacaran. Kalian melakukannya bahkan sepanjang tahun sampai masa
SMP tiba dan Wildan dinyatakan mengandung anakmu."

"Kakek senang mendengarnya. Kalian diberkati, walaupun rahim yang


dimiliki Wildan adalah hasil eksperimen yang Kakek lakukan. Tapi itu
berjalan dengan baik, begitu juga dengan rencananya yang ingin
mempersatukan kalian dan hidup bersama. Kau sangat menyayanginya Fahri,
kau bahkan tidak membiarkan ku bermain bersama Wildan. Kau sangat
posesif sekaligus agresif padanya. Kau selalu patuh dan menuruti apapun
keinginannya. Kau bagaikan laki-laki yang sempurna yang siap mati untuk
Wildan."
"Namun semua itu berubah kala Ayah dan Bibi membuat Wildan keguguran.
Kakek yang mendengar berita keguguran Wildan terkena serangan jantung
dan akhirnya meninggal. Setelah kepergiannya Ayah dan Bibi memulai
aksinya untuk mencuci otak kita. Bahkan aku sendiri yang anak kandung
Ayahku ikut di cuci otakku sehingga melupakan semuanya. Aku menjadi
jauh dengan Wildan dan selalu mengucilkannya. Begitu juga dengan dirimu
yang terus bersikap dingin dan menyulitkannya. Kau menyiksanya dan
membuatnya hidup dalam penderitaan." ucap Ayunda yang sayangnya harus
ia hentikan kala Fahri mulai menatapnya dengan gelengan kepala yang cukup
kuat.

"Tidak. Tidak. Yang kau katakan itu pasti hanya kebohongan. Jangan berani-
beraninya kau berbicara omong kosong seperti itu setelah kau kabur dari
perjodohanmu." ucap Fahri yang menatap Ayunda tajam.

"Aku tidak kabur ataupun melarikan diri kau sialan! Aku di paksa pergi dari
rumahku! Aku di usir agar kalian bisa menikah! Kau tau, ternyata Kakek
sudah menulis surat wasiatnya yang mengatakan kalau kalian harus benar-
benar menikah agar warisan itu menjadi sah dan agar Ayah-Bibiku bisa ikut
serta mendapatkan warisan itu berupa anak perusahaan yang ada. Itupun
kalau Wildan tidak berhasil mengadung. Jika Wildan berhasil, maka bagian
mereka akan menjadi anakmu dan juga Wildan. Jadi Ayah dan Bibiku tidak
mendapatkan apapun. Oleh karena itu mereka semua melakukan hal itu,
hanya demi mendapatkan harta warisan Kakek." ucap Ayunda yang kembali
membungkam Fahri yang terdiam dengan pikirannya.

Ayunda yang menyadari itu menggunakan kesempatannya untuk merogoh tas


kecil yang ada di dashboard mobil dan mengambil beberapa lembar foto yang
sudah ia persiapkan untuk mengungkapkan semua ini.
"Aku tidak berbohong tentang semua yang ku katakan. Ini beberapa bukti
kalau kau dan Wildan sudah menjadi sepasang kekasih sedari kalian kecil
hingga SMP. Kalian terlihat sangat romantis di dalam foto-foto itu." ucap
Ayunda lalu kemudian menyerahkan foto-fotonya ke arah Fahri.

Fahri menerimanya dan melihat setiap lembar foto yang ada ditangannya.
Foto pertama yang ia lihat adalah dua anak kecil yang sedang berpelukan,
anak yang lebih tinggi mencium puncak kepala anak yang lebih pendek.

Setelahnya Fahri beralih ke foto lainnya dan mendapatkan dua anak itu lagi
yang kini sudah bertumbuh cukup besar dengan seragam sekolah dasar yang
mereka kenakan. Mereka berpose saling berpegangan tangan dan menatap
kamera dengan senyuman lebar di kedua wajah mereka. Wajah yang dimiliki
anak kecil itu sangat mirip dengan Wildan dan juga dirinya. Membuat Fahri
mengelus pelan foto itu dengan ibu jarinya yang menyentuh wajah kecil milik
Wildan.

Fahri kembali melihat foto lainnya, kini foto itu memperlihatkan versi yang
lebih besar dari anak-anak kecil tadi yang sudah beranjak dewasa. Pose
mereka sedikit berbeda namun tetap tersenyum menawan ke arah kamera. Di
foto itu mereka seperti berada di taman dengan di belakangnya terdapat
batang pohon yang sangat besar yang mereka jadikan sandaran untuk
berteduh di siang hari yang panas. Disana Wildan sedang bersandar dan
menaruh kepalanya di bahu Fahri dengan kedua tangan yang melingkar di
tubuh Fahri. Fahri remaja membalas memeluknya dan tersenyum bahagia ke
hadapan kamera.
Melihat itu memberikan guncangan yang hebat pada tubuh Fahri. Jantungnya
berdetak sangat cepat begitu juga dengan kepalanya yang terasa pusing
sehingga ia meringis dan melepaskan beberapa foto yang ia pegang dan
hanya menyisakan satu foto saja.

Fahri memegangi kepalanya yang terasa sakit dan memejamkan matanya


yang segera memberikan sekelebat bayangan berupa ingatan akan kebenaran
foto-foto yang baru saja ia lihat. Semua bayangan itu terputar di kepalanya
bagaikan film yang memperlihatkan masa lalunya. Bayangan itu sangat jelas
dan membuat hatinya terasa hancur kala ingatannya sudah kembali seperti
semula.

Apalagi saat ingatannya kembali pada masa saat Wildan memperlihatkan


hasil tes kehamilannya. Disana Wildan tersenyum sangat lebar yang mana
sudah sangat jarang diperlihatkannya akhir-akhir ini. Ia menunjukkannya
pada Fahri remaja yang memeluknya erat ikut merasakan bahagia atas
kehamilan Wildan. Dan setelah itu seluruh bayangan yang berputar di otak
Fahri menghilang, begitu juga rasa sakit pada kepalanya yang sempat ia
rasakan tadi.

Kini matanya sudah terbuka. Ia menatap nanar foto yang ada ditangannya,
dimana foto itu adalah foto antara dirinya dan Wildan untuk terakhir kalinya.
Mereka tersenyum sangat bahagia dengan latar belakang pantai yang indah.
Fahri ingat betul apa yang mereka lakukan disana, mereka berlibur untuk
merayakan kehamilan Wildan. Lihatlah senyuman itu, sangat berdampak
pada Fahri yang merasakan pedih pada hatinya. Matanya sudah berkaca-kaca
dengan air mata yang perlahan mengalir mengingat semua perbuatannya pada
Wildan akhir-akhir ini.
Ia sudah sangat menyiksa Wildan. Membuatnya menjalani hidup yang sulit,
terlebih lagi dialah orang yang menggugurkan anaknya sendiri. Hati Fahri
hancur, ia tidak dapat berkata apapun, hanya menangis sejadi-jadinya
menyesali semua perbuatannya selama ini. Harusnya ia mengingat semua
kenangannya bersama Wildan. Walaupun tidak, seharusnya ia tidak menyiksa
Wildan seperti itu. Itu membuatnya terlihat seperti sampah dan sangat tidak
berguna sebagai orang yang pernah menjadi kesayangan Wildan.

Sementara Ayunda yang sedari tadi memperhatikan Fahri ikut terbawa


suasana dan akhirnya ikut menangis pilu seperti yang Fahri lakukan. Mereka
menangis bersama karena kebodohan mereka sendiri yang sudah
memperlakukan Wildan dengan tidak wajar. Mereka membuatnya seakan-
akan hidup dalam neraka dan tidak dapat memilih tujuan hidupnya. Dan kini
mereka menyesalinya, walau mereka tau kalau semua ini tidak sepenuhnya
salah mereka.

"Mm=maafka, Wildan. Maafkan aku." ucap Fahri dengan suara tersedu dan
air mata yang terus mengalir. Ia menaruh foto yang ada di tangannya di
dadanya mengharap kalau dirinya saat ini memeluk sosok Wildan yang tentu
saja hanya khayalanya.

Tangisan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya mereda dengan


mereka yang masing-masing terdiam dengan pemikiran mereka sendiri. Jika
Fahri yang berdiam diri dengan kepala yang ia sandarkan pada jendela mobil,
berbeda dengan Ayunda yang menatap kemudi memikirkan berbagai hal
yang melintas di otaknya sampai akhirnya ia mengingat tujuan awalnya ia
kembali kemari.
"Aku tidak ingin mengganggu suasana hatimu. Tapi saat ini aku benar-benar
ingin bertemu Wildan. Bisakah kau memberitahu aku dimana dirinya?" tanya
Ayunda.

Fahri tidak menjawabnya, ia tetap diam dengan mata yang menatap ke luar
mobil dan tangan yang masih setia memegangi foto yang Ayunda berikan.
Melihatnya membuat Ayunda menghela napas dan menggunakan satu
tangannya untuk mengguncang tubuh Fahri dengan niat menyadarkan Fahri
dari lamunannya.

"Ayolah. Jangan melamun, yang perlu kau lakukan adalah meminta maaf dan
memperbaiki semuanya. Jika kau terus melamun seperti kesempatanmu untuk
meminta maaf akan semakin sempit." ujar Ayunda. Fahri yang
mendengarnya perlahan menjawabnya.

"Tidak hanya sempit. Kesempatan itu bahkanhampir mustahil bagiku."


ucapnya dengan suara serak. Ia mengalihkan pandangannya pada foto yang
ada di tangannya dan fokus menatap wajah Wildan disana. Sementara
Ayunda yang mendengarkan menatap bingung sosok Fahri.

"Apa maksudmu?" tanya Ayunda.

Fahri membutuhkan beberapa menit sebelum akhirnya ia menjawab


pertanyaaan itu.
"Aku...aku kehilangan jejaknya. Wildan melarikan diri bersama Dokter yang
merawatnya. Dia...dia baru saja mengalami keguguran untuk kedua kalinya.
Dan itu..." Fahri menjeda ucapannya karena rasa sesak yang menyerang
dadanya. Suaranya tertahan dengan tenggorokan yang terasa kering sehingga
membuatnya menelan ludah sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya
yang membuat Ayunda terkesiap mendengarnya.

"Dan itu karena perbuatanku. Aku menyiksanya sehingga membuatnya


keguguran." ucapnya.

Ayunda dengan cepat menyerang menggunakan satu tangannya memukuli


baahu Fahri kuat.

"Kau bodoh! Apa yang telah kau lakukan sialan!? Apa kau benar-benar
seorang manusia? Bagaimana mungkin kau melakukan hal sekejam itu
padanya?" ucap Ayunda sambil terus memukuli FAhri beberapa kali, yang
mana pukulan itu perlahan menjadi pelan karena Ayunda yang kembali
menangis membayangkan Wildan yang baru saja kehilangan calon bayinya.
Dan itu dilakukan oleh suaminya sendiri. Ayunda tidak sanggup
membayangkan kalau itu terjadi padanya.

"Bukan hanya itu. Aku sudah beberapa kali hampir membunuhnya,


memperkosanya dan memperlakukannya tidak wajar. Aku tidak tau apa yang
aku pikirkan. Di dalam otakku selalu ada bisikkan kecil yang menyuruhku
untuk menyiksanya, bahkan membunuhnya. Namun beberapa kali juga aku
menahannya agar tidak sampai membunuhnya. Dan aku mengerti sekarang
mengapa aku selalu menahannya, itu karena pengaruh masa lalu ku yang
sangat menyayanginya." ucap Fahri yang perlahan ikut menangis dalam
diam.

"Dan sekarang...aku kehilangan jejaknya. Aku tidak tau harus berbuat apa
untuk menenbus semua ini. Ini sangat menyakitkan. Aku sangat ingin
memeluknya, meminta maaf padanya dan memintanya membalas semua
perbuatanku padanya. Aku..aku..menyesalinya." ucapnya yang kemudian
kembali menangis dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.

"Berhentilah menangis kau bodoh. Menyesalinya sekarang tidak ada


gunanya. Kerahkan semua kemampuanmu untuk menemukannya." ucap
Ayunda, ia sudah berhenti dari tangisannya, ia menenpuk bahu Fahri agar
Fahri menghentikan tangisannya juga. Namun Fahri tidak bisa
menghentikannya, rasa penyesalannya begitu mendalam sehingga sulit
baginya untuk berhenti.

Dan karena itu pula Fahri kehilangan kesadarannya dan membuat Ayunda
panik lalu memanggil-manggil namanya memintanya untuk sadar. Namun itu
percuma karena Fahri tak kunjung dan pada akhirnya membuat Ayunda
keluar dari mobilnya untuk memanggil seseorang meminta bantuan agar
membawa Fahri masuk ke dalam rumah sakit.

Setelah Fahri selesai diperiksa, Ayunda akhirnya bernapas lega dan kemudian
duduk di samping bangsal yang ditiduri oleh Fahri. Ia menatap sosok itu lalu
mengelus wajahnya yang terdapat keringat disana. Ayunda sangat paham
akan perasaan Fahri saat ini, karena bagimanapun ini bukanlah salahnya.
Salah Ayah dan Bibinya, dan yang paling bersalah adalah Kakeknya.
Bersalah sudah mengadopsi mereka dan membuat mereka harus bersama
dengan eksperimen yang di lakukannya. Kakeknya juga sangat bersalah
sudah membuat kedua anaknya menderita karena memberikan semua
warisannya pada orang yang bahkan tidak memiliki garis keturunannya. Tapi
yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Ayunda pun juga sangat menyesalinya
kala Neneknya yang berada di negara lain menyadarkan dirinya beberapa
waktu yang lalu. Namun Ayunda masih bisa mengendalikannya hingga ia
bisa tiba disini dan membeberkan semua kebenarannya.

Dan kini tujuannya hanya satu. Tujuan akhirnya yang akan menentukan
dirinya yang harus merasakan apa di masa depan. Tujuannya tidak lain dan
tidak bukan adalah menemukan sosok Wildan.

Ia akan terus mencarinya tidak perduli memakan waktu berapa lama. Asalkan
ia bisa menemukannya dan meminta maaf pada Wildan secara langsung agar
beban hatinya bisa ringan dan terbebas dari rasa penyesalan yang membuat
sakit hatinya.
Chapter 22 [end]

[Author POV]

...

Suara pintu yang dibuka dengan kasar membuat empat orang dewasa yang
sedang berkumpul diruang tengah menoleh ke arah pintu yang menampilkan
sosok Fahri dengan wajah datar khasnya menatap sangat dingin empat orang
dewasa itu.

Awalnya mereka biasa saja melihat ekspresi itu, karena memang hampir
setiap hari bahkan setiap saat mereka melihat ekspreso Fahri yang datar. Jadi
mereka menyambut Fahri dengan senyuman hangat tanpa mengetahui kalau
saat ini Fahri menggertakkan giginya dengan pelipis yang bergerak-gerak
menahan amarah menatap keempat orang dewasa itu, siapa lagi kalau bukan
Ayah dan Bibi Ayunda.

Fahri sudah tidak bisa menyebut bahkan menganggap mereka orang tuanya
lagi setelah menyadari semua kebenarannya. Dan Fahri juga sudah
menyiapkan semuanya jika terjadi sesuatu yang akan membuatnya lupa lagi.
Ia sudah menyuruh Ayunda agar menunggu di kamarnya sehingga saat
orang-orang dewasa yang ada di hadapannya mencoba melakukan sesuatu
untuk melumpuhkan ingatannya, ada Ayunda yang bisa menyadarkannya
kembali.
Fahri tidak ingin meledak dan marah dengan murka begitu saja. Ia ingin
semuanya berjalan dengan tenang. Jadi dengan begitu Fahri berdiri di
hadapan mereka dan mulai mengeluarkan suaranya.

"Aku tidak ingin berlama-lama melihat kalian. Jadi aku akan langsung pada
intinya." ucap Fahri yang membuat empat orang itu menganggukkan
kepalanya.

Mereka berempat duduk di sofa yang panjang. Sementara Fahri berdiri


dengan setelan rapi dengan jas yang membaluti kemeja lengan panjangnya. Ia
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, lalu melanjutkan
maksud tujuannya mengumpulkan mereka semua di rumahnya.

"Aku tidak akan ikut campur dengan urursan kalian lagi. Aku tidak akan
mengganggu gugat apalagi merebut perusahaan yang sudah kalian miliki.
Tapi kalian juga harus berjanji kalau tidak akan mengurusi hidupku bahkan
memanfaatkanku demi kepentingan kalian sendiri." ujar Fahri yang menjeda
sebentar kalimatnya karena Ibunya-atau lebih tepatnya Bibi dari Ayunda
mengangkat satu tangannya lalu kermudian bertanya.

"Apa maksudmu, Nak?" tanya beliau. Mendengarnya membuat Fahri ingin


sekali meneriaki wanita itu, namun ia menghembuskan napasnya mencoba
mengontrol dirinya.
"Berhentilah berpura-pura. Aku sudah mengingat semuanya. Masa lalu ku,
dan dari mana asalku. Aku bukan anak kandungmu. Jadi berhentilah
memanggilku dengan sebutan Nak." ujar Fahri.

"Aku masih berbaik hati tidak menjebloskan kalian ke penjara. Karena


bagaimana pun kalianlah yang sudah membesarkan ku. Aku juga tidak akan
menuntut kalian atau sesuatu yang membuat kalian merugi. Yang perlu kalian
lakukan adalah...jangan memunculkan wajah kalian lagi di hadapanku.
Jangan mengangguku karena aku akan membagi sebagian sahamku pada
kalian. Akren kalian memang berhak mendapatkannya. Jadi berhentilah
berbuat sesuatu yang kejam dan memanfaatkan orang lain demi harta yang
kalian inginkan." ucap Fahri mengakghiri pembicaraannya.

Fahri hendak beranjak daeri sana. Namun ia tertahan oleh ucapan wanita
yang saudah membesarkannya begitu juga dengan tiga orang dewasa lainnya.

"Apa maksud semua ini, Fahri? Ibu sungguh tidak mengerti." ucap wanita itu
yang menahan lengan Fahri agar tidak pergi dari sana. Fahri dengan kuat
menghempaskan tangan wanita itu dari lengannya. Ia menatap tajam wanita
itu dan kemudian berkata.

"Sudah aku bilang berhentilah berpura-pura! Kau bukan Ibuku, sialan!" teriak
Fahri dengan satu tangan yang mendorong tubuh wanita yang mundur
beberapa langkah yang hampir jatuh jika saja suaminya tidak sigap untuk
membantunya.
"Sudahlah, dia sudah mengingat semuanya. Dan juga memberikan semua
harta warisannya pada kita. Kita tidak perlu lagi berpura-pura." ucap ayah
Ayunda yang merasakan senang saat Fahri mengumumkan hal itu tadi.

"Aku tidak ingin membuat keributan disini. Dan aku muak melihat wajah
kalian,. Terlebih kau yang sudah memperelakukan Wildanku dengan kejam."
ucap Fahri yang kini tatapan tajamnya beralih ke Ayah angkat Wildan.

"Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran." tambahnya, yang kemudian


berbalik dan pergi dari sana untuk masuk ke dalam kamarnya.

Namun bukannya pergi, Ibu angkat Fahri menyusulnya masuk ke dalam


kamar. Ia terlihat sangat marah dan ingin sekali memukul Fahri dari belakang
kala Fahri lengah yang saat ini sedang menghela napasnya lelah. Untungnya
ada Ayunda disana sehingga menggagalkan aksi Bibinya yang hendak
memukul tengkuk Fahri menggunakan benda tumpul.

"Ayunda? Apa yang kau lakukan? Lepaskan Bibi!" ujarnya yang terlihat
terkejut saat menyadari kalau keponakannya lah yang menggagalkan aksinya.
Tidak jauh berbeda dengan Fahri yang berbalik dan mendapati pemandangan
Ibu angkatnya yang memegang sebuah tongkat bisbol yang entah darimana ia
dapatkan.

"Aku tidak akan membiarkan Bibi melakukan hal yang sama seperti
sebelumnya. Tidakkah penawaran Fahri itu sudah cukup? Namun mengapa
kau masih ingin melukainya?" tanya Ayunda dengan nada suara yang
terdengar kecewa.
"Tidak. Penawaran itu sudah tidak berlaku sekarang." ucap Fahri lau berjalan
mendekati mereka.

"Aku akan membawa kasus ini ke pengadilan dan memasukkan kalian ke


penjara. Tunggu saja. Aku sudah memberikanmu kesempatan namun kau
mengabaikannya. Jadi terimalah akhir dari hidupmu di penjara." tambahnya
yang menatap tajam Ibu angkatnya yang kemudian berlalu pergi dari sana.
Bukan ke kamar, namun keluar dari rumahnya dan menjalankan mobilnya ke
tempat tujuan yang sudah ada dipikirannya. Dan selama perjalanannya pula ia
menghubungi sekretarisnya agar mengurus kasus orang-orang dewasa yang
mungkin masih berada di rumahnya.

Setelahnya Fahri kembali mencari informasi tentang keberadaan Wildan yang


sampai hari ini masih belum ia temukan. Bukan hanya hari ini saja,
namunhari-hari lainnya juga tidak memiliki kemajuan dan hasil yang
memuaskan hingga satu tahun berlalu dengan Fahri yang menjadi sosok
dingin yang bahkan sangat jarang sekali berbicara pada orang lain termasuk
ayunda yang turut membantunya mencari Wildan selama setahun lamanya.

"Sebaiknya kau makan dulu. Berhentilah menatap layar komputermu, mereka


pasti akan mengabarimu jika ada tanda-tanda dari Wildan dan juga Dokter
yang membawanya." ujar Ayunda yang menatap iba sosok Fahri yang kini
menjadi kurus dengan dirinya yang tidak mengurus diri seperti sebelumnya.

Ia menghabiskan hari-harinya hanya untuk bekerja dan mencari keberadaan


Wildan sepanjang hari. Sering melupakan perutnya yang kosong dan bahkan
beberapa kali kehilangan kesadarannya. Ayunda kasihan tentu saja, ia takut
Fahri akan mati sebelum menemukan keberadaan Wildan.

Fahri sama sekali tidak menggubris ajakan Ayunda tadi. Ia masih tetap
menatap layar komputernya sampai akhirnya pnselnya yang berada di
samping papan ketik berbunyi dan menampilkan sebuah nomor dengan nama
orang suruhannya.

Fahri dengan cepat mengangkat panggilan itu dan menaruh ponselnya ke


telinganya.

"Katakan," ucapnya, lalu siap mendengar apapun yang diucapkan orang


suruhannya.

"Pak, kami menemukan sinyal dan keberadaan dari Dokter yang selama ini
kita cari." ucap seorang pria suruhan Fahri disebrang telepon.

Mendengarnya membuat fahri terpaku dengan tangannya yang bergetar


memegang ponselnya. Namun ia berusaha mengontrolnya dan kemudian
membalas ucapan pria yang ada di seberang telepon dengan jantungnya yang
mulai memompa cepat. Ayunda sendiri yang melihat perubahan raut wajah
Fahri menyadari kalau sesuatu baru saja terjadi.

"Katakan. Katakan padaku dimana dia." ucapnya Fahri mendesak.


"Mereka menemukannya?" tanya Ayunda yang tentu saja tidak dijawab oleh
Fahri yang fokus mendengarkan ponselnya.

"Saat ini Dokter itu sedang berada di rumah sakit tempatnya bekerja dulu,
Pak. Apa aku harus membawanya ke rumahmu? Atau kami menahannya agar
terus berada di rumah sakit?" ujar pria di seberang telepon.

"Tidak, jangan bawa dia kemari. Kalian cukup awasi dia dan jangan biarkan
dia pergi kemana-mana." balas Fahri, lalu mematikan sambungan teleponnya
dan bergegas untuk mengambil jaket dan kunci mobilnya. setelahnya ia
keluar dari ruangannya disusul Ayunda yang mengikutinya dari belakang.

Fahri mengendari mobilnya dengan kecepatan penuh sehingga ia tiba di


rumah sakit hanya dalam hitungan menit. Jantungnya yang berdegup kencang
dan pikirannya yang was-was, membuatnya merasa panas dingin kala tersisa
beberpa langkah lagi sebelum akhirnya ia dipertemukan oleh Dokter Timo
yang saat ini menatapnya yang sudah memiliki penampilan yang berbeda
tidak seperti yang terkahir kali Fahri ingat.

Mereka bertatapan cukup lama. Fahri dengan napasnya yang memburu dan
keringat yang membanjiri dahinya, matanya berkaca-kaca dengan rasa syukur
yang ia rasakan saat ia benar-benar memastikan kalau pria yang ada di
hadapannya benarlah orang yang selama ini ia cari.

"Akhirnya....akhirnya..." ucap FAhri yang tak sanggup mengucapkan semua


kalimat yang ingin ia ucapkan karena tertahan oleh tangisannya yang pecah
karena rasanya sangat melegakan. Ia berjalan mendekat ke arah Dokter Timo
yang menatapnya datar namun ia tidak menghindari Fahri yang kini sudah
memeluk tubuhnya dan menumpahkan tangisannya disana.

"Terima kasih... terima kasih. Kau kembali, terima kasih telah kembali."
ucapnya sangat tulus pada Dokter Timo yang mulai melepaskan pelukan itu
karena merasa aneh dengan ucapan Fahri barusan.

"Untuk apa kau berterima kasih karena aku yang telah kembali?" tanya
Dokter Timo sambil menjauhkan tubuh Fahri darinya.

Fahri mengelap air matanya, ia sudah tidak menangis lagi namun kedua
matanya masih berair.

"Kau kembali karena kau sudah mengerti maksudku kan? Kau yang sudah
membawa pergi Wildan. Dan kini kau membawanya kembali kemari. Aku
mencarimu dan Wildan selama ini, namun aku benar-benar kesulitan dan
tidak mendapatkan jejak apapun dari kalian. Aku tidak pernah menyerah,
sampai hari ini tiba. Bisakah kau membawa ku ke tempat Wildan sekarang?
Atau kalau kau mau, beri tahu aku dimana alamatnya? Biar aku sendiri yang
akan menemuinya." ujar Fahri dengan nada suara yang penuh harap.

"Kau ingin berbuat apalagi dengannya? Tidakkah cukup kau menyiksanya?


Berhentilah. Aku todak akan memberikan informasi apapun tentangnya."
balas Dokter Timo yang kemudian hendak pergi dari sana yang segera di
tahan oleh Fahri yang menahan lengannya.
Fahri menggeleng kuat.

"Tidak. Aku tidak melakukan hal semacam itu lagi padanya. Aku sangat
menyayanginya, aku mencintainya. Dan aku menyesali semua perbuatanku
yang sudah menyulitkannya. aku mingin meminta maaf dan memperbaiki
semuanya." ucap Fahri. Ia sudah merasa takut kalau ia akan kembali
kehilangan jejak.

Namun sayang, Dokter Timo masih menolak dan tidak ingin memberitahu
informasi apapun yang Fahri butuhkan.

"Tidak. Kesempatanmu sudah habis. Waktu itu kau sudah mendapatkan


kesempatan untuk memperbaiki hubunganmu dengannya. Namun kau malah
merusaknya dan membuatnya mengalami trauma dengan menggugurkan
kandungannya. Apa kau bahkan tau kalu keguguran itu bukan pertama kali
baginya?" ujar Dokter Timo, ia sudah merasa emosional sekarang. Namun ia
cukup terkejut kala Fahri dengan percaya diri mengataklan kalau ia
mengetahuinya.

"Aku tau. Aku sangat tau, karena saat ini aku senidir yang menenaminya saat
dirumah sakit di keguguran kandungannya yang pertama. Bahkan aku tau
kalau rahimnya adalah hasil cangkok dari eksperimen gila yang dilakukan
oleh Kakek angkatku." ujar Fahri yang akhirnya menceritakan semuanya.

Dokter Timo yang terkejut hanya menatap Fahri dengan mata yang berkedip
beberapa kali. Ia ingin menanyakan sesuatu pada Fahri, namun Ayunda
menengahi dengan suara berbisik.
"Ku pikir sebaiknya kita membicarakan ini di tempat lain. Banyak orang
yang mendengarkan disini." ucap Ayunda yang membuat Dokter Timo
menatap tanya padanya.

"Aku Kakak dari Wildan jika itu yang ingin kau tanyakan. Ayo, cepat. Disini
terlihat aneh jika kalian berbicara sekeras itu." ucap Ayunda yang kemudian
menuntun mereka menuju taman rumah sakit yang terlihat sepi.

"Nah, kalian bisa melanjutkannya disini." tukasnya yang kemuudian duduk di


salah satu kursi yang ada di dekatnya. Sementara Dokter Timo segera saja
menanyakan hal yang sempat ia tunda tadi.

"Bagaimana bisa kau mengetahui semua itu?" tanyanya.

Fahri yang mendengarnya segera saja menjelaskan semua hal yang telah ia
ingatb yang membuat Dokter Timo mengeluarkan berbagai ekspresi atas
fakta yang baru saja ia ketahui. Ia sangat terkejut dan baru menyadari kalau
masalah Fahri dan Wildan sangat rumit dari dugaannya.

Cuci otak? Eksperimen gila? Adopsi? Dan semua kekejaman itu terjadi hanya
karena harta warisan. Sungguh dunia yang tragis. Namun karena fakta itu
juga lah Dokter Timo kembali merasakan sesak pada dadanya saat mengingat
hal yang sebenarnya terjadi saat dirinya melarikan diri.
Tatapannya yang tadinya datar kini terlihat hampa dan penuh akan kesedihan
di dalamnya. Membuat Ayunda maupun Fahri yang melihatnya merasa
bingung dengan jantung yang derdetak cepat.

"Mendengar semua cerita dan fakta yang baru saja kau ucapkan membuatku
ingin sekali membantumu mendapatkan kesempatanmu yang memang sudah
seharusnya. Namun aku tidak bisa melakukannya." ucap Dokter Timo yang
membuat suasanya seketika hening dan seluruh pandangan hanya tertuju
padanya.

"M-mengapa?" tanya Fahri dengan nada ragu karena pikirannya sudah


melayangnya jauh memikirkan sesuatu yang bahkan tidak ingin pikiran itu
menjadi kenyataan,

"Kesempatan itu sudah tidak ada Fahri. Bukan karena aku yang menolak dan
tidak memberimu kesempatan, namun karena sudah tidak bisa. Karena
Wildan telah memutuskan sesuatu yang membuat hidupku cukup hancur
selama hampir setahun ini." ucap Dokter Timo, tatapannya kian terlihat kalau
dirinya sedang bersedih.

"Apa maksudmu? Wildan memutuskan apa? Aku mohon langsung pada


intinya." pinta Fahri.

Dokter Timo dengan suara yang serak pun akhirnya mengatakan yang
sebenarnya yang mana perkataan itu membuat dua orang yang mendengarkan
hampir merasakan jantung mereka yang untung saja tidak berhenti berdetak.
"Wildan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia memilih meninggalkan
dunia ini dengan alasan lelah akan semuanya. Lelah akan hidupnya yang
penuh penderitaan, lelah selalu di bayangi akan perbuatan-perbuatanmu
padanya. Hingga akhirnya memutuskan untuk menjatuhkan dirinya di atas
atap gedung apartemen dengan lantai yang paling tinggi. Aku menyadarinya
setelah mendapati kabarnya ketika aku sedang bekerja. Dan itu terjadi
sebulan setelah ia pulih dari sakitnya." ucap Dokter Timo yang membuat
Fahri maupun Ayunda bernapas tertahan.

"Aku merasa bersalah, dan terus menangisi kebodohan ku yang lupa akan
dirinya yang tentu saja masih mengalami trauma. Aku seharusnya tidak
mendengarkannya saat dia bilang kalau dia sudah baik-baik saja dan aku
sudah boleh bekerja meninggalkannya. Tapi aku malah membuat pilihan
yang salah. Wildan memilih untuk mengakhiri hidupnya dan hanya
meninggalkan sepucuk surat sebagai kenang-kenagan darinya." lanjut Dokter
Timo. Kini kulit wajahnya sudah di banjiri air mata yang mengalir dari kedua
matanya.

Tidak jauh berbeda dengan Ayunda yang sudah menangis tersedu akan fakta
yang baru saja ia terima. Namun tidak dengan Fahri. Ia menggeleng kuat dan
tidak ingin mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Dirinya memberontak
dan meneriaki Dokter Timo dengan kedua tangan yang mencengkeram kuat
kerah baju yang Dokter Timo kenakan.

"Kau tidak usah mengada-ada! Wildan tidak mungkin melakukan itu. Aku
tau dia kuat dan selalu bisa melaluinya. Jadi berhenti membicarakan omong
kosong dan katakan dimana Wildan sekarang!" ucap Fahri. Nadanya
terdengar sangat marah, namun tidak bisa di pungkiri kalau kedua matanya
sangat terlihat kesedihan yang mendalam sehingga tanpa perlu Dokter Timo
berusaha melepaskan cengkeraman itu, Fahri melepaskannya sendiri karena
detik berikutnya Fahri menangis dengan posisi berjongkok untuk menutupi
wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.

Ia kembali menangis kencang untuk yang kesekian kalinya. Tangisannya


terdengar sangat pilu, sehingga siapapun yang mendengarkan pasti akan ikut
bersedih dan ingin menenangkannya. Seperti yang Dokter Timo lakukan saat
ini. Ia ikut berjongkok menghadap Fahri dan mengelus punggungnya
berharap elusan itu bisa menenangkannya.

"Menangislah. Karena itu yang hanya bisa kau lakukan untuk meredakan rasa
sesak pada hatimu. Dan setelah tenang aku akan memberikan surat
peninggalan Wildan yang mana ada isi yang menyinggung namamu di
dalamnya." ucapnya yang memang sudah merencanakan hal itu yang mana
surat itu lah yang membawanya kembali ke negara ini.

Fahri tidak menjawabnya. Ia masih menangis dengan posisi yang sama dan
berlangsung beberapa puluh menit lamanya sampai akhirnya tangisannya
mereda dan ia pun mengangkat kepalanya yang baru ia sadari kalau ternyata
Dokter Timo sudah tidak ada lagi di sekitarnya. Hanya ada Ayunda yang saat
ini membaca selembar kertas yang ada di tangannya.

Ayunda menyadari tatapan yang Fahri berikan, dan ia berniat memberikan


kertas itu padanya yang sayangnya Fahri tolak dengan gelengan kepalanya. Ia
belum siap membacanya, ia baru saja selesai menangis dan tidak ingin
menangis lagi setelah membaca surat itu yang sudah bisa dipastikan kalau isi
suratnya sangat menyedihkan, karena Ayunda juga masih tersedu setiap kali
membaca barisan yang ada di dalam surat itu.

Oleh karenanya, Fahri memutuskan untuk beranjak dari sana dengan sisa
isakan tangisnya dan berjalan menuju mobilnya ingin kembali pulang
kembali ke rumahnya. Ia ingin menenangkan dirinya dan memejamkan
matanya untuk tidur karena rasa lelah yang kembali ia rasakan setelah
setahun lamanya tidak pernah ia rasakan.

Fahri hanya bisa berharap disaat ia terbangun nanti, semua yang baru saja ia
lalui hanyalah sebuah mimpi dan dia akan terbangun dengan Wildan yang
berada di pelukannya. Tersenyum padanya dan berucap dengan suara ceria
yang selama ini ia idamkan. Membisikkan kata-kata sayang padanya dan
memanjakannya hingga Wildan mendapatkan kebahagiaan yang tidak
memiliki dasar.

Namun pada akhirnya Fahri sadar. Semua harapan itu tidak akan pernah
terwujud karena kesempatannya untuk mewujudkan harapan itu telah sirna.
Orang yang selama ini ia tunggu telah memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya meninggalkannya sendirian yang penuh akan penyeselan. Fahri
bahkan tidak sempat mengucapkan kata maaf padanya.

Dan kini sosok itu telah tiada, sudah pergi jauh diatas sana meninggalkannya
untuk selamanya.
...

TAMAT
Chapter 23 [epilog]

Hai, Dok.

Jika menemukan surat ini, berarti aku sudah tidak berada disisimu lagi.

Sebelumnya aku ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih padamu


karena kau satu-satunya orang yang perduli padaku. Kau sangat tulus
padaku dan bahkan rela merawatku hingga membawaku ke negara asalmu.

Kau sangat berjasa dalam hidupku, dan aku banyak berhutang budi padamu.

Aku ingin sekali membalas semua budi yang telah kau lakukan untukku. Tapi
maaf, aku tidak bisa membalasmu. Aku bahkan mulai mengabaikan saran-
saranmu. Aku tidak meminum semua obat yang kau berikan sehingga aku
mengalami sekelebat bayangan yang terus menghantuiku.

Aku menangis sepanjang hari, sepanjang malam tanpa sepengetahuanmu.


Aku menyembunyikannya semuanya agar kau tidak khawatir padaku. Aku
tidak ingin merepotkan mu lagi, Dok. Oleh karena itu aku memutuskan untuk
pergi.

Pergi untuk selamanya.


Tidak akan pernah melihat dunia yang selalu kejam terhadapku. Aku selalu
tersiksa dimanapun aku berada. Bahkan saat jauh dari jangkauan orang
yang sudah menanamkan luka yang dalam pada hatiku, siksaan itu tetap
berlanjut dan terus membayangiku.

Aku tidak kuasa. Aku tidak bisa menahannya lagi.

Aku sudah mencoba berbagai macam caea agar bisa terlepas dari bayangan
itu. Namun semakin aku mencoba, bayangan itu semakin terasa nyata.
Tubuhku merasakan sakit yang bahkan tidak benar-benar terjadi. Ini
membuatku gila, dan aku menyerah.

Maafkan aku yang telah mengingkari janjiku untuk terus tetap hidup dan
menemukan kebahagiaan ku. Aku ingin, tapi aku tidak bisa. Ini semua terlalu
berat untukku, dan aku tidak bisa memikulnya lagi. Aku ingin bebas, dan
merasakan ketenangan yang sebenarnya. Jadi, ku mohon, jangan menyimpan
dendam padaku ya. Karena aku menyayangimu. Kau Kakak terhebat yang
sudah menyayangiku lebih dari Kakak dan Orangtua ku sendiri.

Kau luar biasa. Dan aku mengaggumimu.

Aku berharap kau akan mendapatkan pendamping yang sama baiknya


dengan dirimu. Kau sosok yang sempurna. Dan aku merasa tidak pantas
terus-terusan merepotkan. Jadi aku memutuskan untuk pergi.
Dan jika aku sudah pergi. Apakah kau mau membantu untuk yang terakhir
kalinya?

Aku tau ini memalukan. Tapi aku ingin kau mengatakan pada Fahri secara
langsung bahwa aku tidak membencinya. Aku tidak menyimpan dendam
padanya. Dan yang lebih memalukannya lagi....

Aku masih tetap mencintainya.

Walaupun bayangan saat dia menyiksaku terus terjadi. Tapi itu tidak
menutup kemungkinan kalau aku terus berdebar tiap memikirkannya. Jadi
aku ingin mau mengatakannya agar Fahri tidak perlu merasa bersalah saat
dia sudah mengetahui kepergian ku.

Aku memaafkan segala perbuatannya. Karena bagaimanapun perbuatannya


itulah yang membuatku sadar, kalau dunia memang tidak cocok untukku.
Bukan tempatku, dan tidak seharusnya aku berada disini. Jadi pastikan kau
mengatakannya ya.

Baiklah. Aku tidak tau harus mengatakan apa lagi. Karena mungkin kau
akan sangat merindukanku jika aku menulis panjang surat ini. Jadi aku
mengakhirinya.

Aku berharap kau selalu berbahagia, Dok. Maksudku Kak Timo. Jaga selalu
dirimu ya. Aku menyayangimu.
tertanda

Wildan.

•••

[Author POV]

Fahri melipat kembali selembar kertas yang berisikan surat tulisan tangan
milik Wildan setelah selesai membaca surat itu.

Kedua matanyanya sudah dipenuhi air mata karena membaca surat itu
membuatnya menangis pilu yang diiringi dengan semilir angin yamg
berhembus dari atap gedung apartemen tempat Wildan mengakhiri hidupnya.

Ini sudah tepat seminggu semenjak Fahri mengetahui kepergian Wildan yang
tentu saja membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Fahri yang sudah tidak bernafsu makan sedari awal. Kini ia bertambah sulit
untuk makan yang bahkan untuk menghabiskan satu piring dalam sehari saja
sangat susah. Sehingga membuatnya terlihat sangat kurus dengan tulang
selangka yang mencuat begitu juga dengan wajahnya yang menjadi lebih
tirus.

Bukan hanya masalah dirinya yang sulit makan. Bahkan hampir 5 hari ini
dirinya belum tidur sehingga Fahri terlihat sangat lemas dengan kantung mata
yang tebal dan menghitam. Penampilannya sangat berantakan karena yang
ada dipikirannya adalah Wildan, Wildan dan hanya Wildan.

Rasa penyesalan terus menghantuinya. Sehingga membuatnya menangis


sepanjang waktu setiap kali mengingat dirinya yang menyiksa tubuh lemah
milik mendiang Wildan. Setiap siksaan yang dia berikan, kini ia rasakan dan
lebih menyakitkan sehingga membuatnya tidak terurus dan terlihat seperti
mayat hidup.

Tentu saja Fahri tidak memperdulikannya. Ia terus menangisi kebodohannya


dan menyesali semua perbuatannya yang tidak lupa selalu mengucapkan kata
maaf setiap kali dia datang ke atap gedung apartemen ini. Bahkan saat ini
dirinya sedang bersujud meminta maaf dengan suara yang tertatih akibat
tangis yang masih berlangsung. Membuatnya terlihat menyedihkan apalagi
semua ini terjadi karena urusan warisan harta.

Fahri tidak ingin menyalahkan siapapun. Tapi jika waktu dapat terulang
kembali sudah dipastikan dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama
dan berbuat hal yang sebaliknya. Namun semuanya sudah terlambat, waktu
tidak mungkin dapat terulang karena penyesalan selalu hadir di akhir dan
menyiksanya.

"Melompat lah." bisik seseorang dengan suara yang sangat mirip seperti
Wildan yang membuat Fahri segera mendongak untuk mencari asal suara.
Jantungnya berdegup sangat kencang berharap suara tadi sungguh milik
Wildan.

"Aku disini Fahri." bisik suara itu lagi. Fahri yang mendengarnya kini sudah
bisa melihat sosok itu dengan jelas. Sosok itu berdiri di dekat pembatas atap
gedung dan tersenyum padanya yang membuat dadanya menghangat hingga
akhirnya Fahri bangkit dari posisinya dan ingin memeluk sosok itu erat.

Namun sayangnya sosok itu tidak bisa ia sentuh. Sosok itu hanya bayangan
yang menirukan sosok Wildan yang tersenyum hangat padanya, membuat
Fahri yang menyadarinya kembali menangis karena sosok itu hanya sebagian
dari imajinasinya.

"Tidak. Jangan menangis. Aku memang tidak bisa kau sentuh. Tapi aku bisa
berbicara padamu. Katakan apapun yang ingin kau sampaikan. Aku akan
mendengarkan." ucap sosok bayangan itu yang malah membuat Fahri
menangis bertambah deras mengeluarkan air matanya.

"Hei, sudahlah. Berhenti menangis. Apa kau tidak ingin menemuiku? Aku
sangat merindukanmu. Mari kita bertemu." ujar bayangan itu lagi yang
perlahan membuat Fahri mereda dan sesenggukan menatapnya.
"Melompat lah. Dan temui aku di kehidupan selanjutnya. Kau mencintaiku
kan?" Fahri mengangguk menjawabnya.

"Aku mencintaimu, Wil. Aku sangat mencintaimu. Aku mohon kembali lah."
ucapnya dengan suara yang terdengar sangat putus asa.

"Aku tidak bisa kembali. Tapi kita bisa bertemu kembali jika kau melompat.
Kita akan bertemu di kehidupan kita selanjutnya jika kau melakukannya."
ujar bayangan itu yang masih kekeh menyuruh Fahri melompat dari atas
pembatas itu.

"Apa kita benar-benar akan bertemu?" tanya Fahri yang mulai termakan
ucapan bayangan itu.

Bayangan itu tersenyum lembut dan mengangguk.

"Tentu saja. Kita saling mencintai. Cinta akan menuntun kita menuju
kehidupan selanjutnya. Jadi melompat lah." ujar bayangan itu yang
kemudian mengelus halus rambut Fahri yang tentu saja tidak dapat Fahri
rasakan elusan itu.

Namun Fahri yang sudah termakan segala ucapan yang bayangan itu
lontarkan. Fahri pun tersenyum, wajahnya terlihat kembali cerah namun
kedua bola matanya masih terlihat hampa. Setelahnya ia berjalan mendekat
ke arah pembatas atap gedung itu dan naik ke atasnya. Lalu tanpa merasa
keberatan Fahri menghempaskan tubuhnya ke udara dan melayang selama
beberapa detik sebelum akhirnya menyentuh aspal dan membuatnya terpejam
dengan darah yang mengalir dari tubuhnya.

Teriakan histeris segera saja terdengar dan beberapa orang langsung


mengurumuni tubuh Fahri yang sudah tidak bernyawa. Namun yang sangat
menarik perhatian mereka, adalah raut wajah Fahri yang terlihat sangat damai
dengan senyuman hangat pada bibirnya yang melengkung.

Beberapa orang mulai mengabadikan momen itu dan menyebarkannya ke


seluruh media sosial hingga menjadi pembicaraan khalayak publik dengan
judul berita yang memilukan.

Di dalam berita itu tertuliskan kalau tempat jatuhnya Fahri sangat tepat
dengan mayat sebelumnya yang juga bunuh diri disana. Dan kini sudah di
ketahui apa penyebabnya dengan asumsi orang-orang yang mengatakan kalau
mereka tidak direstui hubungannya karena hubungan mereka menyimpang.

Menyedihkan memang. Namun memang lebih baik publik tidak mengetahui


cerita aslinya yang tentu saja lebih memilukan.

Cukup beberapa orang saja yang mengetahuinya, menjadikannya kenangan


untuk mengingat kedua mendiang yang memutuskan mengakhiri hidupnya
karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
Selebihnya, biar menjadi saksi atas kekuatan cinta mereka yang sangat
dalam.

•••

30 Tahun Kemudian

Suasana kelas yang tadinya ricuh dan kacau kini mulai senyap kala seorang
guru memasuki ruang kelas mereka bersama seorang remaja pria yang
menarik perhatian banyak siswa karena penampilannya yang menawan.
Beberapa dari mereka berbisik menganggumi betapa menariknya remaja pria
yang diperkenalkan sebagai murid baru yang akan bergabung di kelas
mereka.

"Baik, Nak. Silahkan perkenalkan dirimu." ucap sang guru menyuruh remaja
pria itu memperkenalkan dirinya.

Sang remaja pria tersenyum simpul lalu kemudian memperhatikan keseluruh


kelas sebelum akhirnya menyebutkan namanya yang singkat.

"Perkenalkan nama saya Fahri." ucap remaja pria itu yang ternyata bernama
Fahri. Ia tersenyum lebar menatapi satu persatu wajah yang akan menjadi
teman sekelasnya.
"Baik, kamu bisa langsung duduk di bangku belakang dekat jendela itu ya."
ucap guru itu dengan jari yang menunjuk ke arah meja yang memiliki dua
kursi yang salah satunya sudah ada pemiliknya. Dan dia juga seorang remaja
pria yang terlihat ramah karena saat ini sedang melambai ke arahnya dengan
senyuman lebar yang terpatri di wajahnya.

Fahri turut tersenyum lalu kemudian berjalan mendekat dan duduk disamping
remaja pria yang ramah itu.

"Hai. Gue Wildan." ucap pria itu memperkenalkan dirinya dengan satu
tangan terulur dihadapan Fahri.

Fahri menjabat tangan itu lalu kembali menyebutkan namanya yang tentu
saja mendapatkan senyuman hangat dari Wildan yang tidak bisa berhenti
menatapi wajah Fahri yang sangat menarik baginya.

"Gue tertarik sama elo. Apa elo berminat untuk jadi pacar gue?" tanya
Wildan langsung pada intinya. Ia menanyakan dengan suara yang berbisik
tentu saja.

Fahri terkejut tentu saja namun ia berhasil mengontrolnya dengan tersenyum


kecil.

"Tapi gue cowok." balasnya.


"Gue tau, makanya gue nembak lo. Lo mau nggak?" desak Wildan kembali
menanyakan hal yang sama, yang mana ucapannya barusan menandakan
kalau dirinya memiliki orientasi seksual yang menyimpang.

Fahri berpikir sebentar sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Well,


dia juga menyukai sesama pria. Dan karena Wildan tidak memiliki
penampilan yang buruk dan juga dia ramah, tidak ada salahnya menerima
ajakan kencannya.

Wildan tersenyum senang mendengarnya. Ia segera meraih tangan Fahri dan


menaruhnya ke bawah meja untuk ia genggam tangan itu erat. Setelahnya
mereka saling bertatapan dan melempar senyum satu sama lain. Rasanya
sangat menyenangkan walaupun ini pertama kalinya bagi mereka bertemu.
Entah mengapa mereka sama-sama merasa kalau hubungan ini memang
sudah seharusnya terjadi.

Namun karena mereka bukanlah tipe orang pemikir keras, mereka pun
mengabaikannya.

Mengabaikan satu fakta kalau mereka adalah salah satu dari reinkarnasi
berhasil dari dua orang yang masa lalunya mengalami masa sulit. Dan kini
kedua orang itu disatukan kembali, dengan pemikiran yang berbeda, cara
berbicara yang berbeda dan cara mengekspresikan diri yang berbeda dari
kehidupan mereka yang sebelumnya.
Dan tentu saja hal itu bisa membawakan kebahagiaan abadi untuk mereka.
Menggantikan seluruh kemalangan di masa lalu yang mereka dapatkan.
Mereka pantas untuk berbahagia, saling memiliki satu sama lain dan
memiliki hubungan yang sempurna.

Tanpa adanya penghalang apapun untuk mereka. Karena mereka sudah


melalui semua kesulitan dimasa lalu. Dan di kehidupan ini mereka akan di
pastikan bahagia.

Berbahagia untuk selamanya.

Selama-lamanya.

•••

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai